Daftar Blog Saya

Kamis, 25 Januari 2018

Perempuan yang Duduk di Dekat Jendela

Cerpen Latif Fianto (Radar Surabaya, 21 Januari 2018)
Perempuan yang Duduk di Dekat Jendela ilustrasi Radar Surabaya
Perempuan yang Duduk di Dekat Jendela ilustrasi Radar Surabaya
Ini kali kedua aku melihat dia ikut kuliahku, di ruang sangat besar, di gedung D lantai empat. Dia tidak datang tergopoh-gopoh atau datang sembunyi-sembunyi, karena semester ini dia memang terdaftar sebagai mahasiswaku. Dia barangkali masuk kelas dengan langkah biasa, duduk di kursi di dekat jendela dengan sepasang matanya yang selalu dilemparkan ke pemandangan di luar.
Ketika aku masuk dan duduk di depan kelas, dia membetulkan posisi duduknya. Lalu sepenuhnya mencurahkan tatapannya padaku. Begitulah terus setiap kali ikut kuliahku.
Aku pikir, semua mahasiswa di kelas menatapku demikian karena hanya aku satu-satunya orang yang duduk di depan kelas. Mereka yang mengobrol dengan teman di sebelahnya, segera berhenti. Tetapi tidak semuanya. Kadang, masih ada beberapa yang mengobrol sembunyi-sembunyi sambil menundukkan kepala di balik punggung temannya. Aku tahu, mereka hanya pura-pura diam demi menghargaiku. Atau barangkali, mereka takut nilai mata kuliahnya menjadi mimpi buruk yang mengharuskannya mengambil lagi mata kuliah yang sama di semester depan.
Menurutku, dia sangat pendiam. Berbeda dengan salah satu temannya yang selalu berceloteh ketika aku memintanya memberikan pendapat, dan aku terpaksa harus memotong ucapannya agar temannya itu berhenti berbicara. Barangkali ada banyak orang di luar sana yang akan menganggapku sebagai dosen yang sewenang-wenang. Tak apa. Aku melakukannya agar semua mahasiswaku di kelas dapat menyampaikan pendapatnya secara merata, tanpa ketakutan, tanpa merasa kecil di hadapan yang lain. Dan tentu saja, tanpa didominasi mahasiswa tertentu.
Aku sendiri bukan dosen tetap. Dosen yang lebih senior di fakultas humaniora menyebutku sebagai dosen luar atau dosen terbang. Kadang aku berpikir, barangkali kehidupanku tidak jauh berbeda dengan seekor burung, sehingga dalam mengajar pun predikat dosen terbang perlu disematkan padaku. Ya, dosen terbang. Dosen yang tidak memiliki meja tetap di ruang fakultas, dan hanya pergi ke kampus bila ada jadwal mengajar, atau bila ada panggilan darurat dari dekan. “Tak apa. Sebuah tempat memang harus diperjuangkan,” kata dekan padaku suatu ketika.
Setiap kali mengajar, aku selalu mendapati perempuan itu duduk di dekat jendela. Dia memang menyimak penjelasanku. Tetapi ketika perhatianku tercurah pada salah seorang mahasiswa yang menyampaikan pendapat di sela-sela penjelasan, dia memilih membuang muka ke luar jendela. Kadang, aku pura-pura menyisir seisi kelas, mencari mahasiswa yang sibuk dengan dirinya sendiri. Padahal yang sebenarnya, aku ingin memperhatikan perempuan itu. Saat dia melempar pandangannya ke luar jendela, aku bisa memperhatikan hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tebal dengan pahatan sempurna.
Kalau kebetulan aku menatapnya dan dia juga kebetulan memperhatikanku, tampak dari kejauhan sepasang matanya yang cerlang. Bola matanya hitam pekat, dikelilingi warna putih yang bersih. Tetapi, kecerlangan matanya seakan menyimpan banyak rahasia. Dan keindahan wajahnya seolah menyembunyikan ribuan kesedihan.
Jujur, meski seorang dosen, aku juga seorang manusia. Hatiku tidak terbuat dari batu. Jadi, aku bisa merasakan detak jantungku ketika diam-diam memperhatikan wajah perempuan itu. Hanya saja aku tidak bisa dengan sengaja memanggilnya demi urusan lain selain urusan kuliah. Lagi pula, aku bukan tipe lelaki yang berani terus terang. Aku bisa menjelaskan banyak hal di depan banyak orang dengan baik, tapi tidak dengan perkara-perkara yang menyangkut perempuan.
Untuk urusan begini, kadang aku merasa tidak tahu diri. Tidak pantas seorang dosen memperhatikan diam-diam mahasiswanya. Apalagi jika sampai mengajaknya kencan di Sabtu malam. Hal-hal semacam ini banyak sekali terjadi, dan menurutku itu tindakan yang tidak etis. Dan pada kesempatan-kesempatan tertentu, aku bahkan merasa lebih tidak tahu diri lagi. Untuk membuktikan bahwa aku dosen yang pantas dihormati, misalnya, aku dengan sangat egois menjelaskan sesuatu panjang lebar di depan kelas, sementara sebagian besar mahasiswaku hanya melongo di kursinya. Tak peduli mereka mengerti atau tidak, aku tetap saja menjelaskan, seakan-akan akulah satu-satunya sumber pengetahuan.
Aku merasa, barangkali semua orang memiliki sifat dan sikap yang sama sepertiku, berbusa-busa di depan banyak orang hanya supaya dianggap memiliki pengetahuan luas. Manusia memang sangat egois. Demi mengejar kepentingannya sendiri, mereka dengan tanpa beban mengesampingkan kepentingan orang lain. Yang penting urusan gaji lancar. Citra diri meningkat. Massa semakin banyak. Hidup membuat kelompok-kelompok. Berkubu-kubu. Lalu saling hujat dan menjatuhkan.
Manusia-manusia egois sudah menghuni seluruh sudut bumi. Dan aku, aku yang hanya memiliki ilmu tak sampai seujung kuku ini, merasa telah menjadi bagian dari mereka. “Tak apa. Seorang dosen memang harus terlihat pintar di depan mahasiswanya,” kata salah satu rekan dosen saat kami sedang mengobrol di ruang fakultas.
Aku hanya tersenyum.
“Bagaimana, sudah ada mahasiswimu yang kecantol?” tanyanya kemudian sambil menggerakkan alis.
Sekali lagi aku hanya tersenyum sambil mengambil ponsel dari dalam saku. Aku tidak terlalu kaget mendengar pertanyaannya. Kendati seorang dosen dan usiaku sudah mendekati kepala tiga, aku masih setia sendiri. Rekan-rekanku yang lain di warung kopi sering menganggap bahwa aku tidak berhasil melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu. Dari bayang-bayang seorang perempuan yang hampir aku nikahi, tapi gagal karena masalah ketidakpercayaan pada masa depan. Orang tuanya tidak yakin aku memiliki masa depan yang cerah. Maka perempuan itu, masa laluku itu, dikawinkan dengan lelaki lain yang sudah memiliki gaji dari pekerjaannya sebagai karyawan pabrik.
“Coba kau lihat ini!” kataku sambil menyodorkan ponsel. Di layarnya terpampang wajah seorang perempuan.
“Siapa?” tanyanya seraya memperhatikan lekat-lekat gambar wajah perempuan itu.
Aku tidak menjawab. Aku hanya tersenyum dan membatin, “Dia seorang perempuan yang selalu duduk di dekat jendela di kelasku.”
Aku tidak tahu apakah di kelas lain, dia juga melakukan hal yang sama. Duduk di dekat jendela sambil memperhatikan pemandangan yang jauh di luar. Tetapi di kelasku, dia selalu melakukannya. Aku penasaran, rahasia apa sebenarnya yang ada di balik matanya yang cerlang itu. Kedua mata itu seperti mengandung kisah-kisah. Seolah sepasang mata yang ingin bercerita.
“Kau tahu cara membuka tabir rahasia yang tersembunyi di balik mata?” tanyaku dengan suara sangat pelan.
“Rahasia?”
Aku mengangguk. “Ya, rahasia yang tersembunyi di balik pancaran mata.”
“Itu sulit. Tapi, coba kau tatap matanya dalam-dalam. Mungkin bisa membantu.”
“Apakah akan berhasil?”
“Aku tidak tahu. Tetapi, tak ada satu rahasia pun di dunia ini yang tidak dapat terkuak.”
Seperti biasa, kuliah hari Sabtu hampir selalu membosankan. Semestinya hari ini tak ada kuliah. Tetapi kelas tambahan selalu membuatku tak bisa melakukan lebih banyak hal di akhir pekan. Aku sendiri sejak gagal menikah belum pernah menghabiskan malam minggu atau merayakan hari libur. Aku tak merasa perlu merayakannya. Demi apa? Toh, bagi seorang lelaki sepertiku menghabiskan malam minggu berarti merayakan sebuah kehilangan. Toh, merayakan hari libur bukan jaminan bahwa seseorang tidak sedang sebatang kara.
Seusai kuliah kelas kedua aku meninggalkan kelas. Aku turun lewat tangga yang menghubungkan gedung D dengan gedung C. Dari sana aku melihat perempuan itu berdiri di dekat tangga menghadap arah utara. Dia mengenakan kerudung warna hitam kombinasi putih motif bunga-bunga. Hidungnya mancung menikung. Bibirnya yang tebal berwarna merah delima. Aku mencoba mendekatinya sambil menyunggingkan senyum ketika tiba-tiba dia menyadari kedatanganku. Dia membalas senyumku. Senyum yang hangat.
“Kau tidak pulang?” sapaku lebih dulu.
“Belum, Pak,” balasnya. Lagi-lagi senyumnya tersungging dari bibirnya yang merekah.
Aku melirik kerudungnya, yang entah kenapa begitu serasi dengan warna wajahnya. Kami berhadap-hadapan. Aku yakin dia melakukannya sebatas karena ingin menghormatiku. Kutelisik wajahnya sesamar mungkin. Sepertinya tak ada yang berubah. Wajah itu masih tetap sama. Begitu melankolis, serupa wajah yang mengabarkan kesedihan sebuah kota. Ya, sebuah kota yang dibangun lalu diruntuhkan. Dibangun lagi, lalu dihancurkan lagi. Hidungnya semacam puncak Bukit Kuil yang diperebutkan. Pipinya adalah sungai darah dan air mata yang mengalir tanpa lelah.
Dan matanya, ya, matanya itu, jelas sekali mengandung kisah-kisah. Mungkin kisah kelam. Atau juga semacam ketakutan-ketakutan. Tidak begitu jelas memang apa yang ada di balik pancaran matanya. Aku hanya menangkapnya sebagai kesedihan yang tak berujung. Dia yang selalu termenung. Dia yang selalu merasa sendiri. Dia yang selalu menunggu, tanpa tahu siapa yang harus ditunggu. Dia yang kadang merasa kehilangan tanpa tahu apa yang telah benar-benar terenggut dari dirinya.
“Pak, Bapak,” dia melambai-lambaikan tangannya padaku. “Kenapa Bapak melihat saya seperti itu?”
Aku terkesiap dan segera menggelengkan kepala dengan cepat dan tegas. Kusunggingkan senyum getir bercampur malu. Entah bagaimana raut mukaku sekarang. Barangkali semerah kepiting rebus. Tetapi, segera aku kuasai keadaan. Dengan wajah ragu-ragu aku perhatikan kembali wajahnya, berusaha menelisik matanya yang tajam.
“Apakah kau punya kisah kelam?”
Perempuan dengan wajah indah itu kaget mendengar pertanyaanku. Kemudian dia menggeleng setelah menyadari aku masih menunggu jawabannya. Aku tersenyum. Dia membalas senyumku. Mungkin dia ingin berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Tetapi, kebeningan matanya itu, keindahan lekuk wajahnya itu, tak dapat menyembunyikan perkara-perkara pilu yang melilit hidupnya. Saat itulah aku menyadari sesuatu. Setiap orang memiliki kisah kelamnya masing-masing. Dan dia, agaknya, tidak mau aku mengetahuinya. (*)

Malang, 2017
*Penulis adalah pengajar di Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang.

Hikayat Penyakit Hati

Cerpen Setia Naka Andrian (Tribun Jabar, 21 Januari 2018)
Riwayat Sakit Hati ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar.jpg
Riwayat Sakit Hati ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
AKU ingin suatu saat menemukan orang yang menjual hati. Merelakan salah satu organ terpenting dalam tubuhnya untuk dijual kepadaku yang kali ini sangat membutuhkan. Tentunya hati yang belum terluka seperti hatiku ini. Berapapun harganya pasti akan kubeli. Karena setidaknya aku masih memiliki sisa warisan rumah beserta tanahnva, itu satu-satunya. Apa pun taruhan untuk mcndapatkan hati yang baru, pasti akan kukorbankan. Aku pun mau bila orang itu menghendaki tukar tambah dengan hatiku, walaupun nantinya orang itu akan menanggung beban hatiku.
Sungguh, aku harus segera menemukan hati, ke mana pun akan kucari. Karena kali ini aku merasa tak punya pilihan lain. Sakit hatiku telah terlampau akut. Tak ada yang mampu menyembuhkan. Beberapa kali berkunjung ke bermacam-macam ahli psikologi, hasilnya tetap saja nihil. Beberapa kali hinggap di tempat-tempat hiburan dengan berbagai macam minuman keras termahal yang kutenggak hingga ke sebuah lokalisasi dengan sejuta perempuan label atasan, namun semuanya tak mampu mengobati. Karena hati, aku telah kehilangan hatiku. Termasuk kedua orang tuaku dan seorang adikku, mereka mati terbunuh perempuan yang sempat mengaduk-aduk hatiku.
Perempuan itu telah menggondol seluruh isi rekening dan surat-surat tanah milik keluargaku yang sebelumnya telah dipercayakan semua kepadaku. Harta yang seharusnya digunakan untuk pengobatan bapakku yang sedang mengidap kanker mata yang sangat ganas. Akhirnya bapakku meninggal.
Selanjutnya ibuku sakit-sakitan akibat tertekan hatinya, lagi-lagi karena hati. Ibuku mati karena tertekan akibat kematian bapakku dan karena belum bisa menerima setelah kehilangan seluruh harta benda yang telah lama dikumpulkan, yang sebelumnya diniatkan pula untuk naik haji bapak dan ibuku. Karena ibuku terlampau memikirkan itu dengan hati, akhirnya ibuku menyusul bapakku.
Setelah itu giliran adik perempuanku yang sejak lahir mengidap keterbelakangan mental, dan karena sudah tidak ada lagi yang mengurus. Maka ia dibawa oleh tetangga ke sebuah panti asuhan. Namun sungguh malang nasib adikku, setelah beberapa bulan dititipkan, panti asuhan itu terlibat kasus penjualan anak.
Akhirnya adikku pun resmi hilang, hingga sekarang belum ada kabar yang jelas. Ada yang bilang dijual di luar negeri, dijadikan apa aku kurang tahu. Yang pasti kepolisian pun tak becus mengusut kasus tak berduit itu. Karena keseluruhan korbannya adalah anak dari orang-orang terpinggirkan dan bahkan anak-anak yang sudah tidak memiliki keluarga atau sanak saudara. Aku pun akhirnya mencoba ikhlas kehilangan bagian hidupku yang terakhir dan satu-satunya itu.
***
SUATU hari aku mencoba keluar rumah, berjalan mengikuti langkah yang entah menuju ke mana. Yang pasti, tujuan utamaku adalah menemukan hati. Setiap menemui orang, aku menanyakan di mana ada toko, warung, atau apa saja yang menjual hati. Namun mereka malah menganggap aku gila dan mengumpat yang macam-macam kepadaku. Aku tidak memedulikannya, aku terus berjalan dan makin menjauh dari rumah, terus berlari meninggalkan makin jauh.
Setelah berjalan cukup jauh, aku melihat kerumunan orang. Aku pun langsung mendekati. Siapa tahu di situ sedang ada perhelatan tawar-menawar hati. Benar, ramai sekali. Aku makin yakin kalau di situ sedang ada tawar-menawar hati. Benar sekali, aku mendengar mereka meneriakkan hati, “Hatimu rusak! Kau sungguh rusak! Kau taruh di mana hatimu, Kakek?”
Ternyala benar, kakek tua itu terluka. Darahnya mengucur di sekujur tubuh dan membasahi bajunya di sekitar dada. Ia pasti sedang ada masalah mengenai hatinya. Mungkin ia senasib denganku atau mungkin ia sedang mempertahankan hatinya yang hendak dirampas orang-orang itu. Ya, aku harus segera berbuat sesuatu untuk menyelamatkan kakek tua itu.
“Maaf, Tuan-tuan! Mau kalian apakan kakek tua tak berdaya ini? Apa salahnya hingga ia diperlakukan seperti ini?”
“Hai, bocah ingusan, tahu apa kau ini? Jangan ikut campur urusan kami!”
“Ya, kau tidak tahu apa-apa! Mending kau pergi jauh dari sini! Sebelum kami akan mencelakakanmu juga!”
“Ya, cepat lekas pergi!”
Sial, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku harus cari cara untuk dapat menolong kakek tua ini. Tanpa banyak pikir, aku langsung membawa lari kakek tua itu. Kuseret dari mereka dan langsung kubopong di bahuku. Untungnya berat badannya ringan, tubuhku juga masih kekar. Jadi aku dapat leluasa membawanya lari. Walaupun dengan sedikit tergopoh, aku lari dan mereka tetap mengejarku. Sampai di tikungan aku langsung menyelinap di semak. Aku mengendap-endap sambil menyibak jalan agar menghindar dari kejaran mereka.
Syukurlah, aku telah lari jauh dari kejaran mereka. Walaupun tergopoh dan sungguh terengah-engah. Kududukkan kakek tua ini di suatu tempat yang cukup aman dari kejaran mereka. Ia nampak gemetaran dan nyaris tak mampu berbuat apa-apa. Darah masih juga mengucur dan membasahi sekitar dadanya.
Hingga itu membuat aku tak tega untuk menanyakan sesuatu kepadanya. Sepertinya aku harus mencari sesuatu agar dapat menenangkannya. Mingkin ia lapar. Benar, sepertinya begilu. Wajahnya terlihat begitu pucat. Bibirnya memutih dalam giginya yang menggigil. Hingga ia tak mampu mengucap sepatah kata pun untuk merespon kehadiranku yang mungkin cukup asing baginya. Ya, aku harus segera mencarikannya makan. Apa saja, yang penting dapat mengganjal perutnya.
***
TERNYATA benar, ia begitu kelaparan. Tanpa keluar kata atau sekadar sapa, ia langsung melahap beberapa pisang yang kubawakan dari memetik di pohon sekitar. Setelah itu ia terdiam dan memandangiku dengan penuh tanya yang aneh. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu, bibirnya tampak bergeming. Benar sekali, ia ingin berkata sesuatu. Ya, tubuhnya makin mendekatiku dan tangannya berusaha meraih tubuhku.
“Anak muda,” datar suaranya menyapaku.
“Ya, Kek.”
“Kenapa kau menolongku?”
“Karena Kakek sedang membutuhkan perlolongan, maka aku berhak untuk menolongmu, Kek.”
“Sederhana itukah?”
“Sebenarnya tidak juga, Kek.”
“Lalu?”
“Awalnya aku tertarik ingin mendekati kerumunan waktu itu karena aku mengira saat itu sedang ada perdebatan tawar-menawar hati, maka seketika aku langsung berniat untuk mendekat.”
“Adakah sesuatu tentang hati yang kau maksud?”
“Aku sedang ingin mencari hati untuk menggantikan hatiku, Kek.”
“Maksudmu, hati yang termasuk salah satu organ tubuh manusia atau hati tentang perasaan manusia?”
“Keduanya, Kek.”
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha.”
“Kenapa Kakek tertawa?”
“Kau gila!”
“Aku gila, Kek?”
“Ya, kau gila yang akut.”
“Maat Kek, bukannya kata mereka hati kakek juga gila?”
“Ya, benar katamu. Hatiku memang gila. Tapi kenapa kau mau menolongku? Yang ternyata kau sudah tahu kalau hatiku gila. Apakah kau ingin mencari hati yang gila? Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha.”
“Sebenarnya tidak, Kek. Aku ingin mencari hati yang masih bersih. Hati yang mampu memberiku ketenangan, hati yang mampu meneduhkan hidupku. Intinya, ya, hati yang tidak seperti hati yang kumiliki sekarang ini, Kek. Sakit hatiku terlampau akut. Tak ada yang mampu menyembuhkan. Beberapa kali berkunjung kepada bermacam-macam ahli psikologi, hasilnya tetap saja nihil….” Lalu aku bercerita tentang penyakit hatiku.
“Ya, aku cukup paham dengan masalahmu. Maukah kau menukar hatimu dengan hatiku?”
“Kakek yakin mau memberikan hati itu untukku?”
“Bila kau mau, ambillah. Silakan, aku juga sudah terlalu tua dan aku rasa kau yang lebih membutuhkan hatiku yang sudah terlampau renta ini. Hidupku pun pasti tidak akan lama lagi.”
“Tapi Kakek tidak memiliki penyakit hati, kan? Selain hati yang gila itu, Kek?”
“Ya, tak ada. Aku hanya memiliki penyakit itu saja, hati yang gila, itu pun hanya kata orang saja.”
“Ya, kalau begitu aku mau, Kek.”
***
AKU sangat bahagia. Langsung saja Kakek dan aku sepakat untuk bertukar hati. Terasa tak pcrcaya dan tak sadar, aku merobek dadaku dan dada Kakek itu dengan sebilah batu tajam. Lalu kami saling bertukar hati. Kakek itu merasa sangat kesakitan setelah kucongkel hatinya, begitu pula aku. Setelah hati kami bertukar, tubuh dan perasaanku terasa ringan dan melayang-layang. Sepertinya ada sesuatu yang aneh, begitu pula yang terjadi di sekitarku.
Pohon-pohon dan segala tumbuhan berubah menjadi wama-warni yang menyala indah dengan beraneka wewangiannya. Kakek itu pun tiba-tiba lenyap entah ke mana, dan tiba-tiba banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru. Mereka mendekatiku, tangan mereka mencoba meraihku dan sepertinya hendak mengambil hatiku. Mereka meremas-remas dadaku. Semakin keras dan menggila, terus meremas dan mengeroyok berebut tubuhku, mereka berteriak, “Beri aku hati! Hatiku kesakitan! Aku ingin memiliki hati yang sehat! Beri aku hatimu! Aku ingin memiliki hati yang suci! Hati itu ada di tubuhmu!”

Sanggargema, Desember 2016-2017
Setia Naka Andrian lahir di Kendal, Jateng, 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang. Cerpennya tergabung dalam antologi Bila Bulan Jatuh Cinta (2009), Bukan Perempuan (2010), Antologi Cerpen Festival Bulan Pumama Majapahit Trowutan (2010), Tanda (2010), Tatapan Mata Boneka (2011), dan Perempuan Bersayap di Kota Seba (2011). Meraih Penghargaan Acarya Sastra 2017 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Menjadi Tua


Cerpen, Tribun Jabar, Yetti A. KA

Menjadi Tua

 
 
 
 
 
 
1 Votes

Cerpen Yetti A.KA (Tribun Jabar, 14 Januari 2018)
Menjadi Tua ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar.jpg
Menjadi Tua ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
MIKI tidak menduga akan tua bersama ayah dan ibunya. Mereka bertiga duduk di kursi masing-masing dan membicarakan rajutan yang belum selesai dan menyesalkan kenapa tetangga tidak segera memperbaiki gcnting rumahnya yang nyaris berjatuhan ke halaman rumah mereka. Ayahnya tidak terlalu suka bergosip—menurut ibunya, ayahnya itu hanya ingin tampak bertentangan dengan mereka— dan memilih mempermasalahkan kuku kaki yang cepat sekali panjang dan ia susah payah berdiri untuk mengambil gunting kuku di laci lemari di ruang tengah. “Lihatlah, ia berpikir hidup ini hanya soal memotong kuku,” sindir ibunya. Meski mereka berusaha keras untuk tidak saling menyakiti, tetap saja ada saat-saat yang membuat kebersamaan mereka diisi dengan perselisihan kecil. Ibunya lebih rewel di antara mereka. Ayahnya tampak tidak ingin mempermasalahkan apa pun, tapi sebenarnya semua adalah masalah baginya. Miki sendiri—dan sungguh ia terkejut menyadari ini—berubah menjadi perempuan kikir dan suka menyembunyikan makanan di petak lemari dalam kamar dan itu membuat ibunya berpikir bahwa mereka akan segera mati kelaparan saat menunggu makanan itu keluar dari persembunyiannya.
“Seharusnya kau menggunakan benang yang merah untuk topi itu,” kata ibunya. Miki menepuk seekor nyamuk dan darahnya (bersama bangkai nyamuk itu) menempel di betisnya. “Apa Ibu bilang?” tanya Miki sambil menggosok-gosok bekas darah yang mulai samar. Ibunya sudah tidak berminat membahasnya dan beralih ke masalah genting tetangga mereka lagi. Ayahnya telah kembali dan membawa gunting kuku. Sebelah kakinya bengkok, tapi ia tidak mau menyerah di kursi roda. Ayahnya tak bisa menjadikan tangan sebagai pengganti kaki. Maksud ayahnya tentu saja bila ia berada di kursi roda, maka tangannyalah yang akan bekerja keras menggerakkan kursi itu dan membawanya ke mana-mana. Tangan itu sudah bekerja terlalu keras sewaktu ia muda—sama juga seperti anggota tubuh lain sesuai fungsinya. Cara ayahnya berpikir itu menggambarkan sepenuhnya bagaimana wataknya selama itu.
Tetangga mereka, sepasang orang tua yang sudah lama tidak bisa lagi bepergian ke mana-mana—sama seperti mereka bertiga. Untuk pertama kali, ibunya merasa beruntung memiliki Miki yang mau menjadi tua bersama-sama dan tinggal di rumah untuk saling menjaga satu sama lain. Anak-anak pasangan tetangga mereka itu menetap di kota lain, sibuk dengan keluarga sendiri, dan hanya sesekali menengok kedua orang tuanya yang salah satu di antaranya nyaris buta. Bila mereka datang, rumah sebelah akan ramai sekali dengan suara anak-anak—ibunya sempat mencela, seharusnya mereka tidak hanya bisa ribut saja, melainkan juga membawa oleh-oleh yang banyak dan memberi sedikit kepada tetangga dekat. Untuk sementara, ibunya akan melupakan masalah genting yang nyaris berjatuhan ke halaman rumah mereka dan menunjukkan rasa iri terhadap tetangga yang sedang berbahagia itu. Ibunya bilang, “Semestinya kita punya beberapa bocah di rumah ini.” Ia kembali mengungkit rencana pernikahan Miki yang gagal tiga puluh tahun lalu dan kakaknya yang tidak pernah kembali lagi setelah membuat masalah yang mengubah banyak hal dalam keluarga mereka. Miki bilang, “Hentikan, Ibu.” Ayahnya menggeram. Biasanya ia selalu begitu bila terjadi ketegangan antara Miki dan ibunya. Mungkin ia berpikir, Miki dan ibunya dua ekor anak anjing yang sama-sama nakal.
“Ayah!” teriak Miki. Ia lihat ayahnya memotong kuku terlalu pendek dan ujung jempol kaki itu berdarah. Ibunya tiba-tiba ingin melanjutkan rajutannya dan meminta Miki mengambilkan peralatannya di atas meja di ruang belakang. “Kuku Ayah berdarah,” kata Miki sebelum masuk ke dalam rumah untuk mengambil kotak obat. Ibunya merajuk dan memutar-mutar kursi karena tidak mendapat perhatian.
Tahun ini, Miki berusia 61. Ayah dan ibunya masine-masing menuju umur 90 dan 87 tahun. Mereka sudah lama tidak merayakan ulang tahun. Namun, ibunya punya kebiasaan menambah satu garis merah di bawah nama yang ditulis di dinding lemari pakaian bila salah seorang dari mereka berulang tahun. Tahun ini, Miki sudah memiliki 61 garis di bulan Januari lalu. Garis-garis di bawah nama kakaknya berhenti di hitungan 35—dan itu pun ditutup oleh garis yang seolah ditulis dengan tangan gemetar. Keluarga mereka belum pernah berurusan dengan polisi sebelum kakaknya dinyatakan terlibat kasus penipuan besar-besaran dan ia melarikan diri ke luar kota tanpa memberi kabar apa pun hingga hari ini. Kehilangan anak lelaki, bagi orang tuanya, merupakan pukulan yang membawa kehancuran luar biasa dalam hati mereka. Ibunya tidak terlalu mengharapkan Miki akan tinggal bersamanya di hari tua ketika setiap pagi ia masih menemukan anak lelakinya di dalam kamar. “Kau terlalu berpikiran bebas,” kata ibunya dulu tentang Miki, “kau menghabiskan waktumu untuk menentang apa pun.” Ayahnya tidak terlalu menunjukkan kepada siapa ia berharap menghabiskan masa tua, tapi Miki tahu sekali bagi ayahnya hidup bersama anak lelaki—seperti kebanyakan harapan keluarga patriarki lain—merupakan hal yang paling diinginkannya dalam hidup ini.
