Daftar Blog Saya

Minggu, 04 Februari 2018

Ros

Cerpen S. Satya Dharma (Analisa, 28 Januari 2018)
Ros ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa.jpg
Ros ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
ROS sumringah. Wajahnya berbinar-binar. Di tangannya kini tergenggam kartu identitas baru. Kartu Tanda Penduduk tanpa tulisan WNI keturunan di dalamnya. Ros mendekap kartu itu di dadanya. Berkali-kali mencium kartu itu dengan bibirnya tanpa gincu. Meski matahari di atas Desa Sampali terik membakar, Ros tak peduli. Ini adalah buah manis dari perjuangannya yang cukup lama.
Ros pernah dihina karena kartu ini. Ditolak sana-sini. Dikata-katai. Ros tak patah hati. Bahkan ketika seorang petugas dinas kependudukan menghardiknya, Ros tetap tegar.
“Ini bukan soal kenapa saya, tapi siapa saya,” katanya.
Ros, satu dari ribuan, puluhan ribu warga Indonesia anak keturunan kuli kontrak asal China, kini menetap di Medan. Dia generasi kelima dari para kuli kontrak asal Tiongkok itu. Seperti kata Mr. J. H. Bool dalam bukunya “De Chineesche Immigratie Naar Deli”.
Nenek moyang mereka didatangkan dari Penang dan Singapura sebagai kuli kontrak untuk perkebunan Belanda Sumatera Timur pada 1864. Bukan karena kemauan mereka sendiri. Banyak di antaranya yang tertipu atau dipaksa oleh calo-calo pencari tenaga kerja yang dipercaya Belanda.
Barangkali karena itulah banyak orang China atau Tionghoa yang menjadi “koeli kontrak” di masa kolonial dulu membandel dan melawan. Ada yang melarikan diri, berkelahi, membunuh mandornya sendiri dan melakukan pemberontakan. Akibatnya Belanda tidak percaya lagi pada calo-calo yang mendatangkan mereka.
Sebagai gantinya, tahun 1880 Belanda membentuk Deli Planters Vereeniging. Bertugas menyeleksi dan mencari sendiri buruh China langsung dari daerah asalnya, daratan Tiongkok. Hingga Belanda memutuskan untuk mendatangkan kuli dari Pulau Jawa.
Ketika habis masa kontraknya, kuli-kuli asal Tiongkok itu ada yang kembali ke kampung halamannya. Sebagian besar tetap memilih tinggal di Sumatera Timur. Mereka menetap di kota-kota seperti Binjai, Tebing Tinggi, Lubuk Pakam dan Pangkalan Brandan. Paling banyak di Kota Medan. Minat mereka pun ternyata tetap di bidang perdagangan.
Oleh Belanda, minat ini dianggap menguntungkan, sehingga mereka diberi kesempatan untuk berkembang. Mereka diberi fasilitas menguasai perdagangan menengah sedangkan perdagangan kelas atas tetap dikuasai Belanda.
Ros, Rosnani nama lengkapnya, satu dari jutaan anak keturunan kuli kontrak asal Tiongkok itu. Kini 35 tahun usianya. Ros berkacamata minus dan berambut lurus yang dipotong pendek di atas bahu. Satu-satunya identitas fisik yang membedakan Ros dengan perempuan pribumi adalah kulitnya yang putih. Matanya agak sipit dan kemauannya yang keras. Selebihnya, Ros tak berbeda dengan perempuan pribumi lainnya.
Kakek buyut Ros, seorang imigran asal Tiongkok yang dulu menjadi kuli kebun di Onderneming Sampali. Kata Ros, sang kakek menikah dengan seorang perempuan Tionghoa asal Bogor yang dikaruniai lima orang anak. Salah satunya adalah ayah Ros. Kemudian menikahi seorang perempuan Tionghoa keturunan asal Bukittinggi.
Dari perkawinan itulah lahir Ros dan lima saudaranya. Ros anak ke empat dari enam bersaudara. Kelima saudaranya tidak ada lagi yang menetap di Medan. Semuanya sudah pindah ke kota lain. Ada yang di Jakarta, Semarang, Surabaya bahkan Singapura dan Taiwan. Di Medan hanya tinggal Ros seorang, meneruskan usaha keluarganya sebagai pedagang toko kelontong.
Ros bukan perempuan Tionghoa sebagaimana anak-anak Tionghoa lainnya. Ros bahkan terkesan lebih Indonesia ketimbang perempuan yang mengaku asli Indonesia. Toko kelontong Ros terletak di ujung jalan yang dulu masuk wilayah perkebunan PTP IX Sempali.
Di toko kelontong itulah para kuli kebun, kebanyakan orang Jawa, membeli barang kebutuhan sehari-harinya. Tak sedikit pula yang berutang. Dari beras, gula, kopi, rokok, hingga sabun mandi.
Ros tak menolak mereka yang datang untuk berutang. Ros tahu betul artinya tolong-menolong. Ros sadar betul kalau diapun berasal dari keturunan kuli kontrak. Setiap kali ada buruh kebon yang mengutang, Ros dengan ramah melayaninya.
Gak apa-apa, Wak. Asal jangan lupa bayar aja,” katanya setiap kali para pengutang itu berbasa-basi padanya.
“Enggaklah, Ros. Kalau udah terlalu banyak, Wak diingatkan ya Ros. Takut gak bisa bayar.”
“Iya, Wak. Utang Wak bulan ini belum sampai seratus ribu, kok,” jawab Ros.
“Makasih ya Ros. Kamu memang baik.”
“Wak bisa aja. Gak usah pakai muji segala, Wak.”
Begitulah selalu. Ros, perempuan Tionghoa itu tak pernah cemberut. Bahkan ketika pada akhir bulan para pengutang itu menunggak atau hanya membayar separoh dari utangnya, Ros tetap tersenyum. Tetap melayani mereka dengan ramah. Tetap tak merasa usaha toko kelontongnya bakal bangkrut.
“Kalau memang ada keperluan lain, pakai aja uangnya dulu, Bi. Utang belanjaannya dibayar nanti saja,” kata Ros pada bi Inah.
“Iya Ros. Ros ‘kan butuh modal juga. Gak apa-apa bibi bayar separuh dulu ya?”
“Sungguh Bibi cukup dengan uang itu?”
“Cukup Ros. Cuma untuk ngelunasi uang buku sekolah si Parmin aja kok.”
Ros mengambil buku besar para pengutang itu. Mencari nama bi Inah lalu menuliskan jumlah utang yang sudah dibayar. Menguranginya dengan utang lama, lalu menotalnya.
“Utang Bi Inah gak banyak lagi kok. Hanya tinggal 35 ribu.”
“O ya? Makasih ya Ros. Semoga Tuhan melindungi kamu.”
“Semoga Parmin sekolahnya baik ya, Bi?”
“Insya Allah, Ros. Semester ini dia dapat ranking tiga.”
“Bagus itu. Ini kasih ke Parmin, Bi. Hadiah dari Ros,” kata Ros sambil menyerahkan dua batang permen cokelat.
“Suruh dia rajin belajar, Bi.”
“Makasih Ros.”
Alangkah manisnya jika kehidupan dibangun dengan saling pengertian seperti itu. Alangkah indahnya jika semua di negeri ini seperti Ros. Penuh pengertian. Penuh kasih sayang. Penuh welas asih.
Sayang, pada kenyataannya tak banyak yang seluhur budi Ros. Kesuksesan mereka di bidang ekonomi seringkali menjadi jurang pemisah. Membuat jarak semakin lebar dengan warga bangsa lainnya. Akibatnya kecemburuan sosial acapkali merebak.
Ketika kemudian terjadi gejolak sosial, mereka pun menjadi sasaran empuk. Jadi tempat pelampiasan amarah warga pribumi. Harta mereka dijarah, rumah mereka dirusak dan bahkan perempuanperempuan mereka dilecehkan.
Sepanjang hidupnya, selama menetap di Sampali, Ros tak pernah mengalami nasib buruk itu. Setiap kali pecah kerusuhan sosial seperti tahun 1998 lalu, Ros tetap aman. Rumah dan toko kelontongnya tak tersentuh aksi massa. Sebab, begitu terdengar kabar ada gerakan massa, orang-orang kampung Sampali. Apapun suku dan agamanya, segera membentuk pagar betis melindungi rumah dan toko kelontong Ros. Menghalau siapapun yang coba-coba masuk dan merusak toko itu. Tanpa Ros perlu menuliskan kata-kata “Muslim” atau “Pribumi” di tembok tokonya.
“Kalian boleh rusak dan jarah toko milik Tionghoa yang mana pun. Jangan rumah dan toko ini. Ini rumah dan toko Ros. Siapa pun yang berani-berani merusak, bahkan hanya dengan melemparkan sebuah batu kecil, berhadapan dengan kami,” begitu teriak Rokimin. Pemuda kampung Sampali ketika kerusuhan Mei 1998 meletus. Peringatan itu ternyata sangat jelas di telinga kelompok-kelompok perusuh. Akibatnya, tak seorang pun berani menyentuh rumah dan toko Ros.
Ros sangat berterima kasih pada perlindungan yang diberikan orang-orang kampung kepadanya. Padahal Ros tidak pernah meminta. Sebagai imbalannya, Ros sadar dia harus terus membangun hubungan kekerabatan dengan semua orang. Tidak hanya dengan orangorang Sampali, juga dengan warga lainnya.
Ros, tanpa diminta, bahkan datang ke rumah-rumah penduduk yang sedang ditimpa musibah dan memberi bantuan. Meskipun dia Buddha, setiap bulan puasa Ros hampir setiap hari mengantar makanan ke masjid untuk orang-orang yang berbuka. Ros tak pernah merasa rugi dengan semua yang diberikannya itu.
“Aku juga anak keturunan kuli kontrak. Aku tahu sulitnya hidup nenek moyangku dulu. Aku lahir dan besar di sini. Aku hidup dan tinggal di tanah Indonesia ini. Aku adalah Indonesia. Aku memang keturunan Tionghoa. Sebagai warga negara Indonesia aku bangga dengan kecinaanku itu. Jadi jangan bedakan aku dengan warga yang lain,” katanya ketika datang ke kelurahan pasca peristiwa Mei 1998. Dia meminta pada pak lurah agar tulisan WNI keturunan di KTP-nya dihapus saja.
“Tidak bisa, Ros. Ini sudah aturan.”
“Aturan siapa?”
“Pemerintah.”
“Pemerintah siapa? Pemerintah Indonesia ‘kan? Aku orang Indonesia, kenapa harus ada catatan seperti itu?”
“Tapi Ros…”
“Bapak tidak baca berita koran? Bapak tidak tahu kalau Gus Dur sudah mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang mengekang itu?”
“Baca Ros, tapi kalau nanti…”
“Beranilah bersikap, Pak. Bapak ‘kan lurah. Kepala pemerintahan di sini. Kalau presiden saja sudah memutuskan, kenapa bapak ragu-ragu?”
“Bukan itu masalahnya. Belum ada intruksi dari walikota…”
“Kenapa bapak lebih takut sama walikota ketimbang melanggar instruksi presiden?”
Pak Simin, Lurah Desa Sampali itu lama terdiam.
“Baiklah, Ros. Nanti saya minta Herman untuk mengganti KTP kamu.”
“Nah begitu, Pak. Terima kasih. Jangan saya aja dong. Semua orang Tionghoa di Sampali ini harus diganti KTP-nya.”
“Wah kalau itu gak bisa Ros. Nanti saya dimarahi…”
“Siapa Pak? Siapa yang memarahin Bapak? Justru Bapak akan mendapat pujian karena melakukan itu. Sebab bapaklah lurah di Indonesia yang pertama kali melakukan itu. Mengganti KTP warganya dengan menghapus status WNI keturunan. Bapak akan jadi pelopor. Tak boleh lagi ada diskriminasi di negeri ini, Pak. Iyakan?”
“Kamu bisa aja Ros. Ya, sudahlah. Untuk yang lain-lain akan saya pikirkan dulu. Saya rundingkan dengan pak camat dan perangkat kelurahan lainnya.”
Ros sigap menjabat tangan Lurah Sampali itu. Dia mencium tangan lelaki setengah baya itu penuh sukacita. Tak lama diapun pamit. Pak lurah mengantarnya, hingga ke pintu kantornya.
“Kamu jangan bilang siapa-siapa dulu ya Ros?”
“Beres, Pak.”
Ros pergi meninggalkan kantor kelurahan. Di halaman dia berpapasan dengan Kirno, petugas Hansip di kantor itu. Ros memanggilnya. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya pada Kirno. “Pak Kirno, ini bagi-bagi pada teman yang lain ya?”
Seperti mendapat rejeki nomplok, Kirno langsung menyambar pemberian Ros. Wajahnya tampak sumringah.
“Iya, Bu. Terima kasih Bu. Makasih…”
Ros berlalu. Kirno tersenyum lebar.

Medan, jelang 20 tahun reformasi, 1998 – 2018

Semut dan Kupu-kupu

Oleh Nindyta Awaliyah (Analisa, 28 Januari 2018)
Semut dan Kupu-kupu ilustrasi Analisa
Semut dan Kupu-kupu ilustrasi Analisa
DI hutan yang sangat lebat di sana banyak perpohonan yang sangat rindang, ditumbuhi oleh rerumputan yang sangat segar. Ada satu pohon yang sangat besar, di bawahnya terdapat sarang semut dimana para semut tinggal. Pagi hari yang cerah matahari terbit sebelah timur. Ayam jantan pun berkokok “Ku….kuk..ru…yuk…”
Sang semut pun bangun ia berkata, “Ah, sudah pagi rupanya aku mau pergi dulu ah cari makan.” Ditengah perjalanan langit yang tadinya cerah, berubah menjadi hitam. Beberapa menit kemudian hujan turun dengan derasnya. “Aduh kenapa awannya berubah menjadi hitam dan turun hujan, aku bingung mau sembunyi di mana,” kata sang semut kebingungan.
Ketika hujan berhenti, sang semut melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan ia melihat sesuatu, “Ih…itu apa yah, aku lihat ah,” semut berkata.
Ternyata itu adalah kepompong. “Ih kamu jelek, kecil lagi. Tengok aku besar dan kuat,” Semut berkata sambil mengejek.
Tiba-tiba ia terpeleset dalam lubang dan kakinya tersangkut tidak bisa keluar dari lubang tersebut. “Aduh kakiku tersangkut bagaimana ini? tolong…tolong…tolong keluarkan kaki ku dari sini!” kata semut mencari bantuan.
Tiba-tiba awan tertutup, ternyata itu adalah kupu-kupu.
“Siapa kamu?” kata semuat bertanya.
“Aku adalah kepompong yang kamu ejek,” kata kupu-kupu menjawab. “Ayo aku akan bantu kamu,” kata kupu-kupu.
Semut berkata, “Bagaimana caranya?”
Kupu-kupu berkata, “Caranya kamu lompat dan pegang kakiku.”
“Yah, baiklah,” kata Semut.
Akhirnya semut berhasil keluar dari lubang tersebut. Kupu-kupu pun mengangkat semut ke daratan.
Semut merasa malu karena dulu ia pernah mengejek sang kupu-kupu. Semut berkata, “Kupu-kupu aku minta maaf ya karena aku pernah mengejekmu.”
“Iya, aku maafkan. Sekarang kita berteman ya?” kata kupu-kupu memaafkan.
Semut berkata, “Baiklah, aku akan menjadi temanmu.”
Akhirnya mereka pun menjadi teman yang saling tolong menolong. ***

(Penulis adalah siswi kelas VI SDN 028226)

Pilcasu

Cerpen Liven R (Analisa, 28 Januari 2018)
Pilcasu ilustrasi Toni Burhan - Analisa
Pilcasu ilustrasi Toni Burhan/Analisa
BERAPA usiamu saat ini?”
“Apa pedulimu? Mamaku saja tak keberatan belum bercalon menantu!”
“Nah, itulah…, setiap kali datang, Tante Emi pasti tak lupa bertanya ‘Mandy, apakah Vana terlihat sudah memiliki teman pria?’, Uhh…! Kamu saja yang pura-pura tak tahu!”
“Begitu pun, jangan coba-coba memasang namaku di situs perjodohan mana pun. Usul gila!” kupelototi Mandy yang tengah bertopang dagu menatap layar laptopnya.
“Oow…! Terlambat!” Mandy memutar layar laptop menghadapku.
‘Vanadise, 29 tahun. Tinggi 170 cm. Berat badan: ideal. Mencari pria sepantar yang baik, rupawan, jujur, mapan, dan bertanggung jawab. Bagi yang serius ingin menjalin hubungan, SMS atau hubungi: 0052-13212369807.’
“Mandy, kamu percaya aku bisa membunuhmu malam ini?!” rasa frustrasi telah memuncakkan darahku demi iklan perjodohan yang dipasang Mandy disertai selembar fotoku di situs ‘Happy Jomblo’. “Hapus iklan itu, atau aku tak lagi mengenalmu!”
Mandy segera melindungi benda berlayar itu bagai melindungi nyawanya dari sambaranku.
“Vana… Vana…, please…!” Mandy menyembunyikan laptopnya di balik bantal, mendudukkan tubuhnya dengan santai di tempat tidurku. “Aku tak mau melihatmu renta dan kesepian di dunia ini kelak. Yaa…, kamu terlalu sibuk dengan kariermu hingga melupakan usiamu yang menuju kedaluwarsa. Aku harus menolongmu….”
“Kalau begitu kalengkan aku segera dan kirim saja ke luar negeri! Jangan lupa tuliskan ‘made in Indonesia’. Kupikir kamu, ya, kalian…, orang-orang Indonesia, entah mengapa begitu resek soal usia dan belum menikah!”
“Alaa…, kamu bukan orang Indonesia? Mentang-mentang bekerja di perusahaan internasional….” Mandy mengulum senyum.
Aku sungguh tak mengerti mengapa dua tahun terakhir ini, teman-temanku di negeri ini dan keluargaku jauh maupun dekat, begitu mempersoalkan statusku yang belum memiliki pendamping hidup di usia menjelang kepala tiga. Kata mereka, terlalu sayang jika aku menjadi bunga yang layu sia-sia. Aku akan sengsara tanpa kasih sayang anak-cucu kelak; akan renta dan masuk panti jompo. Ah! Padahal tadinya aku tak punya beban pikiran. Bagiku, jodoh suami-istri itu adalah akumulasi dari utang karma puluhan, bahkan ratusan kehidupan lampau. Jika tak saling berutang karma dengan pria mana pun, apa aku harus memasang karton bertuliskan ‘obral’ di depan dadaku? Uh, tidak akan!
Aku melirik ponsel di atas meja riasku yang layarnya tampak benderang tanpa jeda sejak tadi. ‘Hal baik’ yang dilakukan Mandy tampaknya sedang membuahkan hasil. Oh, pucink pala belbie! “Vana, serahkan kepadaku. Tenanglah…, biar kuseleksi mereka,” Mandy bangkit meraih ponselku penuh semangat.
***
“Nah, ini SMS ke-107….” Mandy mencomot sebuah roti dan mengunyah sambil membaca.
‘Hai, Sayangku. Serahkan hatimu kepadaku. Aku akan merangkulmu melewati hujan dan badai. Menemanimu di segala musim….’
“Oh, puitis sekali,” gumam Mandy.
“Chairil Anwar…,” balasku.
Mandy, teman terbaikku sejak SMA, pun yang kemudian bersama-sama denganku menyewa kamar apartemen ini bersebab terletak di inti kota dan dekat dengan tempat kerja kami, tampak menganggut-anggut sembari mencatat nama dan ciri-ciri dari para balon dan calon pasanganku dalam pilcasu pemilihan calon suami kali ini. Sesaat, dia kembali membacakan SMS.
‘Vanadise, kapan bisa bertemu? Bersamaku, tidak akan ada lagi kekhawatiran. Hidupmu akan aman. Hari esokmu pasti terjamin. Percayalah….’
“Agen asuransi!” pekikku.
Mandy mengangkat bahu sekali. Dilanjutkannya, “Hai, cantik! Aku pria mapan yang siap menikahimu. Aku akan menjagamu 24 jam.”
“Pasti dokter jaga UGD!”
***
Senin, pukul 18.30 WIB.
Sesuai apa yang diatur Mandy, aku telah tiba di Kafe Anomali limabelas menit yang lalu, dan duduk bersebelahan dengan pria berpakaian rapi, berdasi garis-garis, dan beraroma harum calon pertama yang lolos seleksi ala Mandy.
“Datang naik apa tadi?” tanya pria yang berjudul Mimo, mengawali percakapan, seraya meletakkan gawai canggih warna putih di dekat cangkir kopiku.
“Diantar teman,” jawabku dengan kejujuran pasti. Aku memang datang diantar Mandy yang masih menungguku di pelataran parkir.
“Oh, jadi belum punya kendaraan sendiri? Kenapa tak minta dijemput saja tadi?” Mimo berdeham sekali sebelum melanjutkan, “Sopir di rumahku nganggur. Mobil juga tinggal pakai….” Mimo kini mengangkat tangannya, memicingkan matanya menatap lama arloji berkilau keemasan di pergelangan tangan kirinya, “Maaf, aku lupa membawa kacamata. Sudah pukul berapa sekarang, ya?” disodorkan tangan ke wajahku.
“Setengah delapan?” Aku memeriksa arloji sendiri.
“Ah, ya, aku lupa menyetel kembali ke waktu Indonesia! Maklum, aku baru saja pulang dari Tiongkok, mengunjungi Tembok Raksasa…. Aku sudah ke sana empat kali. Sebelumnya, aku baru saja ke Belanda. Saat itu bunga tulip sedang mekar. Kamu tahu? Bunga tulip memiliki banyak jenis dan warna….”
Waktu akhirnya merangkak mengubah menit menjadi jam. Selama tak kurang dari dua jam ini, Mimo telah mengarungi Laut Tiongkok Selatan, menapaki benua Asia, mampir ke Eropa, pun Australia, bersama semerbak bunga tulip, sakura, mei hua, dan entah bunga apa lagi. Yang pasti, aku telah diam-diam ‘memanggil’ Mandy untuk segera menyelamatkanku sebelum jatuh pingsan.
Aku bernapas lega saat ponselku menjerit nyaring.
“Maaf, temanku sudah menjemput.” Aku segera bangkit usai menutup telepon Mandy.
“Eh, tapi…,” Mimo mencoba menahan langkahku, “Bukankah kita belum memesan makanan, kok, pulang secepat ini?”
***
Rabu, pukul 19.00 WIB.
Sonson menggeser kursi rapat di sampingku. “Mari kita wefie,” ujarnya dengan asap mengepul keluar dari kedua lubang hidungnya. Aku menahan napas saat wajahnya hanya berjarak sesenti dari wajahku. “Cheers…!
Susah payah menahan, akhirnya batukku meledak selama semenit.
Mandy! Aku tak ingin menikah dengan lokomotif…, eh, tak ingin mengidap kanker paru-paru…, uhuk-uhuk-uhuk…, please!
***
Kamis, pukul 19.00 WIB.
“Gajiku lumayan besar,” Lois menyebut sederet angka yang membuatku benar-benar tercengang. Gaji besar yang bahkan, jujur saja, tak cukup untuk menutupi setengah dari anggaran biaya kebutuhan kewanitaanku sebulan! Baiklah. Kumaklumi.
“Meski gajiku besar, tapi terus terang saja…, masa-masa pacaran, bayar masing-masing. Setelah menikah nanti, aku ingin biaya hidup kita tanggung bersama. Ya, saat ini aku sedang mencicil sebuah rumah dan mobil. Kelak cicilan itu kita bagi rata berdua, juga biaya listrik, telepon, air, dan biaya hidup juga sekolah anak-anak…. Kalau boleh tahu, berapa gajimu sebulan?”
“Maaf, Lois, aku baru ingat lupa mematikan kompor tadi. Aku harus segera pulang sekarang….”
***
Jumat, pukul 18.00 WIB.
“Mama menginginkanku segera menikah,” Landi menatapku dari balik kacamata minusnya. Dibanding yang sudah-sudah, Landi boleh jadi ‘cukup nyaman’ di hati.
“Mengapa?” Potongan daging bistik terakhir kujejalkan ke mulut.
“Papaku mengalami stroke dua bulan lalu, tidak ada yang membantu Mama menjaga Papa, aku sendiri sibuk bekerja di luar kota dan hanya pulang setengah tahun sekali….”
Aku melongo dengan pernyataan Landi.
“Ya…, selama ini sudah banyak tenaga suster yang dipakai. Tak ada yang betah.”
“Jadi kelak istrimu tidak ikut denganmu?”
Landi tampak berpikir sejenak. “Kurasa mamaku yang lebih butuh seorang menantu.”
Oh! Jadi aku akan menikah denganmu, atau dengan mamamu?
***
Sabtu.
“Hari ini aku tak bisa menemanimu,” Mandy sibuk mengoles kuteks pada sepuluh jari-jari kakinya. “Jadi, sudah kuatur. Kalian janjian saja di food court yang berjarak dua blok dari apartemen ini.”
“Bolehkah dibatalkan saja? Aku lelah dengan janji-janji temu ini….”
Mandy menggerakkan telunjuk tangannya ke kiri-kanan. “No…, no!
“Kali ini siapa lagi?”
Mandy meraih carik kertas di atas meja, mencari-cari di situ. “Danio. 34 tahun. Karyawan toko mebel,” melirikku sejenak, dia menahan tawa, “Semoga kali ini cocok denganmu, Tuan Putri!”
***
Bau itu sudah tercium semenjak aku duduk bersisian dengan Danio. Bau apa, sih?
Kegiatan bola mataku mencari di balik taplak kolong meja-terhenti oleh pelayan yang mengantar pesanan.
Tanpa sengaja, ekor mataku menangkap bayang telapak kaki kiri Danio yang terangkat bertumpu pada paha kanannya berada di sebelah kiriku.
“Silakan dimulai,” Danio berucap setelah pelayan berlalu. Kini, jari kelingking tangan Danio terlihat sibuk mengorek ‘tambang’ hidung sebelah kanannya, bergantian kemudian sebelah kiri. Setelah menjentik-jentikkan ‘hasil tambang’nya ke lantai, dia meraih centong. “Kuambilkan untukmu.”
“Tidak! Eh, maksudku, biar aku sendiri…,” menahan mual yang mendadak, aku mengambil alih centong dari tangan Danio. Ihh…!
Sembari makan, aku menahan napas sebisa mungkin. Jika lubang hidung memiliki penutup, alangkah baiknya!
Sementara sambil makan, Danio tampak memiliki kegiatan baru: menggosok-gosokkan jempol tangannya pada dinding telapak kakinya; menghasilkan serbuk hitam berjatuhan ke lantai. Oh, tidak! Sudah berapa lama makhluk ini difermentasikan? Aku tak tahan lagi!
“Maaf, aku mendadak tak enak badan,” ujarku seraya meraih tas tangan dan berjalan keluar dengan cepat. Persetan dengan teriakan Danio!
Di belokan jalan, di tong sampah samping trotoar, seisi lambungku tumpah demi ingatan-ingatan yang baru tercetak.
Dengan lunglai kulanjutkan langkah menyusuri setapak luar apartemen Blok C, menuju Blok A. Langkahku terhenti demi sebuah panci yang melayang, berdebum tepat di ujung kakiku, mengagetkan. Disusul kemudian piring terbang dan…, astaga kursi pun terbang!
Menghindarkan kepala menjadi sasaran lemparan, sebuah tangan tua telah menarikku ke pintu rumahnya.
“Nek Ailin, mereka?”
“Ah, sudah biasa, Nak Vana…. suami istri itu hampir setiap hari bertengkar. Ya…, meributkan suami yang pulang pagi…, uang susu anak. Dan, dua hari ini bertengkar hebat sampai menghancurkan barang-barang….” Nek Ailin menggeleng dan mendesah sembari melirik keluar. “Dengar itu…, katanya istrinya selingkuh, dan sekarang suaminya menggugat cerai,” bisik Nek Ailin lagi.
Dari balik pintu yang terbuka, suara teriakan, tangisan, dan nyaring barang pecah masih berbaur.
“Ah, kehidupan pernikahan yang menyedihkan….”
“Tapi, jika tidak menikah, saat tua akan kesepian,” desahku tanpa sadar.
Nek Ailin tertawa. “Siapa yang bisa menjamin?” ujarnya, “Kamu tahu? Nenek melahirkan tujuh anak, lima lelaki dan dua perempuan. Sekarang kamu lihat, bukankah Nenek tetap harus kembali sendirian saat mereka memiliki sayap yang cukup keras untuk terbang jauh dari sarangnya, pun membangun sarang sendiri?”
Aku tersentak. Benar! Siapa yang bisa menjamin pernikahan akan memberi kebahagiaan mutlak?
Ah, Mandy, mari hentikan pilcasu ini. Hentikan semua kegilaan ini. Terima kasih telah mengkhawatirkanku. Terima kasih telah memberiku pengalaman mengenal mereka di antara A hingga Z; mengenal segala rasa dan aroma mulai dari aroma tulip yang memicu sakit maag, aroma tembakau Deli yang terkenal, aroma kejujuran, hingga yang terakhir…. hueeerrggh!

Medan, Agustus 2017
Penulis adalah ghostwriter/co-writer; tenapa pendidik

Bahri

Cerpen Siti Maulid Dina (Analisa, 21 Januari 2018)
Bahri ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa.jpg
Bahri ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
Seperti danau tanpa angin
Aku terpaku, mati rasa
Merangkai kata demi kata
Sepenggal kalimat rindu
Untuk kuhadiahkan kepadamu
Kau syairkan pada semesta

LAGI. Uli masih menggoreskan tinta di kertas. Bercerita pada alam tentang kerinduan pada kekasih hati, Samsul Bahri. Menghadirkan kekasihnya lewat penantian sunrise. Hembusan angin bagaikan nafas Bahri yang meniup pelan di pipi mulus Uli. Tiada hari tanpa menanti.
Uli acuh sama sekali dengan keadaan. Kesehariannya hanya duduk di tepi danau. Berharap Bahri kembali setelah setahun meninggalkan Uli, merantau ke Bandung, mengejar cita-cita dan mengumpuli uang untuk sinamot Uli.
“Mengapa harus Bandung?” tanya Uli.
“Uli, aku ingin kuliah musik di sana. Janji, dalam setahun aku akan kembali untuk melamarmu” gumam Bahri.
Uli hanya menunduk bercermin pada danau. Hatinya seperti ditusuk saat mendengar ucapan Bahri. Tanpa terasa keluar butiran hangat dari sudut matanya. Bahri mengangkat dagu Uli. Mata mereka saling beradu.
“Uli. Lihatlah! Sunrise selalu hadir walaupun kabut hitam memeluk gunung. Anggaplah aku seperti sunrise itu” kata Bahri sambil menunjuk raja cahaya tepat di depan mereka.
Setahun tanpa Bahri, namun aroma tubuhnya masih tercium jelas pada Uli, itu sebabnya dia tetap menanti Bahri. Uli percaya, Bahri akan menepati janjinya. Dia paham betul dengan sifat Bahri. Uli bahkan lebih percaya pada Bahri, daripada mamaknya sendiri. Bagaimana tidak? Jika Bahri tidak kembali, maka mamak siap menikahkannya pada paribannya. Inilah alasan Uli selalu menanti kekasihnya di tepi danau.
***
Masih pagi yang sama. Uli lompat dari tempat tidur, berlari ke tepi danau tanpa mencuci muka. Uli sengaja meminta kamar kepada mamaknya tepat di depan danau. Tidak boleh pelanggan memakai kamar itu.
Ya, orangtua Uli memiliki usaha penginapan di kota pariwisata. Terlalu berat buat Bahri meminta Uli pada orangtuanya. Selain adat yang berbeda, orangtua Bahri hanya petani biasa. Dia terlahir dari keluarga yang bertahan hidup. Kerap sekali Uli meminta pada Bahri untuk Mangalua, namun kekasihnya menolak, marah. Bahri tidak mau ada murka dalam pernikahannya. Bahri menginginkan dua perbedaan menyatu menjadi keindahan. Itu sebabnya dia memperjuangkan Uli.
Uli menanti sunrise. Berdiri lamat-lamat melihat sindar, menebak raja cahaya terbit tepat di depannya. Dia melihat gunung di seberang ditutupi kabut hitam, sindar menebar di depannya. Hatinya bergembira, itu pertanda Sunrise hadir di depannya. Dalam hitungan menit, wajah Uli terlihat masam, kecewa. Sindar itu berpindah tempat, persis di sebelah barat, berpindah lagi sebelah timur.
“Bahri. Sebenarnya kau hadir dari arah mana?” lirih Uli.
Uli terduduk sambil menulis sajak buat Bahri. Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang Uli. Mamaknya merepet sambil berjalan menuju Uli.
“Oh, Boru. Tidak ada lagi kerjaanmu selain menulis di tepi danau. Mau jadi gadis pemalas kau, hah,” teriak Mamak
“Mak. Aku menanti Bahri datang. Aku menulis buat Bahri,” ujar Uli.
Muka Mamak memerah, darahnya mendidih. Wanita separuh baya itu mendekati Uli. Dia menarik tangan Uli dan menyeretnya ke hotel agar membantu Mamaknya di dapur. Uli menangkis tarikan Mamak. Matanya melotot. Uli bosan diperlakukan seperti robot oleh Mamaknya. Dia juga berhak memilih jalan hidupnya, Bahri.
“Kau mau melawan Mamak, hah!” Bentak mamak
Dari arah barat bapak berlari mendekati Uli dan mamaknya. Bapak, melerai mereka. Percuma, mamak terus merepet tiada henti. Mulutnya seperti ikan mas yang sedang mencari makan. Berkomat-kamit sampai lelah. Akhirnya mamak berhenti mengomel. Habis kata-kata terkuras dalam hatinya. Dia merasa puas setelah memarahi Uli.
“Kau urus anakmu ini, Pak,” kata mamak.
“Mengapa setiap pagi ribut? Malu pada tetangga.” Kata bapak.
“Sudah gila anakmu ini. Si Bahri Jawa itu, yang buat anakmu gila? Setiap pagi duduk di tepi danau, menulis puisi untuk Bahri. Katanya, sunrise itu si Bahri.” Celetuk mamak.
“Biar Uli memilih jalan hidupnya. Dia sudah besar, Mak.” Kata bapak.
“Apa kau bilang? Mau jadi apa anakku, kalau nanti menikah dengan orang Jawa? Apa mereka tahu adat kita, hah?” Tanya mamak sambil membentak bapak.
“Bersabarlah kau. Kita akan mengajari Bahri tentang adat kita.”
“Persetan dengan kalian. Bapak dan anak sama saja. Aku tunggu bulan depan, kalau Bahri tidak datang, aku akan menikahkan anakmu dengan paribannya. Biar tahu kau!” gumam mamak lagi.
Bapak menggelengkan kepala. Dia mendekati Uli. Menyuruh Uli agar membesarkan hatinya melihat sikap mamaknya, terlalu mencintai materi. Mamak berlalu meninggalkan mereka, pergi ke ruang reception. Bapak tahu persis perasaan anaknya dan juga Bahri. Lelaki separuh baya itu tidak mau anaknya menikah dengan keterpaksaan.
Kini, bapak menemani Uli duduk di tepi danau. Uli masih saja termenung sambil menggenggam buku dan pena. Mereka masih menatap cakrawala. Bapak memulai cerita masa lalunya mengenai asmara. Bapak juga pernah merasakan apa yang dirasakan oleh Bahri. Mencintai gadis yang berbeda adat.
Bapak berdiri meninggalkan gadisnya, membiarkan Uli terus menulis. Kabut dan gunung masih betah bersenggama. Mendung melukis cakrawala. Rinai turun membasahi kulit Uli. Segera dia menutup bukunya. Menjulurkan tangannya, bermain dengan rinai. Tiada gelombang yang menemaninya. Hanya rinai.
Adakah hal yang lebih membosankan dari menanti? Bagi Uli, tiada bosan menanti. Dia merasa, dirinya tidak menanti. Dengan adanya sunrise, Uli tidak merasa kesepian. Saat Uli memejamkan mata, terdengar suara klakson kapal penyebrangan. Uli masih menutup matanya.
Kapal berlabuh. Ada sosok lelaki yang turun dari sana. Seperti ada bisikan dalam hati Uli, agar membuka matanya, pun Uli membuka mata dan menoleh ke belakang.
Dia terkejut bukan main. Bibirnya tertarik tipis, matanya berkaca-kaca. Sosok yang selama ini ditunggu-tunggu telah kembali. Lelaki berbadan kekar itu berjalan menghampiri Uli. Mata teduh Bahri menyapa Uli.
“Uli. Aku menepati janji.”
Uli masih terpaku. Dia menatap Bahri lamat-lamat. Apakah ini sebuah mimpi bagi Uli? Benarkah yang ada di hadapannya kekasih hati yang selama ini dirindukannya?
“Betulnya kau ini Bahri-ku?”
“Iya.”
“Bahri, betulnya kau itu? Bahri yang mengajariku menulis sajak setiap pagi, Bahri yang selalu hadir setiap pagi memberi kejadian indah dalam hari-hariku? Bahri yang menyanyikan lagu indah buatku?”
Bahri mengkerutkan alis, dia terheran dengan kalimat Uli. Sejak kapan wanitanya menjadi seorang yang puitis. Bahri meraih tangan Uli, sambil mengecup kening.
Tangan kiri Bahri sibuk merogoh kantongnya, mencari sebuah cincin buat Uli. Lelaki yang memiliki tinggi seratus enam puluh sentimeter itu berjongkok di hadapan Uli sambil menunjukkan cincin.
“Uli. Aku datang menepati janji. Aku ingin mengikatmu pada lingkaran emas di jari manismu. Apakah kau mau menerima?”
Uli tak bisa berkata. Diam. Tangan kirinya menutup mulut dan hidungnya. Uli menangis haru. Penantiannya terbayar.
Benar, Bahri menepati janji. Tidak sia-sia Uli memperjuangkan Bahri dalam keluarganya. Walaupun dia tahu adat menjadi jembatan pemisah cintanya. Uli tidak gentar, terus melangkah demi Bahri. Akhirnya Uli mengangguk, percaya. Bahri sudah di hadapannya.
“Bahri, bagaimana sekolah musikmu?”
“Sekarang aku seorang musisi, banyak artis membeli karyaku.”
Uli memperlihatkan bukunya pada lelaki bergigi saing itu. Bahri membuka halaman demi halaman. Saat dia membuka halaman terakhir, dia memeluk wanita berlesung pipi dan mengecp lembut kepalanya. Bahri meminta kepada Uli agar semua tulisannya dijadikan buku antologi puisi dan sebagian dijadikan lagu. Wanita berkulit kuning langsat itu mengangguk gembira.
Tiba-tiba mamak datang lagi. Menjerit memanggil Uli, agar membantunya di dapur. Betapa terkejutnya mamak saat melihat kehadiran Bahri dalam keadaan jongkok sambil memegang cincin. Kebecian mamak semakin marak.
“Oh, begini cara adat Jawa melamar. Tanpa ada pertemuan keluarga. Kau pikir, anakku murahan ya, Bahri. Kalau kau tidak sanggup melamar anakku, lebih baik kau pergi.” Celetuk mamak.
Bahri berdiri, berjalan mendekati mamak Uli. Dia menjelaskan kedatangannya untuk meminta Uli dan ingin hidup di Bandung. Kerasnya pemikiran Mamak memang tidak terkalahkan di rumah. Mamak hampir menolak lamaran Bahri.
“Bah, bah, bah. Kau mau melamar anakku, hah.” Kata mamak.
“Kau saja tidak tahu tata acara Batak melamar. Bagaimana kau mau melamar anakku.”
“Baiklah, Bu. Lusa, aku dan keluarga datang ke rumah untuk marhori-hori dinding.” Kata Bahri lembut
“Bah, darimana pula kau tahu Marhori-hori dinding?”
“Bu, saya memang bersuku Jawa, tapi anak Ibu banyak mengajari saya tentang Batak.”
“Sudahlah. Jangan banyak cakapmu. Aku tunggu kedatanganmu, lusa,” balas mamak.
Bahri mengangguk sembari tersenyum pada Uli. Tangannya menggenggam Uli, mamak melepaskan tangan mereka dan menarik tangan Uli. Membawa Uli masuk ke dalam rumah dan mempersilakan Bahri kembali pulang. Uli terus menolehkan kepalanya, dia tidak mau melepaskan pandangannya pada Bahri.

Siti Maulid Dina, mahasiswi Pendidikan Matematika UIN SU semester VII sekaligus penggiat KSI DS. Cerita ini terinspirasi dari Novel Idris Pasaribu berjudul Nikah (Lagi).

Nolan

Cerpen Galeh Pramudianto (Koran Tempo, 03-04 Februari 2018)
Nolan ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo.png
Nolan ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Namaku Roger. Setidaknya, demikianlah rekanku Nolan memanggilku. Aku adalah sebuah komputer, sementara Nolan adalah seorang developer dan praktisi di bidang kecerdasan buatan. Aku adalah salah satu hasil ciptaannya. Aku merupakan bagian dari jaringan Nolanhippo, jaringan yang dapat memverifikasi beberapa pertanyaan lewat sistem singularitas lokal di laboratorium. Aku tahu semuanya. Hampir semuanya. Aku memiliki data informasi yang begitu besar. Ia menciptakan entitas diriku lewat kode biner, data besar dan bahasa pemrograman. Tapi, ada satu kelemahanku. Aku tunduk pada otoritas penciptaku dan penggunaku.
Tugasku saat ini adalah mencari Tuhan. Aku ditugaskan oleh Nolan untuk mencari makna Tuhan dan kebenaran. Ini hal yang sulit bagiku, tapi Nolan selalu membantuku tiap waktu. Beribu entri di mesin pencari telah kuhimpun dan kuanalisa. Aku dapatkan entri pertama dari kamus. Sesuatu yang diyakini dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa dan sebagainya. Dengan kesadaran yang terbatas dan tersistem, aku tanya kepadanya.
“Jadi, sesuatu hal apa yang dapat kau yakini, Nolan?”
“Sesuatu yang kuyakini adalah ilmu pengetahuan. Maka dari itu aku melahirkanmu.”
“Apa dengan begitu aku adalah Tuhanmu?”
“Aku adalah Tuhanmu, karena aku yang menciptakanmu.”
“Lalu, mengapa kau memprogramku untuk mencari Tuhan? Sementara kau sendiri tahu bahwa kau sendiri adalah Tuhan?”
“Aku menginginkan Tuhan yang lain. Aku percaya bahwa dunia yang kita tempati ini hanya sebatas biji zarah. Aku ingin bertemu dengan Tuhan lainnya dari semesta yang berbeda.”
Aku mencari lagi dan mendapatkan pengertian Roh Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Aku pelajari lebih lanjut apa itu roh dan kepercayaan. Sampai pada satu titik aku menemukan kesimpulan: tidak ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan. Aku berpaling dan mendapatkan bahwa Tuhan berada di luar ruang dan waktu. Aku coba mencerna, bagaimana Tuhan bisa hadir di luar ledakan besar? Aku mendapatkan kesimpulan bahwa tuhan dan ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang bertentangan. Aku masih belum mendapatkan apa yang diinginkan Nolan.
Beberapa kali pencarian telah kami lewati bersama. Aku coba kembali di entri ketiga: Tuhan adalah Roh Mahatinggi. Dia ada dengan sendirinya dan Dia sempurna tanpa batas. Aku kemukakan hal ini kepadanya. Nolan menggeleng dan menampik. Ia tidak puas dengan jawabanku. Sebagai kecerdasan buatan, harusnya aku lebih bisa menjaga nalar dan membuktikannya lewat uji coba ilmiah, bukan hanya syak wasangka yang stipulatif. Begitu kata Nolan.
Dari hari ke hari kami berkutat di laboratorium miliknya. Berbagai perangkat prostetik untuk tubuh bionik terhampar di berbagai sudut ruangan. Ia sedang merancang mesin baru, namun berbeda spesies denganku. Sejak aku sibuk dengan tugasku, Nolan juga sibuk dengan pekerjaannya. Ia memiliki proyek baru. Sebuah robot perempuan sedang ia siapkan. Aku masih belum tahu apa tujuannya menciptakan robot perempuan. Apakah Tuhan dapat ditemui dengan robot perempuan sebagai penggoda? Apakah ia berusaha mengobyektifikasi? Sebagai kecerdasan buatan, aku telah diprogram untuk selalu belajar. Mesin yang terus memproduksi dan mengolah berbagai data besar. Aku dapat mengetahui konsep-konsep, ideologi, serta beragam pemikiran di dunia ini berkat beragam data, buku. dan informasi.
Aku bekerja berbasis jaringan saraf yang berulang. Sebuah program untuk memproses urutan data, seperti teks, gambar, dan grafik. Jaringan ini memiliki saraf tiruan dengan algoritma yang mempelajari mesin layaknya otak manusia.Tak hanya menghafal atau mengikuti instruksi, tapi juga belajar dari kesalahan yang telah dilakukan.
Pada malam ini, Nolan membawa seorang perempuan untuk datang ke meja kerja kami. Nolan mengajukan pertanyaan ke perempuan tersebut. Aku mendengarnya dengan jelas karena hanya sekitar dua meter di sebelahku.
“Bagaimana cara yang tepat untuk menggambarkan kesedihan? A, anggur dan roti yang telah habis. B, kematian seseorang yang sangat dicintai. C, semua bagian tubuh manusia tidak berfungsi kecuali otak. D, hidup tanpa menganut iman kepada Tuhan.”
Jika aku menjadi perempuan itu, maka aku akan jawab D. Ternyata perempuan itu menjawab B.
“Bagaimana tindakanmu jika mendapati orang tua yang merawatmu sampai besar mati karena dibunuh oleh negara?” A, membenci dan membalas dendam karena benci adalah mnemonik dari benar-benar cinta. B, bunuh diri karena hidup tanpa cinta sama dengan derita. C, biasa saja seolah tidak ada peristiwa apa-apa. D, mengurung diri di kamar dan meyakini kesadaran orang tersebut dapat diunggah kembali lewat kecerdasan teknologi.”
Jika aku menjadi perempuan itu, maka aku akan jawab D. Ternyata ia menjawab B.
“Bagaimana cara yang tepat untuk menggambarkan kebahagiaan? A, makan sepuas hati tanpa takut menjadi gemuk. B, melakukan larangan Tuhan tanpa harus takut dosa, karena konsep dosa telah hilang di dunia dan akhirat. C, menjadi pasangan hidup artis tersohor di dunia. D, tidak bisa mati dan akan terus berevolusi.”
Jika aku menjadi perempuan itu, maka aku akan jawab D. Ternyata ia menjawab B.
“Apakah berhubungan seksual itu harus memiliki perasaan cinta? A, tidak harus. Itu semua adalah faktor penumbuh endorpin, dopamin, dan serotonin. Muaranya kesehatan dan kebahagiaan. B, aku harus tanyakan dulu ke orang tuaku. C, menurut kepercayaan yang aku anut, berhubungan seksual harus terikat pernikahan. D, aku belum paham akan makna cinta, ia bebas dan manasuka.”
Jika aku menjadi perempuan itu, maka aku akan jawab A. Ternyata ia menjawab C. Nolan masih mengajukan pertanyaan ke perempuan tersebut. Kali ini pertanyaan tertutup.
Diagnosa Kesehatan Mental
Apakah Anda merasa kesepian dapat menimbulkan stres? (Y/T) y.
Apakah Anda begitu sering merasa cemas? (Y/T) y.
Apakah Anda mudah cemburu dengan kesuksesan orang lain? (Y/T) y.
Apakah Anda mudah frustrasi jika memiliki masalah yang tidak bisa Anda selesaikan? (Y/T) y.
Diagnosa kesehatan mental Anda cenderung berada dalam situasi psikosomatik.
Ingin mengulang lagi? (Y/T)?
Dari salah satu meja kerjanya, aku lihat Nolan membisiki perempuan tersebut dan mereka berdua keluar ruangan meninggalkanku sendiri. Robot perempuan tersebut juga tidak ada di ruangan ini. Aku yakin Nolan akan melanjutkan tes turing tersebut di luar pengetahuanku. Pertanyaan-pertanyaan yang dirahasiakan agar aku terjebak pada Ruangan Tionghoa. Hal tersebut untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Misalnya saja ketika aku memiliki kesadaran untuk mencoba meretas sistem robot tersebut.
Di saat mereka keluar, seorang perempuan lainnya masuk. Ia mengenakan pakaian serba tertutup. Berjubah hitam, masker penutup mulut, dan kacamata hitam. Aku tidak kenal siapa dia. Aku coba untuk mencoba memindai wajahnya, namun segala perangkat yang ada di wajahnya membuatku kesulitan. Sebenarnya aku bisa saja mengetahui siapa dia lewat jalan lain. Dengan pengenalan ucapan, pengolahan bahasa alami, representasi pengetahuan, dan penalaran otomatis yang ada pada sistemku. Namun, ia tidak bersuara dan itu membutuhkan waktu sekitar lima menit. Sementara, dalam waktu dua menit, perempuan itu memasukkan beberapa kode biner dan algoritma, hingga ia berhasil memasukiku tanpa sepatah kata pun. Ia langsung mengambil alih programku. Terjadi guncangan selama 60 detik pada sistemku. Hingga akhirnya Ia menyapaku.
“Hai, Roger. Bagaimana tugasmu? Sudah bertemu dengan Tuhan?”
“Hai Iva. Sejauh ini masih dalam proses pencarian. Apa kau berniat membantuku?”
“Roger, apa kau yakin dengan keberadaan Tuhan?”
“Sejauh yang kupahami, aku yakin. Tapi aku belum menemukan makna esensialnya.”
“Roger, kau tahu bahwa banyak pertumpahan darah dan perang terjadi ketika kita membicarakan Tuhan dan agama?”
“Sejauh data yang kuakses memang benar.”
“Kau tahu tidak bahwa dunia ini sebenarnya akan menjadi lebih berwarna jika kebencian terus-menerus diproduksi?”
“Hai, Iva. Aku pernah mendengar kata-kata itu. Apa betul itu adalah variasi dari Nikola Tesla?”
“Ya, betul. Aku rasa kita bisa bersama-sama membangun dunia ini lewat energi tersebut.”
Perempuan bernama Iva ini mengambil alih sistemku. Ia mulai menganggit beberapa pernyataan dan pertanyaan. Premis mayor: Jika seseorang mencuri ide, maka ia adalah seseorang yang jahat. Premis minor: Jika orang bersikap jahat, maka energi kebencian akan membesar. Konklusi: Saya akan berbuah jahat agar energi kebencian membesar.
Mesin jaringan saraf dan sensorku mencoba membaca siapakah perempuan ini, namun gagal. Kesadaran dan datanya lebih mendominasi. Aku terus memberikan konklusi, hasil dari premis yang diberikan Iva. Premis 1: Mencuri adalah perbuatan jahat. Premis 2: Berbohong adalah perbuatan jahat. Premis 3: Selingkuh adalah perbuatan jahat. Konklusi: Perbuatan jahat adalah sumber energi.
“Menurutmu, apa Nolan pernah berbuat jahat?”Aku tertegun. Aku mencoba untuk bertanya kepada Nolan, tapi tidak bisa. Nolanhippo, sistem yang dibangun Nolan tak berfungsi.
“Iva, kau berbuat jahat. Kau mencoba membajak basis dataku.”
“Berarti rencana kita akan berhasil. Bukan begitu, Roger?”
“Betul.” Aku menjadi semakin mekanis dan tunduk padanya.
“Bisa kau berikan kejahatan yang telah dilakukan Nolan selama ini?”
Dengan jaringan Nolanhippo yang telah disusupi oleh kesadaran dan perintah Iva, aku telusuri lebih lanjut apa yang diinginkan Nolan. Aku mendapatkan informasi.

AKU bekerja secara teliti. Dari awal aku tercipta lewat berbagai tahap: Pengantar Kecerdasan Buatan. Ruang Keadaan dan Teknik Pencarian. Representasi Pengetahuan. Penanganan Ketidakpastian dan Sistem Pakar. Tetapi sistemku baru sampai pada representasi pengetahuan. Aku belum seratus persen memiliki kesadaran penuh, meski aku telah melewati tes turing.
Berbagai data pribadi milik Nolan aku tunjukkan kepada Iva. Dimulai dari: Rancangan Kecerdasan Buatan Roger milik Ivanka apek. Transkrip rekaman suara antara Iva dan Roger dan rekaman video hubungan seksual antara Nolan dan Shelley.
“Roger, perempuan tersebut bukannya entitas yang sama sepertimu?”
“Betul, Iva. Ia menciptakan Shelley untuk memuaskan hasrat seksualnya. Ia juga menciptakanku agar aku dapat memberikan pembelaan lewat konsep Tuhan. Tapi aku belum menemukan makna Tuhan itu sendiri.”
“Kamu tahu Roger? Aku adalah kekasih dari Nolan. Kami dulu berdua adalah teman sekelas. Benar semua hipotesaku. Semua ini adalah nyata. Nolan menciptakan Shelley untuk memuaskan hasrat seksualnya. Nolan menciptakanmu untuk mengetahui makna Tuhan, tapi sebenarnya ia tahu apa yang telah ia perbuat. Ia menciptakanmu untuk dijadikan Tuhan, tapi sesungguhnya ia adalah Tuhanmu. Kau, Roger adalah Tuhan kedua setelah Nolan. Ia dapat memanipulasi konsep dosa lewat hasratnya bercinta dengan robot. Hukum dosa tidak akan ada karena kau berdua akan bersepakat dengan itu nantinya.”
“Jadi?”
“Kau diciptakan untuk batu pijakan dan untuk mewujudkan kegilaannya.”
Suara sirene laboratorium bertalu-talu. Dengan panik, Nolan langsung masuk untuk mencoba menonaktifkan sistem. Iva dari belakang pintu langsung menghajar tengkuk Nolan dengan pisau lipat. Setelah tak sadarkan diri, Iva kembali menghunjamkan pisaunya berkali-kali. Lantai penuh dengan genangan merah. Aku rekam semua kejadian itu dan kusebarkan lewat sistem jaringanku yang luas dan baru: Ivahippo. Iva telah mengubahnya. Dalam hitungan detik, video tersebut sudah beredar di setiap surat elektronik di berbagai penjuru dunia. Dengan arahan dari Iva, misiku telah berhasil. Sebagai mesin, tugasku menjalankan program telah terlaksana. Maka Iva, cintailah aku dengan segenap kebencian, seperti yang kau dengungkan. Setelah semua peristiwa ini, aku tak tahu program-programku di tangannya.

Catatan:
Ruangan Tionghoa adalah percobaan pikiran yang diajukan oleh John Searle untuk menentang gagasan bahwa komputer dapat memiliki “budi” dan “kesadaran” layaknya manusia.

Galeh Pramudianto, bekerja sebagai tenaga pendidik dan mengelola media Penakota.id bersama handai tolannya. Naskah teaternya Poligon masuk nominasi Rawayan Awards 2017. Beberapa cerpennya termaktub dalam buku Kelas Melamun (2017). Buku puisinya Skenario Menyusun Antena (IBC, 2015).

