Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
“Apa artinya berbeda jika kita tidak bisa istimewa?” (hlm. 71)
“Masyarakat yang luas dan lapar. Mereka butuh kita. Mereka
kelaparan. Mereka sekarat! Mereka menginginkan letupan kecil yang
mengobarkan imajinasi mereka, yang membakar otak dan hati mereka.” (hlm.
30)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
Keheningan yang murni terkadang mampu membujuk saat bicara gagal melakukannya. (hlm. 127)
Apa gunanya menjadi mentalis jika tidak dapat membaca pikiran? (hlm. 183)
Semua orang pernah bermimpi buruk. (hlm. 255)
Bagaimana kemungkinan empat orang memimpikan hal yang persis sama? (hlm. 256)
Cerpen Yanusa Nugroho (Kompas, 10 Desember 2017) Aku Membuatmu Bersetia kepada Kesepian dan Kesedihan ilustrasi Regas Arisana/Kompas
Salya termangu. Dataran luas Kurusetra, yang sekejap lalu dipenuhi
manusia saling bacok, tiba-tiba kosong. Lengang, seperti sebuah beranda
dengan bangku bambu yang bisu.
Di atas kereta perangnya, Salya terpaku. Dia merasakan angin lembah
membelai pelipisnya yang beruban, yang basah berkeringat. Musim apakah
saat ini? Ada panah mendesing, entah dari mana, dan entah mengenai
siapa, tetapi yang tiba-tiba lenyap begitu saja, seperti dibawa angin,
atau jin, mungkin malaikat; siapa yang paham?
Kurusetra kosong. Kurusetra seperti seraut wajah manusia berusia 300 tahun; renta, rapuh, sepi, dan tak bisa ditandai lagi.
“Lalu, aku harus bagaimana, ayah?” tiba-tiba Candabirawa, pemuda
ganteng yang terlalu cantik—mungkin terlalu perempuan untuk disebut
laki-laki. Tetapi, barangkali, memang tak penting itu semua, karena
Candabirawa sesungguhnya bukan bangsa manusia, sehingga batasan
‘laki-perempuan’ tentu tidak berlaku baginya. Jika dia berwajah ganteng,
cantik, atau menakutkan, itu pun tak lebih karena mata manusia
memandangnya demikian.
“Kau saksikan sendiri, dan tolong jelaskan padaku, Candabirawa…apa
sebenarnya yang kita pandang saat ini?” bisik Salya dengan mata masih
menyapu tepian sepi Kurusetra.
“Ayah, aku harus meminum darah manusia. Aku harus mengunyah daging
mereka. Dari setiap udara yang pecah dalam butiran darah itulah, aku
memperoleh daya hidup. Dan perang ini, bukankah seperti yang ayah
janjikan, bukankah ini memang kesempatanku untuk memperpanjang hidup?”
“Candabirawa…untuk apa memperpanjang hidup? Kurang panjangkah hidupmu di dunia ini?”
“Ayah, aku tidak punya jawaban untuk itu, dan maaf…aku hanya tahu membunuh manusia dan meminum darahnya…”
Seekor gajah, tiba-tiba, tersungkur. Tubuh besarnya rubuh, diiringi
lengkingan panjang kematiannya. Sebuah tombak menancap, begitu dalam, di
biji matanya. Tubuhnya yang besar, menimpa beberapa orang penyerangnya,
yang tak sempat menghindar. Perang tiba-tiba hadir di mata Salya.
Perang pecah begitu saja, dan hiruk-pikuk meledak tanpa tanda.
Senja.
Musim apakah saat ini? Peperangan ini masih menuntut ratusan ribu
nyawa lagi. Mayat-mayat yang dikubur pada tanah gersang Kurusetra, masih
hangat oleh anyir darah mereka sendiri. Bangkai-bangkai gajah dan kuda,
dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang besar. Beberapa
panggung kayu pembakaran jenazah para pangeran dan raja-raja, telah
menyala, berkobar-kobar apinya dimainkan angin padang. Para pendeta
menggumamkan doa dan mantra, menggelombang dengungnya seperti meredam
panas pepe- rangan. Ratusan orang masih hilir-mudik dengan alat-alat
pengangkut jenazah maupun bangkai, membersihkan medan perang yang telah
menelan puluhan ribu nyawa itu.
Dan Salya, masih saja mematung, hanya saja kali ini di dalam tenda
peristirahatannya. Setelah Burisrawa dan Rukmarata, kedua anaknya yang
juga menjadi korban perang, lantas menantunya, Karna, menyusul kemudian,
Salya tercenung. Para panglima, guru-guru perang, bahkan Bisma—sesepuh
keluarga Bharata—pun mati di medan perang. Sambil mereguk anggurnya,
duduk di sebuah bangku kayu Nagasari, sambil memandang bentangan
Kurusetra dari celah belahan tendanya, Salya beku. Begitu senyap
hiruk-pikuk peperangan.
Sore itu, adalah hari ketiga perang berhenti, untuk menghormati
kematian guru bagi kedua wangsa yang berseteru. Dorna mati, tiga hari
lalu, kepalanya dipancung Drestajumena, yang membalas dendam atas
kematian ayahnya di tangan Dorna. Salya mereguk anggurnya.
“Setyawati, kekasihku, maafkan suamimu ini. Aku membuatmu bersetia kepada kesepian dan kesedihan…”
Celah tenda tersibak, dua laki-laki muda berjubah pendeta, menyeruak masuk, langsung bersimpuh di hadapan Salya.
“Candabirawa, kaukah kalian?”
Uwa Prabu Salya, saya Nakula dan ini Sahadewa,” ucap lelaki kembar itu lembut.
Salya tua, terpanah hatinya, merangkul dua kemenakannya dan menangis
sedih—barangkali juga gembira, bahkan dirinya sendiri tak tahu yang
mana. Terguncang pundaknya, merangkul dua anak Madrim, yang harus besar
tanpa ayah-ibu.
“Maafkan kehadiran kami yang tiba-tiba. Salya, ayahku…”
“Nakula, Sahadewa…kita berseberangan, tapi rinduku pada kalian, tak
ada yang bisa membendungnya, bahkan perang besar ini. Ada apa, anakku?”
“Kami mengemban titipan bunda Kunti. Ini…” Nakula mengeluarkan wadah
dari anyaman bambu berisi sirih pinang lengkap dengan tembakaunya.
Salya membuka wadah dan mengambil selembar daun sirih hijau segar.
Lalu, jemarinya mengoleskan kapur, meracik gambir dan pinang. Aroma
sirih segar itu membawanya pada sebuah tempat yang barangkali hanya ada
di kenangannya. ”Aku paham…” gumamnya kepada Nakula dan Sahadewa.
“Jika demikian, tuturkanlah kepada kami.” Nakula setengah berbisik.
Di luar sana terdengar kobaran api menderu membakar jenazah para raja
yang mati di medan laga.
“Nakula dan Sahadewa, katakan pada ibumu, juga kepada Kresna yang
agung…ah, tentu sebetulnya dia tahu ini semua, besok…persiapkan
Puntadewa sebagai panglima tertinggi.”
Kedua pemuda itu tertunduk. Antara paham dan tidak, keduanya tercekat
dalam kebisuan. Mengapa harus Puntadewa? Mengapa bukan Arjuna, atau
Bima sang jagoan perang? Seumur hidupnya Puntadewa tak pernah mengenal
senjata, tak pernah berkelahi dan dia lebih memilih dilukai daripada
melukai.
“Ketahuilah oleh kalian. Kematian datang dengan caranya yang tak bisa
kita pahami. Sebagaimana Bagaspati, dulu, pernah mengatakannya
kepadaku, bahwa kematianlah yang memilih kita, dan adalah sepenuhnya
kekuasaan dia menentukan bentuknya.”
“Candabirawa yang paduka miliki menjadi pelindung?”
“Hahaha…ketahuilah Sahadewa, Candabirawalah yang kulindungi…dia
adalah titipan Bagaspati, mertuaku, untuk kupelihara sampai kematiannya
tiba.”
“Tapi, tak satu pun manusia bisa mengalahkan Candabirawa?”
“Pandu—ayah kalian, pernah mengalahkannya.”
Nakula dan Sahadewa terdiam, mereka tak mengenal ayah mereka yang mati ketika keduanya masih sangat kanak-kanak.
“Mengapa bahkan Kresna, raja agung itu tak bisa mengalahkan Candabirawa?”
“Ingatlah…jalan kematian seseorang tidak bisa digenggam begitu saja,
dan jawabannya tak mungkin bisa kita pahami,” jawab Salya seraya
meludahkan air sirihnya.
***
Malam tiba-tiba mengelam. Angin dingin bercampur asap belerang
menebar. Obor-obor masih menyala. Ini adalah malam terakhir ‘masa
dukacita’, dan esok kerang perang akan ditiup kembali. Banjir darah akan
terjadi. Siapakah yang salah atau benar, tak ada yang bisa menelisik
lagi. Jawaban yang tersedia adalah hidup atau mati.
“Jadi ayah besok akan menjadi panglima?” bisikan Candhabirawa
menggema di relung hati Salya. Dia tak perlu menjawab, Candhabirawa
seperti sudah tahu jawaban yang akan diucapkan Salya.
Bukan darah, bukan pula daging manusia yang menjadikan Candhabirawa
abadi, tetapi nafsu amarah dan keangkuhan manusia yang dicari.
Candhabirawa akan menghisap nafsu-nafsu itu sebagai makanannya. Itu
sebabnya, setiap kali Candhabirawa terlukai, setiap tetes darahnya akan
membelah diri menjadi dua, empat, enam belas, dan…sebanyak nafsu
membunuh yang dimiliki musuhnya, sebanyak itu pula Candhabirawa
menghisap dan membelah diri.
Dulu, ketika Salya masih muda, masih bernama Narasoma, dan
Candhabirawa baru saja diterima dari mertuanya,…manusia mana yang mampu
mengalahkan Narasoma. Narasoma cukup memancing lawan dengan tantangan,
lawan tersulut amarah, Candhabirawa yang menghabisinya.
***
Dan lihatlah, mereka sudah saling bunuh. Pasukan panah pihak Pandawa
menghujani pasukan Kurawa. Tubuh mati bergelimpangan. Kartamarma
memerintahkan pasukan Kurawa membalas serangan, dan tubuh-tubuh lawan
pun bergelimpangan. Di sisi lain, saling tombak, saling gada, terjadi
begitu mengerikan. Batok kepala yang pecah, usus yang terburai, darah
yang memerah, begitu saja terjadi. Bima dengan gadanya menghabisi
pasukan hanya dengan beberapa kibasan. Pasukan Kurawa hancur berhadapan
dengan Bima.
Dengan kereta perangnya, Salya melaju, menusuk dan membelah lautan
manusia. Dia mengarah kepada Bima, yang tengah mengamuk dengan gadanya.
Kereta perang Salya menabrak Bima yang kukuh karang. Kereta pecah,
kudanya mati, Salya melompat dan tegap berdiri, membuat Bima ternganga.
“Oh, inikah cara raja Mandaraka berperang? Mari kulayani.” dan Bima
menyerang dengan tenaganya yang besar. Salya berteriak melarang, namun
telinga Bima tertutupi nafsu berperangnya.
Sekelebat sosok pemuda ganteng itu menghadang Bima. Bima terhenti
tiba-tiba, diamatinya laki-laki berwajah perempuan itu, yang matanya
memandang kedua mata Bima dengan tajam, seolah menembus tengkorak
kepalanya. Hanya sesaat.
Gada Bima terayun, menghantam pemuda berambut panjang ikal indah
menggelombang sepinggang. Sedikit pun pemuda itu tak beringsut, dan
menerima pukulan itu dengan kepalanya. Pecah. Darah muncrat, dan sekejap
kemudian menjelma pemuda yang sama, gerakan yang sama, berdiri tegak
mengelilingi Bima. Rambut-rambut mereka seperti nyala api, berkobar ke
angkasa.
Bima makin marah, gadanya berputar dengan cepat. Pemuda-pemuda itu
mulai bergerak melakukan serangan. Setiap kepalanya pecah terhantam gada
Bima, secepat itu pula puluhan pemuda itu menjelma. Bima kewalahan,
tenaganya susut, dia melompat secepat kilat lari meninggalkan
gelanggang.
Candhabirawa menjadi sepasukan makhluk aneh, berwajah lelaki yang
terlalu cantik, atau perempuan yang terlalu tampan, menghantam siapapun
yang menghadang hanya dengan kibasan tangan. Semakin musuh menghujaninya
dengan panah atau tombak, dan darah dari tubuhnya mengalir, semakin
berlipat jumlah Candhabirawa.
Yudistira memerintahkan saisnya memajukan kereta perangnya,
menghadang ribuan Candhabirawa. Nakula dan Sahadewa berkuda di samping
Yudistira.
Yudistira adalah raja, Darmakusuma adalah juga namanya, anak tertua
keluarga Pandawa, turun dari kereta perangnya, duduk bersila, memejamkan
mata, dengan setangkup sembah telapak tangannya di dada. Dia adalah
darma bagi makhluk seisi semesta, dan darma adalah kebaikan, kebaikan
adalah kesabaran, kesabaran adalah pengunci hawa amarah. Maka, Kurusetra
menjadi dingin, tak ada kemarahan, bahkan senyap dari pekik dosa.
Candhabirawa yang melaut jumlahnya, tertegun. Tubuh mereka membeku, dan seperti buih, lenyap mengudara entah rimbanya.
Salya turun dari kereta perangnya, lututnya lemas tak kuasa menahan
kelembutan Darmakusuma. Dia pun berlutut di tanah Kurusetra, tersenyum
menyambut sang ajal yang membayang di matanya.
Yudistira menunduk takzim kepada orang yang dituakannya, sebelum
merentang busur beranak panah. Dia tak akan membunuh Salya, tetapi
menyerahkannya kepada maut, terserah apakah maut akan menyambutnya atau
tidak, bukan keputusan Yudistira. Dia merentang busur beranak panah,
sekadar menjalani kewajiban seorang panglima perang, dan itulah
penghormatan tertinggi bagi seorang lawan di medan perang.
Mata Yudistira terpejam. Bibirnya bergetar membaca doa. Anak panah
melesat. Gaung terompet kerang menggema merayapi lembah Kurusetra.
Yanusa Nugroho, lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. Pernah duduk sebagai redaksi majalah Berita Buku IKAPI, lalu menjadi copywriter di Indo-ad, kemudian memilih menjadi penulis lepas. Cerpennya pernah menjadi Cerpen Terbaik Kompas.
Oleh Suci Ayu Latifah (Kompas, 10 Desember 2017) Mengenal Spesies Primata ilustrasi Regina Pimalita/Kompas
ROMBONGAN siswa kelas lima SD 2 Pangkal Ponorogo, baru saja sampai di
Pusat Primata Schmutzer yang lokasinya berada di area Taman Margasatwa
Ragunan, Jakarta Selatan. Nia dan Tian lerlihat bersemangat begitu turun
dari bus.
Setelah semua siswa dan ibu guru pendamping sampai di muka gerbang pusat primata, Nia pun bertanya pada ibu gurunya.
“Bu, primata itu apa sih?”
“Iya, Bu. Kami belum paham, apakah primata tersebut?” timpal Tian.
“Primata itu bangsa mamalia seperti kera, monyet, dan bahkan juga manusia,” jelas BuTia.
Para murid-muridnya pun mangut- mangut sambil tertawa. Karena ternyata manusia juga termasuk golongan primata!
Dengan dibantu oleh petugas jaga, para siswa lalu diajak berkeliling
kawasan Pusat Primata Schmutzer sambil melihat aktivitas menarik dari
hewan-hewan primata di sana.
“Itu kan gorila!” seru Tian menunjuk salah satu hewan.
“Iya, itu di sana orangutan,” susul Nia.
Para siswa tersebut terlihat menikmatl suasana. Mereka antusias
mendengarkan penjelasan dari petugas jaga. Tanpa ada rasa malu, mereka
bertanya ini dan itu tentang hal yang tidak diketahui.
“Nah, momen yang paling disukai pengunjung adalah feeding time!” kata petugas jaga.
“Feeding time?” seru siswa-siswi tidak mengerti.
“Jadi, feeding time adalah kegiatan memberikan makan primata dengan buah-buahan yang sudah disiapkan,” ulasnya.
Tanpa menunggu lama, satu per satu siswa saling berebut memberi makan
hewan primata. Puas memberi makan, mereka lalu melanjutkan perjalanan
berkeliling di Taman Margasatwa Ragunan. Sampailah mereka di suatu
tempat.
“Waw, rindang sekali tempat ini!” celetukTian.
“Bu, itu pohon apa?” tunjuk Tata pada pohon yang diberi nama dengan huruf latin.
“Acacia auriculiformis atau tanaman kormis. Kalau itu, Delonixregia atau pohon bunga flamboyan,” terang Bu Tia dengan sabar.
Semua siswa memperhatikan dengan saksama. Sesekali mereka menganggukkan kepala pertanda memahami penjelasan dari Bu Tia.
“Wah, keren, ya. Ternyata di sini tidak hanya terdapat hewan-hewan, tetapi juga pohon-pohon yang beragam,” puji Tian.
Semua siswa senang berkunjung di Taman Margasatwa Ragunan. Mereka
mendapatkan pelajaran dan pengalaman baru. Bu Tia pun senang melihat
siswa-siswanya begitu antusias. Dengan begitu, mereka akan belajar
bersahabat dengan alam, menyayangi hewan dan tumbuhan dengan cara
merawat dan memberikan tempat yang layak sesuai habitatnya.
“Terima kasih ya, Bu. Sudah ajak kami berkunjung ke sini. Kami sangat
senang karena mendapat pengalaman dan pengetahuan baru,” ucap Tian pada
Bu Tia saat keluar dari kawasan Taman Margasatwa Ragunan. *
Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Jawa Pos, 10 Desember 2017) Paman Bungsuku yang (Syahdan) Setengah Dewa ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosPAMAN bungsuku Man-Man dilahirkan pada tahun babi 1959. “Karena itu ia kuat makan,” kata ayahku.
Meskipun seperti saudara-saudaranya (kecuali bibi keduaku)—mungkin
lantaran faktor genetika warisan Akong—ia tak juga kunjung gemuk. Tetapi
kau tahu, Papa tetap saja sinis berseloroh: “Kalau bukan cacing,
pastilah hantu yang habiskan semua makanan itu di dalam ususnya!”
Pada masa-masa aku belum bersekolah sampai umurku sekitar 9 tahun
ketika aku belum diizinkan untuk bermain di luar, ia selalu menemaniku
bermain di dalam rumah. Dari dialah aku mengenal ragam permainan
anak-anak seperti naik-naik kereta api, main raba-raba, petak umpet,
atau bola bekel. Kala itu ia belum kehilangan kemahirannya memainkan
tiga buah bola kasti di udara yang selalu membuatku terpukau. Bola-bola
itu di lemparkannya ke atas dan ditangkapnya dengan tangkas tanpa ada
satu pun yang terjatuh. Tentu, itu sebuah keterampilan yang hanya
dimiliki oleh para badut sirkus, pikirku takjub sambil membandingkannya
dengan aksi serupa yang pernah kusaksikan di layar televisi hitam-putih.
Usianya saat itu sudah dua puluhan, dan seharusnya—seperti yang kerap
dikeluhkan Akong—sudah suka berdandan necis, jatuh cinta pada seorang
perempuan muda dan mengajak si gadis pergi menonton film di bioskop.
Namun, pamanku itu tetap saja beringus dan mengenakan celana pendek yang
agak kedodoran. Ia juga masih sering menyanyi sekeras-kerasnya dengan
suaranya yang cadel di kamar mandi atau sambil berbaring terlentang di
tempat tidurnya di lantai atas. Biasanya, lagu-lagu wajib nasional yang
dipelajarinya di bangku sekolah atau lagu-lagu gereja.
Ia hanya tamatan sekolah dasar. Itu pun lulus lantaran belas kasihan
kepala sekolah dan guru-guru, kata ayahku. Betapa tidak, jika anak-anak
lainnya paling telat butuh 7-9 tahun untuk lulus SD, Man-Man memerlukan
waktu 12 tahun untuk menyelesaikan pendidikannya di SD Katolik St. Agnes
yang dulunya Hollandsch-Chineesche School karena setiap tahun ia pasti
tinggal kelas. Sehingga ketika ia menerima ijazah, usia nya sudah 16
tahun. Dan Akong langsung memutuskan ia tak perlu melanjutkan ke SMP.
