Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Orang-orang hebat tak pernah mendapat cobaan yang ringan. Justru
dengan peristiwa-peristiwa yang menguras tenaga dan air mata, manusia
jadi tahu dia punya kekuatan yang selama mungkin tak pernah disadari.
(hlm. 190-191)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
Manusia, sekuat apa pun, pada akhirnya membutuhkannya tempat
bersandar. Dan hanya Tuhan yang menjadi jawaban sempurna. Dunia yang
serba menyilaukan ini di suatu ketika akan menjadi membosankan dan
melelahkan juga. (hlm. 191)
Cinta itu memberikan banyak sekali kebahagiaan dalam hidup. (hlm. 191)
Manusia selalu berubah. (hlm. 227)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
Cinta membuat orang bisa melakukan hal-hal yang rasanya tak masuk akal. (hlm. 2)
Kita tidak bisa memutuskan pertunangan dengan seseorang tanpa memberi penjelasan yang masuk akal. (hlm. 8)
Kenapa kau tidak memberi waktu lagi pada kita berdua? Siapa tahu ada perubahan. (hlm. 18)
Jangan nekat mendatangi laki-laki yang sedang mabuk. (hlm. 47)
Kau butuh permintaan maafku untuk menghilangkan perasaan tersinggungmu? (hlm. 49)
Zaman sekarang, angka kejahatan begitu tinggi. Orang bisa punya cara kreatif untuk menjahati orang lain. (hlm. 51)
Tidak semua masalah dipicu orang ketiga. (hlm. 64)
Manusia baik atau bukan, bukan ditentukan agamanya. (hlm. 71)
Jangan bicara omong kosong tentang takdir. (hlm. 79)
Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan hanya dari apa yang tampak sekilas. (hlm. 89)
Selalu ada orang sinting yang berbuat seenaknya di dunia ini. (hlm. 93)
Seharusnya kau tidak keluyuran kalau memang sedang sakit. (hlm. 101)
Kenyataan memang kadang jauh lebih mengejutkan dibandingkan bayangan yang ada di kepala. (hlm. 154)
Pacaran tak selalu berarti saling cinta. Ada banyak aspek. (hlm. 170)
Perempuan selalu menyukai kerumitan. Apa yang diucapkan tak selalu menunjukkan yang diinginkan. (hlm. 197)
Jangan ikut campur urusan pribadi orang lain. (hlm. 243)
Cerpen Zul Adrian Azizam (Rakyat Sumbar, 18 November 2017) Taraju ilustrasi Google
RERUMPUTAN bergoyang ke sana ke mari mengikuti semilir angin. Saat
itu angin berembus dengan sangat lembut. Tidak terlalu kencang ataupun
pelan. Sehingga menjadi teman berharga bagi anak-anak lapangan. Bukan
untuk bermain bola melainkan mencoba menerbangkan sesuatu mengangkasa,
bisa jadi itu angan ataupun mimpi. Kondisi angin yang demikian membuat
sesuatu itu menjadi lebih cepat mengangkasa tanpa harus berputar-putar
dulu kemudian menukik dan kembali naik hingga jatuh menyentuh tanah.
***
Senti demi senti Andri memerhatikan batang bambu yang sepertinya
sudah tua. Batang tersebut tepat berada di depan rumahnya. Dia mencoba
membayangkan sesuatu dari sebatang bambu itu. Mencoba merenung dan
memerhatikan. Tiba-tiba matanya tak sengaja beralih ke langit. Tampak
sebuah layang-layang mengudara begitu indahnya, dengan lenggokannya yang
sungguh menawan.
Saat itu juga ide menghampiri pikirannya yaitu membuat layang-layang.
Belum pernah sebelumnya ia membuat itu tapi pernah membaca tata cara
membuatnya di buku pelajaran sekolah dan beberapa kali melihat kakeknya
membuat itu untuk dijual. Dulu kakek memang penjual layang-layang di
saat barang itu menjadi primadona bagi anak-anak. Tidak sekarang.
Sekarang anak-anak tidak lagi terlalu meminati bermain di lapangan;
untuk menerbangkan layangan atau bermain sepak bola. Tempat seperti warnet (warung internet) lebih diminati untuk browsing, game online,
dan apa pun itu. Mungkin mengikuti perkembangan zaman yang serba
teknologi bahkan sepak bola sudah bisa dimainkan di gedget tanpa harus
berpanas-panasan. Sudahlah, itu perkembangan zaman, kembali ke cerita
layang-layang kakek.
Layang-layang yang dibuat kakek dulu sangat digemari oleh anak-anak
di masanya. Berbagai macam dibuatnya ada layang darek, layang maco–entah
dari mana asal muasal nama itu, yang bentuknya berbeda-beda. Anak-anak
sering memainkan layang maco karena bentuknya yang kecil seperti ketupat
dan aman dimainkan anak-anak karena tekanan anginnya tidak terlalu
besar. Sedangkan layang darek banyak dimainkan oleh anak remaja hingga
orang dewasa karena bentuknya yang cukup besar dan membutuhkan keahlian
khusus untuk menerbangkannya.
Andri melihat layang darek di atas sana sehingga juga ingin membuat
layangan seperti itu. Tidak terlalu besarlah buat dia yang sudah kelas
XI atau dua SMA. Diambilnya parang ke dapur rumahnya dan ditebasnya
sebatang bambu yang dirasanya cukup untuk membuat sebuah layang-layang.
Kemudian dipotong-potongnya bambu tersebut dan dibuat seperti lidi-lidi
yang tipis tapi kuat. Kakeknya hanya melihat dari balik jendela.
Andri masih aman dengan ingatan cara membuat layang-layang. Sampai
akhirnya dia mengalami kesulitan dalam menyatukan lidi-lidi dari bambu
itu dengan benang. Merasa sudah tidak mampu dia pun langsung memanggil
kakek untuk meminta bantuannya.
“Angku, bagaimana cara mengikat lidi-lidi bambu ini menjadi
layang-layang,” tanya Andri pada kakeknya yang biasa dipanggil Angku
Kakeknya masih terdiam dan terlihat dia sedang tertawa kecil. Andri
tidak tahu apa yang diketawakan oleh kakeknya.
“An, kamu sudah kelas XI tapi masih saja belum bisa membuat
layang-layang. Angku dari kelas 2 SD sudah bisa membuatnya,” ucap kakek
pada Andri sembri mengusap kepala sang cucu.
Seketika, Andri tertunduk dan terdiam seribu bahasa. Tak ada
pembelaan yang ingin dilakukannya. Tidak seperti biasanya yang mempunyai
seribu alasan ketika dia merasa tersudut atau disalahkan.
“Tidak apa-apa, An. Angku salut padamu. Di luar sana tidak banyak
yang ingin memainkan ini lagi apalagi membuatnya. Tapi kamu masih
berusaha untuk menyelesaikannya sendiri,” puji kakeknya.
Sontak, setelah mendengar penjelasan kakeknya, Andri terkejut dan
bangkit dari keterdiamannya. Begitu tidak yakinnya Andri menanyakan
kembali, “Benarkah, Ngku?” Kakek hanya terlihat menganggukkan kepala
seraya tersenyum.
Tidak menunggu lama, kakek pun memeriksa yang dikerjakan Andri. Sudah
sesuai atau belum. Mulai dari mencek keseimbangan lidi-lidi bambu dan
ternyata tatapan tajam kembali mengarah ke Andri.
“An, ini belum benar. Coba kamu lihat. Sudah seimbang atau belum?”
kakek menanyakan kepada Andri sambil kakek meletakkan lidi-lidi bambu di
jarinya untuk melihat keseimbangannya. Andri pun memerhatikan dengan
seksama.
“Iya ya, Ngku. Tidak seimbang, bagian kanan sepertinya lebih berat daripada yang kiri,” jawab Andri.
“Nah, kalau seperti ini harus diraut lagi, An. Biar seimbang dan bisa terbang dengan baik” penjelasan Kakek.
Kakek pun memperlihatkan cara merautnya yang benar. Andri memerhatikannya. Tidak sekedip pun ia lewati.
Sesudah lidi-lidi bambu itu seimbang, kakek mengikatkan satu demi
satu agar terbentuk seperti bingkai layang-layang. Kembali Andri hanya
mengamati dengan saksama sambil menolongkan kakek untuk mengambilkan apa
yang dibutuhkannya.
Terbentuklah bingkai layang darek, kakek kembali menyerahkan penyelesaiannya kepada Andri.
“Sudah, An. Ini sudah berbentuk, sekarang giliran kamu
memvariasikannya dan menyelesaikannya,” ucap Kakek kepada Andri yang
kembali masuk ke dalam rumah.
Andri kembali memerhatikan dengan seksama bingkai layang darek
tersebut. Memikirkan warna apa yang akan diberikan dan variasinya.
Tiba-tiba tercetus ide untuk memberikan warna merah dan putih; merah
di bagian atasnya dan putih di bagian bawahnya. Terinspirasi dari
bendera Indonesia. Sangat nasionalis sekali.
Andri menggunting kertas minyak agar sesuai dengan pola bingkai
layangan dan kemudian merekatkannya dengan lem agar terlihat rapi. Tidak
lupa, dia juga memberikan juntaian ekor di paling bawahnya dengan
menempelkan guntingan-guntingan kertas minyak hingga terjuntai panjang.
