Daftar Blog Saya

Kamis, 17 Agustus 2017

Lalu Sunyi

Cerpen Zhizhi Siregar (Republika, 13 Agustus 2017)
Lalu Sunyi ilustrasi Da'an Yahya - Republika.jpeg
Lalu Sunyi ilustrasi Da’an Yahya/Republika
Kenangan pertamaku tentang Bapak adalah jemarinya. Setengah terlelap, bisa kurasakan jemarinya yang kasar mengelus-elus rambutku yang menutupi wajah. “Cantik sekali, ya, anak ini.” Seolah tak percaya mengapa bisa dikaruniai anak kurus kering berkulit gelap gulita bergigi tonggos sepertiku.
Juga, tak lupa dentaman langkahnya di rumah masa kecilku yang luas. Dum, dum, dum, langkahnya sepulang kantor. “Oiii, Butet!” aku yang ia cari begitu pulang. Bukan Ibu, bukan pula Abang, tapi aku, sang putri kesayangannya.
Aku akan terkikik bersembunyi. Di bawah kasur, di belakang pintu, di bawah tumpukan baju kotor. Ia akan selalu menemukanku. Lengannya yang kokoh mengangkatku ke langit-langit. Diayun- ayunkannya aku hingga kepala ini terasa berputar, entah karena tawa entah karena bahagia. Wajahnya yang penuh kumis tajam disorongkan ke pipiku. Matilah aku diciuminya. Aku menyebutnya hari baik. Hari baik akan selalu jatuh pada hari Sabtu, di mana ia hanya perlu pergi sebentar mengajar di kampus lalu sempatkan diri bermain denganku sesekali.
Pada hari buruk ia akan mengurung diri di kamar mandi seharian dengan kaca di kamar. Aku akan berjinjit perlahan, takut menginjak kata-kata yang salah yang bisa meledakkan seisi rumah dengan teriakan dan tangisan. Hari-hari di mana aku tidak mau pulang dan lebih memilih untuk tidak dilahirkan. Memar hilang sehari dua hari, tapi keinginan untuk mati bertahan lebih lama dari yang bisa kuingat: Mengapa harus dengan sabetan kalau cukup dengan kata-kata? Apa aku semengecewakan itu? Mengapa aku tidak mati saja agar semua bahagia? Kadang, Paman akan memelukku menenangkan, meski aku tak suka dengan pelukan.
Namun, semua kembali terlupakan ketika hari Sabtu muncul lagi. Kepalan jemarinya akan terbuka sekali lagi dan ia akan lupa apa yang sudah terjadi. Akan ia gendong aku sambil tersenyum lebar. Menjadikanku anak tercantik sedunia.Dan aku pun mengikuti permainannya: Kita lupakan saja yang kemarin itu.
Berkali-kali kutanya pada Ibu, apa Bapak sakit? Mengapa tidak ke rumah sakit? Ibu menyuruhku bungkam. Katanya, di keluarga Bapak, tak ada yang kenal orang sakit jiwa. Bagi mereka, hanya ada yang lemah dan yang kuat. Tak apa sesekali Bapak terlihat lemah di rumah, sepanjang di luar ia terlihat kuat. Bagaimana kalau jiwa sakit tak diobati? Bukankah lengan yang sakit dan tak diobati akan membusuk? Apakah jiwa bisa membusuk juga? Ibu menggeleng, lalu melakukan tindakan yang ia paling kuasai seumur hidupnya: Diam.
Aku pernah membaca buku Bapak yang bercerita bahwa kepribadian dan segala pilihan yang diambil masa kini terbentuk oleh masa kecil. Mungkin, karena itu, seperti Ibu, aku terus kembali pada mereka yang tak cukup menyakiti sekali. Ibu selayaknya nelayan yang mencintai lautan: Kembali lagi dan lagi meski tahu akan mati tenggelam ditelan badai.
Tahun demi tahun berlalu, selain Sabtu, kami jarang bersentuhan. Kini, ia hanya mengangguk sopan sembari lewat dari kamarnya lalu entah ke mana. Untungnya, ada Paman yang tinggal bersama kami. Ia seperti Bapak, tapi jauh lebih ramah. Tanpanya, mungkin aku akan lupa seperti apa rasanya kasih sayang keluarga. Suatu hari, kutemukan kembali alasan yang membuat Bapak tidak keberatan menggendongku: Pohon jambu depan rumah.
Berawal dari diriku yang masih baru bersekolah mengamati dengan penasaran jambu-jambu hijau keputihan. Bapak menghampiri dengan langkah khasnya yang berdentam-dentam. Bapak gendong aku di bahunya, “Ambil yang kanan, Tet.” Tanpa memedulikan aku yang terbelalak menahan kaget.
