Daftar Blog Saya

Rabu, 19 April 2017

Bad Surprise by Santhy Agatha

Aku merapatkan jaketku  sambil berjalan menembus area parkiran di lapangan terbuka yang
padat ini, mataku mengeryit terkena terpaan air bercampur angin yang makin lama makin
kencang , setengah menunduk, setengah berlari, aku menembus derasnya hujan  melangkah ke
teras cafe beratapkan hijau dengan uliran daun-daun merah itu. Aku berdiri ragu di sana,
sementara air masih menetes-netes dari jaketku, membasahi lantai.
Dia ada di dalam sana. Isteriku menunggu di dalam sana
Aku menghela nafas, sementara jantung yang tak tahu aturan itu berdegup makin lama makin
kencang.
Sekaranglah saatnya bukan? Kau harus yakin Damar.
Kuhela nafas panjang sekali lagi untuk menguatkan diri,  sepagian ini aku berkutat dengan
pikiranku sendiri seperti orang gila, menimbang-nimbang apakah kejujuran ini harus diungkapkan
atau disimpan, yang pastinya tetap saja seperti menyimpan bom, suatu saat nanti akan meledak
dan melukai banyak orang.
Tetapi siapkah aku mengungkapkan kejujuran ini di depan Renata? Akankah Renata menerimaku?
Atau mungkin kemungkinan terburuk yang akan terjadi? Apakah Renata akan meninggalkanku
setelah mengetahui ini semua?
Aku melepaskan jaketku yang basah kuyup dan meletakkannya begitu saja di bangku kursi kayu
yang ada di teras cafe itu. Mataku melirik ke arah hujan yang makin deras turun sehingga hampir
menyerupai tirai putih, lalu aku mencuri-curi pandang ke dalam cafe, dan menemukan sosok
yang aku cari, duduk membelakangiku.
Itu dia. Renata sedang duduk di sana dengan gaun putih kesayangannya yang selalu membuatnya
tampak cantik dan luar biasa.
Isteriku memang luar biasa, begitu sempurna dan membanggakan. Kami sudah menikah selama
lima tahun dan pernikahan kami sangat bahagia. Hanya saja ahkir-ahkir ini ada permasalahan
yang sangat mengganggu dan membuat aku dan Renata menjadi sedikit tertekan.
Dua bulan yang lalu ibuku datang berkunjung ke rumah kami, ibuku memang orang ningrat jawa
asli, dan sejak dulu dia memang tidak setuju aku menikahi Renata yang notabene wanita karier
sibuk bekerja.
“Seorang perempuan itu harusnya di rumah, mengurus rumah, biar nanti kalau suaminya pulang
rumah sudah bersih, makanan hangat siap, baju-baju sudah rapi, itulah tugas isteri yang
sebenarnya, bukan kayak isterimu itu Mar, kamu sama sekali nggak diurusnya, makanan yang
masak pembantu, baju yang nyuciin pembantu, bahkan kadang dia pulang lebih malam dari kamu
gara-gara kerjaannya”
Waktu diceramahi begitu aku hanya diam saja dan tidak mengatakan apa-apa, karena aku kenal
sekali watak ibu, semakin dibantah beliau malah semakin keras. Aku pribadi sebagai suami tidak
keberatan dengan kehidupan pernikahan kami, kami memang pasangan yang sibuk dengan karier
kami masing-masing. Tetapi setidaknya di malam hari kami selalu menyempatkan diri
berkomunikasi, di ahkir minggu sedapat mungkin selalu kami habiskan berdua, walau kadangkadang
Renata
tetap
harus
melakukan
perjalanan
bisnisnya
di
ahkir
minggu.
Tetapi

