Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cerpen Hayu Hamemayu (Media Indonesia, 03 Desember 2017) Penjual Bunga di Clemenstorget ilustrasi Media Indonesia
“Hhhh hhhh hhhh,” aku berlari terengah-engah menuju tempat
pemberhentian bus. Dan saat itulah lagi-lagi aku melihat dia. Dia yang
selalu tersenyum setiap kali mata kami bertemu. Dia yang selalu menyapa
“hej hej ” setiap pagi saat aku terburu-buru mengejar bus dan melewati
kiosnya. Begitu terus setiap hari. Tak peduli aku balas tersenyum atau
tidak. Tak peduli aku membalas sapaannya atau tidak. Awalnya aku risih.
Aku tak merasa mengenalnya. Tapi lama-lama aku terbiasa. Dan sekarang
senyum dan sapaannya sudah menjadi bagian dari keseharianku.
Dialah salah satu dari dua penjual bunga yang ada di Clemenstorget.
Kiosnya berada lebih dekat dengan jalan raya. Karena itu jadi lebih
sering kulewati daripada kios yang satunya. Aku tak pernah tahu siapa
namanya atau kapan dan dari mana dia datang. Setiap kali aku melewati
area itu untuk berangkat kerja, dia sudah duduk manis di belakang
puluhan ember berisi bunga-bunga segar. Kadang mawar. Kadang lili.
Kadang tulip. Tergantung musim. Dia juga masih duduk di situ ketika aku
pulang. Kadang bunga yang dijualnya tak banyak bersisa. Kadang
ember-ember berisi bunga itu tampak tak mengalami banyak perubahan. Dia
tetap berjualan ketika salju atau hujan turun. Juga ketika angin
bertiup kencang mengacak-acak tenda kiosnya. Dia tetap duduk di sana.
Tersenyum manis dan menyapa “hej hej.”
Menurutku dia sudah berjualan di Clemenstorget sejak lama. Minimal
dia sudah ada di sini saat aku pindah enam bulan lalu. Kalau dilihat
dari perawakan dan penampilannya yang khas (dia selalu mengenakan tutup
kepala warna biru), aku menebak dia orang Roma, yang memang cukup banyak
jumlahnya di sini. Aku sendiri belum pernah membeli bunga darinya. Aku
tak merasa perlu menaruh bunga di apartemenku. Demi apa? Aku toh bukan
penggemar bunga juga. Membeli bunga tidak pernah menjadi prioritasku.
Ketidaksukaanku pada bunga barangkali sedikit banyak dipengaruhi oleh
karakter dasarku yang tidak hangat. Selama ini aku memang dikenal
sebagai “si dingin”. Aku tak mudah bergaul. Cenderung penyendiri. Sinis
pada banyak hal. Aku juga tak pandai mengekspresikan perasaan. “Your
face needs deliverance,” kata seorang rekan padaku suatu ketika. Aku
bukan tipe orang yang murah senyum. Apalagi ramah dan suka menyapa. Sama
sekali tidak seperti si penjual bunga itu.
Aku sendiri tak tahu apakah penjual bunga itu hanya menyapaku saja.
Atau dia begitu ke semua orang. Tapi jujur, senyum dan sapaan yang
secara konsisten dia berikan padaku setiap hari pelan tapi pasti mulai
mengubahku. Entah sejak kapan, aku jadi balik menyapanya lebih dulu,
atau melemparkan senyuman lebih dulu. Awalnya karena aku merasa tak
enak. Lama-lama karena aku merasa itu hal yang baik untuk dilakukan. Dan
aku mulai melakukannya tidak hanya pada si penjual bunga di
Clemenstorget, tapi juga pada rekan-rekan di kantor. Pada sopir bus yang
kutemui. Pada penumpang di sebelahku. Hal yang dilakukan oleh penjual
bunga di Clemenstorget itu terasa seperti virus yang menular. Aku
seperti terkena energi positif untuk melihat kehidupan dengan lebih
banyak senyuman. Aku mulai jarang mengeluh. Aku mulai melihat sisi baik
dari hampir setiap hal. Entahlah. Aku merasa tidak pantas mengeluh saja.
Tidak setelah aku pulang kerja dan mendapati si penjual bunga tetap
tersenyum ramah meski dagangannya tak laku. Aku merasa tak tahu diri.
Untuk merutuki sepatu baruku yang basah, misalnya, sementara si penjual
bunga di Clemenstorget itu hanya mengenakan sepatu boots yang sama,tak
peduli hari sedang hujan, panas, atau bersalju.
Di kantor aku tak lagi dikenal sebagai “si dingin.” Aku mulai bergaul. Bahkan mulai mengiyakan ajakan party dari rekan-rekan kantor yang biasanya kuhindari.
“Nah gitu dong, live a life a little bit,” ujar salah satu dari mereka.
Aku hanya tersenyum. Akhir-akhir ini aku memang suka tersenyum. Aku
suka sensasi di wajahku yang tertarik ketika mulutku membentuk sebuah
senyuman. Rasanya seperti ada yang diregangkan di wajahku yang kaku. Dan
itu terasa menyegarkan. Mungkin benar kata orang. Senyum itu olahraga
untuk muka. Sebelum ini, aku tidak menyadari betapa sebuah senyuman bisa
terasa menyenangkan. Masa laluku memang tak memberiku banyak kesempatan
untuk tersenyum. Seringnya,aku justru merasa hidup tak adil padaku.
Lahir tanpa keluarga dan terdampar di negeri asing sebagai lone refugee
(pencari suaka yang datang sendirian) sejak enam belas tahun yang lalu
membuatku lebih suka mengerutkan dahi daripada tersenyum. Tak heran
wajahku jadi lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Awalnya aku juga
merasa hidup ini tak layak untuk disenyumi. Manusia-manusia egois di
mana-mana. Perang. Pemanasan global. Rasisme. Apa yang pantas dari semua
itu untuk dihadiahi senyuman? Tapi sejak hari si penjual bunga di
Clemenstorget rutin memberiku senyuman, aku berubah pikiran.
Barangkali hidup memang tidak sempurna. Barangkali dunia memang sudah
bobrok. Tapi aku tak perlu memperparah kebobrokan itu dengan menjadi
orang yang menjengkelkan. Barangkali aku justru bisa memperlambatnya
dengan menjadi orang baik. Orang yang menyenangkan. Orang yang murah
senyum. Seperti penjual bunga di Clemenstorget itu. Kalau benar semua
orang di dunia ini punya peran dalam kehidupan dan bahwa setiap hal yang
kita lakukan, seberapa pun kecilnya itu, berpengaruh pada dunia, maka
kupikir menjadi orang yang menebar senyum pastinya lebih berkontribusi
positif bagi dunia daripada menjadi penggerutu sepertiku dulu.
Begitulah. Dalam enam bulan ini aku telah berubah. Kadang memang
dibutuhkan orang lain sebagai cermin untuk melihat ke dalam diri kita
sendiri. Aku membutuhkan seorang penjual bunga di Clemenstorget untuk
melihat betapa kaku hidupku selama ini. Penjual bunga yang secara
konsisten menebarkan pesan yang sama. Semua orang heran melihat
perubahanku. Beberapa dari mereka bertanya dengan setengah curiga. Yang
tentu saja kujawab dengan klise: “People change.” Bahkan ada yang
menebak bahwa aku sedang jatuh cinta. Aku hanya tergelak ketika
mendengarnya. Tapi mungkin dia benar. Aku memang sedang jatuh cinta,
jatuh cinta pada kehidupan. Dan itu semua gara-gara penjual bunga di
Clemenstorget. Penjual bunga yang selalu tersenyum dan menyapa “hej
hej”.
***
“Jadi, begitu yang bisa saya usulkan?” kataku menutup pemaparanku tentang rencana strategis pengembangan kantor.
Hari ini aku memang ada rapat penting. Salah satunya membahas tentang
strategic planning untuk awal tahun depan dengan direktur regional yang
terkenal perfeksionis. Aku terpaksa menggantikan kepala divisiku yang
sedang cuti sakit. Tentu saja aku dan rekan-rekan setimku sempat
khawatir rencana ini akan diterima dengan kurang baik. Apalagi ini
pertama kalinya aku memegang kendali. Tapi tak disangka respons semua
orang, termasuk si direktur regional, cukup positif. Memang ada revisi
di sana-sini tapi minor, selebihnya rencana ini bisa segera masuk tahap
implementasi.
“Hebat kamu ya, bisa meyakinkan si bos perfeksionis!” kata salah satu rekan timku begitu kami selesai rapat.
Aku hanya menanggapi dengan senyuman.
“Mungkin gara-gara kamu murah senyum sekarang, jadi si bos pun luluh,” timpal rekan yang lain.
Kami semua tertawa.
“I like the new you, by the way,” tambahnya.
“Hahaha, thanks,” balasku. Dalam hati aku membatin, “I like the new me too.”
Di luar sana hari mulai petang. Aku membereskan meja dan isi tasku
lalu bergegas pulang. Seperti biasa, aku naik bus lalu turun di
pemberhentian dekat Clemenstorget. Dari kejauhan, tampak tutup kepala
warna biru milik si penjual bunga. Bahkan dari jauh begini aku sudah
bisa merasakan aura hangat dari senyumannya. Aku melewatinya sambil
memberikan senyuman terbaikku. Dia pantas mendapatkannya setelah apa
yang diberikannya padaku selama ini.
“Hej hej” sapaku lebih dulu.
“Hej,” balasnya. Lagi-lagi sambil tersenyum.
Aku melirik ember-ember berisi bunga di depannya. Sepertinya tak
banyak yang laku hari ini. Aku melangkah dengan perasaan iba. Setelah
beberapa langkah,baru aku tersadar bahwa selama ini aku belum pernah
melakukan sesuatu untuk si penjual bunga itu. Sesuatuyang seharusnya
sudah kulakukan dari dulu.Segera kubalikkan langkah kembali ke arah kios
si penjual bunga.
“Hej hej,” dia langsung menyapa lagi begitu aku mendekat.
“Hai. Aku mau membeli tulip yang oranye itu,” kataku sambil menunjuk
satu buket bunga tulip warna oranye di ember. Persis di depannya. Aku
sendiri tak tahu mau kuapakan bunga itu nanti. Sepertinya aku juga tak
punya vas di apartemen. Tapi aku ingin melakukan sesuatu untuk si
penjual bunga itu. Dan tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain
melarisi dagangannya.
“Okay, 59 kronor,” jawabnya kemudian.
Tapi tak ada gerakan. Penjual bunga itu tetap diam saja, tak berusaha
meraih bunga tulip di hadapannya. Aku mendongak untuk menatap wajahnya.
Matanya tak berkedip. Sementara bibirnya menyunggingkan senyum yang
sama. Saat itulah aku sadar, ternyata dia buta. Penjual bunga di
Clemenstorget yang setiap pagi menyapaku ramah itu, yang selama ini
mengajariku untuk tersenyum, ternyata tak bisa melihatku.
Cerpen Desy Arisandi (Jawa Pos, 03 Desember 2017) Raidah Kawin! ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
Raidah kawin! Geru suara sumbang di Dusun Ulak mendengar Raidah akan
kawin. Ya, Raidah. Gadis berkerudung yang tahunya mengaji dan memandikan
neneknya yang lumpuh. Mana mungkin Raidah kawin? Tak ada laki-laki yang
mengenalnya begitu dalam. Paling-paling Jaff ar. Itu pun Raidah sering
menolak jika bujang tua itu mengajaknya menonton layar tancap di Laman
Kapuk. BERITA pernikahan Raidah begitu menghebohkan. Tidak
di sungai, di sawah ataupun di surau. Penduduk kampung sibuk
bernyinyir-ria, membincangkan (menggunjingkan, lebih tepatnya) Raidah
yang akan menikah di bulan yang diapit oleh dua hari raya: Idul Fitri
dan Idul Adha.
Ya, pantang bagi penduduk kampung menikah di bulan itu. Bala akan
mengiringi pernikahan, begitu yang diimani. Maka, banyak cibiran
sekaligus rasa menjura (yang tentu saja tak ditampakkan) mengarah pada
Raidah. Alangkah nekatnya Raidah dan calon suaminya; hendak melumat buah
simalakama yang menjuntai di antara dua hari raya! Orang-orang juga
khatam tentang ini: Bila bukan sang istri, suamilah yang akan meregang
nyawa! Sungguh, bergidik seluruh bulu yang tumbuh di sekujur tubuh,
membayangkan hal itu.
Ya ya ya, apalagi Raidah tak begitu jelas pada sosok calon suami yang
akan mendampinginya. Ia mengenal Rahman tatkala ia masih mengajar
mengaji di surau setiap usai magrib. Hanya itu. Perkenalannya dengan
tukang ojek yang mangkal di simpang dusun sebelah itu dapatlah dikatakan
kebetulan. Ketika hendak memarkirkan sepeda motornya di laman surau
karena didesak hajat ingin buang air kecil, tak sengaja Rahman menoleh
ke dalam surau. Matanya menangkap sosok seorang gadis berkerudung di
sana. Rahman pun tak terlalu memanjangkan tatapan. Selain karena kantung
kemihnya mendesak untuk dikosongkan, ia pada dasarnya juga bukanlah
lelaki pemuja wanita berkerudung. Apalagi dari pandangan selintas lalu
itu, paras Raidah tidaklah dapat dikatakan cantik –walau tak dapat pula
dibilang buruk.
Setelah menunaikan hajatnya, Rahman menyalakan sepeda motornya. Suara
knalpot yang kasar memekakkan telinga. Merasa kenyamanan mengajarnya
terganggu, Raidah setengah berlari ke sumber polusi suara.
Dasar tukang ojek, hardiknya dalam hati. Takkan ada perempuan yang
sudi dengan tukang ojek yang berperangai macam itu, gerutunya lagi.
Ternyata itu bukan kali terakhir Rahman numpang buang air kecil di
surau tempat Raidah mengajar. Dan itu sebenarnya bukan masalah bagi
Raidah. Hanya saja ia tak dapat menerima kebisingan yang ditimbulkan
suara knalpot ketika Rahman menyalakan sepeda motornya. Karena sudah tak
tahan, Raidah pun sengaja menunggu si tukang ojek di malam berikutnya.
Sepeda motor beserta si pengendara yang ditunggu-tunggu tiba. Raidah
menunggu hingga Rahman menunaikan hajatnya. Dengan perasaan dongkol,
Raidah mendatangi Rahman yang baru saja hendak mengengkol pedal sepeda
motornya. Seumur hidup, gadis itu belum pernah bertatap muka dengan
laki-laki selain Jaffar yang hanya menunggu di depan pintu pagar
rumahnya.
Dengan dada bergemuruh, Raidah meminta Rahman tidak menganggu kenyamanannya mengajar.
“Lha, ini motor, motor saya!” Rahman membuang muka.
Mendengar jawaban yang tidak bersahabat bahkan terkesan kurang ajar
itu, Raidah membelalak. Dengan suara berdesis, Raidah berdoa agar
laki-laki tukang ojek itu diberi azab yang setimpal.
Rahman cuma nyengir seolah mengejek kata-kata Raidah. Dengan senyum
sinis Rahman menyalakan mesin sepeda motor sebagaimana biasanya. Asap
knalpot menutupi wajah Raidah.
Sungguh susah payah Raidah menahan onak di dadanya tak melukai
perasaannya, tapi tak bisa. Air matanya tumpah jua. Ia malu dilihat
anak-anak didiknya yang mematung menatapnya. Bersicepat Raidah menyeka
air matanya dengan ujung kerudung. Tak berselang lama, ia sudah
mengibaskan sebelah tangannya ke arah belakang. Seolah memahami bahasa
tubuh itu, anak-anak gegas balik badan, kembali bersimpuh di permadani
surau yang lusuh, menekuri Juz Amma dengan khusyuk, seolah mereka tak melihat kejadian barusan.
Sakit hati Raidah tak jua hilang. Tiap tengah malam ia bangun,
mengabaikan hawa dingin yang menusuk-nusuk. Entah apakah ia yang terlalu
perasa atau memang Rahman yang keterlaluan, peristiwa tempo malam telah
membuat gelisah betah menyambanginya. Ia mengadu tentang rasa sakit
hatinya pada Sang Khalik usai memohon kesembuhan neneknya. Ia tahu
doanya perihal laki-laki itu adalah doa yang mengancam sekaligus
berlebihan. Tapi ia pun tak kuasa berdamai dengan sakit hatinya. Apakah Tuhan juga mengurus perihal remeh seperti ini, Raidah tak peduli. Apakah Tuhan akan mengabulkan doa yang lahir dari dendam yang salah, ia juga tak peduli.
Raidah tak pernah tahu. Dari balik korden kamar, kadang neneknya
menatap Raidah dengan heran. Bukan pada salat malamnya, tapi pada air
mata yang selalu memandikan wajahnya. Ya, salat malam bukanlah hal yang
jarang Raidah lakukan. Tapi, sungguh, neneknya tak pernah melihat Raidah
berdoa dengan air muka seperti itu. Geram dan penuh dendam!
***
SABAN subuh, dengan sabar Raidah mengguyur air yang
ia timba usai tahajud, ke tubuh neneknya yang renta; kepala yang seluruh
rambutnya sudah memutih, bibir yang gigil, kulit keriput yang
menyelaputi tulang. Tak ada percakapan di antara mereka. Hanya senyum
yang kadang bertabrakan atau gerakan mata yang sesekali bersitatap. Ada
kasih sayang yang tak dapat diterjemahkan dengan kata-kata antara dua
orang yang saling menyangga; seorang gadis yatim piatu yang penurut dan
seorang nenek yang menjadi penanda riwayat nasab.
Usai mandi, Raidah membopong sang nenek ke kamar. Raidah menyisir
rambutnya, menyarungkan pakaian ke tubuh rentanya, dan menyiapkan air
hangat kuku dengan sepotong bipang (sejenis roti yang terbuat
dari ketan) sebagai pengganjal perut di pagi hari. Hati Raidah miris,
sudah hari ketiga neneknya hanya menikmati bipang. Potongan bipang hari ini adalah yang terakhir yang ia siapkan. Raidah menelan ludah. Bergegas ia menuangkan air hangat kuku ke bipang itu lalu menyuapi neneknya. Sedikit demi sedikit. Penuh sabar, cinta, pengabdian, dan doa yang terus memanjang.
Pagi ini Raidah mencoba berjalan ke kebun. Ia pikir, sudah ada
beberapa ubi yang dapat di panen. Dengan semangat ia memasuki kebun
warisan orang tuanya itu. Dari kejauhan, tampak pucuk-pucuk ubi
kehijauan menyambut matanya. Raidah bersyukur seakan menemukan harta
karun. Telah tiga hari ia dipecat Mang Kardi yang menuduhnya mencuri
gabah. Mengingat itu, hati Raidah pedih. Ingin sekali ia mengatakan
bahwa yang mencuri gabahnya adalah Ujang, anaknya sendiri, ketika gabah
sedang dijemur. Tapi Raidah tak kuasa karena Ujang mengancamnya. Ia
hanya pasrah. Sudahlah. Tak ada gunanya mengingat itu. Mang Kardi juga
sudah telanjur menuduhnya.
Dengan senyum tersungging, Raidah mencabut ubi-ubi yang tampak
bernas. Tak luput pucuk daun turut serta dipetiknya. Raidah tampak puas.
Beberapa ubi akan dijualnya pada Wak Odah, penjual tapai di ujung
kampung. Ia akan membelikan roti kacang yang lembut untuk neneknya.
***
JANGKRIK mulai bernyanyi, Raidah bersiap pergi ke
surau. Nenek tampak lahap menikmati roti kacang yang dibelinya. Raidah
pamit di telinganya yang sudah pekak. Dengan bernyanyi kecil, Raidah
menikmati ayunan kakinya yang terasa ringan. Kepedihan hidupnya tak
menyurutkannya untuk terus bersyukur.
Sesampai di surau, Raidah terkejut. Semua anak didiknya hanya duduk
di beranda surau. Dari bibir-bibir mungil mereka, semua mengadu ada
pemuda yang sedang tidur di dalam surau. Segera saja Raidah memasuki
surau.
Pemuda itu lagi! Pemuda itu terbaring dengan berbantalkan jaket
kulitnya. Ingin Raidah berteriak mengusir pemuda yang membuatnya sakit
hati dengan deru motornya yang memekakkan telinga itu, namun yang ia
lakukan justru sebaliknya. Dengan perlahan ia membangunkan pemuda itu.
Mata anak didiknya menatap Raidah seakan memberikan kekuatan untuk
membangunkannya. Tetapi pemuda itu hanya diam tanpa membalikkan
tubuhnya. Raidah semakin kesal. Dengan suara agak keras, ia menegurnya.
Mendengar itu, pemuda itu terbangun dengan agak terkejut.
“Hei, kamu!” serunya sambil tangannya menunjuk ke arah wajah Raidah.
Raidah terkejut. Ia mundur selangkah. Rahman dengan tidak sopan
berdiri dan menghardik Raidah yang sedang berjuang melepas rasa
takutnya.
“Beraninya kamu membangunkanku!” hardiknya.
“Kami ingin mengaji di sini. Kalau kamu ingin tidur, jangan di sini!”
Rahman mengibaskan tangannya ke muka Raidah kemudian berlalu meninggalkan sebongkah luka di hati perempuan itu.
Anak-anak menunggu reaksi Raidah. Mereka kehilangan semangat mengaji
melihat Raidah menyapu lantai dengan wajah tertunduk. Dengan setengah
terisak, Raidah menutup malam itu tanpa lafaz hamdalah.
***
SUDAH sebulan ini surau tenang. Tak ada lagi suara
knalpot memekakkan telinga. Raidah bersemangat menjejakkan kakinya ke
surau. Ia terpaku. Tampak Rahman yang sedang menyapu halaman surau.
Anak-anak mengaji duduk berbaris menyaksikan pemuda yang berusaha
beramah-tamah namun tak dihiraukan. Melihat Raidah, Rahman menghentikan
kegiatannya dan berusaha tersenyum dengan menampakkan luka parutan
berupa codet yang hampir memenuhi separo wajahnya. Raidah bergidik. Tak
nampak lagi kesan garang yang selama ini bergelayut di wajahnya.
Semuanya hilang, berganti dengan wajah memelas. Ketika berpapasan
dengan Raidah, Rahman mengeluarkan kata maaf. Lagi-lagi Raidah
terkejut. Rasanya tak mungkin bisa ia memaafkan pemuda yang menorehkan
luka di hatinya.
Bergegas Raidah berlalu sambil mengajak anak-anak untuk mengaji ke surau. Giliran Rahman yang tertunduk menahan malu.
Rasakan apa yang aku rasakan selama ini, jerit Raidah dalam hatinya.
Ternyata tak cukup sekali pemuda itu menemuinya. Ia terus datang
hingga Raidah tak mampu lagi menghitungnya. Hati Raidah tertutup sudah
untuk memaafkannya. Hingga di suatu malam, Raidah melihat keramaian di
rumahnya. Senyum lebar yang jarang ia lihat di wajah keriput neneknya
pun membuatnya gembira seketika. Tawa riuh perempuan-perempuan paro baya
memenuhi ruang tamu yang pengap.
Dengan dada berdebar, Raidah mengucapkan salam. Semua orang
menatapnya. Raidah terkejut. Sepasang mata menatapnya, tajam namun penuh
harap. Pemuda itu datang membawa kedua orang tuanya. Pemuda itu hendak
melamarnya. Raidah gugup, bagaimana mungkin ia menikah dengan pemuda
yang selama ini didoakannya untuk tidak selamat dunia-akhirat!
Melihat Raidah tercenung, nenek melambaikan tangan agar ia mendekat.
Raidah, dengan menundukkan badannya, melewati mata tetamu. Nenek
mengatakan kalau ia menginginkan Raidah menikah dengan Rahman yang
begitu baik.
“Tadi ia menyuapi Nenek dengan satu mangkok bubur kacang hijau. Dia sangat baik,” ujar nenek dengan mata berbinar.
Raidah menitikkan air mata. Alangkah cepat hati nenek luluh hanya
dengan satu kebaikan yang perlu diteliti lagi kadar ketulusannya. Ingin
sekali ia menceritakan perlakuan Rahman padanya selama ini. Namun
rasanya tak mungkin ia menghanguskan senyuman nenek yang jarang ia lihat
itu.
Pembicaraan pun berlangsung. Keluarga Rahman seolah memutuskan bahwa
Raidah menerima pinangan mereka. Mereka lalu sibuk mencari tanggal
pernikahan di kalender bergambar partai yang telah usang. Cukup lama
mereka berdiskusi hanya karena tak ingin tanggal pernikahan jatuh di
bulan apit (waktu antara Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Idul Adha).
Akhirnya Raidah menyarankan agar pernikahan ditunda tahun depan
(setidaknya banyak waktu untuk membuat semuanya berubah, batinnya).
Mendengar itu, Rahman menolak. Ia tak ingin pernikahan ditunda
terlalu lama. Baginya, tak ada hubungan musibah dengan bulan apit.
Raidah terkejut. Ia berharap tak ada yang mengamini kata-kata Rahman.
Tetapi tak di sangka, ayah Rahman menyetujui keinginan anaknya. Karena
melihat tekad Rahman yang begitu besar, Raidah dan neneknya pun tak bisa
berkata apa-apa.
Raidah menghitung hari: Tiga minggu lagi perkawinannya akan diselenggarakan.
Berselang-seling hari tak membuat wajah Raidah merona bahagia. Justru
ia tampak tertekan dan ketakutan. Seribu pertanyaan muncul di
kepalanya. Hingga di suatu senja tatkala Rahman mengantarkan ketan ke
rumahnya, Raidah memberanikan memanggilnya. Rahman menoleh. Senyum
Rahman seolah menciutkan nyali Raidah. Dengan kepala tertunduk, Raidah
menanyakan alasan Rahman ingin menikahinya. Rahman tersenyum berusaha
menyentuh tangan Raidah namun langsung ditepis olehnya.
Melihat itu, Rahman duduk agak menjauh. Raidah pun tenang. Dengan
tatapan kosong ke depan, Rahman mulai menceritakannya. Ia seakan
mengulang kembali peristiwa yang membuatnya ingin menikahi gadis yang
dulu dianggapnya biasa saja itu. Ya, sebuah peristiwa yang tak masuk
akal ketika Raidah mengusirnya dari surau saat dirinya sedang terlelap.
Ia menghardik Raidah tanpa menimbang rasa. Dengan kecepatan tinggi dan
mata yang masih mengantuk, Rahman mengemudikan motornya hingga
kecelakaan itu menimpanya. Ia pingsan.
Selama tak sadar diri, Rahman mengalami kejadian aneh. Ia diikuti
sosok perempuan yang wajahnya mirip Raidah. Perempuan itu menangis dan
tangisannya berupa darah. Rahman ketakutan. Ia lari sejauh mungkin tapi
perempuan itu terus mengikutinya. Ia tampak sangat terluka hingga
akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan kesalahannya. Di saat
itulah, perempuan yang berwajah mirip Raidah menyatakan bahwa ia sakit
hati dan ia minta pertanggungjawaban Rahman. Rahman tak kuasa menolak
walaupun ia tak mengerti, pertanggungjawaban apa yang diminta.
Setelah itu, perempuan itu tak lagi menangis.
Ketika siuman, Rahman masih sulit mempercayai apa yang ia rasakan.
Wajahnya separo tergores hingga menimbulkan bekas codet. Perasaan
bersalah menghampirinya. Ia sadar kecelakaan itu akibat ulahnya yang
kasar pada sosok perempuan yang tak bersalah. Karena keegoisannya
menimbulkan luka batin pada Raidah. Ia tak mencintainya. Tapi perasaan
bersalah lebih besar untuk menikahi perempuan yang juga tak dikenalnya
itu. Semuanya seakan ada yang mengatur dan memberi jalan pada hatinya
untuk bertekad menikahi Raidah.
Raidah diam. Teringat akan doa-doa yang ia lantunkan karena sakit
hati pada Rahman. Semua doanya menyorotkan kebencian dan dendam yang tak
terbalas. Ia memohon kepada Tuhan agar Rahman jauh dari selamat. Dan
semua terjawab. Tuhan Maha Mendengar. Ter kabulkan doa Raidah juga
membawa misteri. Ya, sebuah misteri yang manusia tinggal mengikuti.
Raidah menikah dengan orang yang ia laknat. Terkunci mulut Raidah sampai
Rahman menyudahi ceritanya.
***
PERSIAPAN pernikahan sudah hampir selesai. Bertambah
riuh Kampung Ulak menyambut hari pernikahan Raidah-Rahman. Banyak
penduduk kampung menyatakan Raidah melawan adat, tak tahu bala akan
menimpa karena berani menikah di bulan apit. Ada yang ingin datang di
pernikahan, tapi tak sedikit yang tak mau datang dengan alasan kesialan
yang akan menimpa.
Malam kian hening, tenda sudah terpasang. Tak ada yang mencoba
meramaikan suasana layaknya aroma pengantin yang penuh suka cita.
Beberapa ibu yang kasihan pada Raidah tampak menyiapkan piring. Nenek
tak henti-hentinya memegang tasbih, seolah tak sabar menunggu pagi.
Beberapa kali Raidah meminta neneknya untuk tidur tapi ia selalu
menolak. Hingga kokok ayam berbunyi, nenek tetap dengan mata yang layu.
Raidah bersiap. Petugas rias mulai sibuk menyasak rambut, mengoleskan
wewarna di kelopak mata dan pipinya, memasang sanggul, menyisipkan
bunga melati di sela-sela tanjaan rambut. Raidah tegang. Para tamu sudah
mulai berdatangan. Keluarga Rahman pun terlihat sibuk menyambut tamu.
Entah dari mana muncul rasa bahagia yang menyelinap di hati Raidah. Ia
ingin menyanggahnya tapi tak kuasa. Beberapa kali candaan para tetangga
mengoda Raidah. Semua dinikmatinya persis anak kecil yang sedang dipuji.
Akhirnya selesai sudah riasannya. Dengan balutan kebaya merah jambu
dan kerudung senada membuat semua mata menoleh kepadanya. Rasanya
seperti tak mengenal Raidah yang lugu dan kumal dengan kerudung piasnya.
Kecantikannya seolah memancar dari hatinya yang bersih. Rahman pun
terpana. Ia tak menyangka, gadis yang diajaknya untuk hidup bersama itu
selama ini menyembunyikan kecantikannya. Ia berusaha menahan pandangan
agar ketertegunannya tak terlalu tampak.
Pembawa acara pun memulai acara. Hingga tibalah Raidah untuk
dipanggil agar duduk bersebelahan mendampingi Rahman dalam acara yang
akan diamini oleh para malaikat. Raidah memanggil neneknya. Ya, ia tak
ingin neneknya tak menjadi saksi perkawinannya. Para inang pun sibuk
mencari nenek. Rupanya nenek tertidur di kursi panjang setelah menikmati
semur ayam hangat. Mereka membangunkan nenek, tapi nenek tak bereaksi.
Tubuh perempuan tua itu kaku. Tangannya masih memegang tasbih. Bibirnya
pucat. Orang-orang mulai riuh. Raidah menoleh pada kerumunan suara yang
ribut. Orang-orang berteriak.
Nenek Raidah telah mati!
Raidah berteriak tertahan. Rasanya tak mungkin, nenek tadi sehat-sehat saja, batinnya meringis. Apakah karena nenek tak tidur semalaman?
Pertanyaan demi pertanyaan menyeruak dari pikiran Raidah. Isak
tangisnya memecah kegalauan di rumah. Rahman berusaha menenangkannya.
Para tamu mulai berbisik. Mereka mengaitkan kedukaan itu dengan bala
perkawinan bulan apit. Perasaan Raidah benar-benar campur aduk.
Tiba-tiba saja ia teringat akan sebuah bacaan yang biasa ia lantunkan
selepas langit berwarna keemasan: Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan yang tetap kekal
adalah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (Ar-Rahman:
26-27).
Raidah meminta pengurusan jenazah neneknya didahulukan. Orang-orang
mempersiapkan pemandian dan penguburan. Raidah masuk ke kamar dengan
langkah yang di tenang-tenangkan. Ia tahu, di belakang sana, Rahman
memandanginya tak mengerti. Dilepasnya kebaya dan dibasuhnya riasan
dengan air wudu. Tak berapa lama kemudian, ia sudah keluar dan
menghampiri calon suaminya.
“Ini tidak ada hubungannya dengan waktu pernikahan kita, Kak. Usai
pemakaman, kita akan tetap menikah. Nenek pasti bahagia,” bisiknya.
Rahman tertegun. Tiba-tiba ia merasa menjadi laki-laki yang sangat beruntung. ***
DESY ARISANDI lahir di
Biaro Baru, Musirawas, 1 Desember 1984. Alumnus Universitas Bengkulu ini
pernah menjabat ketua Forum Lingkar Pena Lubuklinggau (2009/2010).
Cerpennya Cerita Perempuan Berjoget memenangi Sayembara Menulis
Cerita Pendek se-Sumatera Selatan (2009). Sejak 2010, dia mengabdi
sebagai guru bahasa Indonesia di SMPN Tabarenah Musirawas, Sumatera
Selatan.
Membaca email ini, in syaa Allah Anda akan memahami garis besar bagaimana cara mengubah diri.
Banyak yang bertanya, bagaimana cara berubah, menjadi lebih baik, menjadi lebih sukses? Apa saja yang harus dilakukan?
Banyak ahli yang menjawab, ubah pikiran. Change Your Mind, change your life. Ubah pikiran, maka hidup Anda bakal berubah.
Pertanyaanya, seperti apa sich tepatnya mengubah pikiran itu?
Pikiran yang dimaksud adalah: mindset atau disebut juga dengan pola
pikir atau paradigma. Bukan bagaimana cara melakukan sesuatu, tetapi
yang perlu Anda ubah adalah mindset Anda.
Karena, jika mindset sudah berubah, maka yang lainnya akan berubah.
Jangan khawatirkan dengan berbagai kekurangan Anda saat ini, jika
mindset sudah benar, yang lainnya akan mengikuti.
Mindset itu dimulai dengan kejelasan arah. Kemudian bagaimana
pengkondisian pikiran Anda, lebih tepatnya pikiran bawah sadar Anda agar
sesuai dengan arah tujuan Anda. Dan cara mengubah pikiran bawah sadar
Anda adalah dengan memanfaatkan pikiran sadar Anda.
Pikiran sadar Anda yang mengarahkan tujuan. Pikiran sadar Anda yang
mengkondisikan pikiran bawah sadar. Saat tujuan yang jelas plus kondisi
pikiran bawah sadar Anda sudah mendukung, maka perubahan tinggal
menunggu waktu.
BY Zona Sukses