Bagiku, kala itu, ia sedemikian mengerikannya, selayaknya Kronos yang sanggup memakan anak-anaknya. Kontak fisik yang kuingat hanya jepretan demi jepretan yang muncul karena berbagai kesalahan. Kadang lemparan. Kadang pukulan. Tapi, kali ini ia menggendongku! Di bahunya! Dengan telaten, kuturuti maunya, kupetiki satu demi satu jambu di atasku.
“Sudah, jangan semuanya. Untuk besok,” kata Bapak. Besok! Besok ia akan menggendongku lagi!
Keesokannya, aku melesat lari, kutunggu ia di atas pohon jambu sejak pulang sekolah hingga ia pulang kantor sorenya. Kupamerkan kini aku bisa memanjat pohon. Padahal, Paman terkadang membantu, ia suka sekali menggendongku meski kadang aku tak mau dibantu. Dari kejauhan, Abang hanya mengamati di sisi Paman. Usianya yang tiga tahun lebih tua tentu sudah tak bisa lagi ditahan oleh pohon jambu ini.
Bapak sering terkekeh kalau aku melontarkan candaan sesekali selama kali berburu jambu. Tak memuji, tapi cukup membuat hidungku kembang kempis. Lagi-lagi, ia gendong aku di bahunya.
Begitulah setiap hari. Dengan patuh, kukunyah-kunyah buah jambu yang diam-diam rasanya mulai memuakkan. Tak penting, yang kutahu, aku bisa mengobrol dan bermain dengan Bapak, seperti anak-anak lainnya yang hanya bisa kusaksikan di TB.
Lengannya yang menjagaku agar tidak jatuh. Usapan di kepalaku. Tawanya yang tertahan kala mendengar cerita lucuku. Ia tak perlu tahu: Aku sesungguhnya tak suka buah jambu. Ia pun tebang pohon itu setelah seminggu mengurung diri di kamar mandi. Tampaknya, hari buruk datang bertubi-tubi. Ia menangis, meratap, menghabisi silet demi silet untuk menyayat bagian dari dirinya yang tak semua orang bisa lihat. Kalau sudah begitu, Ibu pun diam. Karena, untuk diam pun diperlukan keberanian.
Hari buruk datang lagi. Kali ini lebih dahsyat. Ia mengamuk hanya untuk terkaget-kaget sendiri. Dengan napas memburu, ia akan bertanya-tanya, “Ada apa?” Pertanyaannya seharusnya apa yang tidak ada? Ada darah Ibu yang masih belum berhenti mengucur karena pukulanmu. Ada memar yang kau titipkan di sekujur tubuhku. Lengannya membuka, gigi-gigi depan Abang berjatuhan dari genggamannya. Tak perlu kata-kata, bahkan tak perlu air mata. Diam punya bahasanya sendiri yang mulai kami kuasai.
Beberapa tahun setelah ditebangnya pohon jambu, Abang berhenti bicara sama sekali. Ia bahkan tidak menggunakan bahasa isyarat sama sekali. Hanya diam, tak mau berkomunikasi. Seolah mengunci semua orang dari dunianya sendiri. Seakan, ia memilih ditelan sunyi ketimbang berjibaku dengan kenyataan. Bajingan beruntung. Ia meninggalkanku berkicau sendiri tanpa ada yang menanggapi.
Hingga, suatu hari, hari terburuk dari yang buruk datang kembali. Kali ini, bukan Ibu sasaran pukulnya, melainkan Paman. Aku baru kembali dari se kolah, sebuah SMA dekat rumah, ketika kudapati Bapak melemparkan cermin besar ke tubuh Paman yang sudah babak belur. Kali ini, ia garang luar biasa, tapi tak ada balasan dari Paman. Mencoba bertahan pun ia tak lakukan sama sekali. Tak pula Ibu berusaha hentikan Bapak yang nyaris membunuh adiknya sendiri.
Ibu hanya berdiri dengan tangan lunglai menggenggam celana dalam Abang yang bernoda darah. Aku sungguh tak mengerti. Tapi, tak ada yang mau berbagi, seolah semua sudah sepakat untuk menutup diri. Kali ini, Bapak tak bertanya ada apa. Kini, sedari awal sepenuhnya sadar.
Kini, tak ada lagi yang bicara di rumah ini. Peduli setan hari ini Sabtu atau Minggu atau Jumat terkutuk. Bekas potongan pohon jambu pun sama diamnya, seolah kami semua dikutuk.
