Daftar Blog Saya

Senin, 04 September 2017

Dalam Lingkaran Laut

Cerpen Jemmy Piran (Jawa Pos, 03 September 2017)
Dalam Lingkaran Laut ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Dalam Lingkaran Laut ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
Sebagai pelaut ulung, Koli tahu kapan waktu yang tepat ikan-ikan berkumpul dalam sebuah gerombolan besar. Ia hanya perlu mendayung ke tengah laut, melihat arah angin, lalu menurunkan pukat, menunggu beberapa saat sambil menengadah ke langit, merapalkan doa-doa pendek setengah berbisik, menyentuh permukaan laut dan melihat ke ujung pukat yang telah diikat pada buah kelapa terapung. Sesaat sesudah itu pukatnya di tarik-tarik ke bawah.
Saat-saat seperti inilah yang ia tunggu, karena bukan hanya mendebarkan tapi segera ia kembali memanjatkan rasa syukur, me ngingatkan ia pada kisah dalam kitab suci bagaimana murid pertama dipanggil. Ia merasa dirinya adalah murid di zaman sekarang. Ketika orang-orang menggunakan perahu mesin, ketinting, pukat harimau, pukat jepang, pergi ke tempat yang jauh untuk mendapat ikan yang banyak, ia justru hanya menggunakan dayung dan sampan kayunya yang sudah agak lapuk. Ia meninggalkan pesisir, cukup mendayung ke tengah laut, lalu menurunkan pukatnya.
Betapa bahagia ia ketika melihat warga yang membeli hasil tangkapannya merasa bahagia. Ia selalu melebihkan beberapa ekor ikan. Kadang ia membagikan secara gratis kepada warga. Kadang memang harus diberikan secara gratis agar rezeki terus melimpah, pikirnya. Begitulah kerja alam, pikirnya lanjut.
Ia adalah saksi sejarah masa lampau. Saat orang-orang mengandalkan ilmu pengetahuan untuk menangkap ikan, ia masih menggunakan cara lama. Mengeruk sedikit bala [1], membungkusnya dalam kapas dan meletakkan kapas itu di sudut pesisir setelah merapalkan mantra, di antara bakau, dan satunya lagi ia larungkan ke laut.
Karena seperti yang diwasiatkan oleh tetua, segala yang berkeriap dalam laut punya tuan maka untuk mengambil hasil laut setidaknya ada sesuatu yang harus diberikan sebagai ganti. Begitu juga dengan semua binatang yang berkaki dan melata di darat juga mempunyai tuan. Juga tidak harus melupakan Sang Pemilik Segala: Tuhan.
Wasiat itulah yang sampai sekarang masih ia pegang dengan teguh. Hanya ada satu larangan: tidak boleh mengambil sesuatu secara berlebihan.
Sementara pada bulan sabit, ia membawa telur, kapas, miniatur piring yang terbuat dari daun lontar yang dianyamnya sendiri, yang diisi dengan beras, ke pantai. Ia membuat seremonial semacam itu karena, menurut tetua, untuk menghormati pertemuan antara raja laut dan raja darat di pantai. Mereka harus diberi makan. Maka sesajian itu rutin ia laksanakan untuk menghormati mereka. Kepercayaan ini ia pegang teguh untuk menghargai leluhurnya.
***
SEBETULNYA ada seorang lagi di kampung pesisir itu yang pandai membaca laut. Tapi, setelah terjadi beberapa kejadian aneh, keluarganya melarang agar ia tidak berhubungan dengan laut. Segala benda, anak panah, tombak, kacamata selam yang digunakannya untuk menyelam, dibakar tanpa sisa. Semua itu semata agar lelaki tersebut tidak lagi ke laut.
Begini menurut cerita si lelaki itu.
Tiap tiga purnama, pada malam gelap, dua orang wanita cantik membangunkannya dari tidur. Dua wanita cantik itu membawa obor yang terangnya melebihi cahaya di siang hari. Dengan sendirinya, seperti didorong oleh suatu kekuatan luar biasa, tanpa bisa ia tahan, ia turun dari tempat tidur, mengendap-endap tanpa suara. Membuka pintu rumah, dan dua wanita itu berdiri di sisi pintu siap menerangi jalannya.
Ia memandang ke arah laut. Dari tengah laut ada satu cahaya kecil bagai noktah di kejauhan. Pelan, tapi dalam satu kedipan mata cahaya itu menyelimuti dirinya. Di saat bersamaan kakinya terangkat, badannya tertarik ke depan. Di sisinya dua orang perempuan menenteng obor, menerangi jalannya. Orang lain berpikir ia lari dalam kegelapan tapi sesungguhnya ia lari dalam terang yang lebih terang dari cahaya matahari.
Ibunya berteriak meminta bantuan tapi terlambat. Sebelum suaranya membelah malam, lelaki itu sudah berlari dengan kecepatan yang ia sendiri tidak bisa jelaskan. Cepat, cepat sekali bagai merasa dirinya terbang. Padahal sebetulnya jalan di kampung pesisir itu penuh batu, tapi malam ketika ia berlari semua bagai bentangan lantai.
Ketika orang baru terkesiap bangun ingin menghadangnya, ia sudah sampai di pesisir pantai. Begitu tersadar ia tidak tahu kenapa sudah berada di pesisir seorang diri. Bagai sebuah omong kosong, tapi memang itulah kenyataan yang ia alami. Sesudah itu, keesokan harinya, ia seperti biasa bagai tidak pernah mengalami apa-apa. Ketika ditanya ia menuturkan apa adanya.
Setelah ceritanya tersebar, warga yakin bahwa dirinya telah dinikahkan dengan harin botan [2]. Maka dipanggillah dukun untuk menangkalnya.
Dua tahun kemudian, pada suatu pagi, maut meregang nyawanya ketika ia bersama dua kawannya menyelam, menembak ikan. Menurut penuturan kawannya, ia tertinggal di belakang, dan setelah beberapa kali mereka melihat ke belakang dan tidak menemukannya muncul di permukaan, akhirnya mereka kembali. Setelah beberapa kali berputar, mereka menemukan tubuh lelaki itu terlilit tali di samping batu. Terlihat seperti ada yang mengikat erat perutnya pada batu tersebut.
Begitulah cara harin botan memilihkan maut untuk dirinya.
***
BETAPA Koli meyakinkan warga bahwa menangkap ikan bukan hanya soal bagaimana mengusai ilmu pengetahuan, menggunakan alat-alat canggih, tapi harus juga menggunakan pengetahuan yang diturunkan dari nenek moyang, warga tetap tidak percaya. Mereka berpikir ia telah menikah dengan harin botan sehingga tangkapannya selalu banyak. Dan, akan selalu banyak, sekalipun pelaut lain nyaris tidak mendapat seekor ikan pun.
Bukan hanya itu, yang lebih ekstrem lagi adalah sebagian warga kemudian menuding Koli menggunakan tuber manger [3] untuk memanggil ikan. Tapi hal ini tidak terbukti. Biasanya orang yang menggunakan cara ini, dalam beberapa jam ikan-ikan itu membusuk, atau, kalau tidak, dalam perut ikan terdapat ulat hidup setelah beberapa saat digoreng.
