Daftar Blog Saya

Selasa, 19 Desember 2017

Orang-Orang yang Membunuh Nafsunya

Cerpen Ilham Q. Moehiddin (Jawa Pos, 17 Desember 2017)
Orang-Orang yang Membunuh Nafsunya ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos
Orang-Orang yang Membunuh Nafsunya ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
Malam itu orang-orang gelisah. Sebelum pertengkaran terjadi di antara mereka sendiri, dua orang wakil sudah disuruh memanggil tujuh induk keluarga lain agar hadir di Laica Ngkoa, rumah adat besar milik Ina’Ea Sampalangi. Raungan anak perempuannya terdengar sampai ke jalan besar, di mana saat ini orang-orang sedang berkumpul dalam gelisah. Cahaya dari puluhan obor yang dibawa orang-orang bahkan bisa mencapai rumah terakhir di sisi anak sungai Lobu Meheo.
Tina’Ate Aima meraung-raung tak henti. Delapan perempuan sibuk menenangkannya. Tapi kesedihan Tina’Ate Aima tak jua sirna. Di kamar sebelah, dua perempuan lain sibuk membujuk Ato Mangada agar berhenti menangis dan segera menyebut nama lelaki yang menyerangnya siang tadi. Ina’Ea Sampalangi sangat ingin tahu nama lelaki itu. Muka nenek Ato Mangada itu benar-benar menampakkan isi dadanya yang terbakar amarah. Taa, belati di tangannya belum dihunus tapi tak mau ia turunkan.
Tigapuluh menit habis, barulah dua orang suruhan itu datang kembali ke hadapannya. “Sudah, Ina’Ea,” kata seorang dari mereka.
Ina’Ea Sampalangi tak menoleh. “Semuanya?”
“Semuanya—mereka bilang akan menyusul kami.”
“Pergilah ke belakang,” desis Ina’Ea Sampalangi, “…keluarkan dari peti Taa’Owu milikku dan basuh sekaligus,” pintanya.
Mendapat perintah, dua orang itu pergi tergesa-gesa. Mereka memutar di ujung ruangan menuju kamar besar di tengah rumah. Saat Ina’Ea Sampalangi meminta memandikan parangnya, tahulah mereka sebesar apa kemarahan di dada perempuan tua yang paling dihormati di kampung mereka itu.
Di bawah rumah panggung, kerumunan orang terbelah sengaja memberi jalan bagi sembilan utusan keluarga Ina’Ea Sampalangi. Mereka tak berjalan tergesa-gesa, namun di tangan mereka tergenggam Taa yang tak lagi diselipkan di pinggang kiri seperti biasanya.
Satu per satu utusan keluarga yang dipanggil naik ke rumah dan duduk bersila di depan Ina’Ea Sampalangi. Mata orang tua itu memandang tajam pada mereka semua. Ada sembilan utusan keluarga anaknya yang datang dan itu sudah semuanya. Hanya kepala keluarga saja yang naik, sisanya menunggu di bawah rumah panggung.
“Kalian dengar tangisan tinano (ibunya) Ato itu?”
Sembilan wakil mengangguk dan bersamaan menjawab, “Kami dengar, Ina…”
“Sebab dia meneteskan air mata itulah yang membuatku sangat malu. Karenanya kalian aku panggil ke sini.” Wajah Ina’Ea Sampalangi mengeras di atas kursinya.
Djama menggeser posisi duduk agar lebih dekat ke posisi ibunya. “Seperti apa masalah yang membuat Ina malu besar?” Djama menyentuh lutut ibunya. Djama putra tertua dari rumpun keluarga induk Ina’Ea Sampalangi.
Ina’Ea Sampalangi menggeram, “Seorang lelaki telah menodai Ato!”
Sembilan utusan keluarga anak-anaknya terperanjat saat ibu mereka bilang bahwa kemenakan mereka telah dinodai. Tiga kakak Tina’Ate Aima langsung terlompat mencabut Taa. Ketiga paman Ato Mangada itu duduk kembali ketika mata Ina’Ea Sampalangi menghunjam ke arah mereka. Tetapi Taa yang sudah keluar dari sarungnya—sebelum bersimbah darah—tidak boleh dimasukkan kembali. Itu pantangan besar bagi orang Tokotua. Mereka bertiga harus menerima risiko memegang Taa telanjang, sampai senjata mereka itu menemui takdirnya.
“Siapa orangnya, Ina?” kejar Djama.
Ina’Ea Sampalangi menaikkan tangan kirinya. Kepalanya menunduk, rahangnya mengeras. Ia kemudian menggeleng. “Para perempuan sedang membujuk agar Ato Mangada menyebut namanya. Kepalaku sakit mendengar ibunya meraung seperti itu selepas sore tadi.”
Belum habis bicara Ina’Ea Sampalangi, seorang perempuan datang berlutut ke tengah lingkaran para lelaki, menatap tajam ke arah Ina’Ea Sampalangi yang mengangguk padanya. “Ato Mangada sudah bicara,” kata perempuan itu.
Ina’Ea Sampalangi berdiri dari kursinya. “Siapa orangnya!”
Perempuan itu menoleh sesaat pada sembilan utusan keluarga anak-anak Ina’Ea Sampalangi. “Luangka—dia adik Dato Majeng.”
Wajah Ina’Ea Sampalangi memerah. “Luangka—dia kalian harus bayar rasa malu ini!” Desis perempuan tua itu. Sembilan utusan keluarga anak-anaknya juga ikut berdiri. Mereka tidak akan bergerak sebelum ibu mereka memberi perintah. Dari kamarnya, Tina’Ate Aima masih meraung-raung, mengibakan nasib anak gadisnya yang telah diperawani paksa. Belum ada yang memberitahunya soal Luangka. Orang-orang tak mau ibu Ato Mangada meraung sepanjang malam.
Sebelum malam kian larut, orang-orang sudah bergerak ke rumah Dato Majeng. Ia lebih muda sepuluh tahun dari usia Ina’Ea Sampalangi. Orang-orang tak lagi memedulikan kedudukan Majeng sebagai dato di keluarga besarnya. Luangka telah membuat kesalahan yang memalukan dan Majeng, sebagai kakaknya, juga harus bertanggung jawab.
Orang-orang bergerak. Ina’Ea Sampalangi memimpin rombongan itu diikuti sembilan keluarga anak-anaknya. Jalanan benderang karena cahaya api dari obor. Wajah-wajah mereka tegang karena sebentar lagi Ina’Ea Sampalangi dan Dato Majeng akan berhadapan dan siapa pun keluarga Dato Majeng yang berupaya menghalangi boleh jadi akan berkalang tanah bersama pengulu rumpun keluarganya itu.
***
Ina’Ea Sampalangi dan keluarganya tiba di depan rumah panggung besar milik Dato Majeng. Ternyata Majeng sudah menunggu. Taa miliknya masih terselip di depan perutnya, wajahnya tenang sekali. Ia bersiap menyambut selepas seseorang mengabarkan kedatangan rombongan keluarga Ina’Ea Sampalangi.
Tukaku (kakakku) Sampalangi, masuklah,” sambut hormat Majeng, “… aku sudah tahu musabab kedatanganmu. Sebagai saudara Luangka, tentu aku harus bertanggung jawab.”
“Tutup mulutmu!” sergah Ina’Ea Sampalangi. “Mana Luangka? Dia harus bayar perbuatannya!”
Majeng tetap tenang. “Sudah aku suruh orang-orang mencarinya. Aku belum sekalipun bertemu dengannya, belum menanyainya atas kabar yang baru kudengar ini.”
“Kau menyembunyikannya?!”
“Tidak, tukaku. Itu tidak akan kulakukan,” Majeng menggeleng. “Luangka memang adikku, tapi jika hal memalukan ini benar dilakukannya, Taa-ku sendiri yang akan meminum darahnya!”
Ina’Ea Sampalangi mengangkat Taa-nya ke udara. “Tidak!” teriaknya, “Aku sendiri yang harus menghapus rasa malu yang ditimpakan ke kepalaku, bukan kau!”
“Serahkan pada dewan adat!” Tiba-tiba Bonto Makka muncul di antara mereka. Bonto Makka sudah dikabari soal kemarahan Ina’Ea Sampalangi dan kedatangannya ke rumah Dato Majeng. “Sebagai bonto (hakim adat) aku berhak mengadili pelanggar adat di wilayahku. Kalian juga bisa membicarakan jalan keluar yang lebih baik.”
“Aku tidak meminta perkenanmu, Makka!” Ina’Ea Sampalangi benar-benar meradang. “Aku tidak datang untuk menyandingkan cucuku dengan Luangka itu. Aku bisa saja tidak sekadar minta darah Luangka, tetapi kau juga Majeng. Kalian berdua!” Ina’Ea Sampalangi menunjuk muka Majeng dengan tangan kirinya yang menggengam Taa.
Teguran langsung di hadapan orang banyak itu membuat Bonto Makka kaget sekali. “Tumpaiko Bala! Terkutuk kau, jika kau coba melangkahi adat! Aku tahu ini masalah besar, Sampalangi!”
Mea’Ea (malu besar)! Harga diriku sebagai dato di keluargaku sudah diinjak-injak! Luangka melangkahi kepalaku dengan mencemari kehormatan cucuku,” dengus Ribanda.
“Tetapi tegakkanlah adat, Sampalangi!” Bonto Makka merendahkan suaranya.
Metobo asa’sawu!” teriak Ina’Ea Sampalangi.
Baku tikam satu sarung! Orang-orang tercekat. Bonto Makka terkejut setengah mati. Dato Majeng sampai mundur selangkah dari tempatnya berdiri. Apa yang diminta Ina’Ea Sampalangi itu adalah ritual hukum tertinggi—berujung maut.
Akan ada laki-laki yang mati dalam sarung.
Dato Majeng menghela napas. Ia tak kuasa menghindar. Luangka memang di posisi salah. Bagaimanapun keluarganya harus mengambil tanggung jawab itu.
Tukaku,” Majeng menukas kepada Ina’Ea Sampalangi. Ia sentuh lutut kanan perempuan tua yang duduk di sisi Bonto Makka dalam perundingan adat ini.
“Tidak, Majeng!” Ina’Ea Sampalangi menggeleng tegas. “Kalau kau ingin perkara ini selesai, kau harus terima syaratku. Kau tidak akan mau jika rumpun keluargaku memendam dendam karena ini tidak pernah dianggap selesai. Jika kelak kita mati, keluargaku selalu punya alasan untuk menuntut darah keluargamu. Selagi kita berdua masih tegak di atas tanah, ini harus diselesaikan.”
Majeng menarik tangannya, memperbaiki posisi duduknya. “Ma’apuakumo, Dato.” Majeng meminta maaf seraya menatap wajah Ina’Ea Sampalangi. Ia telah meluaskan diri untuk menerima keputusan adat. Bonto Makka akan mengurus semuanya.
Usai Bonto Makka bicara, Ina’Ea Sampalangi langsung berdiri, menyelipkan kembali Taa ke depan perutnya. Ia naikkan sarungnya dan beranjak turun dari rumah Majeng. Sembilan utusan keluarga anak-anaknya juga ikut turun. Besok siang orang-orang boleh berkumpul di lembah, di lapangan kampung.
***
Esok paginya, Bonto Makka lebih dulu hadir di lapangan kampung bersama Ina Wonde, seorang pandita (pengulu agama). Dengan doa-doanya, Ina Wonde sudah menyucikan lapangan itu sebelum orang-orang datang. Perempuan tua itu sudah mengatur segala keperluan ritual, menaburkan serutan gaharu ke dalam bara yang ditampung dalam vea’api (tembikar dupa), meletakkan puluhan sarung dan kain kaci di tempat yang bisa di lihat siapa pun.
Matahari mulai tinggi saat orang-orang memenuhi lapangan. Rombongan keluarga Ina’Ea Sampalangi datang lebih dulu. Mereka tampak tenang menunggu Bonto Makka dan pandita Ina Wonde usai menyiapkan segalanya. Berjalan di sisi Ina’Ea Sampalangi, berdiri Djama bertelanjang dada. Putra tertuanya itu hanya mengenakan celana kurung berlapis sarung setinggi lutut. Tergenggam Taa sepanjang satu jengkal di telapak tangannya.
“Siapa wakil keluargamu, Sampalangi?” tanya Bonto Makka.
Apua’ntamaku (putra tertuaku),” Ina’Ea Sampalangi menoleh pada Djama.
Bonto Makka berpaling saat ujung matanya menangkap gerakan rombongan yang baru saja memasuki lapangan. Itu rombongan keluarga Dato Majeng. Ada Luangka di antara mereka, dan rupanya lelaki itu yang akan mewakili dirinya sendiri.
“Ina’Ea,” Majeng menghampiri Sampalangi, “… kupenuhi janjiku. Luangka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya hari ini.”
Wajah perempuan tua itu masih sekeras besi, tetapi ia mengangguk, menepuk bahu Majeng dan meminta kakak Luangka itu kembali ke barisan keluarganya. Bonto Makka meminta dua petarung untuk maju ke tengah gelanggang, berdiri di sisinya. Hakim itu menerangkan aturan adatnya. “Kalian akan bertarung sampai salah satu dari kalian mati. Siapkan Taa kalian. Kecuali patah, hanya Taa bengkok yang akan diganti. Tidak ada yang bisa menghentikan pertarungan kecuali kematian dan kerelaan keluarga penuntut,” terang Bonto Makka.
Mata Bonto Makka beralih pada Ina’Ea Sampalangi dan Dato Majeng. “Selepas diselesaikan di sini, semua dendam harus dipadamkan. Tidak ada pihak mana pun yang boleh mengungkit perkara ini di kemudian hari. Jika keturunan kalian menuntut hal itu setelah penyelesaian ini, maka aku ingatkan—aku ingatkan… agar bersiap menerima akibatnya.”
Ina’Ea Sampalangi dan Dato Majeng mengangguk bersamaan.
Maka majulah ke tengah gelanggang, Djama dan Luangka. Bonto Makka memasukkan mereka berdua ke dalam sebuah sarung. Djama dan Luangka diminta bersiap, menghunus Taa dan menarik kuda-kuda. Tangan kanan Djama dan Luangka terangkat tinggi dengan Taa dalam genggaman masing-masing, siap dihunjamkan. Orang-orang terkesiap. Wajah mereka ngeri menunggu aba-aba Bonto Makka.
***
Menjelang siang, di hari ke sepuluh seusai pertarungan, Ina’Ea Sampalangi memandang punggung Dato Majeng. Perempuan tua itu mendorong tubuhnya, lalu melangkah hingga sampai ia ke sisi Dato Majeng.
“Sudah lama kau di sini, Majeng?”
Lelaki tua yang disapa itu menoleh sedikit. “Hampir setengah jam, kukaku. Mengapa tukaku ada di sini juga?”
“Aku melihatmu melintas. Aku menebak saja bahwa kau akan ke sini.”
Dato Majeng mengangguk. “Selepas magrib, akan ada aloa (ritual doa) untuk Luangka. Kehadiran tukaku Ina’Ea Sampalangi akan menjadi kehormatan untuk keluargaku. Aku ke sini untuk memberi doa buat Luangka. Sial betul hidupnya, membujang hingga tua dan harus berkalang tanah seusai perkara yang membuat kami malu.”
Ina’Ea Sampalangi menepuk pundak Dato Majeng.
“Berjalanlah di sisiku menuju rumah. Biar keluargaku melihat kita dan meyakini bahwa sudah tak ada dendam yang terselip di hatiku dan di hati anak-cucuku. Sakit hati kami sudah kau kuburkan bersama Luangka.”
Dato Majeng mengangguk, hampir bersamaan membalikkan tubuh dan berjalan bersisian meninggalkan pemakaman di mana Luangka dikebumikan sepuluh hari lalu. ***

Molenvliet, November 2017
Ilham Q. Moehiddin, banyak menulis cerpen. Buku terbarunya Ordinem Peremto III (2018) segera terbit.

Surat dari Achterhuis, Hibernate, Jauh, dan Lainnya

Puisi-puisi Nurul Ilmi Elbana (Jawa Pos, 17 Desember 2017)
Surat dari Achterhuis, Hibernate, Jauh, dan Lainnya ilustrasi Google.jpg
Surat dari Achterhuis, Hibernate, Jauh, dan Lainnya ilustrasi Google

Surat dari Achterhuis

:Anne Frank

di Amsterdam tidak ada langit biru
jendela juga pintu bersepakat mengenakan abu-abu
gugur daun tidak memiliki kekasih
pun senja tak pernah kucium dan kuantar pulang
perempuan-perempuan memeluk rahasianya di ranjang kasar

udara tidak bisa melupakan kecupan redup
di sudut sebuah surga yang tak lebih besar
dari biji kacang di atas lemari dapurmu

aku segera melupakan janji
sembab suara radio
iklan televisi
karena besok, kita pasti akan pergi

di Amsterdam tidak ada langit biru
rak-rak buku dijandakan
karena menyerupai perempuan yang semakin
tidak jelita
saat menghadapi hari tua

di Amsterdam tidak ada langit biru
dunia hanya perdebatan paku-paku
menempel manja jadi sekat rahasia

Jogjakarta, 2017

Hibernate


pagi ini tak ada buku
yang membuka batin,
suster hanya mengantar
obat penidur rasa sakit
ketika terbangun,
dia lebih sehat dari bayi enam bulan
di gendongan ibu bulan

lalat sudah sering berdansa tanpa musik.
infus menuju kekosongan.
dan aku tidak tega mengejek ketakutan
yang tak lagi dimiliki kopi pada angin

Jogjakarta, 2017

Jauh


tiga puluh menit lalu kita masih bercakap. saat
langit tak sabar
ingin membuka topeng gerimis. menampilkan
sedu sedan
para pejalan

dua puluh menit kemudian, aku memasukkanmu
ke dalam laci kasir.
karena merasa hatiku tidaklah cukup luas guna
menyambut
kegelisahan-kegelisahan.