Sunyi punya caranya sendiri untuk menguasai. Di sela-sela sepi, kadang aku mendengar suara-suara entah dari mana. Mungkin hantu. Ya, pasti hantu. Atau diriku sendiri, yang lain, bukan yang ini. Atau, bisa jadi diam-diam aku bisa mendengar suara batin Abang dan Ibu. Bisa saja aku jadi sakti mandraguna karena Bapak pernah cerita, aku ini keturunan raja-raja. Makin lama makin riuh. Kian lama kian bising. Mulai dari celoteh tentang tetangga, hingga teriakan kematian setiap malam. Lolongan anjing sekali pun berubah menjadi bisikan-bisikan penuh makna. Aku di kelilingi keramaian di tengah kesunyian ini.
Suatu hari, hari buruk datang lagi. Entah apa pemicunya, padahal bicara satu sama lain pun bahkan kami sudah tak pernah. Kali ini, Bapak sabeti Ibu dengan kabel radio. Abang berdiri dalam diamnya di sudut sana, tak lagi bergerak, tak lagi hidup, sungguh aku berharap ia mati saja dengan segala ketidakberdayaannya. Amarah biasa menggelegak, namun kali ini kubiarkan ia mengambil alih tubuhku.
Lihat, apa yang mampu sebuah derita lakukan: Ia tanamkan derita-derita lain di tubuh orang-orang yang mencintainya. Betapa tega Bapak pukuli Ibu yang menahan pukulan saja sudah tak mau. Seolah tak cukup ia renggut jiwanya, harus pula ia rusak raganya yang sudah renta.
Seketika semuanya sudah terlalu riuh, hingga aku tak mampu mendengar pikiranku sendiri. Kuambil kapak yang tak pernah tersentuh sejak dipakai untuk menebang pohon jambu itu. Hanya dibutuhkan satu jeritan untuk membebaskan Ibu dari rasa takut. Diamnya pecah setelah bertahun-tahun, lenyap dalam satu teriakan. Suaranya yang kutunggu dengan sabar, tapi tak kunjung muncul di malam-malam demamku, terdengar kasar di sela derasnya darah yang berlomba mengucur keluar.
Satu ayunan untuk membebaskan Abang dari entah apa yang menggerogotinya dari dalam. Satu tatapan tak percaya untuk membebaskan Bapak dari rasa sakit yang menyiksanya. Betapa mudahnya, hanya butuh tiga ayunan untuk membebaskan kami semua dari penjara ini.
Lalu, kukejar Paman yang kutahu bersembunyi di lemari Abang setiap hari Sabtu. Aku tahu karena sebelumnya ia pun selalu bersembunyi seperti itu di lemariku. Untuknya, kuayunkan kapak itu lagi dan lagi, berkali-kali, memastikan sepenuh hati bahwa aku berhasil membebaskannya dari iblis yang merasuki. Aku tahu, kami semua akhirnya terbebas dari derita masing-masing. Karena, hari ini hari Sabtu.
Aku terduduk menghela napas. Bising itu akhirnya hilang. Lalu sunyi.

Sepasang Mata Ibu dan Sepasang Mata Bocah Lugu


Cerpen Daruz Armedian (Suara Merdeka, 13 Agustus 2017)
Sepasang Mata Ibu dan Sepasang Mata Bocah Lugu ilustrasi Putut Wahyu Widodo - Suara Merdeka.jpg
Sepasang Mata Ibu dan Sepasang Mata Bocah Lugu ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Sepasang mata anak kecil yang mungil, mata yang tak mengerti kesedihan apa-apa, menatap tajam pada daun-daun yang berguguran dari pohon di tengah taman.
“Kenapa daun-daun itu jatuh, Ibu?” tanyanya kepada perempuan yang sejak tadi terdiam sambil menunjuk daun-daun yang pelan-pelan terlempar ke tanah basah sebab hujan tadi siang. Wajah polos itu menampakkan kepolosan.
“Kenapa daun-daun itu jatuh, Ibu?” tanyanya sekali lagi. Kali ini sambil menatap kedua mata ibunya yang sendu dan wajah yang kusut tak menentu. Seperti sebuah kebosanan. Seperti sebuah ketidakminatan. Seolah-olah daun-daun yang dimaksud anaknya adalah kesia-siaan. Lalu, terdengar pelan embusan napas panjang.
“Karena ada angin yang menerjangnya.” Perempuan itu buka suara sembari membuang pandangan ke arah pepohonan. Pepohonan yang lama-kelamaan terlihat buram karena matahari hampir tenggelam. Sejak kemarin ia kehilangan nafsu bicara. Bahkan walau hanya sepatah kata.