itupun tidak
masalah, aku mencintai Renata dan dia mencintaiku. Kami bahagia, dan kupikir itu sudah cukup
baik bagiku.
“Makanya Tuhan itu nggak mau nitipin anak ke isterimu itu, lha dia belum bisa membuktikan dia
bisa menjadi isteri yang baik....”
Aku mengernyit lagi. Mulai lagi deh pembahasan tentang anak. Mataku melirik cemas ke
belakang, Renata sedang mandi. Semoga dia lama di kamar mandi, doaku dalam hati, aku tidak
mau dia mendengar percakapan ini. Kadang-kadang keterus-terangan ibu menyakitkan hati kalau
didengar langsung, aku nggak mau Renata merasa tertekan karenanya.
“Ah memang belum waktunya saja bu. Damar yakin nanti kalau sudah waktunya, kami bisa
memberikan cucu untuk ibu”
“Lha waktunya itu kapan datangnya toh Mar”, mata ibu semakin berapi-api, “Kalian itu sudah
lima tahun menikah dan tetap isterimu itu belum hamil, kalau isterimu itu memang sehat dan
normal, harusnya setelah menikah dia bisa langsung hamil. Kamu harus ingat kalau kamu itu anak
satu-satunya pembawa trah Sosrodiningrat. Bapakmu bisa kelabakan di surga sana kalau tahu
bahwa namanya tidak bisa diteruskan karena anaknya salah memilih isteri....”
“Ibu...”, suaraku mulai terdengar cemas karena aku mendengar pintu kamar mandi dibuka. Tapi
ibu tidak peduli,
“Mungkin kamu harus suruh isterimu itu periksa, Sepertinya dia perempuan mandul...”
“Ibu !!!”,
Ibu terhenti dan menoleh mengikuti arah pandanganku di belakangnya. Renata berdiri dengan
wajah pucat pasi di sana.
Yang aku ingat kemudian suasana menjadi sangat canggung. Renata berusaha menjaga ekspresi
wajahnya. Ibu tetap saja mendongakkan wajahnya dengan angkuh dan keras kepala,  sementara
aku yang berada di tengah-tengah bingung harus bagaimana menyikapi keadaan tidak
mengenakkan semacam ini.
Bukan sekali- dua kali ibu menyinggung tentang belum hadirnya anak dalam keluarga kami. Dan
setiap itu terjadi Renata selalu menangis dan sedih. Tapi akulah yang paling tahu kalau Renata
tidak mandul, atas inisiatif Renata sendiri, dia memeriksakan kesuburannya ke dokter. Aku
sendiri yang mengantarkannya periksa ke laboratorium setelah insiden itu, dan hasilnya organ
reproduksinya sehat. Sudah kutunjukkan hasil tes lab itu kepada ibu, tetapi ibu dengan
pandangan kunonya tetap saja tidak percaya,
“Wanita yang menyalahi kodratnya seperti dia ndak akan bisa punya anak. Lha wanita kok kerja
kantoran pulang malam, mau ngalahin lelaki dia?”
Begitulah tanggapan ibuku waktu itu.
Suara petir menghantarku kembali dari alam lamunan mengingat kejadian hampir dua bulan lalu
lalu itu. Aku tersadar bahwa aku sudah berdiri lama  dengan pikiran menerawang di depan cafe
ini. Mataku mencuri pandang ke arah Renata yang masih duduk dengan tenang memunggungiku
disana. Ah isteriku itu memang selalu sabar, senyumku penuh kasih sayang.
Dengan masih tersenyum aku melangkah memasuki cafe itu dan berhenti di depan meja Renata,
isteriku itu mendongak dan tersenyum manis, aku langsung menunduk dan mengecup keningnya
sebelum duduk di depannya.
“Rambutmu basah”, jemarinya yang gemulai itu menyentuh rambut yang basah dan jatuh di
dahiku, tanpa sadar aku memejamkan mata meresapinya, sentuhan Renata selalu membuatku
merasa damai dan bahagia.
“Maaf aku terlambat, di luar hujan deras sekali, kamu sudah menunggu lama ya?”, tidak
kukatakan bahwa aku sudah sampai sejak tadi tapi sibuk membuang waktu untuk menguatkan
hati.
Renata tersenyum,
“Tidak apa-apa, aku tadi sudah bilang sekertarisku mau pergi lama, ada janji makan siang dengan
suamiku untuk merayakan sesuatu”, senyumnya tampak penuh rahasia.
“Merayakan apa?”, aku jadi ingin tahu melihat binar di matanya,
Renata tergelak dan meremas jemariku,
“Nanti. Sekarang katakan apa yang ingin kau ceritakan padaku, kau tampak serius sekali ketika
menelephone untuk mengajak makan siang tadi sayang”
Aku tercenung, tiba-tiba keberanianku lenyap sudah, melihat senyum dan tawa Renata itu, aku
tidak tega menghancurkannya.
“Hmmm bukan hal yang penting kok “, tiba-tiba kuputuskan untuk menunda pengungkapan
kejujuran itu kepada Renata, aku tidak berani, nyaliku menciut, karena itu aku mengalihkan
perhatian kepada Renata, “Ayo ceritakan padaku apa yang akan kita rayakan, jantungku jadi degdeg’an
nih”,