“Kita hanya perlu menyeimbangkan alam,” ujaranya filosofis. Tapi, warga ya tetap warga, lebih percaya pada kabar yang merebak. Warga mencibir menanggapi ceritanya.
Kabar itu segera beredar dari mulut ke mulut. Terbawa ke dalam angin, memasuki celah-celah rumah. Hidup di sebuah perkampungan kecil segala hal bisa mengalir bagai air, sekalipun itu tampak biasa-biasa saja.
Warga mulai menyoal keberadaan Koli. Mereka beralih ke pelaut lain. Tinggal satu-dua yang masih setia membeli ikannya. Itu juga karena rasa kasihan. Tapi ikan-ikan yang dibeli dari Koli akhirnya menjadi makanan anjing dan babi. Ikan-ikan hasil tangkapannya tetap melimpah, sementara pembelinya kian susut.
Kecurigaan itu semakin besar ketika Koli seakan menarik diri dari kegiatan kampung. Ia tidak menampakkan batang hidungnya saat ada kerja bakti perbaikan jalan, semenisasi. Ketika orang beramai-ramai mengumpulkan batu sebesar kepalan tangan, yang dibeli dengan anggaran desa 250 ribu per kubik, ia justru melaut.
Kadang ia hanya duduk berlama-lama di pinggir laut. Memandang ke laut lepas hingga senja lamur. Atau mengayuh sampan ke tengah laut, duduk di sana sepanjang hari tanpa berbuat apa-apa. Tentu saja yang ia pikirkan adalah kenapa warga tidak percaya kepadanya. Apakah ini ujian baginya? Sudah tidak punya siapa-siapa dibenci pula.
Nyaris saja air matanya luruh, tapi ia menahan sekuat tenaga. Menangis di tengah laut adalah pantangan yang harus ia jaga. Karena warga percaya bahwa menangis di laut akan mendatangkan petaka.
Di tengah laut, Koli bisa mengenang banyak hal tentang alam yang selalu berbaik padanya. Ia merasa telah menjaga keseimbangan alam dengan baik. Memang beberapa tahun terakhir ikan berkurang karena penangkapan yang berlebihan, tapi, baginya, itu bukan persoalan karena tangkapannya selalu mencukupi. Terumbu karang rusak karena bom. Ikan-ikan kecil dan besar mati karena diracun potas.
Ia menyentuh permukaan laut yang bergelombang. Merasakan dingin menjalar ke dalam tubuhnya. Angin kering bertiup dari darat. Ia merendahkan badannya, mendekatkan wajahnya pada permukaan laut.
Semula hanya beberapa nelayan melihat ke arahnya. Tidak sampai sejam orang-orang berkumpul di pesisir.
“Lihat, bukankah dia sedang bercakap-cakap dengan harin botan? Dia tidak membawa pukatnya, terus kenapa ia terlihat seperti itu?” celetuk seorang nelayan.
“Dia membuatku menjadi takut,” ujar seorang wanita sambil menurunkan ember dari kepalanya.
“Bukankah itu membuktikan bahwa dia telah dinikahkan dengan penghuni laut?”
“Sebaiknya kita tidak berpikir yang bukan-bukan. Kita sama seperti dia, hidup bergantung pada laut.”
Orang-orang yang berkumpul itu berdebat. Dari mulut mereka yang cerewet aroma asin laut menyatu dalam udara. Lalu mengirim ke dasar samudera.
Karena rasa penasaran, beberapa nelayan berpura-pura melaut. Saat mendekat mereka melihat Koli hanya duduk mengelamun dan melemparkan pandangan di kejauhan. Ia baru terkejut ketika ada yang memanggil namanya.
Ketika ditanya, ia selalu menjawab tidak apa-apa. Nelayan-nelayan itu pun menjadi kasihan tapi mereka merasa enggan untuk memperbaikikeadaan karena lebih memilih jalan aman—mengikuti suara terbanyak. Mereka tidak mau pada akhirnya warga mengganggap mereka telah bersekongkol dengan Koli.
Ketika senja menjulur di garis cakrawala bagian barat, ia mengayuh perahunya menuju pantai. Sebelum mengayuh ketiga kalinya, ia mendengar kecipak air di sampingnya. Ada sekelabat gerak di bawah sampannya. Begitu samar tapi ia bisa memastikan seperti ada seekor ikan menikam ke dasar laut.
***
“IA jatuh cinta dengan seorang iblis,” kelakar Arwana, pemuda kampung, disambut gelak tawa pemuda lain yang sedang menghadap sebuah botol minuman.
Lanjut lelaki yang sudah mulai oleng itu, “Pernah aku mampir ke rumahnya, pura-pura meminta umpan ikan padanya. Katanya, ada satu cara agar hasil memancing banyak. Campurlah kutu busuk dengan umpan karena bau kutu mampu membuat ikan tertarik. Katanya juga cara itu sebetulnya tidak memengaruhi kualitas ikan. Tidak ada efek samping.” Ia mengatur napas.
“’Kenapa juga ia tidak menerima sumbangan dari pemerintah? Bukankah itu lebih memudahkan pekerjaanya. Bodoh amat.” Arwana menekan nada suaranya pada kata amat. Kembali orang-orang tertawa. Tepat saat itu Koli lewat. Ia mendengar kelakar itu dengan hati pedih.
Ia melangkah meninggalkan kumpulan anak muda tanpa meladeni mereka. Tidak ada gunanya berdebat dengan mereka yang sudah setengah sadar, di bawah pengaruh alkohol, pikirnya. Ia mengelap air mata yang meleleh di sudut matanya. Mengelus dadanya dengan tangan gemetar.
Hari itu ia pulang dengan dada terluka. Ia sesenggukan di tempat tidurnya yang penuh dengan kutu busuk. Akhirnya ia kelelahan dalam letih pikirannya.
***
PAGI, sebelum warga bangun, sebelum fajar membelah langit, lelaki tua itu mengambil dayungnya. Mengambil rebusan ubi sisa semalam, menyimpannya dalam plastik hitam. Ia mengantungkan plastik tersebut pada dayung, mengambil sisa pukat di dapur—menggayutkan pukat itu di bahu kanannya. Meletakkan gagang dayung pada bahu kirinya. Ia pergi.
Pagi ini ia sudah berpikir untuk membawa tangkapan ikan ke pasar.
Di bibir pantai ia menunggu hingga matahari di tubir bukit. Ia menolak perahunya. Ketika seluruh wajah matahari terlihat, ia naik ke perahu kecil itu dengan dada yang lebih ringan. Ia bersiul-siul kecil sambil mengayuh. Perahu terdorong ke depan setiap ia mendayung, kian ke tengah laut. Terus ia mengayuh hingga daratan di belakangnya makin menjauh dan terus menjauh, hingga lenyap.
Koli menoleh ke belakang. Ia tersenyum. Perahunya semakin melaju tenang di tengah laut.
Tiba-tiba di depannya ia melihat gulungan ombak dari kejauhan. Ia semringah sambil merentangkan tangan, membiarkan dirinya menyatu dalam pelukan ombak yang lembut. Sebelum ombak memisahkan ia dari perahunya, lelaki itu melihat segumpal cahaya yang melesap cepat dari arah langit kemudian menyatu dalam dirinya.
Dalam laut itulah beberapa wanita cantik menyambutnya dengan senyum mengembang. Di sana istrinya sedang duduk manis sambil merentangkan tangan menyambutnya dengan hangat. Ia tidak percaya kenapa harus menghadap harin botan. Sebelum ia menemukan jawaban, wanita itu telah melumat bibirnya dengan ganas. ***

Alak, April 2017

Catatan
[1] Belalai/gading gajah selain sebagai mahar, juga digunakan untuk ritual tertentu.
[2] Masyarakat Lamaholot, Flores, percaya bahwa harin botan adalah sang penjaga laut. Ia bisa berubah wujud menjadi apa saja saat menampakkan dirinya pada orang-orang tertentu.
[3] Merujuk pada penggunakan bagian tubuh mayat (tulang belulang, kuku dan rambut) untuk kepentingan tertentu.

Jemmy Piran lahir di Sabah, Malaysia, 18 Februari. Alumnus PBSI Universitas Nusa Cendana, Kupang.

Percakapan Dua Perasaan

Cerpen Han Gagas (Kompas, 03 September 2017)
Percakapan Dua Perasaan ilustrasi Deden Durahman - Kompas.jpg
Percakapan Dua Perasaan ilustrasi Deden Durahman/Kompas
Udara pagi yang segar seketika terasa sesak saat dia mulai marah-marah. Makian-makiannya merusak suasana. Seprai, kasur, dan bantal berhamburan. Semua berantakan. Susah juga para suster menenangkannya. Setiap hari Sabtu, dia selalu begitu.
Satu-satunya cara adalah membiarkannya, mengisolasinya dengan mengurungnya di bangsal akut. Nanti, setengah hari kemudian, saat mulai reda, aku akan mendekat, memberinya air putih, segelas. Sekali teguk minuman itu tandas. Kuberi rokok sebatang, dan menyulut ujungnya dengan api. Saat dia mulai mengisap dan menikmati rokok itu pertanda ia sudah tenang. Aku akan duduk di sampingnya, berjam-jam. Kami berdua berdampingan, tanpa bicara, hanya sesekali aku ikut bersedih, ikut menangis diam-diam, sedang dia sesekali hanya mendesis lirih, dengan tatapan hampa.
Hari Sabtu, aku tak tahu, ada apa dengan hari itu. Bukankah semua hari sama? Siapa yang bisa menjelaskan kepadaku, apakah hari itu terasa berbeda dengan hari lainnya. Apakah di hari itu terasa lebih kelabu, dengan matahari yang malas bersinar? Udara seperti malas bergerak sehingga tak ada angin berembus, seakan udara diisi kemarahan sehingga tak ada vitalitas di dalamnya, dan dia jadi mudah marah.
Ya, hari Sabtu, aku rasa, baginya, sekali lagi aku rasa, baginya pasti terasa berbeda. Hari Sabtu seperti hari paling buruk buatnya. Hari yang selalu mengusik pikirannya.
Tapi, untuk kau tahu, Sabtu, sesungguhnya, juga hari paling sedih buatku. Namun aku telah bangun dan sembuh, telah meninggalkan kemuraman itu, sedang dia masih hidup di dunia itu, masih tenggelam dalam kemarahan itu.
Di hari Sabtu, sejak pukul 6 pagi setelah membersihkan bangsal sedari subuh, aku menyiapkan segalanya, seluruh diriku, perasaan dan pikiranku, untuknya, untuk menemaninya, untuk memberitahunya bahwa ada orang yang menyayanginya, ada orang yang menemaninya, agar dia tak merasa sendirian, agar dia tak merasa kesepian. Walaupun, aku tak begitu yakin, dia tahu.
“Kenapa?” tanya Suster Fransiska kepadaku dua puluh bulan lalu, yang entah kenapa, pertanyaan itu selalu berputar kembali setiap kali dia kambuh, dan aku tergerak membantunya.
“Aku mencintainya sejak sekolah menengah atas.”
“Bukankah keluarganya memiliki riwayat gangguan jiwa?”
“Aku tak peduli, hanya aku tak sanggup melawan suara dari perasaanku sendiri, bahkan, sejak kami pertama bertemu di ruang kelas.”
“Kau akan sakit atau kecewa.”
“Cinta sepahit apa pun aku siap menanggung, kecewa sesakit apa pun jika bersamanya akan terasa tak berat.”
Di antara tujuh suster yang menjaga Bangsal Srikandi ini, Suster Fransiska yang paling dekat denganku. Dan aku juga merasa dekat dengannya, seperti ada zat kimia yang membuat tubuh kami merasakan hal sama, dan menakdirkan bersama.
Selalu setiap maghrib, setelah suara azan terdengar dan lonceng gereja berdentang tanda jam kebaktian malam dimulai, dia mulai tenang. Setiap senja berubah malam, perasaannya seperti memasuki keheningan malam, seakan aura alam semesta ikut mewarnai seluruh perasaan dan pikirannya. Warna alam, dan mungkin hanya orang-orang seperti dirinya yang bisa melihat dan merasakan, mampu menenangkannya. Ia berjalan pelan ke dipan, lalu rebah, tersenyum kecil pada sebuah tanda salib di atas dinding, menangkupkan tangan, dan berdoa.
Dia meringkuk dan berdoa dalam bentuk tubuh yang sama berjam-jam, seperti angka 5, tanpa bergerak sedikit pun, lalu sebelum jatuh tertidur, air mata merembes keluar dari kedua sudut matanya. Sesungguhnya setelah dia didiagnosis skizofrenia paranoid akut, yang dianggap paling parah dan terbelah, aku makin tak gentar membersamainya karena tersentuh oleh adegan itu, di mana dia berdoa dengan sikap rapuh, dan dengan air mata yang meluruh. Buatku, aku berutang iman pada air mata itu, karena aku telah bertahun-tahun tak merasakan getaran perasaan akan kehadiran Tuhan dalam hidupku.
“Apakah kau juga tahu bahwa dia telah membunuh seorang lelaki?”
“Iya, aku membaca pengakuannya.”
“Tak lewat dari bapa pendeta?”
“Tidak, dia menulis sajak.”
“Sajak?”
“Mungkin semacam itu.”
“Bolehkah aku baca?”
Aku ambil catatan harian itu dan memeriksanya untuk menemukan sajak itu, lalu kusodorkan kepada Suster Fransiska yang langsung membacanya:
Apakah ini kehidupan nyata? ataukah cuma khayalan? Aku terperangkap dalam kabut gelap. Tak bisa lari dari kenyataan. Aku hanya anak miskin… anak miskin. Aku sendirian, kesepian. Tapi aku tak butuh simpati. Karena aku bisa terbang, ringan. Ke mana pun angin berembus.
Mama… aku baru membunuh seorang lelaki, kutancapkan pisau dapur ke perutnya. Kubenamkan, dan kini dia mati. Mama, hidup baru dimulai. Namun kini aku telah pergi dan menyia-nyiakannya.
Mama, ooh bukan bermaksud membuatmu menangis. Jika aku tak kembali esok hari. Tegarlah, tegarlah seolah segalanya tak berarti. Mama ooh aku ingin mati. Kadang aku berharap tak pernah dilahirkan….
Suster Fransiska merinding membaca secarik surat itu. Tubuhnya sedikit gemetar, ia segera meminum segelas air yang ada di dekatnya. Dalam hidupnya sendiri ia juga mengalami hari-hari yang kelam di mana tak ada yang ia pikirkan kecuali kematian, serta pasang surut hubungannya dengan mama. Telah lama ia tak berbicara dengan mamanya, dan sajak itu telah menggugah kembali kesadarannya untuk berniat menghubungi mamanya.
“Kenapa dia membunuh lelaki itu?”
Aku tak bisa menjawabnya. Aku menyimpan rapat-rapat persoalan itu.
“Mamanya?”
“Kabarnya dia bunuh diri.”
“Ya Tuhan…, dia tak tahu anaknya telah diampuni, dan tak jadi dihukum mati?”
Aku mengangguk.
***
Lima tahun sebelum aku bekerja di Panti Rehabilitasi ini, aku bekerja di sebuah toko swalayan, menjadi juru kasir, dan dia bekerja di sebuah kafe di seberang tempat kerjaku. Dia seorang pelayan.
Kafenya bersifat terbuka, dan kaca tokoku transparan. Walau agak berjauhan, setiap saat kami saling bertukar senyuman. Semua berjalan indah, hingga beberapa minggu kemudian terjadi peristiwa buruk yang dimulai dari luluhnya hatiku untuk diajak menumpang mobil.
Aku tak enak hati untuk lagi-lagi menolak bosku yang berniat mengantarku pulang. Setiap orang pasti memiliki firasat. Rasanya seperti ada yang salah saat aku telanjur masuk ke dalam mobil, dan yang pertama kali kukhawatirkan adalah dia. Aku sempat melihatnya memandangku tajam!
Tapi ternyata, bukan itu yang membuatku gusar. Kekhawatiranku salah. Arah mobil ternyata tak membawaku pulang. Aku dipaksa menuju suatu bangunan yang tak kukenali. Dan di sana, di hari Sabtu yang kelabu, yang kuharap itu hanya mimpi, aku melalui itu semua, dalam kepedihan, dan perasaan yang hancur. Aku diperkosa berkali-kali.
Aku meratap pada sajak-sajak dan dinding-dinding malam. Pada keheningan dan keinginan untuk pergi jauh. Rasanya aku ingin hilang, hilang ditelan bumi ini.
Sabtu yang suram. Waktuku untuk terlelap, dalam bayangan aku hidup dalam hitungan detik. Bunga kecil tak akan pernah membangunkanmu, kesedihan telah terjadi, malaikat tak pernah memikirkanku untuk utuh seperti sedia kala.
Sabtu yang suram, dalam bayangan, kulalui semua kepahitan ini. Hatiku ingin mengakhiri semua, memutuskan mengakhiri semua. Segera akan ada lilin dan doa yang sedih. Aku tahu, biarpun mereka menangis untukku, aku tahu aku senang untuk pergi. Kematian bukan mimpi, dan dia sedang membelaiku, sedang membelaiku.
Dengan napas terakhir jiwaku, Tuhan akan memberkati. Hari Sabtu yang suram, membayangkanmu, bersamaku, menemukanmu tertidur di sampingku.
Aku ingin pergi jauh ke tempat yang siapa pun tak mengenali dan kukenali. Aku  melangkah ke mana saja, berjalan tanpa tujuan, tak terbilang waktu, hingga di sebuah sudut taman di dekat gereja, saat mendengar lonceng itu, entah kenapa aku ingin istirahat. Segalanya tampak tenang bagiku, seolah tak ada yang kusesali dalam hidup, tak ada lagi keriuhan dan kesedihan, rasanya kepergian menjadi pilihan yang membebaskan, dengan hati tenang, aku menelan puluhan pil itu.
Tiba-tiba seseorang menggenggam erat tanganku.
“Aku tahu apa yang kau rasakan, tegarlah, aku juga pernah mengalami itu,” katanya cepat.
Rasa dingin yang sejak tadi menjalar, anehnya, berubah hangat. Aku menatap sepasang matanya, mata yang jujur, mata yang juga sedih, yang tak mungkin berbohong. Aku memeriksa pakaiannya, seragam seorang suster, dengan pin nama: Fransiska.
Suaranya terdengar lembut, seperti lantunan lagu paling sendu yang diantarkan angin dari sebuah telaga. Ia memelukku erat, dan memaksaku memuntahkan puluhan pil yang kutelan.
“Apakah suster juga pernah diperkosa?” tanyaku lirih, setelah mulai mendingan.
“Banyak perempuan yang diperkosa lelaki, makin banyak, dan mereka hanya bisa menelan kenyataan pahit itu, dan melupakannya, ya melupakannya, itu hanya mimpi, hanya mimpi sayang, dan kau tak sendiri, sekali lagi kau tak sendiri.”
Sabtu yang kelam. Malam turun disertai gerimis. Dalam rinai hujan kami berpelukan erat. Semua manusia masuk ke peraduan masing-masing, menuju tempat-tempat terhangat, sedang kami dalam hujaman hujan yang makin deras, dalam dingin yang menggigil, melangkah memasuki gereja.
“Aku bukan nasrani….”
“Kita mencari tempat berteduh.”
Aku mengangguk. Tak lama, teh panas tersaji buat kami.

Han Gagas, menulis buku kumpulan cerpen Catatan Orang Gila (Gramedia Pustaka Utama, 2014). Novel terbarunya, Sepasang Kekasih Gila, terbit pada Januari 2017.

Di Jok Belakang Mobil

Cerpen Lamia Putri Damayanti (Koran Tempo, 02-03 September 2017)
Di Jok Belakang Mobil ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo.jpg
Di Jok Belakang Mobil ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Aku tak pernah tahu mengapa pria itu membunuhku. Bahkan aku tak pernah bisa mengingat bagaimana kehidupanku sebelum mati. Seolah terlahir kembali seperti bayi, tanpa memori, tanpa kenangan. Setelah terlahir dari kematian, aku tak pernah mengingat semua ingatan dalam Rahim kehidupan. Sesaat setelah lepas dari tubuh, aku hanya melihat seorang pria menangis tersedu-sedu—di dekat jasadku. Awalnya aku sempat berpikir bahwa dia adalah anggota keluarga yang kutinggalkan. Mungkin dia kakekku, atau bahkan ayahku. Wajahnya terlihat cukup tua.
Namun pria itu hanya membiarkan tubuhku begitu saja selama tiga hari, lengkap dengan bajunya. Yang dilakukan pria itu hanyalah menangis menjerit-jerit. Sesekali sambil membentur-benturkan kepalanya atau menubrukkan badannya, baik ke dinding maupun lantai. Melalui racauan penyesalannya, kuketahui bahwa aku mati karena dibunuh olehnya. Meski pria itu tak menjelaskan mengapa ia membunuhku. Dan aku pun masih tidak tahu, siapa pria itu sesungguhnya?
Di hari ketiga setelah kematianku, pria itu pergi ke gudang, mengambil sebotol cairan formalin untuk mengawetkan tubuhku. Berulang kali dia menceracau, mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak mati, sebab sebentar lagi aku akan menjadi utuh kembali. Sehat lagi. Bisa berjalan-jalan, berlari-larian, dan tertawa-tawa lagi. Baginya, mengawetkan tubuhku adalah salah satu cara menganggapku masih hidup.
Padahal tidak. Aku sudah mati terbunuh di usiaku yang masih sangat muda. Terlihat dari jasadku, aku pasti masih kanak-kanak. Mungkin berusia sebelas atau duabelas.
Meski begitu, pria itu sepertinya tidak ingin terburu-buru menganggapku telah mati. Ia berpura-pura bahwa aku masih hidup dan membawa awetan tubuhku ke mobilnya, meletakkanku di jok belakang mobil. Ia kemudian membawaku berkeliling tanpa arah dan tujuan selama sebelas tahun penuh tanpa ada satu pun tempat yang benar-benar kami singgahi. Selama sebelas tahun itu, kami berdua “hidup” bersama di dalam mobil usang ini. Aku sebagai roh seorang anak lelaki berusia duabelas tahun yang setia mengikuti awetan tubuhnya dan seorang pria yang terus menua.
Kami pergi ke mana saja. Tanpa arah dan tujuan. Selalu seperti itu. Seolah-olah kami merencanakan suatu vakansi atau perjalanan panjang yang menyenangkan. Padahal kami hanya berputar-putar, meski tak sampai mengukur keliling bumi. Pada awal-awal perjalanan kami yang selalu impromptu, pria itu selalu mengajakku berbicara. Meski ia lebih terlihat seperti orang yang tak berhenti menceracau sendirian. Selama itu, ia tak lebih seperti seorang pemain sandiwara yang kedapatan bagian untuk terus bermonolog dan berkramagung. Di atas panggung yang temaram. Seorang diri.
Racauannya selalu sama, yakni penyesalan-penyesalan yang tak pernah berujung. Pernah suatu kali, ketika usiaku menginjak limabelas tahun, menurut dia, seharusnya aku adalah remaja kelas satu SMA. Tapi dia malah membunuhku, menghancurkan masa depanku. Kemudian, untuk kesekian kalinya, ia menangis tersedu-sedu. Persis seperti tahun pertama aku melihatnya.
Sebetulnya, aku ingin sekali menanggapi semua ucapannya. Aku juga ingin mengatakan kepadanya bahwa masa depan tak bisa ditebak akan hancur atau terbangun hanya dengan tanda kelahiran dan kematian. Yang paling utama, aku ingin bertanya kepadanya mengapa ia membunuhku dan apa hubunganku dengannya. Tapi aku selalu urung melakukannya. Dia pasti ketakutan kalau mendapati bahwa awetan mayat bisa berbicara. Aku juga tidak pernah tahu mengapa aku bisa berbicara. Aku pernah membuat suara-suara aneh karena bosan, dan ternyata pria itu mendengarnya. Berulang kali ia mencoba menghibur dirinya sendiri dari ketakutan-ketakutan yang setiap hari beregenerasi.
Barulah di usia keenambelas aku mulai berani bersuara.
“Aku tidak pernah merasa hancur. Aku sangat senang,” aku berucap lirih, menanggapi derai-derai rasa bersalahnya yang terus ia ulang-ulang selama empat tahun lamanya. Aku tidak bercanda. Aku senang ia meletakkanku tepat di samping jendela mobil di belakang kursi pengemudi, tepat di belakangnya. Aku bisa melihat jalanan yang mulai usang tapi tak berapa lama kemudian menjadi baru. Suatu hari, jalan itu akan kembali usang dan jadi baru lagi. Terus seperti itu. Dan aku tak pernah bosan selama mobil tua ini terus melaju, melewati kendaraan-kendaraan lain, menyalip truk-truk lambat, mengklakson motor-motor yang ugal-ugalan, melewati pohon-pohon yang tinggi, juga sesekali mengambil jalan yang bersebelahan langsung dengan pinggir pantai. Aku selalu senang berada di jalan dan berada pada roda yang berputar dan tak pernah bosan.
Mungkin, saat aku masih hidup, aku adalah anak kecil yang bercita-cita berkeliling dunia. Meski tak benar-benar melihat negara lain, pria ini sudah mengajakku ke banyak tempat dengan cara-cara yang tak terduga.
“Aku senang bisa mengelilingi banyak tempat. Kupikir kau juga menikmatinya.”
Mendengar itu, ia mendadak langsung mengerem mobilnya. Raut wajahnya menjadi menunjukkan ketakutan. Melalui kaca spion, aku bisa menyaksikan bagaimana matanya bergerak-gerak gusar. Kegelisahan terpancar dari gerak cepat bola matanya. Di dahinya, menetes keringat dingin.
Tak sampai semenit, pria tua itu langsung membuka pintu mobil dan berlari ketakutan. Ia tidak menjerit-jerit. Tapi ia berlari sangat cepat. Dan begitu jauh. Sampai tak terlihat.
Aku menyesal mengatakannya. Sudah kukatakan berulang kali kepada diriku sendiri agar tidak menanggapinya berbicara. Aku bahkan menahan rasa penasaranku untuk tidak bertanya mengapa pria itu membunuhku. Sekarang aku malah mengucapkan kalimat-kalimat bodoh. Ia ketakutan dan mungkin akan meninggalkanku sendirian di mobil ini selama-lamanya.
Namun, tak berapa lama kemudian, pria itu tiba-tiba kembali. Wajahnya kelihatan bahagia. Ia masuk ke dalam mobil dan menatapku sembari tersenyum lebar.
“Kau masih hidup!” jeritnya. “Sudah kubilang, kau masih hidup,” ia memelukku, kemudian tertawa bahagia sekali. Inilah pertama kalinya aku melihatnya begitu senang. Tanpa ada lagi cerita-cerita sedih dan pahit yang terus ia bagi kepadaku-sampai kadang-kadang aku merasa mobil ini begitu sesak karena ia tak pernah sekali pun melempar cerita lucu.
Semenjak itu, kami jadi akrab. Setiap hari kami membicarakan apa pun, semua hal yang kami temui di jalanan dan rentetan lelucon. Hal ini terus berlangsung selama tiga tahun. Pada tahun ketujuh, ia menyadari kembali bahwa aku sungguh-sungguh telah mati. Usiaku sembilan belas waktu itu, tentu kalau masih hidup.
Di ruang kemudi, ia kembali menangis berguling-guling. Aku merasa sedih melihatnya seperti itu. Ia seperti pria yang terjebak dalam suatu belenggu yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun. Saat pria itu kembali menyematkan sajak-sajak penyesalan yang terus ia ulang-ulang di mobil sedannya yang sempit dan semakin bau apek, aku malah bertanya kenapa waktu itu ia memutuskan membunuhku. Seperti reaksi yang selalu aku lihat sebelumnya, ia menangis kencang sekali.
Aku tak suka melihatnya bersedih terus-menerus, dan memutuskan langsung mengganti pertanyaan: mengapa ia terus menangis dan bersedih?
Jawabannya selalu sama: ia telah menghancurkan hidupku. Keberadaanku di jok belakang mobilnya adalah rasa bersalah yang menghantuinya: mengikutinya ke mana pun ia pergi. Selama ini ia telah salah sangka: menganggapku masih hidup dan mengira aku benar-benar melempar lelucon di malam hari yang sepi dan ikut berkomentar tentang kendaraan-kendaraan yang mencoba terlibat balapan dengan kami.
Pada hari itu pula, ia menyuruhku membunuhnya. Agar rasa bersalah itu menghilang bersamaan dengan kematiannya. “Bunuh aku!” ia menjerit. Pria tua yang malang itu menjerit. “Kau mau aku mati, kan? Makanya kau terus mengikutiku? Bunuh aku sekarang juga!”
Aku menolak karena tak bisa membunuh. Dan aku memang tak berniat membunuh seorang pun di dunia ini.
Dengan tangan gemetaran, ia menaruhku di bagasi mobil. Aku merasakan mobil usangnya meluncur dengan lebih cepat. Tidak seperti biasanya.
Dan, ternyata, ia membuangku di hutan yang sepi. Aku tak bisa berbuat apa pun. Rasa-rasanya, ia memang sungguh-sungguh ingin membuang rasa bersalah yang menghantuinya. Padahal aku tak pernah menganggap diriku sebagai sebuah “rasa bersalah”. Aku juga tak berniat menghantui siapa pun. Hari itu, aku mengira diriku akan mati terbunuh sepi di dalam hutan yang gelap dan penuh suara-suara asing. Tolol, aku sudah mati. Tak mungkin aku mati untuk kedua kalinya.
Beberapa hari kemudian, ia datang lagi. Ia meminta maaf sambil menangis.
Lalu, pada hari itu pula, ia memberi sebuah tawaran kepadaku.
“Aku akan berhenti kabur dan akan menyerahkan diri. Aku akan bilang pada mereka aku membunuhmu tujuh tahun lalu. Aku akan mengantarmu supaya pergi dengan tenang.”
Ia menatapku dengan raut wajah yang serius. Aku baru menyadari bahwa keriputnya bertambah tiga di sekitar mata dan dahi.
“Kau mengusirku? Aku sudah tenang di jok belakang mobilmu,” aku langsung menyelanya. “Tapi aku tak suka di bagasi. Jangan letakkan aku di sana lagi,” aku tertawa renyah, meski tak kulihat ia juga ikut senang mendengarnya.
Kami berdua seolah-olah tak punya pilihan, meski aku tak ingin pergi. Kemudian, aku memberinya penawaran lain.
“Anggap saja aku masih hidup. Berpura-puralah seperti itu. Dan aku juga akan berpura-pura masih hidup. Anggap saja seperti itu. Aku senang jika kita memang harus berpura-pura agar bisa bersama. Aku suka perjalanan ini, semua yang tanpa arah dan tujuan dan kita menjalaninya begitu saja,” ia menatapku dengan pandangan nanar.
Namun akhirnya ia menyepakati keputusan itu. Kami sama-sama berpura-pura. Ia berpura-pura bahwa aku masih hidup, padahal sudah mati. Dan aku berpura-pura masih hidup, padahal sudah mati. Kami sama-sama “hidup” dengan cara kami masing-masing, meski aku pernah berpikir sebaliknya: kami sama-sama “mati” dengan cara kami masing-masing. Kadang-kadang, batas antara hidup dan mati memang sangat tipis. Bahkan tidak ada sama sekali.
Usiaku dua puluh tiga sekarang, tentu saja jika aku masih hidup. Aku tak tahu berapa usia lelaki tua yang tengah mengemudikan mobilnya dengan cara serampangan ini. Awalnya aku takut, jika ia terus-menerus berkendara dengan cara seperti itu, kami akan menabrak sesuatu dan kemudian mati. Tapi aku sudah mati. Lelaki itu belum.
“Jangan menyalip sembarangan, ada truk ngebut di depan. Bisa mati kau.”
“Kita bisa mati,” ia meralat. Aku tertawa. Sesungguhnya ini tidak lucu. Tapi ini sudah malam. Menjelang malam, kami terbiasa melempar lelucon untuk mengenyahkan sepi.
Tapi, hari ini, sepertinya ia tak berniat melemparkan lelucon.
“Aku pikir karena kau mati di usia dua belas, itulah yang membuatmu tak punya niat untuk membunuhku balik,” dia tertawa. “Kau cuma anak kecil yang masih suci-sucinya. Tentu nggak ngerti arti balas dendam. Tapi keberadaanmu di sini, di jok belakang mobilku, sudah membuatku putus asa selama sebelas tahun lebih. Aku tak bisa berpura-pura kau masih hidup. Begitu pula kau. Tapi kita telah berusaha keras selama ini. Berusaha keras untuk berpura-pura. Aku bahkan tidak tahu mengapa kita berusaha sekeras ini. Apakah kita berdua mencoba bertahan? Bertahan untuk apa? Kau sudah mati dan aku ingin segera mati. Dan kenapa aku tak juga mati? Tuhan memang suka bercanda! Ini hukuman tergila.”
Aku melempar diam. Aku tak suka perbincangan seperti ini. Aku lebih suka kami sama-sama berpura-pura. Menganggap bahwa kami sama-sama “hidup” atau sama-sama “mati”. Sesungguhnya, ada banyak orang yang terlihat hidup tapi mati dan begitu pula sebaliknya.
Entah sudah waktunya menghabisi kepura-puraan atau tidak, kami berdua sama-sama tidak tahu. Perjalanan terus berlanjut. Roda berputar. Ia tetap memegang kemudi. Jalanan semakin sepi dan kudengar ia melempar sebuah penawaran yang dari dulu ingin kudengar.
“Apa kau masih ingin tahu mengapa aku membunuhmu waktu itu?”
Aku bergidik. Ngeri. Selama sebelas tahun, “menghidupi” atau sama-sama “mati”-ah, masa bodoh!—di mobil ini tidak ada satu hal pun yang kuketahui tentang pria yang sekarang sedang duduk di jok depan, mengemudi. Tentu saja aku ingin mengetahuinya. Dalam kehidupanku setelah mati, satu-satunya hal yang ingin kuketahui hanyalah berasal dari mana sumber kematianku?
Namun, meski aku sangat penasaran dan ia telah menawarkan informasi itu dengan sukarela, aku memutuskan tak mau mengetahuinya. Jika dengan mendengarnya membuatku tak lagi seperti bocah laki-laki berusia dua belas tahun yang masih suci-sucinya dan mulai mengerti arti balas dendam, lebih baik aku tetap berpura-pura hidup dan mati untuk kedua kalinya, di kemudian hari. Pada hari-hari yang bukan aku yang menentukan. Begitu pula pria tua di depanku.
“Ngomong-ngomong,” pria itu memecah sepi. “Mulai besok, gantian aku yang berpura-pura mati,” kami tertawa. Perjalanan ini akan terus berlangsung. Bukan karena tujuan kami masih jauh, melainkan kami memang belum ingin berhenti. Lagi pula, kami memang tak memiliki tujuan. Biarlah semua ini berakhir jika memang seharusnya.
“Kapan-kapan aku ingin duduk di kursi depan,” pria tua itu tertawa keras dan menjawab, “Oke!”

Lamia Putri Damayanti. Lahir di Magelang dan berkuliah di Yogyakarta. Penerima Anugerah Sastra A.A Navis 2016 dengan cerpennya yang berjudul Hunian Ternyaman. Menerbitkan novel berjudul Dering Kematian dan kini aktif menghidupi Bacasaja.com bersama dua rekannya.

Kepada Rakyat Miskin

Cerpen Nazil Muhsinin (Kedaulatan Rakyat, 04 September 2017)
Kepada Rakyat Miskin ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Kepada Rakyat Miskin ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
SLAMET, rakyat miskin bahkan termiskin di desa pelosok itu, sudah wafat lima tahun lalu, tapi tiba-tiba ada Pak Pos yang datang mencarinya.
“Betulkah ini rumah Slamet?” tanya Pak Pos kepada tetangga depan rumah Slamet.
“Iya, betul.”
Sekilas Pak Pos memperhatikan rumah Slamet yang kecil serupa gubuk, berdinding anyaman bambu, terasnya masih berupa tanah, belum dilapisi batu atau keramik. Sekilas pula Pak Pos membayangkan kepada Slamet yang miskin dan memang selayaknya mendapat bantuan dari pemerintah.
“Kok rumahnya sepi? Di mana Slamet?” tanya Pak Pos lagi.
“Slamet sudah wafat, lima tahun lalu. Almarhum dulu hidup sebatang kara. Jadi sekarang rumahnya kosong.”
Pak Pos tersentak kaget sambil memperhatikan amplop yang sedang dipegangnya. Sangat jelas nama yang tertera di amplop itu: Slamet. Juga sangat cocok alamat yang tertera di amplop itu dengan posisi rumah Slamet. Jadi tidak keliru atau tidak tersesat kalau dia datang hendak menyerahkan amplop berisi Kartu Indonesia Sehat itu kepada Slamet.
Pak Pos kemudian teringat pengalaman rekan-rekannya yang pernah diceritakan kepadanya. Ketika mereka hendak mengantarkan amplop berisi Kartu Indonesia Sehat kepada yang berhak menerimanya, ternyata si penerima sudah wafat beberapa tahun silam.
Siapa yang salah? Tiba-tiba Pak Pos bertanya dalam hati. Sekilas benaknya membayangkan kehidupan orang-orang miskin yang memang seharusnya menerima kartu jaminan sehat dari pemerintah. Tapi, pemerintah itu ibarat pihak yang berada di tempat jauh, tidak bisa melihat sendiri nasib rakyatnya.
Cara pemerintah melihat nasib rakyat hanya lewat laporan petugas dari lembaga yang berwenang mendata rakyat. Masalah tentu muncul jika data yang dipakai pemerintah dalam melihat nasib rakyatnya ternyata data yang sudah usang. Misalnya, data yang dibuat 10 tahun lalu dipakai pada saat ini.
Kesimpulannya, yang salah jelas pemerintah, karena memakai data yang sudah usang untuk melihat nasib rakyat. Padahal, nasib rakyat bisa berubah-ubah. Misalnya, banyak rakyat yang masih miskin pada saat didata petugas 10 tahun silam ternyata sekarang sudah makmur. Sebaliknya, banyak rakyat makmur ketika 10 tahun silam didata petugas ternyata sekarang jatuh miskin dan bahkan sudah wafat.
Pak Pos kemudian berkesimpulan lagi, betapa program pemerintah terkait upaya membantu rakyat miskin terbukti sering salah sasaran karena memakai data usang sedangkan kehidupan rakyat berubah-ubah. Tapi karena hanya sebagai Pak Pos yang tugasnya mengantar kiriman lewat kantornya ke alamat-alamat yang tertera maka kesimpulan itu tidak diucapkan kepada siapa pun.
Pak Pos kemudian pergi untuk mengantarkan kiriman ke alamat-alamat yang dituju. Ketika hendak mengantarkan amplop berisi Kartu Indonesia Sehat di desa sebelah, rumah si penerima dalam keadaan tertutup. Rumah itu cukup besar berlantai dua berpagar tembok setinggi tiga meter. Pintu pagarnya digembok.
Pak Pos bertanya-tanya, bagaimana mungkin rakyat yang punya rumah sebesar itu juga berhak menerima Kartu Indonesia Sehat? Pak Pos kemudian tiba-tiba teringat cerita rekan-rekannya bahwa memang ada rakyat yang sebetulnya sudah cukup kaya tapi mengaku miskin.
Bahkan, konon ada banyak rakyat yang sudah makmur tapi minta surat keterangan tidak mampu di kantor desa agar sekolah anak-anaknya bisa digratiskan.
Di negeri ini, memang banyak orang kaya justru ingin dianggap miskin karena pemerintah membantu rakyat miskin. Di mata mereka, menerima bantuan pemerintah dianggap lebih menyenangkan dibanding keadaan makmur yang selayaknya disyukuri. Apa mungkin karena itu banyak orang kaya jadi kualat, seperti celaka atau menderita sakit yang semakin parah walaupun sudah berobat ke mana-mana?
Pak Pos hendak pergi ketika tiba-tiba tetangga sebelah rumah mendekatinya dan berkata: “Rumah ini kosong, Pak Pos. Pemiliknya tinggal di rumah lain. Maklumlah, orang kaya, punya banyak rumah.”
Pak Pos mengangguk-anggukkan kepala sambil memperhatikan nama dan alamat yang tertera di amplop yang sedang dipegangnya. Sudah jelas, ada lagi kasus salah sasaran terkait program pemerintah dalam membantu rakyat miskin.
Pak Pos tiba-tiba teringat program bantuan untuk rakyat miskin pada masa-masa lalu yang juga banyak yang salah sasaran. Misalnya, dulu ada program Bantuan Langsung Tunai yang justru diterima banyak rakyat yang tergolong makmur. Tapi sebaliknya justru banyak rakyat tergolong sangat miskin tidak menerimanya.
“Kayaknya ini salah alamat, biar nanti dikembalikan ke pengirimnya saja,” kata Pak Pos. Lalu Pak Pos mencoba bertanya sambil memperlihatkan amplop lain kepada tetangga sebelah rumah itu. “Kalau nama ini alamatnya mana, ya?”
“Di desa ini, hanya ada satu nama ini. Tapi ini nama Pak Kades.”
Pak Pos tersentak sambil memperhatikan nama yang tertera di amplop itu, yang sudah tidak asing lagi baginya. Sebab, nama itu memang nama Pak Kades yang sudah lama dikenalnya. Jelas sangat aneh. “Bagaimana mungkin Pak Kades juga mendapat Kartu Indonesia Sehat?” tanyanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Mungkin dulu ketika didata belum jadi Kepala Desa dan mengaku sebagai rakyat miskin.”
“Ya, bisa jadi,” tukas Pak Pos sambil menahan rasa geli. q-e

Bumi Mina Tani, Pati, Agustus 2017


*) Nazil Muhsinin, Kelahiran 14 September 1971 Gemar mengembara sambil menulis prosa, puisi dan esai. Antologi cerpennya “Bajingan Bersorban” terbit tahun 2012.

Kutipan Sylvia’s Letters

“Karena hidup ini bukan ujian nasional. Kamu tidak perlu melakukan hal-hal tertentu karena semua orang menganggapnya ‘benar’. kamu kira kamu harus menuruti standar-standar yang ada supaya lulus jadi manusia normal. Padahal siapa yang membuat standar ujian nasional itu? Pemerintah. Orang lain. Sama seperti hidupmu. Siapa yang memberimu standar, hidup yang benar itu begini, yang salah itu begini? Masyarakat. Kata siapa pendapat publik selalu benar?” (hlm. 88)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Kalau kamu merasa bodoh, berarti kamu sedang melakukan hal yang benar. (hlm. 88)
  2. Kadang, lebih susah mencari tahu apa yang sebenarnya diri kita inginkan, daripada mencari tahu apa yang orang lain inginkan dari kita. (hlm. 91)
  3. Semua manusia memiliki potensi masing-masing dan kamu nggak bisa memaksakan seseorang untuk harus mengikuti standar tertentu yang sudah dibuat orang lain. (hlm. 118)
  4. Kita tidak akan pernah tahu ke mana hidup membawa kita. (hlm. 159)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:

  1. Kamu itu cuma bijak –atau sok bijak- kalau ada maunya. (hlm. 17)
  2. Siapa suruh bikin seragam ketat kayak di anime-anime gitu? Bikin cowok jadi ketar-ketir. (hlm. 17)
  3. Hampir semua pecandu berawal dari coba-coba. (hlm. 33)
  4. Ada banyak kerugian dalam mencoba hal baru; karena itu kita mencobakan obat-obatan dan kosmetik pada kelinci. (hlm. 33)
  5. Orang paling masokastik di dunia adalah orang yang masih berani mencintai walaupun hatinya tergores-gore. (hlm. 37)
  6. Semua anak baru ingin pacaran dengan senior. (hlm. 41)
  7. Kita harus mengakui bahwa kita hanya kebetulan saja berjalan tegak dengan dua kaki, namun kita selalu punya sifat kehewanan dalam otak kita yang (katanya) besar. (hlm. 46)
  8. Batas antara naksir dan jijik tipis adanya. (hlm. 48)
  9. Kita hidup di masa ketika batasan benar dan salah dikaburkan oleh perasaan dan hormon. (hlm. 74)
  10. Jadi manusia bebas itu adalah menjadi diri sendiri dan tidak terbebani standar orang lain, sekaligus menghormati mahluk lain dalam upaya mereka untuk jadi diri mereka sendiri. Tidak mengusik, tidak diusik. Tak ada yang dirugikan. (hlm. 89)
  11. Semua manusia akan bertemu jodohnya, yang akan hidup bersama mereka seumur hidup. Tapi memiliki cinta sejati berupa hobi itu berbeda. Hal-hal seperti itu membuatmu merasa hidup sepenuh-penuhnya. Kamu jadi punya harapan dan pegangan yang tak bisa mematahkan hatimu atau berselingkuh darimu. (hlm. 93)
  12. Bakso kaki lima biasa memang merupakan makanan terenak di dunia kalau kamu sudah kelaparan seminggu. (hlm. 95)
  13. Kalau sesuatu sifatnya merusak, maka tidak seharusnya kamu menganggapnya penting. Kamu semakin nggak waras sejak jatuh cinta sama dia. Lepaskan saja. (hlm. 162)