“Kau tidak mendengar keributan di sebelah?” tanya ibunya berhenti memutar-mutar kursinya begitu Miki kembali. Miki memperhatikan kuku jempol kaki ayahnya vang berdarah. Ayahnya tidak membiarkan Miki melakukan sesuatu atas kuku jempol kakinya itu. Ia justru senang memandangi darahnya. “Ayah terluka dan harus diobati,” kata Miki. “Mereka sedang berkunjung dan membuat keributan,” kata ibunya. “Siapa?” tanya Miki tanpa mengalihkan mala dari luka di jempol kaki ayahnya. “Bocah-bocah itu,” jawab ibunya. “Kita semua sudah tahu apa yang biasa mereka lakukan,” ujar Miki. “Genting itu sebaiknya mereka perbaiki,” kata ibunya. Maret ini angin sering berembus kencang, ditambah guyuran hujan sangat lebat. Ibunya benar. Bila tidak segera dibongkar, atap itu sungguh-sungguh akan runtuh. “Kau tidak mendengar suara bocah-bocah itu?” tanya ibunya lagi. Ayahnya mulai mengeluh. Mungkin luka di ujung jempolnya pelan-pelan terasa sakit. “Sebaiknya diobati,” kata Miki kembali membujuk. “Jangan menulis surat kepada Miki,” kata ayahnya sambil merintih. “Ini aku, Ayah,” kata Miki. Ayahnya mulai meributkan bahwa ia akan segera mati dan ia tidak mau ada orang yang menulis surat kepada Miki sebelum anak itu selesai ujian. Miki sekarang persis berjongkok di depan ayahnya yang sama sekali tidak mengerti akan hal itu. Ayahnya sedang mengalami kekacauan ingatan. Ia kembali ke masa Miki masih tinggal jauh dari mereka dan sibuk dengan kuliah-kuliahnya dan ayahnya sekarat selama satu bulan tanpa tanda-tanda kesembuhan dan terus-menerus berkata: Aku akan mati, jangan beri tahu Miki sebelum dia selesai ujian.
“Ayah,” kata Miki, “berikan kakinya kepadaku.” Ayahnya tetap tidak mau. Kini ia berguling di lantai. Ibunya menganggap bocah-bocah di rumah sebelah baru saja memecahkan sebuah mangkuk. “Semua anak kecil begitu,” kata Miki. Miki ingat cerita ibunya tentang ia dan kakaknya yang membuat gelas dan piring di dalam rak berkurang setiap harinya. “Jangan beri tahu Miki,” kata ayahnya lagi. “Ini aku, Ayah,” kata Miki putus asa. “Mereka akan membuat pecah semuanya,” ibunya berkata gelisah. Ayahnya tetap saja berada dalam pengaruh ingatan puluhan tahun lalu dan waktu itu ibunya memang sama sekali tidak menulis surat kepada Miki. Ayahnya dirawat di rumah sakit, berminggu-minggu, dan ibunya berhasil menyembunyikan semua itu dari Miki dengan sangat sempurna. Lalu, karena ayahnya tidak sembuh-sembuh juga, sementara uang sudah habis karena kakak lelaki Miki terus pula menggerogoti harta mereka, ditambah biaya rawat rumah sakit dan dokter dan cek laboratorium dan segala macamnya yang tak kunjung menemukan penyakit ayahnya itu, maka tidak ada pilihan lain, mereka harus berhenti. Dalam keadaan sekarat ayahnya dibawa pulang. Ya, ayahnya sekarat. Itu bukan lelucon. Dan sedikit pun Miki tidak tahu. Barangkali saat itu ia baru pulang dari kuliah umum feminisme atau sedang nonton film Amerika di bioskop.
Jika kemudian ayahnya masih ada hari ini dan selamat dari sekarat, itu berkat percikan air suci yang diberi doa-doa dari sepupu jauhnya. Miki tidak pernah mempertanyakan soal air itu, juga soal doa apa yang diucapkan sepupunya yang paling taat beragama ketimbang mereka semua. Namun, menurut ibunya, kesembuhan ayahnya itu berkat keinginan kuatnya untuk tetap hidup. Ibunya bisa jadi benar. Kalau saja ayahnya—termasuk ibunya dan mungkin juga nanti Miki—bukan orang yang bersemangat atas kehidupan, ia tak mungkin masih ada di dunia ini di saat kebanyakan teman-teman sebayanya sudah menyerah sebelum usia tujuh puluh tahun.
“Seharusnya kau menggunakan benang merah untuk topi itu,” kata ibunya. “Topi?” tanya Miki. Ibunya mengingatkan bahwa Miki sudah memilih benang yang salah dan sebaiknya ia membongkar dan merajut ulang. “Jempol kaki Ayah luka,” kata Miki tidak mau membahas masalah topi yang ia buat enam bulan lalu itu dan sekarang ia sudah lupa di mana menyimpannya. Ayahnya sudah berhenti berguling di lantai. Ia bangkit dan duduk di kursi seolah sudah melupakan semuanya. “Kaki Ayah tetap harus diobati,” kata Miki. Ibunya tampak tidak puas. “Kau harus mengatakan kepada mereka soal genting itu,” kata ibunya setengah menjerit. “Kemarin sudah, Ibu,” balas Miki. Ayahnya mengulurkan kakinya dan Miki cepat-cepat mengoleskan obat merah. Obat merah di jempol kaki itu perlahan mengering dan tampak berkilau. Miki memandanginya dengan takjub seolah tengah melihat cahaya emas matahari sore hari di musim panas. “Lukanya akan segera sembuh, Ayah, jangan cemas ya.”
Miki duduk kembali di kursinya, tepat di antara ayail dan ibunya. Mereka bertiga memandangi jalan. Ibunya terkantuk-kantuk— kepalanya yang tampak kecil dengan siss rambut di beberapa bagian membuatnya mirip bayi seekor burung. Mata ayahnya terbuka lebar, tapi ia seperti tengah tidur. Miki mendengar seorang bocah menangis dan suara-suara lain di rumah sebelah. Awan makin tebal di langit. Kalau saja sore ini hujan turun lebat disertai serangan badai, maka genting-genting itu pasti akan berjatuhan di halaman rumah mereka. “Seharusnya kau menggunakan benang merah untuk topi itu,” kata ibunya dengan suara yang lemah.

Rumah Kinoli, 2017
Yetti A. KA kumpulan cerpen terbarunya Pantai Jalan Terdekat ke Rumahmu.

Pohon Tembuni

Cerpen A.Warits Rovi (Padang Ekspres, 21 Januari 2018)
Pohon Tembuni ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Pohon Tembuni ilustrasi Orta/Padang Ekspres
P ohon itu besar dan tinggi dengan rerimbun daun seperti membelai langit. Tumbuh memayungi makam keramat, sambil sesekali meluruhkan daun atau bunganya ke datar nisan, seolah sedang mengirim surat kepada arwah yang jauh bermukim dalam kesunyian.
Pohon itu berkulit kasar, berceruk dan berlekuk, diparam warna hitam lembap mirip gambar peta, dan koloni-koloni semut asyik membuat lintasan ke jalur yang dipadati sisa-sisa sesajen di antara kulit yang hitam lembap. Lalu bergerombol semakin ke atas, dan menyebar ke dahan-dahan belukar, sebelum akhirnya mengerubung periuk-periuk berisi tembuni yang bergelantungan di dahan-dahan. Semut-semut itu lantas keluar dari periuk, mengusung kepingan-kepingan benda halus mirip retakan kulit kayu. Kompak semua koloni semut mengusung benda halus itu menuju sarangnya, di celah apitan akar belukar, tepat pada pangkal yang dipunggungi batu besar.
Rakso mengamati hilir mudik semut-semut itu hingga ia rela mengintip sarangnya dari dekat. Kadang kala ia mendongak pada puluhan periuk berisi tembuni yang bergelantungan di dahan-dahan. Lalu bola matanya pindah lagi ke bawah, fokus ke semut-semut yang mengusung makanan ke sarangnya.
“Anakku!” ia memungut satu kepingan benda yang tengah diusung beberapa semut sambil berurai air mata. Setelah berhasil meniup hempas semut-semut yang mengerubungi benda yang ia pungut, Rakso langsung menciumnya sembari menangis. Bahunya berguncang-guncang, wajahnya merah, dan ia merasakan sebuah tikaman dalam dadanya. Ia harus bisa memastikan posisi periuk bercat biru di bagian bawahnya yang pernah Lin serahkan kepada petugas Buju’ Tamoni [1] dua tahun lalu, dan Rakso harus berhasil mengambilnya dengan segera.
***
Kabar perihal pohon tembuni bermula dari bibir Ki Sahruni, sebelum akhirnya mendekam di kepala Lin hingga Lin membuat keputusan-keputusan. Pagi itu Lin sengaja datang ke rumah kakeknya untuk menanyakan tentang pohon tembuni yang pernah didengarnya beberapa tahun lalu. Lin berharap pohon itu bisa jadi jalan keluar bagi masalah yang tengah ia pikul.
Setelah dengan cakap pembuka yang begitu lihai Lin karang, akhirnya Ki Sahruni—dengan tanpa diminta—bercerita tentang pohon besar rumah tembuni itu. Ki Sahruni khusyuk bercerita, sambil bertelanjang dada di bawah naung capil pandan yang ia kenakan, sembari duduk dan bersandar ke cagak bambu. Sedang Lin duduk di dekatnya, pada bangku tua, menyingkap rambutnya ke belakang kepala, matanya nyaris tak berkedip menatap sang kakek, bibirnya tampak terbuka pertanda ia sangat antusias mendengar cerita kakeknya.
“Pohon itu umurnya sudah ratusan atau bahkan ribuan tahun. Sejak dari zaman nenek moyang, pohon itu memang digunakan sebagai tempat menggantung tembuni,” Ki Sahruni mengambil sejumput tembakau dari dalam kaleng bekas, melintignya dengan kertas rokok, menyalakan dan mengisapnya beberapa kali.
“Pohon tembuni itu menjadi lebat dengan gelantungan periuk-peiuk berisi tembuni yang kian hari kian meningkat. Para orang tua biasanya bernazar jika anaknya lahir dengan selamat, maka tembuninya akan digantung di pohon itu,” lanjut kakek itu dan matanya menyipit oleh embusan asap rokoknya yang menggumpal.
“Kalau mau digantung di sana caranya bagaimana, Kek? Apa langsung digantung sendiri?”
“Ah, tidak, Lin. Orang yang hendak menggantung tembuninya di pohon itu, terlebih dahulu harus menghubungi petugas buju’. Biasanya tembuni yang sudah ada dalam periuk itu diserahkan kepada petugas. Petugas itu nanti yang akan menggantung periuk berisi tembuni itu.
“O.. jadi begitu ya, Kek?”
“Iya. Kenapa kamu menanyakan hal itu, Lin?”
“Oh, hanya ingin tahu saja, Kek. Kelak kalau saya melahirkan dengan selamat, saya berencana akan menggantung tembuni saya di pohon itu,” jawab Lin sedikit gugup dengan wajah yang setengah lesup. Lekas ia alihkan tatap matanya ke halaman, melihat capung berkejaran. Sedang tangannya mengelus perutnya yang mulai membuncit.
“Aku harus menggugurkan bayi ini, dan jasadnya akan kumasukkan ke dalam periuk, nanti akan kuserahkan kepada petugas buju’ pohon tembuni. Tentu aku harus lihai, agar petugas tidak curiga kalau isi periuk itu bukan tembuni,” gumam Lin dalam dadanya.
***
Rakso dan Lin yang masih sebagai pengantin baru, sangat khawatir jika mereka punya anak. Mereka tidak berpikir bahwa bayi yang lahir punya rezeki masing-masing yang tidak perlu dikhawatirkan oleh kedua orang tuanya. Tapi yang diingat Rakso dan Lin hanya perihal keadaan ekonomi mereka yang masih tidak stabil. Sehingga mereka beranggapan bahwa kehadiran bayi di tengah-tengah mereka akan membuat masalah ekonomi semakin semrawut.
Tiga bulan setelah pernikahan, Rakso dan Lin terkejut ketika perawat mengabarkan kalau Lin sudah hamil. Lantas keduanya bingung mau diapakan janin dalam rahim Lin itu, jika tidak digugurkan, bayi itu nanti akan minta biaya ini itu di tengah keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan. Tapi kalau digugurkan, keduanya tak tega melihat bayi itu mati begitu saja dan tentu dosa besar akan jatuh kepada orang tuanya.
Rakso dan Lin selalu membicarakan hal itu siang dan malam, di berbagai tempat dengan obrolan lirih dan rahasia. Obrolan mereka berdua dari satu waktu ke waktu yang lain melahirkan beberapa pertimbangan. Tak jarang keduanya terlihat mengernyitkan dahi, memandang ke atas sembari bertopang dagu, sedang lelehan peluh membanjiri kening dan lehernya, pertanda mereka berpikir keras mencari jalan keluar untuk janin di rahim Lin. Hingga mereka akhirnya setuju pada satu keputusan; menggugurkan janin itu, tapi dengan cara-cara yang manusiawi.
“Jadi kamu harus rajin berpijat perut ke Bu Mina, dia itu secara diam-diam memang spesialis dukun aborsi. Kalau janinnya sudah gugur, nanti kita masukkan ke dalam periuk dan selanjutnya kita serahkan ke petugas buju’ pohon tembuni. Toh dia tidak akan tahu kalau periuk itu berisi janin. Nah, dengan cara seperti itu maka janin kita aman, ia akan digantung di dahan pohon tembuni, dan kita bisa melihatnya setiap saat. Aku yakin dengan seperti itu, janin kita tidak akan murka kepada kita,” kata Rakso kepada Lin, matanya berdenyar dan ia tersenyum semringah. Lin mengannguk setuju. Rambutnya berurai disapu angin.
“Agar peiuk itu tidak tertukar dan mudah kita amati, maka harus diberi tanda di bagian bawahnya,” usul Lin, lalu menggigit bibir, lalu tersenyum dan merebahkan kepalanya di bahu Rakso.
Dua puluh lima hari setelah Lin berpijat ke Bu Mina—akhirnya janin itu gugur. Rakso dan Lin sangat bahagia. Mereka memasukkan janin itu ke dalam periuk. Menandai bagian bawah periuk dengan cat warna biru. Lalu mereka serahkan kepada petugas buju’ pohon tembuni. Dan oleh petugas, periuk itu digantung di pangkal dahan yang menjulur ke arah barat.
***
Hari-hari setelah mereka menggugurkan janin dan menyerahkannya kepada petugas buju’ pohon tembuni, kenyataan yang mereka rasakan tidak sama seperti apa yang diharapkan sebelumnya. Meski tak ada bayi yang lahir di tengah-tengah mereka tetapi persoalan ekonomi yang mereka hadapi jauh lebih rumit dari sebelumnya. Hampir setiap hari mereka tertimpa musibah. Lilin dipatuk ular hingga pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit dengan biaya yang sangat mahal. Rakso terkena penyakit kencing batu yang mengharuskan ia dioperasi
Bulan berikutnya, pohon beringin yang ada di sisi barat halaman rumahnya tiba-tiba tumbang menimpa rumah mereka hingga hancur. Binatang piaraan mereka mati satu demi satu. Di tengah tekanan keadaan yang seperti itu, fitnah pun bermunculan, seketika warga digemparkan oleh kabar tentang Rakso punya sihir. Guncangan hidup yang mereka rasakan membuat keduanya sadar, bahwa janin yang digugurkan akan menimbulkan tula dan bala. Hingga keduanya sepakat untuk mengambil kembali janin dalam periuk yang digantung di pohon tembuni itu. Mereka bermaksud untuk merawatnya baik-baik dengan cara dimakamkan dan didoakan sesuai ajaran Islam.
“Untuk mengambil periuk di dahan pohon tembuni itu tidak mungkin diminta baik-baik kepada tugas, karena setiap periuk yang sudah digantung tidak diperkenankan untuk diambil kembali, Mas,” ucap Lin kepada Rakso yang tampak tengah berpikir serius dengan sedikit mendongak ke datar langit.
“Satu-satunya cara hanyalah dengan mencurinya di malam hari,” respon Rakso sambil menoleh kepada Lin. Dan keduanya saling pandang dalam kesunyian. Sebelum akhirnya Lin mengangguk, tepat ketika gelap melayari wajah dusun.
***
Pukul 01.22 dini hari,. Malam digiris sunyi, langit sangat gelap, sesabit bulan telah lenyap ke dalam kepungan awan. Rakso mulai memanjat pohon tembuni di sisi barat. Di bagian itu lumayan gelap sehingga aman dari pantauan petugas, selain itu ia akan mudah menempuh jalur ke dahan yang menghadap ke arah barat, tempat periuk bertanda cat biru itu digantug.
Survei saat siang sebelumnya membuat Rakso hafal keadaan pohon itu, kini ia sangat mudah melewati lekukan kayu dengan gerak kaki yang begitu lincah. Sedang tangannya cekat memegang tunastunas yang kekar, sambil lalu ia menghindar jalur yang dilewati semut, sesekali wajahnya muram, teringat benda-benda halus yang diusung semut siang sebelumnya. Rakso menduga, itu jasad janinnya. Setelah tangannya berhasil menggapai periuk bercat biru, Rakso langsung menariknya agar tali gantungannya putus. Tapi sial, “Brakkk!!”
Rakso terjatuh, tubuhnya terbaring di tanah dan periuk yang ia pegang hancur berkeping-keping hingga isinya berhamburan ke mana-mana. Rakso panik sambil meringis kesakitan.
“Jangan menolak anugerah Allah yang berupa bayi, sebab bayi itu akan membawa rezekinya sendiri, ia juga membawa kemudahan segala urusan yang bisa dinikmati juga oleh orang tuanya,” seketika seseorang berjubah putih berkata di dekat Rakso. Mata Rakso terbelalak memandangnya, ia bingung, apakah makhluk itu malaikat atau hantu.

Gaptim, 12.17

Catatan:
[1] Tempat makam keramat yang terletak di Desa Batuan Sumenep, di dekat makam itu tumbuh pohon besar yang dahan-dahannya digunakan untuk menggantung periuk-periuk berisi tembuni

A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media Nasional dan lokal antara lain: Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, Esquire, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Indo Pos, Majalah FEMINA, Tabloid Nova, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Bali Post, Solopos,basabasi.co, Sinar Harapan, Padang Ekspres, Riau Pos, Banjarmasin Post, Haluan Padang, Minggu Pagi, Suara NTB, Koran Merapi, Radar Surabaya, Majalah Ummi, Majalah Sagang, Majalah Bong-ang, Radar Banyuwangi, Radar Madura Jawa Pos Group, Buletin Jejak, basa.basi.co, Harian Waktu dan beberapa media on line lainnya. Juara II Lomba Cipta Puisi tingkat nasional FAM 2015. Juara II Lomba Cipta Cerpen Remaja tingkat nasional FAM 2016. Juara I Lomba Cpta Puisi Hari Bumi FAM 2017.

Orang-orangan Sawah

Cerpen Riyan Prasetio (Padang Ekspres, 21 Januari 2018)
Orang-orangan Sawah ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Orang-orangan Sawah ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Fadil menarik kopernya yang terasa berat. Ia disambut senyum hangat dari kakek Kurt dan nenek Miriam. Keduanya memeluk erat cucu kesayangan yang tinggal di pusat kota itu. Pelukan yang menghangatkan tubuh Fadil. Di belakang, Giska saudara kembar Fadil sibuk dengan gadget-nya. Tidak peduli dengan senyum kakek dan nenek yang mengembang sempurna di bibir mereka. Sebelum mama berceloteh, Giska tidak akan menyimpan benda yang hanya dengan sekali sentuhan bisa menyajikan berbagai informasi dan aplikasi di dalamnya.
“SELAMAT pagi, kek,” Giska mencium tangan kakeknya dengan wajah muram.
“Cucu kakek kenapa tidak bersemangat?” kakek Kurt mengusap puncak kepala Giska.
“Nenek udah menyiapkan sarapan dan panekuk buat kalian,” ujarnya.
“Nenek buat panekuk?” senyum kemudian Fadil mengembang.
Panekuk buatan nenek Miriam tiada duanya. Fadil selalu terbayang betapa nikmatnya panekuk buatan neneknya. Makanya, setiap akhir pekan menjelang, Fadil selalu merengek kepada mamanya untuk berlibur ke rumah nenek. Meski rumahnya di desa yang sangat terpencil. Akan tetapi, keindahan alamnya sungguh menawan. Seperti pagi ini misalnya, sinar mentari menelusup masuk ke bumi, mengintip dari balik celah Gunung Kembar yang tak jauh dari rumah nenek. Gunung yang sudah tidak aktif lagi itu tetap saja terlihat cantik dari kejauhan.
Belum lagi dengan hamparan padi yang mulai menguning. Semua pemandangan itu akan terlihat jelas ketika dilihat dari Puncak Cemara. Sebuah bukit yang dipenuhi pepohonan cemara di desa Mekar Sari, Dharmasraya. Itulah alasan kenapa Fadil selalu ingin kembali ke desa. Dibandingkan dengan kehidupan di kota, setiap pagi harus mendengarkan suara klak-son yang memekakkan telinga. Belum lagi polusi udara yang ditimbulkan dari asap kendaraan. Jauh berbeda dengan suasana di desa Mekar Sari.
Kebanyakan warga di sini menggunakan sepeda ontel, sepeda tua yang sampai sekarang masih banyak terlihat di sekitaran Dharmasraya. Fadil pun membawa kopernya masuk ke rumah. Diikuti langkah malas Giska yang masih saja sibuk dengan gadget-nya itu. Fadil tidak peduli, kembarannya itu memang susah diberi nasihat. Fadil segera menuju meja makan. Perutnya yang lapar membuatnya tidak sabar ingin segera menyantap panekuk buatan nenek.
“Panekuk buatan nenek selalu mengundangku ke sini,” celoteh Fadil menyuapkan panekuk yang sudah diolesi pasta cokelat kesukaannya.
Berbeda dengan kembarannya, Giska malah sibuk bermain game. Jemarinya begitu lincah berselancar di layar selebar lima inci, sepasang bola matanya fokus menatap layar tak berkedip. Mama Lena yang melihat kelakuan putranya, langsung merebut barang yang membuat putranya lebih egois, fokus dengan dunianya sendiri.
Giska hanya bisa mendesah. Dengan terpaksa ia menikmati sarapan yang telah di hidangkan di meja makan. Papanya tampak menggeleng melihat tingkah putra sulungnya. Fadil bersendawa setelah melahap lima panekuk yang ada di depannya. Tangannya memegang perut, kenyang. Kakek Kurt tertawa melihat kelakuan cucunya yang mirip dengan tingkah papanya sewaktu kecil.
“Setelah sarapan kalian akan ditemani berkeliling desa oleh mang Agus, melihat keindahan desa,” tutur kakek Kurt semangat.
Fadil tampak riang mendengarnya. Sedangkan Giska mengembuskan napas berat. Baginya, berkeliling desa adalah hal membosankan yang tidak bermutu. Lebih baik dirinya bermain game dan mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya. Agar akun miliknya bisa naik peringkat. Dari pada harus berkeliling desa, berjalan menyusuri jalanan setapak, pematang sawah yang licin dan sering membuat terjatuh. Semua itu membosankan. Tidak ada hal yang istimewa bagi Giska.
Sebelum matahari benar-benar berada di atas kepala. Mereka menelusuri jalanan setapak yang berlumpur akibat hujan semalam. Belakangan ini, curah hujan di Dharmasraya masih cukup tinggi. Hampir setiap malam hujan mengguyur seluruh desa di sini. Pagi ini pun matahari sudah terhalang oleh deretan awan hitam yang berjejer rapi di langit. Sehingga mereka tidak harus berpanas-panasan di bawah teriknya matahari.
“Kita mau ke mana sih?” gerutu Giska memasang wajah letihnya.
“Puncak Cemara,” ucap mang Agus memamerkan deretan gigi putihnya.
Rasa lelah yang tadinya menjalar ke seluruh tubuh, sirna sudah ketika melihat pemandangan yang luar biasa dari Puncak Cemara. Dengan bangga, Giska mengeluarkan gadget dari kantong celananya. Berfoto dengan latar pemandangan hamparan padi yang mulai menguning. Sungguh besar kekuasaan Tuhan. Berulang kali Fadil mengucapkan syukur dalam hati.
“Wah, orang-orangan sawahnya banyak ya, mang,” ujar Giska begitu senangnya.
Mang Agus mengangguk. Ia pun membawa Fadil dan Giska berkeliling melihat orang-orangan sawah dari jarak yang lebih dekat. Fadil mengamati orang-orangan sawah yang diikat ke kayu yang ditancapkan ke tanah. Tubuh-tubuh yang terbuat dari jerami yang dibalut dengan kain lusuh. Kepalanya terbuat dari tempurung kelapa yang kemudian diberi topi di atasnya. Persis seperti manusia.
Giska bergidik ngeri melihatnya. Seperti melihat hantu yang sedang menjaga padi yang mulai menguning dari burung-burung pipit yang kelaparan. Kain lusuh yang membungkus jerami itu bergerak-gerak ketika angin berembus. Membuatnya seperti hidup, matanya melihat tajam ke arah mereka.
“Mang kita pulang yuk, aku capek,” keluh Giska memegangi kedua lututnya.
Sebenarnya ia takut melihat orang-orangan sawah yang berdiri tegak di tengah sawah. Di kota tidak ada benda yang menyeramkan seperti itu. Mang Agus pun mengalah, Fadil yang belum puas melihat orang-orangan sawah hanya bisa mendengus kesal. Seharusnya mereka tidak pergi dengan manusia manja seperti Giska.
“Mang, kalau udah sampai rumah, ajari Fadil membuat orang-orangan sawah ya,” pinta Fadil dengan wajah memohon.
Mang Agus mengangguk, mengabulkan permintaan cucu dari Kakek Kurt. Giska malah bergidik ngeri mendengar kembarannya mau belajar membuat orang-orangan sawah. Ia memikirkan alasan yang tepat agar tidak diajak membuat makhluk mengerikan itu.
***
Kerisik … kerisik
Giska terbangun dari alam mimpinya ketika bunyi kerisik memenuhi pendengarannya. Kamar yang gelap membuat pandangannya kabur, tidak bisa melihat apaapa. Mungkin listrik sedang padam. Maklum, listrik di desa memang sering padam ketimbang di kota. Listrik tidak begitu berpengaruh dengan kehidupan malam di pedesaan yang kebanyakan masyarakatnya tidur lebih awal.
Kerisik… kerisik…. kerisik
Giska mendengar suara aneh dari luar jendela. Angin yang berembus membuat tirai yang menutupi jendela kaca itu bergerak. Giska mengucek matanya, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Tangannya mencoba membangunkan saudara kembarnya yang masih terlelap, seolah tidak terganggu oleh bunyi kerisik dari luar jendela. Karena kembarannya tak kunjung bangun, Giska beranjak dari tempat tidur, sendirian. Kakinya melangkah menuju jendela.
Kerisik… kerisik… kerisik
Suara itu semakin jelas terdengar. Entah dari mana datangnya jerami itu. Tanpa sadar, lantai kamar sudah penuh dengan batang jerami yang menimbulkan bunyi kerisik ketika terinjak oleh kakinya. Tiba-tiba saja, hawa dingin masuk melalui celah jendela. Membuatnya merinding. Terbayang olehnya orang-orangan sawah tadi pagi. Rasa takut menyelimuti dirinya. Namun, Giska tetap memaksa kakinya melangkah, mendekati jendela.
Kerisik…. kerisik…. kerisik
Dengan tubuh gemetar, ia menyibakkan tirai jendela. Cahaya rembulan menyelinap masuk melalui kaca jendela. Memberi sedikit penerangan. Belum sempat Giska mengintip ke luar jendela. Sepasang matanya menangkap sosok gelap yang berdiri di luar jendela.
Kerisik…. Kerisik…. kerisik
Mata hitam itu menatap ke arahnya, tajam. Tangan-tangannya yang terbuat dari kumpulan jerami, dengan kain lusuh yang digunakan untuk menutupinya. Tangan itu mencoba menggapai jendela. Bergerak-gerak, orang-orangan sawah, pikir Giska dalam hidup. Orang-orangan sawah itu benar-benar hidup.
“Hantu,” teriak Giska berlari ke atas tempat tidur.
“Dil … bangun Dil. .. ada orang-orangan sawah di luar!” teriak Giska membangunkan kembarannya.
Kakek Kurt yang mendengar kegaduhan dari kamar cucunya, langsung memeriksa. Giska mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Ia semakin ketakutan. Fadil tidak juga bangun. Belum lagi bunyi kerisik-kerisik yang berasal dari luar jendela, membuatnya semakin ketakutan. Pintu kamar terbuka dengan sendirinya. Tubuh gelap berdiri di depan pintu. Bayangan gelap dengan sepasang mata hitam yang menatapnya tajam. Pandangan yang ingin membunuh siapa saja.
***
“Hantu!” teriak Giska terbangun dari tidurnya.
Fadil yang mendengar teriakan, langsung membuka kedua matanya. Mendapati kembarannya terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat. Padahal, suhu di desa ketika malam terasa dingin sekali.
“Kamu mimpi buruk ya, Ka?” tanya Fadil mengucek kedua bola matanya yang terasa lengket.
Giska tidak menjawab, ia masih mengatur napasnya yang terengah-engah. Pagi harinya, suasana di meja makan penuh dengan tawa mendengar Giska menceritakan mimpi buruknya semalam.
“Makanya jangan bermain game terus. Biar punya mental yang kuat,” ujar kakek Kurt seraya melemparkan senyum ke arah cucunya yang paling manja itu. (*)

Sastra, Arena, Kuasa: Surat Terbuka untuk Publik Sastra

Bilik Sastra, Esha Tegar Putra, Padang Ekspres

Sastra, Arena, Kuasa: Surat Terbuka untuk Publik Sastra

 
 
 
 
 
 
1 Votes

Oleh Esha Tegar Putra (Padang Ekspres, 21 Januari 2018)
Sastra, Arena, Kuasa Surat Terbuka untuk Publik Sastra ilustrasi Padang Ekspres.jpg
Sastra, Arena, Kuasa Surat Terbuka untuk Publik Sastra ilustrasi orta/Padang Ekspres 
Salah satu persoalan kesusastraan Indonesia hari ini adalah praktik pelemahan sistemik dari agensi-agensi sastra untuk melanggengkan ketokohan Denny JA dalam arena kesusastraan Indonesia kontemporer. Agensi-agensi kesusastraan ini bekerja merekrut penulis-penulis untuk bekerjasama membuat apa yang dianggap pembaruan dalam model perpuisian Indonesia, membayar mereka dengan iming-iming honorium besar (benarkan besar?), dan membubuhkan tanda tangan pada klausul-klausul dalam surat perjanjian bermaterai terkait kerjasama antara kedua belah pihak sebagai bentuk legalitas formal.
***
PERMASALAHAN ini memunculkan kecurigaan antarpelaku kesusastraan, sesama anggota dalam komunitas kesusastraan, dan hubungan-hubungan personal sastrawan di dalam daerah (provinsi) atau antardaerah. Karena pola kerja agensi tersebut tertutup dan “menyusup” ke dalam komunitas-komunitas sastra di beberapa daerah.
Di Sumatera Barat misalnya, kita dapat melihat bagaimana perempuan penulis bernama Dellorie Ahada Nakatama memberikan pengakuan bahwa ia diajak oleh agensi puisi esai untuk membuat puisi tanpa harus diketahui oleh mentor menulisnya, yaitu Iyut Fitra. Di Pekanbaru, Riau, penyair Marhalim Zaini juga merasa kecolongan, bahwa dua orang aktor teaternya secara diam-diam juga disusupi. Dellorie membuat pernyataan publik bahwa ia tidak mengetahui bagaimana sistem kekuasan di belakang proyek sastra tersebut bekerja dan memberikan keterangan bahwa ia sudah menyatakan mundur dari proyek tersebut. Ia mengembalikan uang pangkal penulisan puisi esai dan membuat surat pernyataan di atas materai. Begitu juga dengan beberapa orang penulis, notabene berusia muda, berupaya untuk menarik diri dan karyanya dari proyek tersebut. Belum lagi bagaimana keterkaitan pihak-pihak (oknum) di Badan Bahasa (pusat) dan menyebar ke Balai Bahasa di dearah-daerah turut melanggengkan pola agensi ini. Oknum tersebut juga memberikan bocoran nama dan alamat peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2017 yang kemudian digunakan oleh manajemen Denni JA untuk mengirimkan buku tentang dirinya pada para sastrawan.
Mereka yang menjadi agensi, atau ia yang merasa menjadi pembaharu, barangkali tidak sadar bahwa di daerah-daerah sasaran mereka, publik sastra perlahan digerogoti dan bersilang-sengketa oleh kuasa modal mereka. Mereka merasa pro dan kontra adalah hal yang wajar dalam arena kesusastraan, dalam ranah kebudayaan, padahal pro dan kontra hari ini tidak mencerminkan lagi bagaimana polemik penciptaan karya sastra di Indonesia sebagaimana yang sudah-sudah. Polemik beralih pada politik pencitraan tokoh, dengan mengaungkan diri sebagai pembaharu “PuisiEsai”, beberapa waktu lalu didukung oleh para sastrawan kenamaan Indonesia, dan para sastrawan tersebut kini meminggirkan diri dan lari dari tanggung-jawab mereka setelah mereka membabtis ketokohan Denny JA melalui pernyataan-pernyataan yang mereka anggap riset ilmiah.
Ketidak-mengertian dan ketidak-pahaman para penulis yang direkrut dalam membaca sejarah dan peta politik kesusastraan di Indonesia adalah permasalahan utama yang musti diselesaikan publik sastra Indonesia. Membaca dan merunut lagi jauh ke balakang, bagaimana kesusastraan sebagai sebuah sistem bekerja, adalah mutlak dilakukan. Bahwa, ada kekuasaan mengiringi di belakang apa yang digaung-gaungkan kreator sebagai “preses kreatif adalah hak setiap kreator”, “mencoba sesuatu yang baru adalah hak setiap kreator”, dan “seorang kreator bebas untuk menulis apapun sesuai kehendak mereka”. Pada tahapan ini kita tidak berbicara pada prinsip kepenulisan personal, di mana seorang kreator sebebas-bebasnya berhadapan dengan mesin ketik mereka, sebebas-besarnya menuliskan kendak pikiran dan imaji mereka ke dalam karya mereka, tapi melihat jauh ke belakang bagaimana kekuasaan turut bekerja di belakang apa yang kreator istilahkan dengan kebebasan menulis itu.
Proyek puisi esai dan ketokohan Denny JA sudah banyak ditulis dan dibahas jauh hari sejak kemunculan buku 33 Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh dan buku puisi esai yang melibatkan banyak sastrawan, kritikus, akademisidi belakang proyek tersebut. Sebagian besar sastrawan, kritikus, dan akademisi tersebut mundur secara terbuka dan sebagian lagi diam dan tidak lagi mengemukakan pandangan mereka. Pada Seminar Kritik Sastra di Indonesia, 24-25 November 2015, di PKKH UGM saya membentangkan kertas kerja membahas persoalan ini. Dengan tajuk Membangun Ketokohan dalam Sastra: Dari Puisi Esai hingga 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Dalam kertas kerja tersebut saya merunut kembali polemik kehadiran buku tersebut, bagaimana Denny JA dimunculkan sebagai tokoh dengan menganulir karya-karya penulis-penulis garda depan yang menjadi rujukan bagi generasi penulis hari ini. Kertas kerja tersebut memang tidak akan cukup memberikan pemahaman melihat kian masifnya agensi-agensi puisi esai bekerja dan meruntuhkan bangunan komunitas dan hubungan persoalan pegiat kesusastran di daerah-daerah di Indonesia dengan proyek terbarunya, yakni puisi esai 34 provinsi. Dengan proyek tersebut, Denny JA sendiri merasa ditokohkan kembali, karena menganggap 34 provinsi di Indonesia mendukung gerakan pembaharuannya.

Sastra dan Kekuasaan

Tidak susah untuk melihat bagaimana kekuasaan bekerja di belakang kesusastraan. Banyak rujukan-rujukan penelitian ilmiah yang memperlihatkan bagaiaman teks sastra pun tidak luput dari kuasa modal dengan tujuan untuk berkuasa atau melanggengkan kekuasaan. Bagaimana agensi-agensi mendorong kehadiran teks sastra, kehadirkan seorang penulis, untuk melanggengkan stuktur kekuasaan ataupun untuk membentuk semacam dogma. Politik sastra atau gerakan kebudayaan ini bekerja secara halus, diam-diam, dan menghancurkan secara sistemik. Ia dapat mengubah sejarah sebuah negara, bahkan arah politik dapat dibelokkan.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi secara global, kuasa modal turut bekerja di belakang gerakan kesusastraan. Kita dapat membaca kembali tulisan Maryvon Auedi Vice Indonesia (6 Januari 2017) mengenai buku Fink: How the CIA Tricked The World’s Best Writers ditulis Joel Whitney yang membahas keterlibatan Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) pada periode 1966 dengan publikasi sastra The Paris Review dan lusinan majalah kebudayaan lainnya. CIA mengembangkan beberapa proyek rahasia, misalnya pendanaan penulis muda yang sedang naik daun dan membuat strategi propaganda budaya menggandeng pelopor kesusastraan dari seluruh penjuru dunia.
Joel Whitney sendiri dalam wawancaranya dengan Whitney mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa CIA menggerogoti proses demokrasi di setiap negara sasaran dengan dalih mendukung upaya memberantas komunisme. Melalui Congress of Cultural Freedoms (CCF), CIA membangun stategi editorial untuk setiap tokoh kesusastraan terpilih, mendukung mereka mengatur dan menguasai pembicaraan soal isu kebudayaan di negara-negara yang segmen pembaca bukunya menolak perspektif pro-Amerika. Gabriel Garcia Marquez, penulis idola semua bangsa juga tidak luput dari susupan CIA. Cara yang digunakan CIA memang adalah dengan memanfaatkan figur budayawan kiri seperti Gabriel Garcia Marquez, mempromosikan karya-karya kreatif mereka mirip trik kuda troya. Penulis sastra di binaCIA akan terus menguasai perbincangan kebudayaan, menurut Whitney, contohnya selama Revolusi Kuba. Pembentukan tersebut seakan alamiah, tapi tidak akuntabel, dan tidak demokratis. Pola ini memperlihatkan pada publik sastra bahwa kesusastraan tersebut rentan disusupi oleh kekuasaan. Dengan kuasa modalitas, pegiat sastra seakan-akan dibuat tidak sadar, bahwa modal yang digunakan untuk menghasilkan sebuah karya tersebut sebenarnya mempunyai tujuan tertentu.
Bagaimana dengan Denny JA dan gerakan puisi esai yang digaung-gaungkan? Saya tidak akan membahas jauh dan mengulik lebih dalam sampai kemudian hari memperlihatkan apa tujuan ia sebenarnya. Sejauh ini, saya melihat bahwa ia tampak ingin melenggang dengan mudah melalui ketokohannya dan apa yang ia anggap sebagai pembaharuannya melalui puisi esai. Dengan pola survei politik yang digunakan Denny JA di dunia politik, pola tersebut juga digunakan dalam kesusastraan, melalui responden siswa di sekolah-sekolah, ia kemudian menganulir keterbacaan siswa terhadap puisi yang hadir pada tahun 2011 ke atas untuk kemudian memantapkan jalannya puisi esai. Hal tersebut dapat dilihat dalam tulisan Denny JA bertajuk Puisi Esai, Apa dan Mengapa?.
Tulisan tersebut kian memperlihatkan betapa publik sastra, dalam pandangan Denny JA tidak berbeda dengan responden politik, sebagaimana dalam survei-survei politik yang dilakukannya lewat lembaga yang didirikannya, yakni Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Sebuah lembaga survei yang dinyatakan oleh Denny JA mampu memprediksi apa yang belum terjadi, semisal pemenang pemilu legislatif dan presiden 2009 lalu. Prediksi ini pula yang agaknya dikembangkan polanya oleh Denny JA dalam memasuki dunia kesusastraan Indonesia. Untuk menyandingkan dirinya sebagai tokoh, ia menganulir terlebih dahulu penyair seperti Chairil Anwar dan WS Rendra melalui surveinya di tahun 2011 untuk kemudian hasil survei tersebut menjadi kekuatannya mengukuhkan puisi esai, di mana ia menganggap dirinya sebagai pembaharu.
Bagaimana Denny JA melakukan survei dan mengukuhkan puisi esai? Menurutnya, ia memilih secara random lima puisi yang dimuat koran paling ternama Indonesia untuk rentang waktu bulan Januari 2011–Desember 2011. Sampel itu dianggap sebagai representasi dari puisi yang diseleksi oleh koran yang paling besar oplahnya. Sampel tersebut kemudian ia berikan kepada tiga kelompok pembaca: pendidikan tinggi (sarjana ke atas: S1, S2, S3), pendidikan menengah (hanya tamat SMA dan SMP), dan pendidikan rendah (hanya tamat SD). Masing-masing kelompok terdiri dari 5 orang. Kepada mereka juga diberikan perbandingan puisi karya Chairil Anwar (“Aku”, 1943) dan WS Rendra (“Khotbah”, 1971)
Ia mengatakan publik sastra, siswa bahkan yang sudah tamat perguruan tinggi tidak mengerti dengan puisi yang terbit di koran-koran tahun 2011 ke atas, sementara itu puisi Chairil dan Rendra respondennya masih beragam. Dengan hasil survei tersebut dan kutipan beberapa penulis Denny JA mengungkapkan bahwa responden rindu dengan puisi yang dipahami publik luas. Untuk itulah ia mengeluarkan puisi yang disebutnya sebagai puisi esai bertajuk Atas Nama Cinta (2012). Buku inilah yang kemudian menjadi pembuka jalannya untuk menjadi tokoh kesusastraan paling berpengaruh dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh di samping jenis puisi yang ditulisnya ia tegaskan telah diikuti oleh banyak penyair di Indonesia. Buku tersebut, menurut Denny JA oleh sebagian orang dianggap sebagai “tonggak yang membawa sastra ke era sosial media. Hanya dalam waktu sebulan, HITS di web buku puisi itu melampaui satu juta. Ini tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah buku puisi, buku sastra, bahkan buku umum sekalipun,” tulis Denny JA.
Publik Sastra mungkin tidak sadar hanya menjadi responden dalam proyek puisi esai Denny JA. Proyek yang sudah mengorbankan retakan-retakan dan kecurigaan dalam komunitas-komunitas sastra Indonesia dan hubungan persoalan sastrawan di Indonesia. Bahkan sampai hari ini, tim yang memilih Denny JA sebagai salah seorang tokoh berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia, hanya bisa bungkam tidak mampu lagi bicara. Proyek Denny JA telah mengorbankan banyak penelitian ilmiah dalam bidang kesusastraan, pola responden yang diterapkannya sudah dianggap benar oleh sebagian orang dan mengabaikan pola telaah ilmiah dalam ilmu kesusastraan.
Kehadiran Denny JA, pola ketohanya dengan mengandalkan politik uang memang baru kai ini dialami kesusastraan Indonesia sehingga kita pun kaget dibuatnya. Kesusastraan Indonesia di mana sebagian besar penulis-penulis di daerah selalu bermasalah dengan keuangan, bisa jadi seperti leher ceking yang dapat dipegang oleh agensi proyek ambisius Denny JA. Beberapa pertanyaan terkadang muncul dari publik: “maukah penyair atau penulis menuliskan puisi yang dianggap bergenre puisi esai itu, sebanyak 40-an halaman, tanpa diberi imbalan 5 juta (atau lebih) dan hanya bersandarkan pada ingin mencoba sesuatu yang baru?”
Saya turut tertegun membaca pandangan Dedy T Riyadi mengenai hitung-hitungan proyek ambisisus Denny JA. Sebanyak 170 penyair dari 34 provinsi dibayar masing-masing 5 juta rupiah, total berarti 850 juta rupiah—bisa jadi lebih jika penyair menawar puisi dengan harga lebih. Untuk eksposure selama berbulan-bulan di tingkat nasional dibandingkan dengan beriklan di televisi nasional di jam prime time, besaran itu tidaklah mahal. Menusut Dedy T Riyadi, harga satu spot iklan 30 detik di sinetron dunia terbaik salah satu stasiun tv swasta itu 90 juta rupiah. Jadi 850 juta rupiah itu jika dibelikan spot iklan 30 detik di sinetron tersebut itu sekitar 10 spot saja.
Atau hanya akan habis dalam 5 menit saja dalam hidup kita. Itu pun kalau kita menonton. Bayangkan kita menulis 1 puisi berhari-hari, 40-an halaman lebih, dengan genre puisi esai dan hak ciptanya dibayar 5 juta rupiah dianggap mahal atau murah? Sementara tokoh yang mengangap dirinya pembaharu dari puisi esai dan yang memberikan modal buku tersebut berhasil melambungkan pengaruhnya selama buku tersebut dibaca orang-orang dan tercatat terus dalam kesejarahan kesusastraan Indonesia. Kesadaran publik sastra dibutuhkan untuk membaca bagaimana kekuasaan turut berbarengan di belakang apa yang kita agungkan sebagai proses kreatif. (*)

Esha Tegar Putra, penyair.