Sekali

lagi Renata tergelak, tawanya renyah, dia kelihatan bahagia sekali, sampai-sampai
kebahagiaannya itu menulariku, membuatku ikut tertawa tanpa sebab,
Dengan lembut Renata meremas jemariku, lalu membuka tas yang sedari tadi di dekapnya di
pangkuannya, mengeluarkan selembar amplop besar. Matanya begitu bahagia, pipinya bersemu
merah ketika menatapku sebelum membuka amplop itu dan mengeluarkan kertas di dalamnya,
menyerahkannya kepadaku.
Aku menerima kertas itu, tapi mataku masih menatap ke arah Renata. Bingung.
“Bacalah mas”, suara Renata berbisik penuh semangat.
Aku menunduk dan membaca kertas yang penuh dengan tulisan istilah-istilah medis itu. Begitu
aku memahami isinya, serasa ada aliran es yang menjalar pelan melalui ujung jariku, merambat
ke seluruh tubuhku, Panas yang membakar.
“Aku hamil mas ! kemarin aku diam-diam tes urine sendiri, karena aku sudah telat haid dan
hasilnya positif. Lalu untuk lebih akurat aku periksa ke dokter kandungan , tadi siang dokter
menelephone katanya hasil lab sudah keluar dan aku positif hamil 6 minggu, kita ahkirnya akan
punya bayi mas!”, Kebahagiaan meluap-luap di wajah Renata, tapi lalu dia mengernyit ketika
menyadari ekspresiku. 
Wajahku pucat pasi, dingin seperti es. Dan mataku berkaca-kaca.
“Lho ? mas kenapa ?”, Renata berusaha meraih tanganku dengan bingung, tapi aku menepisnya.
Suaraku goyah ketika berkata,
“Sesuatu yang ingin kubicarakan itu.... “, suaraku menghilang dan gemetaran,
Kutatap Renata dalam-dalam, mencermati wajah isteri yang kucintai itu, isteri yang kupercayai,
sebuah hantaman kepedihan memukul dadaku, membuatnya terasa begitu sakit dan sesak
sehingga aku mengernyit tanpa sadar.
Aku mengeluarkan kertas dari sakuku, selembar kertas yang sudah lecek terlipat menjadi empat
bagian, begitu leceknya karena sepagian sudah kubuka dan kulipat berkali-kali dalam pergulatan
batinku. Dengan hati hancur kuserahkan kertas itu kepada Renata.
Isteriku itu meraihnya, dan membacanya. Lama kutatap ekspresinya, yang semakin lama semakin
memucat, sama pucatnya dengan diriku.
“Kemarin aku juga diam-diam melakukan tes kesuburan”, suaraku masih bergetar, “Hasilnya
keluar tadi pagi, itulah yang ingin kusampaikan kepadamu..... Aku mandul, spermaku tidak
mengandung sel sperma yang sehat, aku tidak bisa punya anak. Aku tidak akan pernah bisa
menghamili siapapun.”
Renata mendongakkan kepalanya, menatapku. Matanya penuh air mata, penuh rasa bersalah.
Aku hanya diam, mencoba menahan seluruh pertanyaan dan kemarahan yang menggedor-gedor
perasaanku.
Hujan deras di luar sudah hampir reda, tapi hujan deras di hatiku baru saja dimulai
Begitu saja. Begitu saja. Duniaku runtuh begitu saja. Ya Allah.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar