Daftar Blog Saya

Minggu, 01 April 2018

Penawaran yang Sia-sia

Cerpen Ana Widiawati (Radar Surabaya, 25 Maret 2018)
Penawaran yang Sia-sia ilustrasi Fajar - Radar Surabaya.jpg
Penawaran yang Sia-sia ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Aku sedang meneguk kopi hitam dan sepekat malam ketika ia datang membawa segelas penawaran. Ia mengambil tempat di depanku dan secara ajaib, kami mulai membincangkan sebuah rahasia. Padahal kami tidak saling mengenal. Kami bahkan tidak tahu nama masing-masing. Namun perbincangan mengalir begitu lazim, laiknya malam bergulir sampai embun menyeduh basah pada waktu subuh.
Ia memandang sejenak ke pinggir jalan melalui jendela kaca. Sementara aku menikmati caranya memaknai dini hari itu dari siluet wajahnya—kuakui memesona. Dari sisi samping, aku seolah menemukan sosoknya yang lain meskipun sesungguhnya aku tidak tahu apapun tentangnya. Pengetahuanku sebatas, ia adalah lelaki yang sering ngopi di tempat ini, entah itu bersama kawan-kawannya atau seorang diri. Kami sempat beberapa kali menyadari kehadiran satu sama lain, berpandangan, dan kembali memaknai dunia kami masing-masing.
Pukul 01.30 dan kami masih membungkam. Aku melihat wajahnya teduh dan berkali-kali aku terhempas pada kubang penasaran. Lelaki macam apa yang sedang duduk di depanku ini? Lalu aku cukup tergagap ketika ia akhirnya menatapku. Seolah menusuk dan menyudutkanku dengan mata hitamnya itu.
“Sepertinya kau menyukai kopi hitam,” celetuknya sambil melirik kopiku yang tinggal setengah dan sebentar lagi menyisakan ampas.
“Istimewa,” gumamnya, begitu singkat.
Aku menanggapi dengan senyuman kecil. Lalu kembali menuntaskan segelas kopi itu dalam sekali teguk. Sedangkan ia memandangiku dengan teguh.
Perlahan ia menyodorkan segelas kopi miliknya. “Kau mau?” tawarnya.
Aku mengernyit dan ia cukup pandai membaca raut wajahku. Dengan tenang ia menjelaskan bahwa ia sekadar membuat penawaran. “Tenang, minumlah jika kau mau. Kujamin tidak ada sianida di dalamnya.”
Ucapannya otomatis membuatku tertawa.
“Kopimu sudah habis dan malam masih panjang. Kupikir akan hambar jika malammu berakhir tanpa segelas kopi yang menemani,” terangnya.
“Kau cukup baik hati,” simpulku dengan sedikit terkekeh. Aku menerima segelas kopi yang disodorkannya. Tanpa sadar, aku sebenarnya telah mempercayainya. Sebab dengan mudah kuterima penawarannya. Lantas aku sendiri bingung bagaimana kepercayaan itu muncul, sedangkan lelaki di hadapanku ini tidak kukenal sama sekali.
“Kau tahu, bagiku kopi membuka ruang untuk berbincang,” ujarnya.
“Ah….” Aku menangkap pembicaraannya dan mengangguk pelan serta berulang. “Jadi di balik penawaran kopi ini, kau sedang merasa kesepian dan butuh teman.”
Ia memilih mengeluarkan sebungkus rokok dan menyulut sebatang. Membiarkanku termenung sejenak dan ia menikmati setiap isapan dengan ketenangan yang menawan. Sementara diam-diam, aku mulai menyadari setiap gurat wajahnya di tengah keremangan warung kopi ini. Ia mempunyai kulit sawo matang, kening lebar dan kumis tipis di atas bibirnya. Aku menyukai ketika helai rambutnya jatuh menutupi keningnya dan caranya menatap segala sesuatu dengan matanya yang tajam. Ia seperti membangkitkan kenangan akan seseorang yang familiar.
“Kau pandai menyimpulkan,” ungkapnya. “Tapi sebenarnya aku ingin berbagi sebuah rahasia padamu secara cuma-cuma.”
Aku menohoknya langsung. “Mengapa aku?”
“Aku tidak punya alasan khusus,” jawabnya sambil mengendikkan bahu. “Aku hanya melihatmu saja di tempat ini. Tidak ada lagi orang selain kita berdua dan aku tidak yakin membagikan rahasia kepada pemilik warung kopi ini.”
Ia melirik lelaki itu—seorang mahasiswa, tidak lagi muda, dan memilih membuka warung kopi ketimbang merampungkan tugas akhirnya— duduk di balik meja pemesanan. Aku pun mengikuti pandangannya. Lelaki itu berambut cepak dan selalu tersenyum lebih lebar ketika aku datang. Lelaki itu pasti memanggilku ‘mbak’ dengan riang. Sesekali ia memberikan potongan harga maupun kopi gratis ketika ia sedang senang atau memang ada momen-momen tertentu yang terbilang spesial.
“Aku mengenalnya—lelaki pemilik warung kopi ini. Tetapi kupikir ia cukup banyak tahu tentangku. Jadi aku tidak ingin membagikan rahasia padanya sebab ia akan terlampau mengetahui banyak,” jelasnya dengan tawa kecil di akhir ucapannya.
“Tapi kupikir kita juga tidak cukup dekat untuk membicarakan rahasiamu. Bahkan kita dapat dikatakan sebagai orang asing. Aku pun sejujurnya tidak tertarik mendengar apapun itu rahasiamu, meski di dalam rahasiamu itu ternyata kau adalah seorang mafia, pembunuh, setengah manusia atau kenyataan apapun yang mengejutkan sekaligus menghentakkan.”
“Tidak harus saling mengenal apalagi dekat. Aku hanya ingin membagikan sebuah rahasia, sesederhana itu,” katanya.
Aku semakin tidak memahami lelaki ini. Ia seperti kembang api yang mengejutkan, muncul tiba-tiba dengan membawa segala kekaguman sekaligus kekagetan secara bersamaan. Aku masih enggan menerima pengakuan rahasianya. Bahkan sejauh ini bagiku ia sedang mencoba membuat lelucon.
“Aku memaksa,” tegasnya. Ia berubah serius. Ia sadar bahwa aku masih enggan. “Kau hanya perlu menjadi pendengar yang baik. Anggap saja ini adalah bonus dari kopiku yang kau minum tadi.”
Aku menghela napas dan mengiyakan dengan anggukan. Kuterima rahasianya. Kupikir membicarakan rahasianya lebih menggiurkan ketimbang melewatkan malam yang terasa lebih sunyi dari biasanya ini. Sebab warung kopi ini mendadak sepi padahal biasanya masih riuh dan jalanan menjadi lebih lengang.
Kami bergantian meminum kopinya. Hal itu membuatku semakin enggan memesan kopi lagi karena kupikir secangkir kopinya sudah cukup. Lantas kami saling menikmati pekat kopi sebagai orang asing. Membicarakan sebuah rahasia dan rasanya cukup menggetarkan terutama aku terus penasaran seperti apa lelaki ini. Kupikir kami saling menyimpan rasa penasaran yang meletup-letup kecil dan mencoba menyamarkannya.
Hubungan aneh kami ini kumaknai sebagai bentuk pemanfaatan. Ia memanfaatkanku sebagai teman berbincang. Malam ini ia datang sendirian, tanpa kawan yang sempat kulihat beberapa kali. Sedangkan aku memanfaatkannya sebagai teman melewatkan malam karena entah mengapa malam ini aku tidak ingin sendirian. Walaupun aku biasanya lebih nyaman dengan kesendirian daripada berbagi meja dengan orang lain. Aku menikmati segelas kopi seorang diri di warung kopi. Selain itu, aku menerima rahasianya sebagai bentuk balasan atas penawaran kopinya tadi.
“Jadi rahasia apa yang ingin kau bagi denganku?”
“Aku akan membunuh perempuan-perempuan itu.”
“Hah?”
Seketika aku meledak dalam tawa. Aku sempat terhenyak sebentar tapi kemudian terpingkal-pingkal. Lelaki ini memang sedang membuat lelucon, pikirku. Aku tidak dapat menahan ledakan tawa ini hingga rasanya perutku kaku.
“Lucu sekali,” timpalku.
Ia mengulas senyum miring. “Aku serius.”
Aku berdehem dan mencoba tenang. Aku kembali mendengarkan perkataannya.
“Akan kubunuh perempuan-perempuan itu,” tekannya.
“Tunggu! Siapa perempuan-perempuan itu?”
“Mereka yang sempat kuajak kemari sesekali.”
Ah!
Aku mulai mengingat dengan tepat perempuan-perempuan yang ia maksud. Aku menyadari beberapa perempuan yang menemaninya ke warung kopi ini. Ia membawa perempuan-perempuan itu secara bergantian, entah hanya mereka berdua atau bersama dengan kawan-kawannya yang lain. Yang pasti, ada perempuan-perempuan seperti yang ia bicarakan. Aku mulai mengerti siapa perempuan-perempuan itu. Mereka berada lingkaran kehidupan lelaki itu, tapi mungkin tidak ada satu pun di antara mereka yang benar-benar menjadi perempuannya. Dan, ia pun bukan ‘lelakinya’ salah satu perempuan itu. Kupikir, ia dan perempuan-perempuan itu sedang menjajaki hubungan yang mirip permainan menyebalkan dan melelahkan.
“Mengapa kau ingin membunuhnya? Apakah mereka mulai menggangu?” tebakku.
“Tidak—bukan itu. Justru sebaliknya,” ujarnya.
Aku mengernyitkan dahi.
“Mereka tidak lagi menggangguku. Mereka tidak lagi candu. Untuk itu, aku akan membunuh mereka sebab tidak ada alasan lagi membuat mereka bertahan di sekitarku.”
Aku tidak dapat memaknai perkataannya sebagai suatu keseriusan atau candaan. Aku hanya mendengarkan tanpa mau menyimpulkan bahwa ia pendosa atau kafir-laknat karena niatnya membunuh orang. Sesuai permintaannya, aku akan mendengarkan rahasianya ini hingga tuntas. Aku juga tidak tertarik membuat penghakiman-penghakiman setelah mengetahui rahasianya ini.
“Apa yang menyebabkan kau tidak lagi tergangggu dengan meraka?”
“Ada yang lebih mengangguku— tepatnya mengacaukanku.”
“Apa?”
“Kau.”
Aku terpaku seketika.
“Kau adalah perempuan yang mengangguku sekarang. Kau mengacaukan pikiran dan perasaanku,” jujurnya.
Ia memandangku lekat. Sementara tenggorokanku seperti disekat sehingga aku tidak mampu berkata apapun. Aku masih membeku ketika ia menyorongkan cangkir kopinya. Menyisakan sekali teguk.
“Itulah rahasiaku dan ini tawaran terakhirku. Silakan meneguk habis kopiku, maka akan kubunuh perempuan-perempuan itu dan kau menjadi satu-satunya perempuan yang mengangguku,” ucapnya.
Aku tidak berusaha mengetahui lebih jauh bagaimana ia mulai menyadariku sebagai perempuan yang ‘mengganggunya’. Aku menahan diri untuk menanyakan hal itu. Selain itu aku telah memiliki jawaban meskipun kuakui dengan sejujurnya, ia adalah lelaki yang menawan dan aku sempat gentar.
“Terima kasih untuk tawaranmu ini. Maaf aku tidak bisa menerima ini. Aku sudah mempunyai kekasih dan kupikir kami tidak mengamini adanya perpisahan. Sekadar kau tahu, kami sedang merencanakan pernikahan,” kataku.
“Iya, aku tahu. Tetapi kau sedang mempertanyakan hubunganmu dengan kekasihmu, benar kan? Aku bisa merasakannya. Aku sedang ragu-ragu.”
Aku terkejut ketika ucapannya benar. Aku tidak menyangkal. Kukagumi kemampuannya mengetahui semua itu. Akan tetapi aku cukup ngeri mendapati ia mengetahui sedetail itu padahal kami baru sekali berbincang. Itu pun malam ini. Selain itu, seberapa buruk hubunganku dengan kekasihku saat ini, aku masih memilih untuk bertahan di sampingnya dan aku belum tertarik pada penawarannya tadi.
“Aku tidak tahu kau mengetahui banyak tentangku. Jujur, aku kaget.”
“Itu cukup mudah bagiku,” katanya.
“Tetapi maafkan aku. Aku lebih suka menjadikan penawaranmu menjadi sia-sia. Aku pergi,” kataku mengakhiri perbincangan itu. Kutinggalkan ia dan kopi penawarannya. Aku tidak mau menggambarkan bagaimana wajahnya ketika mendengarkan ucapanku. Tetapi cukup jelas, ia cukup tabah menerima penolakan meski tak bisa kuselami apakah ia terluka dan seberapa dalam ia terluka.
Aku melangkah ke luar dari warung kopi itu dan pulang. Merekam setiap perbincangan itu sepanjang perjalanan, mungkin pula sepanjang ingatanku bertahan atau bisa jadi sepanjang keraguan yang bertahan sampai hari pengikraran itu datang. (*)

