Mencintai cinta, dan airmata itu sendiri di sisi lain.
Mencintai Lintang bagaikan menelan pil bersalut gula yang mengandung 90 persen
kebahagiaan, tetapi terselip 10 persen racun kepedihan di dalamnya. Dan Dina meskipun tahu
bahwa dibalik kebahagiaan itu ada racun yang terserap tubuhnya perlahan-lahan dan
menggerogoti jiwanya dengan kepedihan, tetap saja dengan sukarela menelan pil itu setiap
ada kesempatan. Tidak peduli bahwa mungkin saja racun dalam pil itu mungkin akan
mengendap dan mengendap dalam aliran jiwanya dan membunuhnya dari dalam, tanpa
terasa.
Tuhanku....
Dina menatap kekosongan di depannya dan menarik napas panjang, rasa nyeri itu menyeruak
makin dalam, menghimpit dadanya, membuatnya sesak nafas,
Tuhanku... Betapa aku mencintainya...
Nah, dia sudah berhasil mengakuinya, tapi pengakuan itu tidak membuatnya lega sama sekali,
malahan semakin menghimpit perasaannya,
Kenapa cinta yang Kau berikan padaku ini terasa begitu pedih? Mencintainya, mencintai cinta
yang bagai dua sisi mata uang yang bertolak belakang : cinta itu sendiri di sisi depan, dan airmata
di sisi belakang yang tersembunyi.
Mencintai cinta, dan disisi lain, mencintai air mata pula.
Tetapi bukankah keputusan ini sudah dia ambil masak-masak? Bukankah semua konsekuensi
sudah dia pertimbangkan sebelumnya? Mencintai Lintang sama saja menyerahkan hatinya untuk
dipatahkan, dihancurkan berkeping-keping dengan sukarela. Dan bahkan dia melakukannya
dengan kesadaran penuh, menyerahkan hatinya untuk dihancurkan berkeping-keping.
Lintang, yang sudah tidak sendiri lagi. Lintang yang sudah menjadi milik orang lain. Dan Dina
dengan rela membiarkan hatinya dimiliki Lintang sepenuhnya, tanpa menuntut Lintang untuk
memberikan seluruh hatinya kepadanya.
Dia sudah mengambil keputusan bukan? Menjadi wanita nomor dua Lintang, wanita yang tidak
bisa diakui, dan tidak bisa mengakui Lintang. Merelakan posisinya tersembunyi sedemikian rupa.
Tidak apa-apa, katanya pada dirinya sendiri waktu itu. Aku rela, asalkan aku boleh mencintai
Lintang dan bisa mereguk cinta dari Lintang.
Tapi ternyata tidak semudah itu. Hatinya selalu terasa nyeri, bahkan saat dia bersama Lintang,
dalam pelukannya. Dia merasa sebagai wanita yang rendah, merenggut lelaki yang seharusnya
menjadi hak milik perempuan lain.
Dosakah dia melakukan ini? Bahkan dengan mengatas namakan cintapun, tidak akan pernah ada
manusia yang bisa mengerti. Mereka akan memandang hina dirinya, merendahkannya. Dibelahan
manapun di dunia ini, wanita seperti Dina, seorang selingkuhan, wanita simpanan, perebut kasih
sayang laki-laki yang seharusnya menjadi milik pasangannya yang sah, selalu dipandang sebagai
pihak yang salah, pihak yang hina, pihak perusak yang tidak seharusnya ada.
Mereka semua kadang tidak paham, bahwa wanita seperti itu terkadang melakukannya karena
cinta yang begitu mendalam yang tak tertahankan.
"Aku mencintaimu Dina, tubuhku boleh menjadi miliknya, tapi hatiku milikmu", kata Lintang di
suatu malam, dalam pertemuan-pertemuan rahasia mereka yang penuh cinta.
Dan Dina tidak bisa menjawab. Memiliki tubuh atau hati seseorang. Kenapa Tuhan begitu kejam
membuatnya memilih? Tidak bisakah dia memiliki kedua-duanya? Seringkali pertanyaan itu
terjerit dalam hatinya, ingin diteriakkan entah kepada siapa. Tetapi kemudian selalu tertahan di
bibir, menjadi gumpalan-gumpalan berat yang menyesakkan dadanya, semakin menahan
napasnya, menyakitinya.
Dan Dina selalu menanggung semuanya seorang diri, tidak pernah membiarkan Lintang tahu apa
yang berkecamuk di dadanya, Oh Lintang, Lintangnya, satu-satunya lelaki yang dicintainya, satu satunya lelaki yang mampu membuat Dina menyerahkan hatinya dengan sepenuhnya, tenggelam sedalam-dalamnyake kubangan cinta tanpa peduli akan sakit yang menusuknya tiap dia menyerahkan diri. Tuhan, ketika kau membiarkanku jatuh cinta, kenapa harus dengan lelaki yang sudah termiliki oleh perempuan lain?
Terkadang saat memandang Lintang dalam tidurnya yang damai, Dina ingin menangis. Lelakinya,
yang sangat ingin Dina doakan kebahagiaannya, betapa kehadiran Dina dihidup Lintang telah
memporak porandakan ketenangan yang seharusnya terjalin dalam garis kehidupan lelaki itu.
Lintang seharusnya tidak bertemu dengan Dina, lelaki itu sudah memiliki istri yang mencintainya,
dengan hubungan yang harmonis, keluarga kecil yang bahagia, dan pastinya akan terus bahagia
seandainya tidak ada insiden yang mempertemukan Lintang dengan Dina, yang mengubah
seluruh kehidupan Lintang, juga Dina.
Mereka berdua bertemu, dan seluruh dunia seakan jungkir balik, Dina melupakan semuanya,
melupakan bahwa dibalik kebahagiaan yang direnggutnya, diam-diam dia menari dibawah
pengkhianatan terhadap seorang isteri, seorang wanita pula yang seperti dirinya. Melupakan
bahwa tidak seharusnya dia bertindak egois, semakin memperdalam cintanya kepada Lintang,
bahkan di saat dia tahu bahwa Lintang adalah lelaki yang tidak boleh dia cintai.
"Aku merasakan cinta yang sebenar-benarnya bersamamu", bisik Lintang lembut pada suatu
malam.
Dan mata Dina yang kelam menyapu malam, menelan kepedihan yang terlalu sering
dirasakannya hingga hampir mati rasa,
"Kau juga merasakan cinta yang sama kepada isterimu bukan?"
"Aku pikir aku dulu mencintainya", jawab Lintang tegas.
Dan Dina menggelengkan kepalanya,
"Seharusnya aku tidak pernah muncul di antara kalian, seharusnya aku tidak pernah ada"
Lintang merengkuh bahu Dina dan memeluknya erat,
"Jangan. Jangan mengatakan itu. Itu sungguh menyakitiku, bersamamu aku benar-benar
mengerti apa artinya bahagia, bersamamu aku benar-benar mengerti apa artinya mencintai. Aku
memang egois menahanmu disini, bersamaku, mereguk cintamu yang tanpa batas itu sepuaspuasnya,
tanpa
bisa
menjanjikan
apa-apa
kepadamu.
Aku
yang
salah
di
sini,
seharusnya
aku
bisa
menahan
diriku,
tapi
aku
tak
bisa,
aku
mencintaimu
Dina,
dan
kesempatan
sekecil
apapun yang
kau berikan kepadaku aku akan mereguknya"
Dina membalas pelukan Lintang, bulir air mata hangat membasahi pipinya tanpa sadar,
"Aku juga mencintaimu Lintang, dan aku berpikir aku ingin melimpahimu dengan cinta ini selagi
bisa, selagi boleh",
Kalimat Dina terhenti ketika Lintang memeluknya makin dalam dengan sendu. Percuma. Rintih
Dina dalam hati, percuma kalau dilanjutkan. Mereka memang bisa saling mencurahkan cinta,
tetapi mereka akan tetap saling menyakiti tanpa sadar.
Mencintai cinta, dan airmata itu sendiri di sisi lain.
Mencintai Lintang bagaikan menelan pil bersalut gula yang mengandung 90 persen kebahagiaan,
tetapi terselip 10 persen racun kepedihan di dalamnya. Dan Dina meskipun tahu bahwa dibalik
kebahagiaan itu ada racun yang terserap tubuhnya perlahan-lahan dan menggerogoti jiwanya
dengan kepedihan, tetap saja dengan sukarela menelan pil itu setiap ada kesempatan. Tidak
peduli bahwa mungkin saja racun dalam pil itu mungkin akan mengendap dan mengendap dalam
aliran jiwanya dan membunuhnya dari dalam, tanpa terasa.
Biar saja. Desah Dina pelan, toh jiwaku sepertinya sudah mati kalau aku tidak bisa mencintai
Lintang lagi.
Yang penting sebelum jiwanya ini mati, dia sudah pernah mencurahkan cintanya ini, dia sudah
pernah mencintai Lintang dengan sepenuh hati.
Ya dia mencintai Lintang, cinta inilah yang membuatnya mampu menahan kepedihan dimalammalam
dia melepas kepulangan Lintang dari pelukannya, kembali kepada isterinya, yang tidak
tahu apa-apa di rumah. Cinta inilah yang membuat Dina mampu menahan tangisannya di malammalam
gelap ketika menahankan kepedihan dan kecemburuan, membayangkan kebersamaan
Lintang bersama isterinya di rumah. Cinta ini pulalah yang membuat Dina menahan perasaan
dingin yang seakan memukul tulang belakangnya, ketika menyadari bahwa dia tidak bisa
mengakui Lintang sebagai kekasihnya, dan dia tidak akan pernah bisa diakui sebagai kekasih
Lintang.
Tapi Cinta ini pulalah yang membawa Dina kepada kesadaran menyakitkan bahwa dia harus
melepaskan Lintang. Bahwa dia harus membebaskan Lintang dari mantra yang disebut cinta
sejati ini.
Salah satu dari mereka harus memutuskan untuk pergi, dan Dina tahu bahwa Lintang tidak
mungkin meninggalkannya. Lintang sangat mencintainya, jadi lelaki itu tidak akan pernah
menyakitinya dengan meninggalkannya. Dulu Dina tidak akan pernah sanggup meninggalkan
Lintang. Tetapi sekarang, entah kenapa kekuatan itu ada, kekuatan itu muncul dari dalam jiwanya,
dan membuatnya semakin bertekad kuat mengambil keputusan ini.
Tidak. Dina meralat kata-katanya, kekuatan ini bukan muncul dari dalam jiwanya, kekuatan ini
muncul dari dalam tubuhnya.
Dengan lembut Dina mengelus perutnya, ada kekuatan disini. Buah cintanya dengan Lintang yang
sedang bertumbuh di dalam perutnya, yang semakin lama semakin bertambah kuat, semakin
menegaskan keberadaannya.
Ketika pertama kali menyadari bahwa dirinya hamil, Dina menangis. Tidak, tangisannya bukanlah
tangisan putus asa seorang perempuan yang hamil tanpa suami. Tangisannya adalah tangisan
bahagia, tangisan bahagia seorang perempuan yang ahkirnya bisa memiliki bagian dari laki-laki
yang dicintainya, di dalam tubuhnya. Selama ini dia selalu membagi lelaki yang dicintainya, entah
tubuhnya, entah hatinya, dengan perempuan lain. Tetapi yang ini berbeda. Anak yang tumbuh di
dalam tubuhnya adalah bagian dari Lintang, yang benar-benar miliknya. Anak ini jugalah yang
memberikan kekuatan kepada Dina untuk memutuskan meninggalkan Lintang.
Dina menatap perutnya dan tersenyum lembut,
"Anakku, beri mama kekuatan ya. Mama akan meninggalkan papa, semoga kau mengerti nak, itu
demi kebahagiaan papamu.
******
Sepuluh tahun telah berlalu sejak Dina menghilang, lenyap dari kehidupan Lintang. Dina menatap
tubuh mungil yang sedang tertidur pulas di depannya, dielusnya rambutnya dengan penuh
sayang, Alita, buah cintanya dengan Lintang telah tumbuh menjadi anak perempuan lucu yang
sangat cerdas dan sangat memenangkan hatinya.
Dina menatap wajah Alita yang begitu damai dalam tidurnya, Tidak mungkin tidak
membayangkan Lintang ketika menatap Alita, Lintang adalah gambaran versi feminim dari
Lintang. Keseluruhan dirinya adalah penggambaran dari Lintang. dan Dina senang karenanya.
Kadang-kadang dimalam sunyinya saat dia mengantarkan Dina ke dalam tidurnya, dia mengambil
waktu untuk mengamati wajah Alita, lalu mengenang kembali saat-saat indahnya bersama
Lintang, saat-saat itu masih menjadi bagian dalam kehidupannya yang sangat disyukurinya, fase
kehidupannya yang paling berharga, yang akan selalu dikenangnya.
Kenangan memang akan selalu memudar seisi berjalannya waktu. Tapi hanya kenangan yang
Dina punya tentang Lintang, karena itulah dia selalu memperbaharui kenangannya setiap malam,
menjaga agar Lintang akan tetap selalu terjaga di dalam hatinya.
Dan Lintang telah memberinya Alita, bagian dari Lintang yang juga amat sangat dicintainya.
Setiap malam itu pula, hati Dina akan dipenuhi oleh rasa syukur yang tiada terkira.
******
"Ibu Dina, kolega dari perusahaan Jepang itu sudah datang di ruang pertemuan", suara sang
sekertaris terdengar dari intercom.
"Aku akan segera kesana", Dina mengalihkan perhatiannya kembali kepada ponsel di telinganya,
"... dan ibu guru tadi memuji gambarku sebagai gambar terbaik ma, aku dapat nilai sembilan"
Dina tersenyum membayangkan wajah anaknya yang berbinar,
"Alita sudah makan siang?"
"Sudah ma, pulang sekolah tadi Bi Inu memasak ayam kecap kesukaan Alita"
"Ya sudah, kerjakan dulu PR Alita sebelum bobok siang ya, nanti mama bawakan donat cokelat
kesukaan Alita kalau mama pulang ya."
"Mama?"
“Iya?”
“Alita sayang sama mama.”
Setetes air mata bergulir di pipi Dina,
“Mama juga sayang sama Alita”
*****
Dina berjalan menuju ruang pertemuan dengan hati riang, ucapan sayang dari Alita membuat
dadanya mengembang penuh rasa cinta yang luar biasa. Mereka berdua berjuang bersama, Dina
membesarkan Alita sebagai orang tua tunggal. Dan Alita adalah anak yang cerdas, hanya sekali
anak itu pernah bertanya kenapa dia tidak punya papa seperti anak-anak yang lain, lalu Dina
menjawab dengan hati-hati,
“Alita, papa pasti sangat mencintai Alita dan bangga mempunyai putri kecil seperti Alita, tetapi
kalau papa ada bersama kita, papa tidak akan bahagia. Jadi papa harus berpisah dari kita. Alita
ingin papa bahagia kan?”
