Daftar Blog Saya

Senin, 27 Juni 2011

The Chicken Soup

Ada Malaikat Mendatangiku

Pengalamanku memotret anak – anak sudah lebih dari dua puluh tahun. Pada suatu kesempatan khusus, yaitu hari Thanksgiving ( Hari Bersyukur ), salah seorang dari mereka menghadiahkan sesuatu yang istimewa kepadaku. Ia adalah seorang bayi mungil berumur enam bulan yang bersandar di keretanya.
“ Keadaan Emily tidak begitu baik hati ini, “ kata Ibunya. Bayi itu memang kelihatannya seperti sedang demam. Setiap kali kepalanya terjatuh ke samping sementara ia berusaha duduk tegak. Beberapa kali aku mencoba memotretnya, tetapi tidak berhasil. Akhirnya aku mendekati muka bayi itu lalu berbicara kepadanya. “ Kau kelihatan seperti malaikat cilik, “ kataku.
Tiba – tiba sikap bayi itu berubah, tidak lagi bergerak – gerak lemah. Ia menatapku seakan – akan hendak mengatakan, “ Aku tidak apa – apa, cuma keadaanku saja yang hari ini sedang tidak enak. “ Karena Emily kelihatan seperti malaikat cilik, aku lantas memutuskan untuk memotretnya dengan didandani seperti malaikat.
Diantara perlengkapan studioku ada sepasang sayap putih mulus, terbuat dari bulu yang halus, lembut dan putih bersih. Di ubun – ubunnya kuletakkan mahkota kecil yang terbuat dari rangkaian bunga. Aku pun mulai sibuk memotret malaikat cilikku itu, yang duduk dengan sikap mendekam di kursi di tengah dekor awan.
Selama itu tidak kuperhatikan bahwa Ibunya menangis dengan suara lirih. “ Ia memang malaikat. Baru saja kemarin kami mengetahui bahwa ia dilahirkan dengan cacat otak yang sangat jarang terjadi. Hari Thanksgiving saat ini adalah yang pertama dan terakhir kami bisa bersama – sama, “ kata Ibunya sambil terus menangis. “ Kemungkinan hidup bayi dengan cacat seperti itu tidak sampai setahun. Sewaktu hamil, saya mengkuti segala nasihat dokter. Tidak merokok, mengatur pola makan sesuai dengan yang dianjurkan, tetapi otaknya ternyata tidak berkembang lebih lanjut dari pada keadaan ketika dilahirkan. Kata dokter hanya ada 435 kasus cacat otak seperti ini sepanjang yang diketahui.
“ Anda melihat Emily yang sebenarnya di sini – malaikat cilik – dan kami sangat sayang padanya. Dia adalah malaikat cilik kami yang turun ke bumi untuk memberitahu kami bahwa Tuhan menghendaki agar kami bersyukur atas apa yang kami miliki. Kadang – kadang, sewaktu kita sedang mengajaknya berbicara, ia lantas menjadi begitu tenang dan damai. Ia pun mengoceh dalam bahasa bayinya. Rasanya kita nyaris bisa menagkap kata – katanya, seakan – akan ia memang hendak mengatakan sesuatu kepada kita. Foto – foto ini benar – benar sangat bermakna. Kami tidak tahu, masih berapa lama lagi ia ada bersama kami. Anda telah mengabadikan malaikat cilik kami.”
Leherku terasa tersumbat mendengar penuturan itu. Dengan suara tersentak serak karena terharu, aku berkata “ Terima kasih atas kesempatan berbagi penglaman ini. Saya bersyukur bahwa malaikat cilik ini muncul menghampiri saya!”

Sehari di Danau

Aku main!” kata anak lelaki berdaya pikir rendah itu. “ Ayo, “ kataku. Aku melambungkan bola kearahnya. “ Ya! Aku tangkap!” serunya. “ Oke, sekarang lemparkan kembali, “ kataku. Anak itu melemparkan bola kearahku. Aku menangkapnya sambil menukik ke dalam air. “ Kau tidak usah melakukannya. : kata Ibu anak itu. “ Aku memang mau kok, “ kataku. “ Ya, ayo menyelam lagi!” teriak anak itu. Akupun menukik lagi ke dalam air.
Kami bermain bersama – sama selama setengah jam. Ketika anak itu pergi kulihat ia tersenyum lebar. Kejadian itu membuatku merasa biasa – biasa saja. Menurutku, siapapun bisa melakukannya. Ada anak ingin bermain – main, lalu aku menemaninya. Anak itu merasa senang karenanya dan itu membuatku mersa senang. Tetapi setelah itu orang – orang menatapku dengan heran.
Seorang anak lelaki bahkan mendatangi aku dan berkata, “ Mengapa kau tadi bermain denagn si bego itu ? “
Kutinggalkan saja anak itu, tanpa mengatakan apa – apa.

