Daftar Blog Saya

Minggu, 13 Agustus 2017

Pena

Cerpen Rika (Kompas, 13 Agustus 2017)
Pena ilustrasi Loli Rusman - Kompas.jpg
Pena ilustrasi Loli Rusman/Kompas
Subuh itu aku dilahirkan di ranjang perjudian. Orangtuaku adalah penjual lotre di sebuah kota kecil. Tante, om, tetangga, dan semua yang dekat dengan keluargaku juga senang berjudi. Saat aku lahir di sebuah rumah sakit, sebuah gelang dilingkarkan di pergelangan mungilku, sebagai tanda aku adalah anak dari ibuku. Gelang itu berisikan angka-angka. Dan semua angka-angka itu dipasang di meja lotre. Tak hanya sampai di situ saja, tanggal lahir, jam dan menitnya pun diikutsertakan. Siapa yang menyangka, mereka semua riang gembira atas kemenangan angka-angka itu. Tujuh hari berturut-turut angka-angka itu bergantian keluar menjadi pemenang. Disebutlah aku sebagai anak perempuan pembawa berkah! Saudara ayahku yang terlibat dalam salah satu keberuntungan waktu itu menceritakan padaku dengan senyumnya yang rekah dan mata yang berbinar mengingat kejadian itu.
Apakah agama mengajarkan mereka seperti itu, aku pun tidak tahu. Salah dan benar, benar menjadi salah, salah menjadi benar, kelihaian manusialah mengotak-atiknya dengan tingkah dan kata-kata, begitu susah untuk percaya pada manusia, hanya yang Maha Tunggallah yang kelak akan memberi kebenaran sesungguhnya.
Saat itu mereka memberiku nama Pena. Ayah dan ibuku berdebat mengenai arti namaku tapi sepakat atas pilihan nama itu. Menurut Ayah, Pena bisa berarti aku seseorang yang pintar menulis, termasuk menulis hidupku sendiri. Menurut Ibu, jalan hidupku sudah dituliskan, bahwa akulah pembawa keberkahan, dalam hidupku dan keluargaku. Mereka terus berdebat, padahal kedua-duanya baik menurutku. Tak ada yang keliru. Jika saat itu aku sudah mampu berbicara, maka aku akan menyela dan membuat mereka berdamai. Sejak itu aku berpikir, bahwa orang dewasa memperdebatkan hal-hal yang begitu gampang untuk disepakati, tapi mereka begitu angkuh dengan persepsi mereka masing-masing. Bagaimana nanti saat aku dewasa? Apa mungkin aku akan memperjuangkan pikiranku juga?
Musim panas berganti musim hujan, berulang-ulang demikian, tahun-tahun berganti, umurku sudah empat, dan aku mulai bersekolah. Aku disekolahkan di sebuah TK. Untuk tingkatan pertama memulai sekolah, saat itu aku ditempatkan di TK Nol Kecil, kegiatannya hanya bernyanyi-nyanyi, menari-nari, bermain-main, dan tepuk tangan, sedangkan aku tidak pandai bernyanyi, apalagi menari. Kalau bermain dan tepuk tangan aku rasa aku bisa melakukannya di rumah. Sejak saat itu aku mulai mengerti, kenapa orang dewasa senang berdebat, karena mereka memiliki kemampuan untuk berpikir. Saat otak mereka berpikir, tentunya sesuatu dari luar tidak begitu gampang dan cepat dapat diterima oleh si pemilik tubuh, yaitu pikiran itu sendiri. Maka mereka akan melakukan penerimaan atau pun penolakan. Saat sesuatu mereka rasa tidak sesuai keinginan gerak tubuh, maka ada penolakan yang besar terhadap sesuatu itu, dan itulah pertama kalinya aku tidak ingin melakukan hal yang menurutku membosankan. Aku lebih suka membaca dan menulis. Lalu karena aku pandai berunding dengan ayah dan ibu, mereka mencari akal agar aku tetap mau bersekolah.
Akhirnya orang dewasa mampu mengatasi keinginan anak kecil dengan sedikit rumit memang, mereka berdiskusi dengan sesama orang dewasa, agar memaklumi keinginan seorang anak kecil yang belum mampu berpikir dengan baik, agar menyetujui begitu saja pilihanku agar tetap mau bersekolah, bukankah mereka telah keliru menilaiku saat itu? Padahal aku rasa aku telah memikirkannya dengan baik untuk pendapatku yang satu itu. Ibu, ayah, dan kepala sekolahku yang cantik setuju, aku dinaikkan satu tingkat, aku akan masuk kelas TK Nol Besar. Kegiatannya tepat seperti apa yang aku inginkan, membaca dan menulis. Saat itu aku hanya punya tiga teman, dua perempuan dan satu laki-laki. Aku tidak suka bergaul dengan banyak orang, bahkan kadang di saat istirahat aku lebih suka sendirian. Temanku Nilam dan Lita mereka suka membicarakan hal-hal yang menurutku tak perlu untuk dibicarakan, apalagi membicarakan tentang keburukan orang lain. Sedangkan Tomi, selalu mengajak kami bermain-main di taman dan berlari-lari, aku sedikit lelah dan tak ingin bajuku menjadi basah dan bau karena keringat.
Biasanya Ayah selalu menjemput dan mengantarku sekolah. Ibu menungguku di rumah dan menyiapkan makan siang untukku sambil mengurusi jahitannya. Ibuku seorang penjahit. Ibu dan Ayah sudah berhenti menjadi penjual lotre, pekerjaan ini menurutku lebih baik.
Ada suatu hari, di mana Ayah tidak menjemputku, tapi kakak sepupuku yang rumahnya dekat dengan rumahku ditugaskan Ayah untuk menjemputku pulang dari sekolah. Ia tidak begitu tua, usianya hanya berbeda sepuluh tahun dariku. Ia menjemputku berjalan kaki, karena rumahku dan sekolah jaraknya tidak begitu jauh. Saat itu sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu ternyata belum pulang, mereka pergi ke acara pemakaman rekan Ayah. Saat itu, Dodi menemaniku di rumah. Ia mengajakku bermain dan aku mengiyakan, ia memintaku berbaring dan ia melepas rok sekolahku. Dan sejak siang itu, aku telah kehilangan diriku sendiri. Lama baru aku tahu, apa yang ia lakukan padaku adalah memperkosa! Sialan! Sejak saat itu aku lebih pemalu dan tertutup. Aku semakin takut dekat dengan orang-orang selain Ayah dan Ibuku. Termasuk kakak laki-lakiku. Aku menjaga jarak dengannya. Tapi hidup tak pernah berhenti sampai di situ, saat kau berpikir harusnya tak ada hari esok, ternyata apalah kau manusia, tak mampu mengaturnya. Matahari tetap bersinar, dan aku pun menyambutnya.
Aku ceritakan kejadian buruk itu pada Ibu, berharap tak pernah lagi bertemu dengan sepupuku itu, tetapi anehnya aku tidak mengerti kenapa orang dewasa marah tidak pada tempatnya. Ibuku, segera memukuliku dan memandikanku, ia membersihkan seluruh tubuhku dengan kasar, dan kemudian terus memukul tubuhku, sambil air mata terus-menerus membasahi pipinya dan ia terisak-isak. Aku benci melihatnya seperti itu. Ia boleh memukulku, tetapi tidak boleh menangis. Bukankah yang bersalah adalah kakak sepupuku, bukan Ibu.
Hari-hari berlalu, aku merasakan kesepian dalam hatiku, aku mengingat kenangan yang buruk. Bagaimana bisa aku menjadi perempuan yang menarik untuk seorang lelaki? Umurku baru 4 tahun. Sebelum tidur malam, aku mencari botol susu, tanpa mengedot aku tidak akan bisa tidur. Pernah suatu malam, dotku digerogoti oleh tikus yang jahat, tapi aku juga tidak berhak mengatakan tikus itu jahat. Bisa jadi tikus itu sedang haus dan lapar, atau juga memang tempat tinggalku yang begitu kumuh. Aku tidak dapat memilih sebab mana yang membuat tikus itu menghabisi dotku. Yang jelas aku begitu tergantung pada dotku. Dan apakah wajar, seseorang laki-laki menginginkan anak kecil yang masih sangat tergantung dengan botol susunya? Dan dia pun aku rasa belum cukup dewasa untuk melakukan hal itu padaku. Aku rasa dia orang gila.
Tidak hanya kali itu aku menemukan lelaki “gila” dalam hidupku. Saat aku berumur 8 tahun, aku punya tetangga baru. Mereka semua orang dewasa. Ada satu yang paling aku benci, yang kepalanya botak dan aksen bicaranya begitu mencolok. Ia yang paling sering aku pergoki mengintipku di kamar mandi saat aku mandi. Kamar mandiku dindingnya hanya dilapis oleh seng usang yang banyak lubang-lubangnya. Kamar mandiku tepat bersebelahan dengan rumah sebelah, hanya seng usang penuh lubang itu sebagai pembatas. Aku tidak hanya diintip saat mandi, tapi juga saat buang air. Aku mendengar mereka tertawa-tawa senang dan mengataiku dari dinding sebelah. Setiap kali aku ingin mandi dan buang air tanpa suara agar tidak diintip oleh mereka, tapi bagaimana caranya?
Aku semakin bingung dan menceritakannya kepada Ayah dan Ibu. Mereka hanya tertawa dan mengatakan, “Siapa yang mau mengintip anak kecil sepertimu? Ibu saja tidak pernah diintip.” Mereka tak percaya ceritaku. Maka aku pun mencari cara sendiri. Setiap mandi aku selalu memakai baju, dan saat buang air berjongkok aku menggunakan handuk menutupi kemaluanku dari depan, yang menjengkelkan adalah, mereka memberi lubang di belakang closetku! Sialan! Aku ketakutan dan bingung. Sejak saat itu aku mengutuk para lelaki yang matanya tak bisa mereka jaga dengan baik! Aku mengutuk setiap lelaki yang menyiksa perempuan dengan matanya! Aku membenci lelaki seperti itu! Seandainya saja aku bisa membunuh semua lelaki yang mengintipku, ingin rasanya aku melakukannya, tetapi aku tidak dapat. Mereka telah mencuri hak hidupku! Yaitu kebebasanku mandi dan buang hajat. Mereka patut menderita selamanya karena mata mereka! Mata yang jahat! Mata yang telah membuat seorang perempuan menderita dan terluka!
Tapi aku manusia yang tidak akan menyerah untuk melindungi diriku. Aku terus mencari cara, hingga akhirnya satu cara yang terbaik telah kutemukan. Aku menjebak mereka. Aku pura-pura buang air. Pintu kamar mandi sengaja kubuka lebar-lebar. Saat itu beruntung sekali lubang di belakangku tempat mereka mengintip itu semakin besar dan semakin terlihat dengan jelas tidak hanya mata tapi sebagian wajah. Ibuku tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi, dan melihat mereka mengintipku juga mendengar suara mereka cekikikan! Akhirnya! Sejak hari itu, ayahku memperbaiki seluruh kamar mandi. Ibu memarahi mereka dan meminta orang-orang itu segera pindah dari tempat itu. Kalau tidak, ia akan lapor polisi. Mereka pun takut dan kemudian pindah dari tempat itu.
Itu adalah satu hari terbaik dalam hidupku. Tapi hari-hari buruk yang pernah kulalui, telah terekam selama aku hidup. Aku terus mengingatnya. Aku menjadi sangat marah dan sekaligus menabung rasa takut dalam diriku.
Apa sebenarnya arti namaku? Apakah takdirku begini sialnya?
Saat aku duduk di bangku SMP ketakutanku terhadap laki-laki semakin menjadi-jadi. Aku merasa lebih aman dekat dengan perempuan. Bagiku lelaki punya senjata tajam yang tiap saat bisa saja sangat melukaiku. Aku memutuskan sejak hari itu ingin jatuh cinta pada perempuan saja. Dan aku berhasil membuat diriku menjadi seorang lesbian. Lama aku hidup dalam kekeliruan besar itu, hingga suatu hari aku merasa agama dan adat tak mengajarkan demikian. Setajamnya senjata laki-laki bagiku pada akhirnya aku tetaplah perempuan yang membutuhkan semua itu. Semakin dewasa dan berpengetahuan, aku menyadari segala hal itu. Hingga akhirnya aku berusaha membebaskan diriku dari belenggu ketersesatan ketakutanku sendiri.
Aku ceritakan pada ibuku. Dia memelukku. Suatu hari, saat aku dinyatakan lulus dari SMA, Ibu memberi tahu aku harus menikah untuk menjadi perempuan normal dan hilang dari rasa takutku. Seorang laki-laki yang baru saja bercerai dengan istrinya ingin melamarku. Ibuku menerimanya berdasarkan beberapa pertimbangan, aku pun tak jua menanyakan apa pun selain menyetujuinya. Aku ingin mengikuti segala keinginan Ibu dan ada dendam yang harus diselesaikan. Lelaki itu bernama Dodi. Malam pertama aku tak lagi menikmatinya, aku ingat rasanya sama seperti 13 tahun yang lalu, saat aku masih TK. Hanya saja kurasakan tubuhnya yang lebih besar dari yang dulu, karena ia orang yang sama, orang yang telah mencuri keperawananku sebelum waktunya. Seandainya dia sedikit bersabar, aku mungkin akan jatuh cinta tanpa rasa takut. Tapi tak apa, ada sebilah belati yang telah kuselipkan di bawah bantalku, yang sudah kuasah seminggu terakhir. Aku yakin belati itu sangat tajam, akan mampu memusnahkan dendamku.



Rika, menetap di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Peserta Kelas Cerpen Kompas2017 dengan mentor Linda Christanty, Joko Pinurbo, dan Putu Fajar Arcana. Beberapa buku karya Rika adalah Kertas Bintang (kumpulan cerpen dan puisi-2011), Istri Muda (novel-2016), Jane Fara (novel pada tahun 2017), dan Matahari dalam Hujan (antologi puisi-2017).

Manusia yang Tercipta dari Secangkir Kopi

Cerpen Iswanto (Media Indonesia, 13 Agustus 2017)
Manusia yang Tercipta dari Secangkir Kopi ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Manusia yang Tercipta dari Secangkir Kopi ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
SEKALI pun perempuan itu duduk menghadap jendela kayu berukiran khas Jepara, tapi ia tidak mengetahui apa pun yang terjadi. Padahal dari jendela itu terlihat awan beriringan, jalanan yang lengang, sesekali pejalan kaki terlihat melangkah di atas trotoar seraya membawa bungkus plastik berisi makanan.
Jika beruntung bisa menyaksikan rombongan burung merpati hinggap di atas kabel listrik, lalu turun untuk mematuk biji-bijian yang berserakan di aspal. Ketika seorang pengendara motor lewat burung-burung itu dengan segera beterbangan. Ya, siapa pun bisa menyaksikan kejadian serupa, kecuali perempuan itu. Perempuan buta yang selalu duduk di bangku yang menghadap ke jendela kayu itu.
Perempuan buta itu selalu duduk di sana. Bukan karena ia ingin. Sejak datang pertama ke kedai kopi itu beberapa tahun lalu, dalam keadaan buta, dengan baik si pemilik kedai menuntunnya lalu menyilahkannya duduk di bangku itu. Sejak itu, setiap kali ia datang ke kedai kopi, ia akan hafal jalan ke bangku yang menghadap ke jendela itu. Cukup satu kali bagi pemilik kedai menunjukan jalan karena selebihnya ia akan mengandalkan tongkat besinya menuntunnya, seolah tongkat itu adalah matanya. Mata yang mengarahkannya untuk melangkah, yang membimbingnya untuk berjalan. Namun langkahnya tidak selalu berpijak pada apa yang ia harapkan. Perempuan buta itu sadar. Sebagaimanapun sebuah tongkat ia hanya mampu menuntunnya, menunjukkannya, mengarahkannya, mengatur langkahnya, sekali lagi hanya sebatas itu, tidak seperti mata yang memperlihatkan apa yang musti terlihat. Terlebih lagi mata hati yang memperlihatkan apa yang tidak nampak.
Beberapa pengunjung yang sering mampir ke kedai kopi selalu bertanya pada pemilik kedai perihal perempuan buta itu. Jawaban si pemilik kedai selalu ‘tidak tahu’. Pemilik kedai benar-benar tidak tahu perihal perempuan buta. Yang ia tahu sebelum ia datang dan membuka kedai kopinya perempuan itu telah ada di depan pintu kedai, menunggunya membuka kedai, lalu setelah pintu dibuka perempuan itu akan duduk di bangku tempatnya biasa duduk, memesan kopi dan hanya akan meneguk kopinya satu kali, selebihnya ia hanya mengaduk-aduknya. Ia bisa saja meneguknya dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali atau bahkan berkali-kali sampai kopi habis. Tapi ia tak melakukannya. Ia hanya meneguknya satu kali.
“Mengapa kau hanya meneguknya satu kali, nona?” tanya pemilik kedai.
“Dari secangkir kopi bisa tercipta seorang manusia,” jawab perempuan buta.
Si pemilik kedai adalah orang pertama yang yakin perempuan buta itu tidak hanya buta mata, tapi juga buta pengetahuan. Ia mafhum, sebab perempuan itu buta dan kebutaannya itu yang membuatnya tidak bisa melihat tulisan dalam buku-buku pengetahuan sehingga ia tidak bisa membedakan mana air yang bisa menciptakan manusia dan air yang tidak bisa menciptakan manusia. Tapi kemafhumannya berubah menjadi kebingungan ketika ia tahu bahwa perempuan itu selalu berbicara pada secangkir kopi yang dipesannya. Walaupun esensinya sama-sama air, tetap saja fungsinya berbeda. Ya, jelas berbeda. Kopi itu berwarna hitam, sedangkan air yang bisa membuahi sel telur berwarna putih. Kopi itu encer, sedangkan air yang bisa membuahi sel telur kental. Kopi itu pahit, sedangkan air yang bisa membuahi sel telur amis. Kopi itu membuat terjaga, sedangkan air yang bisa membuahi sel telur membuat perubahan pada perut seorang perempuan. Sekali lagi jelas ber-be-da. Lantas bagaimana bisa dari secangkir kopi tercipta seorang manusia? “Kasihan perempuan itu. sudah buta, ditambah gila,” batin pemilik kedai.
***
Satu kali. Perempuan buta itu meneguk kopinya. Baginya itu lebih dari cukup. Ia tidak ingin untuk yang kedua kalinya hanya dari secangkir kopi tercipta seorang manusia yang bersarang selama 9 bulan dalam perutnya. Ia tidak pernah menduganya bahwa hanya dengan secangkir kopi, beberapa hari kemudian di pagi hari setelah ia bangun tidur badannya lemas, kepalanya serasa akan pecah, mulutnya terasa begitu mual seolah ada yang hendak keluar tapi tak kunjung keluar. Ia sangat hafal, gejala-gejala seperti itu hanya akan dirasakan oleh seorang perempuan yang tengah hamil.
“Pasti lelaki itu yang telah membuatku hamil,” gumamnya dalam hati.
Lelaki? lelaki yang mana? Semenjak buta ia tidak pernah lagi berdekatan dengan seorang lelaki apalagi sampai bersetubuh hingga membuatnya hamil. Ya, kecuali pemilik kedai yang setiap hari membukakan kedai dan mengantarkan kopi pesanannya. Tapi itu hanya sebatas pelanggan dan penjual. Di sana jarang ada percakapan. Perempuan buta itu hanya tersenyum ketika kopi pesanannya telah ada di hadapannya. Ia bisa mencium aroma kopi itu. Lagi pula setelah pemilik kedai menyodorkan kopi ia akan pergi lagi ke tempat ia membuat kopi. Selalu seperti itu.
***
Perempuan buta itu tak pernah menaburkan gula pada kopinya. Bukan karena ia tak melihat gula di mejanya. Ia lebih tertarik pada sesuatu yang terasa pahit. Salah satunya kopi. Dalam setiap tegukannya ia tidak hanya merasakan pahit dari biji kopi, tapi juga kenangan pahit bersama seorang lelaki. Lelaki yang selalu menunggunya di gerbang sekolah. Seorang lelaki yang tak pernah alpa mengajaknya ke kedai kopi. Ya, begitulah adanya.
Ia masih mengingat ketika lelaki itu menebarkan senyum setiap kali melintas di depan kelasnya sebelum ia buta. Dengan hati berdebar-debar perempuan buta itu akan membalas senyumnya dengan manis. Walau bagi orang yang memandangnya itu adalah senyum yang sengaja dimanis-maniskan.
Ya, bersamaan dengan ditelannya seteguk kopi perempuan buta jadi ingat percakapan-percakapan itu. Percakapan dengannya di antara kepulan asap kopi dari secangkir kopi yang baru saja disajikan di atas meja kedai kopi.
“Nikahilah aku setelah lulus SMA nanti,” pinta perempuan buta.
“Ya,” kata lelaki itu.
Perempuan buta tersenyum, meneguk kopinya. “Bagaimana jika kau mati sebelum menikahiku?”
“Apakah kau menyukai kopi?” Perempuan buta mengangguk. “Jika seperti itu, tenang saja. Aku akan selalu ada dalam secangkir kopi.”
“Apa yang akan kau lakukan di dalam secangkir kopi?”
“Apakah kau meminum kopi?” Untuk kedua kalinya perempuan buta mengangguk. “Setelah kau meminum kopi maka kopi yang kau telan akan masuk ke dalam lambung. Sementara jiwaku akan menyatu dengan jiwamu dan aku akan abadi dalam ingatan.” Perempuan buta tersipu malu. Tersenyum. Meneguk kopinya lagi.
Kemudian keduanya pulang diantar oleh lambung yang dipenuhi kopi. Sejak saat itu perempuan buta tak pernah menyisakan setetes kopi yang ia pesan setiap kali lelaki itu mengajaknya ke kedai kopi. Ia akan meneguknya berkali-kali sampai tak bersisa. Bahkan ia akan memesan lagi dan meneguknya berkali-kali sampai gelas benar-benar kosong.
Sebagaimanapun sebuah takdir. Ia memang tidak bisa dipinta, tidak dengan wajah memelas, tidak juga dengan lelehan air mata, pun halnya dengan bersimpuh, bahkan dengan bersujud sekali pun. Perempuan buta tak pernah lagi ke kedai kopi dan meneguk kopi. Ia hanya mengurung diri di dalam kamar setelah tahu bahwa lelaki yang selalu mengajaknya ke kedai kopi mati satu hari sebelum pesta pernikahannya berlangsung.
Lelaki itu menembakkan airsoft gun tepat di ubun-ubunnya setelah mendapat kabar dari dokter spesialis kanker bahwa penyakit yang dulu sempat sembuh sekarang kembali menjalar dalam tubuhnya. Karena itu ia dilarang keras untuk meminum kopi.
Tak ada lagi kopi. Tak ada lagi harum biji kopi. Tak ada lagi kepulan asap yang membubung dari cangkir berisi kopi. Tak ada lagi suara memesan kopi. Tak ada lagi seseorang yang mengantarkan kopi. Lebih ironis tak ada lagi seorang perempuan yang akan menemaninya meneguk kopi. Ia bertanya-tanya pada diri sendiri. “Apakah sanggup jika harus seperti itu?” Maka untuk menjawab pertanyaannya ia lebih memilih menembakkan airsoft gun tepat di ubun-ubunnya. Ia akan sangat menyesal ketika tahu perempuan yang selalu diajaknya ke kedai kopi menjadi buta karena tak pernah berhenti menangis sejak peninggalan pria itu.
Tenang saja aku akan selalu ada dalam secangkir kopi.
Pada bulan ketujuh masa pengurungan diri akhirnya perempuan buta keluar kamar. Tak ada tempat yang ia tuju selain kedai kopi. Hanya untuk membuktikan apakah ucapan kekasihnya itu memang benar adanya.
Ia meneguk berkali-kali kopi yang dipesannya. Tapi tidak sampai menambah. Tak ada apapun. Perempuan buta tak merasakan bahwa jiwa kekasihnya memang ada dalam secangkir kopi. Baru pada hari ketiga datang ke kedai kopi ia merasakannya. Ia merasakan ketika kopi yang ditelannya masuk ke dalam lambung. Bersamaan dengan itu ada sesuatu yang ganjil dirasakannya. Sesuatu yang aneh masuk ke dalam tubuhnya. Ya, itulah satu proses di mana jiwa orang mati menyatu dengan jiwa orang hidup. Perempuan buta menikmati proses itu. Proses tersebut masih berlangsung ketika ia dalam perjalanan pulang. Perempuan buta seolah tidak melangkah dengan kakinya. Ia memiliki sayap dan terbang menuju rumahnya. Kemudian proses itu akan hilang ketika perempuan buta tersadar dari tidurnya. Sungguh proses penyatuan jiwa yang unik. Ya, memang unik. Sebab ditunjang oleh secangkir kopi.
Justru keunikan itu tidak habis sampai di sana. Keunikan itu masih terus berlanjut sampai beberapa hari setelahnya. Tubuhnya lemas. Perempuan buta terus merasakan mual. Ingin muntah tapi tak bisa. Seolah ada yang hendak keluar namun tak kunjung keluar. Dan beberapa bulan kemudian barulah keunikan itu menjadi suatu kejanggalan lantaran perutnya semakin menggelembung.
“Pasti lelaki itu yang telah membuatku hamil,” gumamnya dalam hati. “Tentu, siapa lagi? Pasti ia salah. Jiwanya tidak menyatu dengan jiwaku. Tapi menyatu dengan indung telur. Lalu membuahinya dengan secangkir kopi.”
Pada usia kandungan menginjak 9 bulanmakhluk hasil pembuahan dari secangkir kopi itu keluar. Keluar sebagai manusia murni. Bukan secangkir kopi apalagi bercangkir-cangkir kopi. Perempuan buta itu yakin bahwa anak itu tercipta dari secangkir kopi. Secangkir kopi yang di dalamnya bersemayam jiwa kekasihnya.
Kendati demikian perempuan buta masih tetap ke kedai kopi dan meminum kopi walau tidak secangkir kopi. Ia hanya meneguk satu kali. Ia takut jika peristiwa serupa akan menghampirinya jika ia menghabiskan secangkir kopi, apalagi bercangkir-cangkir.
Ia akan datang lebih awal dari pemilik kedai. Menunggu di depan pintu. Lalu setelah pemiliknya membukakan pintu ia akan duduk di bangku biasa. Bangku yang menghadap ke jendela. Dari jendela tersebut siapa pun akan bisa menyaksikan jalanan yang lengang, kecuali perempuan buta. Perempuan buta tidak akan pernah melihat seorang lelaki yang selalu memperhatikannya di seberang jalan itu. Seorang lelaki yang setelah lelah berdiri memperhatikannya ia akan duduk di hadapan perempuan buta. Lalu membubuhkan serbuk soporific, obat bius ke dalam cangkir kopi yang diminum perempuan buta. Kemudian setelah perempuan buta mulai tak sadarkan diri lelaki itu akan membopongnya lantas membawanya pulang, tentunya ke rumah perempuan buta. Di rumah perempuan buta lelaki itu akan menyetubuhinya. Dari sanalah manusia yang dikandung perempuan buta berasal. Bukan dari secangkir kopi. Tapi betapa pun benar adanya, perempuan buta itu tiada akan pernah percaya bahwa ada seorang lelaki yang menyetubuhinya. Sebab ia tak sadar diri sewaktu disetubuhi.
Lelaki yang menyetubuhinya adalah lelaki yang tak pernah alpa mengajaknya ke kedai kopi. Lelaki yang mati bunuh diri satu hari sebelum pesta pernikahannya. Lelaki yang membuat perempuan itu buta. Lelaki yang memalsukan kematiannya.

Karawang, Juli 2016
Iswanto ialah mahasiswa di Universitas Pasundan Bandung. Kesehariannya diisi dengan kegiatan menulis.