“Iya ma”
“Kalau begitu, biarkan semua tetap seperti ini ya? Kita tidak bisa bersama papa, tetapi mama
yakin, papa sangat mencintai kita berdua. Mama akan memberikan kasih sayang dua kali lipat
untuk memenuhi jatah kasih sayang dari papa untukmu”
Lalu Alita, anak kecil itu, yang seharusnya masih belum bisa menanggung penjelasan yang begitu
rumit, menganggukkan kepalanya dengan penuh pengertian. Mungkin anak itu masih belum
mengerti, mungkin pikiran anak-anaknya masih belum menerima kondisi ini. Tetapi Alita sangat
menyayangi mamanya, dan percaya.
Saat itu Dina memandang putri kecilnya, lalu memeluknya erat-erat dan menangis.
“Terimakasih nak”
Sejak saat itu, Alita tidak pernah menanyakan papanya lagi.
Dina mendesah, mungkin dia salah waktu itu. Meninggalkan Lintang tanpa penjelasan apapun
dalam kondisi hamil. Mungkin seharusnya Lintang berhak tahu bahwa dia mempunyai puteri
yang sangat cantik yang pasti akan membuatnya bangga. Tapi hati Dina dipenuhi ketakutan, dia
takut akan merusak rumah tangga Lintang kalau dia mengatakannya kepada lelaki itu... terlebih
lagi sekarang, mungkin Lintang sudah memiliki anak-anaknya sendiri dengan isterinya, Dina
sangat tidak ingin mengganggu rumah tangga lelaki itu. Lagipula Dina takut jangan-jangan Lintang
memutuskan akan merebut anak itu dari dirinya, Dina tidak akan sanggup tanpa Alita, anak itulah
satu-satunya alasannya bertahan hidup selama ini.
“Ibu Dina, perkenalkan ini bapak Lintang, perwakilan dari kolega perusahaan Jepang yang akan
menjalin kerjasama dengan kita”
Suara itu memecah lamunan Dina di ambang pintu, wajahnya pucat pasi. Lelaki itu, lelaki yang
berdiri di depannya, adalah lelaki yang selama ini selalu mengisi kenangan Dina pada malammalam
sepinya,
selalu
ada
di
sana,
jauh
di
dalam
benaknya
yang
mencintai
selama
sepuluh
tahun.
Lintang
ada
di
sini
!
Lintang
menatap Dina dengan datar, seolah tidak mengenalinya, lalu mengulurkan tangannya.
Dina menatap tangan itu dengan panik. Apakah Lintang tidak mengenalinya? Tidak mungkin!
Dina melihat tatapan tersirat Lintang dan menyadari ada kemarahan tersembunyi yang
bercampur dengan kelegaan di sana, lelaki itu mengenalinya!
Dengan gugup Dina menyambut genggaman tangan Lintang, dan menarik napas panjang
merasakan remasan tangan Lintang di jabatannya. Remasan itu terasa tegas dan kuat. Nanti. Itu
isyarat yang ingin dikatakan oleh Lintang tanpa kata kepadanya.
******
“Tidak kusangka, setelah mencarimu kemana-mana, aku menemukanmu disini”, Lintang
tersenyum getir, menatap Dina yang duduk di depannya dengan tubuh tegang seperti ingin lari
dengan wajah pucat pasi.
Dengan gusar, Lintang meraih tangan Dina, mencoba menggenggamnya, Dina menghindar, tentu
saja, tetapi Lintang tidak mau menyerah, digenggamnya tangan Dina erat-erat, sampai jemari
Dina melemah dan menyerah,
“Kenapa kau lakukan itu kepadaku Dina? Kenapa kau meninggalkanku dengan cara kejam seperti
itu? Kau menghilang tiba-tiba, tanpa perpisahan, kau tidak bisa kutemukan dimana-mana,
padahal malam sebelumnya kau masih memelukku dengan penuh kasih sayang”, Mata Lintang
menatap tajam pada mata Dina yang gelisah, “Kau menghilang tanpa ucapan selamat tinggal,
tanpa kata-kata perpisahan.....apakah kau tidak tahu betapa paniknya aku? Betapa hancurnya
aku? Aku seperti orang gila mencarimu kemana-mana, tetapi kau seolah-olah lenyap ditelan bumi,
HPmu tidak pernah aktif, aku benar-benar telah kehilanganmu...”
Dina memalingkan mukanya sedih,
“Aku memang berencana untuk tidak bisa ditemukan....”
“Kenapa kau lakukan itu Dina? Kenapa kau lakukan itu kepadaku?”
“Karena aku tidak tahan lagi dalam perasaan bersalah.”
“Kau tidak perlu merasa bersalah Dina, pernikahankupun pasti akan hancur, bahkan kalaupun
aku tidak bertemu denganmu”
Dina menggelengkan kepalanya,
“Karena bertemu denganku kau jadi tidak mencintai isterimu lagi, itu dosaku yang tak termaafkan
Lintang, jadi aku harus pergi sebelum aku makin merusak segalanya.”
“Bukankah aku sudah bilang kepadamu, saat itu aku mengira mencintai isteriku, cintaku yang
sesungguhnya hanya kepadamu!”, suara Lintang meninggi menahankan perasaannya. Kemudian
dia menarik napas panjang, “Tapi sudahlah, mungkin ini semua sudah terlambat.... yang pasti aku
senang bertemu denganmu, kau sehat dan baik-baik saja, itu sudah cukup memuaskanku....”,
sekali lagi Lintang menghela nafas panjang, lalu melepaskan genggamannya dari Dina, “Aku akan
pergi, dan aku tidak akan mengganggumu Dina kalau itu maumu, sebenarnya dulu, kalau kau
mengatakan tidak ingin kau ganggu, aku pasti akan pergi juga, seharusnya kau tidak perlu
menghilang seperti itu”
Kau tidak tahu mengapa aku harus menghilang. Dina membayangkan Alita.
Lintang menatap Dina dalam-dalam, tersenyum sedih,
“Yah... kalau begitu, selamat tinggal Dina.”
Dina tertegun. Ada sesuatu, ada yang disembunyikan oleh Lintang. Karena itulah reflek ketika
Lintang hendak beranjak, Dina mencengkeram lengannya, menahan lelaki itu.
“Ada apa Lintang?”, tanyanya dengan lembut, selembut bisikannya dulu ketika dia memeluk
kepala Lintang dan membuainya di dadanya pada malam-malam mereka bersama.
Sejenak Lintang tampak kehabisan kata-kata. Lalu menarik napas panjang,
“Sangat menyakitkan bagiku ketika bisa bertemu denganmu lagi, tetapi menyadari bahwa aku
tidak pantas bahkan untuk mencoba memilikimu lagi’
“Apa maksudmu?”
Lintang menundukkan kepalanya,
“Lima tahun lalu aku mengalami kecelakaan.... fatal.... sebagai akibatnya, aku... aku masih bisa
berfungsi sebagai laki-laki normal... tetapi aku tidak akan pernah bisa mempunyai anak”, suara
Lintang bergetar, lalu memandang tangannya, tangan yang sekarang sudah tidak memakai cincin,
“Isteriku.... dia tidak bisa menerima keadaanku, dia meninggalkanku setelahnya....”, Lintang
menatap Dina dan tersenyum pedih, “Sekarang aku lelaki yang menyedihkan Dina, melihatmu
disini, masih mencintaimu sama dalamnya seperti yang dulu, tapi terbelenggu oleh perasaan hina
bahwa aku tidak pantas untukmu, aku tidak mungkin mengejarmu sementara aku tidak bisa
menawarkan apa-apa kepadamu, aku tahu kau sangat mencintai anak-anak, dan aku... aku tidak
bisa punya anak....”, setitik bening mengalir di sudut mata Lintang, dia mengusapnya buru-buru
lalu bangkit berdiri, “Sudahlah, aku tidak mau memberatkan dirimu dengan kisahku yang
menyedihkan ini.....”, Lintang menoleh dan tersenyum kepada Dina, “Setidaknya kau sehat dan
bahagia, itu sudah cukup untukku, hiduplah dengan bahagia Dina...”, tangan Lintang terulur dan
meremas lengan Dina, lalu membalikkan badannya tanpa kata.
Sementara itu Dina terpaku seperti patung. Ketika Lintang sudah semakin menjauh, Dina
bagaikan tersadarkan, dia berseru memanggil Lintang,
“Lintang?”
Lintang tertegun, lalu berbalik, ada kepedihan di sana,
“Ya?”
“Maukah kau....”, Dina menelan ludahnya, “Maukah kau ikut denganku ke rumahku?”
Lintang mengernyitkan keningnya tidak mengerti,
“Untuk apa?”
Dina tersenyum, jantungnya berdetak keras,
“Mungkin... mungkin ada seseorang yang sangat ingin bertemu denganmu disana”
“Maksudmu...?”
“Sudahlah, ayo ikut aku, kau akan tahu ketika kau disana”
******
Mereka turun dari mobil, dihalaman rumah Dina yang mungil dan asri. Lintang sejenak tampak
tertegun dan terpaku di balik kemudi,
“Dina.... aku.... aku tidak bisa menjalin hubungan lagi denganmu meskipun aku masih amat
sangat mencintaimu... tetapi aku tidak mungkin egois, membiarkanku bersamamu, sekaligus
membunuh impianmu untuk memiliki anak dalam sebuah perkawinan....”
“Ayo ikut aku Lintang”, Dina menyela, turun dari mobil sehingga mau tidak mau Lintang turun
mengikutinya.
Begitu Dina membuka pagar, diikuti Lintang yang melangkah ragu-ragu di depannya, pintu depan
terbuka, dan sosok mungil berpita dengan rok putih yang cantik menghambur keluar,
“Mama....!!! mama pulang cepat hari ini....!!! aku membawa gambar yang di puji oleh ibu guru,
mama pasti senang melihatnya... aku....”, cuara celotehan gembira Alita terdengar memenuhi
udara, tanpa henti, tak menyadari petir yang disambarkan oleh kehadirannya kepada Lintang.
Lintang hanya perlu menatap Alita, memperkirakan usianya, lalu menyadari kemiripan dirinya
yang terpatri jelas di wajah Alita. Matanya berkaca-kaca, jantungnya berdegup keras, dengan
gugup dia menatap mata Dina yang tersenyum, mencari jawaban di sana.
Benarkah? Tanyanya tanpa kata, hanya lewat tatapan matanya. Sejenak Dina hanya tersenyum
dan jantung Lintang berdegup keras. Oh Tuhan, kumohon, semoga ini bukan mimpi, semoga ini
bukan mimpi.... Lintang merapalkan doanya seperti mantra.
Lalu Dina mengangguk dan hati Lintang meledak oleh perasaan bahagia yang tidak bisa dilukiskan,
begitu pula air matanya.
Kemudian, baru Alita menyadari kehadiran lelaki asing di belakang mamanya, lelaki itu nampak
seperti menangis sekaligus tertawa, Alita menatap mamanya ingin tahu,
“Siapa ma?”, tanyanya penuh senyum. Alita anak yang ramah, yang selalu membagi senyum
kepada siapapun, bahkan meskipun itu lelaki asing yang dibawa mamanya.
Dina merasakan matanya panas, ingin menangis. Dadanya terasa penuh, dia menatap wajah
Lintang, wajah lelaki yang masih sangat dicintainya meski sepuluh tahun sudah mereka tidak
pernah berjumpa. Lelaki itu tampak kehilangan kata-kata, tetapi Dina tahu, Lintang sangat
bahagia. Semua penjelasan bisa dilakukan nanti. Yang penting adalah saat-saat ini, momenmomen
berharga ketika mereka bisa bertemu lagi. “Ini papamu nak”,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar