Daftar Blog Saya

Selasa, 05 Desember 2017

Penjual Bunga di Clemenstorget

Cerpen Hayu Hamemayu (Media Indonesia, 03 Desember 2017)
Penjual Bunga di Clemenstorget ilustrasi Media Indonesia.jpg
Penjual Bunga di Clemenstorget ilustrasi Media Indonesia
“Hhhh hhhh hhhh,” aku berlari terengah-engah menuju tempat pemberhentian bus. Dan saat itulah lagi-lagi aku melihat dia. Dia yang selalu tersenyum setiap kali mata kami bertemu. Dia yang selalu menyapa “hej hej ” setiap pagi saat aku terburu-buru mengejar bus dan melewati kiosnya. Begitu terus setiap hari. Tak peduli aku balas tersenyum atau tidak. Tak peduli aku membalas sapaannya atau tidak. Awalnya aku risih. Aku tak merasa mengenalnya. Tapi lama-lama aku terbiasa. Dan sekarang senyum dan sapaannya sudah menjadi bagian dari keseharianku.
Dialah salah satu dari dua penjual bunga yang ada di Clemenstorget. Kiosnya berada lebih dekat dengan jalan raya. Karena itu jadi lebih sering kulewati daripada kios yang satunya. Aku tak pernah tahu siapa namanya atau kapan dan dari mana dia datang. Setiap kali aku melewati area itu untuk berangkat kerja, dia sudah duduk manis di belakang puluhan ember berisi bunga-bunga segar. Kadang mawar. Kadang lili. Kadang tulip. Tergantung musim. Dia juga masih duduk di situ ketika aku pulang. Kadang bunga yang dijualnya tak banyak bersisa. Kadang ember-ember berisi bunga itu tampak tak mengalami banyak perubahan. Dia tetap berjualan ketika salju atau hujan turun. Juga ketika angin  bertiup kencang mengacak-acak tenda kiosnya. Dia tetap duduk di sana. Tersenyum manis dan menyapa “hej hej.”
Menurutku dia sudah berjualan di Clemenstorget sejak lama. Minimal dia sudah ada di sini saat aku pindah enam bulan lalu. Kalau dilihat dari perawakan dan penampilannya yang khas (dia selalu mengenakan tutup kepala warna biru), aku menebak dia orang Roma, yang memang cukup banyak jumlahnya di sini. Aku sendiri belum pernah membeli bunga darinya. Aku tak merasa perlu menaruh bunga di apartemenku. Demi apa? Aku toh bukan penggemar bunga juga. Membeli bunga tidak pernah menjadi prioritasku.
Ketidaksukaanku pada bunga barangkali sedikit banyak dipengaruhi oleh karakter dasarku yang tidak hangat. Selama ini aku memang dikenal sebagai “si dingin”. Aku tak mudah bergaul. Cenderung penyendiri. Sinis pada banyak hal. Aku juga tak pandai mengekspresikan perasaan. “Your face needs deliverance,” kata seorang rekan padaku suatu ketika. Aku bukan tipe orang yang murah senyum. Apalagi ramah dan suka menyapa. Sama sekali tidak seperti si penjual bunga itu.
Aku sendiri tak tahu apakah penjual bunga itu hanya menyapaku saja. Atau dia begitu ke semua orang. Tapi jujur, senyum dan sapaan yang secara konsisten dia berikan padaku setiap hari pelan tapi pasti mulai mengubahku. Entah sejak kapan, aku jadi balik menyapanya lebih dulu, atau melemparkan senyuman lebih dulu. Awalnya karena aku merasa tak enak. Lama-lama karena aku merasa itu hal yang baik untuk dilakukan. Dan aku mulai melakukannya tidak hanya pada si penjual bunga di Clemenstorget, tapi juga pada rekan-rekan di kantor. Pada sopir bus yang kutemui. Pada penumpang di sebelahku. Hal yang dilakukan oleh penjual bunga di Clemenstorget itu terasa seperti virus yang menular. Aku seperti terkena energi positif untuk melihat kehidupan dengan lebih banyak senyuman. Aku mulai jarang mengeluh. Aku mulai melihat sisi baik dari hampir setiap hal. Entahlah. Aku merasa tidak pantas mengeluh saja. Tidak setelah aku pulang kerja dan mendapati si penjual bunga tetap tersenyum ramah meski dagangannya tak laku. Aku merasa tak tahu diri. Untuk merutuki sepatu baruku yang basah, misalnya, sementara si penjual bunga di Clemenstorget itu hanya mengenakan sepatu boots yang sama,tak peduli hari sedang hujan, panas, atau bersalju.
Di kantor aku tak lagi dikenal sebagai “si dingin.” Aku mulai bergaul. Bahkan mulai mengiyakan ajakan party dari rekan-rekan kantor yang biasanya kuhindari.
“Nah gitu dong, live a life a little bit,” ujar salah satu dari mereka.
Aku hanya tersenyum. Akhir-akhir ini aku memang suka tersenyum. Aku suka sensasi di wajahku yang tertarik ketika mulutku membentuk sebuah senyuman. Rasanya seperti ada yang diregangkan di wajahku yang kaku. Dan itu terasa menyegarkan. Mungkin benar kata orang. Senyum itu olahraga untuk muka. Sebelum ini, aku tidak menyadari betapa sebuah senyuman bisa terasa menyenangkan. Masa laluku memang tak memberiku banyak kesempatan untuk tersenyum. Seringnya,aku justru merasa hidup tak adil padaku. Lahir tanpa keluarga dan terdampar di negeri asing sebagai lone refugee (pencari suaka yang datang sendirian) sejak enam belas tahun yang lalu membuatku lebih suka mengerutkan dahi daripada tersenyum. Tak heran wajahku jadi lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Awalnya aku juga merasa hidup ini tak layak untuk disenyumi. Manusia-manusia egois di mana-mana. Perang. Pemanasan global. Rasisme. Apa yang pantas dari semua itu untuk dihadiahi senyuman? Tapi sejak hari si penjual bunga di Clemenstorget rutin memberiku senyuman, aku berubah pikiran.
Barangkali hidup memang tidak sempurna. Barangkali dunia memang sudah bobrok. Tapi aku tak perlu memperparah kebobrokan itu dengan menjadi orang yang menjengkelkan. Barangkali aku justru bisa memperlambatnya dengan menjadi orang baik. Orang yang menyenangkan. Orang yang murah senyum. Seperti penjual bunga di Clemenstorget itu. Kalau benar semua orang di dunia ini punya peran dalam kehidupan dan bahwa setiap hal yang kita lakukan, seberapa pun kecilnya itu, berpengaruh pada dunia, maka kupikir menjadi orang yang menebar senyum pastinya lebih berkontribusi positif bagi dunia daripada menjadi penggerutu sepertiku dulu.
Begitulah. Dalam enam bulan ini aku telah berubah. Kadang memang dibutuhkan orang lain sebagai cermin untuk melihat ke dalam diri kita sendiri. Aku membutuhkan seorang penjual bunga di Clemenstorget untuk melihat betapa kaku hidupku selama ini. Penjual bunga yang secara konsisten menebarkan pesan yang sama. Semua orang heran melihat perubahanku. Beberapa dari mereka bertanya dengan setengah curiga. Yang tentu saja kujawab dengan klise: “People change.” Bahkan ada yang menebak bahwa aku sedang jatuh cinta. Aku hanya tergelak ketika mendengarnya. Tapi mungkin dia benar. Aku memang sedang jatuh cinta, jatuh cinta pada kehidupan. Dan itu semua gara-gara penjual bunga di Clemenstorget. Penjual bunga yang selalu tersenyum dan menyapa “hej hej”.
***
“Jadi, begitu yang bisa saya usulkan?” kataku menutup pemaparanku tentang rencana strategis pengembangan kantor.
Hari ini aku memang ada rapat penting. Salah satunya membahas tentang strategic planning untuk awal tahun depan dengan direktur regional yang terkenal perfeksionis. Aku terpaksa menggantikan kepala divisiku yang sedang cuti sakit. Tentu saja aku dan rekan-rekan setimku sempat khawatir rencana ini akan diterima dengan kurang baik. Apalagi ini pertama kalinya aku memegang kendali. Tapi tak disangka respons semua orang, termasuk si direktur regional, cukup positif. Memang ada revisi di sana-sini tapi minor, selebihnya rencana ini bisa segera masuk tahap implementasi.
“Hebat kamu ya, bisa meyakinkan si bos perfeksionis!” kata salah satu rekan timku begitu kami selesai rapat.
Aku hanya menanggapi dengan senyuman.
“Mungkin gara-gara kamu murah senyum sekarang, jadi si bos pun luluh,” timpal rekan yang lain.
Kami semua tertawa.
“I like the new you, by the way,” tambahnya.
“Hahaha, thanks,” balasku. Dalam hati aku membatin, “I like the new me too.”
Di luar sana hari mulai petang. Aku membereskan meja dan isi tasku lalu bergegas pulang. Seperti biasa, aku naik bus lalu turun di pemberhentian dekat Clemenstorget. Dari kejauhan, tampak tutup kepala warna biru milik si penjual bunga. Bahkan dari jauh begini aku sudah bisa merasakan aura hangat dari senyumannya. Aku melewatinya sambil memberikan senyuman terbaikku. Dia pantas mendapatkannya setelah apa yang diberikannya padaku selama ini.
“Hej hej” sapaku lebih dulu.
“Hej,” balasnya. Lagi-lagi sambil tersenyum.
Aku melirik ember-ember berisi bunga di depannya. Sepertinya tak banyak yang laku hari ini. Aku melangkah dengan perasaan iba. Setelah beberapa langkah,baru aku tersadar bahwa selama ini aku belum pernah melakukan sesuatu untuk si penjual bunga itu.  Sesuatuyang seharusnya sudah kulakukan dari dulu.Segera kubalikkan langkah kembali ke arah kios si penjual bunga.
“Hej hej,” dia langsung menyapa lagi begitu aku mendekat.
“Hai. Aku mau membeli tulip yang oranye itu,” kataku sambil menunjuk satu buket bunga tulip warna oranye di ember. Persis di depannya. Aku sendiri tak tahu mau kuapakan bunga itu nanti. Sepertinya aku juga tak punya vas di apartemen. Tapi aku ingin melakukan sesuatu untuk si penjual bunga itu. Dan tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain melarisi dagangannya.
“Okay, 59 kronor,” jawabnya kemudian.
Tapi tak ada gerakan. Penjual bunga itu tetap diam saja, tak berusaha meraih bunga tulip di hadapannya. Aku mendongak untuk menatap wajahnya. Matanya tak berkedip. Sementara bibirnya menyunggingkan senyum yang sama. Saat itulah aku sadar, ternyata dia buta. Penjual bunga di Clemenstorget yang setiap pagi menyapaku ramah itu, yang selama ini mengajariku untuk tersenyum, ternyata tak bisa melihatku.

Lund, May 2017

Raidah Kawin!

Cerpen Desy Arisandi (Jawa Pos, 03 Desember 2017)
Raidah Kawin! ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Raidah Kawin! ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
Raidah kawin! Geru suara sumbang di Dusun Ulak mendengar Raidah akan kawin. Ya, Raidah. Gadis berkerudung yang tahunya mengaji dan memandikan neneknya yang lumpuh. Mana mungkin Raidah kawin? Tak ada laki-laki yang mengenalnya begitu dalam. Paling-paling Jaff ar. Itu pun Raidah sering menolak jika bujang tua itu mengajaknya menonton layar tancap di Laman Kapuk.
BERITA pernikahan Raidah begitu menghebohkan. Tidak di sungai, di sawah ataupun di surau. Penduduk kampung sibuk bernyinyir-ria, membincangkan (menggunjingkan, lebih tepatnya) Raidah yang akan menikah di bulan yang diapit oleh dua hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha.
Ya, pantang bagi penduduk kampung menikah di bulan itu. Bala akan mengiringi pernikahan, begitu yang diimani. Maka, banyak cibiran sekaligus rasa menjura (yang tentu saja tak ditampakkan) mengarah pada Raidah. Alangkah nekatnya Raidah dan calon suaminya; hendak melumat buah simalakama yang menjuntai di antara dua hari raya! Orang-orang juga khatam tentang ini: Bila bukan sang istri, suamilah yang akan meregang nyawa! Sungguh, bergidik seluruh bulu yang tumbuh di sekujur tubuh, membayangkan hal itu.
Ya ya ya, apalagi Raidah tak begitu jelas pada sosok calon suami yang akan mendampinginya. Ia mengenal Rahman tatkala ia masih mengajar mengaji di surau setiap usai magrib. Hanya itu. Perkenalannya dengan tukang ojek yang mangkal di simpang dusun sebelah itu dapatlah dikatakan kebetulan. Ketika hendak memarkirkan sepeda motornya di laman surau karena didesak hajat ingin buang air kecil, tak sengaja Rahman menoleh ke dalam surau. Matanya menangkap sosok seorang gadis berkerudung di sana. Rahman pun tak terlalu memanjangkan tatapan. Selain karena kantung kemihnya mendesak untuk dikosongkan, ia pada dasarnya juga bukanlah lelaki pemuja wanita berkerudung. Apalagi dari pandangan selintas lalu itu, paras Raidah tidaklah dapat dikatakan cantik –walau tak dapat pula dibilang buruk.
Setelah menunaikan hajatnya, Rahman menyalakan sepeda motornya. Suara knalpot yang kasar memekakkan telinga. Merasa kenyamanan mengajarnya terganggu, Raidah setengah berlari ke sumber polusi suara.
Dasar tukang ojek, hardiknya dalam hati. Takkan ada perempuan yang sudi dengan tukang ojek yang berperangai macam itu, gerutunya lagi.
Ternyata itu bukan kali terakhir Rahman numpang buang air kecil di surau tempat Raidah mengajar. Dan itu sebenarnya bukan masalah bagi Raidah. Hanya saja ia tak dapat menerima kebisingan yang ditimbulkan suara knalpot ketika Rahman menyalakan sepeda motornya. Karena sudah tak tahan, Raidah pun sengaja menunggu si tukang ojek di malam berikutnya.
Sepeda motor beserta si pengendara yang ditunggu-tunggu tiba. Raidah menunggu hingga Rahman menunaikan hajatnya. Dengan perasaan dongkol, Raidah mendatangi Rahman yang baru saja hendak mengengkol pedal sepeda motornya. Seumur hidup, gadis itu belum pernah bertatap muka dengan laki-laki selain Jaffar yang hanya menunggu di depan pintu pagar rumahnya.
Dengan dada bergemuruh, Raidah meminta Rahman tidak menganggu kenyamanannya mengajar.
“Lha, ini motor, motor saya!” Rahman membuang muka.
Mendengar jawaban yang tidak bersahabat bahkan terkesan kurang ajar itu, Raidah membelalak. Dengan suara berdesis, Raidah berdoa agar laki-laki tukang ojek itu diberi azab yang setimpal.
Rahman cuma nyengir seolah mengejek kata-kata Raidah. Dengan senyum sinis Rahman menyalakan mesin sepeda motor sebagaimana biasanya. Asap knalpot menutupi wajah Raidah.
Sungguh susah payah Raidah menahan onak di dadanya tak melukai perasaannya, tapi tak bisa. Air matanya tumpah jua. Ia malu dilihat anak-anak didiknya yang mematung menatapnya. Bersicepat Raidah menyeka air matanya dengan ujung kerudung. Tak berselang lama, ia sudah mengibaskan sebelah tangannya ke arah belakang. Seolah memahami bahasa tubuh itu, anak-anak gegas balik badan, kembali bersimpuh di permadani surau yang lusuh, menekuri Juz Amma dengan khusyuk, seolah mereka tak melihat kejadian barusan.
Sakit hati Raidah tak jua hilang. Tiap tengah malam ia bangun, mengabaikan hawa dingin yang menusuk-nusuk. Entah apakah ia yang terlalu perasa atau memang Rahman yang keterlaluan, peristiwa tempo malam telah membuat gelisah betah menyambanginya. Ia mengadu tentang rasa sakit hatinya pada Sang Khalik usai memohon kesembuhan neneknya. Ia tahu doanya perihal laki-laki itu adalah doa yang mengancam sekaligus berlebihan. Tapi ia pun tak kuasa berdamai dengan sakit hatinya. Apakah Tuhan juga mengurus perihal remeh seperti ini, Raidah tak peduli. Apakah Tuhan akan mengabulkan doa yang lahir dari dendam yang salah, ia juga tak peduli.
Raidah tak pernah tahu. Dari balik korden kamar, kadang neneknya menatap Raidah dengan heran. Bukan pada salat malamnya, tapi pada air mata yang selalu memandikan wajahnya. Ya, salat malam bukanlah hal yang jarang Raidah lakukan. Tapi, sungguh, neneknya tak pernah melihat Raidah berdoa dengan air muka seperti itu. Geram dan penuh dendam!
***
SABAN subuh, dengan sabar Raidah mengguyur air yang ia timba usai tahajud, ke tubuh neneknya yang renta; kepala yang seluruh rambutnya sudah memutih, bibir yang gigil, kulit keriput yang menyelaputi tulang. Tak ada percakapan di antara mereka. Hanya senyum yang kadang bertabrakan atau gerakan mata yang sesekali bersitatap. Ada kasih sayang yang tak dapat diterjemahkan dengan kata-kata antara dua orang yang saling menyangga; seorang gadis yatim piatu yang penurut dan seorang nenek yang menjadi penanda riwayat nasab.
Usai mandi, Raidah membopong sang nenek ke kamar. Raidah menyisir rambutnya, menyarungkan pakaian ke tubuh rentanya, dan menyiapkan air hangat kuku dengan sepotong bipang (sejenis roti yang terbuat dari ketan) sebagai pengganjal perut di pagi hari. Hati Raidah miris, sudah hari ketiga neneknya hanya menikmati bipang. Potongan bipang hari ini adalah yang terakhir yang ia siapkan. Raidah menelan ludah. Bergegas ia menuangkan air hangat kuku ke bipang itu lalu menyuapi neneknya. Sedikit demi sedikit. Penuh sabar, cinta, pengabdian, dan doa yang terus memanjang.
Pagi ini Raidah mencoba berjalan ke kebun. Ia pikir, sudah ada beberapa ubi yang dapat di panen. Dengan semangat ia memasuki kebun warisan orang tuanya itu. Dari kejauhan, tampak pucuk-pucuk ubi kehijauan menyambut matanya. Raidah bersyukur seakan menemukan harta karun. Telah tiga hari ia dipecat Mang Kardi yang menuduhnya mencuri gabah. Mengingat itu, hati Raidah pedih. Ingin sekali ia mengatakan bahwa yang mencuri gabahnya adalah Ujang, anaknya sendiri, ketika gabah sedang dijemur. Tapi Raidah tak kuasa karena Ujang mengancamnya. Ia hanya pasrah. Sudahlah. Tak ada gunanya mengingat itu. Mang Kardi juga sudah telanjur menuduhnya.
Dengan senyum tersungging, Raidah mencabut ubi-ubi yang tampak bernas. Tak luput pucuk daun turut serta dipetiknya. Raidah tampak puas. Beberapa ubi akan dijualnya pada Wak Odah, penjual tapai di ujung kampung. Ia akan membelikan roti kacang yang lembut untuk neneknya.
***
JANGKRIK mulai bernyanyi, Raidah bersiap pergi ke surau. Nenek tampak lahap menikmati roti kacang yang dibelinya. Raidah pamit di telinganya yang sudah pekak. Dengan bernyanyi kecil, Raidah menikmati ayunan kakinya yang terasa ringan. Kepedihan hidupnya tak menyurutkannya untuk terus bersyukur.
Sesampai di surau, Raidah terkejut. Semua anak didiknya hanya duduk di beranda surau. Dari bibir-bibir mungil mereka, semua mengadu ada pemuda yang sedang tidur di dalam surau. Segera saja Raidah memasuki surau.
Pemuda itu lagi! Pemuda itu terbaring dengan berbantalkan jaket kulitnya. Ingin Raidah berteriak mengusir pemuda yang membuatnya sakit hati dengan deru motornya yang memekakkan telinga itu, namun yang ia lakukan justru sebaliknya. Dengan perlahan ia membangunkan pemuda itu. Mata anak didiknya menatap Raidah seakan memberikan kekuatan untuk membangunkannya. Tetapi pemuda itu hanya diam tanpa membalikkan tubuhnya. Raidah semakin kesal. Dengan suara agak keras, ia menegurnya. Mendengar itu, pemuda itu terbangun dengan agak terkejut.
“Hei, kamu!” serunya sambil tangannya menunjuk ke arah wajah Raidah.
Raidah terkejut. Ia mundur selangkah. Rahman dengan tidak sopan berdiri dan menghardik Raidah yang sedang berjuang melepas rasa takutnya.
“Beraninya kamu membangunkanku!” hardiknya.
“Kami ingin mengaji di sini. Kalau kamu ingin tidur, jangan di sini!”
Rahman mengibaskan tangannya ke muka Raidah kemudian berlalu meninggalkan sebongkah luka di hati perempuan itu.
Anak-anak menunggu reaksi Raidah. Mereka kehilangan semangat mengaji melihat Raidah menyapu lantai dengan wajah tertunduk. Dengan setengah terisak, Raidah menutup malam itu tanpa lafaz hamdalah.
***
SUDAH sebulan ini surau tenang. Tak ada lagi suara knalpot memekakkan telinga. Raidah bersemangat menjejakkan kakinya ke surau. Ia terpaku. Tampak Rahman yang sedang menyapu halaman surau. Anak-anak mengaji duduk berbaris menyaksikan pemuda yang berusaha beramah-tamah namun tak dihiraukan. Melihat Raidah, Rahman menghentikan kegiatannya dan berusaha tersenyum dengan menampakkan luka parutan berupa codet yang hampir memenuhi separo wajahnya. Raidah bergidik. Tak nampak lagi kesan garang yang selama ini bergelayut di wajahnya. Semuanya hilang, berganti dengan wajah memelas. Ketika berpapasan dengan  Raidah, Rahman mengeluarkan kata maaf. Lagi-lagi Raidah terkejut. Rasanya tak mungkin bisa ia memaafkan pemuda yang menorehkan luka di hatinya.
Bergegas Raidah berlalu sambil mengajak anak-anak untuk mengaji ke surau. Giliran Rahman yang tertunduk menahan malu.
Rasakan apa yang aku rasakan selama ini, jerit Raidah dalam hatinya.
Ternyata tak cukup sekali pemuda itu menemuinya. Ia terus datang hingga Raidah tak mampu lagi menghitungnya. Hati Raidah tertutup sudah untuk memaafkannya. Hingga di suatu malam, Raidah melihat keramaian di rumahnya. Senyum lebar yang jarang ia lihat di wajah keriput neneknya pun membuatnya gembira seketika. Tawa riuh perempuan-perempuan paro baya memenuhi ruang tamu yang pengap.
Dengan dada berdebar, Raidah mengucapkan salam. Semua orang menatapnya. Raidah terkejut. Sepasang mata menatapnya, tajam namun penuh harap. Pemuda itu datang membawa kedua orang tuanya. Pemuda itu hendak melamarnya. Raidah gugup, bagaimana mungkin ia menikah dengan pemuda yang selama ini didoakannya untuk tidak selamat dunia-akhirat!
Melihat Raidah tercenung, nenek melambaikan tangan agar ia mendekat. Raidah, dengan menundukkan badannya, melewati mata tetamu. Nenek mengatakan kalau ia menginginkan Raidah menikah dengan Rahman yang begitu baik.
“Tadi ia menyuapi Nenek dengan satu mangkok bubur kacang hijau. Dia sangat baik,” ujar nenek dengan mata berbinar.
Raidah menitikkan air mata. Alangkah cepat hati nenek luluh hanya dengan satu kebaikan yang perlu diteliti lagi kadar ketulusannya. Ingin sekali ia menceritakan perlakuan Rahman padanya selama ini. Namun rasanya tak mungkin ia menghanguskan senyuman nenek yang jarang ia lihat itu.
Pembicaraan pun berlangsung. Keluarga Rahman seolah memutuskan bahwa Raidah menerima pinangan mereka. Mereka lalu sibuk mencari tanggal pernikahan di kalender bergambar partai yang telah usang. Cukup lama mereka berdiskusi hanya karena tak ingin tanggal pernikahan jatuh di bulan apit (waktu antara Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Idul Adha). Akhirnya Raidah menyarankan agar pernikahan ditunda tahun depan (setidaknya banyak waktu untuk membuat semuanya berubah, batinnya).
Mendengar itu, Rahman menolak. Ia tak ingin pernikahan ditunda terlalu lama. Baginya, tak ada hubungan musibah dengan bulan apit. Raidah terkejut. Ia berharap tak ada yang mengamini kata-kata Rahman. Tetapi tak di sangka, ayah Rahman menyetujui keinginan anaknya. Karena melihat tekad Rahman yang begitu besar, Raidah dan neneknya pun tak bisa berkata apa-apa.
Raidah menghitung hari: Tiga minggu lagi perkawinannya akan diselenggarakan.
Berselang-seling hari tak membuat wajah Raidah merona bahagia. Justru ia tampak tertekan dan ketakutan. Seribu pertanyaan muncul di kepalanya. Hingga di suatu senja tatkala Rahman mengantarkan ketan ke rumahnya, Raidah memberanikan memanggilnya. Rahman menoleh. Senyum Rahman seolah menciutkan nyali Raidah. Dengan kepala tertunduk, Raidah menanyakan alasan Rahman ingin menikahinya. Rahman tersenyum berusaha menyentuh tangan Raidah namun langsung ditepis olehnya.
Melihat itu, Rahman duduk agak menjauh. Raidah pun tenang. Dengan tatapan kosong ke depan, Rahman mulai menceritakannya. Ia seakan mengulang kembali peristiwa yang membuatnya ingin menikahi gadis yang dulu dianggapnya biasa saja itu. Ya, sebuah peristiwa yang tak masuk akal ketika Raidah mengusirnya dari surau saat dirinya sedang terlelap. Ia menghardik Raidah tanpa menimbang rasa. Dengan kecepatan tinggi dan mata yang masih mengantuk, Rahman mengemudikan motornya hingga kecelakaan itu menimpanya. Ia pingsan.
Selama tak sadar diri, Rahman mengalami kejadian aneh. Ia diikuti sosok perempuan yang wajahnya mirip Raidah. Perempuan itu menangis dan tangisannya berupa darah. Rahman ketakutan. Ia lari sejauh mungkin tapi perempuan itu terus mengikutinya. Ia tampak sangat terluka hingga akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan kesalahannya. Di saat itulah, perempuan yang berwajah mirip Raidah menyatakan bahwa ia sakit hati dan ia minta pertanggungjawaban Rahman. Rahman tak kuasa menolak walaupun ia tak mengerti, pertanggungjawaban apa yang diminta.
Setelah itu, perempuan itu tak lagi menangis.
Ketika siuman, Rahman masih sulit mempercayai apa yang ia rasakan. Wajahnya separo tergores hingga menimbulkan bekas codet. Perasaan bersalah menghampirinya. Ia sadar kecelakaan itu akibat ulahnya yang kasar pada sosok perempuan yang tak bersalah. Karena keegoisannya menimbulkan luka batin pada Raidah. Ia tak mencintainya. Tapi perasaan bersalah lebih besar untuk menikahi perempuan yang juga tak dikenalnya itu. Semuanya seakan ada yang mengatur dan memberi jalan pada hatinya untuk bertekad menikahi Raidah.
Raidah diam. Teringat akan doa-doa yang ia lantunkan karena sakit hati pada Rahman. Semua doanya menyorotkan kebencian dan dendam yang tak terbalas. Ia memohon kepada Tuhan agar Rahman jauh dari selamat. Dan semua terjawab. Tuhan Maha Mendengar. Ter kabulkan doa Raidah juga membawa misteri. Ya, sebuah misteri yang manusia tinggal mengikuti. Raidah menikah dengan orang yang ia laknat. Terkunci mulut Raidah sampai Rahman menyudahi ceritanya.
***
PERSIAPAN pernikahan sudah hampir selesai. Bertambah riuh Kampung Ulak menyambut hari pernikahan Raidah-Rahman. Banyak penduduk kampung menyatakan Raidah melawan adat, tak tahu bala akan menimpa karena berani menikah di bulan apit. Ada yang ingin datang di pernikahan, tapi tak sedikit yang tak mau datang dengan alasan kesialan yang akan menimpa.
Malam kian hening, tenda sudah terpasang. Tak ada yang mencoba meramaikan suasana layaknya aroma pengantin yang penuh suka cita. Beberapa ibu yang kasihan pada Raidah tampak menyiapkan piring. Nenek tak henti-hentinya memegang tasbih, seolah tak sabar menunggu pagi. Beberapa kali Raidah meminta neneknya untuk tidur tapi ia selalu menolak. Hingga kokok ayam berbunyi, nenek tetap dengan mata yang layu.
Raidah bersiap. Petugas rias mulai sibuk menyasak rambut, mengoleskan wewarna di kelopak mata dan pipinya, memasang sanggul, menyisipkan bunga melati di sela-sela tanjaan rambut. Raidah tegang. Para tamu sudah mulai berdatangan. Keluarga Rahman pun terlihat sibuk menyambut tamu. Entah dari mana muncul rasa bahagia yang menyelinap di hati Raidah. Ia ingin menyanggahnya tapi tak kuasa. Beberapa kali candaan para tetangga mengoda Raidah. Semua dinikmatinya persis anak kecil yang sedang dipuji.
Akhirnya selesai sudah riasannya. Dengan balutan kebaya merah jambu dan kerudung senada membuat semua mata menoleh kepadanya. Rasanya seperti tak mengenal Raidah yang lugu dan kumal dengan kerudung piasnya. Kecantikannya seolah memancar dari hatinya yang bersih. Rahman pun terpana. Ia tak menyangka, gadis yang diajaknya untuk hidup bersama itu selama ini menyembunyikan kecantikannya. Ia berusaha menahan pandangan agar ketertegunannya tak terlalu tampak.
Pembawa acara pun memulai acara. Hingga tibalah Raidah untuk dipanggil agar duduk bersebelahan mendampingi Rahman dalam acara yang akan diamini oleh para malaikat. Raidah memanggil neneknya. Ya, ia tak ingin neneknya tak menjadi saksi perkawinannya. Para inang pun sibuk mencari nenek. Rupanya nenek tertidur di kursi panjang setelah menikmati semur ayam hangat. Mereka membangunkan nenek, tapi nenek tak bereaksi. Tubuh perempuan tua itu kaku. Tangannya masih memegang tasbih. Bibirnya pucat. Orang-orang mulai riuh. Raidah menoleh pada kerumunan suara yang ribut. Orang-orang berteriak.
Nenek Raidah telah mati!
Raidah berteriak tertahan. Rasanya tak mungkin, nenek tadi sehat-sehat saja, batinnya meringis. Apakah karena nenek tak tidur semalaman?
Pertanyaan demi pertanyaan menyeruak dari pikiran Raidah. Isak tangisnya memecah kegalauan di rumah. Rahman berusaha menenangkannya. Para tamu mulai berbisik. Mereka mengaitkan kedukaan itu dengan bala perkawinan bulan apit. Perasaan Raidah benar-benar campur aduk. Tiba-tiba saja ia teringat akan sebuah bacaan yang biasa ia lantunkan selepas langit berwarna keemasan:
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan yang tetap kekal adalah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (Ar-Rahman: 26-27).
Raidah meminta pengurusan jenazah neneknya didahulukan. Orang-orang mempersiapkan pemandian dan penguburan. Raidah masuk ke kamar dengan langkah yang di tenang-tenangkan. Ia tahu, di belakang sana, Rahman memandanginya tak mengerti. Dilepasnya kebaya dan dibasuhnya riasan dengan air wudu. Tak berapa lama kemudian, ia sudah keluar dan menghampiri calon suaminya.
“Ini tidak ada hubungannya dengan waktu pernikahan kita, Kak. Usai pemakaman, kita akan tetap menikah. Nenek pasti bahagia,” bisiknya.
Rahman tertegun. Tiba-tiba ia merasa menjadi laki-laki yang sangat beruntung. ***

DESY ARISANDI lahir di Biaro Baru, Musirawas, 1 Desember 1984. Alumnus Universitas Bengkulu ini pernah menjabat ketua Forum Lingkar Pena Lubuklinggau (2009/2010). Cerpennya Cerita Perempuan Berjoget memenangi Sayembara Menulis Cerita Pendek se-Sumatera Selatan (2009). Sejak 2010, dia mengabdi sebagai guru bahasa Indonesia di SMPN Tabarenah Musirawas, Sumatera Selatan.

Ini Cara Berubah Yang Sebenarnya

Assalamu'alaikum wr wb

Membaca email ini, in syaa Allah Anda akan memahami garis besar bagaimana cara mengubah diri.

Banyak yang bertanya, bagaimana cara berubah, menjadi lebih baik, menjadi lebih sukses? Apa saja yang harus dilakukan?

Banyak ahli yang menjawab, ubah pikiran. Change Your Mind, change your life. Ubah pikiran, maka hidup Anda bakal berubah.

Pertanyaanya, seperti apa sich tepatnya mengubah pikiran itu?

Pikiran yang dimaksud adalah: mindset atau disebut juga dengan pola pikir atau paradigma. Bukan bagaimana cara melakukan sesuatu, tetapi yang perlu Anda ubah adalah mindset Anda.

Karena, jika mindset sudah berubah, maka yang lainnya akan berubah. Jangan khawatirkan dengan berbagai kekurangan Anda saat ini, jika mindset sudah benar, yang lainnya akan mengikuti.

Mindset itu dimulai dengan kejelasan arah. Kemudian bagaimana pengkondisian pikiran Anda, lebih tepatnya pikiran bawah sadar Anda agar sesuai dengan arah tujuan Anda. Dan cara mengubah pikiran bawah sadar Anda adalah dengan memanfaatkan pikiran sadar Anda.

Pikiran sadar Anda yang mengarahkan tujuan. Pikiran sadar Anda yang mengkondisikan pikiran bawah sadar. Saat tujuan yang jelas plus kondisi pikiran bawah sadar Anda sudah mendukung, maka perubahan tinggal menunggu waktu.
BY Zona Sukses