Daftar Blog Saya

Minggu, 25 Maret 2018

Peri Ayu Lembah Wilis


Cerpen Bre Redana (Kompas, 25 Maret 2018)
Peri Ayu Lembah Wilis ilustrasi Yudi Yudoyoko - Kompas.jpg
Peri Ayu Lembah Wilis ilustrasi Yudi Yudoyoko/Kompas
35 tahun empat bulan dua hari tiba saatnya Peri Ayu Lembah Wilis menagih janji kepada Lawrence Pasa—begitu ia menamakan dirinya. Sebelumnya, ia menamakan diri Lor Ing Pasar yang berarti “sebelah utara pasar”, sesuai tempat tinggalnya di masa kecil. Pada perkembangannya, ia internasionalisasikan nama tersebut mengikuti kaidah bunyi, atau dalam ilmu bahasa disebut diftong: Lor Ing Pasar menjadi Lawrence Pasa. Berkali-kali ia mengubah nama. Banyak orang tidak tahu nama dia sebenarnya, termasuk ia sendiri.
“Bangun,” kata Peri Ayu.
Ia perhatikan lelaki itu di tempat tidur. Tidurnya selalu begitu. Tampak nyenyak justru di pagi hari. Tangan bersedekap di dada. Kaki lurus. Seperti posisi orang mati. Dia tak memperdengarkan suara apa pun seperti misalnya mendengkur. Diam, lurus, napas teratur.
“Bangun, saatnya kamu kembali padaku,” Peri Ayu mengulang kata-kata.
Perlahan Lawrence Pasa membuka mata. Begitu mata terbuka, ia tergeragap kaget. Dia, benarkah ini dia, Lawrence terkejut luar biasa. Ia datang, dia tak memercayai apa yang tengah dilihatnya.
“Ya, ini aku,” Peri Ayu tersenyum.
Ketika dalam hitungannya persis 35 tahun tak ada kejadian apa-apa, Lawrence mengira perjanjiannya dengan Peri Ayu dulu memang sebenarnya tak bakal menuai akibat apa-apa. Mengikat perjanjian dengan peri hanya omong kosong. Ia sempat merasa lega. Ternyata tak ada konsekuensi atau implikasi apa pun.
Dugaannya keliru. Kini, tiba-tiba, 35 tahun lebih empat bulan dan dua hari, dia muncul di kamar di pinggir ranjangnya pada pagi hari. Lawrence Pasa sulit percaya pada apa yang tengah dialaminya. Mudah-mudahan ini cuma mimpi. Ia mengucak-ngucak mata. Tidak, ini bukan mimpi. Ini nyata.
Semua manusia yang melakukan perjanjian dengan peri banyak yang salah kira. Dulu Lawrence meminta waktu 35 tahun untuk lepas darinya. Dalam hitungannya, kalau usia dia saat itu ditambah 35 tahun berarti ia sudah tua, atau bisa saja sudah mati. Dengan demikian, ia tak perlu pusing dengan urusan membayar utang janji. Menurut pendapatnya, 35 tahun juga bukan waktu yang pendek. Siapa tahu peri lupa pada saatnya tiba nanti.
Yang tidak diketahui banyak manusia adalah perbedaan pengertian mengenai waktu antara dunia manusia dan dunia peri. Pada dunia manusia waktu bersifat linear, ada awal ada akhir. Di antara kedua titik itu terdapat kronologi.
Pada dunia peri, sebagai zat yang sifatnya immortal, dengan tidak adanya kematian atau akhir, dengan sendirinya awal juga tidak ada. Jelas sangat sulit manusia memahami ini. Karena tak ada awal tak ada akhir, waktu ya berhenti di situ saja. Yang dalam dunia manusia seperti pada kasus Lawrence Pasa adalah 35 tahun, pada Peri Ayu Lembah Wilis itu hanyalah satu kerjapan mata.
Makanya dulu Peri Ayu mengiyakan saja ketika Lawrence meminta waktu 35 tahun berpisah darinya, tak ingin diganggu, ingin kembali sebagai manusia, menginjak bumi, tak melayang-layang dalam kehidupan bersama peri. Ia memberikan waktu bukan karena kebaikan hati, melainkan memang itu tak ada arti apa-apa baginya. Dalam sekejap, lelaki ini akan berada lagi di pangkuannya.
***
Perjumpaan mereka dulu terjadi di Lembah Wilis. Pada Lembah Wilis terdapat air terjun cantik, di bawahnya telaga berair bening, sebelum air mengalir ke bawah mengarungi lembah menjadi sungai dan anak-anak sungai dengan air berkilatan menjadi sungai mutiara. Sebagai peri kahyangan, Peri Ayu bersama beberapa makhluk sejenisnya turun untuk mandi di telaga.
Cerita ini niscaya sudah didengar banyak orang. Ketika para peri di telaga, mengendap-endap perjaka tukang intip perempuan mandi. Dia adalah Lawrence Pasa, yang waktu itu bernama Lor Ing Pasar.
Ia perhatikan peri paling cantik dan ia sembunyikan pakaiannya. Si peri cantik tak bisa lagi pulang ke kahyangan. Dia ditinggal teman-teman sejenisnya.
Dengan senyum-senyum, Lor Ing Pasar muncul. Ia menawarkan pakaian ganti dengan syarat sang peri bersedia jadi istrinya. Apa boleh buat. Sang peri tidak punya banyak pilihan. Apalagi, pemuda ini meski kelihatan kurang ajar, tampaknya lumayan baik hati. Agak bego, sang peri membatin.
Lor Ing Pasar tak bisa memercayai apa yang dialaminya. Seorang peri, dalam penampakan perempuan paling cantik tanpa ada tandingannya sejagat raya, bersedia menjadi kekasihnya. Yang dulu hanya berwujud imajinasi, kini menjadi hal yang nyata. Dia, dengan perempuan ini: Peri Ayu Lembah Wilis.
Persetubuhan tak terhindarkan. Begitu persetubuhan terjadi, sekonyong-konyong Lor Ing Pasar merasa terjadi perubahan pada dirinya. Ia tidak lagi menginjak bumi.
Pertama-tama, ia tak memercayai keajaiban itu. Dia perhatikan dan rasa-rasakan tubuhnya. Benar, telapak kakinya ternyata mengambang beberapa sentimeter di atas permukaan tanah.
Hah, dia kaget. Mungkin memang begitu rasanya orang sehabis bersetubuh. Dia saja yang selama ini kurang informasi, kurang tanya sana-sini kepada orang yang telah berpengalaman. Ia perhatikan dan rasa-rasakan lagi tubuhnya. Ini aneh. Ia benar-benar mengambang.
Dia pandang Peri Ayu di sebelahnya. Peri Ayu tersenyum. Tenggelam Lor Ing Pasar dalam senyum dan tatapan Peri Ayu. Ia tak peduli lagi dirinya menginjak tanah atau tidak. Asmara bersama sang peri membuat dia lupa segala-galanya, termasuk terhadap hukum gravitasi alam semesta.
***
Problemnya, dikarenakan pengertian waktu seperti diuraikan tadi, lama-lama bosan juga Lor Ing Pasar dengan situasi yang dijalaninya. Meski peri itu cantiknya tak terkira, menang rupo menang dedeg orang Jawa bilang (menang di wajah menang di sosok), Lor Ing Pasar tak bisa mengabaikan apalagi menyingkirkan rasa bosannya.
Peri Ayu bukannya tak menangkap gejala tersebut. Ia paham sepaham-pahamnya. Pengertian waktu bagi manusia berbeda dengan makhluk sepertinya. Waktu bisa bermakna ujian kesetiaan bagi manusia, tetapi tidak bagi makhluk seperti dirinya. Seperti disebut tadi, yang 35 tahun bagi manusia adalah sekerjapan mata bagi peri.
“Aku ingin menginjak bumiku lagi,” kata Lor Ing Pasar.
“Silakan,” jawab Peri.
“Bukan berarti aku tak cinta lagi padamu,” Lor Ing Pasar mencoba menempatkan diri sebagai manusia bermartabat.
“Aku tahu.”
Dia terharu mendapati pengertian Peri Ayu.
“Aku adalah makhluk bumi. Biarkan aku menginjak bumiku, mengolah bumiku, bergaul dengan sesama manusia yang bergembira mengolah tanah, merayakan kerja, berada di tengah mereka. Aku akan tetap bersamamu, kembali padamu. Aku hanya meminta waktu 35 tahun,” kata Lor Ing Pasar mengucapkan janjinya sendiri tanpa ada yang meminta.
Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap. Seketika dengan terucapnya janji, jleg: kaki dia kembali menapak bumi. Peri Ayu hilang dari hadapannya. Lor Ing Pasar celingukan.
Di mana dia, tanyanya dalam hati. Semudah itu aku bisa kembali pada diriku, pikirnya. Kalau tahu sebegini mudah, kenapa tak kulakukan dulu-dulu, tanpa perlu menanggung keresahan didera perasaan bosan… ia berkata dalam hati.
“Busyet dah…,” kata Lor Ing Pasar senyum-senyum, merasa seperti baru bangun dari tidur panjang.
Lor Ing Pasar bukan hanya lega, tapi gembira luar biasa. Dia berlari menuruni lembah. Di punggungnya serasa tumbuh sayap. Cakrawala membentang. Langit warna lembayung, kadang agak kemerahan, kesana dia menuju.
Akan aku jelajahi desa demi desa, kota demi kota, samudra demi samudra, benua demi benua. Dunia terasa baru. Untuk menyesuaikan dunia baru yang ditemukannya kembali, ia ganti namanya jadi Lawrence Pasa.
Di balik langit warna lembayung, ia menemukan lapisan-lapisan langit yang lain, termasuk bintang-bintang, namanya semua perempuan. Lama-lama, ia pun lupa akan Peri Ayu.
***
“Sudah 35 tahun bahkan lebih empat bulan dua hari,” kata Peri Ayu yang duduk di pinggir ranjang. Suaranya datar tanpa emosi. Emosi hanya dimiliki manusia, bukan milik dunia peri. “Masih ingat, kan, dengan janji yang dulu…,” lanjut Peri Ayu. Tahi lalat di atas bibir.
“Ke mana saja kamu?” Lawrence Pasa mengeluarkan suara untuk memecahkan sunyinya sendiri.
“Aku selalu di sini, melihat dan mengetahui apa pun yang kamu perbuat,” jawab Peri Ayu.
Dia yang tidak ditaklukkan waktu, pikir Lawrence. Belum paham juga dia, bahwa ada pengertian waktu yang berbeda antara dunia manusia dan dunia peri. Bagi Lawrence, kedatangan Peri Ayu pagi ini adalah pemenuhan janji kesetiaan. Tak ada yang berubah pada Peri Ayu. Selalu ayu, seayu-ayunya, melampaui metafora dan hiperbola.
Bangkit hasrat bercinta Lawrence Pasa. Peri Ayu melayaninya. Pagi yang indah.
Seusai itu, ketika turun dari tempat tidur, dia mendapati telapak kakinya tak bisa ia selusupkan sandal jepit merek Havaianas yang baru saja ia beli kemarin. Sadarlah dia pada apa yang pernah dialaminya: ia menjadi manusia yang tak menginjak bumi, mengambang beberapa sentimeter di atas permukaan tanah.
Dia pernah mendengar cerita dari dunia pewayangan mengenai ksatria Pandawa bernama Yudhistira yang keretanya tidak menginjak tanah, mengambang beberapa sentimeter di atas tanah. Itu karena Yudhistira tak pernah berbohong. Tatkala kata bohong ia ucapkan, konon roda kereta seketika mengentak bumi. Dukk.
Ingat cerita itu, Lawrence mendapat ide. Siapa tahu dengan berkata bohong, aku bisa menginjak bumi. Dia mencobanya.
“Aku bukan Lawrence Pasa. Aku Lawrence Tjandra,” kata Lawrence.
“Apa?” Peri Ayu menyahut.
“Aku bukan Lawrence Pasa,” Lawrence mengulangi kata-katanya, siapa tahu berhasil.
Ternyata gagal. Kakinya tetap saja tidak menjejak bumi seperti kereta Yudhistira. Ia tetap mengambang di atas permukaan tanah.
Peri Ayu tersenyum.
“Bohong atau tidak bohong tidak akan mengubah keadaanmu,” ucap Peri Ayu. “Sekarang ini hanya semata-mata waktumu membayar janji padaku.”
Sadarlah Lawrence Pasa, bahwa ia tak akan sanggup lagi menginjak bumi. Sekarang dan kelihatannya selamanya. Ia pasrah.

Bre Redana, wartawan senior kelahiran Salatiga. Akhir tahun lalu meluncurkan novel Koran Kami, with Lucy in The Sky, bulan April 2018 mendatang ia akan meluncurkan buku terbarunya, Karmacinta: Biografi Sanjoto Senyatanya. Tahun 1990-1991 Bre mengikuti kuliah kajian media di Darlington College of Technology, Inggris.
Yudi Yudoyoko, perupa kelahiran Jakarta dan lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Jurusan Seni Lukis Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1989. Pernah jadi editor fashion Majalah Mode dan Jakarta-Jakarta. Yudi juga ilustrator majalah S/N New World Poetics, Texas, Amerika Serikat. Sejak 2003 menetap di Montevideo, Uruguay.

Orang Gila

Cerpen Imam Wahyudi (Republika, 25 Maret 2018)
Orang Gila ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Orang Gila ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Kemunculan banyak orang gila di Desa Gunung Kelir membuat Gus Sujud bertanya-tanya. Apakah hal ini datang dengan sendirinya atau memang ada yang mengaturnya dengan tujuan-tujuan tertentu. Tetapi yang jelas, kemunculan mereka mulai membuat resah warga dan suasana desa menjadi tidak nyaman.
Ingatan tokoh muda itu surut ke belakang mengenang masa kecilnya di daerah pesisir dahulu. Kala itu, ia mengenal sosok Mbah Bono, orang gila yang dipercaya oleh banyak orang mempunyai ilmu linuwih. Konon, ia menjadi gila karena tidak sempurna menuntut ilmu tinggi. Banyak orang menafsirkan segala tingkah laku dan omongan yang keluar dari mulutnya, sekalipun itu tak jelas maksudnya. Mulai dari tanda-tanda peristiwa alam yang akan terjadi, sampai nomor judi buntut yang marak saat itu.
Gus Sujud masih ingat betul, ia dan kawan-kawan kecilnya suka mempermainkan Mbah Bono sewaktu pulang mengaji. Mbah Bono sering mangkal di sebuah ruko kosong dekat masjid setelah lelah berjalan mengitari kampung dengan langkah kakinya yang diseret sehingga menimbulkan bunyi khas. Semua orang sudah bisa menduga siapa yang sedang berjalan walaupun belum terlihat orangnya, bila mendengar langkah kaki seperti itu.
Ketika orang tua tersebut terlelap, anak-anak menimpukinya dengan kerikil. Ada pula yang menyodok-nyodoknya dengan ranting kering. Mbah Bono yang kaget dan terbangun langsung uring-uringan dan mengeluarkan kata-kata tak karuan sembari mengejar anak-anak yang lari terbirit-birit. Ada yang lolos dari kejaran Mbah Bono, tetapi ada juga yang terkejar dan kena gebuk tongkatnya. Kalau sudah begitu, anak itu hanya bisa menangis keras dan berujung keributan orang tua mereka dengan Mbah Bono.
Dan Gus Sujud, walaupun masih kecil selalu niteni, setelah Mbah Bono kena damprat para orang tua, petaka-petaka kecil senantiasa melingkupi daerah pesisir itu. Entah itu terjadi gelombang tinggi di lautan, gempa, ataupun juga puting beliung yang tiba-tiba datang.
Bila hal itu ia tanyakan kepada Kiai Jahro, bapaknya yang merupakan tokoh agama di daerah itu, lelaki paruh baya yang tak pernah lepas dari kepulan asap rokok tembakau linting dari bibirnya itu hanya terkekeh dan menepuk pundaknya, “Kelak waktu akan memberitahumu sendiri, Sujud.”
Tak puas dengan jawaban bapaknya, Gus Sujud bertanya pula kepada ibunya. Ibunya pun hanya tersenyum dan menasihatinya, “Mbah Bono itu sama seperti kita, manusia ciptaan Tuhan juga, bagaimana pun itu keadaannya. Kamu tidak boleh mempermainkannya, bahkan harus menghormatinya karena ia jauh lebih tua darimu. Bisa kualat nanti kamu kalau mengganggunya!”
Gus Sujud sebenarnya tak puas dengan jawaban-jawaban itu. Dan karena nasihat ibunya tersebut, Gus Sujud perlahan-lahan mulai mendekati Mbah Bono, berusaha menunjukkan kepadanya sebagai teman yang baik.
Mula-mula ia tak acuh. Tanpa diduga, kadang Mbah Bono malah menyerang Gus Sujud. Tetapi, lama kelamaan, akhirnya ia luluh juga. Mbah Bono mulai bisa diajak bercanda walau cuma sebatas tertawa-tawa, entah apa yang ia tertawakan sebenarnya. Melihat Mbah Bono gemar merokok dari tegesan yang ia ambil di jalanan, sesekali Gus Sujud membawakan tembakau linting milik ayahnya. Mbah Bono suka sekali barang tersebut. Mereka kemudian merokok sambil tertawa, melepaskan bersama-sama asap rokok itu dengan keras ke udara. Itulah awal mula Gus Sujud merokok tanpa diketahui oleh orang tuanya.
Hingga suatu ketika, Mbah Bono hilang entah ke mana, tak ada orang yang tahu. Gus Sujud pun kebingungan mencarinya, tanpa gelagat apa pun, ia pergi begitu saja. Gus Sujud berusaha menerka, apa yang akan terjadi kemudian.
Namun, tetap saja ia tak mampu membaca tanda-tanda hilangnya Mbah Bono, sampai kemudian gelombang besar meluluhlantakkan desa pesisir itu. Banyak jiwa yang hilang dan yang selamat pun tercerai-berai ke berbagai penjuru tempat. Untung bagi Gus Sujud, dapat selamat dan berkumpul dengan orang tua serta beberapa gelintir warga desa lainnya. Bersama-sama, mereka membuka permukiman baru nun jauh di utara, di sebuah lereng pegunungan yang hijau dan asri, hingga terkenal dengan nama Desa Gunung Kelir sekarang ini.
Cobaan yang begitu berat, membuat warga asal pesisir itu seperti tersadar atas tingkah laku mereka yang gemar merusak alam dan lama terlupa dari sang pencipta. Mereka membaur dengan penduduk asli, kembali religius dan mengolah alam dengan penuh rasa syukur. Di bawah bimbingan Kiai Jahro, yang kini telah tiada, desa itu berkembang menjadi daerah yang penuh dengan kedamaian dan kemakmuran.
Sampai kemunculan orang-orang gila itu membuat risau hati Gus Sujud. Setiap malam tak henti ia berdoa dan meminta petunjuk kepada Yang Mahakuasa, agar desanya dijauhkan dari segala marabahaya.
“Gus, orang-orang gila itu sudah keterlaluan. Mereka mulai menjamah rumah ibadah dan mendekati para pemuka agama.”
Suatu hari beberapa muridnya beserta warga desa melapor kepadanya. “Kita harus mengusir mereka, entah ke mana. Yang penting desa kita ini terbebas dari orang-orang kotor itu!”
“Tunggu dulu. Jangan gegabah bertindak sampai kita tahu ada apa dengan semua ini. Mereka juga makhluk Tuhan, perlakukan dengan baik dan selayaknya!” cegah Gus Sujud kepada orang-orang yang mulai terbakar emosi.
Untuk sementara waktu, keadaan masih dapat dikendalikan. Hingga malam itu, Gus Sujud mendapat petunjuk dari alam bawah sadarnya. Ia seperti bertemu kembali dengan sosok Mbah Bono, tapi kini sungguh lain, Mbah Bono memimpin shalat berjamaah di masjid utama desa. Di belakangnya, ia mengenal sosok-sosok yang menjadi makmumnya.
Ya, mereka adalah orang-orang gila yang banyak berkeliaran di jalanan desa. Di luar masjid pun, semua sudah bersalin rupa. Situasi dan keadaan dikendalikan oleh orang-orang yang dianggap tak waras itu. Lalu di manakah warga dan murid-muridnya?
“Hehe, kamu mencari warga dan murid-muridmu, Gus?” tiba-tiba Mbah Bono menghampirinya setelah selesai shalat. Gus Sujud terdiam tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Mereka sekarang terusir ke jalanan. Kami menjaga desa ini agar terhindar dari segala sesuatu yang tak diinginkan. Wargamu telah lupa dengan masa lalu, kembali ke zaman kegelapan. Mereka mengolah alam dengan rakus hingga bukit-bukit itu menjadi gundul dan melupakan tempat ibadah, padahal mulut mereka setiap waktu berkata tentang kebaikan dan kesucian….” kata-kata Mbah Bono berdengung di telinga Gus Sujud, hingga ia kembali ke alam sadar.
Namun, semuanya terlambat. Di luar, warga desa beramai-ramai mengusir, bahkan ada yang sampai membunuh orang-orang gila tersebut. Mereka tak sadar, bahaya mengancam dari atas. Tanah perbukitan itu mulai longsor ke bawah, meluncur deras seperti bah segera menerjang Desa Gunung Kelir.
Gus Sujud menangis. Untuk kedua kalinya ia melihat kuasa Tuhan tanpa bisa berbuat apa-apa.

Catatan istilah Bahasa Jawa:
1) niteni: memperhatikan, mengamati
2) tegesan: puntung rokok

(PGP 06, 19 Maret 2018)
Imam Wahyudi Lahir dan menetap di Kulon Progo, Yogyakarta. Cerpen-cerpennya dipublikasikan di beberapa media cetak, seperti Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Lampung Post, Jurnal Medan, Jurnal Nasional dan Magelang Ekspres. Buku antologi yang memuat karyanya, antara lain Kumcer Joglo 7 (Mengeja September), Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Minggu Pagi), Kota Tanpa Wajah (Antologi Cerpen Bengkel Sastra Surakarta), Tepung (Antologi Cerkak Dinas Kebudayaan DIY).

Jiwa-jiwa Laut

Cerpen Livia Hilda (Bali Post, 18 Maret 2018)
Jiwa-jiwa Laut ilustrasi Citra Sasmitha - Bali Post.jpg
Jiwa-jiwa Laut ilustrasi Citra Sasmitha/Bali Post
Ibu duduk menghadap laut di depan rumah seperti biasa. Di dekat kakinya terdapat canang berisi bunga warna-warni dan dua batang dupa tertancap di pasir. Senja sore itu terlihat berbeda. Tak ada langit kemerahan, tak ada burung camar yang terbang di atas permukaan laut, bahkan matahari juga tak terlihat di langit. Gumpalan awan gelap menghiasi langit sore itu. Ombak liar dan besar mendekat, lalu dengan cepat menggulung canang dan dupa di dekat kaki ibu. Kaki ibu basah. Pasir hitam yang terbawa ombak menempel di kakinya. Namun ibu tetap duduk dengan tenang sambil memejamkan mata, seolah ia menikmati senja yang tak ramah sore itu.
“Ibu kok masih di sini? Anginnya kencang, Bu. Nanti masuk angin lho!” kataku dari balik punggung ibu. Matanya masih terpejam. Roknya basah. Ibu gemetar kedinginan. Kudekati ibu, lalu kutarik tangannya. Kuajak Ibu masuk ke rumah. Ibu malah menatapku tajam dan menarik kembali tangannya.
“Masuk yuk, Bu? Tuh lihat, rok ibu sudah basah!” kataku lagi.
“Ibu masih menunggu seseorang,” kata ibu akhirnya.
“Kakek, ya? Kan nenek bilang kakek sudah diambil laut, Bu?”
Dulu setiap malam kakek selalu pergi ke tengah laut. Saat senja, kakek mendorong sampannya ke lautan, menaiki sampan itu, dan kembali di tengah malam dengan sampan penuh ikan berbagai ukuran, udang, cumi, kepiting, sampai gurita. Namun pada suatu malam laut di depan rumahku menjadi liar. Ombak hampir masuk ke rumah. Angin keras merubuhkan pepohonan di belakang rumah dan membawa lari atap rumah warga. Pantai di depan rumahku jadi berantakan. Sampah berserakan di bibir pantai. Ranting pohon, dedaunan, atap rumah, dan sampan nelayan yang rusak akibat diterjang ombak juga tergeletak di mana-mana. Tetanggaku menangis karena rumah mereka rusak. Keluargaku juga menangis. Tetapi bukan menangisi rumah yang rusak, melainkan karena kakek tak kembali.
“Ombaknya makin besar! Ayo masuk, Bu!” Aku menarik tangan ibu lagi. Tapi ibu malah balas menarik tanganku sampai aku jatuh terduduk. “Kau tahu apa yang membuat ibu betah duduk di sini walau ombaknya besar?” tanya ibu.
Aku diam. Aku tak tahu.
“Ombak ini adalah jiwa-jiwa manusia yang sudah meninggal, Jet,” kata ibu seraya menyentuh ombak yang berdatangan ke kakinya.
“Tubuh orang yang sudah meninggal akan dikubur atau dikremasi, lalu jiwanya akan dibawa malaikat ke laut dan menjadi bagian laut. Kau tahu? Laut sebenarnya bukan berisi air. Setiap tetes air di laut adalah jiwa orang-orang yang sudah meninggal. Kita ditipu laut. Ia menutupi tubuhnya dengan jubah agar terlihat seperti air. Sengaja begitu, agar kita tak sedih ketika melihat jiwa orang yang kita sayang.
“Jiwa yang tinggal di tubuh laut berwarna putih seperti manekin di toko baju. Kulitnya tak berwarna coklat, kuning langsat, atau hitam seperti saat jiwa itu masih hidup di bumi. Malaikat kematian mengecat mereka menjadi putih bersih agar mereka lupa dari ras, etnis, atau golongan mana mereka berasal. Mereka menjadi seragam di sana.” Aku terperangah. Ombak datang silih berganti membasahi kakiku. Aku jadi membayangkan jiwa-jiwa laut itu membelai kakiku.
“Ombak besar itu adalah bentuk dari mereka yang berlomba mencapai pesisir, Jet. Mereka semua merindukan pasir karena pasir adalah batas antara laut, tempat mereka hidup, dan daratan, tempat manusia tinggal. Mereka berharap bisa bertemu dengan manusia yang mereka sayang di pasir itu. Jiwa-jiwa itu bergerak seperti perenang. Tangan kanannya dinaikkan ke atas, diturunkan, lalu ia memegang kepala jiwa yang ada di depannya dan mendorong badannya ke depan dengan kepala itu sebagai tumpuan. Begitu juga dengan tangan kirinya. Kedua tangan itu bergerak bergantian sampai ia berhasil mencapai pasir. Tetapi ketika jiwa itu sudah mencapai pasir, ia hanya bisa mengelus kaki orang yang ia rindukan untuk beberapa detik. Lalu ia akan kembali ke tengah laut dengan cepat karena kakinya ditarik jiwa-jiwa lain.
“Ibu mempersembahkan canang berisi bunga warna-warni untuk jiwa-jiwa itu, Jet. Bunga ini akan menjadi santapan mereka. Sedangkan dua batang dupa yang menyala ini sebagai petunjuk keberadaan ibu. Ibu akan menyebutkan nama jiwa yang ingin ibu panggil sebelum dupanya ibu tancapkan ke pasir. Dari tengah laut itu, jiwa yang ibu panggil akan melihat asap dupa dan mereka akan mengikuti asap itu untuk menuju ibu.”
“Trus kenapa dupanya ada dua batang, Bu? Bukannya satu saja cukup? Nenek biasanya ngajarin Ajet pakai satu dupa saja tiap sembahyang, Bu.”
“Ibu mengirim sinyal untuk dua jiwa, Jet.”
Aku tercengang. Ternyata tak hanya kakek yang ibu tunggu kehadirannya tiap senja. Siapa lagi yang ibu tunggu? Tibatiba ingatanku melompat pada sebuah peristiwa yang aku simpan sendiri dalam kepala.
Malam setelah kakek menghilang, kulihat ibu sendirian di teras rumah dengan sekantong kresek hitam. Di bawah pohon kelapa, diam-diam ibu mengeluarkan isi dari kantong itu. Betapa terkejutnya aku karena yang ibu keluarkan adalah tulang belulang dan tengkorak manusia. Entah tulang siapa itu aku tak tahu. Ibu menggali tanah dan menguburkan tulang-tulang itu di sana. Ibu lalu melihat keadaan sekitar dan berjingkat memasuki rumah. Mungkinkah jiwa orang itu yang ibu tunggu?
“Yang pertama pasti kakek. Yang kedua siapa, Bu?”
“Pembuat cerita ini.”
Bulan menggantung di langit. Di luar ombak mengganas. Deburan ombak terdengar sangat dekat. Suara angin berlarian di atap rumah seperti kucing berkejaran, suara gesekan dedaunan dari pepohonan di belakang rumah, suara dahan patah dan terbanting ke tanah, suara sampan menabrak tiang rumah, dan suara deburan ombak bercampur dalam telingaku. Ingatanku jadi terseret ke malam kakek menghilang. Aku tak bisa tidur. Aku takut keadaan laut akan lebih ganas dari malam itu. Pikiranku juga masih melayang pada cerita ibu tentang jiwa-jiwa laut, orang yang membuat cerita itu, juga kuburan tulang belulang di teras rumahku. Aku sangat penasaran. Kupaksa ibu bercerita lebih banyak, tapi ibu lebih memilih merahasiakannya.
Tengah malam kubangunkan nenek untuk menanyakan rahasia itu. Nenek pasti tahu. Nenek menggeliat, ia tak mau bangun. Ia malah memunggungiku.
“Nek, nenek tau cerita jiwa-jiwa laut?” tanyaku langsung. Kulihat mata nenek terbuka. Namun mata itu terpejam lagi. Nenek merapatkan selimutnya.
“Nek, ini penting! Dulu aku lihat ibu mengubur tulang dan tengkorak di teras rumah. Tadi sore ibu juga cerita tentang jiwa-jiwa laut. Ibu juga bilang kalau ibu menunggu seseorang selain kakek.” Mata nenek terbuka lagi. Ia langsung bangun dan duduk menghadapku.
“Tolong kau rahasiakan ini dari ayahmu. Kalau ayah tahu, ayah bisa marah.” Aku bingung. Kenapa harus dirahasiakan dari ayah? Tapi akhirnya aku mengangguk, menurut.
“Tulang yang dikubur di teras rumah dan orang yang ditunggu ibu tiap senja itu Teja,” ucap nenek. “Teja itu pacar ibumu saat SMA. Dia juga yang membuat cerita jiwa-jiwa laut. Tepat sebelum ia mati, ia berjanji pada ibumu, kalau ia akan datang sebagai jiwa laut saat senja. Itulah kenapa ibumu suka duduk sendiri di tepi pantai tiap senja. Lalu saat kakek menghilang, Ibumu sangat sedih. Ia sudah kehilangan dua lelaki yang ia sayang, Teja dan ayahnya. Ia jadi tak bisa berpikir waras. Ia pun memindahkan kubur Teja ke teras rumah agar ia bisa selalu merasa dekat dengannya. Oh ya, asal kau tahu, ibumu ngotot memberimu nama Ajet karena itu kebalikan dari nama Teja. Ayahmu tidak tahu ini. Kau juga sangat mirip dengan Teja. Caramu berjalan, tertawa, sampai makanan kesukaanmu betul-betul seperti Teja! Tak heran banyak yang berpikir kalau kau ini reinkarnasi dari Teja. Sekarang ayo tidur! Sudah malam!”
Teriakan ibu memenuhi rumah. Aku terbangun dari tidurku. Ibu berteriak lagi. Ia meraung, menangis. Lekas aku keluar untuk melihat apa yang terjadi. Kudapati ibu tersungkur di samping meja makan dan ayah berdiri di depannya dengan wajah geram.
“Dasar kau perempuan tak tahu diri! Rupanya kau mengubur tulang Teja di teras rumah kita, ya? Pantas saja dulu kubur Teja tiba-tiba kosong! Ternyata kau malingnya! Kalau tadi malam tak ada badai yang merusak kubur itu, mungkin sampai tua aku tak akan tahu kau menyimpan mayat Teja!” kata ayah geram. “Kau masih mencintai Teja kan? Pantas saja tiap senja kau selalu duduk di pinggir pantai. Pasti kau menunggu orang itu kan?”
“Tidak, Mas! Sungguh!”
“Aku tak percaya omonganmu, Nari! Kalau kau masih mencintai Teja, biar kubantu kau menyusul Teja!” Ayah mengayunkan tangannya hendak memukul ibu dengan tongkat yang ia genggam. Sontak aku berlari ke arah ibu dan menjadikan badanku sebagai tamengnya.
Aku melihat diriku terkapar di pelukan ibu. Kepalaku berdarah. Ibu menangis. Tongkat di tangan ayah terjatuh.
Di sampingku muncul seorang berjubah hitam. Ia menggandeng tanganku dan mengajakku menyelami lautan seperti ikan duyung. Aku dibawa masuk ke sebuah kerang raksasa. Ia mengambil kuas dan sekaleng cat putih, lalu mengoleskan cat itu ke seluruh tubuh dan setiap helai rambutku. Aku terlihat seperti manekin. Aku menjadi putih seluruhnya.
Kerang raksasa terbuka. Tiba-tiba saja penglihatanku terhadap laut berubah total. Laut bukan lagi air yang berisi ikan dan kawanannya. Laut berubah menjadi miliaran jiwa putih sepertiku yang berenang tak tentu arah. Saat tangannya diturunkan, mereka memegang kepalaku dan mendorongku ke belakang. Mereka menjadikanku tumpuan. Aku tenggelam di antara jiwa-jiwa itu. Aku berusaha menggerakkan tubuhku di tengah himpitan jiwa-jiwa yang terus bergerak. Aku bergerak seperti penyelam handal yang hendak naik ke permukaan. Tanganku menerobos jiwa-jiwa itu. Kakiku mendorong mereka. Hingga akhirnya kepalaku timbul di permukaan.
Asap dupa berbentuk namaku terlihat di permukaan. Di daratan sana, aku melihat seorang perempuan duduk menangis di sebelah dupa sambil memeluk tubuh bocah lelaki. Aku mengenalinya. Lantas aku bergerak seperti jiwa-jiwa lainnya. Aku menggerakkan tanganku ke atas dan ke bawah. Aku menekan kepala jiwa-jiwa sebagai tumpuan untuk maju. Aku bergerak mengikuti asap dupa untuk menuju perempuan yang sangat kukenali itu. Di laut ini aku tak lagi mengenalnya sebagai ibu. Melainkan sebagai kekasihku. Ternyata akulah Teja yang berjanji menemui Nari saat senja.

Hari Libur Kebinasaan

Cerpen Triyanto Triwikromo (Koran Tempo, 24-25 Maret 2018)
Hari Libur Kebinasaan ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Hari Libur Kebinasaan ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
SEPULUH tahun lalu Herolena yang beberapa kali disalahpahami sebagai keturunan para nabi, mengharapkan Tuhan menurunkan firman-firman baru tentang kematian. “Tidak adil Tuhan terus-menerus tidak memberi pekerjaan kepada malaikat pencabut nyawa. Tidak adil setiap saat kita menghadapi hari libur kebinasaan. Orang-orang Ranarene makin lama kian takut pada kehidupan. Mereka ingin merasakan kematian yang indah juga,” ujar Herolena kepada diri sendiri.
Saat itu ketika berjalan-jalan di perdesaan penuh rumah-rumah bertaman luas, ia melihat beberapa perempuan tua menggantung diri di pohon-pohon berdaun biru, tetapi tak ada seorang pun yang mati. Beberapa lelaki menusukkan pedang ke perut, tak seorang pun yang menjemput ajal. Kali lain dia melihat puluhan anak terjun bebas dari pohon tertinggi, tetapi mereka justru tertawa riang begitu kepala-kepala mungil itu menghujam ke tanah penuh batu-batu dan koral.
Setahun kemudian ada rombongan pedagang dari luar kota meminta izin Herolena, yang pada waktu itu dipercaya jadi Kepala Desa Ranarene, untuk tinggal di lapangan terluas di perdesaan. Mereka mendirikan tenda-tenda warna-warni.
Warga Ranarene tidak begitu tahu apa yang dilakukan para pedagang. Ketika melewati lapangan, pada saat-saat tertentu-paling tidak tujuh kali sehari-mereka hanya mendengar ada yang berteriak keras-keras melantunkan semacam aba-aba, lalu para pengembara itu berdiri menghadap ke arah selatan, membungkuk, menelungkup, menyungkurkan diri, menelungkup lagi, berdiri lagi, dan mengakhiri tindakan itu dengan menangis bersama.
Mereka baru tahu ada yang bernama Krosakbabikri ketika lelaki bercula lembut dan berjubah merah muda itu menawarkan aneka benda yang bakal menjadikan Ranarene sebagai perdesaan beradab. Menjadi tamu terhormat Herolena, Krosakbabikri memperkenalkan radio.
Tentu saja Herolena takjub mendengarkan aneka suara berupa bisikan lembut, percakapan sengau, teriakan-teriakan tak jelas, nyanyian-nyanyian keras, dan doa-doa serupa racauan yang terdengar dari kotak ajaib itu.
“Kau bisa mendengarkan apa pun yang berasal dari kawasan yang jauh dari benda yang ditemukan oleh para cendekiawan terkemuka ini,” kata Krosakbabikri.
“Apakah kami bisa mendengarkan suara Tuhan?”
“Kau bahkan bisa mendengarkan suara iblis.”
“Suara hewan-hewan di langit?”
“Tentu,” kata Krosakbabikri sambil memutar-mutar tombol, “Kau juga bisa mendengarkan suara orang-orang yang sedang menggali emas di dasar bumi.”
“Berapa harga benda ini?” tanya Herolena.
“Kau hanya perlu menukar radio ini dengan sebidang tanah dan beberapa pohon yang bisa kami gunakan untuk membangun rumah.”
Herolena menyetujui permintaan Krosakbabikri.
Beberapa hari kemudian, Krosakbabikri menawarkan topeng berbahan kulit tipis yang jika dikenakan akan membuat sang pemakai memiliki wajah yang berbeda. Pada saat sama Krosakbabikri juga menawarkan cermin seukuran wajah manusia.
“Semua benda yang kujual akan membawamu ke dunia lain. Apakah kau siap hidup dengan banyak kejutan?”
“Jangan memberiku kemustahilan,” kata Herolena.
“Justru hal-hal yang dianggap mustahil yang selalu akan kutawarkan kepadamu.”
“Kau akan memberi tahu bagaimana aku melihat segala apa pun yang akan dilakukan Tuhan?”
“Pada saatnya nanti kau akan tahu apa pun yang disembunyikan oleh pengetahuan. Kau akan tahu berapa jumlah malaikat dan apa pun yang mereka sembunyikan selama ini. Kau akan tahu berapa jumlah nabi dan apa yang tak boleh mereka lakukan di dunia.”
Herolena tampak masih hendak mendebat, tetapi Krosakbabikri lebih cepat meminta kepala desa itu segera mengenakan topeng dan menggunakan cermin. Herolena lalu memilih salah satu topeng. Dia memilih topeng pria berwajah garang. Dia kemudian bercermin.
“Ya, Tuhan!” Herolena melepaskan cermin, “Siapa dia?”
Krosakbabikri tak segera menjawab pertanyaan, tetapi lebih berjuang menyelamatkan cermin yang jatuh. Hup! Cermin itu terselamatkan.
“Siapa dia?” tanya Herolena.
“Itu kamu juga.”
“Dia lebih garang dari semua lelaki Ranarene.”
“Ya, tetapi dia bukan orang lain,” kata Krosakbabikri, “Tetapi sudahlah kau jangan terlalu kagum pada ilmu pengetahuan yang kuperkenalkan kepadamu. Pada akhirnya nanti semua hal menjadi biasa setelah kau ketahui rahasia-rahasianya. Yang penting sekarang, kau mau membeli topeng dan cermin atau tidak?”
“Berapa harganya?”
“Kau hanya perlu memberiku beberapa bukit dan sebatang sungai.”
Herolena tidak keberatan. Herolena akan keberatan jika para pedagang, meminta segala satwa di langit dan di sungai-sungai. Karena itu dia bilang kepada Krosakbabikri, “Kau boleh minta bukit, tetapi jangan kauminta kupu-kupu, burung-burung, segala satwa melata, dan hewan apa pun yang berkeliaran dan terbang di kawasan itu. Kau boleh minta sungai, tetapi jangan kau minta kepiting, ikan-ikan, belut atau apa pun hewan yang berada di tempat itu. Apakah kau setuju?”
Krosakbabikri mengangguk. Radio, cermin, dan topeng pun berpindah tangan.
***
SUDAH sebulan Herolena asyik masyuk dengan radio. Meskipun ada siaran tentang presiden-presiden dari negeri-negeri jauh yang tumbang akibat kudeta, ia tetap hanya terpaku pada siaran tentang danau-danau yang bisa menyedot orang-orang yang merindukan kematian cepat.
“Tempat mati yang indah ini bernama Danau Megattutek,” kata sang penyiar, “Berbondong-bondonglah menyongsong kematian dengan cara berdiri satu kilometer dari tepi danau. Tunggulah badai datang. Biarkan tubuhmu diterbangkan oleh badai itu hingga ke atas danau.”
“Setelah itu?” Herolena bertanya dalam hati.
Radio tidak menjawab. Tak lama kemudian muncul bunyi krusak-krusek. Herolena memutar tombol untuk mendapatkan sinyal. Hanya sebentar suara radio menjadi jernih kembali.
“Akan tetapi kehendak untuk mati itu racun,” kata penyiar itu, “Siapa pun sebaiknya mati secara wajar. Tidak perlu diburu-buru. Tidak perlu dinanti-nanti.”
“Enak saja bicara seperti itu,” Herolena membatin, “Kami sudah bertahun-tahun menunggu kematian tetapi Tuhan tak pernah berkenan memberikan kematian kepada kami. Tuhan mungkin sudah lupa pernah menciptakan kami. Atau Tuhan hanya memberikan kehidupan tetapi sama sekali tak memberikan kematian kepada kami. Kami takut menjadi abadi.”
Tentu saja penyiar tidak mendengarkan keluhan Herolena. Penyiar yang sepanjang waktu tidak pernah mendengarkan apa pun yang dikeluhkan oleh para pendengar itu dengan santai bilang, “Agama yang baik selalu menyediakan cara-cara menjemput kematian yang indah. Agama yang buruk selalu menganggap kematian hanyalah omong kosong.”
“Omong kosong?” Herolena membatin lagi, “Agama kami tak pernah menganggap kematian sebagai omong kosong. Kematian bagi agama kami ibarat zat asam. Ia ada meskipun kami tidak pernah melihat warga Ranarene menjemput ajal.”
“Tetapi,” kata penyiar, “Telah muncul agama baru yang disyiarkan oleh nabi baru. Agama ini khusus untuk para pemuja kematian. Siapa pun yang ingin segera mati segeralah memeluk agama yang ritualnya selalu dimulai dari berteriak keras-keras melantunkan semacam aba-aba, lalu berdiri menghadap ke arah selatan, membungkuk, menelungkup, menyungkurkan diri, menelungkup lagi, berdiri lagi, dan diakhiri dengan menangis bersama itu.”
Kali ini Herolena agak terkejut. Dia merasa telah mengenal agama itu. “Jangan-jangan ini agama yang dianut oleh Krosakbabikri. Jangan-jangan Krosakbabikri bukan sekadar pedagang. Jangan-jangan Krosakbabikri adalah nabi baru yang disebut-sebut oleh penyiar itu?” Herolena tak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia yakin setelah bertemu dengan Krosakbabikri akan bisa menjawab pertanyaan itu.
***
SAYANG sekali justru ketika sangat dibutuhkan, Krosakbabikri tidak berada di Ranarene. Kata para pedagang lain, Krosakbabikri sedang berada di kota lain.
“Dia bersama para pedagang pengembara sedang menjemput para penemu Kitab Halali di Gua Raelling dekat Sungai Copottati.”
“Kitab Halali?” tanya Herolena sambil mengenang nama kitab yang dia dengar lima tahun lalu.
“Ya. Itu kitab untuk orang-orang yang ingin meninggalkan agama lama. Itu kitab baru yang selama 1.300 tahun menghilang dan dihalang-halangi untuk dibaca oleh siapa pun.”
“Apa keistimewaan kitab itu? Melebihi kitab berisi kisah-kisah para rasul? Berisi kisah-kisah pewahyuan?” tanya Herolena mencoba memancing pengetahuan sang pedagang agar segera menguar.
“Kitab itu mengajari siapa pun untuk mendapatkan cara mati yang indah.”
“Siapa nama nabi paling agung di kitab itu?”
“Aku belum paham benar siapa nabi atau Tuhan di kitab itu. Yang jelas, Krosakbabikri akan menjual kitab itu kepadamu.”
“Apakah Kitab Halali berbeda dari kitab-kitab lama?”
“Tidak terlalu berbeda. Namun ada rahasia-rahasia lain yang jika dibaca 1.300 tahun lalu akan membuat siapa pun tidak percaya pada Tuhan masa kini atau meledek nabi-nabi yang telah memberikan teladan-teladan indah.”
“Apa rahasia-rahasia lain itu?”
“Itu yang belum kubaca. Aku hanya mendengar dari Krosakbabikri semua agama yang kita anut hari ini salah. Diperlukan kitab baru agar orang benar-benar mendapatkan surga yang benar-benar surga.”
“Memang ada surga palsu?”
“Semua surga yang dipercayai orang-orang masa kini palsu.”
“Siapa yang bilang?”
“Krosakbabikri.”
“Dari mana Krosakbabikri tahu semua surga yang dipercayai oleh orang-orang masa kini palsu?”
“Dari Kitab Halali.”
Herolena tidak percaya pada jawaban semacam itu. Pengetahuan Herolena tentang Kitab Halali berbeda. Kata para pedagang barang antik, kitab itu sebenarnya lebih ingin menyatakan, dunia tidak diciptakan oleh satu tuhan. Karena tidak diciptakan oleh satu tuhan, tuhan lain bisa menjadikan kehidupan tanpa kematian atau kehidupan sehari dua-hari. Para tuhan juga tidak menciptakan satu surga dan satu neraka. Malah ada juga yang tidak menciptakan surga dan neraka. Adapun nabi utama kitab itu bernama Poo, saudara kembar Kain yang tidak pernah diceritakan di kitab-kitab lama.
Kitab Halali ditulis oleh Bahib Hozameh. Baib Hozameh adalah pria setinggi 2,9 meter yang mengaku mendapatkan wahyu rahasia dari Nabi Poo. Apa ajaran utama Nabi Poo? Ada 13. Pertama, semua manusia diciptakan oleh tuhan yang suka berperang. Tuhan yang meminta para umat bertikai sepanjang masa. Kedua, malaikat diciptakan dari kotoran kuda. Karena itulah derajat para malaikat tak pernah bisa setinggi manusia. Ketiga, musuh utama manusia bukan iblis. Manusia adalah raja-raja yang bertakhta di kerajaan iblis. Keempat, minta mati secepat mungkin kepada tuhan dan nabi adalah kebajikan tertinggi. Hidup sehari-dua hari merupakan tindakan suci. Kelima, Tuhan tak menghendaki manusia berkorban terus-menerus. Keenam, puncak pengkhianatan manusia terjadi jika mereka hanya percaya pada satu tuhan. Ketujuh, berdaganglah dengan orang-orang bodoh. Kedelapan, pilihlah pemimpin yang berani menista agama lama. Kesembilan, jika ingin mati cepat, matilah di bawah pohon pisang. Ke-10, teriakkan nama tuhan dan nabi keras-keras saat berperang. Ke-11, jangan bergurau ketika bercinta. Ke-12, membunuhlah sesuka hati jika agamamu dilecehkan. Ke-13, bakarlah kitabmu jika kau merasa tidak perlu beragama dan bertuhan lagi.
Selesai menulis Kitab Halali, Bahib Hozameh melarikan diri ke Negeri Gurun Muruah. Dia hendak dibunuh oleh para serdadu Kacrut Bokaah. Setelah itu Kitab Halali hilang. Bahib Hozameh juga tidak pernah kembali ke Kacrut Bokaah. Dia juga tidak pernah ke Ranarene, bagian tak penting dari Kacrut Bokaah itu.
Apakah orang-orang Kacrut Bokaah pernah membaca Kitab Halali? Sebagian ada yang membaca. Orang-orang yang tinggal di Gua Raelling dekat Sungai Copottati pernah bertemu dengan Bahib Hozameh. Mereka juga pernah membaca Kitab Halali. Kini, Krosakbabikri sedang menjemput penemuan Kitab Halali dan akan menjual aneka kisah rahasia yang termaktub di buku itu kepada Herolena.
Ada juga Kitab Halali versi Homaz Raceetha. Kitab itu ditulis oleh Raceetha dengan bahasa Hejo, bahasa kuno Kacrut Bokaah. Inti ajarannya: Pertama, tuhan hidup tetapi tidak pernah menciptakan apa pun. Apa pun yang berkait dengan dunia dikreasi oleh manusia. Kedua, kehancuran dunia tidak akibat tangan jahil tuhan melainkan oleh ulah manusia sendiri. Ketiga, manusia pada akhirnya hanya akan jadi budak dari apa pun yang diciptakan oleh manusia.
Yang mengejutkan pernah muncul Kitab Halali versi Huzum Ogreh. Huzum Ogreh menyatakan, “Semua tuhan telah mati. Semua agama telah hancur. Semua nabi hanyalah nonsens. Tuhan, agama, dan nabi bisa diciptakan siapa pun dan kapan pun.”
Hingga saat ini Herolena belum menjadi penganut agama yang disyiarkan oleh Kitab Halali.
***
SEBELUM bertemu dengan Krosakbabikri, Herolena membaca Kitab Halali versi Homaz Raceetha. Herolena heran mengapa di kitab itu tertulis, “Tuhan bersabda pada Nabi Poo: Tinggalkan agama yang sekarang ini. Aku akan memberimu rahasia-rahasia untuk mati secara cepat. Kau juga tidak perlu lagi percaya kepada surga dan neraka.”
Karena itulah begitu bertemu dengan Krosakbabikri, Herolena bertanya, “Apakah Kitab Halali berkisah tentang rahasia-rahasia untuk memperoleh kematian tercepat?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah Tuhan meniadakan dirinya sendiri di kitab itu?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah tak ada surga dan neraka di kitab itu?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah setiap orang bisa jadi nabi?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah kau akan menjual Kitab Halali versi Bahib Hozameh kepadaku?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Berapa harganya?”
“Kau tidak perlu membayar sedikitpun untuk kitab ini. Kau hanya perlu menjadi penganut agama yang disyiarkan oleh Kitab Halali.”
“Menjadi penganut?”
“Ya, kau harus meninggalkan agama lama.”
“Kalau aku memberimu setengah Ranarene, apakah kau tetap akan memintaku menjadi penganut agama baru?”
“Kauberi satu desa pun, aku tak akan memberikan kitab itu kepadamu jika kau tidak menganut agama baru.”
“Apakah setelah membaca Kitab Halali dan menganut agama yang ditawarkan, orang-orang Ranarene akan bisa menjemput kematian dengan gampang?”
Krosakbabikri mengangguk.
Tak ada cara lain, demi kematian yang agung, Herolena menerima tawaran Krosakbabikri.
***
AKAN tetapi semua tindakan Herolena hanyalah taktik untuk mendapatkan pengetahuan tentang kematian. Meskipun demikian, Herolena tetap membaca prinsip-prinsip yang termaktub di dalam Kitab Halali. Menurut kitab itu para tuhan ada begitu saja di dunia. Para tuhan tak menciptakan apa pun karena alam semesta juga muncul begitu saja. Meskipun demikian, pada suatu masa, terjadi perang antar-tuhan. Banyak tuhan terbunuh dan muncul satu tuhan yang paling perkasa.
Tuhan yang paling perkasa itu kemudian bersabda kepada Nabi Poo. “Poo kau adalah juru selamat orang Yoalhude yang dikirim oleh Tuhan orang Yoalhude untuk menggenapi Kitab Halali. Kau dan umatmu dari belahan dunia mana pun harus beribadah sesuai yang dilakukan oleh orang Yoalhude. Tak patuh pada ayat-ayat di Kitab Halali akan membuat siapa pun tak bisa mendapatkan kematian yang indah.”
“Mengapa Tuhan orang-orang Yoalhude merupakan tuhan yang mengancam?” pikir Herolena.
Di Bab Horombale Pasal 1 Ayat 12 juga terdapat ancaman. “Aku (Poo, nabimu) tidak menyukai orang-orang yang lemah. Berperanglah demi agamamu. Berperanglah demi nabi dan tuhanmu.”
Herolena tak nyaman membaca ayat-ayat semacam itu. Karena itulah setelah mempelajari ayat-ayat yang berkait dengan cara cepat memperoleh kematian, dia punya gagasan menghilangkan pengaruh Kitab Halali. Pertama, dia tak akan mensyiarkan kitab itu di Ranarene. Kedua, dia akan membunuh Krosakbabikri. Dia tidak akan menusuk jantung Krosakbabikri tetapi hanya akan meracun lelaki bercula lembut itu dengan sorareh, yakni minuman keras khas Ranarene, sebanyak-banyaknya.
***
APAKAH Krosakbabikri bisa mati di Ranarene? Herolena yakin hari libur kebinasaan hanya berlaku untuk warga Ranarene. Karena itulah sebelum Krosakbabikri bertamu ke rumah, Herolena sudah mempersiapkan sorareh. Namun, di luar dugaan, Krosakbabikri datang ke rumah Herolena bersama 13 pedagang berobor yang kini lebih tampak sebagai serdadu itu.
“Aku tahu kau tak akan mensyiarkan Kitab Halali kepada warga Ranarene. Aku sejak dulu tahu kau lebih setia pada agama lama yang dianut oleh warga Ranarene. Tetapi ketahuilah, aku datang ke desa ini bukan untuk berdagang. Aku ke sini untuk menyebarkan agama baru. Aku akan membunuh siapa pun yang menghalangiku,” kata Krosakbabikri, “Aku sendirilah yang akan menyebarkan segala ayat yang termaktub di dalam Kitab Halali.”
Herolena kaget. Meskipun demikian, Herolena menantang Krosakbabikri. “Aku tak takut mati. Mati adalah kebajikan tertinggi warga Ranarene.”
“Kami akan membakarmu,” kata Krosakbabikri.
“Aku tak takut pada apimu. Aku tak takut pada apa pun yang akan kaulakukan kepadaku.”
Lalu, tak menunggu lama, tanpa disuruh oleh Krosakbabikri, sebagian pedagang memborgol tubuh Herolena di tiang dengan tali, sebagian lagi memukul kepala Herolena dengan linggis, sebagian lagi segera membakar kaki, tangan, dan seluruh tubuh Herolena.
Juga tidak perlu menunggu lama, Herolena mulai terbakar. Saat itu Herolena mulai tidak yakin apakah hari libur kebinasaan masih berlaku di Ranarene. Herolena hanya mendengar Krosakbabikri berteriak, “Bunuh tuhan lamamu! Bunuh Tuhan lamamu! Aku akan mengampunimu.”
Membunuh Tuhan? Herolena tidak yakin apakah dia bisa membunuh Tuhan. Meskipun demikian, Herolena masih punya hasrat. Mati atau tak mati, Herolena menentang apa pun yang akan dilakukan Krosakbabikri. Herolena sama sekali tidak takut meskipun dalam gemuruh 13 pedagang yang berteriak-teriak menyebut nama tuhan dan nabi mereka, api terus menjalar ke tubuhnya yang rapuh.
“Aku hanya takut pada keabadian, ya Tuhan. Aku hanya takut jika tak mati-mati sepanjang waktu yang Kauciptakan untukku.”

Triyanto Triwikromo adalah peraih Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa dan Tokoh Seni 2015 Pilihan Majalah Tempo. Ia antara lain menulis kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi dan Surga Sungsang.