Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Air Mata pelembut jiwa "Stetes air matamu dapat melembutkan jiwamu"
Mencahayai hatimu yang gelap Melunakkan hatimu yang keras Bahkan menghidupkan kembali hatimu yang mati
Setetes air matamu Dapat menjadi senjata yang ampuh menundukan nafsumu Bahkan untuk memadamkan kobaran api neraka Setetes air matamu adalah lebih baik dari pada seluruh dunia dan seisinya. Jika air mata itu,, Air mata yang terjatuh dari pelupuk mata seorang hamba karena rasa takut kepada RaabNya.
Air mata seorang hamba yang memohon ampun dan bermunajat pada Dzat Yang Maha Agung atas dosa-dosanya.
Air mata yang menetes karena mengingat betapa luas AmpunanNya
Air mata yang mengalir karena mengingat nikmat-nikmat yang tak henti diberikanNya
Mungkin ada beban di hati Terasa begitu cepat datangnya pagi Sadarkah, umur berkurang lagi Kesempatan, berlalu lagi
Masihkah jelas diingatan Bermacam kejadian dan keadaan Bisa dibilang berat Tapi nyatanya hari ini kau masih sehat
Yang kau kira akan menghancurkan bahagiamu Nyatanya tak terjadi Yang kau kira kau tak mampu Nyatanya kau lalui
Kekhawatiran memang hanya buah negatifnya pikiran Kenyataannya tak ada yang terjadi
Beberapa orang merasa dihantui masa lalu Tapi, bila masa lalu tak ada hari ini pun tak ada Ya kan? Beberapa orang berharap bisa mengganti masa lalu Agar hari ini yang dirasa berbeda Apa kau juga?
Sudahkah pasti hari ini lebih baik Bila masa lalu diperbaiki Apa tak mengerti faktanya Bahwa manusia tak bisa memperkirakan yang terjadi
Menyesali? Berat lho rasanya Kenapa tak memilih mensyukuri? Lebih ringan dan lega Cobalah
Tak usah minta ganti Minta saja pada Allah agar diberi ketetapan yang menentramkan hati Yang membuatmu lebih tenang Yang membuat Allah senang Yang kau rasa bahagia Yang membawamu ke surga
Dunia ini banyak manusianya Tak semua mulus kehidupannya Lebih banyak beratnya Lebih banyak sulitnya Tapi ternyata banyak yang berhasil Artinya, semua usaha ada hasil Malas dan rasa pesimis diri yang menjadikannya mustahil
Aku bukan wanita secantik artis. Aku bukan pula wanita secantik model. Aku juga bukan wanita yang kecantikan nya di nobatkan dunia. Maka dari itu aku takbisa menjanjikan kecantikan fisik untukmu.
Jangan mengharapkan kecantikan fisik dariku karena aku tidak bisa memberi itu. Tapi jika kamu mengharapkan kecantikan dari hati. Aku akan berusaha memberi itu untukmu.
Jika
kau mencari yg sempurna, bukan aku orangnya, tapi jika kau mencari
seseorang yg dapat mengisi kekurangan mu untuk menjadi ssuatu yg
sempurna ,insyaAllah bukan aku juga karna kesempurnaan hanya milik
Allah semata
Menjadi seorang perempuan seharusnya membuatmu mampu lebih sabar dari sabarnya laki-laki Belajar lebih kuat dari kuatnya seorang laki-laki
Menjadi seorang perempuan seharusnya membuatmu juga lebih pintar Pintar menjaga emosi mu Dan pintar menjaga martabat mu
Karena seorang laki-laki butuh bahu yang kuat dan hati yang hangat tempat ia pulang setelah mengemban
Dan dia juga butuh wanita yang kelak akan anaknya berkata "Aku mempunyai ibu yang kuat dan hebat"
Jadi, jika kita menuntut jodoh yang baik kepada Allah Kita harus berkaca terlebih dahulu, sudah baik kah diri kita sebelum meminta kepada Allah
Sebab
Allah telah membocorkan rahasia tentang jodoh, sebagaimana yang
tertulis dalam firman-Nya. "Perempuan-perempuan yang keji untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan
yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk
laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan
yang baik (pula)." (QS. An-Nur 24: Ayat 26)
Dari
ayat ini sudah tertulis dengan jelas bahwa sejatinya laki-laki yang
baik hanya untuk wanita yang baik begitu juga sebaliknya Karena sejatinya bahwa jodoh adalah cerminan dari diri kita sendiri.
Jika kita shaleh, taat akan perintah-Nya, rajin membaca Al-Quran, baik akhlaq dan perilakunya. Insya Allah, Allah akan pertemukan kita juga dengan orang yang seperti itu
Sehingga diharapkan setelah mengetahui hal ini Akan mengubah pandangan kita dalam memahami jodoh
Yang
dulunya lebih memikirkan "siapa nanti jodoh saya" menjadi "bagaimana
menjadikan diri ini" agar memperoleh jodoh yang sesuai dengan harapan
Jadi, teruslah memperbaiki diri Hingga sang pujaan hati datang menghampiri Membangun cinta yang suci Yang dilandasi akan cinta sang illahi Agar kelak cinta yang terjalin ini Mendapatkan surga yang kekal nan abadi
QABILTU ( Tanda SAH nya Aku dan Kamu ) Ini bukan tentang aku yang merasa paling suci dengan menghindari bertatap dan bersentuhan dengan mu.
Ini
juga bukan tentang aku yang sombong karena memilih diam kala berhadapan
dengan mu.Atau memilih tak ingin menanggapi mu meski hanya lewat sapaan
hangat yang kau kirim lewat chat pribadi mu.
Dan
sekali lagi,ini bukan tentang aku yang menghindarimu karena kebencianku
atau menganggap mu berpengaruh buruk terhadap kehidupan ku.
Bukan.... bukan itu yang menjadi maksud dan tujuan ku.
Tapi.... ini adalah tentang aku,perempuan yang tertatih tatih melawan godaan cinta masa muda.
Memang
mempunyai perasaan cinta adalah fitrah semua manusia.Namun aku hanya
ingin membawa fitrah itu ke jalan yang mulia,yaitu dengan tidak terlalu
terjebak perasaan yang belum tentu benar adanya.
Katakan lah kalimat syair cinta ribuan kali,tak akan aku terkesima akan indah nya syair mu. Namun katakan lah akan keseriusan niat mu di depan waliku maka segenap hati aku menaruh hormat akan keberanian mu.
Ucapkanlah kata 'I Love You' di depan jutaan orang,tak akan secuil pun hati ini ku serah kan padamu.
Namun ucapkan lah kalimat 'Qabiltu' di depan penghulu dan waliku,maka seumur hidup hati ini adalah milik mu.
Kita terus berjalan dengan kaki Tak pernah berjalan dengan hati Langkah kaki akan terus membawa kesuatu hal yang baru Hanya lelah yang akan menunda langkah kaki Hanya menunda, bukan berhenti Dan kata hati akan terus menuntut kaki untuk melangkah kearah mana yang kita mau Terkadang kita terus berjalan Entah kemana, tanpa kata hati Sering ada kata 'jalani saja' Sekalipun kita diposisi yang sama sekali tidak kita harapkan Mungkin banyak orang yang berada disituasi ini Tapi tidak banyak orang yang berani lari dari situasi ini Karena apa? . Kita hidup punya tujuan Dan kita yakini tujuan itu untuk kita capai Tapi kadang kita tau kita berada dijalan yang salah Lantas apa? Apa itu takdir kita? Dan apa kita harus terus berjalan di jalan yang salah itu? Kalau terus mengikuti langkah kaki Mau sampai kemana? Sampai tidak ada lagi jalan yang bisa ditapaki? Untuk beberapa saat perluh meluangkan sedikit waktu Untuk mendengarkan kata hati Dan mulai melangkahkan kaki beriringan dengan kata hati Karena sejatinya kata hati akan membawa menuju mimpi, angan dan kadang asa yang tak terbatas Langkah kaki memang penuh kejutan Banyak hal yang tak terduga dibalik setiap langkah yang kita jalani Mungkin kaki lelah Tapi hati tak pernah menyerah.
Jika saja menahan pedih aku mampu melaluinya Apa kau pikir akupun sanggup melihatmu bersedih?
Tidakkah kepedulianku tak cukup bagimu? Aku seperti keledai berlumpur Tatkala soraya kian meredup Ya. Aku tak sanggup melihat, Melihat sebuah senyuman ,yang banyak mereka sebut bahwa itu adalah bahagia
Bahagia? Bagaimana bisa? Sedang kebahagiaanku terlihat murung dan bersedih
Kumohon untukmu Sungguh, Bagiku,cinta tak berbalas tidaklah seberapa Sebab aku yakin atas janjiNya Akan tetapi, Melihatmu bersedih hatiku terasa menangis lirih Dadaku terasa sesak bak alkohol berjatuh teramat pedih
Jikalau filosofi dunia mengatakan bahwa kau baik baik saja Kau pikir aku percaya begitu saja?
Sungguh, Jelaskan padaku,ada apa denganmu?
Percayalah, Ketika cahaya disekitarmu mulai meredup, Ingatlah, bahwa aku adalah lilin kecil dengan cahayanya yang remang,masih disini menjadi pelita setia, tatkala takdir kegelapanmu mulai datang perlahan
Kalian akan mendapatkan gelar
"Wanita Sholeha" itu jika kalian berjalan di jalan yang lurus, tetap
istiqomah, taat dan patuh pada apa yang di perintahkanNya serta menjahui
segala apa laranganNya. Tirulah beliau-beliau walau kalian tak akan sanggup menyamainya, Semoga Allah mengangkat derajat kalian dan mengumpulkan kalian di JannahNya yang dihatinya tertanam rasa cinta padaNya..
Jangan pernah menganggap aku lebih baik dari kalian, karena sebenarnya yang kalian lihat tidak seperti yang kalian anggap.
Aku
sama seperti kalian, remaja yang masih ingin kebebasan. Namun bedanya
aku lebih memilih kebebasan dalam syariat islam bukan dalam hal
kekinian.
Aku sama seperti kalian, remaja yang
sedang mengenal Cinta. Namun bedanya aku lebih memilih menyimpan sebuah
rasa Cinta dibandingkan mengatakan nya.
Aku sama
seperti kalian, remaja yang masih mencari jati diri, namun bedanya aku
lebih memilih mencari jati diriku dengan cara yang diridhoi Illahi
Robbi. Jika memang hijabku membuat kalian beropini bahwa aku baik, maka kuberitahu.
Kalian
salah, karena sebenarnya aku tak jauh berbeda dari kalian. Namun
bedanya aku lebih memilih berubah menuju kearah yang lebih baik dan
meninggalkan masa yang sekarang kalian masih jalani.
Jika karena postingan ku, kalian berfikir aku sangat pandai ilmu agama.
Maka
ketahuilah, aku tak ubahnya seperti seorang anak yang baru mengenal
agama. Atau bahkan mungkin saja, aku lebih bodoh dari kalian.
Aku sama seperti kalian yang masih belajar, namun bedanya aku lebih memilih membagikan ilmuku agar bermanfaat bagi semua orang.
Aku tidak pernah merasa lebih baik dari kalian, karena aku pun pernah seperti kalian.
Aku
hanya merasa lebih baik dari masa laluku, karena jika dibayangkan masa
laluku sangatlah buruk. Mungkin lebih buruk dari apa yang kalian jalani
saat ini.
Ibarat seorang penyelam yang mencari mutiara di laut ... Ya, kita adalah penyelamnya, laut adalah Dunya ini. Tugas kita hanya mengambil mutiara dilautan, jangan terpana dengan warna-warninya ikan... Jangan juga terpesona terumbu karang Jika
banyak lalainya, maka cadangan udara yang kita bawa menyelam akan
segera habis ... Hingga pada akhirnya kita tak mendapatkan mutiara
itu... Begitu pun dunya, tugas kita beribadah dan mencari bekal untuk akhirat kelak.... Jangan terlalu banyak lalai oleh indahnya dunia, megahnya harta dan segala perhiasan nya... Usia kita terbatas.. Jangan sampai bekal belum dapat, pas sadar, maut sudah mendekat .. Naudzubillah.
Kepercayaan itu kayak kertas. Kalau udah lo remek, enggak bakal bisa
mulus lagi. Dan kalaupun bisa dibikin rada mulusan dikit, it takes
time. (hlm. 347)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Kalau kamu merasa perempuan itu berharga, jaga dia. Jangan pernah
kamu main-main sama dia. Jangan pernah bikin dan biarin dia nangis.
Karena sekali kamu biarin dia nangis, orang lain yang bakalan menghapus
air matanya. (hlm. 130)
Asal lo mau usaha dikit lagi, bisa lo dapetin. (hlm. 155)
Dunia ini jahat. Ia tidak akan pernah berhenti memberikan cobaan
selama kita hidup karena hidup adalah cobaan itu sendiri. (hlm. 196)
Setiap kalimat bakal beda kalau itu keluar dari mulut orang yang lo sayang. (hlm. 203)
Terkadang, seseorang yang paling hati-hati sekali pun bisa melakukan
kesalahan yang menghancurkan dirinya sendiri. Bahkan, orang-orang
disekitarnya. (hlm. 265)
Semua orang pernah bikin kesalahan. (hlm. 268)
Itu udah hukum alam. Lo akan menjauh dari apa yang bikin lo sakit. (hlm. 339)
Mulut sih bilangnya move on. Hati bilangnya hold on. (hlm. 342)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
Nggak usah banyak bacot, deh. Langsung aja! (hlm. 10)
Ganteng itu relative. Selera cewek itu beda-beda. (hlm. 17)
Bukan tipe cowok idaman banget. Di mana-mana juga, kalau ceweknya
enggak mau diantar pulang, ya ditungguin, lah. Masa ceweknya ditinggal
sendirian? (hlm. 19)
Kayak jelangkung aja, datang tak diundang pulang tak diantar. (hlm. 21)
Gila ya, zaman anak sekarang, masa tawuran bawa kayu. Kalau kena kepala anak orang, bisa mati. (hlm. 57)
Perempuan baik-baik enggak merebut miliki perempuan lain. (hlm. 71)
Tapi inilah cinta, tidak masuk akal. (hlm. 83)
Jangan dilawan. Makin lo ngelawan, makin kuat perasaan lo. (hlm. 99)
Hati orang mana ada yang tahu sih. (hlm. 154)
Lo ngerasa enggak dihargai enggak sih, saat lo tahu pacar lo tuh
Sebanyak-banyaknya oksigen yang berhamburan di dunia ini, tapi kalau
nggak ada diri lo dikehidupan gue, tetap aja rasanya hampa. Karena
hanya lo oksigen yang bisa membuat gue bernapas dengan bahagia di dunia
ini.” (hlm. 73)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Kalau lo jatuh, ya gue tangkeplah nanti. Jadi, lo nggak perlu takut. (hlm. 32)
Mimpi hanya akan mimpi kalaulo nggak berusaha. Makanya lo harus berusaha. (hlm. 171)
Nyaman adalah awal dari tumbuhnya perasaan suka. (hlm. 179)
Mungkin berjalan di samping orang yang disukai itu mengakibatkan lupa waktu. (hlm. 179)
Kadang, yang selalu ada akan kalah sama yang kita mau. (hlm. 189)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
Jangan terlalu dipikirin, let it flow Yang penting, lo harus peka sama lingkungan lo sendiri, terutama temen deket sama sahabat lo. (hlm. 26)
Walaupun sifat lo yang nyebelin, itu nggak bakal bisa ngubah rasa suka gue ke lo. (hlm. 29)
Jangan bercanda. Gue cuma ngomong asal. (hlm. 33)
Kalau menunggu adalah hal yang terbaik buat gue, gue bakal menunggu sampai lo menyadarinya, sampai kapan pun itu. (hlm. 36)
Kalau belajar jangan melamun, nanti kesambet. (hlm. 58)
Cerpen Gerson Poyk (Kompas, 28 Mei 2017) Rumah Sukun ilustrasi Diyanto/Kompas
Pagi itu ketika Adam dan istrinya Adama bangun, air di halaman rumah
mereka sudah setinggi tiga meter. Hujan yang turun semalam suntuk
menyebabkan banjir besar yang merendam seluruh perkampungan kumuh.
Manusia bagaikan tikus yang lari pontang-panting, mengungsi ke
mana-mana.
Adama yang bangun lebih dulu tidak bisa berbuat banyak untuk menolong
tetangganya yang kena musibah karena tangga rumahnya yang terletak di
atas meja beton raksasa setinggi tujuh meter itu, sudah diangkat. Para
perempuan dan anak-anak berada di atas rakit batang pisang, dibawa ke
tanah yang lebih tinggi. Ia berpikir, kalau tangganya diturunkan maka
pengungsi akan naik ke atas atap rumah, di atas meja beton raksasa itu.
Di atas meja beton raksasa seluas sepuluh kali lima belas meter,
terletak rumah yang terbuat dari bambu kuning berukuran sembilan kali
enam meter. Rumah itu tak dapat menampung banyak orang. Akan tetapi,
ketika ia melihat lima orang ibu duduk menggendong lima bayi yang
semuanya basah kuyup, ia menurunkan tangga lalu beberapa lelaki menolong
mereka menaiki tangga dan masuk ke dalam rumah bambu kuning itu.
Adam, sang suami terbangun oleh tangis lima bayi. Ia segera meminta
pertolongan istrinya menyediakan pakaian kering untuk kelima bayi itu.
Setelah tubuh bayi-bayi dan ibu mereka kering, Adama menghidupkan api
dengan kayu bakar di atas tungku, menggoreng sukun, memasak bubur dan
membuat susu untuk bayi-bayi itu.
Tidak lama kemudian Mpok Uni, pembantu rumah-tangga datang dengan
kendaraan rakit batang pisang yang didorong memakai galah bambu yang
panjang. Setelah membersihkan rumah, Adama memberinya uang belanja lalu
ia menuruni tangga, naik rakit batang pisang lagi untuk berbelanja ke
pasar. Kembali membawa belanjaan, Mpok Uni memasak makanan yang cukup
untuk dimakan oleh lima orang ibu pengungsi termasuk tuan rumah dan Mpok
Uni, pembantu mereka.
Sehabis makan siang, tiba-tiba terdengar bunyi motor air. Adam dan
Adama melihat keluar. Ada perahu karet yang dipenuhi oleh orang
berpakaian seragam pemerintahan.
“Siapa mereka itu?” tanya Adam kepada istrinya.
“Rombongan Gubernur,” jawab istrinya.
“Masa Gubernur berbanjir-banjir,” kata Adam.
“Itu Gubernur sungguhan,” kata Adama.
“Bukan, ah,” bantah suaminya.
Sementara itu perahu karet bermotor itu sudah bersandar ke tangga.
Gubernur dan rombongan menaiki tangga, menjabat tangan Adam dan Adama,
lalu mereka dipersilakan masuk oleh tuan rumah.
Setelah rombongan itu duduk, Gubernur berkata. “Rumah ini indah
sekali. Ada pohon sukun keliling rumah. Ada totem-totem ekspresif. Ada
lukisan besar-besar primitif artistik. Dari mana benda-benda seni ini?”
tanya gubernur.
“Dibuat sendiri, Pak.”
“Dan lukisan-lukisan lebar ini?”
“Hasil karya istri saya, Pak. Istri saya pelukis,” kata Adam.
“Pantas. Istri pelukis dapat membuat rumah dan halaman menjadi taman,
mungkin sang suami seorang arsitek pertamanan. Lihat saja pohon-pohon
sukun yang buahnya lebat dan daunnya yang rimbun bergantungan, lihat
saja rumpun-rumpun pohon bambu kuning, rumpun pisang yang buahnya
bergelantungan. Taman ini dilukis oleh nyonya rumah. Lihat lukisan daun
sukun dan buahnya dengan wanita cantik yang gemuk. Tidak kalah dengan
lukisan Gaguin yang pernah saya lihat di museum luar negeri.”
“Saya bukan arsitek pertamanan, Pak. Saya mantan guru di sebuah dusun hutan Papua,” kata Adam.
“Pantas. Rumah ini mirip rumah pohon, seperti rumah orang Papua. Tapi ini rumah Papua modern. Sekarang masih mengajar?”
“Tidak lagi. Di Papua saya dipecat,” kata Adam.
“Sedih sekali, saya dipecat karena harus meninggalkan rumah sukun
saya di sana. Rumah sukun saya di Papua, semuanya terbuat dari kayu
kelas satu anti rayap anti lapuk. Buah-buah sukun bahkan masuk
bergelantungan sampai ke depan jendela dan pintu rumah seperti rumah
ini. Tiap hari saya makan buah roti, makan breadfruit, Pak. Saya juga
makan hamburger karena daging datang sendiri ke kolong rumah sukun saya.
Puluhan celeng, rusa, ular, biawak, buaya, tokek, tikus, kodok datang
bermain di kolong rumah. Tinggal dipanah lalu daging binatang itu diasap
menjadi smoked beef. Hutan Papua adalah firdaus gizi,” kata
Adam menggeleng-gelengkan wajahnya, “Kini dusun hutan saya sudah menjadi
pusat ekowisata. Orang asing yang datang, ramai-ramai bersama penduduk
membangun banyak rumah sukun. Mereka memakai koteka supaya kulit dan
telapak kaki mereka tebal, memanjat pohon, bergelantung, berayun di
akar-akar seperti Tarzan, berteriak-teriak meniru suara binatang hutan,
bersiul meniru suara burung, mendesis meniru suara ular,
mendengung-dengung meniru suara kodok. Pesawat-pesawat terbang kecil
mendarat di sungai dan terbang kembali. Saya ingin kembali ke sana….”
“Mengapa sampai dipecat lalu meninggalkan Papua?” tanya Gubernur lagi.
“Saya diusir,” jawab Adam.
“Siapa yang mengusir?” tanya Gubernur.
“Pemerintah.”
“Ah, tidak mungkin. Pemerintah tidak mungkin mengusir seorang guru. Papua sangat memerlukan guru.”
“Atas hasutan pengembang proyek transmigrasi, kaki tangan kapitalisme myopic. Mereka datang ke Papua membawa mesin-mesin raksasa menghancurkan hutan, mengubahnya menjadi sawah monokultur sehingga top soil
tak dilindungi akar hutan. Saya tidak setuju lalu saya mengerahkan
massa Papua berdemonstrasi. Sayangnya massa jadi anarkistis, membakar
alat-alat berat dan gudang-gudang. Saya ditahan, dipenjarakan, dipecat
dan begitu keluar dari penjara, diusir lalu terdampar di sini. Di sini
saya membeli tanah satu acre yakni sekitar empat ribu meter, lalu saya
tanami sukun, bambu, pisang, nangka, pepaya, duren, jambu, sirsak,
delima dan lain-lain. Saya hidup dari hasil kebun saya dan kebun saya
hidup dari tanah. Saya seorang Adam yang hidup dari Adama yang berarti
tanah. Adam dan Adama adalah bahasa Ibrani, Pak. Saya mendapat istri
bernama Adama. Mula-mula ia bernama Maria Tzu tetapi kemudian diubah
menjadi Adama.”
“Dari mana modal untuk membeli tanah dan membangun rumah sukun ini?” tanya Gubernur.
“Waktu saya diusir saya menghilang, bergabung dengan penduduk
pendulang emas di sungai pembuangan sampah tambang emas. Tiga tahun
mendulang, hasilnya satu setengah kilogram emas. Siang malam saya
mendulang di terik matahari dan angin dingin, pakai koteka saja sehingga
kulit saya tebal. Waktu saya kena malaria atau apa, seorang misionaris
dokter menyuntik saya. Jarumnya patah. Sang misionaris membakar tang dan
pisau, lalu kulit saya dikerok dan jarumnya dicabut. Dia kagum dan
berkata bahwa saya harus menjadi instruktur pasukan khusus Tentara
Nasional Indonesia,” Adam berkisah.
Gubernur tertawa, “Insinyur siapa yang membangun rumah ini?”
“Saya dan istri saya dibantu tukang kampung, bukan insinyur. Awalnya
istri saya gemuk sekali tetapi setelah bekerja setiap hari mencampur
semen untuk membuat tiang beton tulang besi kaki ayam, ia jadi kurus,
langsing seperti sekarang,” kata Adam.
Sang istri yang duduk di samping suaminya mendorong bahu suaminya.
“Mengapa Saudara tak setuju dengan program transmigrasi di Papua?” tanya Gubernur lagi.
“Saya setuju dengan transmigrasi tapi transmigran yang datang ke
Papua harus seperti saya. Membangun rumah sukun di tengah hutan. Soalnya
kalau di hutan, kita banyak makan daging perburuan sehingga sedikit
memperoleh anak. Orang Jawa dan Sunda hidup dari sawah. Setiap hari
makan nasi sehingga jadi banyak anak. Lihat saja tikus sawah yang
mewabah karena makan padi. Perempuan Jawa dan Sunda yang banyak makan
nasi potensial banyak anak sehingga bisa menjadi wabah di tanah Papua,
wabah yang memusnahkan orang Papua. Percaya atau tidak, orang Papua akan
punah kalau transmigrasi sawah merebak. Padahal perempuan Jawa dan
Sunda itu arif dalam perkara makanan,” kata Adam. “Perempuan Jawa suka
makan gado-gado, perempuan Sunda punya kearifan budaya lokal di bidang
kuliner bernama lalap. Kata orang, kawin dengan perempuan Sunda sangat
enak dan gampang. Lepas dia ke hutan hanya dengan modal sambal, tiap
hari ia akan bersenandung kecapi Sunda sambil makan lalap!”
Gubernur tertawa, “Bisa aje Kang Adam ini. Kata siapa makan nasi jadi wabah tikus?”
“Kata literatur, kata para ahli. Lihat orang Eropa. Mereka makan daging setiap hari sehingga anaknya sedikit,” kata Adam.
“Dari mana orang Indonesia memperoleh daging setiap hari? Daging
manusia banyak karena makan nasi,” kata Gubernur terbahak-bahak.
“Indonesia tidak kekurangan protein sebenarnya. Ikan tak akan habis
di laut. Di sawah banyak tikus, kodok, belut, ular, biawak dan
sebagainya. Semua itu protein. Banjir ini membawa protein setiap hari
setiap jam. Saya dan istri membuat jaring yang ditaruh di banjir. Waktu
diangkat, ada ikan, ada biawak, ada ular. Banyak sekali. Karena
banyaknya kami awetkan,” kata Adam.
“Diawetkan dengan apa?” tanya Gubernur.
“Dengan asap. Asap berfungsi selain membuat daging asap, juga
mengusir petir. Kalau hujan petir dan halilintar kami mengasapi ikan,
ular, biawak. Maaf, saya undang Bapak melihat ke dapur. Ada tergantung
banyak ular, tokek dan biawak dibawa banjir yang sudah diasap,” Adam
mengundang Gubernur.
Ketika gubernur dan stafnya melihat binatang-binatang yang sudah awet itu mereka berseru, “Astaganaga!”
“Daging yang paling enak melebihi daging binatang ternak adalah
daging ular, Pak. Juga ekor buaya, rasanya gurih, kenyal. Bapak-Bapak
mau coba daging ular dan biawak?”
Serentak pejabat-pejabat itu ngeong, “No. No, no….”
Kembali ke kamar tamu Adam berkata, “Sebentar lagi kita angkat jaring
yang terpasang kemarin. Pasti akan terjaring banyak protein yang dibawa
banjir tadi malam. Itu di sana, di selokan yang banjirnya deras kami
pasang jaring besar di sana,” kata Adam.
Gubernur, sambil bersandar, berkata, “Saya salah, mengapa saya
membangun tidak rumah sukun. Mengapa baru sekarang kita bertemu dan
melihat rumah ini. Kalau dulu saya melihat rumah dan taman sukun ini,
saya akan bangun banyak rumah dan taman sukun.”
“Begini, Pak,” kata Adam. “Baik rumah susun, baik rumah sukun di kota besar ini, semuanya menyenangkan setan.”
“Maksudnya?” tanya Gubernur.
“Manusia akan berbondong ke kota. Urbanisasi makin membengkak.
Seperti kata literatur, urbanisasi dan pengangguran adalah setan yang
paling buas. Sebaiknya transmigrasi gaya rumah sukun disebarkan di
Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Akan tetapi semua ini, mestinya jadi
urusan Departemen Transmigrasi dan Tenaga-Kerja. Sayangnya departemen
ini hanya mengurus babu-babu dan budak upah. Di hutan, manusia adalah
manusia, adalah bos atas dirinya sendiri. Saya pikir dalam tempo sepuluh
tahun, kalau ada program transmigrasi rumah sukun, negeri ini akan
maju, orang miskin dan penganggur akan lenyap dan kalau ada industri
berat kita akan menjadi bangsa adidaya,” kata Adam.
“Akan tetapi kita perlu banyak kapal untuk mengangkut berjuta transmigran,” kata Gubernur.
“Soal kapal tirulah Jepang. Ketika Jepang diusir dari Port Arthur,
dalam tempo sembilan tahun saja Jepang bangun industri besar, kapal
besar, mesin besar, meriam besar dan sebagainya lalu menenggelamkan
armada kapal perang Rusia. Kita ini punya batubara, minyak, besi, timah,
nikel, tembaga dan sebagainya. Tinggal memasak logam dan mengecornya
menjadi kapal, mobil, pesawat terbang dan sebagainya. Dalam tempo
sembilan tahun, Pak Gubernur, sembilan tahun Jepang jadi raksasa. Kita
ini seperti India. Ketika Jepang sibuk dengan teknologi, dengan
mesin-mesin besar, India sibuk memperbanyak sarjana hukum. Indonesia pun
demikian tetapi hanya mencetak sarjana hukum yang tidak mampu
menegakkan hukum, kecuali mafia hukum. Ekonomi Amerika dikemudikan oleh
pemikir bernama Keynes dan filsafat pragmatisme. Intelektual dunia
melawan fundamentalisme agama yang mengandalkan eros dan thanatos,
yakni naluri kehidupan syahwat dan naluri kematian, dengan karya para
filsuf antara lain John Locke, Descartes, Kant dan lain-lain. Begitu
yang saya baca dari literatur yang saya bawa ke hutan Papua, hutan yang
memberikan waktu senggang untuk belajar karena tidak mempergunakan waktu
menggarap sawah. Di Amerika ada kampus di tengah hutan buatan tetapi
tidak ada sagu, sukun dan binatang perburuan. Kalau ada kampus di tengah
hutan Papua, maka mahasiswa akan tertolong,” celoteh Adam. “Menurut
perhitungan China sebelum perang, biaya untuk seorang mahasiswa dalam
setahun setara dengan 30 tahun kerja petani. Kalau ia kuliah 5 tahun
sampai tamat maka seorang sarjana menghabiskan 150 tahun kerja petani.
Bayangkan, di negeri ini ada jutaan sarjana nganggur,” Adam merenung.
“Soal mengatasi banjir, panggil insinyur kanal Belanda. Orang Belanda
bisa mengalahkan Atlantik dengan membuat bantaran raksasa sehingga
memperoleh tanah pertanian yang lebih rendah dari permukaan samudra.
Indonesia tak mampu melawan segumpal awan yang menurunkan hujan cuma
satu atau dua jam,” tambah Adam.
Gubernur melihat jam di tangan, “Oke, nanti saya sediakan ruangan dan
waktu untuk acara diskusi macam ini secara berkala, tapi mari kita
lihat jaring yang ditaruh tadi malam. Saya ingin lihat ikan yang dibawa
banjir.”
Ketika jaring diangkat, tampak ikan menggelepar. Ada beberapa ular
dan biawak tetapi jaringnya agak berat. Tiba-tiba tampak dua tengkorak
manusia, yang satu besar, yang satu kecil.
“O, Tuhan, di atas sana ada kuburan yang dikuras banjir dan membawa tengkorak ke jaring ini,” kata Adam dengan suara keras.
Gubernur mengambil kedua tengkorak itu dan berkata, “Blessing in disguise, banjir membawa ikan untuk pengungsi tapi juga tengkorak buat saya. Saya bawa dua tengkorak ini ke kantor, ya!”
“Jangan dilihat wartawan. Nanti Bapak dicap dunia sebagai Gubernur Tengkorak!”
“Bungkus!” titah Gubernur.
Waktu Gubernur pergi, terdengar ciap-ciap kelima perempuan pengungsi dan bayi-bayi mereka….***
Catatan: Cerpen ini ditulis beberapa bulan sebelum Gerson
Poyk meninggal karena sakit. Pengarang kelahiran Namodele, Pulau Rote,
Nusa Tenggara Timur, ini wafat, 24 Februari 2017. Ia lahir pada 16 Juni
1931. Gerson menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan menulis. Ia
mulai dikenal dalam dunia penulisan kreatif di Tanah Air sejak tahun
1950. Kritikus HB Jassin menempatkan dia sebagai salah satu eksponen
sastrawan Angkatan 66.
Cerpen Kartika Catur Pelita (Republika, 28 Mei 2017) Masjid Wali ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Pertunjukkan orkes dangdut sangat meriah.Pentas digelar di halaman
depan rumah Haji Wahdi, pesta khitanan putra bungsunya. Penyanyi semok
berkostum seksi mendendangkan tembang dangdut koplo goyang rancak. “….Gak mau pulang, maunya digoyang. Gak mau pulang…, eh, eh, Bang Jono, lama abang gak pulang- pulang…”
Penonton beragam usia menonton dengan antusias. Barisan teruna ngibing, berjoget dangdut beragam gaya khas. Ada yang angguk-angguk kepala, geleng- geleng, geol bokong, sampai cukup goyang ibu jari.
Sam, Rino, dan Helmi, tiga sekawan asal Dukuh Pungruk, turut
merayakan tontonan gratis. Tiga jantan lulusan MTs itu sengaja datang
dari kampung ke tempat hajatan yang berjarak 25 km. Naik motor
berboncengan tiga, alias cenglu. Semua dilakukan demi bisa nonton
dangdut. Menikmati suara biduan yang mendayu, juga goyang yang bikin
serser darah muda. “…langit hang dadi saksi, bumi milu nyakseni,…sun linglung koyo wong edan turun.”
Sambil berjoget, mereka menenggak minuman beralkohol yang dijual di
sekitar area pentas. Serasa melayang, nggeleyang, asoi asyiknya.
Pertunjukkan orkes berakhir pukul dua belas tengah malam. Sam, Rino,
dan Helmi mampir ke warung kucing, menyantap beberapa bungkus nasi, sate
besusul, mendoan, dan minuman penyegar. Sebelum lima belas menit
kemudian motor mereka menerabas jalanan.
Gara-gara pengaruh minuman keras, ngebut, motor meleng, dan menabrak pohon di pinggir jalan. Ketiganya tersuruk di sawah yang berlumpur kerontang.
Helmi sempoyongan. Rino mendorong motor. “Motornya soak,” kutuknya.
Sam membersihkan lumpur di celana jeans-nya. “Kita mesti nuntun. Siapa tahu di depan ada bengkel.”
Sepanjang jalan yang ditemui hanya lahan empang dan pesawahan.
Langkah mereka berhenti ketika bersua sebuah masjid yang terletak di
atas tanah berbukit.
“Kita istirahat di masjid aja,” usul Sam.
“Mau ngapain?” gumam Rino.
“Sembahyanglah. Gini-gini, aku masih suka sembahyang meski
kadang mabuk dan nonton orkes,” Sam menjawab dengan gerakkan menirukan
orang mabuk yang melakukan sembahyang.
“Iyalah. Setuju. Kita mampir di masjid. Capek juga nih nuntun motor.”
“Akur!”
Rino menghentikan menuntun motor. Helmi celingukan. Sam menemukan
engsel pintu gerbang masjid kuno. Sepasang pohon balsia memayungi masjid
yang luas. Pekarangan rimbun, daun-daun berjatuhan, tak ada yang
membersihkan.
Sam merebahkan pantat di ubin masjid. Ubin kuno dan dingin. Pada
serambi masjid terdapat beduk berukuran besar. Rino tanpa melepas sandal
melangkah ke masjid. Jejak lumpur tergores di lantai. Rino hanya
nyengir saat Sam mengingatkan. Sementara Helmi memilih melepas sandal,
tapi hasilnya sama saja, kakinya berlumpur, hingga ceceran peceren sawah tertoreh di lantai.
“Kalian jorok,” gumam Sam.
“Enggak apalah, Bro. Kan enggak ada yang lihat,” elak Rino. “Besok ada marbut yang bersihin.”
Rino dan Helmi berlarian lomba melangkah cepat. Ternyata mereka
sama-sama kebelet buang air kecil. Sesampai di tempat wudhu, Rino pun
membuang hajatnya. Helmi berbuat sama. Hmm… rasanya lega melepas
ketegangan kandung air kemih. Saat mereka sedang pipis, Sam ternyata
menyusul. Sontak Sam kaget melihat ulah dua karibnya.
“Heh, mengapa kalian buang air kecil di sini?! Ini kan tempat whudu. Kalian enggak lihat tuh ada tulisan dilarang kencing di sini.”
“Kita tadi enggak baca, Bro. Lagian tulisannya kecil,” kilah Helmi merasa tiada bersalah.
“Saya tadi kebelet, Bro. Ya, udah, salurkan saja, si Helmi ikut-ikutan.”
“ Hehehe, bukankah kau yang memberi contoh buruk? Ya, udah, aku meniru.”
“Kalian sama-sama jorok,” Sam buru-buru mengambil air wudhu. Sesaat
melangkah ke serambi masjid. Berniat sembahyang jamaah. Tapi di sana
yang dilihatnya si Roni sudah mengorok, sementara Helmi malas-malasan
tiduran.
“Hel, ayo shalat,” ajak Sam
“Enggaklah, lagi ‘m’…”
“M… apaan?”
“Malas.”
“Si Rino tadi udah shalat?”
“Shalat apaan. Habis buang air kecil, bersuci pun tak. Hahaha.”
“Sudah. Saya mau shalat. Kalau mau ikut kita bisa jamaah.”
“Enggak deh. Aku titip salam aja sama Allah.”
“Sam tak menggubris omongan temannya yang ngawur. Ia sembahyang Isya, kemudian berdoa. Sesaat ia menghampiri Helmi yang belum tidur. Tiduran di lantai serambi masjid.
“Belum tidur, Hel?” Sam merebahkan diri di dekat Rino. Menumpukan tangan untuk bantal.
“Belum nih. Nyamuk banyak banget,” gumam Helmi. Plak-plak-plak!
Sibuk menepoki nyamuk. Beberapa gepeng di tangannya. Helmi tersenyum
puas. Tapi tak lama ia mengaduh, mengumpat sial, saat nyamuk
mengigitnya.
“Sialan, banyak banget nyamuk. Kayak di kebun aja.”
“Iyalah, namanya juga tidur di masjid,” Sam memiringkan tubuh.
Sekilas ia melihat Rino yang sudah tidur mengorok, tak peduli nyamuk
menggigit. Sam perlahan bangkit dan menepuk nyamuk yang tengah menggigit
lengan Rino. Nyamuk gepeng, memuncratkan darah di tangan. Rino sekilas
bangun, menguap, terjaga, menggaruk lengannya yang gatal, ia kemudian
tidur lagi.
“Belum tidur, Bro?” tanya Helmi, yang mulai menguap, menutupi tubuh
dengan jaket. Namun apa daya, jaketnya kekecilan. Hanya sebagian tubuh
tertutupi. Ini alamat ia bakal diserbu nyamuk.
“Aku belum ngantuk,” cetus Sam. Ia kembali tidur telentang. Kali ini
memandang langit kamar masjid. Bangunan terbuat dari kayu kuno. Beberapa
kelelawar bersarang di atap-atap masjid. Mengapa dibiarkan.
“Kayaknya…,” Sam ingin mengatakan sesuatu pada Helmi.
“Aku mau tidur, udah mengantuk,” tukas Helmi.
“Ya, udah tidurlah. Biar saya yang jagain.”
“Bangunin sebelum subuh, ya. Sebelum subuh kita cabut dari masjid
ini,” pesan Helmi mulai memejamkan mata. Tak peduli nyamuk yang
menggigit. Toh kalau ia tidur nanti tak terasa digigit nyamuk, pikirnya.
“Tentu setelah sembahyang Subuh,” Sam berkata. Ia memang tak merasa mengantuk.
Entah. Ia tak terbiasa bisa tidur lena di tempat asing.
“Terserah deh. Udah mengantuk nih,” kata Helmi benar-benar memejamkan mata.
Sesaat suara napasnya mengalun lembut. Sekilas Sam melirik. Ia memilih
bangkit, wudhu, dan hendak menjalankan shalat Tahajud. Ia berencana
begadang malam ini. Kalaupun mengantuk mungkin hanya ‘tidur-tidur ayam.’
***
Dingin air memercik tubuh. Dingin. Sungguh menggigit. Ah, siapa sih
yang iseng-iseng memercikkan air ke tubuhnya. Sam membuka mata. Ranting
pohon menyeruak dan embun menetes. Sam mengucek mata. Ia berada di
mana? Bukankah tadi ia tiduran di serambi masjid, mengapa kini ia berada
di atas pohon, telanjang pula?
Sam terlongong mencari di mana Rino dan Helmi. Demi masa, Sam serasa
tak percaya saat melihat Helmi dan Rino telanjang dan tiduran di bibir
sumur besar di serambi kiri masjid. Ya, Allah siapa yang memindahkan
mereka?
Sam berteriak, hendak memanggil Helmi dan Rino, bersamaan Rino dan
Helmi yang membuka mata. Mereka tertegun. Tertidur pada bibir sumur
kuno. Helmi menggeliat. Ia menggelinding dari bibir dan meluncur ke
dalam sumur. Rino turut menggeliat, dan plung, ia pun jatuh ke dalam
sumur!
Pagi jelang Subuh itu di sebuah masjid kuno—yang di plang depan
tertulis ‘Masjid Wali’—terdengar teriakan minta tolong seorang lelaki
belia telanjang yang kebingungan berlari bolak-balik mengeliling masjid,
seraya berteriak- teriak histeris, Tolong. Tolong.
Temanku kecebur sumur. Tolong-tolong-tolong!
Kota Ukir, 09-13 Februari 2017
Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1970. Cerpen, puisi, esai dimuat di media cetak dan daring. Buku fiksi Perjaka, Balada Orang-orang Tercinta, dan Bintang Panjer Sore. Bermukim di Jepara, bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).
Cerpen Wawan Setiawan (Jawa Pos, 28 Mei 2017) Derai-Derai Cemara ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
“Untuk menghindarinya, aku pergi ke tempat-tempat sepi. Tapi
ternyata, di tempat-tempat sepi itu pula aku bertemu dengannya lagi.
Malah lebih sering. Ternyata dia tidak hanya suka tempat-tempat ramai.”
Itulah gumamku suatu malam. Akhir-akhir ini tak banyak yang kulakukan
selain bergumam, menggumamkan sesuatu yang tak jelas, atau agak jelas.
Dan aku bergumam sepanjang jalan itu, jalan cemara berjajar yang
lampunya sering padam, mengingatkanku pada suatu masa kecil agraris.
Di masa kecil itu, hati tenteram. Seolah hidup tanpa persoalan. Yang
ada hanyalah kenikmatan demi kenikmatan. Kedua orang tua selalu
mengayomi. Udara bersih. Air sungai jernih. Di sana-sini sawah menghijau
lalu menguning. Oh, nasibku kini.
Tapi, baik lampunya gelap atau terang, aku tetap suka keduanya dengan
selisih yang sedikit. Karena kalau melihat langit malam, manusia
dikepung kegelapan, bintang-bintang seakan kalah oleh kegelapan. Karena
itu, jangan benci atau terlalu benci pada kegelapan.
Saat enaknya berjalan sendirian itu, ada lemparan kerikil ke
pundakku. Orang usil rupanya. Jangan-jangan aku di kira waria. Kukejar
orangnya yang segera menghilang ke arah selatan, ke kompleks makam
Kembang Kuning yang lebih gelap. Orang sinting dia atau hantu penasaran.
Malam-malam sepi begini, mestinya orang tidur atau nonton TV, atau main
kartu, atau kegiatan yang lain, untuk bisa menikmati hidup sesuai
kondisinya masing-masing. Memang, sebenarnya tak boleh ada orang
mengganggu. Tapi untung aku tadi masih dilempar kerikil, bukan batu;
kena pundak, bukan kepala.
“Jangan mimpi terus. Kalau kamu ingin sehat, kamu diberi penyakit.
Kalau kamu ingin uang, kamu diberi pekerjaan. Kalau kamu ingin tempat
sepi, kamu dilempar kerikil. Dan kalau ingin Tuhan, kamu dikasih setan.”
Gumamku tetap tak jelas. Tapi apa salahnya orang bergumam. Hanya
bergumam saja kok. Bergumamlah apa adanya atau seadanya. Dunia
tak akan hancur oleh orang yang bergumam, atau berbisik, apalagi setelah
lama diam dalam bahasa pohon.
“Citra… engkaulah bayangan,” ada suara sayup. Suara itu muncul dari
arah cemara paling tua. Biasanya di bawah cemara tua itu ada warung
rokok. Penjual rokok suka nyetel lagu-lagu nostalgia kalau
malam dari pemancar radio terdekat. Rombongnya ditutup dan ia lelap
dalam rombong itu. Ia lupa mematikan radio. Dari dalam rombong itu lalu
keluar lagu sendu itu.
“Citra…. suratan yang duka,” lirik lagunya menyayat. Tapi ketika
cemara tua itu kuhampiri, tak ada orang di dalam rombong. Hanya cemara
saja dan ditemani rombong kosong. Jangan-jangan orang melempar kerikil
tadi yang menyanyi. Tapi, tidak, yang menyanyi tadi wanita dari sebuah
radio.
“Lho, yang lempar kerikil tadi kamu kira pasti pria? Bisa juga perempuan yang lempar. Sekarang kesetaraan gender.”
Aku kembali jalan sesuai arahku. Malam-malam begini agak gerimis. Aku
harus berteduh di mana? Rumah-rumah sepanjang jalan ini selalu lelap,
tak mungkin salah satunya mau membuka pintu atau jendela. Maklumlah
mereka orang rumahan, sedang aku orang jalanan.
Aku suka keluar malam sampai menjelang subuh untuk berburu udara
segar. Malam-malam hening begini terjadi peralihan udara. Setelah
siangnya diaduk seperti kopi, malam serbuknya mengendap ke bawah. Udara
kotor menjadi udara bersih. Maklum, jejak karbon selalu sepanjang hari.
Memang sudah cukup lama di dalam diriku terjadi perubahan, dari bukan
pemuja pohon menjadi pemuja pohon. Biarlah perilakuku dianggap aneh.
Daun-daun gugur kukumpulkan, kumasukkan tas ransel. Aku yakin di dalam
daun-daun gugur yang setengah kering itu masih ada zat hidup, yaitu
oksigen, lumayan untuk persediaan.
Aku terus berjalan. Aku terus menembus malam. Jalan besar, yaitu
Jalan Diponegoro, masih cukup jauh. Jalan kecil bercemara ini, yaitu
Jalan Amir Hamzah, cukup panjang. Di ujung timurnya ketemu Jalan
Prapanca, belok kiri ketemu Jalan Chairil Anwar. Barulah, dari Jalan
Chairil Anwar ke timur aku ketemu Jalan Diponegoro.
Kutinggalkan tangan usil dan lagu “Citra”. Keduanya konkret sekaligus
abstrak. Lemparan kerikilnya konkret, pelemparnya abstrak. Suara lagu
“Citra” itu? Wa duh, aku bingung dibuatnya. Kasus lagu itu konkret atau
abstrak, ya? Dan sebelumnya, karena masalah konkret dan abstrak ini,
makanku sering tak enak, tidur tak nyaman.
“Kalau aku disuruh memilih, aku lebih suka memilih jadi Ontorejo,
dewa bumi, dewa tanah. Tahu-tahu muncul di suatu tempat, tanpa
disangka-sangka. Tentu karena ada panggilan tugas. Ia muncul dari
permukaan tanah. Bagaimana cara ber napasnya, ya?”
Gumaman-gumaman itu terus menampari kepala. Kucari kenikmatannya,
belum ketemu. Tubuhku mulai kembali segar setelah kakiku melangkah
beberapa ratus meter. Gara-gara lemparan kerikil tadi langkah kakiku di
Jalan Amir Hamzah terganggu. Aku minta maaf kepada arwah Amir Hamzah,
kudoakan dia tinggal di surga termulia. Juga doaku untuk pacarnya ketika
Amir Hamzah kuliah di Solo, Ilik Soendari. Kasih tak sampai. Oh, aku
tak mampu membayangkan revolusi sosial di Kesultanan Langkat. Terlalu
keji. “Mangsa aku dalam cakarmu,” [2] kata Amir dalam puisinya.
***
SEKARANG aku mulai masuk Jalan Chairil Anwar. Aku
mengawalinya dari arah Jalan Kembang Kuning, belok kanan ketemu Jalan
Chairil Anwar. Di jalan ini, hampir semua cemaranya tua-tua.
Batang-batangnya besar-besar. Daun-daunnya lebat bersatu menjulang ke
langit, seperti orang yang menagih janji.
Cemara menderai sampai jauh Terasa hari akan jadi malam Ada beberapa dahan di tingkap merapuh Dipukul angin yang terpendam [3]
Masih kuingat suara guru bahasa Indonesia ketika membacakan salah
satu bait dari puisi Chairil Anwar yang paling indah itu. Ketika itu aku
masih kelas dua SMA, guru bahasa Indonesiaku yang tampan ternyata
fanatik dengan puisi yang ada cemaranya itu, sampai aku hafal aksen
suaranya. Karena seringnya sang guru membacakannya di kelas, akhirnya
aku ikut-ikutan menyukai puisi itu.
Dan, ternyata, ikut-ikutanku tidak sepenuhnya gagal. Malah
sebaliknya, menjadikan puisi sebagai kebutuhan. Dan, ternyata kemudian,
aku juga gandrung lirik lagu-lagu pop. Bukankah lirik-lirik lagu itu
juga puisi? Salah satunya lagu “Citra” Rafika Duri yang terdengar dari
radio yang tak kutemui letaknya itu.
Memang, di Jalan Chairil Anwar ini cemaranya tua-tua. Tegar dalam
kesunyian. Kadang sedikit bergoyang untuk menghormati angin. Senang
bergaul dengan mereka. Terasa sekali kebijakan mereka. Teduh rasanya.
Ketenteramannya mendalam. Kudekati salah satu pohonnya. Kucium batangnya
dengan gemas. Tak kupikirkan lagi bahwa di tiap pohon ada penunggunya.
“Wahai cemara tua, memang indah dan dalam akhir hidupmu. Karena itu, penyair sekaliber Chairil Anwar kepincut sama kamu.
Sampai akhirnya, gara-gara kamu, dia dapat menulis puisi terindah dalam
hidupnya. Kamu wajib bersyukur, meski kamu hanya sebatang pohon,”
begitu bisikan hatiku.
Rumah-rumah di Jalan Chairil Anwar tetap model kuno seperti
rumah-rumah di Jalan Amir Hamzah. Cuma, bedanya, rumah-rumah di Jalan
Chairil Anwar ada renovasi di sana-sini, namun tetap menjaga keaslian
masing-masing. Tampaknya, meski tanpa komando, ada keseragaman dalam
merenovasi. Kebanyakan rumah-rumah itu ada tambahan tiga puluh persenan
dari kondisi aslinya.
Yang mencolok adalah tanaman bunga-bunganya di setiap halaman. Secara
serempak pula, seolah mereka sama menganggap bahwa sang penyair suka
bunga atau suka wanita. O ya, sejarah mengatakan kesukaan Chairil pada
wanita ada yang bersifat platonis, ada yang bersifat
materialis. Yang platonis, contohnya, pada wanita Sri Ayati. Sang
penyair hanya menggaulinya secara emosional dan intelektual. Hal ini
disebabkan Sri Ayati sudah ditunangkan oleh orang tuanya. Tunangannya
seorang dokter, ganteng. [4]
Salah satu wanita riilnya dapat dilihat pada pergaulan Chairil Anwar
dengan pelukis Aff andi. Setelah berhubungan dengan seorang perempuan,
Chairil meninggalkan alamat pelukis Affandi di bawah bantal. Tak ayal,
sang perempuan langsung ke rumah Affandi, menagih uang lelah.
Kurang jelas, berapakah jumlah perempuan fisikal, termasuk
pacar-pacarnya, yang digauli sang maestro ini? [5] Namun para
pengagumnya memaklumi. Ada pendapat, kalau tidak demikian, Chairil tak
dapat menciptakan puisi-puisi cemerlang.
Isi otakku terlalu penuh sehingga tubuhku mudah lelah dan wajahku
tegang. Sudah ada komputer tapi isi otak tetap meluber. Kenapa isi otak
itu tidak disimpan di tas lalu ditaruh di almari? Kalau butuh
sewaktu-waktu bisa diambil seperlunya.
Aku tadi berpikir Amir Hamzah di Jalan Amir Hamzah, berpikir Chairil
Anwar di Jalan Chairil Anwar. Memangnya dua penyair besar itu pernah
tinggal di dua jalan itu? Mereka tinggal di otakku dan otak orang-orang
lain. Nama kedua jalan itu digoreskan untuk mengenang dan menghargai
jasa-jasa mereka dalam menyemarakkan semangat kemanusiaan dan hidup
berketuhanan.
Tubuhku bergerak-gerak seperti ondel-ondel meninggalkan Jalan Chairil
Anwar. “Ini muka penuh luka, siapa punya?” [6] Chairil Anwar menodongku
dengan kalimat-kalimat jitu. Memang aku sering ditodong kalimat-kalimat
jitu oleh para penyair.
***
Setelah keluar dari Jalan Chairil Anwar yang inspiratif, aku masuk
jalan utama yang penuh kenangan, yaitu Jalan Diponegoro. Jalan utama ini
kembar. Sisi yang satu dari Pasar Kembang ke arah arah Terminal
Joyoboyo. Sisi satunya dari Joyoboyo ke Pasar Kembang. Di sepanjang
jalan kembar ini menyabang sejumlah jalan. Nama-nama jalan ada yang
berhubungan dengan nama-nama pahlawan dan sungai-sungai.
Kakiku melangkah menuju Joyoboyo, terminal legendaris milik Surabaya.
Ternyata terasa bukan Jalan Diponegoro kalau malam. Pohon-pohonnya
besar-besar, pohon cemara dan sono seakan bersaing memamerkan oksigen.
Kendaraan sepi, hanya satu dua yang larinya bak setan mabuk.
Ada sirine mobil ambulans, dari arah Pasar Kembang ke Joyoboyo.
Larinya luar biasa kencang, diikuti dua motor yang juga kencang dan
knalpotnya meradang. Setelah bunyi sirine dan knalpot, kembali sunyi
berkuasa. Dari sunyi ke bunyi, lalu kembali ke sunyi. Bunyi apa yang
dapat mengalahkan sunyi?
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, ke belakang, tak ada orang sama
sekali. Ketakutan menyerbuku, tapi aku melawannya dengan cara
membiarkannya. Lalu kudengar derap-derap kaki kuda Sang Pangeran, begitu
gagahnya. Sang Pangeran dan kudanya, Kyai Gentayu, dipertemukan di paro
pertama abad sembilan belas. Sang Pangeran yang suka berkuda ini
memiliki enam puluh perawat kuda. Namun, dari sekian banyak kuda, Kyai
Gentayulah yang paling disayang.
Pertempuran hebat selama lima tahun terjadi, sampai akhirnya melalui
tipu daya, tentara Belanda berhasil menangkap dan mengasingkannya ke
Manado, dan dipindah ke Makassar sampai wafat. Untunglah selama di
pembuangan Sang Pangeran ditemani istrinya yang paling muda, RA
Retnoningsih. [7]
Terbayang pula tujuh istri Sang Pangeran yang cantik dan jelita.
Istri keempat yang paling dikasih, Roro Ayu Maduretno. Aku selalu gagal
membayangkan kecantikannya, karena terlalu cantiknya. Apakah wajahnya
seperti Ratu Ken Dedes, sang putri dari Singosari itu?
“Apa saja bisa tumbuh subur di tanah Jawa,” ucap Sang Pangeran suatu
ketika. Sang Pangeran yang suka berkebun, minum anggur, makan sirih,
jalan kaki dan berkuda ini memang luar biasa kharismanya.
Kudengar derap-derap kaki kuda di aspal jalan, di bawah bulan,
memecah kesunyian malam. Derapnya kadang mendekat, kadang menjauh,
kadang cepat, kadang pelan. Terdengar pula ringkiknya, ringkik
kesetiaan. Itulah ringkik Kyai Gentayu yang merana karena berpisah
dengan Tuannya.***
Surabaya, Desember 2016
Catatan:
Judul puisi “Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar, dari buku: Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, oleh H.B. Jassin.
Dari puisi Amir Hamzah, “Padamu Jua”, dalam kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi.
Salah satu bait puisi “Derai-Derai Cemara”, lihat catatan nomor 1.
Adri Darmadji Woko, “Biografi Sri Ajati.”
Arief Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, 2007.
Puisi Chairil Anwar, “Selamat Tinggal”.
“Pangeran Diponegoro dan Wanita-Wanita Cantik” oleh Fadjriah
Nurdiasih, 27 April 2016, 20.51 WIB, Liputan 6. Hasil wawancara tertulis
dengan Peter Carey, penulis biografi Pangeran Diponegoro, Selasa, 26
April 2016, Liputan6.com.
WAWAN SETIAWAN, cerpenis yang dosen di Universitas Negeri Surabaya
Cerpen Yuditeha (Suara Merdeka, 28 Mei 2017) Bayi ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Pagi ini aku bangun tergagap oleh suara tangis bayi. Di telingaku
tangisan itu terdengar seperti suara rintihan yang menyayat hati. Ketika
aku benar-benar sadar, suara tangisan itu sangat jelas terdengar.
Rasa-rasanya bayi itu seperti berada di dekatku. Ya, aku merasa dia
berada di belakangku. Aku sedang memunggunginya. Pada saat aku
membalikkan badan, astaga, bayi itu benar-benar berada di situ. Spontan
aku berteriak memanggil suamiku.
Suamiku tak segera muncul, sementara bayi itu makin keras menangis.
Rasa ibaku tak kuasa kutahan. Kubopong dia, lalu kuelus-elus punggungnya
perlahan. Bayi itu akhirnya terdiam dalam gendonganku. Aku mengamati
dengan saksama. Bayi itu memakai kalung berbandul bentuk hati. Sembari
menimang-nimang, kuraih bandul itu. Rupanya bandul itu bisa dibuka dan
ketika aku membuka, kudapati sebuah potret bergambar dua wajah orang
muda, lelaki dan perempuan. Aku mengira itu gambar orang tuanya. Sejenak
aku tertegun, lalu pikiranku melayang menuju kisah semalam, mengingat
lagi apa yang kupikirkan sebelum terlelap tidur .
Tadi malam hatiku telah mantap memutuskan untuk berpisah dari
suamiku. Sebenarnya aku tidak menginginkan hal itu, tetapi aku merasa
sudah tidak tahan atas kelakuannya. Banyak sikapnya yang tak pernah bisa
kupahami. Sepertinya selama ini dia tidak pernah menganggapku ada.
Aku tak tahu pukul berapa persisnya kemarin dia pulang. Tahu-tahu
kudapati dia sudah tidur pulas di kamar, yang sebelumnya menghilang
begitu saja, pergi beberapa hari tanpa kabar. Sikap seperti itu sudah
berulang kali terjadi dan aku bingung menghadapi. Bagaimana dia bisa
seenaknya bersikap begitu, sedangkan jelas-jelas kini dia sudah tidak
sendiri lagi, sudah ada aku sebagai istri. Namun tampaknya keberadaanku
hanya dia anggap angin lalu. Jika aku bertanya, jawabnya selalu tidak
mengenakkan hati dan sering kali justru menyulut emosi. Aku seperti
tidak mengenali siapa sesungguhnya dia. Usia pernikahan kami baru dua
bulan, tetapi aku merasa sudah tidak tahan.
Semasa pacaran dulu sama sekali aku tak pernah menangkap ada
gejala-gejala perilakunya yang aneh. Jika pun aku diminta menyebutkan
sesuatu yang sekiranya pantas dicurigai adalah dia mudah sekali
terkejut. Dia hampir selalu kaget jika mendadak mendengar suara keras.
Pada saat begitu sejenak kemudian dia seperti orang linglung. Dalam
beberapa saat setelah terkejut dia bisa tiba-tiba berteriak histeris.
Untuk masalah itu aku memang tidak begitu menggubris. Pikirku, itu hanya
masalah kondisi fisik dan perasaan sesaat pada waktu itu juga. Lagipula
aku meyakini setiap orang pasti punya sisi gelap. Karena itu, aku
menganggap hal tersebut wajar sebagai manusia.
Namun begitu kami hidup serumah, kebiasaan mudah terkejut itu
ternyata sering terjadi. Sesungguhnya aku ingin dia bisa berbagi cerita
denganku tentang apa yang menyebabkan dia bisa mengalami kaget begitu
rupa. Atau tentang perilaku-perilaku anehnya yang lain. Namun setiap
kali aku mencoba mengajak bicara, dia selalu tak pernah mau menanggapi
dan jika sudah begitu lantas dengan seenaknya dia akan pergi begitu saja
tanpa pernah mau peduli padaku. Selain itu masih banyak lagi sikap yang
menunjukkan dia tidak menghargaiku sebagai istri, antara lain sebuah
ketentuan bahwa aku tidak boleh menyentuh barang-barangnya yang sengaja
dia simpan, termasuk kotak kuno yang dia simpan di salah satu kamar.
Jangankan membuka kotak itu, untuk masuk ke kamar itu pun aku dia
larang.
Karena hal-hal itulah aku merasa sudah kewalahan memahami dia. Jadi
apa yang akan aku putuskan bukan main-main, aku ingin berpisah dari dia.
Ya, kupikir lebih baik aku pergi dari kehidupannya. Mungkin dia lebih
senang sendiri. Mungkin selama ini kehadiranku mengganggu kenyamanannya.
Dan pagi ini di saat aku akan menyampaikan maksudku, keburu dia pergi
dan menciptakan masalah baru. Dia meninggalkan bayi di rumah. Bayi ini
milik siapa dan apa maksudnya, aku tidak mengerti. Semua itu membuat
keanehan-keanehan pada dirinya makin terasa ganjil.
Andai kemunculan bayi ini kulaporkan polisi, bisa jadi justru aku
akan kerepotan untuk menjelaskan. Satu pertanyaan tentang bagaimana dia
bisa tiba-tiba berada di rumahku saja sudah membuatku bingung. Jadi
kupikir mau tak mau aku harus merawatnya. Untung, rumahku berada di
daerah perkotaan, dengan tidak adanya rasa kepedulian antartetangga
cukup menguntungkan dalam hal ini. Aku menjadi lebih nyaman, tak akan
ada tetangga yang mencurigai. Tentang tangis bayi yang kadang meledak
kusiasati dengan cara menghidupkan musik sepanjang waktu.
Kesibukan mengurus bayi rupanya justru melupakan permasalahan dengan
suamiku. Untuk sejenak aku seperti tak peduli lagi pada dia. Terlebih
sejak ada bayi itu, ada hal-hal lebih aneh telah terjadi tetapi keanehan
itu selalu berhubungan dengan bayi itu. Beberapa kali aku bermimpi
tentang penganiayaan seorang anak oleh orang tuanya dan pada waktu lain,
saat aku sedang memandikan bayi itu aku menemukan beberapa luka di
sebagian tubuhnya. Dan luka-luka itu tampak seperti akibat tindak
kekerasan. Meski sebenarnya hal itu kuanggap peristiwa ganjil, pada saat
itu aku lebih memikirkan tentang nasibnya, aku makin menaruh iba
padanya dan muncul keinginan di dalam hatiku untuk sungguh-sungguh
merawatnya. Meskipun begitu aku tetap sembari mencari informasi siapa
orang tua kandungnya.
Pada waktu aku sibuk mengurus bayi itu, pada saat itu juga suamiku
tidak pulang cukup lama. Lebih lama dari biasanya. Tidak adanya suamiku
dalam waktu yang lama itu memancingku ingin tahu, sebenarnya apa yang
dia sembunyikan dariku di kamar itu, atau yang lebih khusus di kotak
itu, hingga pada suatu hari aku memberanikan diri membuka paksa pintu
kamarnya dan mencongkel kunci kotak itu. Kotak itu berhasil kubuka. Di
sana terdapat beberapa dokumen, antara lain surat-surat dan koran-koran
usang. Ada juga beberapa foto lama. Sembari tetap merawat bayi itu,
hampir seharian aku mengamati isi kotak itu.
Hasil pengamatanku dari membaca surat-surat dan koran-koran usang di
dalam kotak dan melihat foto-fotonya aku menjadi tahu siapa sebenarnya
jati diri bayi itu. Aku yakin bayi yang selama ini kurawat itu adalah
suamiku. Dokumen-dokumen itu telah memberi tahuku banyak hal, bahkan
salah satu foto di kotak itu ada yang persis dengan foto di bandul
kalungnya. Ternyata versi penuhnya dari foto itu, sang ibu sedang
menggendongnya. Ada satu bendel foto. Itu adalah foto-fotonya berurutan
sejak dia bayi hingga dewasa. Hal itu termasuk meyakinkanku bahwa bayi
itu adalah benar-benar suamiku. Dokumen-dokumen yang lain adalah sebuah
bukti yang semuanya memberi tahuku betapa menderita dia pada masa lalu.
Berbagai jenis kekejaman pernah menimpa dia dan pelaku utama
penganiayaan itu adalah sang ayah. Dalam perenungan yang kulakukan, aku
kini menyadari, mungkin karena penderitaan itulah dia tumbuh menjadi
pribadi aneh. Mungkin pada saat dia bersamaku sudah berjuang mati-matian
untuk bisa menjadi lebih baik.
Setelah aku tahu semuanya, rasanya aku menyesal pernah punya
prasangka buruk kepada dia. Aku juga menyayangkan, mengapa dia tidak
mengizinkan aku dulu mengetahui semuanya itu. Andai aku tahu sebelumnya,
bisa jadi aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa memahami dia.
Kini, dia kembali menjadi bayi dan aku tak tahu lagi harus bagaimana.
Namun paling tidak aku merasa tenang karena selama ini aku telah
merawatnya dengan baik. Sekarang aku ingin melihat dia dan hatiku sangat
berharap, semoga ketika aku melihat nanti dia sudah kembali seperti
sediakala. Namun ketika aku sampai di kamar, aku tak melihat perubahan
itu, suamiku masih berwujud bayi. Bahkan ketika aku sampai di kamar itu
dia sedang menangis. Tangisannya sangat keras .Aku meraihnya,
menimang-nimang dia, menepuk-nepuk pantatnya perlahan dan tak lama
kemudian dia telah terdiam dan akhirnya terlelap dalam gendonganku.
Saat ini adalah malam pertama setelah aku mengetahui bayi itu adalah
suamiku. Pada malam itu juga aku berdoa dan berharap, semoga esok hari,
pada saat aku bangun pagi nanti, aku akan mendapati suamiku telah
kembali ke wujud semula. Aku akan berusaha menerima dia apa adanya. Aku
akan berusaha menjadi istri yang baik bagi dia. Aku akan memercayainya.
Karena hal itu rasanya aku sudah tidak sabar menantikan kejadian itu.
Sengaja aku segera membaringkan tubuhku. Aku ingin cepat tertidur dan
pagi datang.
Aku membuka mata. Sepertinya pagi telah datang, tetapi aku merasa
mataku belum sempurna membuka, karena aku merasa mataku belum bisa
melihat dengan jelas. Aku juga ingin segera bangkit dan melihat apa yang
terjadi, tetapi ketika aku ingin membangunkan badanku rasanya berat
sekali. Aku hanya bisa berguling-guling. Pada saat itu entah bagaimana
ceritanya aku jatuh ke lantai. Aku ingin mengaduh, tetapi mulutku
seperti sulit mengucap itu. Yang bisa kulakukan hanya menangis. Aku
ingin memanggil suamiku, tetapi hanya tangisan yang makin keras yang
bisa kusuarakan. Tak lama kemudian, suamiku datang. Dia seperti terkejut
melihatku. Lalu perlahan meraihku. Menimang-nimang aku. Dia
mengelus-elus punggungku perlahan-lahan. Aku nyaman berada dalam
gendongannya. (44)
– Yuditeha, aktif di Sastra Alit Surakarta. Buku terbarunya kumpulan cerpen Balada Bidadari (Penerbit Buku Kompas, 2016). Kumpulan cerpen Kematian Seekor Anjing pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya akan diterbitkan Basabasi.
Dalam sebuah hubungan agar bisa
berjalan dengan lancar dibutuhkan
sebuah komitmen yang besar. Bukan
sekedar sebuah pernyataan bahwa Anda
menyukai hubungan ini dan ingin
menjalaninya.
Sangat mudah untuk berkomitmen dalam
hubungan ketika hubungan itu berjalan
lancar, menyenangkan, atau
memabukkan.
Namun ketika hubungan itu mulai
menemui masalah, tantangan, ganjalan,
tidak sedikit yang berucap, "aku serius dengan hubungan kita, sayangnya hubungan ini tidak berjalan lancar seperti yang diharapkan."
Komitmen sejati dalam sebuah hubungan
adalah ketika Anda mau berkorban di dalamnya.
Sangat mudah untuk meminta pasangan
untuk berubah, namun apakah Anda
bisa berubah juga? Cobalah untuk berubah terlebih dahulu, lalu
lihatlah bagaimana hal tersebut
membawa perbedaan.
Untuk membangun komitmen dalam sebuah
hubungan diperlukan 3 hal yang
sederhana namun tidak mudah
dilakukan, yaitu: kerja keras, waktu, dan kejujuran. Hanihyung, sahabatku, maukah Anda
melakukannya dalam hubungan Anda?