“Berarti angin itu jahat?” Anak itu bertanya lagi dengan kepolosan yang tak ada habis-habisnya.
“Kenapa jahat?” Perempuan itu balik bertanya. Tentu dengan nada agak menukik. Seperti jalan kehidupan yang selama ini ia lalui. Atau seperti jalan sebelum menuju taman itu.
“Karena angin telah menjatuhkan daun-daun.”
“Tidak. Tidak jahat. Bahkan angin itu baik. Ia ingin memberi tahu daun-daun, hidup mesti bergantian. Setelah daun-daun jatuh, pasti ada pengganti berupa daun-daun lain.” Suara perempuan yang dipanggil Ibu itu ngelantur. Ia seperti tidak peduli apakah anaknya paham atau tidak. Yang jelas, sebagai orang dewasa, ia mesti menghargai anak-anak, termasuk dalam berbicara. Ia tidak boleh diam jika anaknya bertanya.
Anak itu terdiam. Terdiam sebentar—kalau ditaksir dalam perhitungan waktu, sekitar satu menit. Satu menit terlihat sebentar jika dibandingkan satu jam tentu saja. Angin mulai berembus kembali. Kali ini agak kencang. Menyibak rambut panjang perempuan itu dan menyibak rambut pendek anaknya. Sejenak, dunia ini hanya terdiri atas angin belaka. Anak kecil itu memandang orang-orang lalu-lalang yang menggumam entah apa, barangkali sebuah ketiadaan, barangkali sebuah ketidakabadian. Lalu kembali ia angkat bicara.
“Aku ingin seperti angin.”
Tak ada tanggapan dari ibunya, perempuan dengan wajah muram dan mata sendu seolah-olah menggambarkan di dunia ini tidak ada perasaan lain kecuali kesedihan.
“Ibu, aku ingin seperti angin.” Mulut anak kecil itu, seperti robot otomatis, merentetkan kata-kata, tak habis-habis.
“Alasanmu?” Ibunya menanggapi tanpa selera.
“Aku ingin seperti angin. Aku ingin jadi orang baik.”
“Oh, bagus kalau begitu. Dan memang harus seperti itu.”
“Bisa kan, Bu?”
“Jelas bisa dong.” Perempuan itu tak mengira anaknya sudah sepintar itu. Siapa mengajari? Apakah di sekolah ada pelajaran seperti itu? Ah, tidak, tidak. Anak itu belum sekolah. Meski seharusnya sudah pantas sekolah.
Langit sore mulai menampakkan warna kemerah-merahan. Sebentar lagi matahari bersembunyi di balik gunung-gunung yang berderet dari utara ke selatan. Seorang ibu dan anak itu masih duduk di taman. Tak ada cemilan, seperti cokelat, permen, dan jajanan lain, di samping mereka. Tak ada minuman, walau sebatas air mineral. Yang ada hanya kekosongan. Kau dengar, yang ada hanya kekosongan.
Orang-orang timbul-tenggelam di balik pepohonan. Orang-orang berseliweran di jalan sambil membawa aneka barang. Tas, hape, bunga, ransel, cangkir kopi, hidangan makanan. Orang-orang berseliweran dengan apa saja. Semisal, hewan peliharaan, anak kecil, sahabat remaja, pasangan muda, dan lain-lain yang sebenarnya bisa ditulis di sini, tetapi tidak terlalu penting untuk menyebutkan semua. Ada yang masuk ke museum kecil yang berada tepat di pinggir taman. Ada juga yang keluar dari museum kecil itu.
Namun ibu itu tidak ingin beranjak. Ia mungkin lebih senang duduk di bangku taman bersama anaknya yang cerewet sambil menikmati menit-menit berlalu, menunggu hari benar-benar malam.
“Ibu?”
“Ya.”
“Itu pohon apa?”
“Yang mana?”
“Yang itu.” Anak itu menunjuk pohon berbuah segi lima.
“Oh, itu pohon belimbing.”
“Kok buruk gitu?”
“Apanya yang buruk?”
“Daun-daunnya. Tadi berjatuhan.”
“Rapuh maksudmu?”
Anak itu mengangguk-angguk seolah mengerti arti kata “rapuh” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan untuk apa kata itu perlu diadakan di dunia.
“Ya, karena mau berganti daun-daun baru yang lebih hijau, yang lebih segar,” tambah ibunya.
“Bukankah yang jatuh itu juga daun-daun yang masih hijau dan masih segar?”
Perempuan itu diam, mungkin menikmati keheningan dalam dirinya, ah, kesepian dalam dirinya. Atau mungkin memikirkan sebuah puisi tentang senja yang sebentar lagi menghilang dan lampu-lampu taman yang menyala secara bersamaan. Atau mungkin sudah risau dan bosan mendengar ocehan anaknya. Ah, memang dunia hanya penuh kemungkinan-kemungkinan.
“Ibu?”
“Ya.”
“Kalau yang itu pohon apa?” Rupanya anak kecil itu sudah melupakan pertanyaan mengenai hijau daun-daun belimbing yang berjatuhan. Ia menunjuk pohon besar dan sulur-sulur seperti akar tumbuh di batangnya.
Terdengar lagi embusan napas panjang.
“Itu pohon beringin.”
“Kok serem banget?”
“Apanya yang serem?”
“Akar-akarnya keluar dari tanah.” Seperti monster mengerikan yang mengeluarkan aroma kebencian.
Perempuan itu hanya terdiam. Ia mungkin sudah sangat kesal atas ocehan anak itu. Sepasang matanya menyusuri trotoar yang mulai lengang. Lalu ia pandangi wajah anaknya yang polos, yang tak mengerti arti kata kesepian. Arti kata kehilangan. Dengan perasaan begitu dalam ia mengusap-usap rambut anaknya. Setiap kali ada senyuman dari bibir mungil itu, ia balas dengan senyuman juga. Senyuman getir. Amat getir. Seperti menahan beban sangat berat dalam kehidupannya.
“Aku tak ingin jadi beringin.”
“Kenapa?” jawab perempuan itu hambar.
“Aku tidak ingin jadi orang yang serem. Aku tidak ingin jadi orang yang menakutkan.”
Ia tidak membalas. Pandangannya kini tertuju ke sebuah rumah megah yang memancarkan cahaya gemerlapan. Lampu-lampu merah kuning hijau dan warna-warna lain menyala bergantian. Mungil. Seperti kunang-kunang beterbangan membelah ilalang.
“Ayo ke sana.”
“Ke mana, Bu?”
“Ke rumah itu.” Tangannya menunjuk rumah dengan beranda yang luas dan ada gazebo di dalamnya.
“Untuk apa?”
“Tidur.”
Anak itu hanya mengangguk-angguk. Tak berapa lama, ia digendong ibunya. Mereka menuju rumah megah itu. Perempuan itu tertatih-tatih menahan lapar. Langkah kakinya lemah dan gemetar. Sesampai di depan rumah megah itu, ia baru sadar, pintu gerbang pastilah terkunci. Dan di gazebo itu, ia tidak mungkin tidur di sana.
“Mau ke mana lagi, Bu?”
Tak ada jawaban apa pun. Perempuan itu menyeret kaki tanpa tujuan. Entah akan ke mana ia berjalan. Sampai larut malam, ia tetap berjalan.
Lalu di sebuah toko cat yang tutup dan di sebuah ujung kekuatan langkah kakinya, perempuan itu berhenti. Duduk dan membiarkan anaknya berlari ke pinggir jalan yang agak sepi untuk mengambil sepotong roti yang entah milik siapa terjatuh di sana. Roti, yang walau masih ada bungkusnya, telah gepeng.
Anak kecil itu bahagia. Matanya memandang ibunya yang tengah bersandar ke pintu toko. Seperti mengisyaratkan dia sedang menemukan harta karun. Namun matanya kemudian memandang seorang lelaki yang sedang mendorong gerobak. Ya, ia dipanggil lelaki itu.
Anak kecil itu berlari menuju gerobak. Seorang lelaki yang sudah tidak muda tetapi juga tidak terlalu tua memberinya seplastik bakso, lalu pergi begitu saja sambil mendorong gerobak.
Agak lama anak kecil itu memandangi langkah kaki lelaki itu. Sampai jauh. Sampai hilang ditelan tikungan jalan. Lalu, kaki mungilnya menghambur ke arah perempuan yang masih bersandar di emperan toko.
“Ibu?” kata anak kecil itu sambil ngos-ngosan.
“Ya.”
“Bapak yang memberi bakso tadi siapa?”
Perempuan itu hanya diam dan memandangi wajah anaknya yang semringah sambil menenteng seplastik bakso. Kini, sepasang matanya berkaca-kaca. (44)

Tuban, 2014-2016
Daruz Armedian, mahasiswa filsafat UIN Sunan Kalijaga, alumnus Kampus Fiksi, bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Bukunya yang akan diterbitkan Penerbit Basabasi: Sifat Baik Daun.