*Penulis adalah mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya. Masih aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Perspektif.

Telur Aneka Rasa

Cerpen Umi Rahayu (Suara Merdeka, 25 Maret 2018)
Telur Aneka Rasa ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Telur Aneka Rasa ilustrasi Suara Merdeka
Lima belas menit lagi bel masuk akan berbunyi. Di ruangan komputer, Bahrul sudah menyiapkan alat dan bahan untuk praktik. Sebutir telur ayam, perasa makanan, bor, alat suntik, dan pemanas listrik. Bahrul menggaruk-garuk kepalanya yang berambut keriting. Dia hampir terjingkat ketika pintu ruang komputer terbuka. Seorang wanita cantik masuk membawa laptop.
“Pak Bahrul, bisa minta tolong membetulkan laptop saya?”
Bahrul mengangguk-angguk. Dia memperhatikan laptop guru muda yang kini duduk di sampingnya. Wangi parfum cokelat masuk ke hidung Bahrul yang besar.
Wanda memang selalu sempurna di mata Bahrul. Cantik, muda, wangi. Meski tak banyak murid yang suka, karena Wanda dikenal terlalu disiplin.
Dengan gesit Bahrul memperbaiki peranti lunak laptop Wanda. Guru muda itu hanya melihat, karena tak paham apa yang dilakukan Bahrul.
“Ini, sudah selesai. Saya tambahkan software baru ya.”
Wanda mengangguk-angguk. Ia menaikkan kacamata yang berbingkai merah.
“Bapak mau sarapan telur?”
Mata Bahrul mengikuti telunjuk Wanda. Laki-laki berkepala setengah botak itu menelan ludah. Dia tak tahu harus menjawab apa.
“Praktik.” Akhirnya sepatah kata itulah yang keluar dari mulutnya.
“Praktik? Kelas komputer sekarang pakai telur?”
“Oh, bukan! Kelas biologi.”
“Oh.”
Wanda pun pamit pergi.
Lima belas menit yang Bahrul tunggu sudah berkurang lima menit. Bahrul segera merapikan peralatan dan bahan untuk praktik. Dadanya berdebar.
Dalam perjalanan menuju kelas paling ujung, pikiran Bahrul tidak fokus. Dia sudah merasa buntu saat menggantikan guru biologi yang cuti hamil dua bulan lalu. Lembar kerja siswa tak mungkin lagi dia gunakan sebagai dalih untuk memberikan tugas. Semua sudah penuh. Praktik mengukur tanaman pun sudah menemui akhir penelitian. Kali ini, Bahrul ingin mengulur waktu dengan pelajaran praktik.
“Kau yakin?” tanya Sobiron, sahabatnya yang juga guru komputer.
“Habis mau kuberi materi apalagi?”
“Kalau eksperimenmu gagal?”
“Eksperimenku tak pernah gagal.”
“Terserah kaulah.”
Sobiron kembali asyik mengutak-atik komputer yang rusak. Komputer itu sudah tiga kali rusak. Dia sudah memprotes Kepala Sekolah, tetapi percuma.
“Lama-lama aku jadi tukang servis,” gumam Sobiron.
Bahrul tak merespons. Dia masih tersinggung atas ucapan mitra kerjanya barusan. Percakapan itu agak mengusik pikiran Bahrul pagi ini. Meski sudah mencoba dan berhasil, Bahrul masih ragu. Karena, sesungguhnya, dia tak pernah benar-benar mencoba. Bahrul hanya mencoba-coba. Jika dengan sebutir telur pernah berhasil, dia tak pernah berani menjamin keberhasilan pada telur-telur berikutnya.
Angin Jumat pagi semilir. Bahrul terlambat hampir sepuluh menit. Dia agak kaget ketika murid-murid di laboratorium biologi sudah menyiapkan semua peralatan. Telur, alat suntik, dan perasa makanan. Bahrul menyiapkan bor dan pemanas listrik.
Tanpa disuruh, murid-murid jurusan marketing sudah berkumpul sesuai dengan kelompok masing-masing. Bahrul makin grogi. Dia menghela napas panjang sebelum menyapa para siswa.
“Baik, pagi ini ada yang tidak membawa telur, alat suntik, atau perasa makanan?” Bahrul berbasa-basi.
Semua murid menjawab tidak. Seharusnya Bahrul paham. Empat meja persegi di depannya sudah lengkap dengan segala peralatan dan bahan yang mereka butuhkan. Untuk mengulur waktu, Bahrul menjelaskan sedikit instruksi. Padalah, minggu lalu dia sudah menjelaskan. Apalagi nanti dia tentu bakal berkeliling ke setiap meja untuk menjelaskan lebih detail kepada setiap kelompok.
Waktu seolah-olah melambat. Perasaan Bahrul tercekam kesunyian di laboratorium itu. Benda-benda itu seolah-olah berteriak dan memaki-maki. Kerangka tubuh patung manusia di pojok ruangan terasa memelototi. Bahrul bergidik ngeri. Neraca-neraca juga seperti sedang menimbang-nimbang keyakinan Bahrul.
Di sekolah Bahrul, laboratorium biologi juga digunakan sebagai laboratorium kimia. Bahkan terkadang digunakan sebagai kelas biasa, tidak sekhusus di sekolah menengah atas.
Bahrul memulai kelas praktik dengan memberikan contoh. Dia mengebor telur, lalu menyuntikkan perasa makanan. Rasa cokelat.
“Saya ingin telur ini memiliki rasa cokelat. Kalian bisa mencoba sampai di sini dulu. Satu kelompok cukup tiga telur. Jika kesulitan, silakan bertanya. Jika cukup, silakan mencoba.”
Antusiasme murid cukup besar. Bahrul berdehem, kemudian keluar. Udara di luar lebih sejuk. Kepeningan Bahrul terusir udara segar.
“Jadi eksperimen, Pak?” Suara lembut Wanda mengusik Bahrul. Guru muda itu mendekat. Kepalanya melongok ke jendela laboratorium. “Sepertinya anak-anak antusias sekali ya?”
Tidak ada yang lebih baik selain mengangguk dan tersenyum.
“Saya ada ide, Pak. Kalau telur aneka rasa ini jadi, anak-anak marketing bisa menghadap saya. Akan saya buatkan usaha. Jadi di kelas ini mereka tidak hanya sekadar praktik,” ujar Wanda dengan wajah berseri-seri. Guru kewiraswastaan itu memang selalu berbinar ketika membicarakan bisnis.
Wajah Bahrul mengerut, meski berkali-kali ia mencoba menyeterika dengan senyuman.
“Ini bisa jadi brand di sekolah kita. Guru ilmu komputer mengembangkan eksperimen telur aneka rasa. Usaha roti sobek bisa kalah lo, Pak.”
Gigi Wanda terlihat kinclong.
“Ya sudah, saya lanjut ke minimarket. Pukul sepuluh saya ada kelas di jurusan automotif.”
Tubuh tinggi semampai Wanda meninggalkan Bahrul yang makin mengerut. Tak lama, Jihan, ketua kelas marketing, keluar. Dia mengabarkan semua telur sudah disuntik.
“Baik. Setelah semua telur disuntik, mari kita rebus.”
Tangan Bahrul mengambil telur yang sudah dia suntik dengan perasa cokelat. Semua murid secara serampak meletakkan telur masing-masing.
Kekhawatiran Bahrul menjadi-jadi. Dia belum siap menanggung malu. Malu pada Sobiron, pada Wanda, dan pada murid-murid di kelas. Apalagi saat membayangkan telurnya adalah satu-satunya telur yang tak menunjukkan hasil, sementara semua murid berhasil. Sobiron pasti tertawa tergelak-gelak. Wanda pun tak lagi memuji dia.
Lalu murid-murid? Ah, tiga puluh dua murid di depannya itu akan melipatgandakan mulut. Berita ketidakberhasilan itu akan sampai ke mana-mana. Apalagi kalau ada murid yang dekat dengan guru lain atau guru di sekolah lain atau memiliki kekasih di sekolah lain. Reputasi ahli komputer bernama Bahrul Nawawi bakal jatuh karena sebutir telur yang gagal berasa cokelat. Dia tak lagi dipercaya hanya karena sebutir telur. Bahrul akan mati menanggung malu. Mulut Sobiron apalagi, tak bisa berhenti tertawa dan menyalahkan, kenapa dulu tak mendengar perkataannya.
Entah sudah berapa lama Bahrul melamun di kelas. Di depan murid-murid yang sejak tadi riuh mengobrol. Bahrul melirik arloji. Sudah setengah jam. Dia berjalan ke setiap meja.
“Lo, telurnya sudah matang?” Nada kaget Bahrul membuat kelas tiba-tiba hening. “Kok tidak bilang sejak tadi?”
“Listrik mati, Pak,” jawab Jeni.
“Tadi saya ingin memberi tahu, tetapi sepertinya Bapak sedang tidak bisa diganggu,” siswa laki-laki di samping Jeni bicara.
Bahrul hanya dapat ber-oh dan manggut-manggut. Tiba-tiba ada asupan energi merasuk ke tubuh Bahrul. Dia kembali bergairah.
“Baik. Karena listrik mati dan waktu hampir habis, kalian boleh kemas-kemas. Urusan telur, biar saya tanggung.”
Terdengar lenguhan panjang. Namun tak sedikit siswa bersorak senang. Bahrul ingin melompat-lompat. Dengan penuh percaya diri dia akan menemui Wanda dan mengatakan eksperimennya gagal karena listrik mati. Dia pun mengemasi perlatan dan bahan yang tersisa.
Lima belas menit kemudian, Bahrul menuju ruang Wanda di minimarket bawah tangga. Guru muda itu sedang bersantai di kursi, menghadap meja berisi tumpukan lembar kerja siswa.
“Bagaimana, Pak?”
“Gagal,” sahut Bahrul berdiri di depan meja Wanda.
“Kok bisa?”
“Listrik mati.”
“Oh, jangan khawatir. Kita rebus di pantry saja yuk.”
Bibir Bahrul kembali lengket. Dia tak bisa berbuat apa-apa, selain mengangguk dan berjalan. Wajahnya kembali kusut. Wanda tampak lebih berbinar. Jika sampai gagal, Bahrul tidak tahu harus menyalahkan apalagi.
Di pantry tidak ada orang. Wanda dengan hati-hati menuang air ke dalam panci. Dia meletakkan telur-telur setengah matang itu.
“Kita perlu waktu beberapa menit lagi.”
Wanda dan Bahrul menunggu di kursi dekat kompor. Namun sebelum mereka duduk, api di kompor mati. Dengan langkah cepat Wanda menuju ke kompor. Dia menghidupkan kompor. Namun tidak menyala.
“Pak, gas habis,” ucap Wanda.
“Wah, sayang sekali,” ucap Bahrul. Padahal, dalam hati dia berjingkrak kegirangan. (44)

Umi Rahayu, mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Univesitas Negeri Semarang. Cerpen gadis kelahiran Banjarnegara, 8 September 1996, ini dimuat dalam antologi bersama Sukinah (2017), Rumput di Mata Suryati (2017), dan Perempuan yang Ingin Membeli Masa Lalu (2017).

Kisah Gasal Perempuan Sundal

Cerpen Kurnia Effendi (Koran Tempo, 31 Maret – 01 April 2018)
Kisah Gasal Perempuan Sundal ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo.jpg
Kisah Gasal Perempuan Sundal ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Kali ini aku memperpanjang waktu makan siang di kantin. Kubiarkan teman-teman meninggalkan meja dengan piring-piring berantakan. Sesekali boleh mengundur waktu zuhur, pikirku. Kadang-kadang Firman dan Lukman, dua teman divisiku, malah mulai menyulut rokok kedua sesudah sendawa terakhir.
Saat itulah seorang perempuan wangi datang ke mejaku dengan dua piala es podeng di tangan. Wajah oval berambut sebahu itu duduk di depanku hampir tanpa meminta izin kecuali dengan senyumnya.
“Ini kesukaanmu, bukan?” Ia mengulurkan tangan kanannya kepadaku.
Antara terkesima dan bimbang, kuterima es podeng dengan lelehan susu cokelat yang masih kentara.
“Mbak…” Mulutku terbuka.
“Harum.” Mulut perempuan itu mengatup saat menyebut nama.
Ya, memang harum. “Aku Ardian.”
“Ayo dinikmati,” Harum dengan mata berbinar mempersilakan.
“Terima kasih,” jawabku. “Kok tahu…”
“Dalam beberapa hari kulihat selalu memesan es podeng. Kuperhatikan dari sana.” Harum menunjuk ke arah meja di sudut dengan dagunya. Mataku mengikuti. Tak jauh dari penjual es podeng dan gerai ayam goreng krispi.
Aku lekas mengingat-ingat. Apakah pernah kulihat Harum sebelum hari ini? Terpanggil sederet bayangan dengan warna baju yang berbeda, rasanya perempuan itu memang duduk di sana. Sendiri atau bersama orang lain? Aku tak ingat pasti. Beberapa hari ini, hatiku gelisah dan geram. Campuran perasaan itu melahirkan kesedihan. Aku kehilangan semangat bekerja.
“Apa yang jadi masalahmu? Kudengar selintas dari pembicaraan kalian. Tentu tidak sepenuhnya aku tahu,” kata Harum lembut seperti seorang ibu.
Aku memperkirakan usia Harum tak terpaut jauh denganku. Tepatnya tidak lebih tua ketimbang istriku. Namun jujur kuakui, dia lebih mempesona daripada perempuan yang berada di rumahku. Ada upaya menonjolkan bentuk payudara dengan ukuran blus yang dikurangi masing-masing satu senti di tiap sisi. Jemarinya, yang terletak di antara dua piring kotor, terlihat begitu indah. Terus terang menimbulkan debar.
“Maaf, itu bukan urusanmu,” kataku perlahan. “Kita baru saling bertemu. Baru tahu nama masing-masing.”
Harum mengambil kertas dari tas tangannya dan membaca tulisan yang tertera. “Bagian faktur. Tambun. Pelatihan promosi. Pak Hebron. Ibu Kusrini. Asisten manager. Komdak. Mutasi. Persetujuan Jepang. Tipe baru. Menperindo. Gaikindo. Samsat…”
“Kamu menguping pembicaraan kami?” Aku kaget dan tersinggung.
“Ya, tapi kata-kata ini tak berguna tanpa dijelaskan hubungannya,” Harum tersenyum.
“Jadi, apa maksudmu menemuiku dengan gratifikasi segelas es podeng?” Meski tetap perlahan, nada suaraku meninggi. Aku menyesal tidak ikut teman-teman naik ke lantai 7 tepat waktu.
“Jangan salah paham. Sudah kubilang, mungkin ada masalah yang membuatmu tampak kusut. Siapa tahu, sebagai kawan barumu, aku bisa membantu.”
Dulu aku suka berkhayal tentang peri yang datang menolong, ketika menghadapi tugas sekolah yang sulit atau selalu kalah main kelereng.
“Sori, aku harus kerja lagi.”
“Ardian!” Harum lebih cepat berdiri. “Tidak baik meninggalkan pembicaraan yang belum selesai. Mungkin aku tidak sopan mencampuri urusan orang lain, apalagi baru saling kenal. Tapi… apakah aku terlihat tak bisa dipercaya?”
Ketika kutatap matanya, ia tidak berpaling. Pandangannya justru disediakan untuk meyakinkanku. Ia begitu pintar membuat matanya menjadi sepasang telaga dan aku merasa nyaman berendam di sana.
“Aku tidak ingin menambah masalah. Satu hal yang kuhadapi ini saja membuatku ingin keluar dari perusahaan.”
“Ada baiknya ceritakan kepada orang yang tak pernah mengejekmu. Satu di antaranya aku.” Jemari Harum dengan lembut menyentuh punggung tanganku. Entah mengapa, dingin yang sebenarnya berasal dari gelas es podeng ikut menenteramkan perasaanku.
“Aku harus masuk, sudah lewat setengah jam.” Aku berusaha menghindar. “Terima kasih telah bersimpati. Juga es podengnya. Kubawa ke dalam.”
Harum tidak memaksa, hanya berharap. “Aku ingin kita bertemu lagi. Mungkin aku bisa membantumu.” Perempuan yang hampir sama tinggi denganku itu memberikan kartu nama. “Jangan dilihat perusahaannya, sudah bangkrut. Nomorku ada di situ. Kutunggu teleponmu.”
Kami berpisah. Harum kembali duduk. Mungkin menghabiskan es podengnya.
Haruskah kuceritakan masalahku kepada Harum? Aku melamun sambil masuk lift. Sebuah kebetulan yang buruk, dalam kotak sempit itu aku bertemu Pak Hebron, Direktur Personalia yang menjadi pangkal persoalan.
***
Seorang pianis mengakhiri musik yang mengiringi biduan bersuara bening. Ada tepuk tangan ringan dari beberapa meja. Perempuan bergaun hitam yang baru saja menyelesaikan lagu Oddie Agam mengumumkan bahwa pengunjung boleh menyumbangkan lagu. “Bukan membuat lagu jadi sumbang, ya,” selorohnya.
“Jadi, promosimu terancam gagal? Dimutasi ke tempat lain yang membuatmu harus belajar lagi?” tanya Harum, seperti ingin merangkum ceritaku.
“Semua itu karena keteledoranku. Aku terlalu percaya pada dealer, karena kuanggap mereka akan selalu menepati janjinya. Beberapa prosedur sering kulanggar, demi pelanggan di pulau-pulau yang jauh itu lekas menerima mobil pesanan mereka. Administrasi sembari jalan. Tapi ya… ada kebijakan perusahaan yang terhadang peraturan lokal dan menjadi konflik yang berujung mencurigaiku,” kataku berat. Beban itu membangun tembok gelap di depanku. Bahkan kopi favoritku tidak berhasil menjernihkan pikiranku.
“Pertanyaanku ini mungkin aneh,” ujar Harum sambil menunggu aku memandangnya penuh perhatian. “Apakah Pak Hebron mengenal istrimu atau pernah bertemu? Mungkin dalam acara gathering kantor.”
Aku menggeleng cepat. “Istriku susah diajak bergaul. Bahkan family day tak pernah menarik minatnya. Ia memilih tiketnya diberikan kepada keponakan kami.”
“Kalau begitu, ajak aku dalam acara kantormu, terutama jika Pak Hebron hadir di sana.” Harum tersenyum.
“Maksudmu?”
“Jadikan aku istrimu.”
“Gila!”
“Bukan dalam arti sebenarnya, Ardian. Kenalkan aku sebagai istrimu. Selanjutnya biarlah aku yang bermain.”
“Tidak.” Aku menolak. Meskipun tak terbersit apa tujuan Harum, aku mengendus ini rencana berbahaya.
“Aku serius ingin membantumu. Meskipun berarti itu juga membantuku.” Harum mengelap bibirnya, tak sampai menghapus lipstik tipis yang melapisi. Perempuan itu tahu bagaimana berdandan tanpa kehilangan kecantikan alami.
Aku seperti mencuci muka dengan kedua tangan. “Ada baiknya kita tak bertemu lagi. Aku sudah lega bisa bercerita panjang dan jujur.”
“Jangan lupa, di awal pembicaraan kaubilang bahwa inilah saatnya mempertaruhkan segalanya. Sudah lima belas tahun kamu bekerja, harus mendapatkan sesuatu yang telah lama diharapkan. Satu hal lagi, bahkan keluar dari perusahaan juga menjadi kemungkinan pilihanmu.”
“Ya, tapi…” Ucapanku terhenti oleh genggaman hangat tangannya.
“Biarlah aku cari informasi tentang Pak Hebron. Dalam seminggu ke depan, apa saja agendanya. Oya, kamu suka aku mengenakan baju warna apa?”
***
Auditorium hotel mewah itu didominasi warna merah kirmizi. Nuansa paling anggun untuk perhelatan besar. Telah terjual satu juta unit mobil SUV elegan sejak 8 tahun yang lalu. Di sisi panggung, berdiri Harum sebagai pemandu acara dengan setelan busana marun. Rambutnya digelung tinggi, memperlihatkan jenjang leher pualam.
Masih kusimpan kiriman WhatsApp dari Pak Hebron. “Ardian, istrimu punya potensi. Jika sukses malam ini, akan jadi langganan acara-acara kita.”
Aku tak jadi dimutasi, bahkan promosiku diteruskan. Aku memimpin satu bagian yang membuat tanda tanganku menjadi koleksi para pelanggan, tertera penting pada faktur kendaraan.
Mula-mula Pak Hebron selalu pamit melalui pesan pendek, setiap kali memerlukan jasa Harum. Lambat laun banyak yang disembunyikan, namun aku tahu. Bagiku tentu tidak masalah, sepanjang Harum memberi tahu agar selalu terjaga rahasia hubungan kami.
“Ardian, aku harus menabung,” kata Harum suatu malam. “Aku titip ini. Siapa tahu kubutuhkan kelak.”
Begitu Harum mengirim foto-foto dan video melalui gawai, aku terkejut. Jika Harum benar-benar istriku, tentu akan kubunuh malam itu juga setelah kulihat adegan ranjang panasnya dengan Pak Hebron di hotel.
Kini sudah hampir setahun berlalu sejak karierku membaik. Ingin juga kusampaikan terima kasih secara spesial kepada dewi penolong itu. Pak Hebron banyak memberikan perhatian kepadaku, terlihat dari beberapa kebijakan yang mengamankan posisiku di kantor. Sementara aku dan Harum tak perlu sering berjumpa kecuali pada kegiatan yang memerlukan sandiwara.
Usai penobatan dealer terbaik nasional, tampaknya pesta terlalu menggairahkan. Ada berbotol-botol sake di meja VVIP. Harum mencicipi bersama para petinggi Jepang, tetapi terpaksa ia pamit dengan sempoyongan. Sekali itu, bahuku menjadi tempat bersandar untuk menuntunnya berjalan meninggalkan grand ballroom. Pak Hebron menatap kecewa, tapi ditutupinya dengan sikap-sikap formal. Ia menawarkan sopir untuk mengantar pulang. Aku menunjukkan kunci mobil di tanganku.
Hujan mencuci langit sepanjang jalan menuju rumah Harum. “Lihat di Google map saja. Kepalaku berat banget,” kata Harum, menyerahkan peta di ponsel kepadaku.
***
“Selamat pagi, Harum.” Aku mengucap salam di depan pintu yang terbuka. Dengan daster tipis, Harum terlihat seperti bidadari di mataku.
“Seharusnya kamu tidak pernah mengantarku pulang, selarut apa pun,” kata Harum menyesal. “Sebelum aku berubah pikiran, sebaiknya kamu pulang dan lupakan aku.”
Aku terkejut dengan ucapannya yang serius. Wajahku memanas. Kerja sama tanpa kontrak ini apakah tak boleh diakhiri dengan pertemanan? Sebagai lelaki, aku punya harga diri. Aku hendak berbalik langkah saat ada seruan dari dalam rumah kayu itu.
“Ada tamu siapa, Bunda?” Pertanyaan itu disusul dengan tiga kepala yang memiliki tinggi berbeda di samping Harum. Berebut tempat di lubang pintu.
Seorang anak perempuan dan dua bocah lelaki. Dalam perkiraanku, mereka berusia delapan, enam, dan empat tahun. Perempuan bermuka bulat itu mungkin si sulung. Dua lainnya berbeda satu sama lain. Si tengah berkulit terang dan berhidung mancung indo, sedangkan yang kecil berwajah langsat dengan mata sipit.
“Kamu pengasuh anak?” tanyaku penasaran.
“Mereka anakku. Lahir dari rahimku,” jawab Harum dingin.
“Ayo, Bunda, kita sarapan,” ajak si indo.
Sepasang tangan Harum merengkuh ketiga anak itu membawa masuk. Membiarkan diriku berdiri di depan pintu. Aku ingat seminggu yang lalu, Harum bercerita saat kuantar pulang karena hujan dan acara berakhir lewat tengah malam.
Setengah mabuk, Harum mengatakan bahwa ia sudah punya tiga anak. “Dari tiga lelaki.”
Harum mengaku bersalah telah memikat pamannya ketika masih SMA, sehingga suatu malam menyerahkan keperawanannya yang berlanjut dengan pengusiran. “Bibi memakiku sebagai anak sundal yang tak tahu diuntung. Aku tak punya muka pulang ke rumah orang tua. Sejak belia, aku minggat, merantau.”
Anak kedua Harum berdarah Itali. “Aku bukan merebut dari istrinya yang jauh di Turin. Kami tidak menikah. Aku perlu spermanya saja. Salah perusahaan dong telah menempatkan aku di kantor lepas pantai. Kata Marco, aku cewek Asia paling hangat. Berminyak, hahaha. Belum genap sembilan bulan kandunganku, dia pulang ke Itali, habis kontrak. Hmmm, sejak lahir, Luigi sudah setampan ayahnya.”
Aku tak menanggapi racauannya. Kupilih berkonsentrasi mengemudi karena hujan menampar-nampar kaca mobil.
“Bungsuku… itu anak produser film. Ayah Teddy mati karena kecelakaan. Aku tak mungkin mengaku-ngaku sebagai piaraannya kepada janda yang kini pindah ke Singapura.”
Pengakuan yang kelam dan getir. Aku terkenang pada pertemuan kami pertama kali di kantin kantor. Rasa es podeng itu masih kuingat, juga sentuhan tangan Harum yang menyihirku. Aku tak pernah tahu: apa motif hidup Harum? Benarkah ia bernama Harum? Kini, pada Sabtu pagi, aku dipaksa menerima keputusannya agar saling melupakan. Urusan memang sudah selesai.
Saat aku melangkah meninggalkan teras sempit rumah itu, masih sempat kudengar suara perempuan. “Bunda, kenapa tamunya tak diajak masuk?”
***

Elang Malindo, 21 Maret 2018
Kurnia Effendi menulis cerpen dan puisi sejak 1978. Telah menerbitkan 21 buku dalam aneka genre (puisi, cerpen, novel, esai, dan memoar). Tahun 2017 mengikuti program residensi penulis Kemdikbud dan memilih negeri Belanda untuk riset calon novelnya tentang Raden Saleh.

Mengapa Orang Gila Membunuh Ustaz?


Cerpen Faris Al Faisal (Republika, 01 April 2018)
Mengapa Orang Gila Membunuh Ustaz ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Mengapa Orang Gila Membunuh Ustaz ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Kali ini, untuk menjaga ustaz Zamzani dari gangguan orang gila, jamaah masjid al-Manar, terutama remajanya sepakat bergantian untuk berjaga terutama malam hari di sekitar masjid dan rumah ustaz Zamzani selama waktu yang belum bisa ditentukan. Mereka tidak menghendaki, peristiwa buruk yang terjadi pada beberapa ustaz seperti dalam pemberitaan—dianiaya, dipukuli bahkan sampai terbunuh—terjadi pada ustaz Zamzani atau ustaz-ustaz lainnya—orang yang telah mengajari mereka membaca huruf-huruf hijaiah, menuntunnya melafalkan ayat-ayat suci dengan tartil dan mengajarkan agar senantiasa salat tepat waktu.
Kala itu, sehabis turun shalat Subuh—saat jamaah sudah pulang ke rumah masing-masing—ustaz Zamzani yang selalu pulang akhir karena lebih lama berzikir didekati seorang lelaki yang berpenampilan seperti orang yang terganggu kejiwaannya. Namun nahas, lelaki berpakaian kumal itu langsung mencekik leher ustaz Zamzani sambil mengancam, “Kamu ustaz? Saya bunuh!”
Beruntung ustaz Zamzani memiliki sedikit simpanan bela diri sehingga upaya pembunuhan itu dapat digagalkan. Bersamaan itu, marbut masjid, pak Imin, ikut membantu menangkapnya. Tetapi sayangnya, orang gila itu dilepas bebas oleh lelaki yang menjadi imam rawatib masjid al-Manar itu.
“Kenapa tidak ditangkap saja ustaz?” tanya salah seorang jamaah yang mendengar cerita itu dengan heran. “Betul, jangan-jangan dia akan mengulangi perbuatannya itu,” sahut yang lain. “Sekarang banyak pemberitaan, ustaz dibunuh orang gila,” timpalnya kemudian.
“Semoga itu tidak terjadi lagi,” ucap ustaz Zamzani menenangkan suasana.
“Bagaimana kalau kita adakan penjagaan untuk melindungi ustaz Zamzani dan ustaz-ustaz lainnya,” seru Ziyad. Ketua remaja masjid itu terlihat sekali kesungguhannya.
“Setuju,” ucap Saefudin. Lelaki berperawakan tegap yang membawahi kegiatan seni bela diri untuk para remaja masjid itu menyatakan bulat dukungannya.
“MENGAPA orang gila membunuh ustaz?” tanya Ziyad kepada Rafi.
“Betul, kenapa hanya ustaz dan pelakunya lagi-lagi orang gila?” Rama pun turut mengerutkan keningnya memikirkan jawaban dari pertanyaannya itu. Kedua pemuda itu bertetangga dan berkawan baik dengan Ziyad.
“Ustaz adalah ulama. Mustahil Allah akan membiarkan orang-orang gila itu membunuhi hambanya yang menjadi pewaris dari rasul-Nya,” jelas Ziyad.
“Bukankah dulu orang-orang Yahudi gemar menghilangkan nyawa para Nabi dan kini orang gila hobi membunuh ustaz?” Rafi  menukas penjelasan Ziyad.
“Apakah kiamat makin dekat sehingga Allah mematikan orang-orang saleh seperti ustaz-ustaz itu? Suatu kebetulan ataukah ada desain dengan pelaku dan korban yang selalu sama? Masih saja ada orang-orang yang tidak menghendaki bangsa ini aman dan makmur?” ujar Rama memperluas perbincangan.
“Entahlah,” jawab Ziyad. “Sementara, ini kita baru bisa berbuat untuk membela ulama dan kitab suci dari para penista. Seperti dulu kaum Hawariyun membela Nabi Isa AS atau kaum Anshar yang melindungi Nabi Muhammad SAW. Biarlah untuk penyelidikannya menjadi kewenangan pihak kepolisian. Apa yang menimpa ustaz Zamzani pun sudah ditanganinya.”
“Semoga akan segera diketahui misteri pembunuhan ustaz oleh orang-orang gila itu.”
MALAM kian kelam. Pekat merayap manakala bulan disungut awan. Bunyi kentong sesekali ditabuh seirama dengan tubuh-tubuh yang lalu-lalang dengan bayang hitam dari jamaah yang hilir mudik di sekitar masjid dan rumah ustaz Zain yang bersebelahan.
Di dalam rumahnya, ustaz Zain tak bisa tidur apalagi sampai mendengkur. Ia terpekur memikirkan keadaan yang demikian mencekam. Diraihnya sebuah kitab bacaan untuk menghilangkan pikiran yang tidak-tidak. Beberapa lamanya ia tenggelam dalam lautan ilmu. Meneguk pengetahuan dan menemukan mutiara yang tersebar di dalamnya.
“Sudahlah Abi, sudah malam,” ucap istrinya pelan. Tangannya yang lembut memijit-mijit punggung suaminya yang masih menekuri kitab bacaannya. “Bukankah sudah ada yang menjaga rumah ini?”
Lelaki yang rambutnya mulai berjuntai uban itu menutup bukunya dan meletakkan di meja kerjanya. Ia tersenyum, memandangi wajah istrinya yang penuh dengan guratan kesabaran. Wajah yang tak pernah lelah menemaninya sekalipun keringat di tubuh berpeluh.
“Apa anak-anak sudah tidur, Umi?”
“Sudah, Zain dan Zallumy tidur di kamar depan.”
“Sebenarnya Abi bukan tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan peristiwa kemarin, Umi.”
“Lantas?”
“Kasihan mereka, tidak tidur dan harus terus berjaga-jaga. Makan dan minum pun uang mereka sendiri, tak ada yang menanggung.”
“Bukankah itu atas kesadaran dan keikhlas an mereka. Itu bukti masih ada kecintaan umat kepada ustaz seperti Abi.”
“Betul, tetapi mereka juga punya keluarga yang juga mesti dijaga dan dilindungi. Abi tak ingin menjadi sebab tanggung jawab mereka sebagai kepala keluarga dan anggota keluarga lalai dan terbengkalai.”
Cukup lama percakapan itu senyap. Hanya bunyi detak jarum jam yang kian terdengar saat keduanya diam. “Terus kita dapat berbuat apa, Abi?”
Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya. Ia tampak berkemas, di depan cermin dirapihkan pakaiannya. “Abi akan keluar dan membubarkan mereka untuk pulang ke rumah. Kasihan, sudah seminggu lebih mereka berjaga. Keamanan keluarga kita biarlah menjadi tanggung jawab kita sendiri. Kita pun tetap berikhtiar agar waspada dan berhati-hati. Tawakal menyerahkan urusan ini kepada Allah—Tuhan yang menghidupkan dan mematikan.”
Umi Salamah—istri ustaz Zain—terdiam. Kepalanya mengangguk tanda sepakat. Dalam hatinya ia tetap merasa khawatir atas keselamatan suaminya. Namun, apa yang diucapkannya lelaki yang dipanggil Abi itu juga memang benar.
“Abi pamit sebentar, Umi.”
Tak ada yang diucapkannya kemudian, kecuali sebaris doa di dalam hati agar keadaan semacam ini segera berlalu. Ia teringat beberapa kasus yang menimpa kiai-kiai di negeri yang mayoritas Muslim ini beberapa tahun silam. Sebutlah pembunuhan kiai berkedok isu ninja atau dukun santet di Banyuwangi, pembantaian terhadap guru ngaji di tujuh kabupaten di Jawa Timur, teror tanda silang merah menggunakan cat semprot di sejumlah rumah kiai di Demak, dan jauh sebelumnya adalah pembantaian ulama-ulama oleh PKI dalam berbagai peristiwa pemberontakannya di Tanah Air. Beberapa kasus, misalnya, selalu diawali dengan banyak berkeliaran gelandangan dan orang gila. Ini tidak jauh berbeda dengan pembunuhan terhadap beberapa ustaz sekarang ini. Adakah hubungan atas semua peristiwa itu. Batinnya menjangkau-jangkau sampai jauh dan jauh.
“KITA bunuh saja! Bunuh! Bunuh!”
Terdengar teriakan dan lontaran kata orang-orang di seberang jalan depan masjid. Suasana malam yang tenang mendadak bising dengan bunyi kentong yang ditabuh bertalu-talu.
“Bunuh! Bunuh! Bunuh!” Semua ucapan seperti satu suara.
“Jangan dibunuh! Jangan! Kita tangkap saja dan kita tanya kebenarannya!” teriak Ziyad. Ia dan dua kawannya datang berlarian.
“Bodoh kamu! Orang gila mau ditanya, apa otakmu juga tidak waras!” bentak Saefudin dengan suara keras, ia memang terkenal jawara. Dua tangannya sudah mengepal dan darahnya seperti sudah menggumpal. Dipukulnya lelaki berpakaian kumal itu sehingga terpental dan terdengar jeritannya mengaduh-aduh.
“Sebentar! Sebentar! Di mana kau temukan orang gila ini?” tanya Rafi.
“Betul, jangan sampai kita salah menghakimi orang,” imbuh Rama.
“Dia tepergok masuk pelataran masjid dan hendak menuju rumah ustaz Zamzani,” cerita Saefudin.
“Betul, seperti itu ceritanya,” timpal Yasin yang saat itu bersama Saefudin.
“Berarti ini baru dugaan. Belum cukup bukti untuk menuduh lelaki ini akan berbuat buruk kepada ustaz Zamzani,” jelas Ziyad.
Suasana makin ketat. Dan orang-orang makin panas berdebat. Namun, di saat demikian terdengar suara jeritan.
“Bukankah itu suara umi Salamah, istri ustaz Zamzani?” seru Ziyad memberi analisis.
“Benar! Apa yang terjadi?”
“Coba beberapa orang untuk menengok ke sana!” perintah Saefudin yang masih mengunci tangan dan kaki orang gila itu agar tidak bergerak.
Orang-orang berlarian ke rumah ustaz Zamzani. Mereka menemukan umi Salamah tengah mendekap suaminya di depan beranda rumahnya.
“Apa kubilang, orang gila tadi telah berbuat buruk kepada ustaz Zamzani,” seru Yasin geram.
“Ada apa, Umi?” tanya Ziyad.
Sambil terisak perempuan berpakaian hijab memberi penjelasan. “Abi tak bisa tidur, lalu pamit sebentar ingin bertemu kalian tapi sudah satu jam belum juga kembali. Lalu Umi berniat untuk untuk menemuinya dan terkejut menemukan sudah Abi tergeletak di sini.”
“Maaf Umi, saya ingin melihat keadaan ustaz,” pinta Ziyad.
Disentuhnya detak jantung dan pergelangan tangan guru mengajinya itu. Mukanya tampak tegang, tetapi kemudian mengendur seperti ada rasa syukur yang tak terukur.
“Ustaz masih hidup,” katanya.
“Alhamdulillah!” Serentak orang-orang yang hadir di situ mengucap.
Di saat itu, ustaz Zamzani siuman. Kelopak matanya terbuka sedikit demi sedikit dan melihat sudah banyak orang mengerumuninya. “Ada apa ini? Apa yang terjadi di atasku?”
“Maafkan kami ustaz, kami berkumpuldi sini untuk menjaga ustaz dan keluarga. Tetapi, rupanya kami kecolongan.”
“Ini orang gilanya sudah kami tangkap. Terserah ustaz, kami menunggu perintah,” ucap Saefudin menggelandangnya.
Lho, apa hubungannya? Tadi saat keluar rumah, rupanya saya terpeleset karena lantainya licin berembun.”
“Jadi orang gila ini?” tanya Saefudin.
“Lepaskan saja, dia ingin bebas. Apa kalian menganiayanya?” tukasnya.
“Maafkan kami ustaz, kami telanjur menuduhnya telah berbuat buruk.”
“Ziyad, Rama, dan Rafi bantu Umi, tolong beri makan dia. Kemudian obati luka lebamnya. Dia tak bersalah.”
“Dan kalian saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan kecintaan kalian kepada ulama. Namun, pulanglah ke rumah kalian masing-masing. Anak, istri, dan keluarga kalian pun membutuhkan penjagaan dan perlindungan dengan tetap memedulikan keamanan dan kenyamanan lingkungan sekitar. Jangan lupa untuk memakmurkan masjid dengan salat berjamaah tepat waktu.”
“Baiklah, Ustaz.”
Azan subuh berkumandang. Ustaz Zamzani berlinang saat masuk masjid, orang-orang sudah berkumpul bershaf-shaf menunggunya memimpin shalat. Tiba-tiba ia teringat sabda Nabi, “Barang siapa yang melaksanakan shalat Subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah.”

