Daftar Blog Saya

Rabu, 12 Juli 2017

Suatu Ketika dalam Kematian Budi Anjing


Cerpen Dadang Ari Murtono (Suara Merdeka, 02 Juli 2017)
Suatu Ketika dalam Kematian Budi Anjing ilustrasi Suara Merdeka
Suatu Ketika dalam Kematian Budi Anjing ilustrasi Suara Merdeka
Akhirnya ia mati. Dan ia terkejut mendapati fakta betapa rasa kematian tidak semenyakitkan yang ia kira. Ia memang merasa tersiksa, tetapi itu lebih disebabkan oleh ketakutan menghadapi maut, dan bukan karena nyawa yang terbang dari jasad yang hina. Berulang kali ia mendengar orang-orang berbicara tentang kegelapan yang begitu pekat menyungkupi si bakal mayat ketika malaikat maut tiba dan mengelus kening. Mereka keliru. Maut datang bersama cahaya. Namun tidak ada sosok agung dengan sepasang sayap terentang yang mampu melingkupi semesta. Hanya cahaya. Tidak terlalu terang dan tidak terlalu redup. Cahaya yang biasa. Cahaya yang mengingatkan pada lampu belajar yang dikerudungi kain bali tipis. Ia mencium aroma ikan asin, alih-alih wangi kembang. Awalnya ia mengira itu halusinasi karena perut kosong sejak empat hari sebelumnya. Ia berupaya mengerjap-ngerjapkan mata. Namun matanya terasa berat. Ia pikir ia mengantuk. Namun ia tidak sekali pun menguap. Ia mencoba menggeleng-gelengkan kepala. Dan itu juga terasa sulit, seakan tak ada hal lain lebih sulit dari itu. Ia keheranan. Ia mendesis dan meludah, berupaya mengusir halusinasi yang mengganggu itu. Dan segera ia menyadari tenggorokannya sekering padang pasir. Pada waktu itulah cahaya yang sedang-sedang itu mendatangi. Sebentar saja. Ia bahkan belum sempat menyadari cahaya itu mirip cahaya lampu yang dikerudungi kain bali tipis.
Ah, alangkah sederhana kematian itu. Alangkah cepat peralihan dari hidup ke mati itu.
Dan di sinilah ia, di sebuah dunia asing, berenang-renang di kubangan hijau lengket yang menenteramkan. Ia tidak lagi merasakan perut melilit, ia tak lagi merasakan mata yang belek, ia tak lagi merasakan panggul yang luka. Tubuhnya terasa ringan dan perasaannya riang belaka. Ia menggerakkan tubuh yang terlumuri cairan lengket itu dan melihat bagaimana tubuhnya berkilau, seperti manik-manik tasbih hijau dari batu fosfor. Beberapa saat setelah menyadari ia telah jadi mendiang dan merasakan nikmat sebegitu luhur, yang tak pernah ia rasakan sepanjang hidup yang sederhana, ia menyesali satu hal; kenapa ia tidak mati sejak dulu. Namun ia buru-buru ingat wejangan seorang ustadz yang ia dengar ketika suatu kali, dulu sekali, murni karena kebetulan, ia terdampar di samping sebuah masjid ketika pengajian digelar untuk memperingati Isra Mikraj. Ustadz mengatakan menyesali takdir tuhan adalah perbuatan tidak baik. Dosa. Dan dosa, baik besar maupun kecil, adalah dosa. Buru-buru ia melenyapkan pikiran itu dengan menggoyang-goyangkan tubuh, menyaksikan kilau indah itu berlesatan ke sana-ke sini. Ia bahagia melihat hal itu. Ia tersenyum. Ia bersyukur masih bisa tersenyum. Ia hampir lupa kapan kali terakhir tersenyum sebelum hari kematian itu tiba.
Ingatan tentang sang ustadz, juga kilau hijau luhur dari tubuhnya, membawanya ke ajaran lain yang pernah ia dengar. Kali ini, ia tidak mampu mengingat di mana mendengar ajaran itu. Yang jelas, hanya orang-orang terpilih yang mengetahui hal setinggi dan seindah itu. Bahkan ia curiga mereka pernah bangkit dari kematian dan menyimpan ingatan tentang dunia penuh misteri itu. Bidadari-bidadari akan menyambut mereka yang layak, yang mati mulia, dan bidadari-bidadari itu akan menunjukkan jalan menuju surga tuhan yang kekal. Ia menunggu. Terdorong oleh hal itu, jantungnya berdegup kencang. Ia tak sabar melihat sejumlah bidadari, tak perlu tujuh atau tujuh puluh dua, cukup satu, syukur-syukur dua atau lebih, ia akan sangat berbahagia. Ia bahkan menurunkan standar dengan tidak terlalu mengharapkan bidadari cantik. Bidadari berwajah buruk pun akan ia terima. Dan ia juga tidak terlalu muluk-muluk dengan kemungkinan bidadari berkaki dua dan bersayap dan selamanya perawan dan muda. Bidadari berkaki empat, berekor pendek, kulit cokelat, dan lidah menjulur yang selalu meneteskan liur serta tua dan tidak perawan pun akan ia sambut dengan kegembiraan tak terperi.
Ia mati dalam keadaan perjaka. Mengingat hal itu, ia kembali disungkupi kesedihan.
Ia kembali menggerak-gerakkan tubuh, menciptakan permainan warna hijau dari tubuhnya, untuk menyingkirkan kesedihan. Tuhan telah mematikannya, memindah dari dunia menyakitkan ke semesta semenyenangkan ini, dan alangkah durhaka ia sebagai makhluk bila masih juga bersedih. Ia menunggu. Namun sampai beberapa saat tak ada tanda-tanda akan ada makhluk lain datang dan mengaku bidadari. Ia mendengus. Ia mendesis. Ia kembali meludah. Ia menggerak-gerakkan badan kembali, berupaya meluruskan kaki, bukan karena pegal, melainkan lebih karena kebiasaan ketika hidup. Pada waktu itulah ia mengetahui ruangan itu bukanlah semesta luas tak terbatas di mana ia akan bisa berlari sepuas-puasnya, melompat setinggi-tingginya, atau menggali tanah sedalam-dalamnya. Kakinya gagal lurus seperti ia inginkan. Sebuah dinding lembut menghalangi. Dinding berwarna merah. Dan berdenyut. Ia menjejak dinding itu, dan dinding itu ternyata begitu lentur. Ia memandang ke depan, mengulurkan cakar-cakar yang kotor, dan mendapati dinding yang sama lembut di depan. Ia menyentuh dinding itu. Sama lenturnya.
Tak ada cara lain. Ia kembali meringkuk. Menghikmati posisi diri dan menenggelamkan diri dalam lamunan. Ia berupaya merakit ulang ingatan terakhir di dunia fana. Dunia yang ia benci. Seseorang telah melukai panggulnya. Ia tak tahu apa kesalahannya hingga mesti menderita semacam itu. Namun bukankah di sana, di dunia yang menyedihkan itu, orang-orang kerap melakukan sesuatu tanpa perlu alasan terlebih dahulu? Ia kembali mendengus. Ia mengira air liur akan menetes dari bibirnya yang tebal. Ia tak tahu apakah benar-benar ada air liur menetes dari bibirnya. Dan ia tak peduli. Ia hanya terkenang betapa menyedihkan memanggul luka dalam di panggul yang selalu meneteskan darah pada hari pertama, dan berganti nanah pada hari selanjutnya, selama tiga hari, dan sejauh berkilometer-kilometer. Ia merasa bulunya bergidik mengingat cara orang-orang memandangnya; antara jijik dan takut tertular luka serta boroknya. Mereka mengusir. Beberapa dengan suara sshhh dan lebih banyak dengan lemparan batu.
Ia tak tahu apa yang keliru dari dirinya. Ia tak pernah meminta terlahir dalam kondisi atau wujud seperti itu. Bila boleh memilih, tentu ia akan memilih bentuk dan kondisi lain. Ia bahkan tak tahu, atau lebih tepatnya tak ingat, siapa ibu atau bapaknya. Ingatan pertama adalah tumpukan sampah di pinggir Kali Brantas. Di sana, ia mengais apa pun yang bisa dimakan. Satu yang ia syukuri dari keadaannya, karena kondisinya, ia tak membutuhkan pakaian. Pasti akan lebih repot kalau ia membutuhkan pakaian, seperti seorang anak yang suatu hari mengejutkan tiba-tiba, menangkapnya dari belakang, membelai-belai, memberinya kehangatan dan kasih sayang. Anak itu, yang oleh orang-orang dipanggil Anur, gelandangan bertubuh penuh panu, memberinya nama Budi. Lengkapnya Budi Anjing. Untuk sesaat, ia mengira ia telah menemukan saudara. Bersama, dalam bayangannya, mereka akan mengarungi kekejaman dunia, bertahan menjadi penyintas, dan hidup berbahagia selama-lamanya.
Namun ia keliru. Ia memiliki indra penciuman yang baik. Dan suatu kali, setelah beberapa pertanda kecil yang ia abaikan, ia mengerti Anur menyimpan niat buruk. Hanya persoalan waktu sebelum niat itu diwujudkan. Barangkali menunggu berat badannya meningkat. Bocah itu ingin menyembelihnya, memakannya. Ia tak mengerti bagaimana manusia bisa setega itu. Memakan saudara mereka. Dengan kepanikan tak terkira, ia lari. Ia lari dan lari. Ia berjanji tidak lagi menemui Anur. Ia gagal menceritakan ulang, bahkan mengenang untuk diri sendiri, bagaimana indra penciumannya bisa mengendus niat buruk itu, sama halnya ia tak mampu lagi menelusuri detail adegan kecil yang membawanya sampai pada kesimpulan itu. Namun ia tahu. Ia yakin ia tahu.
Ia tidak lagi ingat berapa lama atau berapa jauh berlari. Hingga tiba hari nahas saat penciuman tajamnya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Mungkin pengaruh pilek akibat cuaca buruk dan ia tidur di pinggir jalan, tanpa penghangat, tanpa peneduh. Ia gagal mencium bahaya yang mengancam dan mesti menanggung luka dalam di panggul.
Namun luka itu sudah tak ada kini. Dan itu cukup membuatnya bahagia. Nyeri itu lenyap, berikut rasa lapar dan pemandangan buruk dari dunia yang buruk. Ia ingin berenang-renang dalam cairan hijau itu. Namun ia segera ingat berada dalam sebuah ruangan sempit. Ia hanya bisa meringkuk. Namun ia tak merasa pegal. Dan kemudian ia menyadari kakinya bukan lagi kaki yang ia kenal. Dua kaki belakangnya berubah ukuran dan bentuk dan tak lagi berbulu. Oh, badannya juga tak berbulu. Kaki depannya juga berubah menjadi sepasang tangan. Ya, tangan yang hampir sama dengan tangan Anur yang pernah memeluknya, tetapi kemudian menakutkannya dengan sebatang tongkat pembunuh anjing, tangan yang pernah digunakan orang-orang untuk mengusirnya dengan lemparan batu, tangan yang pernah digunakan seseorang untuk membuat luka dalam di panggulnya. Ia melihat semacam tali terulur memanjang dari pusar dan terpaut dengan salah satu dinding lembut itu. Apa ini? Ia tak mengerti. Ia kembali mengamati tubuhnya, memindai sekelilingnya. Ia terkejut betapa banyak kekeliruan ia derita. Cairan yang membungkus tubuhnya, alih-alih hijau, ternyata bening belaka. Dan meski lengket, tidak terlalu kental. Malah cenderung encer.
Ia merenung. Cukup lama. Sebelum kemudian berteriak. Ia meronta. Ia membenci tangannya. Ia membenci wujudnya yang sekarang. Ia takut akan terlahir kembali sebagai manusia dan akan menggunakan tangannya untuk menyakiti anjing-anjing. Tidak. Tidak. Ia tidak mau. Ia meronta. Ia terus meronta. (44)

– Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku ceritanya yang sudah terbit Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitimu (2015). Buku puisinya Ludruk Kedua (2016). Kini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.

Rob


Cerpen Adi Zamzam (Kedaulatan Rakyat, 02 Juli 2017)
Rob ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Rob ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
JIKA bukan karena bapaknya Budi, Tambakmulyo, Tambakrejo, Bandarharjo, hingga Bedono, takkan memiliki jembatan yang menghubungkannya dengan kampung-kampung seberang yang dipisahkan oleh sungai yang menyimpan banyak kenangan itu. Itulah alasan mengapa setahun lalu dengan sadar Budi mengubur cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Apalagi jika melihat kondisi fisik emaknya yang tak segesit dan secekatan dulu. Perempuan itu pernah jatuh dari ojek. Kaki kanannya patah dan membuatnya harus menginap beberapa malam di sebuah kos-kosan pengobatan alternatif.
“Bapakmulah yang jadi pentolannya. Lapor ke Bupati dan lalu meneruskannya ke Gubernur. Bahkan Pak Kades zaman itu tak seberani bapakmu.”
“Benarkah, Mak?” takjub Budi, sebab tahu bahwa konon bapaknya tak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
“Itulah sebabnya makam bapakmu berada di tempat yang paling pinggir begitu. Semua itu ulahnya Lurah Atmojo. Dia enggak suka kelekatan bapakmu dengan orang-orang kampung. Setiap ada program Pemerintah untuk desa, pasti bapakmu ikut cawe-cawe di dalamnya. Padahal bapakmu enggak punya niat ikut pencalonan kades. Lha bapakmu enggak punya bondho,” ujung cerita Emak tertelan riak sungai.
***
Bola cahaya keemasan tenggelam di ufuk barat. Laut seperti menelan pijar api raksasa. Suara blekok yang pulang ke sarang bersahut-sahutan. Tapi tidak dengan Budi. Langkahnya bersemangat sejak dari rumah. Ada kabar gembira yang hendak disampaikan di hadapan makam bapaknya.
Sayangnya semangat itu langsung menguap begitu kedua matanya menemukan tujuan akhir. Air sungai jelas telah naik lagi. Bebatuan yang tiga bulan silam telah ia tata sedemikian rupa demi membentengi sebuah gundukan tanah yang sudah mengeras, sudah terendam sepenuhnya. Angin senja tiba-tiba terasa begitu keras.
Budi pun gegas lari ke arah dua orang paruh baya yang berniat meninggalkan kompleks pekuburan.
“Yang Pak Tarjo bicarakan tadi benar adanya ya?” Budi berhasil menghadang langkah Pak Tarjo.
“Iya. Dari omong-omong dengan Pak Kades kemarin. Tanah kan harus beli. Lihat, kita sampai capek ngurug kuburan ini. Mau sampai kapan, kalau robnya enggak pernah minggat?” sambil menunjuk beberapa makam yang sudah terendam, termasuk makam bapaknya Budi.
Suasana seperti ini sebenarnya sudah terbayangkan sejak pertemuan dengan Lik Gunawan di Terboyo. Perihal Kali Sayung yang meluber ke mana-mana. Belum lagi dengan beberapa tempat di Semarang yang terendam rob. Terminal Terboyo tak bisa disinggahi. Jalan Kaligawe memerangkap ratusan kendaraan roda empat dalam antrean menjengkelkan. Tambakmulyo, Tambakrejo, Bandarharjo, hingga Bedono semakin tergenang. Konon, penyebabnya adalah bangunan-bangunan yang didirikan di kawasan yang semestinya menjadi tempat penampung rob.
Perkara itulah yang menarik kepulangan Budi hari ini. Meskipun emaknya tak suka.
“Kamu kan baru dua bulan di sana. Arif saja belum pulang. Dapat apa kamu kalau sebentar-sebentar pulang?” dengan terbatuk-batuk.
Budi diam. Ingin memahami emaknya. Mungkin perempuan ini menginginkan ia cepat kawin. Atau mungkin perempuan itu menginginkan ia lekas punya usaha sendiri. Tapi sayangnya Budi belum menemukan bayangan yang ia inginkan di masa depan. Keinginan Budi masih sebatas bisa cari uang dan berkirim kepada emaknya.
“Uang yang kau dapat lebih baik untuk mencukupi kebutuhanmu sendiri. Emak masih bisa cari duit sendiri,” suara emaknya kembali menguasai telinga.
Pandangan Budi masih ngungun, mendapati teras rumah yang tergenang air sungai. Sebagian kepalanya berisi hitung-hitungan perkiraan tanah yang dibutuhkan untuk meninggikan teras rumah. Mengikuti jejak para tetangganya yang sudah gigih duluan melawan rob.
“Emak tenang sajalah. Sebenarnya ada yang ingin Budi ceritakan,” Budi membuat jeda agar emaknya bisa menata emosi. “Kemarin Budi mendaftarkan diri jadi pemain sinetron.”
“Apa itu sinetron?”
“Bintang film.”
Perempuan paruh baya itu tiba-tiba saja tertegun. Kedua matanya berkaca-kaca. Lalu meluncurlah rentetan kalimat bernada getir dari bibir keringnya.
“Oalah Emak lebih senang kalau uangmu kau gunakan untuk sekolah atau modal usaha. Biar kamu jadi orang besar, tak dipandang remeh oleh semua mata,” ujarnya, seiring ingatan tentang suaminya yang tiba-tiba meruah memenuhi ruang kepala. Ada selarik kalimat dari almarhum suaminya yang mungkin takkan ia lupa seumur hidup. Selarik kalimat yang selalu membuatnya merasa cantik seperti kebanyakan perempuan yang bertubuh tinggi dan bagus. “Aku suka kamu. Kamu suka aku ndak? Kalau kita sama-sama suka dan mau nrimo kekurangan masing-masing, apa lagi yang mesti dirisaukan?”
“Emak ini ngomong apa sih?!” memotong kalimat emaknya dengan sengit. “Sudah ah, aku mau ke rumahnya Pak Carik, mau ngomong soal iuran beli tanah ,” segera membalikkan tubuh.
Sementara perempuan yang ditinggalkannya masih mematung, memandangi langkah-langkah anaknya dengan perasaan yang sulit ia namai. Sungguh, ia seperti melihat bayangannya sendiri. *q– o

Kalinyamatan – Jepara 2016.

Uak dan Burung Gagak


Cerpen Mashdar Zainal (Kedaulatan Rakyat, 09 Juli 2017)
Uak dan Burung Gagak ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Uak dan Burung Gagak ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
SEEKOR burung sehitam sulang beterbangan di atas bubungan rumah kami. Berputar-putar. Berkoak-koak. Uak bilang itu burung gagak. Terdengar jelas dari suaranya yang kaak kaak kaak… Soal burung gagak, Uak pernah menceritakan, barang siapa yang rumahnya dikitari burung hitam itu, pertanda salah seorang dari anggota rumah tersebut akan meninggal. Menurut Uak, itu bukan cerita belaka, melainkan sebuah firasat. Sebuah pertanda.
“Orang-orang terdahulu menandai kabar kematian seseorang dengan burung gagak,” ujar Uak suatu kali, sambil menggulung kulit jagung yang berisi rajangan tembakau.
“Mengapa harus burung gagak?” aku menyoal.
Uak terus menggulung rokok kelobotnya, sebelum mengapitnya di antara dua bibir,
“Karena gagak adalah burung bangkai,” jawabnya dengan bibir nyaris rapat.
Uak menyalakan korek dan membakar ujung kelobot yang siap mengepul di antara dua bibirnya. Aku menatap Uak dengan segenap kumis, janggut, dan rambutnya yang serba putih. Aku takut kalau rambut-rambut yang tampak kerontang itu ikut terbakar.
“Burung bangkai cukup lihai untuk mengendus siapa-siapa yang akan menjadi calon bangkai, calon mayat,” lanjut Uak.
“Jadi kalau ada burung gagak berkoak di atas atap rumah kami berarti salah satu di antara kami, ibu atau bapak atau kakak-kakakku atau aku akan mati?” aku menyimpulkan.
“Bisa jadi, dan kalau burung bangkai itu mengitari atap rumah Uakmu ini, bisa dipastikan Uakmu ini yang akan mati,” Uak turut menyimpulkan, dengan intonasi sedikit berkelakar. Tapi aku tak sedikitpun menangkap ada yang lucu dari kata-kata Uak.
Uak adalah kakak tertua ibu. Ia tinggal di rumah besar tapi reot, tepat di sebelah rumah kami, hanya terpisah pekarangan selebar sepuluh meter. Istri Uak meninggal dua belas tahun silam, sebelum aku lahir. Uak tak memiliki anak, dan Uak tak menikah lagi. Rumah yang ditempatinya itu dulunya adalah rumah utama kakek dan nenek, waktu masih kecil ibu juga tinggal di rumah itu. Namun setelah kakek dan nenek meninggal, serta Uak dan saudara-saudara ibu lainnya menikah, rumah itu jadi sepi. Tinggal Uak seorang dan istrinya yang menempati rumah itu. Hingga istrinya meninggal di rumah itu. Hingga kini, rumah itu hanya ditinggali Uak seorang. Uak cukup tua untuk menjadi seorang Uak, bahkan rasanya pantas-pantas saja misalkan aku memanggilnya kakek. Beberapa teman sepermainanku memangilnya kakek.
Semenjak Uak tinggal seorang diri di rumah besar itu. Rumah itu jadi kurang terurus. Dapur di rumah besar itu sudah tak mengepul selama bertahun-tahun. Setiap hari, ibu menyuruhku menyelinap ke rumah sepi itu untuk mengantarkan nasi serta lauk-pauk, juga secangkir kopi di pagi dan petang hari. Di bagian tengah rumah itu ada sebuah meja kayu bundar tanpa taplak yang tampak usang dan berdebu, sesekali ketika ibu membersihkan rumah itu, ibu selalu mengelap meja itu dengan kain basah. Di meja itulah aku meletakkan aneka makanan yang menjadi jatah Uak. Uak tidak bekerja. Sesekali saja ia menjadi makelar ternak, namun lebih banyak menganggur. Uak suka duduk mencangkung di dipan ruang tengah sambil mendengarkan radio dan merokok kelobot. Hingga aroma pakaian dan tubuh Uak selalu seperti pendiangan. Itulah Uakku, orang yang mengatakan bahwa rumah yang dikitari burung gagak adalah rumah yang bakal dihinggapi kesedihan lantaran kematian.
Dan seperti yang pernah kusimpulkan, burung sehitam sulang itu kini berputar-putar di atas bubungan rumah kami. Melihatnya aku menjadi sangat cemas. Aku tak mau memikirkan soal kematian, tapi diam-diam aku menebak-nebak siapakah gerangan yang akan disambangi malaikat maut di antara kami. Apakah itu ibu, bapak, kakak-kakakku, atau malah aku sendiri. Tapi rasanya mustahil, semua orang di rumah kami tampak sangat sehat. Jauh dari tandatanda kematian. Tapi, sebagaimana yang pernah Uak katakan padaku, kematian itu bisa datang dengan seribu jalan, bukan sekadar sakit. Tiba-tiba, aku membayangkan bapak ditubruk kereta saat pulang dari tempatnya bekerja. Atau kakak-kakakku yang terlibat tawuran atau terkena bidikan senapan angin yang salah sasaran di pinggir jalan. Atau bahkan, ibu yang tiba-tiba terbakar saat sedang memasak di dapur. Aku berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran mengerikan itu, tapi kata-kata Uak terus-terusan mengompor di kupingku.
Senja hari selepas suara burung hitam itu tak terdengar lagi, aku meringkuk di pangkuan ibu. Rumah cukup sepi. Ayah belum balik kerja, dan kakak-kakakku keluyuran entah ke mana. Aku takut sekali. Maka, kuceritakan pada ibu semua yang telah diceritakan Uak padaku, soal burung hitam itu, soal firasat kematian.
“Itu cuma burung, Nak,” jawab ibu enteng, tak sedikitpun kecemasan tersirat di wajahnya.
“Tapi kata Uak, burung sering datang sebagai alamat, burung prenjak berkicau di pekarangan rumah sebagai pertanda datangnya tamu. Dulu, waktu Budhe mau datang dari Kalimantan, ada burung prenjak juga yang berkicau di atas pohon petai. Tapi sekarang burung gagak, dan kata Uak…” kataku terpasung, penuh kemurungan.
“Hidup dan mati itu urusan Tuhan, bukan urusan burung-burung,” ibu menyanggah. Kata-kata yang nyaris sama pernah kudengar dari guru agama di kelasku, bahwa kematian itu memang urusan Tuhan.
“Tapi, bukankah Tuhan kerap mengirim tanda-tanda buat seseorang?” aku berusaha mendebat ibu.
“Dan kiriman itu bukan berupa burung,” sahut ibu, cepat, “tapi berupa uban, sakit, pendengaran yang buruk, serta penglihatan yang mulai buram, itu yang ibu tahu,” sambung ibu setengah berbisik. Membuatku bungkam, tak hendak membantah kata-katanya lagi.
“Oh ya, sebentar, kopi Uakmu,” ibu beranjak ke dapur, kesunyian segera membaluriku. Terdengar suara cangkir mengetuk punggung meja, lalu suara sendok yang mengetuk-ngetuk dinding cangkir. Tak kurang dari lima menit, secangkir kopi mengepul sudah berpindah ke tanganku. Dan sebentar lagi akan melayang ke maja bundar di rumah Uak, lalu Uak menyeruputnya sambil bercerita apa saja kalau aku tak segera enyah dari hadapannya. Asap tipis dari permukaan cangkir berlambaian dihalau angin. Aroma pahit kopi menguar menerobos lubang hidungku. Warna hitam yang berguncang dalam cangkir mengingatkanku pada bulu-bulu gagak yang mengkilap. Aku kembali teringat soal firasat kematian itu.
Aku mengetuk pintu rumah sebelah dan menerobos begitu saja karena pintu rumah itu tak pernah terkunci. Suara radio sayup-sayup melantunkan iklan anggur kolesom. Aku meletakkan kopi itu di atas meja dan menyeru Uak. Tapi Uak tak menyahut. Biasanya begitu aku menyeru soal kopi, Uak segera muncul. Dipan ruang tengah kosong. Aku merunut muasal suara radio yang sudah berganti melantunkan lagu dangdut lawas. Suara itu jelas berasal dari kamar Uak. Benar. Dan di kamar itu, di atas dipan, di sebelah radio yang terus mengoceh, aku mendapati Uak berbaring miring memeluk lutut, berkemul sarung.
“Uak, kopinya…” kataku. Tapi Uak tak bergeming.
Aku menggoyangkan tubuhnya. Beberapa kali. Dan Uak tetap tak bergerak. Tubuhnya dingin dan sekaku kayu bakar. Aku menghambur menyeru ibu. Lalu silih ibu yang berlarian menyeru para tetangga dengan muka panik. Sekitar sepuluh menit kemudian, aku mendengar suara sepiker memekik lantang dari bubungan surau. Nama Uak disebut di sepiker sebanyak dua kali. Sebagai si mati. Sebagai si mati. q-c

Malang, 2016
*) Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa, kini bermukim di Malang

Senyum Lastri di Cangkir Kopi


Cerpen Amir Syam (Suara Merdeka, 09 Juli 2017)
Senyum Lastri di Cangkir Kopi ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka
Senyum Lastri di Cangkir Kopi ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Suhari termangu. Kini, di teras rumah ia suka menghabiskan waktu. Sepanjang pagi hingga malam ia bersarung, duduk tafakur dibungkus sepi. Menanti seseorang dari pohon mangga dekat pagar rumah. Sesekali tetangganya yang lewat menyapa. Ada yang berniat basa-basi atau mengajak Suhari ke warung kopi. Namun ia tak terbit selera.
Sudah hampir sebulan senyum di wajah Suhari redup. Pudar dikunyah Lastri, sang istri. Semenjak kepergian Lastri entah ke mana, Suhari seolah-olah tak bergairah lagi hidup. Ia tak lagi ke sawah merawat padi yang siap diketam atau ke ladang untuk mengurus pisang dan ubi kayu.
Dia cerup lamat-lamat rokok kreteknya. Pikirannya terus bertanya, di manakah gerangan Lastri berada. Tatap matanya kosong, melanglang lepas melewati pagar, pucuk daun, membubung di genting tetangga, lalu jauh ke ufuk senja tak bertepi. Sungguh, kasihan Suhari. Raut mukanya menampakkan tulang pipi. Kulitnya menghitam. Kumis dan jenggotnya memutih tak terawat.
“Mengapa ia tega sekali meninggalkanku?” batinnya membuncah.
Dulu, Suhari pekerja keras. Pagi-pagi sekali ia sudah pergi ke sawah. Pulang selalu dengan perasaan senang disapa Lastri.
“Lihat apa yang Abang bawa, Lastri.”
“Banyak sekali pisang dan singkongnya, Bang. Bisa untuk makan sebulan.”
Ia teringat istrinya. Sontak dia campakkan puntung rokok, lalu berjalan gontai meninggalkan teras. Bayang-bayang Lastri acap menyergapnya. Tak kenal lelah.
Semua bermula saat ia pulang dari sawah siang itu. Entah angin apa yang berembus. Lastri mendadak ingin pulang menemui orang tuanya. Ibunya sakit. Suhari pun mengizinkan. Gugus waktu luruh. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, Lastri tak kunjung pulang. Ia lalu berangkat ke kampung Lastri. Betapa terkejut ia setiba di sana.
“Kalau begitu ke mana Lastri pergi? Sudah sebulan lalu ia pamit padaku, katanya ingin menengok Ibu yang sakit.”
Suhari tergeragap. Panik. Bingung. Dia tak mendapati Sulastri. Keluarga Lastri kalang-kabut.
“Apakah kau ada masalah dengan Lastri?” tanya ibu mertuanya.
“Tak ada sedikit pun masalah antara aku dan Lastri, Bu.”
“Lalu ke mana Lastri?”
Seketika air mata ibu mertuanya pecah. Merintih. Tersengut-sengut. Suhari tak bisa menjawab. Ia kalut. Mengapa semua ini menimpanya? Sejak menikah lima tahun lalu, tak pernah ada cekcok luar biasa antara ia dan istrinya. Rukun sentosa. Beribu tanda tanya bergelayut dalam benaknya. Tak mungkin Lastri setega itu? Tak mungkin ia lari dengan selingkuhannya? Apakah ia diculik? Apakah ia pergi bekerja ke luar negeri? Beragam pertanyaan yang tak tentu arah menohok hati dan pikirannya.
Orang-orang kampung penasaran atas kepergian istri Suhari. Sesekali jika ada yang bertanya, ia hanya menjawab istrinya sedang pulang kampung. Namun lama-kelamaan mereka pun tahu Suhari berdusta.
Saban hari ia termenung di teras. Sesekali paras Lastri hadir kala ia menyeruput secangkir kopi. Cangkir itu dibelikan istrinya dulu saat baru menikah. Ah, pikirannya tergiring. Sosok Lastri seolah-olah menghampiri, menyodorkan secangkir kopi terbalut senyum, lalu duduk di sampingnya. Dia mencium kening Lastri. Lalu beranjak meraih cangkul, keranjang serta air minum yang selalu disiapkan Lastri sebelum ia berangkat ke sawah. Suhari rindu masa-masa itu.
“Hati-hati, Bang. Jangan lupa makan siang di rumah. Nanti Lastri buatkan tempe dan sayur asam kesukaan Abang.”
Jika mengenang-ngenang, betapa manis Lastri. Namun ia tak habis pikir, kenapa bisa istrinya yang tak pernah sekalipun dia caci dan pukuli itu pergi meninggalkannya. Ia kembali menangis. Meratap sesenggukan. Tersedu-sedu. Tak mampu lagi ia membendung air mata. Semua tumpah. Susah hati. Kopinya dingin.
***
Genap dua bulan Lastri meninggalkan Suhari. Hening dan kosong. Suhari tampak kurus kering, rambutnya makin lebat. Ia seolah- olah hilang harapan.
“Mengapa kau pergi meninggalkanku? Tak bahagiakah kau denganku? Adakah kata atau sikapku yang salah? Oh, Lastri, tega nian kau pada suamimu ini? Masih ingatkah kau saat-saat kita pergi ke pasar malam dulu? Lupakah kau masa-masa indah kita itu? Tak tahukah kau, rida Tuhan ada pada keridaan suamimu? Oh, Lastri, tak takutkah kau akan dosa atas kedurhakaan pada suami?”
Isi kepalanya berkecamuk.
Suhari memberanikan diri keluar rumah. Ia akan ke kota. Mencari Lastri. Andaikata ia mati di sana, dia ikhlas. Harga dirinya runtuh. Kini, dia tak tahu keberadaan istri yang menjadi tanggung jawabnya.
Dengan tekad kuat, Suhari berangkat ke kota. Pagi-pagi benar ia sudah naik bus selama delapan jam. Setiba di kota, ia bingung hendak memulai dari mana pencarian belahan jiwanya.
Langkahnya terseok-seok mencari Lastri. Sudah beberapa hari ia di kota. Putus asa menghinggapi diri. Lastri tak kunjung ada. Dia pegang foto Lastri kuat-kuat. Dia tunjukkan kepada siapa pun yang dia temui. Tak ada yang tahu. Malah sebagian orang memberikan uang.
Sudah hampir seminggu ia di kota. Tak ada hasil yang merekahkan kalbu. Suhari pasrah. Hidupnya sudah tak berarti lagi.
Oh, Tuhan, maafkan aku tak bisa menjaga amanahmu? Cabut saja nyawaku, Tuhan! Tak ada lagi artinya aku hidup tanpa Lastri.
Suhari mengutuki diri sendiri. Ia takluk di pusaran badai hidup. Kakinya tak mampu lagi melanglang mencari Lastri. Mungkin Lastri sudah mati. “Tak ada gunanya aku mencari di dunia ini. Lebih baik kususul ia ke dunia sana.”
Ia kembali lagi ke desa dengan tangan hampa. Nihil.
Kini dia sudah keukeuh memilih jalan. Bulat utuh. Sempurna. Tak bisa tidak. Mati jadi pilihan terakhir. Kepergian Lastri tak hanya merenggut senyumnya, bahkan akan menjemput nyawanya.
Malam itu, dengan memejamkan mata, sebilah pisau dia arahkan perlahan ke tubuhnya. Mulutnya terkatup. Ia menggerakkan pisau itu tepat ke pusar. Namun suara ketukan di pintu menggagalkan rencananya. Tergopoh-gopoh ia membuka pintu, berharap Lastri datang bak peri penyelamat.
“Ada apa, Sarmin, malam-malam begini kau ke rumahku hah?”
“Maaf, Bang Hari, aku ingin pinjam pacul.”
“Di sana. Kalau sudah kaupakai, taruh saja di tempat semula.” Suhari menunjuk ke samping rumah, menutup pintu, lalu beringsut masuk seperti keong. Lunglai. Pacul itulah yang ia gunakan untuk mengais rezeki. Menafkahi Lastri. Sejurus matanya berkaca-kaca. Malam itu ia terisak hingga pagi.
Mulai malam itu berulang kali ia hendak bunuh diri, tapi tak jadi. Dulu ia ingin bunuh diri di pohon. Gagal karena ada sarang lebah. Kontan ia lari terbirit-birit. Pernah juga ingin melompat dari kios kelontong lantai dua, tapi urung. Ia dipaksa turun oleh petugas keamanan. Pernah juga ia berniat melompat ke sungai. Batal. Baru hendak melompat, dia melihat seekor buaya di seberang. Ada juga rencana menenggak racun, tetapi kandas karena wajah Lastri menyemburat di botol racun. Suatu ketika ia menabrakkan diri di jalan raya. Waktu itu ia ditabrak motor dan hanya luka lebam di kaki dan tangan. Tak jadi mati. Ia mengutuki diri.
Akhirnya Suhari bertemu seorang kakek yang tak dikenal di warung kopi. Ia menyapa Suhari, lalu mereka berkisah. Suhari meluapkan kegundahan hati dan niat bunuh diri yang selalu patah pucuk di tengah jalan. Ia merasa betapa tak berharga. Ia tak layak hidup. Tuhan tak punya belas kasihan padanya.
“Aku paham bagaimana rasanya ditinggal istri, Suhari.” Kakek itu duduk memandangnya lekat-lekat. Sorot matanya berpaut pada Suhari. Suaranya parau. Suhari menyeringai datar, lalu tertegun. Diam. Membisu.
“Tapi hidup harus terus berjalan. Tak tahukah kau betapa murka Tuhan jika kau bunuh diri? Jahanam tempatmu, Suhari. Penderitaan tiada akhir di dunia hingga akhirat.”
Suhari menunduk.
“Tahukah kau betapa berharga dirimu itu?”
Suhari mendongakkan kepala. Hanya menatap sekilas. Lalu menyeruput kopi.
“Maukah kau menjual sepasang bola mata, jantung, hati, ginjal, dan kulitmu kepadaku?”
Suhari tergeragap.
“Akan kubeli semua lima miliar.”
Suhari terbelalak tak habis pikir. Kakek itu pun bercerita, saat ini sedang merebak kasus bunuh diri, penculikan anak, penjualan organ tubuh, hingga kasus korupsi. Tak lama lelaki tua itu pun pamit.
Suhari tertegun sembari memandangi punggung kakek itu yang bergerak menjauh. Lamat-lamat, makin jauh, lalu sirna bersama kesiur angin. Telunjuk Suhari mengitari bibir cangkir kopi. Ada senyum Lastri terukir di sana. Suhari pulang. (44)

Korea, 21 Maret 2017
Amir Syam adalah nama pena Amir Tjolleng. Pria kelahiran Manado, 12 Januari 1992, ini sedang menempuh studi S-3 di Jurusan Teknik Industri Universitas Ulsan, Korea Selatan.

Perilaku Aneh Paman Go

Cernak Sulistiyo Suparno (Suara Merdeka, 09 Juli 2017)
Perilaku Aneh Paman Go ilustrasi Suara Merdeka
Perilaku Aneh Paman Go ilustrasi Suara Merdeka
Paman Go dari Negeri Tiongkok bertubuh pendek dan gemuk. Rumahnya mungil di tengah kebun apel. Paman Go pandai bermain sandiwara.
Ia sering berperan sebagai seorang kakek. Konon, suatu hari ketika sedang menjual apel ke kota, Paman Go menonton pementasan sandiwara. Paman Go menemui ketua rombongan sandiwara itu dan menyatakan ingin ikut bermain sandiwara. Setelah itu Paman Go sering bermain sandiwara bersama grup tersebut. Tetapi, beberapa bulan ini Paman Go tidak mendapat panggilan untuk bermain sandiwara.
Paman Go sering berdiri di depan pintu rumah, menanti seseorang membawa undangan bermain sandiwara. Paman Go lelah menanti, wajahnya murung. Beberapa tetangga sering bertanya kapan Paman Go akan bermain sandiwara lagi. Mereka senang menonton Paman Go berperan sebagai kakek di panggung. Paman Go menggeleng menjawab pertanyaan mereka.
“Jangan kalian tanyakan itu lagi, atau kalian akan melihatku bertingkah aneh,” kata Paman Go kepada para tetangga yang bertanya padanya.
Suatu hari seorang tetangga melihat Paman Go bertingkah seperti anak kecil. Paman Go berbicara pada pohon apel dengan suara yang kecil seperti suara anak berusia 10 tahun.
“Aku melihat hal aneh pada Paman Go. Ia bertingkah seperti anak kecil, melonjak-lonjak seperti seorang anak mendapatkan permen dari ibunya,” kata Re, seorang pemuda tetangga Paman Go.
“Paman Go lama tidak bermain sandiwara. Itu sangat mengganggu pikirannya. Apakah Paman Go telah menjadi gila?” sahut pemuda Ma, tetangga lainnya.
“Kasihan Paman Go. Kita harus menghiburnya,” kata Re.
Re dan Ma segera berkunjung ke rumah Paman Go. Dua pemuda itu ingin menghibur Paman Go. Setidaknya mereka akan mengobrol dengan Paman Go. Siapa tahu dengan mengobrol, beban pikiran Paman Go bisa berkurang.
“Selamat sore, Paman Go,” sapa Re dan Ma bersamaan.
Paman Go yang sedang berdiri menghadap pohon apel, segera menoleh dan berkacak pinggang.
“Kalian rupanya. Mengapa kalian datang lagi? Pergilah, aku tak akan menjual kebun apelku pada kalian. Pergi!” kata Paman Go membentak.
Re dan Ma bergegas pergi. “Paman Go sudah gila,” kata Re.
“Kasihan Paman Go,” sahut Ma.
***
Suatu hari, kampung mereka kedatangan rombongan sandiwara. Mereka akan mementaskan sandiwara berjudul “Seorang Kakek dan Kebun Apel”. Orang-orang datang untuk menonton.
“Apa Paman Go datang menonton?” tanya Ma.
“Entahlah. Kukira, orang gila tak akan menonton sandiwara,” sahut Re lalu tertawa.
Pementasan pun dimulai. Sandiwara malam itu berkisah tentang seorang kakek yang gigih mempertahankan kebun apelnya yang akan dibeli oleh raja yang serakah. Di panggung tampak seorang pemain bertubuh pendek, gemuk, dan berhidung besar berperan sebagai si kakek. Si kakek sedang bermain dengan tiga orang cucunya. Si kakek melonjak- lonjak menghibur ketiga cucunya.
“Sepertinya aku pernah melihat gerakan kakek melonjak-lonjak itu. Tapi di mana, ya?” kata Re.
“Mungkin dalam mimpimu,” sahut Ma tersenyum.
Adegan demi adegan terus berlalu. Tibalah adegan dua prajurit kerajaan datang menemui si kakek. Si kakek tampak berkacak pinggang dan mata melotot, lalu berkata lantang, “Kalian rupanya. Mengapa kalian datang lagi? Pergilah, aku tak akan menjual kebun apelku pada kalian. Pergi!”
Di kursi penonton, Re dan Ma terkejut.
“Sepertinya aku pernah mendengar ucapan si kakek itu. Tapi di mana, ya?” kata Re.
“Kau benar. Aku pun seperti pernah mendengarnya,” sahut Ma.
Pementasan telah usai. Semua pemain berkumpul di panggung, lalu bersama-sama mereka membungkukkan badan pada penonton. Pemeran kakek melepas rambut palsu dan hidung palsunya.
“Aha!” seru Re dan Ma bersamaan.
Re dan Ma bergegas ke belakang panggung. Di sana mereka bertemu dengan Paman Go.
“Paman Go luar biasa,” kata Re.
“Paman Go pemain sandiwara yang hebat,” sahut Ma.
Paman Go tersenyum.
“Terima kasih,” kata Paman Go. “Aku minta maaf pada kalian karena telah membentak kalian tempo hari. Saat itu aku sedang latihan peran untuk pentas malam ini.”
“Kami juga minta maaf, Paman Go,” sahut Re. “Kami sempat mengira Paman Go telah gila.”
“Benar, Paman Go,” kata Ma menimpali.
“Maukah Paman Go memaafkan kami?”
“Tentu saja,” jawab Paman Go.
“Memaafkan merupakan hal yang bisa membuat hidup kita bahagia. Bukankah begitu, Kawan?”
Paman Go merangkul Re dan Ma. Mereka tertawa penuh keakraban. (58)

Awas: Fitnah!


Oleh Setta SS (Eramuslim, 16 Januari 2007)
Awas Fitnah iluistrasi google
Awas Fitnah iluistrasi http://www.google.com
SAYA tersentak kaget ketika bangun dini hari dan menemukan sebuah SMS nyangkut di hp saya, yang berbunyi:
“Ya Allah, beritahukanlah pada orang yang bernama… (nama saya yang penulisannya salah), bahwa tidak baik bersikap seolah belum bersuami kepada wanita yang telah bersuami. Apakah menurutnya itu baik?”
Dari nama pengirim yang tertera di inbox, saya langsung bisa menebak dari siapa SMS bernada menuduh itu berasal. Tapi saya membutuhkan waktu cukup lama untuk mengingat kembali tentang apa gerangan yang telah saya lakukan pada istri dari laki-laki yang mengirimi saya SMS itu sebelum membalasnya. Sungguh, saya tidak pernah menyangka akan mendapat SMS yang membuat denyut jantung saya langsung bertambah begitu cepat dalam beberapa detik saja.
Reflek, otak saya memutar ulang memori yang telah lalu. Semua hal yang berhubungan dengan wanita yang suaminya barusan mengirim SMS itu.
Sekitar tiga bulan sebelumnya, tepatnya di pertengahan bulan Ramadhan, seseorang yang tidak saya kenal memanggil ke hp saya saat waktu sahur tiba. Saya telepon balik ke nomor itu, tetapi tidak diangkat. Sepulang dari jamaah Shubuh di masjid, saya dapati sebuah SMS masuk ke hp saya dari nomor yang sama. Berisi permohonan maaf karena dia mengaku salah panggil ke nomor saya. Saya pun memaklumi kealfaanya itu. Mungkin nomor yang akan dihubunginya hanya berbeda satu angka saja dengan nomor saya.
Tetapi, SMS pertama itu ternyata terus berlanjut dengan SMS-SMS berikutnya. Mulai dari sekadar say hello, tanya seputar fikih Ramadhan, dan… curhat masalah pribadi. Hingga pada akhirnya, saya tidak hanya tahu siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya, tetapi juga hal-hal pribadi tentang dirinya. Ia sudah menikah dan suaminya bekerja di pelayaran yang jarang sekali pulang. Karena suaminya sibuk dengan pekerjaannya, awalnya ia curhat pada kakak laki-lakinya. Namun, karena kakak lelakinya juga mulai sibuk, ia mencari orang lain untuk berbagi. Ia juga mengakui bahwa ia mengetahui nomer hp saya dari teman akrabnya yang kebetulan menyimpannya.
Dan, saya pun membalas hampir semua SMS darinya meskipun tanpa ada tendensi apa-apa. Hanya untuk menghargainya. Hal inilah yang di kemudian hari, setelah saya renungkan dengan pikiran jernih, saya sadari sepenuhnya sebagai letak kesalahan saya yang sesungguhnya.
***
Suatu hari di penghujung November 2005, sebuah SMS darinya masuk ke hp saya. Ia mengabarkan akan berangkat ke Surabaya untuk bertemu dengan sang suami yang kapalnya akan berlabuh di Tanjung Perak.
Setelah itu, ia masih mengirim SMS dua kali, pada awal Desember dan tepat tiga hari menjelang pergantian tahun. Saat itu, ia menulis sedang berada di Bau-bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, ikut berlayar bersama suaminya. Saya masih ingat, saya hanya mengetikkan kalimat, “Selamat melihat tanda-tanda kebesaran Allah di belahan bumi-Nya,” setelah menjawab pertanyaan say hello-nya.
Terakhir kali saya mendapat SMS darinya berupa ucapan selamat hari raya ‘Idul Adha, yang kemudian hanya saya balas dengan kata, “Amin.” Hingga sampailah SMS yang melonjakkan denyut jantung saya dua kali lipat dalam sekejap itu.
Setelah membaca kembali beberapa kali SMS dari suaminya dan berusaha menenangkan pikiran, saya pun membalas SMS itu. Saya mengucapkan terima kasih atas SMS-nya yang—bagaimana pun, telah mengingatkan saya. Saya juga mengklarifikasi tuduhannya dengan menjelaskan apa adanya.
Bahwa sejak pertengahan Ramadhan, istrinya beberapa kali mengirim SMS pada saya menanyakan seputar hukum shalat Tarawih dan itikaf, yang saya jawab dengan posisi balligh ‘annii walau aayah (sampaikan dariku walau hanya satu ayat). Tidak lebih.
Beberapa jam kemudian, kembali hp saya berdering. Sebuah balasan dari nomer yang sama. Tapi kali ini isi pesannya berbeda. Ia menulis:
“Saya yang salah. Sebagai suami mungkin selama ini jarang memperhatikan istri karena pekerjaan. Maaf beribu-ribu maaf karena telah salah paham. Sudikah kiranya Saudara memaafkan saya?
Alhamdulillah, masalah ini sudah tuntas.
Namun, ada satu hal yang sangat membekas pada diri saya setelahnya. Di waktu yang akan datang, saya harus lebih berhati-hati dalam berhubungan dengan orang lain, siapa pun dia. Karena saya yakin, seperti kata pepatah, tak akan ada api jika tidak ada yang menyulutnya. Tak akan muncul suatu masalah jika tak ada yang memulainya. Dan, hal itu bisa saja berawal dari sekadar mengirim SMS pada orang lain yang bahkan mungkin sangat kita kenal.
Hati-hati! (*)

Keimanan per Kapita


Oleh Setta SS (Eramuslim, 31 Agustus 2011)
Keimanan per Kapita ilustrasi google
Keimanan per Kapita ilustrasi http://www.google.com
I
ADALAH Da’tsur, seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Jabir r.a., seorang Arab badui. Sekembali Rasulullah Saw. dari perang Dzatir Riqa’, beliau berhenti di sebuah hutan yang banyak pohon durinya, berteduh di bawah pohon. Datanglah Da’tsur, menghunus pedangnya di hadapan Rasulullah Saw.
“Hai, Muhammad, siapakah yang akan menolongmu dari (tebasan) pedangku ini?”
“Allah!”
Seketika Da’tsur gentar dan gemetaran. Dan pedangnya terjatuh.
Rasulullah Saw. mengambil pedang Da’tsur dan balik mengacungkan pedang itu ke lehernya.
“Sekarang siapa yang akan menyelamatkan nyawamu dari sabetan mata pedang ini?”
II
UMAR bin Khattab berkisah. Saat berkecamuk perang Tabuk, Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk mendermakan harta. Kebetulan aku memiliki harta, dan aku bertekad untuk bisa melampaui kedermawanan Abu Bakar. Maka, aku datang kepada Rasulullah Saw. untuk menginfakkan separuh dari harta milikku.
“Apakah engkau menyisakan harta untuk keluargamu?”
“Ya, wahai Nabi Allah.”
Tidak lama berselang. Abu Bakar datang membawa hartanya.
“Wahai Abu Bakar, apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?”
“Aku hanya sisakan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka,” jawab Abu Bakar.
III
DARI Madinah menuju Mekah, pada suatu hari, Abdullah bin Dinar dan Khalifah Umar bin Khattab. Di salah satu jalan, keduanya berhenti untuk istirahat. Di kejauhan, tampak seorang pemuda penggembala kambing turun dari gunung mengiringi kambing-kambingnya yang banyak.
“Wahai penggembala, juallah kepadaku seekor kambing dari gembalaanmu itu,” bujuk Khalifah Umar, mengujinya, setelah jarak mereka dekat.
“Kambing-kambing ini bukan milikku, namun milik majikanku.”
“Tidak akan tahu tuanmu jika hanya hilang satu ekor. Katakan saja pada majikanmu bahwa kambingnya dimakan serigala!”
Pemuda gembala itu diam. Lama. Lalu bertanya tegas, “Kalau begitu, di manakah Allah?”
IV
SENIN malam, 22 Agustus 2011. Bapak teman sekamar saya di kamar nomer 3003 sebuah hotel di Jalan Gajah Mada, Semarang, berpamitan hendak ke tempat saudaranya dan bermalam di rumahnya. Sendirianlah saya.
Di kamar luas itu, tersedia fasilitas sambungan internet full 86.400 detik per hari dengan kecepatan akses 100 MB per second dan TV kabel aneka channel dari dalam dan luar negeri. Lengkaplah sudah. Saya sejatinya bebas menekan tombol channel TV mana pun yang sedang menayangkan acara apa pun yang saya kehendaki. Atau mengakses situs internet apa pun yang saya maui dengan laptop yang saya bawa. Sebuah pilihan kebebasan perilaku dalam kesendirian?
V
MAKA, buah ranum pesantren Ramadhan tak lain adalah saripati ketiga kilasan kisah dahsyat pertama di atas. Kontinuitas dzikrullah, pengorbanan tanpa batas, dan al-ihsan—kau menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya, dan jika kau tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka kau membayangkan bahwa Allah selalu melihat setiap gerak-gerikmu.
Semoga, pasca Ramadhan kali ini, terjadi kenaikan signifikan tingkat keimanan per kapita di sekitar kita. Amin. (*)