Daftar Blog Saya

Senin, 24 April 2017

Kepergian Rima


Kepergian Rima ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia
Kepergian Rima ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
AYAH Rima terbaring lemah di ranjang. Ia batuk-batuk sejak tadi malam. Sakit paru-parunya kambuh. Kata dokter, penyebabnya karena dulu Ayah perokok berat. Rima dan kakaknya sudah berusaha menyembuhkan Ayah. Obat-obatan tradisional dan obat-obatan dari apotek sudah ia konsumsi. Beberapa terapi pijat juga sudah dijalani. Namun, Ayah tak sembuh total. Kalau sudah kambuh, Rima tak tega melihat napasnya tersengal-sengal.
Ponsel Rima bergetar. “Ya, Bu?” sahut Rima sambil berdiri, lalu terdiam beberapa detik. “Saya tertarik. Tapi keputusannya dua hari lagi. Saya sedang membicarakannya dengan keluarga,” kata Rima sambil melirik Ayahnya.
Saat Rima menutup telepon, Ayah memandanginya. “Sudahlah, Nak. Di Jakarta nasibmu akan lebih baik,” kata Ayah dengan suara terbata-bata. Saat Rima hendak menanggapi perkataan Ayahnya, kakaknya datang bersama anaknya. “Tante Rimaaa!” seru Vita, keponakan Rima yang masih berseragam TK, masuk kamar, lalu memeluknya.
Rima mengelus-elus rambut Vita yang hitam dan panjang, lalu mengecup pipinya. “Gimana, tadi belajar nyanyi lagu apa?”
“Naik Kereta Api, Tante. Kapan aku diajak naik kereta api?”
“Ya, nanti kalau libur Tante ajak ya.”
“Tantemu pasti akan ngajak naik kereta api. Dia udah janji,” kata Rasti, ibu Vita, yang tiba-tiba berada di depan pintu. “Sebelum dia pergi…”
Rima menatap wajah kakaknya, lalu Ayahnya. Ketiganya terdiam. “Emang Tante mau ke mana?” tanya Vita.
“Eh! Tante tadi beli bolu kesukaanmu lho!” kata Rima, mengalihkan pembicaraan. “Ini,” kata Rima sambil mengangkat plastik bening berisi kue, “Vita dan Kakek kan suka kue ini!”
“Horeee!” kata Vita sambil mendekati Rima, mengambil kue bolu itu, lalu beranjak ke luar kamar.
Ayah, Rasti, dan Rima berpandangan. “Aku masih bingung, Kak. Masih ada waktu untuk memutuskan. Senin mereka menunggu.” Hari itu Sabtu, Rima tidak mengajar. Dua hari pada masa lalu terasa begitu enteng, namun saat itu… begitu meresahkan!
“Kami semua,” kata Ayah terbata-bata, “akan baik-baik aja di sini. Sudahlah, pergilah, demi masa depanmu.”
Rima mendesah panjang, memaksakan senyum untuk Ayah dan Rasti.
***
Minggu pagi di taman kota, Rima berlari-lari kecil, memandangi bunga-bunga bermekaran. Ia teringat Donny, pria yang dulu pernah membelikannya kemeja oranye, sehari sebelum ia mengajar pada hari pertama. Awalnya ia tidak yakin kemeja itu cocok untuknya. Warnanya terlalu menyala.
Namun, Rima tak pernah lupa, saat masuk halaman sekolah, satpam yang berada di dekat gerbang tersenyum lebar menyambutnya, menjabat tangannya. Satpam yang baru dikenalnya itu mengucapkan kata-kata yang membuat hatinya seketika damai, “Penampilan Ibu hari ini beda banget. Benar-benar kayak guru!”
Saat ia masuk ke dalam gedung, ibu Kepala Sekolah yang sedang membawa beberapa lembar kertas di tangan sambil mengecek sesuatu di depan pintu sebuah kelas menurunkan kacamatanya ketika menoleh ke arah Rima. “Jeng Rima,” katanya sambil tersenyum lebar, “hari ini manis banget lho! Kemejanya bagus, serasi dengan warna kulitmu!”
Malamnya, Rima menelepon Donny, mengajaknya makan malam. Ia menceritakan pujian yang diterimanya. Donny sering tersenyum, tak banyak bicara, sesekali telapak tangannya mengelus punggung tangan Rima. Saat meninggalkan rumah makan, ia berbisik lembut, “Kamu yang termanis, Rima. Aku sayang kamu.” Pada malam bertabur bintang, Rima memeluk pinggang Donny erat-erat saat ia dibonceng. Sepeda motor melaju, namun Rima tak ingin malam itu berlalu.
Donny yang bekerja di perusahaan alat-alat berat dipindahkan ke Sulawesi oleh atasannya, sebulan setelah malam itu. Dan, kira-kira empat bulan sejak malam itu, Rima mendapat kabar, Donny bertunangan dengan wanita lain. Kepergian Donny dari hidupnya kadang membuat Rima juga ingin pergi, meninggalkan kota Malang. Mungkin di luar kota, ada harapan baru, juga cinta yang baru.
Tangkai bunga itu patah, mahkotanya berhamburan. Rima nyaris tak sadar telah meremas-remas bunga itu. Rima duduk di bangku taman, membayangkan Jakarta, kota yang menantinya dengan sejuta harapan. Di sana, sebuah sekolah bertaraf internasional menunggunya. Ia akan digaji tiga kali lipat dari yang ia terima sekarang.
Namun, hati siapa yang tak tergoda dengan uang?
Memang, Rima tak pernah kekurangan, bahkan masih bisa menabung walaupun sedikit. Ayah masih menerima pensiun. Rima dan Rasti kadang bergantian membuat masakan agak istimewa saat akhir pekan. Dan ia juga tak memikirkan tempat tinggal. Suami Rasti bekerja di Sanggau, Kalimantan, di perusahaan kelapa sawit, biasanya pulang ke Malang setahun atau dua tahun sekali.
Selain itu ada Vita. Karena Rasti bekerja sebagai kasir di sebuah Toserba, Rima sering mengasuhnya. Kadang kakeknya yang mengasuhnya bila Rima ada acara sore hari di sekolah. “Kakek batuk-batuk terus. Kasihan ya, Tante?” kata-kata Vita terngiang-ngiang di benak Rima.
Sanggupkah Ayah menjaga Vita kalau Rasti bekerja? Membayangkan Vita, hati Rima gundah. Gadis kecil itu hampir tiap malam tidur di sisinya. Rima membacakan cerita untuk Vita, kadang cekikikan bersama menonton video-video lucu dari ponsel Rima.
Ponsel di saku Rima bergetar, membuyarkan lamunannya. “Kamu di mana? Batuk Ayah makin parah. Aku mau ke rumah sakit!” kata kakaknya, setengah berseru.
“Oh! Masih di taman. Udah berangkat? Aku balik ke rumah atau langsung ke sana?”
“Ke rumah sakit aja. Aku udah dapat taksi,” kata Rasti.
Rima datang lima menit setelah Rasti, Ayah, dan Vita sampai. Ayah sedang didudukkan di kursi roda, menuju ruang Instalasi Gawat Darurat. Untunglah saat itu sedang sepi. Saat dokter memeriksa Ayah, ketiganya berpandangan. Rasti mengangguk, lalu bersidekap. Matanya berkedip-kedip, lalu memerah. Rima mengelus-elus kepala Vita. Gadis kecil itu tak banyak bicara, wajahnya bengong menyaksikan kakeknya yang terbaring tak berdaya.
“Pak Aryo kelihatannya akhir-akhir ini kurang tidur,” kata dokter, pada Rima dan Rasti. “Saya menyarankan dia dirawat inap dua tiga hari.” Dokter mengatakan hal-hal lain tentang makanan dan obat-obatan, Rasti memerhatikan dengan saksama. Rima melirik Ayah. Sungguh tak dinyana, Ayah sedang menatapnya. Matanya merah.
Rasti menarik Rima ke sebuah sudut, berkata pelan, “Ayah selalu begitu. Dia nggak jujur. Aku tahu, dan kamu juga tahu, sebenarnya dia berat melepasmu ke Jakarta.”
***
Pada hari kedua Ayahnya dirawat, Rima minta izin pulang lebih awal.
“Nanti agak sore saya dan beberapa guru juga akan menjenguk Ayah Jeng Rima,” kata Ibu Betty, Kepala Sekolah.
“Oh, jangan repot-repot, Bu. Ayah saya sakitnya nggak…”
“Sudahlah, Jeng,” potong ibu Kepala Sekolah. “Jam berapa waktu bezuknya?”
Rima memandangi Ibu Betty yang berkali-kali mengatakan kepada Rima, juga orang-orang yang ia jumpai saat bersama Rima, bahwa Rima sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Rima kadang merasa canggung—atau berumur sebaya dengannya—kalau dipanggil “Jeng Rima”. Tapi begitulah Ibu Betty, semua wanita muda dan tua dipanggilnya “Jeng”. Ia mengatakan Rima cekatan, sayang anak-anak, dan—ini yang tidak bisa Rima lupakan—wajahnya sangat manis. “Iya, Bu, nanti saya kabari jam berapa rumah sakitnya buka,” kata Rima.
Saat meninggalkan ruangan Ibu Betty, Rima tiba-tiba teringat ibunya yang sudah tiada. Sosok Ibu jauh berbeda dengan Ibu Betty—lebih kalem, anggun, dan tak banyak bicara. Teringat Ibu, Rima berbalik, kembali ke ruang Kepala Sekolah. Tak terasa air matanya tumpah.
“Lho, Jeng, ada apa?”
Rima terdiam, menunduk. Ibu Betty berdiri, memeluknya. Tangis Rima pun pecah ketika mendekap badannya yang gemuk, juga lebih pendek sepuluh sentimeter darinya. Rima kangen Ibu, tapi mengatakan hal lain, “Saya… takut… ada apa-apa dengan Ayah saya.”
“Lho tadi katanya nggak apa-apa?” kata Ibu Betty sambil melepas pelukan.
Rima mengusap air matanya, mencoba tersenyum. Ia bingung harus mengatakan apa. “Iya, Bu, Ayah saya akan baik-baik aja.”
Tangan Ibu Betty menepuk-nepuk pundak Rima. “Jangan khawatir, Jeng. Ada apa-apa, kontak saya. Saya ini ibumu, jangan takut. Tetap sabar, tetap kuat.”
Air matanya tumpah sekali lagi. Rima memeluk Ibu Betty sekali lagi—lebih erat, hampir semenit.
***
Rima mendapat panggilan telepon ketika berjalan di koridor Rumah Sakit. Ia duduk di kursi panjang setelah menelepon, mengatur napas. Sampai di kamar rawat inap, Rima menyaksikan Ayahnya tertidur pulas. Dua jam di situ, Ayah masih tertidur.
Menjelang siang, Rasti dan Vita datang. Ayah dan Rima sedang bercakap-cakap. Wajah Vita yang murung seketika berubah cerah ketika melihat kakeknya tersenyum, lalu berkata, “Halo, Vita…”
Empat orang itu bercakap-cakap dengan riang sambil menyantap kue bolu.
Kepergian Rima tertunda entah sampai kapan. Mungkin ia tidak akan pernah pergi. Mungkin juga, ia baru akan pergi setelah Ayah pergi—untuk selamanya.

2017
Sidik Nugroho, lahir 24 Oktober 1979. Ia menulis cerpen dan novel. Oktober 2016 ia tampil di Ubud Writers and Readers Festival, Bali. Novelnya Tewasnya Gagak Hitam (2016) lolos seleksi program penerjemahan yang dihelat Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK). Ia tinggal di Pontianak, Kalbar.

Meninggalkan Semut di Masjid


Meninggalkan Semut di Masjid ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar
Meninggalkan Semut di Masjid ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
HUJAN turun.
Butiran-butiran air sebesar biji jagung menghajar genting dan ranting, pohon dan kebun, dan memaksa orang-orang menyembunyikan diri mereka dalam rumah masing-masing. Angin buruk berembus. Tiang listrik di ujung gang bergoyang-goyang. Tiga dahan besar pohon trembesi di pinggir jalan patah dan melintang dari tepi ke tepi yang lain. Itu adalah salah satu sore terburuk di sepanjang tahun 1987. Di antara guyuran hujan dan deru angin yang semakin menggila, samar-samar, terdengar entakan kaki yang diayunkan dengan berat. Itu adalah langkah dari seorang lelaki dengan jaket tebal usang. Ia mengenakan fedora dengan tiga tambalan dan kacamata hitam. “Tak ada tempat berteduh,” ia menggumam. Dan ia terus berjalan. “Seperti juga tak ada tempat sembunyi dari maut jika memang waktunya sudah tiba,” ia kembali menggumam, kali ini sambil mengetatkan jaketnya. Di balik jaket itu, seekor semut diam dalam saku bajunya, basah tapi aman. Seekor semut yang ia pungut dari jatuhan dahan trembesi. “Tapi waktunya belum tiba bagimu.”
***
EMPAT puluh hari setelah Kiai Haji Alim Alimin wafat dalam damai pada usia sembilan puluh satu, Ali si bilal bersumpah bahwa ia melihat sesosok makhluk aneh tengah duduk dekat pengimaman masjid wakaf yang ditinggalkan Kiai Haji Alim Alimin. “Tapi ia bukan manusia,” ujar Ali si bilal dengan napas tersengal. “Sungguh, demi Allah,” lanjutnya.
Mak Ijah si pemilik warung mengangsurkan gelas berisi air putih yang segera ditandaskan Ali. Ia tampak masih kesusahan mendapatkan kendali penuh atas dirinya sendiri. Hari itu Jumat. Dan tak ada satu pun penduduk di sana yang ingat menunaikan salat Jumat hari itu.
“Seperti kalian tahu, aku datang pukul setengah sebelas seperti biasanya untuk menyiapkan segala keperluan salat Jumat. Tidak ada yang aneh. Pintu depan masih terkunci. Pagar tertutup tapi tidak dikunci. Semua seperti biasa. Aku masuk seperti biasa. Aku membuka pintu depan seperti biasa. Dan aku melihat makhluk itu. Aku melihat makhluk itu.”
“Seperti apa makhluk itu?” seseorang bertanya.
“Penuh bulu. Dan besar. Dan kakinya banyak. Aku tak tahu jumlah pastinya. Tapi banyak. Dan ia sangat hitam.”
“Apa kau tidak bermimpi?”
“Aku bersumpah. Demi Allah.”
Beberapa orang kemudian memeriksa masjid itu. Mereka kembali ke warung Mak Ijah beberapa saat kemudian dan mengatakan tak melihat makhluk seperti yang diceritakan Ali si bilal. Tapi bagaimanapun, Ali si bilal adalah satu dari sedikit orang yang tak memiliki riwayat suka membual. Maka sesuatu yang tidak beres pasti sedang terjadi. Kerumunan orang semakin banyak. Mereka-mereka yang hendak ke masjid berhenti di warung Mak Ijah dan melibatkan diri dalam kerumunan. Sebagian dari mereka yang heran kenapa tidak ada azan siang itu segera mendapatkan jawaban. Namun ingatan mereka tentang kewajiban menunaikan salat Jumat benar-benar muksa. Apa yang terjadi dengan Ali si bilal, ternyata, lebih menarik dari sekadar ancaman dosa dan neraka.
***
KIAI Haji Alim Alimin tak pernah terdaftar sebagai jemaah haji. Namun tak satu pun orang yang meragukan bahwa orang suci itu setiap tahun, pada musim haji, berziarah ke Tanah Suci dan menunaikan semua rukun haji. Banyak orang—bukan satu atau dua—yang bersaksi bahwa mereka bertemu dengan Kiai Haji Alim Alimin di sana. Meski pada waktu yang bersamaan, orang-orang di sekitar tempat tinggal Kiai Haji Alim Alimin juga bersumpah bahwa sang kiai tidak pergi ke mana-mana. Itulah yang kemudian membuat orang-orang yakin bahwa Kiai Haji Alim Alimin memiliki karomah yang membuatnya bisa berada di banyak tempat dalam waktu berbarengan. “Beliau hanya perlu membatin ingin pergi ke mana, dan hanya sekedipan mata, beliau sudah berada di tempat itu.”
Begitulah kabar beredar. Dan begitulah ia mendapatkan gelar kiai haji meski ia tak menyukai orang-orang memanggilnya seperti itu.
Itu bukan cerita satu-satunya tentang kehebatan Kiai Haji Alim Alimin. Pada tahun 1984 yang dikenal dengan tahun kesuraman lantaran wabah tikus menghancurkan lahan pertanian dan menjarah isi dapur orang-orang dan pemerintah kabupaten menyerah lantaran segala upaya yang dilakukan untuk membasmi hama itu tak membuahkan hasil, Kiai Haji Alim Alimin konon berbicara dengan seekor tikus. Kemudian, bersama tikus itu, Kiai Haji Alim Alimin pergi ke sebuah gorong-gorong. Di situlah kabarnya raja tikus tinggal. Kiai Haji Alim Alimin, dengan karomahnya, mengadakan perundingan dengan si raja tikus. Dan keesokan harinya, tak ada lagi tikus yang berkeliaran.
“Beliau tidak hanya bisa berbicara dengan binatang, melainkan dengan tumbuhan dan jin, juga angin.”
“Seperti Kanjeng Nabi Sulaiman.”
“Benar-benar beliau orang suci.”
“Orang suci yang sederhana.”
***
KIAI Haji Alim Alimin hidup selibat sampai malaikat maut menjemputnya. Orang tuanya merupakan juragan tanah dan sang kiai adalah ahli waris tunggal dari kekayaan yang melimpah. Setelah orang tuanya meninggal, Kiai Haji Alim Alimin menyedekahkan kekayaannya untuk panti asuhan, anak-anak yatim di sekitar tempat tinggalnya, pembangunan jalan, perbaikan rumah warga yang kurang mampu, menyekolahkan anak-anak jalanan, dan hal-hal lain semacamnya. Rumah warisan yang ia tempati kemudian ia pugar menjadi masjid dan ia wakafkan. Di samping masjid, dibangun bilik kecil tempat Kiai Haji Alim Alimin tinggal. “Aku hanya meminjam bilik ini saja. Ini bukan milikku,” ujar Kiai Haji Alim Alimin berkali-kali.
“Beliau melakukan semua itu agar perhatiannya sepenuhnya tercurah kepada ibadah belaka,” kata orang-orang.
***
DALAM hidup, seseorang hanya perlu berjalan. Kadang berjalan dalam arti kiasan. Kadang berjalan dalam arti harafiah.
Dan begitulah. Hari itu, ketika langit mendung dan bibit angin mengabarkan badai, Kiai Haji Alim Alimin, tanpa mengerti benar apa alasannya, berjalan ke ujung gang di saat orang lain bersiap menyambut hujan dahsyat dengan menutup pintu dan meracik wedang hangat. Ia mengenakan jaket tebal usang satu-satunya yang ia miliki, fedora dengan tiga tambalan, dan kacamata hitam. Dari ujung gang, ia berbelok ke arah jalan raya. Ia menunggu sesaat sebelum badai benar-benar tiba. Dan tak lama kemudian, terdengar derak dahan trembesi besar.
Kiai Haji Alim Alimin berjalan ke arah jatuhan dahan itu. Langit semakin gelap. Ia membalik dedaunan, menyingkirkan ranting-ranting kecil, menyingkap rerimbunan. “Kemarilah, makhluk kecil.”
“Jangan sentuh aku,” makhluk itu menjawab. Suaranya tipis dan tajam. “Aku tak tahu lagi apa yang aku cari.”
“Ya, hampir semua makhluk tak tahu apa yang mereka cari.”
“Kau tak tahu rasanya menjadi makhluk hina.”
“Semua makhluk itu hina. Hanya Allah yang mulia.”
“Kau makhluk mulia. Manusia makhluk mulia. Kau tak tahu rasanya menjadi aku. Kau tak tahu.”
“Kau juga tak tahu rasanya menjadi manusia. Kemarilah.”
Makhluk itulah yang mendekam dalam saku Kiai Haji Alim Alimin di salah satu sore terburuk sepanjang tahun 1987 itu.
***
TIDAK ada yang tahu bagaimana Kiai Haji Alim Alimin menghadapi malaikat mautnya. Orang-orang membuka pintu bilik setelah mereka tak mendapati Kiai Haji Alim Alimin keluar dari sana selama tiga hari. Bau harum menyeruak ketika pintu itu dibuka.
“Masya Allah.”
“Innalillahi.”
“Benar-benar beliau orang suci.”
Bagian di mana tak ada yang tahu bagaimana Kiai Haji Alim Alimin menghadapi malaikat mautnya tak sepenuhnya benar. Si semut, yang semenjak salah satu sore terburuk sepanjang tahun 1987 senantiasa mengikutinya, yang mendengar semua yang dikatakannya, mengetahui benar bagaimana si orang suci mengeluh tiga kali ketika nyawanya sampai di tenggorokan, lalu mengucap syahadat dengan payah, lalu terpejam selamanya, dengan sesungging senyum di bibir. Beberapa menit sebelum saat-saat menyedihkan itu, si kiai berkata kepadanya, “Sering-seringlah ke masjid ini. Tapi maaf, kau tak bisa tinggal di bilik ini. Aku hanya meminjamnya, dan karenanya, meski aku ingin, aku tak bisa mewariskannya kepadamu. Dan kau tak perlu terus-terusan menyembunyikan dirimu dalam wujud seekor semut.”
***
“ADA jin di masjid itu, ada jin. Pasti,” ucapan itu keluar setelah empat belas orang—dalam jangka waktu sebulan setelah Ali si bilal tersengal-sengal di warung Mak Ijah—mengutarakan bahwa mereka melihat sesosok makhluk aneh tengah duduk dekat pengimaman.
“Jangan-jangan itu roh Kiai Haji Alim Alimin.”
“Bisa saja.”
“Hush… jangan ngomong sembarangan… beliau orang suci.”
“Loh, bukannya di makam para wali dan para kiai juga sering penampakan seperti itu? Itu tandanya mereka masih bersama kita, menjaga kita. Itu berkah. Kita semestinya melantarkan doa-doa kita melalui beliau, biar lebih cepat dijawab.”
***
BERTAHUN-TAHUN kemudian, ketika luas masjid wakaf Kiai Haji Alim Alimin telah bertambah tiga kali dari ukuran semula dan jemaah yang datang seringkali meluber hingga trotoar jalan raya dan banyak hotel serta restoran berdiri di sekitarnya, seekor semut merayap di pinggir selokan. Ketika ia mendengar orang-orang berdoa dan meminta berkah serta dimudahkan hajatnya kepada hadratus syaikh Kiai Haji Alim Alimin, ia merasa matanya basah.
***

Dadang Ari Murtono lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku ceritanya yang sudah terbit berjudul Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitimu? (2015). Buku puisinya berjudul Ludruk Kedua (2016). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.

Kutipan The Girl on Paper

Sebuah buku hanya akan hidup kalau dibaca. Para pembacalah yang menyusun potongan-potongan gambar dan menciptakan dunia imajiner tempat para tokohnya hidup. (hlm. 290)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Terkadang seorang wanita bertemu pria yang tak punya apa-apa dan memutuskan untuk memberi pria itu segalanya. Terkadang, wanita itu berhasil. Terkadang, seorang wanita bertemu pria yang punya segalanya dan memutuskan untuk meninggalkannya tanpa menjelaskan apa pun. Wanita itu selalu berhasil. (hlm. 23)
  2. Apakah kita benar-benar berhak melindungi teman kita dari diri mereka sendiri? (hlm. 25)
  3. Menulis itu penting untuk keseimbangan dan kesehatan mentalmu. (hlm. 50)
  4. Tak ada sulap, tak ada efek khusus. Kata-kata yang dituangkan di atas kertaslah yang menciptakannya, dan kata-kata di atas kertas adalah satu-satunya hal yang akan melepaskan kita darinya. (hlm. 127)
  5. Kebebasan kita dibangun atas apa yang tidak diketahui orang lain tentang diri kita. (hlm. 207)
  6. Makna semua cinta pada akhirnya; keinginan untuk mengalami semua hal bersama-sama, belajar dari perbedaan satu sama lain. (hlm. 239)
  7. Buku-buku yang paling berguna adalah buku-buku yang para pembacanya mengarang setengahnya. (hlm. 290)
  8. Membaca adalah sebuah perjanjian kemurahan hati antara penulis dan pembaca; mereka saling memercayai dan saling bergantung satu sama lain. (hlm. 291)
  9. Setiap orang punya harga. (hlm. 396)
  10. Setelah mencari sesuatu tanpa menemukan apa pun, kadang-kadang kau menemukannya tanpa mencari. (hlm. 401)
  11. Hanya teman-teman yang bisa kau bangunkan pukul empat pagi saja yang layak kau sebut teman. (hlm. 420)
  12. Nasiblah yang membagikan kartu, tapi kitalah yang memainkannya. (hlm. 427)

Kutipan Twin Flames

Ada perbedaan yang sangat besar antara merelakan dengan ikhlas dan merelakan karena tidak memiliki pilihan. Seseorang yang mampu merelakan dengan ikhlas berarti bisa menerima semuanya dengan hati lapang, melepaskan tanpa penyesalan, dan yang terpenting, tidak berkubang dalam kesedihan. (hlm. 11)
Beberapa kalimat sindiran halus dalam buku ini:
  1. Kau tidak akan benar-benar bisa menerima dengan ikhlas. Kau hanya belajar membawa beban itu dengan lebih tegar. Satu-satunya cara agar bisa begitu adalah dengan mengerjakan hal-hal rutin. (hlm. 12)
  2. Hidup memang kejam, selain menggelikan. (hlm. 14)
  3. Orang yang mengatakan dirinya baik-baik saja tidak akan kehilangan begitu banyak berat badan dalam waktu tiga bulan dan tidak mungkin memiliki lingkar gelap di bawah matanya. (hlm. 26)
  4. Memang tidak mudah saat orangtua memaksakan kehendaknya, dan dengan seenaknya memutuskan masa depan anak-anaknya. (hlm. 29)
  5. Satu kebohongan akan diikuti oleh kebohongan-kebohongan lain yang lebih besar. (hlm. 119)
  6. Sinetron jarang ada yang menceritakan hubungan percintaan antara manusia dan hantu. (hlm. 486)

kutipan novel Implovesibble

  • "Cinta itu datang karena terbiasa. Terbiasa ngurusin, terbiasa bertemu, terbiasa masakin, dan sebagainya. Orang yang jatuh cinta tapi nggak pernah melakukan hal bersama, lama-lama rasa itu hilang."
  • "Benar adanya, bahwa hanya orang yang kita sayangi yang bisa menghancurkan kita"
  • "Menangis itu nggak berarti lemah. Menangis membuktikan kalau hatinya masih hidup "
  • "Jika ingin bahagia maka maafkanlah kesalahan orang lain sehingga kamu tidak menyimpan benci di dalam hatimu"
  • "Pasangan yang sempurna adalah dia yang memahami ketidaksempurnaanmu."
  • "Hal yang kita pikir mustahil, justru akan menemukan cara dan menunjukkan pada dunia kalau itu bisa terjadi. Karena memang begitulah alam semesta ini bekerja."
  • "Dua orang yang menikah akan menggantungkan kebahagiaan dan harapan satu sama lain. Jika salah satu memutus talinya, maka yang lain akan merasakan akibatnya."
  • "Pernikahan sempurna terjadi jika dua orang saling mencintai kekurangan masing-masing."
  • "Banyak orang yang menikah karena cinta, lalu tetap berakhir dengan tidak bahagia. Ada pula yang ngotot menikah dengan yang seumuran namun tetap menemukan ketidakcocokan. Aku belajar, bahwa kehidupan rumah tangga hanya bisa bahagia jika kedua pihak mau berusaha. Berusaha saling mencintai orang yang sama setiap hari, saling menjaga dan mengingatkan dalam kebaikan, dan saling mempertahankan jika suatu hari ada masalah yang datang."

Anne Ahira Newsletter

Think & Succeed!
----------------------------------

"Jauhi orang-orang yang mencoba

mengecilkan ambisi Anda. Orang kecil
selalu melakukannya, tetapi orang
yang benar-benar besar membuat Anda
percaya bahwa Anda juga dapat menjadi
besar" - Mark Twain Dear Hanihyung,
Tidak perlu sedih dan berkecil hati
jika orang lain meremehkan kemampuan
Anda.  Banyak orang sukses lainnya
juga pernah mengalaminya. 
Richard Branson - pendiri grup
perusahaan Virgin dan wisata
antariksa Virgin Galactic- di usia 16
tahun pernah dikeluarkan dari sekolah
karena mengidap disleksia dan
dianggap buta angka karena tidak
mampu mengerjakan perhitungan
matematika paling sederhana
sekalipun. Namun, dalam sebuah
survei, ia malah digolongkan sebagai
pria tercerdas di Inggris. Kerajaan
bisnisnya merupakan 1 dari 40
perusahaan besar di dunia yang
memperoleh pendapatan tahunan hampir
US$4 miliar atau sekitar 35 triliun
rupiah per tahun!
Charles Schultz juga pernah
diremehkan. Dulu banyak orang tak
menghargai bakatnya. Karyanya
dianggap kampungan. Tapi ia tidak
pernah menyerah. Ia melawan arus.
Akhirnya ia berhasil memukau dunia
dengan cerita kartun populer dalam
sejarah, Peanut, yang telah muncul di
2.600 surat kabar dunia dalam 21
bahasa.
Ide Alexander Graham Bell juga pernah
ditertawakan teman-temannya. Dianggap
mustahil. Namun atas dorongan
tanggung jawab untuk menolong
kehidupan orang-orang tuna rungu,
seperti yang dialami ibu dan
istrinya, Alexander Graham Bell
berhasil menciptakan pesawat telepon
yang kini sangat berguna bagi umat
manusia.
Hanihyung, teruskan saja usahamu.
Orang-orang yang meremehkanmu adalah
orang-orang yang tak tahu harus
berbuat apa dalam hidup mereka.