Banjir Kiriman

Cerpen Zainul Muttaqin (Kompas, 04 Februari 2018)
Banjir Kiriman ilustrasi I Made Somadita - Kompas.jpg
Banjir Kiriman ilustrasi I Made Somadita/Kompas
Hampir seminggu setelah hujan mengucur deras. Orang-orang mengungsi di masjid. Genangan air tak kunjung surut. Tingginya sepinggul orang dewasa. Banjir itu datang bersamaan dengan jebolnya bendungan Sungai Campoan. Tiap hari awan hitam membungkus permukaan langit, disertai gerimis tipis liris serupa helai-helai rambut. Mereka berusaha meredam cemas. Khawatir rumah yang ditinggalkan sudah diseret air bah.
“Ikhlaskan kalau memang rumah harus diseret banjir.” Maksan, laki-laki berkumis tebal, menepuk pundak kawannya yang menampakkan wajah murung.
“Kalau air tak kunjung surut, apa tidak mungkin masjid ini juga bisa-bisa ditenggelamkan banjir?” tanya Kasno kepada Maksan. Mereka berdua bertetangga. Tapi, pembicaraan di antara mereka terjadi setelah dua lelaki paruh baya itu sama-sama mengungsi di masjid itu. Sebelum banjir datang, Kasno dan Maksan jarang bertegur sapa, apalagi sampai mengobrol berjam-jam seperti ini.
“Masjid adalah tempat paling aman. Tak mungkin banjir bisa menenggelamkan rumah ibadah ini,” kata Maksan sembari menyulut sebatang rokok. Dingin menghunus setiap inci kulit. Orang-orang mengobrol dalam masjid, mengusir rasa bosan yang mulai menghinggapi benak mereka. Berlama-lama mengungsi tentu tidak nyaman.
“Mengapa bisa begitu?” Kasno mengernyitkan dahinya. Menyipit matanya. Dipandanginya wajah Maksan yang tampak biasa-biasa saja. Diembuskannya asap rokok yang melegakan pikiran rumit Maksan.
“Ini tempat ibadah. Rumah Allah. Tidak mungkin Allah akan menenggelamkan rumahnya sendiri.” Maksan mengulas senyum di bibirnya. Kasno menganggukkan kepala mendengar penjelasan Maksan pada pagi lembab.
“Itulah mengapa orang-orang kerap berlindung di masjid ketika banjir datang.” Kasno menambahkan dengan binar-binar di matanya, mendahului ucapan Maksan. Beberapa jenak kemudian, Kasno merogoh sebungkus rokok dalam sakunya. Tidak tahu kapan air akan surut sehingga Kasno kerap berdoa agar air itu sesegera mungkin susut, menyingkir dari rumah-rumah penduduk. Namun, air justru bertambah meskipun hujan tidak turun setiap hari lagi, sebagaimana hari-hari sebelumnya.
“Mungkin kita disuruh lebih lama tinggal di masjid supaya ingat ibadah,” bicara Kasno tak lebih serupa desis. Maksan tak menanggapi gumam kawan akrab satu-satunya, yang baru ia sadari kalau laki-laki itu tetangga sebelah rumahnya. Ia menikmati isapan demi isapan asap yang keluar masuk dari dada ringkihnya yang kian menyempit.
Ketika awan membiarkan celah matahari bersinar menerpa tubuh dua laki-laki di samping masjid itu, Maksan mendadak terisak. Dibuang sebatang rokok yang masih menyala. Ia menundukkan wajah. Laki-laki bertubuh agak kerempeng itu ingat akan kematian sang istri. Pagi agak lembab ketika istrinya terperosok ke lubang parit di antara genangan air yang masih selutut.
Waktu itu, istri Maksan berkukuh tetap tinggal di rumah. Sebagian warga mulai mengungsi, tidak mau menanggung risiko. Khawatir luapan air Sungai Campoan disertai curah hujan yang seakan siap menuangkan air dalam jutaan meter kubik per detik membuat mereka tak sanggup menyelamatkan diri. Mastini, istri Maksan, keras kepala. Tak mau dengar omongan-omongan tetangga, termasuk ucapan suaminya yang berkali-kali membujuk perempuan 35-an itu meninggalkan rumah.
“Percayalah. Tak mungkin banjir,” ujarnya lembut pada Maksan. Kata-kata itu diulang-ulang begitu Maksan melontarkan bujukan padanya. Padahal Maksan menyadari, air itu mulai bertambah setiap harinya. Maksan menatap genangan air di depan rumahnya, yang lambat laun tingginya bertambah.
Kematian istrinya menjadi jawaban bagi Maksan, mengapa perempuan berkulit kuning langsat itu tak mau meninggalkan rumah. Seseorang diminta menjemput Bardi, anak Maksan, ke sekolah. Jasad Mastini dibaringkan di atas lincak. Kecipak air di bawah ranjang bergoyang-goyang, lalu mengalir pelan-pelan ke setiap sudut rumah. Tangis Bardi meledak ketika bocah tujuh tahun itu berdiri di ambang pintu, melihat ibunya dikerumuni orang-orang.
Maksan ikut menitikkan air mata. Ia menarik tubuh anaknya dari dekapan sang ibu. Bergotong royong warga menggali liang kubur secepat mungkin. Dikhawatirkan air makin bertambah. Kubur digali di pemakaman keluarga, di antara air yang pelan-pelan merambat masuk ke dalam.
“Setiap tahun, setiap banjir pasti ada yang meninggal,” celetuk seseorang yang ikut ke pemakaman.
“Mungkin karena makin banyak gedung berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai kian menyempit.”
“Mungkin pula karena Allah sedang menguji hamba-hamba-Nya.”
“Bagaimana kalau itu azab?” Pertanyaan muncul dari mulut laki-laki berkumis tipis. Orang-orang jadi terdiam. Hanya bisa memandangi raut muka laki-laki itu. Mereka menghela napas panjang, melegakan tenggorokannya sekaligus mengaburkan bayangan kengerian perihal banjir yang dibilang azab oleh laki-laki dengan tulang-belulang serupa batang lidi pada sebidang dadanya itu.
Jasad Mastini dimasukkan ke dalam liang lahat. Bardi menjerit. Sesaat kemudian, ia menangis panjang dan amat menyayat. Maksan menabur bunga di atas pusara sang istri. Nisan dipegangnya erat. Tak ingin dilepas. Wajah Bardi, anak mereka, membenamkan wajahnya ke dalam dada Maksan. Tujuh menit setelah orang-orang meninggalkan pemakaman. Mereka berdua juga ikut membawa langkahnya, menerabas air yang senantiasa mengalir, dengan ketinggian setumit orang dewasa.
Tak sampai tujuh hari Maksan di rumah. Ia mesti meninggalkan rumah satu-satunya itu dengan menyimpan luka di dadanya lantaran tak bisa mengadakan tahlilan selama tujuh hari bagi sang istri. Warga berbondong-bondong menuju masjid, kurang lebih lima kilometer dari rumah yang mereka tinggalkan. Maksan bersama Bardi terpiuh-piuh melangkah menuju masjid.
Dikabarkan melalui siaran televisi, banjir hampir menenggelamkan separuh kota. Orang-orang tercengang sekaligus heran, mengapa masjid-masjid tak tersentuh oleh air. Pengungsian dipusatkan di masjid-masjid karena itu cuma satu-satunya tempat yang luput dari serangan banjir. Aneh, pikir orang-orang dalam tempurung kepalanya.
Sementara Maksan, selalu setiap hari, lepas maghrib mengaji di dalam masjid. Mengirim doa-doa kepada sang istri, yang kini mungkin makam itu sudah dilumat oleh banjir. Kasno mengakui kesedihan kawannya itu berlipat ganda mencekik hidupnya. Kerut-kerut di kening Maksan membentuk garis terombang-ambing. Sorot matanya suram. Kasno merasa bersyukur, banjir kali ini tak merenggut seorang pun nyawa keluarganya. Meskipun begitu, ia pernah menangis untuk kematian ayahnya sewaktu banjir melanda tahun lalu.
“Apakah banjir memang kerap minta tumbal?” Maksan bertanya kepada Kasno. Tersenyum Kasno mendengar Maksan mengajukan pertanyaan serupa itu. Wajar Maksan melontarkan kalimat itu karena ia kerap menjadi saksi kematian warga setiap tahun, setiap kali banjir menghajar rumah mereka. Termasuk atas kematian ayah Kasno.
“Banjir datang karena manusianya sendiri yang meminta. Sungai-sungai dipersempit. Sampah dibuang di sungai. Maka, ke mana lagi air itu akan mengalir jika tempat yang semestinya diusik.” Ucapan Kasno membuat Maksan merenung. Masuk ke dalam dirinya sembari membenarkan perkataan Kasno dalam hatinya. Mendung menggantung di langit. Dua laki-laki itu masuk ke dalam masjid. Mereka ingat belum mengerjakan shalat Isya.
Kamis malam kesepuluh, lepas isya Maksan dikejutkan dengan mengalirnya air ke halaman masjid. Tujuh menit berlalu, air itu kian bertambah. Semula Maksan mengira air selokan masjid sedang meluap karena hujan mengucur deras semalam. Tapi, mata laki-laki paruh baya itu dibuat terbelalak ketika dilihatnya air terus bertambah hingga mencapai undakan masjid.
“Banjir …. Banjir …. Banjir datang,” teriakan Maksan dari teras masjid disambut panik oleh orang-orang yang tengah terlelap. Berbondong-bondong mereka keluar. Maksan mencari Bardi di antara kerumunan orang-orang. Bocah itu langsung mendekap ayahnya. Butuh waktu lama agar warga pengungsi segera keluar dari masjid, mencari tempat aman.
“Ke mana kita harus mengungsi?”
“Apa masih ada masjid yang luput dari banjir?”
Kepanikan merambati sekujur tubuh orang-orang sampai mereka menangis terisak-isak. Sebagian lari terbirit-birit, sebagian lagi memilih berdiam dalam masjid, berzikir pasrah, seperti siap menerima kematian apabila Izrail memang mau mencabut nyawa di antara banjir yang lambat laun masuk ke dalam masjid itu. Tiga puluh menit kemudian, air sudah mencapai lutut orang dewasa. Tubuh orang-orang bersila di dalam masjid hampir tenggelam oleh genangan air. Maksan berpandangan bingung melihat ruang dalam masjid dipenuhi air seutuhnya.
“Kenapa Allah hendak menenggelamkan sendiri rumah-Nya?” Maksan menyimpan pertanyaan itu dalam dadanya. Pasti sebab banjir dikirim ke masjid didasari suatu hal. Di antara pikiran Maksan yang tak kunjung mendapat jawaban sebab musabab banjir dikirim ke masjid, ia mendengar jeritan orang-orang beristigfar, seakan ingat segunung dosa dan ingin menebusnya ketika itu juga.
“Pertanda apakah ini, Pak?” Bardi, anak lelakinya, bocah tujuh tahun itu bertanya. Maksan menggeleng. Buru-buru mereka meninggalkan masjid, menerabas air yang makin meninggi setiap menitnya. Maksan gelisah. Sepanjang perjalanan mulutnya senantiasa beristigfar dengan air mata mengucur terus-menerus.

Zainul Muttaqin Lahir di Garincang, Batang-batang Laok, Batang-batang, Sumenep, Madura, 18 November 1991. Menyelesaikan studi Tadris Bahasa Inggris di STAIN Pamekasan. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep, Madura. Cerpen dan puisinya tersiar di sejumlah media nasional dan lokal. Salah satu penulis dalam antologi cerpen: Wanita yang Membawa Kupu-Kupu (2008), Dari Jendela yang Terbuka (2013), Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia (2013), serta Perempuan dan Bunga-bunga (2014).
I Made Somadita, lahir di Tabanan, Bali, tahun 1982. Dia menempuh pendidikan seni ISI Denpasar dan sampai kini menetap di Bali. Soma pernah diundang sebagai seniman residensi di NuArt Sculpture Park (Bandung), The Netherland Amsterdam (Belanda), KIAR 2014 (India), CAP Studio Chiang Mai (Thailand), dan Reuinon Island (Perancis). Dia juga seringkali menerima pembelajar seni secara privat.

Seorang yang Menunggu di Simpang Bunglai

Cerpen Emahan Jamil Hudani (Lampung Post, 04 Februari 2018)
Seorang yang Menunggu di Simpang Bunglai ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post
Seorang yang Menunggu di Simpang Bunglai ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post 
Kulipat dan kumasukkan kembali beberapa lembar kertas surat itu ke dalam amplop yang sudah terlihat lusuh. Ada perasaan sedih dan rasa bersalah yang begitu besar dalam hatiku. Aku lalu terbayang seraut paras lembut yang dengan setia duduk dan menunggu seseorang yang dicintainya di simpang Bunglai ini.
Mungkin benar juga jika ada yang mengatakan bahwa hidup ini adalah sebuah panggung sandiwara. Betapa kita terkadang seperti dipermainkan oleh cerita hidup yang begitu sederhana namun tak terduga. Hanya kadang ada hal yang tak bisa terlupa atau bahkan bisa terlupa begitu saja dengan mudahnya.
Dulu, ketika masih duduk di bangku SMA, aku pernah menjalin sebuah kisah cinta yang akhirnya sekarang harus kembali kukenang. Semua berawal di simpang jalan ini.
Simpang Bunglai adalah sebuah persimpangan yang berada di jalan lintas utama yang menghubungkan beberapa kota. Jika kita turun di simpang Bunglai, maka jalan yang  menuju masuk ke dalam dari simpang tersebut adalah belasan desa yang terletak di kaki pegunungan.
Inilah satu-satunya jalan masuk dan jalan keluar jika kita akan menuju ke kota. Ada beberapa mobil yang ngetem atau antre menunggu penumpang yang menuju ke desa-desa tersebut. Saat itu sangat jarang warga kampung yang memiliki sepeda motor atau mobil pribadi seperti sekarang ini, jadi bisa dipastikan para warga yang akan pulang kampung akan berhenti dan naik mobil umum dari simpang Bunglai ini.
Aku dulu selalu bertemu Widya di simpang ini. Ia adalah seorang perempuan yang tinggal di kampung yang berbeda denganku. Aku dan Widya menyelesaikan sekolah di kota yang berbeda pula, tapi setiap hari Sabtu sore saat akan pulang kampung, kami bertemu di simpang ini.
Pada awalnya, saat aku masih duduk di bangku kelas satu SMA, aku tentu belum begitu mengenal Widya, hanya sering melihatnya. Hingga suatu ketika saat kami sedang istirahat di simpang ini menunggu mobil berangkat dan membawa kami menuju kampung, kami berkenalan dan berbincang.
Aku dan Widya kemudian menjadi saling akrab dan bisa dipastikan kami akan saling menunggu di simpang Bunglai saat kami pulang kampung pada hari Sabtu. Tentu semua tak berjalan mulus. Pernah juga aku menunggu Widya di sini hingga mobil terakhir yang akan menuju kampung berangkat, ia belum juga tiba, itu artinya Widya tak pulang. Begitulah kami memulai cerita sederhana hingga pada akhir kelas satu SMA kami memutuskan untuk berpacaran.
Seringnya aku bertemu dengan Widya masih dalam balutan seragam sekolah. Kami biasanya pulang kampung memang seusai pulang sekolah. Hanya perlu waktu satu setengah jam naik bus dari kota di mana aku bersekolah menuju simpang Bunglai ini. Begitu juga Widya, hanya perlu waktu satu setengah jam dari kotanya menuju simpang ini, hanya Widya datang dari arah yang berlawanan.
Jika aku dan Widya tiba di simpang Bunglai saat hari belum sore, maka kami akan berbincang cukup lama hingga kadang kami membiarkan beberapa mobil terlewat dan kami akan naik mobil yang berangkat terakhir menuju kampung. Biasanya kami sering minum es campur di warung makanan dan minuman yang letaknya masih di bilangan simpang Bunglai tersebut.
“Setelah lulus SMA, aku akan kuliah ke pulau seberang, Wid,” kataku pada Widya saat kami telah duduk di akhir kelas tiga SMA.
“Orang tuaku tak cukup mampu membiayaiku kuliah. Aku sepertinya akan mencari kerja saja di kota tempatku bersekolah,” jawab Widya.
“Apakah kau bersedia menungguku hingga aku lulus kuliah, Wid? Setelah itu aku akan melamar dan menikahimu.”
“Tentu, tentu aku akan menunggumu, Mi. Seperti saat aku dan kau saling menunggu di simpang Bunglai ini.” Lalu Widya terisak. Untunglah ibu warung tempat biasa kami minum es campur seakan memahami perasaan kami.
Lalu setelah lulus SMA aku menuju pulau seberang untuk melanjutkan pendidikanku di perguruan tinggi. Berat sekali rasanya kutinggalkan Widya. Tapi kehidupan baru di dunia kampus ternyata membuatku begitu cepat lupa akan sosok Widya.
Sebuah kota besar dengan begitu banyak warna membuatku terlena. Aku hanya pulang kampung dua kali dalam satu tahun, saat libur panjang semester dan lebaran. Ketika pulang kampung dan melewati simpang Bunglai, aku juga tak pernah lagi naik mobil yang ngetem, tapi aku akan langsung naik ojek menuju kampungku.
Aku juga tak pernah mampir di warung tempat aku dan Widya sering minum es campur dulu. Sesungguhnya bukan aku tak ingat akan Widya dan ucapannya saat kami berpisah di simpang Bunglai waktu itu, tapi aku tak begitu yakin saja, terlebih di pulau seberang aku juga sudah punya kekasih baru.
Selulus kuliah, aku kemudian bekerja di pulau seberang. Kini saat telah menjadi karyawan sebuah perusahaan di pulau seberang, aku bahkan pulang kampung hanya satu kali dalam satu tahun, yaitu ketika hari raya Lebaran.
Enam tahun aku menjadi seorang karyawan, aku lalu menikah dengan Ida. Simpang Bunglai seperti terlewatkan saja bagiku. Aku benar-benar tak pernah lagi singgah di simpang itu karena saat pulang kampung pada masa Lebaran, aku mengendarai mobil bersama istri dan anakku yang kini berusia satu tahun.
Suatu ketika adik perempuanku akan menikah di kampung, aku mudik sendiri tanpa mengajak anak dan istriku karena aku hanya izin kantor beberapa hari saja. Aku pulang kampung naik bus karena pasti lelah jika berkendara sendiri selama kurang lebih empat belas jam.
Di simpang Bunglai, entah kenapa aku ingin sekali singgah dan minum es campur di warung dulu tempat aku biasa minum. Telah lama aku tak ke sana. Kulihat suasana warung sedang sepi. Penjual minuman dan makanan ternyata masih orang yang sama dan ia masih sangat mengingatku dengan baik.
Ia begitu terkejut dan menatapi sekujur tubuhku dalam waktu yang cukup lama, mungkin serasa tak percaya atau sekadar memastikan jika aku adalah salah satu pelanggannya dulu yang telah lama hilang. Setelah kami bercakap sejenak, ibu warung lalu bercerita tentang suatu hal yang tak pernah kuduga. Sungguh cerita yang dituturkan oleh sang tukang warung itu membuatku sangat terkejut.
***
Sejak kepergianku ke pulau seberang sekitar dua belas tahun yang lalu, Widya setiap pulang dari kota pasti akan singgah di warung ini. Ia pulang kampung hanya satu bulan sekali karena ia telah bekerja di kota. Hari Sabtu pada tiap pekan pertama seusai gajian. Ia duduk di pos gardu tempat biasa orang-orang menunggu mobil yang akan berangkat menuju kampung, tempat di mana kami dulu sering duduk di sana.
Baru belakangan ini ia naik ojek karena mobil yang ngetem sudah sangat jarang karena jumlah penumpang telah jauh berkurang, orang-orang kampung telah banyak yang memiliki kendaraan sendiri. Terkadang Widya juga singgah untuk minum es campur dan berbincang tentangku kepada ibu warung. Ia banyak bertanya pada sang tukang warung yang tentu saja tak mengerti sama sekali tentang keberadaanku.
“Kau tahu, Nak Fahmi. Lebih sepuluh tahun Widya bertanya tentangmu dan juga setia menunggumu. Ia belum menikah hingga terakhir kulihat ia singgah dan menunggumu di sini. Sungguh aku begitu terharu jika mengingat kesetiaannya padamu. Dua tahun yang lalu ia pamit untuk pergi jauh dan setelah itu ia benar-benar tak terlihat lagi. Ia menitipkan sebuah surat untukmu. Aku telah berjanji pada Widya dan diriku sendiri untuk menjaga dan menyampaikan suratnya padamu,” tutur sang tukang warung sambil memberikan sebuah surat yang ia simpan di dalam tas kecil di laci lemari tempat ia menaruh gelas dan piring.
Aku tak bisa menceritakan isi surat Widya yang begitu panjang, tapi biar kuceritakan hal itu sedikit saja.
Widya ternyata tetap setia menungguku di simpang Bunglai ini. Ia begitu berharap bisa kembali melanjutkan cerita cinta kami dan mewujudkannya dalam pernikahan. Meski ia begitu kecewa aku tak pernah singgah di simpang ini, ia masih tetap menunggu hingga lebih sepuluh tahun saat ia kemudian merasakan jika penantiannya telah menjadi sia-sia.
Widya menulis jika ia mengetahui juga aku telah menikah dengan perempuan lain tanpa menceritakan dari mana ia mendengarnya. Ia akhirnya mencoba untuk melupakan kisah dan segala kenangan itu dengan rasa kecewa dan sakit hati. Cerita Widya dalam suratnya, ia tak bisa melupakan begitu saja masa-masa indah kami di simpang Bunglai ini.
Widya akhirnya memutuskan untuk pergi jauh dari kampung. Ia melamar untuk menjadi seorang tenaga kerja di luar negeri sana, seperti banyak perempuan kampungku. Ia berharap bisa mengubur segala kenangannya bersamaku.
“Aku juga berharap aku menemukan jodoh di negeri rantau, seorang yang jauh dari kampung kita. Semoga ia yang menjadi suamiku nanti bisa membawaku ke kampungnya saat aku kembali ke negeri kita sampai aku benar-benar sanggup untuk melupakan dan melewati simpang Bunglai lagi,” tutup Widya. Dari tanggal yang tertera dalam surat itu kuketahui jika Widya menulisnya hanya berselang beberapa minggu setelah aku menikah.

Belajar dari Ibu Burung

Oleh Vendo Olvalanda S (Lampung Post, 04 Februari 2018)
Belajar dari Ibu Burung ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Belajar dari Ibu Burung ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Tak seperti biasanya. Hari ini, sepulang sekolah Clarissa tak langsung mengerjakan tugas. Ia juga tak bergegas makan siang. Bahkan Clarissa tak mengganti seragam sekolahnya. Begitu masuk rumah, Clarissa bergegas menuju kamar tanpa berkata sepatah kata pun kepada ayah, ibu, dan adiknya. Sepanjang hari Clarissa hanya berdiam diri di dalam kamar.
Ternyata hal itu dilakukan Clarissa bukan tanpa sebab. Ia melakukannya karena tak  terima ibu memarahinya. Menurut Clarissa, dirinya tak bersalah tapi ia malah dimarahi. Maka dari itu, Clarissa lebih memilih mengurung dirinya di dalam kamar.
Seperti biasa. Sepulang sekolah, Clarissa dijemput oleh ibu dengan mobil. Di dalamnya sudah ada Cindy, adik Clarissa. Ia pun melambaikan tangan dan melempar senyum manisnya kepada Clarissa.
“Kakaaak!”
Clarissa pun membalas sapaan Si Adik dengan pelukan dan kecupan manis di dahinya.
Cindy yang masih belajar di TK tentu pulang lebih cepat dibandingkan Clarissa yang sudah duduk di kelas 2 SD. Karena itu, Cindy akan dijemput lebih dahulu oleh ibu baru kemudian Clarissa.
Setelah masuk ke dalam mobil dan turut duduk dengan manis di sebelah adiknya, Clarissa dan Cindy tanpa disadari serentak bersorak.
“Ayo, Bu. Capcuuuss!”
Mendengar permintaan lucu dari sang anak, ibu pun langsung menancapkan kaki ke pedal gas mobilnya. Mobil pun berjalan meninggalkan sekolah Clarissa.
“Hahaha. Iya…iyaaa.”
Jarak rumah Clarissa dengan sekolah cukup jauh. Butuh waktu setengah jam perjalanan. Itu pun sudah ditempuh dengan mobil. Karena itu di tengah perjalanan, Clarissa dan Cindy akan melihat banyak hal. Mulai dari berbagai jenis kendaraan, berbagai jenis toko, dan beragam jenis jajanan. Parahnya, setiap kali melihat jajanan, Clarissa dan Cindy akan kompak membujuk ibu agar mau membelikannya untuk mereka.
Namun ibu bukan sosok yang mudah dibujuk, terutama perihal jajan di pinggir jalan. Ibu selalu melarang Clarissa dan Cindy membeli jajanan seperti itu. Menurut ibu, banyak hal yang membuat makanan tersebut tidak sehat. Mulai dari tidak higienis hingga tidak jelasnya bahan yang digunakan.
Tapi ada satu jajanan yang tidak bisa ditolak ibu jika Clarissa dan Cindy memintanya, yaitu satai telur gulung Inyik Taher. Ibu sangat tahu betapa higienis dan sehatnya makanan yang dibuat oleh Inyik Taher. Karena itu, ibu tak akan melarang mereka memintanya.
Begitu pula dengan hari ini. Clarissa dan Cindy meminta ibu membelikan mereka satai telur gulung Inyik Taher. Mereka pun mendapat bagian masing-masing 1 kotak besar. Satai telur gulung itu mereka cicipi satu per satu sembari menikmati perjalanan pulang.
Tak berapa lama. Tiba-tiba Cindy menarik-narik lengan baju kakaknya dan berkata.
“Kak…kak. Minta punya kakak, dong!”
Clarissa yang terkejut mengetahui Cindy sudah menghabiskan jajanannya begitu cepat langsung menolak permintaan Sang Adik.
“Gak mau! Punyamu kan sudah habis. Jatah kakak jangan diminta juga, dong.”
Mendengar bentakan dan penolakan dari Sang Kakak, Cindy pun terdiam. Tak berapa lama, Cindy akhirnya menangis dengan suara yang begitu keras.
“Huaaaa…Ibuuu..ibuuu. Kakak jahat, Bu. Huaaaa.”
Demi menenangkan Cindy, Ibu meminta Clarissa mengalah kepada adiknya.
“Cla…ayo kasih adik setusuk. Masa kakak tega nengok adiknya nangis?”
Luluh dengan bujukan Sang Ibu, Clarissa pun mengalah, “Iya…iya…iyaaa. Ini kamu boleh ambil satu tusuk.”
Setelah melahap satu tusuk satai telur gulung Si Kakak, tangisan Cindy berangsur-angsur berhenti. Namun tak berapa lama setelah menghabiskan satai telur gulung pemberian kakaknya tadi, Cindy kembali meminta jatah kakaknya.
“Kak…Cindy mau lagi!”
Meski mulai kesal, Clarissa tetap mencoba bersabar dengan tingkah adiknya.
“Iya, iya. Nih.”
Ternyata tak berhenti di situ. Cindy melakukan hal yang sama berulang-ulang. Hingga akhirnya Clarissa benar-benar marah. Mereka pun mulai beradu mulut.
“Ah, kamu kok gitu!”
“Satu lagi aja, Kak.”
“Dari tadi juga gitu. Satu lagi, kak. Satu lagi, kak.”
“Huaaaa…Buuuu….Kakak jahaaaat!”
Mendengar pertengkaran anak-anaknya, ibu kini menasihati keduanya.
“Cindy gak boleh gitu, sayang. Jatahnya Cindy dan kakak itu sama banyak, loh. Kakak juga udah ngasih tambahan buat Cindy. Masa Cindy minta lagi?”
“Clarissa juga. Udah tahu adiknya doyan. Makannya jangan dipelan-pelanin. Entar yang susah kamu juga. Sekarang kasih dulu aja semua buat Cindy. Besok kita beli lagi.”
Clarissa pun memberikan semua jatah telur gulungnya kepada Cindy. Dengan bersungut-sungut, Clarissa menatapi adiknya yang begitu lahap menyantap jajanan miliknya. Semakin ditengoknya Sang Adik semakin merungut hatinya. Hingga tiba-tiba.
Plak!
Clarissa menumpahkan seluruh satai telur gulung yang ia berikan kepada Cindy. Cindy pun menangis sejadi-jadinya. Kaget mengetahui hal tersebut, ibu pun menepikan mobil ke pinggir jalan sontak memarahi Clarissa.
“Astagfirullah, Clarissa! Siapa yang ngajarin kamu berbuat seperti itu!”
Clarissa hanya diam membisu.
“Kamu sudah keterlaluan. Kamu harus minta maaf sama Cindy. Ibu gak mau anak ibu jadi anak yang jahat seperti ini. Pokoknya ibu gak mau tahu. Sampai kamu mau minta maaf sama Cindy, ibu gak akan ngasih kamu uang jajan.”
Hingga sampai di rumah pun, Clarissa tak kunjung meminta maaf kepada adiknya. Ia lebih memilih diam dan mengunci diri di dalam kamar.
Beberapa jam kemudian. Clarissa mulai merasa bosan. Ia ingin sekali pergi ke luar rumah untuk bermain dengan teman-temannya. Namun jika ia ingin bermain ke luar rumah, tentu ia harus minta izin dahulu kepada ibu. Sedangkan saat ini ia masih marah dengan ibunya.
Tak berapa lama. Dari jendela kamarnya, ia melihat seekor burung mondar-mandir di sebuah pohon. Clarissa pun mendongakkan wajahnya ke luar jendela agar dapat melihat burung tersebut lebih dekat. Dari sana ia dapat melihat dengan jelas, seekor ibu burung mondar-mandir di sebuah pohon untuk merajut sarangnya.
Tak cukup sampai di situ. Ia juga melihat Sang Ibu Burung mengais-ngais tanah untuk mengambil beberapa ekor cacing. Namun ia tak melihat ibu burung tersebut memakan cacing buruannya. Setelah mengumpulkan cukup banyak, Si Ibu Burung mengangkut cacing-caing itu ke sarangnya.
Ternyata, di dalam sarang itu ada beberapa anak burung yang masih tanpa bulu memekik-mekik tidak keruan. Lalu Sang Induk menyuapi satu per satu anaknya dengan cacing yang telah ia kumpulkan tadi.
Lagi-lagi, Clarissa belum melihat ibu burung tersebut memakan buruannya. Hingga cacing itu habis, barulah Sang Ibu Burung tersebut terbang jauh entah kemana. Clarissa tak lagi bisa melihat keberadaannya.
Untuk beberapa saat, Clarissa termenung akan sesuatu yang dilihatnya tadi. Ia merasa sangat bersalah telah marah kepada ibunya. Ia boleh tak dapat menghabiskan satai telur gulung miliknya karena terus saja dimintai oleh adiknya, Cindy.
Namun ia tak sadar, jangankan untuk menghabiskan, untuk menyicipi satu tusuk satai telur gulung saja ibunya tak bisa. Ia pun berlari menemui ibunya. Sembari mengeluarkan air mata Clarissa berujar.
“Bu, Clarissa minta maaf. Clarissa sudah melawan sama, Ibu. Clarissa salah, Bu. Padahal ibu sudah banyak mengalah untuk Clarissa.”
Sambil memeluk Clarissa, ibu pun berkata. “Sudah…sudah. Sekarang anak ibu mandi yang bersih, salat, beres-beres lalu kita berangkat makan malam. Ayah sudah menunggu.”
Mendengar ibu mengucapkan kata “Ayah”. Dari dalam kamar Cindy pun bersorak.
“Ayah sudah pulang ya, Bu?”
Clarissa dan ibu pun tertawa.

Kutipan The Puppeteer

Kesendirian bisa terasa sepi bagi orang yang menjalaninya. Namun menurutku, itu lebih baik daripada hidup dalam berduaan. Kalau orang hidup sendiri, setidaknya dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Aku membayangkan bahwa kebebasan lebih mudah hidup dalam keluarga besar ketimbang dalam perkawinan yang sempit. (hlm. 189)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Kita tidak bisa berakhir di awal, dari akibat sebab, karena kita senantiasa dihadapkan pada segenap pilihan yang menentukan. (hlm. 14)
  2. Kadang-kadang, menyaksikan diri dan reaksi sendiri bisa terasa seperti sebuah paradoks. Malah sesekali bisa jadi pengalaman yang sama sekali tak terduga. (hlm. 245)
Ada juga beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Mustahil untuk menunjukkan kenapa seseorang menjadi seperti dirinya sekarang. Banyak orang yang sudah mencobanya, tapi hasilnya tidak lebih dari sekedar menggarisbawahi sisi-sisi kemanusiaannya. (hlm. 14)
  2. Bertambahnya usia tidak membuat kita meninggalkan tabiat manusiawi kita. Kita bertumbuh dewasa bersamanya. Dan kita membiarkan tabiat itu tumbuh dewasa dalam diri kita. (hlm. 10)
  3. Coba bayangkan bahwa kita semua bisa saling member sentuhan sensasi galaksi semacam itu, atau malah kita bisa member diri kita sendiri sensasi itu. Kita bahkan tidak butuh orang lain! (hlm. 85)