Panen di Musim Semi

Pembawaannya yang elegan menyamarkan usianya yang muda. Ia terlihat dewasa, berpengalaman, dan seakan mampu menjawab semua pertanyaan yang ingin kami ajukan. Kami memandang, menunggu, dan berdoa agar ia tidak bimbang atau tersandung para Yahudi yang sedang berdoa. Walaupun kami tahu itu tidak akan terjadi.
Mike telah menghitung hari – hari hingga saat – saat menggembirakan ini. Sebuah jembatan telah terbentang antara masa muda dan masa dewasamya dalam adat ketat masyarakat Yahudi, yang mengajarkan pelajaran – pelajaran abadi mengenai kompleksitas kehidupan kita. Matanya yang berwarna cokelat jernih menyisakan sifat kekanak – kanakan dalam dirinya. Bagai seekor elang, ia memandang kami dari podium.
Ibu Mike, Rachel, duduk dengan bahagia di barisan paling depan. Tangannya saling menggengam di atas roknya yang berwarna putih berpadu krem. Senyuman menghiasi bibirnya yang tipis. Di sampingnya, Ayah Mike, Tom, mengikuti upacara dengan perasaan bangga dan menatap lekat ke arah Mike. Si kembar Ben dan Andrew, saudara laki – laki Mike, duduk dengan khidmat. Sepanjang usiaku yang telah 12 tahun, aku tidak pernah melihat mereka setenang dan sediam ini. Ketika kembali memfokuskan perhatianku kepada Mike, aku baru menyadari betapa kami telah berubah. Walaupun demikian, persahabatan kami selalu tetap ada.
Pada hari – hari ketika gumpalan awan seperti kapas putihdi langit menghiasi kehidupan kami, aku dan Mike adalah sahabat. Tidak seperti anak perempuan lainnya, setengah dari sahabat “ terbaik”-ku adalah anak laki – laki. Aneh bukan ?
Aku teringat ketika main petak umpet bersama Mike, saudara – saudaranya, dan anak – anak lain di lingkungan kami. Sebuah permainan yang membutuhkan banyak tenaga dan kesabaran. Aku terkenang duduk di atas daun – daun tua yang telah bergugurandi atas tanah dan dahan – dahan patah, lalu kami mengendap – endap kembali ke tempat awal permainan untuk memenangkannya. Saat itu musim semi. Musim ketika dedaunan yang terlupakan menumbuhkan kuncup – kuncupnya dan saat ditemukannya tempat – tempat persembuyian baru. Dengan garis – garis bengkok dan pensil berwarna oranye, aku dan Mike membuat peta temapt – tempat persembuyian yang potensial untuk sepanjang tahun. Dan permainan pun dimulai.
Lalu musim semi menghilang dan datang musim panas menggantikannya. Musim yang baru pun dimulai: saatnya musim bisbol. Bersama bola – bola baru, sarung tangan tersayang, serta pemukul bola berwarna perak; aku, Mike, Ben, dan Andrew beriringan menuju Cragmont Park. Sebuah padang rumput yang dikelilingi pohon – pohon eucalyptus sehingga menambah keindahan rumah – rumah elegan di Berkeley. Tempat ini menjadi lapangan baru kami. Setelah membagi tim dan menyepakati peraturannya, kami memulai permainan. Berjam – jam dengan pukulan, lemparan, dan perdebatan antara Mike dan si Kembar menghiasi hari – hari musim panas kami. Para tetangga akan menonton pertandinagn kami dengan was – was, memerhatikan pukulan – pukuln kami karena takut tidak terkontrol dan mengenai mobil mereka yang terpanggang di bawah terik matahari. Tetapi tidak pernah terjadi apapun. Kemudian musim panas dengan cepat terbang meninggalkan kami, dan kamipun kembali masuk sekolah.
Daun – daun kunig jatuh berputar – putar dari pohon, menutupi jalan – jalan kecil menuju sekolah. Celana pendek kami diganti dengan jin. Guru – guru merampas bola bisbol kami dan menggantikannya dengan berbagai pekerjaan rumah. Aku dan Mike sering duduk alam Indian di tempat tidurnya yang berseprai biru. Pekerjaan sekolah dan pensil kunign berada di ujung jari. Gundukan permen Hallowen mengelilingi kami dan kami memilih mana yang akan dimakan, disimpan, dan dijual. Sambil mengulang pelajaran yang tidak kami mengerti di sekolah, percakapan mengenai keseharian memenuhi kamar dengan suara pelan.
Udara dingin di musim dingin menghapus seluruh kenangan kami bersama matahari. Hujan seperti tumpah dari langit. Aku sering melewati malam di rumah Mike pada waktu musim dingin. Pada tengah malam, seperti mata – mata, kami akan turun perlahan – lahan menuju istana makanan: dapur. Seperti anak – anak kelaparan, kami memenuhi perut kamidengan sandwich Triscuit, dan berlomba membuat sandwich tertinggi. Mike selalu menang. Pagi harinya Rachel akan pura – pura bertanya mengenai alasan kami “ tidak ingim sarapan karena tidak lapar “. Tetapi ia selalu tahu yang sebenarnya.
Lalu musim semi datang lagi. Musim ketika dedaunan yang terlupakan menumbuhkan kuncup – kuncupnya dan saat ditemukannya tempat – tempat persembunyian baru. Siklus itu berlanjut ... dan berlanjut.
Disinilah aku berada sekarang. Merayakan hari ualng tahun Mike. Sembilan setengah tahun persahabatan. Ini dia, anak liar yang bermain bisbol denganku. Usia membentuk jiwanya tetapi menyisakan pribadinya.
Kalimat – kalimat doa nterakhirnya menggema diantar kasu kayu di atas kepala. Aku melihatnya turun dari podium. Hadirin berdiri. Lalu dengan semangat mereka bangkit dari bangku – bangku kayu menghampiri Mike untuk memberinya selamat. Merasa kagum dan tersanjung menjadi bagian dari upacara itu, aku memandangya. Mike dengan penuh terima kasih menghampiriku. Saling pengertian merentang diantara kami.
“ Bagus “ bisikku.
Ia tersenyum.