Tidak membutuhkan lama selesai juga layang-layang hasil buatannya
sendiri yang dibantu kakek. Terlihat kepuasan di raut wajahnya. Andri
pun ingin memperlihatkannya kepada kakeknya untuk dinilai. Apakah sudah
sesuai atau belum. Itu sudah dapat dikatakan layang-layang.
“Ngku, layanganku sudah siap,” ujar Andri pada kakeknya dengan raut wajah senang.
“Sekarang layanganmu sudah jadi, tapi tidak mungkin kamu lihat-lihat
sajakan, An? Agar dapat diterbangkan, kamu harus membuat tarajunya. Coba
buat,” penjelasan Kakek pada Andri sambil menyuruhnya untuk
menyelesaikannya agar bisa mengudara.
“Iya, Ngku. Saya coba untuk membuat tarajunya,” jawab Andri.
Andri pun mulai membuat taraju. Dibuatnya lubang di kecil di
tengah-tengah layangan (dekat dengan tempat penyilangan rangka bambu),
dimasukkannya benang layangan ke lubang dan diikatkan ke titik
persilangan, yang kemudian mengikatkan ujung yang lain ke ujung bawah
rangka layangan. Kira-kira talinya 90 cm.
Sepertinya sudah siap untuk mengudara. Tampak Andri semringah karena
menyelesaikan tahap akhir pembuatan layang-layang sebelum diterbangkan.
Sebelumnya Andri memberikan ekor di paling bawah layang-layang dengan
menempelkan kertas minyak yang sudah dipotong-potong menjadi beberapa
bagian dan kemudian disambungkan hingga terlihat panjang. Setelah
semuanya terselesaikan Andri kembali ingin memperlihatkan kerjanya pada
kakek.
“Ngku, layanganku sudah siap dan siap mengudara.” sahut Andri pada kakeknya.
“Iya, An? Sekarang coba kamu berlari dari ujung sana ke sini sambil
memegang tarajunya,” perintah kakek pada Andri. Andri dengan segera
berlari sambil memegangi taraju layangannya seperti terbang. Angin saat
itu berhembus dengan sederhana. Ternyata layangan sering menukik dan
berputar-putar diudara. Tidak bisa mengudara dengan baik.
“Kenapa layangannya, Ngku? Kok tak bisa terbang?” tanya Andri heran pada kakeknya.
Kakek pun melihat raut wajah yang penuh tanda tanya dari mata cucunya.
“Itu karena kamu tidak seimbang dalam membuat tarajunya; antara yang
kanan dan kiri. Sebelum mengikatnya, kamu lihat dulu apakah sudah
seimbang yang kiri dan yang kana. Kalau sudah baru kamu ikat,”
penjelasan Kakek.
“Oh. Seperti itu ya Ngku.” Andri kembali memperbaiki taraju
layangannya. Hingga saatnya layangan tersebut benar-benar benar dan bisa
untuk terbang.
***
Angin berembus dengan sederhana. Rerumputan menari-nari dan mentari
sudah sedikit bersembunyi di balik awan-awan. Andri membawa layangannya
ke lapangan. Ingin menerbangkannya karena sepertinya cuaca sangat
mendukung. Diikatkannya tali layangan yang sangat panjang ke taraju. Dia
meminta kepada temannya untuk memegang layangannya dan dia siap-siap
untuk menariknya. Sekali tarikan saja layangannya mengangkasa. Begitu
indah lenggokannya. Dia berusaha untuk menjaganya agar tetap mengudara.
Ditarik-ulurnya benangnya. Sangat senang hati Andri melihat layangannya
mengudara tinggi.
Sedang asyik-asyik bermain, tiba angin kencang datang dan membuat
layangannya terbang tidak teratur, terkadang menukik dan naik lagi. Itu
terjadi beberapa kali. Sudah ditarikulurnya lagi benang layangannya tapi
tidak juga. Sampai akhirnya layangan itu terputus oleh angin yang
kencang di atas sana dan tidak sanggup ditopang oleh benang layangannya.
Sontak, anak-anak yang asyik bermain dan melihat layangan langsung
berhamburan dan mengejar layangan Andri yang putus tertiup angin.
Anak-anak terus mengamati arah layangan itu–tak sekedip pun hilang.
Begitu pula dengan Andri, ia langsung berlari dan mengejar
layangannya. Ia tidak mau perjuangannya membuat layang-layang menjadi
sia-sia.
Andri terdiam dan terpaku. Permainan yang sudah dibuatnya dengan
susah payah hanya bisa dimainkan beberapa saat saja. Andri langsung
pulang ke rumah dengan lesu dan pandangan tertunduk. Sambil menendang
kerikil-kerikil yang ia lihat.
Sesampainya di rumah, dia tidak langsung masuk ke dalam. Dia duduk
dulu di depan rumah dan tiba-tiba kakek mengejutkannya yang kemudian
duduk di sampingnya. “Mana layanganmu, An?”
Awalnya Andri hanya diam dan tertunduk beberapa saat dan kemudian menjawab pertanyaan kakek, “Putus karena angin, Ngku.”
Kakek hanya tertawa dan kemudian berdiri dan melihat langit seraya menghela napas panjang.
“An, layangan itu terbang dan kemudian terputus. Begitu pula dengan
manusia, hidup dan kemudian mati. Apabila layangan masih mampu seimbang
maka makin lama ia mengudara dengan tenang. Sedikit saja kesenjangan
maka itu akan membuatnya menukik dan kemudian terjatuh. Angin menerpa
layanganmu dan kemudian terputus. Itu karena tidak seimbang kekuatan
tali dengan ukuran layanganmu. Sekarang ini menjadi barang langka. Tidak
banyak orang memainkannya dan memahami permainannya,” penjelasan kakek
panjang lebar.
Andri hanya melongo karena belum terlalu paham dari penjelasan kakek.
Kakek pun menimpali penjelasannya tadi, “Kau akan paham seiring usiamu
berjalan, An.” Senyaman apapun kedudukan yang pernah dirasakan tetapi
apabila keangkuhan menduduki. Itu tidak akan lama. (*)
Penulis guru bahasa Indonesia di SMP PGRI 2 Padang.
Fabel Lailatus Solikha Marwah Alfika (Radar Surabaya, 19 November 2017) Kehebatan Cacing ilustrasi Radar Surabaya
Ketika matahari sedang terik-teriknya, anak-anak pulang sekolah.
Cacing, semut, burung, dan kambing pulang bersama-sama. Cacing melata di
atas tanah dengan santai. Semut berjalan dari pohon ke pohon. Burung
terbang ke sana-ke sini, dan kambing berjalan di sebelah cacing dan
semut. Mereka pulang sambil bermain-main.
“Eh teman-teman, aku udah bisa terbang sambil berputar-putar, loh!”
teriak burung sambil bertengger di atas ranting Kakek Puspa yang sedang
tidur.
“Oh ya? Hebat sekali kamu. Coba tunjukkan!” sahut cacing yang
kemudian berhenti dan melihat aksi burung. Semut dan kambing juga ikut
berhenti.
Burung pun terbang ke atas. Sampai di atas, burung membalikkan
badannya dan terjun ke bawah sambil berputar-putar dengan cepat. Burung
hampir menabrak kepala kambing. Namun, burung segera sadar dan
menghindar kemudian kembali bertengger di atas ranting Kakek Puspa.
Teman-teman terkagum dan bertepuk tangan.
“Aku diajari ayahku kemarin sore. Awalnya aku takut, tapi setelah ku
coba ternyata menyenangkan. Aku suka sekali,” jelas burung dengan
bangga.
“Wow! Itu keren sekali, Burung,” kata cacing sambil bertepuk tangan.
“Itu tidak seberapa! Aku sudah bisa berjalan di balik daun. Coba lihat.” Semut membela diri agar tidak kalah keren.
Semut menyiapkan diri di atas ranting Kakek Puspa. Ia berdiri sambil
menutup mata dan berdoa. Kemudian semut dengan perlahan mencoba
membalikkan tubuhnya. Semut pun mulai berjalan di bawah salah satu daun
Kakek Puspa. Ia berhasil dan berteriak, “Lihat! Aku bisa kan! Aku
belajar sendiri lagi!”
“Wow! Itu keren!” teriak cacing lebih kagum.
“Okelah, okelah, itu lumayan,” kata burung.
“Alaah, itu tidak seberapa. Aku bisa memakan semua tumbuhan yang ada
di hutan ini. Kalian kan nggak bisa. Burung cuman makan biji-bijian,
semut cuman makan buah-buah manis, cacing malah cuman makan sisa
tumbuhan yang mati. Kerenan aku kan?” jelas kambing tak mau kalah sambil
menunjuk satu per satu teman-temannya.
“Coba buktikan sama kami kalau kamu bisa memakan semua tumbuhan!” pinta semut kepada kambing agar membuktikan kehebatannya.
Cacing dan burung hanya mendongakkan dagunya pertanda ikut menantang kambing.
“Oke!” sahut kambing menyanggupi tantangan teman-temannya.
Kambing mulai memakan rumput yang ada di bawahnya. Setelah itu, ia
memakan daun yang gugur disamping cacing. Agar terlihat agak tinggi,
kambing memakan bunga yang ada di dekat semut. Lalu ia menaiki pohon
yang telah tumbang dan mengejek burung dengan memakan daun yang ada di
sebelahnya juga.
“Eit, kaget aku. Ku kira kamu mau makan aku!” teriak burung sambil terbang karena kaget.
“Baiklah, baiklah, kamu bisa memakan semua tumbuhan yang ada di hutan ini. Aku mengakuinya,” terang semut.
“Aku juga mengakuinya,” kata burung dan cacing hampir berbarengan.
“Kamu bisa apa, Cacing?” tanya kambing.
“Aku tidak bisa terbang berputar-putar, aku juga tidak bisa berjalan
di balik daun, apalagi memakan semua tumbuhan yang ada di hutan ini. Aku
hanya bisa berjalan di atas tanah,” kata cacing murung.
“Kata siapa kamu tidak bisa terbang? Aku bisa membantumu terbang!” kata burung agar cacing tidak bersedih.
“Aku mungkin tidak bisa membantumu berjalan di bawah daun, tapi aku
bisa membantumu berjalan di atas daun,” kata semut menyemangati cacing.
“Dan aku bisa mengajarimu cara memakan tumbuhan-tumbuhan seperti rumput dan daun yang segar,” kata kambing dengan riang.
“Benarkah teman-teman? Aku ingin sekali melakukannya. Ayo kita lakukan satu per satu!” pinta cacing kepada teman-temannya.
“Pertama, ayo makan rumput dan daun segar,” kata kambing.
Kambing menjelaskan cara memakan rumput. Ia menjelaskan betapa
enaknya rumput hijau itu. Hingga cacing pun mulai menggigit rumput yang
ada di depannya.
“Hiyak!” teriak cacing sambil memuntahkan rumput yang baru saja
dimakannya. “Ini tidak enak kambing. Rasanya aneh sekali. Benar-benar
aneh!”
“Benarkah? Padahal itu makanan favoritku setelah daun. Sekarang kamu coba makan daun aja,” pinta kambing pada cacing.
“Makan daun yang ini aja cacing, biar kamu nggak perlu naik-naik pohon,” sambil menunjuk daun yang ada di bawah kakinya.
Cacing pun mulai memakan daun secara perlahan. Cacing mulai
menikmatinya. “Ini lumayan enak. Tapi ada pahit-pahitnya. Mungkin karena
dia belum terlalu busuk dan mati, makanya masih belum terlalu enak,”
jelas cacing.
“Setidaknya kamu bisa memakan daun ini kan?” kata kambing meninggikan semangat temannya itu.
“Sekarang, jangan makan lagi daun itu, Cacing,” teriak semut dari atas batang Kakek Puspa.
“Kamu akan berjalan di atasnya! Meskipun kamu tidak bisa menaiki
pohon dan berjalan di balik daun, tapi kamu pasti bisa berjalan di atas
daun itu,” jelas semut.
Setelah semut menjelaskan caranya, cacing pun bisa berjalan di atas
daun itu. Ia senang. Sekarang hanya perlu belajar terbang dari burung
maka cacing akan terlihat keren, pikirnya. Tak lama, burung menghampiri
cacing di bawah Kakek Puspa.
“Kamu akan kucengkeram dengan cakarku. Lalu kita akan terbang
bersama-sama sampai di atas kepala Kakek Puspa. Mumpung Kakek Puspa lagi
tidur, hihihi,” jelas burung pada cacing yang sudah bersiap-siap untuk
terbang.
Cacing tidur telentang. Burung meletakkan cengkeramannya di atas badan cacing dan mulai mengangkatnya. Mereka terbang.
“Wah! Wah! Wah! Aku terbang!” decak kagum cacing.
Kambing dan semut tersenyum bahagia melihat temannya yang sangat
senang karena bisa terbang. Mereka terus melihat burung yang membawa
cacing terbang ke kepala Kakek Puspa. Sebelum sampai di atas kepala,
cacing merasa ada yang aneh.
“Eh, eh, kenapa ini? Hati-hati, Burung!” kata cacing mulai cemas.
“Tenang saja, kamu tidak berat kok!” pembelaan burung.
Ketika burung dan cacing hampir sampai di kepala Kakek Puspa, tanpa sengaja cacing terlepas dari cengkeraman burung.
“Aaaaaaaaa…. aku jatuhhh…,” teriak cacing ketakutan sampai
membangunkan Kakek Puspa. Dengan sigap, Kakek Puspa menjulurkan
rantingnya agar cacing tidak terjatuh di tanah dan terluka. Cacing masih
terengah-engah, namun agak lega karena ia tidak terluka.
“Ada apa ini cucu-cucuku? Kenapa kalian ribut sekali dari tadi? Kakek
jadi tidak nyenyak tidurnya ini…,” kata Kakek Puspa yang masih sehat
meskipun sudah berumur 200 tahun.
Kambing, semut, dan burung menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya.
Kakek Puspa mendengarkan sambil geleng-geleng kepala. Hingga akhirnya
Kakek Puspa pun menjelaskan, “Cacing bernafas melalui kulitnya. Ketika
bernafas, kulit cacing mengeluarkan lendir. Maka dari itulah burung
secara tidak sadar melepaskan cacing karena kulitnya yang licin.”
“Ooo.. begitu…,” jawab semut, kambing, dan burung. Cacing masih merasa kaget.
“Cacing memang tidak bisa memakan segala tumbuhan yang ada di hutan
ini. Cacing kan kecil, jadi tidak bisa memakan bunga atau daun-daun yang
ada di atas pohon. Cacing juga memang tidak bisa berjalan di bawah daun
seperti semut. Cacing kan melata di tanah. Apalagi cacing mau terbang,
ya tidak bisalah. Kan Cacing tidak punya sayap, Nak.”
Cacing mulai sedih ketika mendengar penjelasan Kakek Puspa tentang dirinya.
“Tapi, cacing sangat berguna bagi seluruh warga di hutan ini. Cacing
memakan tumbuhan yang telah mati. Kemudian kotoran dari tanaman yang
dimakan cacing tadi, dibuang di dalam tanah. Benar Cacing?” tanya Kakek
Puspa.
Cacing mengangguk.
“Ketika cacing masuk tanah, ia membuat pori-pori untuk tanah.
Kemudian masuklah oksigen yang membuat tanah gembur dan subur. Selain
itu, kotoran cacing juga bisa menyuburkan tanah. Jadilah berbagai
tumbuhan yang kuat karena akarnya bisa bernafas,” jelas Kakek Puspa yang
membuat cacing mulai berbangga diri. Cacing tersenyum.
“Jadi Cacing tidak perlu jadi semut ya, Kek?” tanya semut.
Kakek Puspa mengangguk.
“Cacing juga tidak perlu jadi kambing ya, Kek?” sambung kambing.
Kakek Puspa kembali mengangguk.
“Apalagi jadi burung ya, Kek?” tanya Burung.
“Betul sekali!” kata Kakek Puspa.
“Jadi, cacing tidak perlu jadi apapun ya, Kek?” tanya cacing.
“Memang. Cacing hanya perlu jadi diri sendiri. Cacing cukup bersyukur
dengan apa yang diberikan Tuhan. Maka dengan sendirinya, cacing akan
terlihat keren. Mengerti?” sambung Kakek.
“Mengerti, Kek” jawab cacing dengan bangga mengakhiri kegiatan mereka di siang hari itu. (*)
*Penulis adalah mahasiswi Bahasa dam Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
Cerpen Aura Asmaradana (Tribun Jabar, 19 November 2017) Ke Mana Domba Pergi ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
KETIKA kau punya anak dan anakmu mulai bisa bicara dan ingin tahu
banyak, bersiaplah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sadis—yang
rasanya kau juga tak pernah terpikirkan untuk menanyakannya pada ibumu
dan ketika pertanyaan terkatakan, kau seketika tahu bahwa seluruh jiwamu
susut.
“Ma, domba itu sekarang bagaimana?” Kami sedang duduk di bangku semen
lapangan adu domba ketika ia menanyakan itu. Tangan Ali, anakku, empat
tahun, menunjuk ke arah domba putih yang terkapar di sudut lapangan.
Debu beterbangan mengepungnya. Domba itu mati karena menerima benturan
yang terlalu keras pada dahinya.
“Bagaimana apanya?”
“Dia diam saja, begitu? Tidak ngapa-ngapain? Tidak pergi ke
mana-mana?” Aku terenyak. Pergi ke mana seekor domba ketika ia mati?
Pertanyaan Ali terpikir terus olehku hingga berhari-hari. Sialnya,
pertanyaan itu muncul ketika aku sedang melakukan riset tentang
kehidupan perhimpunan domba adu untuk novelku. Malam-malam yang biasanya
kuhabiskan di hadapan laptop, mengolah data, menimbang metafora, dan
mentransfer isi memori, jadi teralihkan sebab pertanyaan Ali.
Tentu saja Ali merasa cukup dengan jawabanku yang teknikal, “Domba
yang mati itu nanti dikubur oleh pemiliknya. Supaya tidak bau karena
badannya akan membusuk.” Tapi diam-diam, aku merasa tak puas. Aku tak
puas dengan diriku sendiri. Sebagai ibu. Sebagai manusia yang kurang
kedalaman pikir.
Tujuan domba setelah mati tentu tipis bedanya dengan penjelasan
tentang kehidupan setelah kematian manusia. Kau bisa menjawabnya dengan
referensi agamamu, segala bacaan filsafat, atau menolak membahas sama
sekali—sebab bahasan itu takkan tergapai oleh lika-liku pikirmu. Aku
sedikit lega Ali tak pernah membahas tentang domba mati lagi.
Awalnya kupikir sesederhana itu. Hingga suatu hari, aku bermimpi
seorang laki-laki menjawab pertanyaan Ali untukku. Ia semacam menangkal
kedangkalanku. Aku semakin yakin bahwa aku terlalu mengambil hati
pertanyaan Ali.
Aku tahu persis orang yang menjawabkan pertanyaanku itu. Namanya.
Wajahnya. Aku mengenalnya di dunia maya—yang rill tapi pun tak jelas
juntrungannya. Banyak temanku di media sosial sebetulnya tak kukenal
sama sekali.
Seingatku, sekali-dua aku pernah berinteraksi tak langsung dengan
laki-laki dalam mimpi itu. Menyukai fotonya, kurasa—atau ia yang
menyukai fotoku, entahlah. Mungkin ia seorang kawan lama, atau mungkin
ia kawannya kawanku.
Sebut saja dia si juru bicara— untuk pekerjaannya mewakilkanku
menuntaskan rasa penasaran Ali. Sengaja tak kusebutkan namanya dalam
rangka berjaga-jaga. Aku khawatir kamu ternyata mengenalnya.
“Domba itu mati mau menemui seseorang untuk bersandar.”
“Bersandar? Apa itu?”
“Seperti itu. Seperti waktu kamu menaruh kepalamu di pundak Mama.”
“Untuk apa domba bersandar?”
“Supaya merasa tenang dan senang selamanya.” Mendapat jawaban seperti
itu, bibir Ali tersenyum begitu rekah dan matang—sebagaimana pula mata
si juru bicara tersenyum di balik kacamatanya.
Sejak bermimpi begitu, bertambahlah beban dalam kepala. Di sela
kegiatanku setiap hari, aku jadi berpikir ulang tentang tujuan hidup.
Terutama perkara sandar-menyandar itu. Tentang yang bersandar dan yang
disandari; tentang yang butuh sesuatu sebagai iman dan yang diimani.
Sesuatu yang mirip hubungan vertikal dua entitas. Manusia dan sang motor
penggerak. Sobelumnya, mana pernah aku berpikir soal hal-hal macam itu?
Dalam mimpi itu, si juru bicara tidak pernah menyampaikan apa pun
kecuali kepada Ali. Ia bahkan tak tergoda mengelus pipi kenyal Ali walau
jarak wajahnya ke wajah Ali hanya tak lebih dari sejengkal. Ia hanya
mengelus-elus janggutnya yang seperti tumpukan jerami.
Hanya itu ceritaku. Ya, hanya itu. Namun berkat mimpi itu, pelan-pelan ada sesuatu yang tumbuh di wilayah-wilayah intimku.
Dalam mimpi, laki-laki itu mengabaikan aku. Aku cemburu karena ia
sungguh sadar spiritnya. Bagiku agak mengesalkan: seseorang yang tidak
pernah mengatakan apa-apa padaku, merebut senyum mesra Ali, bahkan
menyita pula waktu dan pikiran dan imajinasiku? Bandingkanlah dengan aku
yang cukup menjawab pertanyaan domba Ali dengan sederhana—meski jawaban
itu sungguh kutimbang dengan serius.
Aku bertanya-tanya, siapa sesungguhnya si juru bicara yang hadir
tiba-tiba di mimpi? Kalau ia kawan lama, tak ingat tempat dan waktu
ketika pertama mengenalnya. Di dunia nyata, ia tak mengesankan. Tak
banyak kulihat aktivitasnya di media sosial. Ketika media sedang ramai
tentang korupsi, isu komunisme, atau harga garam tinggi, tak kutemukan
sikapnya. Ia sepertinya lebih senang diam.
Minggu ketiga Oktober, ketika aku harusnya melakukan riset ke
lapangan lagi, aku memutuskan untuk diam di rumah. Alih-alih mengerjakan
novel, aku membuka laman baru yang dipenuhi berlembar-lembar deskripsi
dan berbagai kemungkinan tentang si juru bicara. Aku sempat sadar bahwa
itu hal yang bodoh. Apalagi aku sedang digiring pada intrik perjudian di
lapangan adu domba. Tapi belakangan kupikir, kalau aku datang ke
lapangan dan ingat kembali tentang domba yang mati, ke mana mereka
pergi, dan kelanjutannya, tentu aku malah tak fokus.
Aku meneguhkan pikiran bahwa mimpi sekadar impuls listrik di otak
yang acak Gambar dan pikiran yang berlesatan di mimpi adalah
ingatan-ingatan tak berarti. Buktinya, malah aku sendiri yang sibuk
menyusun kisah tentang si juru bicara, tanpa bisa mengabaikannya sama
sekali. Kau mungkin sudah duga, di tengah penulisan novel, otakku penuh
fiksi dan friksi.
Mungkin juga, sebetulnya akulah si juru bicara itu. Ia adalah simbol
dari aku—yang kelak bertugas menjawab segala pertanyaan Ali. Mungkin
pula aku memimpikan dan mengenang si juru bicara melulu karena jagat
bawah sadar ingin aku mengingatnva. Untuk sekali dalam hidup, aku
mencari-cari sesuatu yang abstrak dan terkesan lebih besar daripadaku.
Aku terpikat oleh spiritualitas entah-berentah.
Semakin lama, aku semakin terpikat oleh sosok si juru bicara.
Kehadirannva membuatku berkhayal banyak tentang identitasnya. Tentang
kampung halamannya. Tentang minuman pertama yang diminumnya ketika
bangun tidur pagi. Aku menulis banyak tentang banyak hal sampai kemudian
si juru bicara datang lagi ke mimpi.
Di mimpiku, si juru bicara memberi aku selembar kertas yang isinya
kalimat pendek-pendek tentang tidak bisa berinteraksi denganku. Hanya
itu. Dan sekejap pemandangan lengkung bibir manis dan domba-domba yang
menggeletak manja dekat kakinya.
Bagiku, adanya si juru bicara sudah bukan lagi persoalan siapa ia di
dunia nyata, melainkan tentang cara-cara ia hadir di mimpi dan kondisiku
ketika menyambutnya datang. Ia terasa menghantu.
Perlahan, segalanya beranjak analog dengan rasa rindu. Aku mengidap
kerinduan pada sesuatu yang tidak bayan dan menindas. Banyak rencana
penulisan yang putus di tengah jalan hanya karena aku sibuk
mengira-ngira dari mana si juru bicara berasal, dan ke mana pulangnya.
Ketika Ali mengajakku berlibur, aku langsung mengiyakan. Semenjak
melahirkan Ali, aku kurang piknik. Tapi ternyata pikiranku malah
bertambah runyam. Hatta aku menulis ini untukmu.
Desember sudah mau selesai ketika aku dan Ali tiba di bandara untuk
terbang ke Palu. Kami makan di lantai dua bandara. Setelah makan, aku
mencuci tangan di wastafel deret di area resto.
“Tunggu di sini,” kataku pada Ali. Ia sibuk membuka bungkusan permen.
Ali bersandar di tiang beton putih, di samping ransel 45 liter. Aku
mempercepat gerak cuci tangan dan baru saja berencana tak usah
mengeringkannya ketika kemudian aku melihat sekelebatan sosok bergerak
menjauhi Ali.
Penculik nungkin mengincar Ali. Orang sinting mungkin menyiapkan butiran flakka untuk membuatnya fly
dan jadi gila. Ketika kau punya anak dan anakmu belum bisa banyak
memilah, bersiaplah untuk selalu khawatir padanya. Seakan seluruh berita
kriminal bergantian tayang di otakmu. Aku dikejar tayangan-tayangan itu
dan menghampiri Ali yang mengulum asik lolipop.
Seketika saja, aku melihat si juru bicara di sudut mataku, di ujung
tangga. Segala gestur dan nuansa sosok itu persis seperti yang kukenang
dari dalam mimpi. Ia menoleh padaku sekejap. Kami bertemu pandang. Aku
meraih tangan Ali sambil melirik satu detik untuk memastikan ia baik,
kemudian kehilangan si juru bicara begitu saja. Dadaku mulai
berdentum-dentum. Kutanya Ali, “Tadi ada siapa?”
“Oh, itu. Om tadi bercerita tentang domba-domba.” Aku mulai tidak
sanggup mendengar kelanjutan cerita Ali. Jika mimpi hanya menghadirkan
seseorang dari masa lalu, mungkin sesungguhnya aku di Husein
Sastranegara petang itu kebetulan saja sedang menjadi aku di masa
lampau. Tak tahu lagi teori macam apa itu. Dalam sepatu kets, sela-sela
jail kakiku berkeringat.
Di ruang tunggu aku beser. Di pesawat aku gamang. Di sebuah kedai
kopi di Bandara Mutiara Sis Al-Jufri, aku membuka laptop dan berniat
melanjutkan suratku padamu ini, namun kudapati kurang dari sepuluh
paragraf sudah tertambah begitu saja tanpa aku pernah mengetiknya.
Tiba-tiba saja tidak kurasakan lagi pendingin ruangan. Udara Kota Palu
sangat panas.
Ketika Ali mengajakku berlibur, aku langsung mengiyakan. Semenjak
melahirkan Ali, aku kurang piknik. Tapi temyata pikiranku malah
bertambah runyam.
AURA ASMARADANA mahasiswa Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara. Gemar menulis cerita pendek, esai, dan puisi.
Bukunya kumpulan cerpen Solo Eksibisi (2015) dan novel Solilokui yang baru akan terbit.