Faris Al Faisal lahir dan tinggal di Indramayu. Bergiat di Dewan Kesenian Indramayu. Karya fiksinya adalah novella Bunga Narsis Mazaya Publishing House (2017), Antologi Puisi Bunga Kata Karyapedia Publisher (2017), dan Kumpulan Cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek Karyapedia Publisher (2017), sedangkan karya nonfiksinya, yaitu Mengenal Rancang Bangun Rumah Adat di Indonesia Penerbit Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017). Puisi, cerma, cernak, cerpen, dan resensinya tersiar berbagai media koran, seperti Kompas, Tempo, Republika, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Radar Cirebon, Radar Surabaya, Radar Sulbar, Radar Banyuwangi, Minggu Pagi, Bali Post, Bangka Pos, Magelang Ekspres, Solopos, Suara NTB, Joglosemar, Tribun Jabar, Bhirawa, Koran Pantura, Riau Pos, Majalah Hadila, Tabloid Nova dan Jurnal Asia. Email ffarisalffaisal@gmail.com, Facebook http://www.facebook.com/faris.alfaisal.3, Twitter @lfaisal_faris, IG @ffarisalffaisal, Line ffarisalffaisal.

Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang

Cerpen A. Mustofa Bisri (Kompas, 01 April 2018)
Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang ilustrasi Wayan Kun Adnyana - Kompas.jpg
Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang ilustrasi Wayan Kun Adnyana/Kompas
Ketika pertama kali aku melihatnya, aku sudah bertanya tanya dalam hati. Aku melihatnya dari jendela kereta api menjelang keberangkatanku dari stasiun S menuju kota J. Seorang gadis cilik beralis tebal berdiri sendirian di peron, memandangiku. Semula aku kira dia sedang mengantar dan ingin melambai seseorang lain, orangtuanya atau saudaranya atau siapa. Tapi kulihat matanya yang cemerlang tertuju langsung kepadaku dan hanya kepadaku. Saya membayangkan atau mengharapkan dia tersenyum. Bila tersenyum, pasti akan semakin indah bibir mungil itu. Tapi dia sama sekali tidak tersenyum. Hanya pandangannya saja yang tidak terlepas dari diriku. Aku sama sekali tidak bisa menafsirkan atau sekadar menerka ncrka kehadiran dan pandangannya. Wajah manis itu tidak mengekspresikan apa apa.
Sampai keretaku berangkat, wajah gadis kecil beralis tebal bermata cemerlang itu masih memandangiku. Anak siapa gerangan? Mengapa sendirian di stasiun? Bukan. Menilik pakaian dan sikapnya, dia pasti bukan gelandangan. Pakaiannya bersih, sikapnya mantap. Dan matanya itu, mata yang cemerlang itu, meski tidak memancarkan kegembiraan, tidak menyiratkan sedikit pun penderitaan atau sekadar kegelisahan seperti umumnya kebanyakan mata anak gelandangan.
Keretaku semakin melaju. Stasiun yang menyimpan misteri gadis kecil itu sudah lenyap dari pandangan. Tapi wajah gadis kecil itu tak kunjung hilang dari benakku. Dia terus mengikutiku. Sampai kondektur memeriksa karcis. Sampai kru KA menyuguhkan makan malam. Sampai aku makan. Sampai aku tertidur.
Tahu-tahu aku sudah sampai di stasiun kota J. Dengan taksi aku menuju rumah kenalanku yang menjanjikan akan mengenalkanku dengan adiknya yang katanya cantik seperti bintang film kesukaanku. Sopir taksi menanyakan seperti biasa. “Lewat mana?” Saya pikir ini kiat sopir taksi untuk mengetahui apakah penumpangnya ngerti jalan atau tidak. Kalau ketahuan tidak mengerti jalan, maka dia putar-putar seenaknya agar argonya bisa tinggi. Maka aku bilang, “Terserah abang sajalah!” Dan ternyata karena aku memang tidak mengerti jalan, aku pun tidak tahu apakah dia putar-putar atau tidak.
Rumah kenalanku, Sahlan, terletak di kampung yang padat Aku keluar masuk gang, tanya sana-sini, haru akhirnya ketemu. Rumahnya sederhana sekali seperti umumnya rumah-rumah yang lain.
Sahlan senang sekali melihat aku benar-benar datang memenuhi janjiku. Saking senangnya dia kelihatan seperti gugup. Sebentar-sebentar masuk lalu keluar lagi dan setiap keluar ada saja yang dibawanya: yang minuman, kue-kue, rokok. Terakhir dia bawa peralatan mandi. “Mandi dulu apa?” tanyanya kemudian dijawab sendiri. “Ya, sebaiknya kamu mandi dulu biar segar.” Aku nurut
“Kok sepi? Kau sendiri ya?!” tanyaku ketika dia mengantarku ke kamar mandinya.
“Ya, bapak dan ibu sedang mudik ke M. Aku sendirian dengan adikku, jaga rumah.”
Entah mengapa ada rasa lega ketika mendengar dia sendirian dengan adiknya. Tapi di mana dia gerangan? Mau bertanya agak malu juga, jadi aku diam saja.
“Ini kamarmu. Kalau ingin istirahat dulu, silakan lho!” katanya ramah, “Jangan malu-malu. Anggap saja rumah sendiri!”
Di kamar mandi aku mendengar suara gadis sedang menyanyi lagu India. Ini pasti suara adiknya, pikirku. Merdu juga. Pasti orangnya cantik.
Habis mandi aku langsung masuk ke kamar yang disediakan, entah kamar siapa. Mungkin kamar orangtuanya. Kamar ini juga sederhana tapi bersih sekali. Aku ganti baju dan suara lagu India itu masih terus kudengar.
“Sarapan dulu, Mas!” tiba-tiba terdengar suara Sahlan dari luar kamar. “Oke!” jawabku dari dalam kamar.
Ketika aku keluar. Masya Allah, aku tertegun. Kulihat di depanku, seorang perempuan menatapku. Alisnya tebal, matanya cemerlang, dan senyumnya manis sekali; persis seperti yang dimiliki gadis kecil yang menatapku di stasiun S. Tak mungkin perempuan ini ibu dari gadis cilik itu. Terlalu muda sebagai ibu. Atau kakaknya? Tapi Sahlan pernah mengatakan dia hanya mempunyai seorang adik perempuan.
Perempuan itu memberi isyarat, mempersilakan ke meja makan sambil tersenyum manis sekali. Aku mengangguk dengan gugup. Sahlan sudah duduk di meja makan sambil membaca koran. Syukur dia tidak memperhatikan kehadiranku dan tidak melihat kegugupanku. Aku segera memperbaiki sikapku seolah-olah tidak ada apa-apa dan langsung menuju meja makan. Perempuan itu duduk di samping Sahlan. Aku pun mengambil tempat duduk di depan mereka. Merasa saya sudah bergabung, Sahlan buru-buru melipat korannya dan mempersilakan.
“O ya, kenalkan dulu, ini Shakila,” katanya sambil melirik perempuan bermata cemerlang di sampingnya, “Adikku. Adik ketemu gede, ha-ha. Istriku tercinta!” Deg. Ada sesuatu seperti memalu dadaku. Ternyata istrinya. Asem, kau Sahlan, batinku.
Perempuan itu mengulurkan tangannya. Dengan kikuk aku pun mengulurkan tanganku. Kami berjabatan tangan dan terasa ada getar yang kurasakan; entah bersumber dari tanganku atau tangannya yang lembut. Kembali berkelebat wajah gadis kecil di stasiun.
“Ayo, kita mulai! Nanti keburu dingin rawonnya!” Sahlan kembali mempersilakan. Tanpa berbicara sepatah pun, istrinya mengambilkan nasi untukku dan suaminya. Kami, maksudku aku dan Sahlan, makan sambil mengobrol. Istrinya sama sekali tidak ikut bicara. Hanya sesekali tersenyum; seperti ketika suaminya menceritakan asal-usul namanya yang seperti nama bintang film India itu. Bahkan ketika aku sengaja bertanya sesuatu kepadanya, Sahlan yang menjawab. Sekejap terlintas dalam pikiranku, jangan-jangan istri Sahlan ini bisu. Ah, tidak, lha tadi yang kudengar menyanyi lagu India, kan, dia.
Sehabis makan, aku dan Sahlan masih meneruskan berbincang-bincang, tepatnya Sahlan yang bercerita dan aku hanya kadang-kadang membumbui pembicaraanya; sementara istrinya membereskan meja makan dengan diam. Untunglah Sahlan termasuk jenis manusia yang senang berbicara tanpa peduli didengarkan atau tidak; sehingga dia tidak menyadari kalau aku tidak begitu konsentrasi mendengarkannya. Konsentrasiku terpecah antara mendengarkan pembicaraannya dan memikirkan istrinya. Sejak melihat kemiripannya dengan gadis kecil di stasiun dan mendengar suaranya menyanyikan lagu India, aku mengharap dia itulah adiknya. Ternyata Sahlan, sengaja atau tidak, telah mempermainkanku. Yang dia bilang adiknya ternyata istrinya.
Tiba-tiba Sahlan menepuk lenganku dan berkata seolah-olah dia tahu apa yang sedang kupikirkan, “Kau tahu, adikku itu, eh, istriku itu, betul-betul perempuan istimewa. Betul-betul istimewa. Dia berbicara tidak menggunakan mulut. Mulutnya hanya untuk tersenyum dan bernyanyi. Mungkin kau mendengar nyanyian India tadi, itulah lagu kesukaannya. Merdu ya?! Tapi dia hanya berkata-kata dengan matanya dan sesekali dengan senyumnya. Sejak berkenalan, aku tidak pernah mendengar dia berbicara dengan mulut. Tadinya kukira dia bisu—dan aku tidak peduli biar bisu sekali pun, aku sudah telanjur kesengsem oleh senyum dan matanya yang cemerlang itu—ternyata bila sendirian. sedang mandi, mencuci, atau memasak di dapur, dia menyanyi.”
Sahlan berhenti ketika istrinya datang membawa dua cangkir kopi. Saat meletakkan cangkir kopi di depanku, saya melihat matanya yang cemerlang seperti mempersilakan. “Terima kasih!” kataku dan senyumnya yang manis kulihat seperti mengatakan, “Terima kasih kembali!”
“Lihatlah,” kata Sahlan begitu istrinya berlalu, “dari tadi kau tidak melihatnya berbicara, tapi kau pasti merasakan dia berkata-kata kepadamu. Itulah istriku yang lebih suka kusebut dan kuperkenalkan sebagai adikku. Perkenalanku dengannya juga cukup aneh. Waktu itu aku sedang berada di atas kereta yang akan berangkat dari stasiun S. Dari jendela kereta, kulihat dia, waktu itu masih seorang gadis kecil, berdiri dekat gerbong keretaku. Matanya yang cemerlang memandang lurus ke mataku tanpa berkedip. Aku mencoba tersenyum. Ternyata dia membalas senyumanku dengan senyumannya yang manis itu.”
Sahlan berhenti sejenak matanya menerawang, seolah-olah sedang mengingat-ingat masa lalu. Aku sendiri kontan teringat gadis kecil beralis tebal yang juga memandangiku di stasiun S ketika keretaku akan berangkat.
“Percaya atau tidak.” tiba-tiba Sahlan melanjutkan, “beberapa tahun kemudian ketika aku pulang ke M setelah capek keluyuran seperti kau sekarang, ibuku memperkenalkanku dengan seorang gadis cantik beralis tebal bermata cemerlang. Gadis yang tak lain dan tak bukan ialah gadis yang pernah kulihat di stasiun S. Singkat cerita, ketika ibuku menawariku untuk mengawini gadis yang bernama India itu, tanpa pikir panjang aku mau. Kami kawin dengan wali hakim, karena dia gadis lola, tak punya orangtua dan saudara. Ia adalah anak asuh kawannya ibuku yang memu-ngutnya sejak bayi. Kawan ibuku itu menemukan bayi di stasiun S dan sudah diurus ke mana-mana, tak ada yang mengakuinya. Akhirnya kawan ibuku itulah yang memeliharanya. Beliau menamakannya dengan bintang film India kesayangannya, Shakila.” Aku tak lagi mendengar apakah Sahlan masih terus berbicara atau tidak karena tiba-tiba gadis kecil beralis tebal dan bermata cemerlang datang, entah dari mana, dan tersenyum manis sekali.

A Mustofa Bisri, lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agus-tus 1944, dari keluarga santri. Belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dikenal sebagai kiai yang mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang. Gus Mus, demikian namanya lebih dikenal, telah menghasilkan beberapa buku kumpulan puisi dan cerpen.
Wayan Kun Adnyana. lahir di Bangli, Bali, 4 April 1976, seorang perupa, dosen seni rupa, dan sejak Oktober 2017 menjadi Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Doktor bidang kajian seni rupa dari Pascasarjana ISI Yogyakarta ini pernah mengikuti visiting scholar/artist di Gwen Frostic School of Arts, Western Michigan University, semester musim gugur 2013