kopi di depanmu seluruhnya dingin

sepuluh menit berikutnya,
seseorang tidak merasa kehilangan aku
ketika aku mengais-ngais bayangan dalam
sekotak gelap
bernama malam

tepat ketika topeng-topeng langit jatuh
gerimis menuju ibunya
tanah basah
kau ikut laju.
semakin tak terlihat. tak tercium. tak terhirau. tak
meruang.

di dasar batin hanya suaramu berombak
singgah untuk menggaibkan muasal kenang dan
senyuman-senyuman tertinggal
hanya untuk memberi spasi antara kini dan lalu
serta menutup lubang cerita tak sudah-sudah.
hanya demi meluruskan pita suaramu yang tak
bisa berucap sepatah kata

kenang, kukenang kau kesiap angin menakuti
kulit
memilih tetap datang meski tak terpeluk waktu
berlarian dari semburat keramaian ke gang-gang
sempit berkelok
jauh

Jogjakarta, 2017

Jelang Pagi


dan pada bulan telur, aku melihat diriku, seorang
durjana mencari
kecut
bekas bibirmu dalam gelas kosong dini hari
kafe yang sepi
para pemimpi pulang.
masih ada satu perempuan sendirian di kursi
barisan tengah,
memikirkan caranya pergi yang lebih halus dari
segar angin
lebih lirih dari isak teh yang dituang ke dalam
gelas tadi malam
dia akan berjalan tanpa dihiraukan.

Bjong, 2017


Nurul Ilmi Elbana, kuliah di Jogjakarta. Menjadi salah satu penerima Anugerah Sastra dan Seni Universitas Gadjah Mada 2015.

Petualangan Pluppi

Oleh Salsabila Zahratusysyita (Suara Merdeka, 17 desember 2017)
Petualangan Pluppi ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Petualangan Pluppi ilustrasi Suara Merdeka
Sebuah amplop melayang, meliuk di antara cabang-cabang pepohonan. Sesekali ia tersangkut di sela ranting pohon, kemudian terbang lagi terkena tiupan angin.
“Halo, apakah ada yang tahu di mana aku sekarang?” teriak Pluppi, sang amplop surat yang kini tersangkut di sela ranting pohon karet.
“Kau sekarang berada di Hutan Pelangi, amplop kecil,” suara Burung Merpati tiba-tiba mengagetkan Pluppi.
“Mengapa kau hanya seorang diri? Tidak adakah yang mengantarmu?” tanya Burung Merpati heran.
Pluppi menggeleng.
“Tidak ada, Burung Merpati. Aku sampai sejauh ini karena diterbangkan angin. Seharusnya, aku diantar oleh Tuan Pos. Tapi belum sempat Tuanku mencapai kantor Tuan Pos, tiba-tiba ada angin yang sangat kencang menerbangkanku. Tuanku sudah berusaha mengejarku, tapi aku telanjur naik semakin tinggi dan menjauh,” cerita Pluppi dengan murung.
“Jangan sedih, aku punya banyak teman yang bisa mengantarmu. Boleh aku melihat alamatmu?” tanya Burung Merpati.
Pluppi mengangguk senang.
“Wah, kau harus melewati lautan luas untuk mencapai ke sana. Dan yang bisa mengantarmu adalah si Elang,” ucap Burung Merpati.
“Nah, itu Elangnya!” pekik Burung Merpati sambil menunjuk ke arah langit.
Ia kemudian memanggil Elang dan bercerita tentang Pluppi.
“Baiklah amplop kecil, aku akan mengantarmu. Tapi hanya sampai di tengah lautan, karena tujuan kita tidak sama. Nanti kuturunkan kau di sebuah kapal yang akan menuju ke dermaga terdekat dari kota tujuanmu,” ucap Elang.
Pluppi mengangguk senang dan mengucapkan terima kasih.
***
Pluppi bergidik ngeri melihat lautan luas dengan gelombangnya yang bergulung-gulung. Untung saja ketika dilepas oleh elang beberapa meter dari atas kapal, ia bisa mendarat tepat di sebuah tas biru. Tas biru yang melihat ketakutannya, mempersilkannya masuk lewat resletingnya yang terbuka cukup lebar. Setelah berhasil masuk, mereka lalu bercakap-cakap.
“Wah, kebetulan sekali. Tuanku juga akan menuju ke desa tersebut. Kau ikut saja bersama kami Pluppi,” ucap Tas Biru setelah mendengar cerita perjalanan Pluppi.
“Benarkah? Terima kasih Tas Biru. Kau baik sekali.”
“Sama-sama Pluppi. Sekarang, kau istirahatlah. Perjalanan kita masih panjang,” ucap Tas Biru.
Pluppi mengangguk senang. Ia memang merasa sangat lelah. Ia menguap, lalu jatuh tertidur dalam dekapan Tas Biru yang hangat.
***
Campuran berbagai bau membangunkan Pluppi dari tidurnya. Pluppi melihat sekeliling, dan kagetlah! Ia berada di sebuah truk bak terbuka dengan berbagai macam sampah di sekelilingnya! Ia pasti ketahuan oleh Tuan Tas Biru dan tanpa pikir panjang Tuan Tas Biru langsung membuangnya saat itu juga.
“Kenapa wajahmu begitu khawatir amplop kecil? Nikmati saja perjalanan ini sebelum kita dimusnahkan secara massal,” ucap Plastik Makanan melihat raut wajah Pluppi yang tidak tenang.
Apa? Dimusnahkan? Tidak! Aku tidak boleh dimusnahkan. Tugasku belum selesai. Pekik Pluppi dalam hati. Ia kemudian beringsut menuju belakang truk. Ia mau meloncat saat itu juga sampai tiba-tiba ia merasakan ada sebutir tetes hujan yang menimpa tubuhnya.
“Tidaaak! Suratkuuu!” Pekik Pluppi.
Ia lalu cepat-cepat bersembunyi di sebuah kantung plastik. Suratnya tidak boleh rusak ataupun basah.
“Kalau kau ingin melaksanakan tugasmu dengan baik, kau tidak boleh bersikap ceroboh Amplop Kecil,” tegur Kaleng Makanan.
“Kebetulan aku tahu alamat yang kau tuju. Alamat tersebut berada di balik bukit ketiga yang akan kita lewati nanti. Berdoalah semoga hujan cepat berhenti,” tambahnya.
Pluppi yang mendengar itu hanya terdiam. Dalam hati ia berdoa agar hujan cepat reda dan perjalanannya menyampaikan surat dimudahkan oleh Tuhan.
***
Hap! Akhirnya Pluppi berhasil mendarat dengan tepat di bahu seorang lelaki berjaket hijau yang melajukan motornya ke arah belakang bukit ketiga. Dengan tergesa Pluppi menuju ke saku jaket lelaki tersebut, kemudian bersembunyi di sana. Ia merasakan tubuhnya kembali hangat setelah diterpa udara dingin yang menggigit.
“Apa ini?” tiba-tiba motor yang ditumpanginya berhenti. Pluppi yang hampir terlelap terjaga seketika ketika ia merasakan ada jemari yang mencengekeram tubuhnya, dan tanpa ampun membuangnya saat itu juga.
“Tidaak!” Pluppi berteriak. Ia kembali melayang, kemudian jatuh di atas jalan aspal. Ia melayang lagi dan kini tersangkut di sela ranting pohon randu.
“Burung, maukah kau mengantarku ke sebuah alamat yang ada di balik bukit ini?” tanya Pluppi kepada setiap burung yang lewat. Tapi semua burung yang ditanyainya tidak ada yang mau membantunya, dengan alasan hujan akan segera tiba.
Tes, tes, tes! Benar saja, rintik hujan turun dengan segera. Pluppi kemudian cepat-cepat bersembunyi di bawah daun yang lebar.
Wush… namun baru saja Pluppi berlindung, angin kencang tiba-tiba datang dan kembali menerbangkannya. Pluppi menabrak pohon, terguling di jalan aspal, melayang lagi, dan begitu seterusnya. Ia kini bahkan tak bisa melindungi sang surat yang sudah basah terkena hujan. Pluppi sedih. Ia kini hanya bisa pasrah mengikuti ke mana sang angin pergi.
***
“Ayah, lihat! Ada amplop kecil yang bertuliskan alamat kita!” ucap seorang anak kecil sambil memungut Pluppi dari atas rumput. Pluppi yang tak sadarkan diri selama beberapa waktu kini terbangun. Ia sangat kaget ketika melihat wajah anak itu yang mirip sekali dengan wajah tuannya. Apakah ia adik Tuanku? Kalau benar ia adik Tuanku, apakah itu tandanya aku sudah sampai? Tanya Pluppi dalam hati.
“Benarkah? Biar Ayah yang buka, Rosi,” ucap sang ayah. Dengan tidak sabar membuka Pluppi yang kini sudah berwarna kecoklatan dengan tulisan hampir memudar. Pluppi berharap isi surat yang ada dalam dirinya masih bisa terbaca.
“Kakakmu sudah lulus Rosi. Dan ini, surat undangan untuk menghadiri wisudanya minggu depan!” pekik lelaki itu riang. Ia lalu memeluk Rosi dengan penuh haru.
Hati Pluppi meleleh mendengar itu. Ternyata benar, ia sudah sampai. Akhirnya, perjalanan panjangnya yang melelahkan itu selesai. Kini, ia sudah bisa merasa tenang, karena tugasnya telah berhasil dijalankan. (58)

Roemah Piatoe Ati Soetji

Cerpen Han Gagas (Suara Merdeka, 17 Desember 2017)
Roemah Piatoe Ati Soetji ilustrasi Putut Wahyu Widodo - Suara Merdeka.jpg
Roemah Piatoe Ati Soetji ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Siong Nio merapatkan selimut. Udara dari luar menyelinap melalui kusen jendela menusuk pori-pori kulit membuatnya kedinginan. Kantuk masih memberati kepalanya dan rasa malas membuat sepasang kelopak matanya enggan terbuka.
Pagi memang masih kelabu. Malam baru saja beranjak pergi. Lampu kota yang memancarkan cahaya oranye meredup lemah di sepanjang jalan kawasan Kebayoran, Jakarta. Hujan semalam membuat cuaca terasa lembap. Sing Nio berniat tidur kembali.
Tapi tiba-tiba udara senyap pagi terkoyak oleh pekik tangis suara bayi yang melengking tinggi. Oeek, oeek, oeek. Siong Nio terkejut hingga terpental bangun. Matanya terbuka lebar. Bunyi itu terdengar begitu dekat. Pasti berasal dari depan jendela kamarnya yang berhadapan langsung dengan pekarangan rumah.
Ia menyibak tirai. Tak cukup cahaya yang masuk ke matanya. Di luar, sinar matahari hanya berkemilau menyepuh embun pagi. Cahayanya berdenyaran menyemburat di antara dedaunan tanaman. Langit masih kelam, dalam terang tanah yang meraba jengkal halaman, ia tak bisa melihat siapa pun.
Gadis yang menginjak remaja ini memutuskan keluar kamar. Di lorong dia bertemu Munah, pembantu rumah tangga yang sedang menyapu di selasar. Siong Nio memberi tahu tentang suara tangis itu.
Munah pun langsung terbirit-birit keluar.
“Ada bayi!!” teriaknya seketika. Paras Munah memias menatap sesosok bayi mungil di bawah pohon cemara. Dengan tangan sedikit gemetar Munah mengambil dan menggendongnya.
Siong Nio yakin bayi itu baru saja diletakkan di bawah pohon itu. “Kalau sejak semalam pasti dia sudah akan menangis karena kedinginan, dan aku akan terbangun karena suara tangisnya,” batinnya.
Ny Lie, oma Siong Nio, yang datang karena keributan pagi itu terlihat sangat gembira atas kedatangan bayi mungil yang bagaikan sebuah hadiah besar dari Sinterklas. Ia lalu memerintah Munah memandikan dengan air hangat dan memberinya susu.
Setelah peristiwa pagi itu, bayi-bayi mulai ditemukan di antara potpot besar atau di bawah pohon cemara, bahkan ada yang tergolek di dekat pagar atau teras rumah. Ada pula yang langsung diberikan ke tangan Ny Lie. Sing Nio pernah melihatnya. Si pemberi adalah perempuan berkebaya yang wajahnya dibebat selendang hitam sehingga yang tampak hanya sepasang matanya.
“Ini adik kalian,” kata Ny Lie berseri-seri. Ia membahasakannya sebagai adik, kepada kami, cucu-cucunya. Mendapati bayi di pekarangan rumah membuat Ny Lie yakin itu berarti ketiban rezeki, seperti memperoleh berkat dari Tuhan secara langsung. Baginya ini jalan Tuhan, jalan untuk melayani. Namun tak hanya itu yang Ny Lie perbuat. Ia juga kerap menyelusup ke pelabuhan dan memeriksa kapal untuk melihat apakah ada gadis-gadis malang dari Tiongkok yang bisa ditolong. Karena pengaruh kedudukan suaminya, Kapten Lie Tjian Tjoen, ia bisa mendapat bantuan dari polisi atau jaksa menyelamatkan gadisgadis yang hendak dilacurkan di Batavia.
Mereka dipaksa melayani lelaki hidung belang atau menjadi istri muda. Sebagian yang berwajah tak menarik dipaksa jadi pembantu. Nasib itu makin menyedihkan karena mereka kerap mendapat perlakuan kasar dan siksaan fisik.
Gadis-gadis muda itu dibeli dari orang tua yang miskin dan memang secara tradisi tidak senang atas kelahiran anak-anak perempuan di keluarganya. Kemiskinan yang parah membuat banyak keluarga terperangkap dalam utang-utang besar yang dilunasi dengan cara menjual anak gadis.
Bayi-bayi malang dan para gadis itu ditampung Ny Lie di bagian kiri rumahnya yang akhirnya diperluas dan direnovasi. Bangunan yang kemudian diberi nama Roemah Piatoe Ati Soetji. Rumah piatu yang terkadang dilempari batu atau petasan oleh orang-orang yang terganggu oleh kehadirannya. Dan Ny Lie bersikukuh, tak takut ancaman dan teror sekalipun.
Ny Lie kerap pula menerima surat kaleng yang memberikan informasi tentang seorang gadis yang harus ditolong. Ia pun tanpa ragu mencari gadis itu, walaupun bahaya tak jarang mengadang. Seperti nyaris dibacok dan dicelurit para germo dan anak buahnya yang resah akan tindakannya. Namun berkat bantuan para polisi dan jaksa yang mendukungnya, kehadirannya saja telah membuat mereka ngeri.
Kelembutan Ny Lie juga melunakkan hati germo saat Ny Lie berkata hanya akan memberikan pendidikan dan bekal hidup bagi para gadis malang yang ia temukan, setelahnya boleh diambil. Itu membuat mereka tak jadi bersikeras. Ya walaupun akhirnya, kenyataannya, para germo itu tak ada yang berani mengambil karena takut berurusan dengan polisi. Para gadis itu belajar menjahit, merajut, menyulam, memasak, dan pekerjaan rumah tangga lain.
Setelah cukup dewasa banyak di antara mereka menikah dan melanjutkan kemampuannya itu bekerja menjadi penjahit, di warung, atau membuat kerajinan. Mereka menjadi perempuan baik-baik yang berguna bagi keluarga dan masyarakat. Ny Lie bahagia mengantarkan dan mendampingi mereka di mahligai perkawinan dan bangga mengetahui anakanak gadisnya hidup mandiri.
Buah memang tak jatuh dari pohonnya. Kedermawanan Ny Lie peroleh dari ayahnya, Seng Hoe, yang terbiasa menolong orang miskin dan cacat. Ny Lie ingat pada masa kecilnya beserta seluruh keluarganya bekerja sama untuk menyediakan kain kafan dan peti mati secara gratis, membagikan pakaian baru pada tahun baru atau lebaran, memberi pelajaran menulis dan membaca pada anakanak buruh kebun, dan memberi makan para pengemis dan gelandangan.
Saat kecil, Tjoei Lan, nama lahir Ny Lie, bertanggung jawab mengawasi para karyawan dapur melepaskan duri ikan yang akan dimakan para pengemis. Duri-duri itu harus dilepas dari daging ikan agar tidak tertelan oleh orang buta saat makan. Suatu hari, Seng Hoe menemukan masih ada duri belum dilepaskan dari ikan. Dia marah besar kepada Tjoei Lan. Seng Hoe menyentil anak gadisnya yang dianggap tidak bertanggung jawab. Pengalaman itu sangat membekas pada diri Tjoei Lan.
Terhadap pengemis, pengemis yang dianggap nista dan anggota masyarakat berkasta paling rendah, dan tak ada hubungan saudara pun, ayahnya mengajarkan untuk berbuat baik hingga ke hal-hal yang dianggap kecil dan remeh. Kasih untuk menolong tertanam dalam jiwa Tjoei Lan sejak kecil. Jiwa melayani dan berbudi baik tertanam dalam relung hatinya yang terdalam.
Namun apakah ia senang dianggap dermawan, kelak, ketika namanya termasyur di Batavia? Ia sesungguhnya selalu menolak bila ada kerabat atau wartawan mencoba mengangkat perihal jerih upaya sosialnya di media massa mereka. Ia tak suka niat ikhlasnya terlumuri oleh keinginan dianggap dermawan.
Dua puluh tiga tahun setelah Roemah Piatoe Ati Soetji didirikan, masalah perdagangan anak-anak perempuan yang dijadikan pelacur mendapat perhatian. Konverensi Liga Bangsa-Bangsa—yang kelak akan berkembang menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—secara khusus membicarakan masalah itu di Bandung pada 1937, dan Ny Lie hadir pada pertemuan itu. Sayang, ketika Jepang masuk dan berkuasa, rumah piatu itu ditutup paksa. Puluhan bayi dan anak gadis terpaksa berpencar ditampung di tempat-tempat saudara Ny Lie. Mereka tersebar bertahun-tahun, dan saat Indonesia merdeka, atas panggilan nurani, Ny Lie mengumpulkan mereka kembali dan membangun Ati Soetji lagi yang hancur karena peperangan.
Teguh Karya atau Steve Lim, pria yang terlahir dengan nama Lim Tjoan Hok, pada 1960, mendatangi Ati Soetji, bertemu Ny Lie dan berencana mengadakan pementasan teater untuk penggalangan dana. Pementasan yang berlangsung selama dua hari itu melibatkan seluruh anak panti di Schouwburg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) dan berlangsung dengan sukses. Namun Ny Lie tak suka ending-nya.
Pementasan yang mengangkat kisah hidup dan pengabdian Ny Lie itu ditutup dengan adegan anak-anak Ati Soetji menaburkan bunga melati di atas “pusara” Ny Lie, padahal saat pementasan berlangsung Ny Lie masih segar bugar dan menonton di deretan kursi terdepan. Walau tak suka, Ny Lie tetap memberikan penghargaan tertinggi pada Teguh Karya. Itulah sikap kemanusian sejati. (44)

– Han Gagas, penerima penghargaan Dewan Kesenian Jawa Tengah 2011. Bukunya Catatan Orang Gila (2014) termasuk kumpulan cerpen terbaik Indonesia (Goodreads Indonesia). Novelnya yang akan terbit Sigarmangsi; Balada Sepasang Kekasih Gila

Tender Baru

Cerpen Yuli Duryat (Media Indonesia, 17 Desember 2017)
Tender Baru ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Tender Baru ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
SEPERTI tak menjejak tanah, seluruh tubuhku mati rasa. Udara begitu dingin, aku turun dari bus mini bercat melintang. Nomor 17A Mong Kok. Aku memandang eskalator panjang di depanku dengan tatapan kosong, menyelusuri geraknya dengan hati waswas. Suara tok-tok sepatu suster berseragam merah jambu masih terngiang-ngiang di telingaku, sibuk berjejalan dalam pikiran. Bau obat yang mereka bawa menempel di hidung seolah bercokol di sana, meskipun jarakku kini terbentang berpuluh kilometer.
Rasanya, aku ingin menggantikan apa yang harus Lion derita. Dia masih terlalu muda kalau harus menerima beban begitu berat. Tapi lihatlah anak kecil yang kini aku genggam tangannya erat-erat, tidak ada rasa takut atau sedih tersirat di wajahnya. Dia bahkan belum mengerti apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Menatapnya yang begitu polos membuat hatiku tercabik. Aku menelpon suamiku ketika masih berada di Eye Hospital Kowloon City, tapi nomor hapenya tidak bisa diakses, mungkin dia sedang sibuk.
Kami berjalan menyusuri lorong menuju MTR Mong Kok East. Suara tik tok sepatu pengunjung mengusikku persis seperti suara sepatu suster di rumah sakit beberapa jam yang lalu. Rasanya aku ingin melempar mereka dan menyuruh untuk berjalan dalam senyap, suara langkah mereka sangat menggangguku. Kalau saja tak malu dianggap gila dan digelandang polisi berseragam biru karena membuat keonaran di tempat umum, aku akan berteriak kencang sekadar untuk mengurangi rasa sakit di dadaku barang sedetik.
Tidak berapa lama, kami telah menyentuhkan kartu octopus atau kartu tiket prabayar ke atas mesin tiket dan masuk ke dalam stasiun tujuan Lo Wu/Lok Ma Chau. Ah, mengapa hari ini begitu banyak orang. Bukankah ini jam sebelas siang di hari kerja, ah aku ingin sekali keluar dari kenyataan bahwa kota ini sangat padat penduduknya dan hidup sendirian saja di dalamnya.
Seharusnya kami turun di Fanling, tapi kami kebablasan. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi belanja di Sheung Shui, bukankah tadi pagi gairah masakku meluap dan ingin membuatkan mie pangsit untuk Lion. Baiklah, aku akan turun di pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan mie pangsit. Lagi-lagi harus siap berjejalan dengan pengunjung lain di pasar, tapi itu tak seberapa bila dibandingkan dengan begitu berharganya senyum Lion setiap menikmati mie pangsit butanku.
“Ibu kau lihat, ada pedagang ubi panggang. Aku mau ubi panggang, aku mau ubi panggang, Bu.” Lion berteriak girang dan berlari keluar kereta, membuatku sibuk mencegahnya berlari agar tak menabrak penumpang lain. Tak jauh dari tempat kami menempelkan octopus, bus nomor 270A yang membawa banyak penumpang menuju stasiun berdecit, diteruskan suara pintu depan dan tengah terbuka secara bersamaan. Aku tidak bisa menahan gemuruh rasa yang berkecamuk dalam dadaku. Aku tidak bisa tenang saat tatapan mataku berbenturan dengan Lion yang berkedip memohon dibelikan ubi panggang.
Tepat di sebelah setopan bus Sheung Shui yang letaknya sejajar dengan stasiun, pasutri paruh baya menjajakan dagangan yang diaduk dengan bilah panjang, dalam wajan hitam besar berisi batu kecil di atas bara. Ubi, buah sarangan/Chinese chestnut, telur puyuh, mengepulkan bau yang khas. Asap merebak sekitar, menyembulkan hangat nyaman di tengah udara bulan Desember yang beku. Suasana begitu ramai, banyak warga dari Tiongkok beriring memenuhi jalanan. Sebagian membawa koper-koper besar dan berdandan tebal. Sebagian sibuk dengan rombongannya, berbicara dalam bahasa Mandarin. Aku menarik Lion untuk berdiri dengan jarak yang agak jauh dari tempat mereka turun.
“Ibu, boleh ya.”
“Tentu saja, tunggu sebentar, ibu ambil uang dulu.” Aku tersenyum ke arah Lion dan mengambil uang dalam tas kecil, sambil membenahi jaket panjangku yang tersingkap angin. Ia sudah menerobos kulit betisku hingga membuatku merinding, angin yang tidak punya sopan santun.
“Ayo.” Aku menyerahkan uang dan menerima bungkusan berwarna coklat dari penjual, menarik tangan Lion untuk segera menyingkir dari tempat yang juga berselimut asap rokok itu. Aku mengurungkan niat belanja di pasar tradisional dan mengajak Lion naik bus lagi, ah gairah memasak yang pagi tadi menyembul-nyembul kian tipis dimakan kecamuk dalam dadaku. Oh, Tuhan, sebegitu sayangkah Kau kepadaku sehingga menumpukkan beban ini di atas pundaku, jangan Kau kira Kau akan berhasil membuatku lemah. Aku menarik bibirku ke samping.
Aku mengantri di setopan bus yang tak jauh dari tempat kami itu, untuk naik bus nomor 279X. Oh Lion, setiap aku melihatnya, rasanya aku tak membutuhkan apa pun selain senyumnya. Senyuman ajaib pengobat segala lara. Aku menggendong bocah kecil itu dan memeluknya erat.
“Ibu, aku sesak nafas.” Rintihnya.
Aku mengendurkan pelukanku dan meminta maaf padanya.
“Kau mau makan sushi, Sayang?”
“Ya, Ibu.”
“Gimana kalau hari ini kita ke Okihari?”
“Hm.”
Lion tersenyum riang, dia sangat suka makan di restoran Jepang satu ini, bukan semata-mata karena dia suka sushi, tapi justru dia lebih tertarik menangkap makanan yang berputar di meja panjang melingkar. Dia selalu asik menangkap banyak-banyak makanan meskipun pada akhirnya akulah yang harus menghabiskan makanan yang ia ambil. Aku senang melihatnya tertawa, bebanku akan luntur begitu aku melihat wajahnya yang riang meski hanya sementara. Heh, Tuhan, aku berterima kasih pada-Mu karena Kau telah memberi Lion untukku. Dia adalah segala rasa bagiku.
Kami menaiki bus menuju mall Fanling yang tidak begitu besar. Lion dengan antusias memencet bell tanda pemberhentian bus ketika kami sudah sampai di bawah bangunan berwarna silver itu. Ramai orang membeli buah murah di pinggir jalan, tepat di pemberhentian bus berwarna hijau tak jauh dari eskalator yang menghubungkan jalan dengan jembatan kecil menuju mall. Meski bukan hari libur, pengunjung penuh sesak memenuhi jembatan tersebut. Seharusnya aku memilih jalan alternative di bawah mall, dengan menyebrangi jalan yang dilalui bus. Walau kesal, tapi rasanya aku ingin berada dalam keramaian, meskipun terkadang keramaian membuatku semakin kesepian.
Aku belum memberitahukan kabar Lion pada suamiku, aku tidak mau membebaninya, sementara dia sedang bekerja di Tiongkok. Setelah telponku di rumah sakit, aku tidak berniat untuk menelponnya lagi. Sudah hampir tiga bulan ini dia belum pulang. Dalam telponnya yang terakhir, dia memberitahukan kalau dia menerima tender baru dari kantornya. Aku memaklumi karena dia sudah sangat sering menerima tender dan dia adalah orang kepercayaan bosnya.
“Ibu, ada air jatuh di pipimu, apa itu air AC yang jatuh seperti tadi pagi di rumah sakit? Kita harus beri tahu koki di sini.” Lion mengulurkan selembar tissue ke arahku untuk mengelap pipiku yang basah.
“Oh, terima kasih, Sayang. Biar ibu saja yang bilang padanya ya.”
“Biar Lion saja, Bu. Lion kan mau belajar berani biar bisa menjaga Ibu.” Dia sudah turun dari tempat duduknya dan menemui satusatunya pelayan yang mengenakan jas. Dia tidak tahu kalau air di wajahku adalah air yang keluar dari mataku sendiri.
Aku memperhatikannya dari tempatku duduk dan menggangguk pada pelayan yang seketika memandang ke arahku. Satu menit kemudian Lion berlari dan duduk kembali di depanku, kembali sibuk dengan piring-piring kecil berisi sushi yang berbeda setiap piringnya. Mulutnya penuh. Pelayan di hadapan kami yang memakai celana hitam, kemeja, celemek, dan ikat kepala putih tersenyum memandang wajah lucu Lion, kemudan kembali sibuk membuat sushi dan mengisi piringpiring yang kosong di hadapannya. Sejenak aku memperhatikan pelayan yang berwajah menyenangkan tersebut, juga gerak tubuhnya yang cepat dan cekatan. Pelayan yang barusan Lion temui menghampiri kami.
“Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan di restoran kami, kami akan segera memperbaiki pendingin udara di sini.” Dia membungkuk di depanku dan meminta maaf, aku hanya mengangguk meskipun aku tahu kalau dalam ruangan tersebut tidak menyalakan pendingin ruangan dan justru sebaliknya penghangat ruangan. Aku kembali memperhatikan Lion dan tidak menyadari laki-laki di hadapan kami tetap berdiri untuk beberapa jenak, memperhatikan kami makan, baru kemudian dia meninggalkan kami.
Di luar restoran, pengunjung mulai penuh mengantri, seorang resepsionis melayani mereka dengan ramah dan memberikan kertas kecil tertera nomor antrean. Sesekali ketika pengunjung keluar dan pelayan lain sudah membersihkan bekas duduk mereka, resepsionis berparas cantik itu memanggil pengunjung yang mengantri di luar untuk masuk.
Dari arah pintu, muncul seorang perempuan yang menggendong anak kecil seumuran Lion. Dia memanggil manja kepada seorang laki-laki yang wajahnya masih tertutup tirai pintu, ketika dia memajukan langkahnya, aku terkesiap. Wajah yang sangat familiar bagiku, aku lihat mata laki-laki itu menyapu isi ruangan sebelum menyapu wajahku, terkejut. Suamiku, ia menggandeng seorang yang terlihat dari cara dandan dan bicaranya adalah warga Tiongkok itu untuk masuk. Jadi itu tender baru yang dibicarakan suamiku di Tiongkok selama ini. Dan apa panggilannya tadi pada suamiku, “Lokung.” Terdengar panggilan bernada sayang yang berarti ‘suami’ itu mengiris hatiku.
Aku seketika itu mengurungkan niatku untuk menceritakan Lion yang menderita ablasio retina dan terancam buta kepada suamiku.

10.15 pm Tuesday 16, 2014
Desember Fanling NT