Sebab tak seorang pun tahu pada umur berapa ia baru bisa tamat. Itu
hanya akan memalukan keluarga.
“Anak-anak Melayu dan anak-anak China yang nakal suka melorotkan
celananya di halaman sekolah,” kenang seorang kakak sepupuku dari pihak
Mama yang pernah sekelas dengannya.
Ketika kedua orang tuaku menikah pada tahun 1974, Man-Man masih duduk
di bangku kelas lima dan belum juga bisa memasang dasi atau mengikat
tali sepatunya sendiri dengan benar. Sehingga—seperti yang diceritakan
Mama—setiap pagi sebelum ia berangkat ke sekolah, ibuku mesti
memasangkan dasi dan mengikatkan tali sepatunya. Itulah masa-masa ia
suka mengikatkan sapu tangannya pada sebatang galah panjang yang
ditancapkan pada lubang drum minyak tanah di tengah-tengah thian ciang [1] rumah kami. Lalu, sambil tangannya memberi hormat, mulailah ia menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmat, cadel dan sumbang.
Ya, dari semua saudaranya, Man-Man adalah satu-satunya yang
bersekolah di sekolah Indonesia, lantaran pada saat itu Tiong Hoa Hwee
Koan sudah ditutup oleh pemerintah Soeharto.
“Sangat menyakitkan telinga,” kata Mama nyengir saat mengisahkan
kembali kekonyolan pamanku menggelar upacara-upacaraan tersebut. Waktu
itu Man-Man sudah gemar memelintir rambutnya sendiri jika sedang kesal
atau gelisah, tetapi belum menguncir rambut dengan gelang-gelang karet
yang membuat ayahku menjulukinya Naca.
“Aduh, Naca kembali mengobrak-abrik Laut Selatan!” demikianlah tukas
Papa saat aku masih kanak-kanak, antara geram dan gemas setiap kali
paman bungsuku ini uring-uringan dan mengamuk di rumah. Syahdan,
ungkapan ayahku itu merujuk kepada cerita Naca—dewa China yang abadi
dalam usia 8 tahun—yang suatu kali membuat istana Raja Naga Laut Selatan
terguncang hebat tatkala ia mencuci pakaiannya di pantai Laut Selatan.
Pada usia yang lebih belia, menurut bibi keduaku, Man-Man juga suka
membentur-benturkan keningnya ke dinding apabila ada hal yang
menggusarkan hatinya atau jika keinginannya tidak dituruti oleh Akong.
Ah, adakalanya aku mendengar Papa menyalahkan Akong: “Kalau memberi nama
pada anak itu harusnya dipikirkan matang-matang dulu. Apa tak ada nama
lain lagi sehingga bisa-bisanya kau memberi ia nama Kwet Man [2]?”
Sebab, menurut Papa, itu adalah nama terburuk yang pernah ia dengar.
Entahlah, barangkali ayahku tidak pula keliru. Kata “Man” memang
boleh dikatakan nyaris tak pernah digunakan sebagai nama oleh orang
China. Secara harfiah, dalam pemakaian sehari-hari oleh orang Hakka, ia
berarti nakal. Namun, lebih jauh, dalam ragam dialek orang China,
terutama dalam bahasa Mandarin, kata ini kerap merujuk kepada makna:
kasar, ganasrakus, irasional, barbar, dan arogan. [3]
“Kalau ia diberi nama Ngoi Man [4] sih mungkin takkan jadi persoalan!
Namanya itu hanya membuat ia jadi tukang onar kecil dalam keluarga!”
begitulah Papa bersungut-sungut.
Bertahun-tahun kemudian, barulah aku ta hu dari Bibi Ngo jika nama
itu sesungguhnya tercetus begitu saja di benak Akong tatkala mendengar
ia menggoda sang adik yang belum lama lahir dengan gemas: “Iih, adik
nakal, adik nakal…”
Ya, asal muasal nama itu ternyata begitu sederhana dan barangkali
memang tak pernah dipertimbangkan secara mendalam oleh Akong, apalagi
sampai membongkar kamus dan banyak buku.
“Tapi itu fatal akibatnya!” ujar ayahku ketus, tak juga berhenti
menyalahkan. Seolah-olah sedang mengingkari cara berpikirnya sendiri
yang biasanya dingin dan rasional—yang diperolehnya dari pendidikannya
di Tiong Hoa Hwee Koan—setiap kali menolak agama dan hantu-hantu…
***
AKU tidak ingat kapan persisnya paman bungsuku ini
mulai bekerja serabutan. Mungkin tak lama setelah Akong menghentikan
uang jajannya. Karena itu, untuk mendapatkan uang, ia diharuskan
membantu Akong menisik kain-kain kasur dengan jarum panjang. Namun
lambat-laun ia juga mulai sering disuruh orang-orang membeli ini-itu,
mulai dari bumbu masak sampai minyak tanah, dengan upah ala kadarnya.
Kerap pula ia membantu para pemilik warung kopi mengangkut air atau
mencuci piring.
Semua uang yang ia peroleh itu—koin maupun kertas—disimpannya dalam
sebuah kopor besi dicat warna merah menyala yang senantiasa ia gembok.
Itu kopor yang dibawa oleh kakek buyutku saat berlayar dari China
Daratan. Tebal dan berat, yang bertambah berat seiring waktu dengan
bertambahnya uang-uang logam. Sebagai bocah bandel, kadangkala aku suka
mencuri uang dalam kopor besi itu. Tidak mudah, dan juga tidak terlalu
sulit, sebab ada celah kecil di penutupnya yang agak penyok. Biasanya,
aku memiringkan kopor itu dan mengguncangnya hingga uang koin di
dalamnya berjatuhan keluar. Atau, aku menggunakan sebatang kawat untuk
menarik keluar uang kertasnya.
Jika mengetahui ada uangnya yang hilang, Man-Man akan menjerit-jerit
setengah histeris seolah-olah dunia sedang terancam kiamat. Sehingga
ayahku atau Akong mau tak mau harus mengganti uang itu secepatnya.
Tentu, tidak selamanya lantaran uang itu aku curi. Sebab ia juga
menyimpan uangnya di kedua saku celana pendek dan saku depan t-shirt
berkerahnya, menjejalkan uang-uang kertas maupun koin itu begitu saja
ke dalam sampai saku-sakunya mengembung padat. Akibatnya uang-uang itu
seringkali terjatuh saat ia sedang bekerja, atau—ini yang selalu membuat
Akong naik pitam karena ia tak juga mau mendengar nasehat agar tidak
membawa uang seperti itu—ia dipalak oleh para preman!
Mama kemudian menyarankan padanya agar membeli dan menyimpan emas
saja: cincin, gelang, atau kalung. Sesekali ia mau menurut, tapi tetap
saja saban waktu menjejalkan uang hasil kerjanya itu ke dalam saku atau
kopor besinya. Sehingga tak heran jika sebagian kecil uang itu kemudian
rusak—yang kertas merapuh dan robek-robek, sementara yang koin jadi
hijau berkarat—oleh lembab maupun karena dijejalkan paksa secara
asal-asalan. Bahkan di da lam kopor besi tuanya itu, dengan mudah kita
bisa menemukan uang-uang yang tak bisa dipakai lagi lantaran telah
ditarik peredarannya oleh pemerintah…
***
AUTIS dan condong ke arah keterbelakangan mental
ringan, itulah yang terjadi pada paman bungsuku yang lahir prematur
tujuh bulan. Tinggal di kota kecil, tanpa sekolah khusus, dan dengan
watak Akong yang cenderung cuek di masa muda, kukira cukuplah beruntung
ia kemudian bisa mencari uang sendiri, juga belajar mencuci pakaiannya,
bahkan belajar memasak.
Ada sebuah foto kanak-kanaknya yang pernah kutemukan bertahun-tahun
silam di salah satu album foto tua Akong sebelum album-album berdebu itu
dilahap api dalam bencana kebakaran pada tahun 1993. Dalam foto
hitam-putih berukuran minicard itu, Man-Man sedang memegang
kotak pita film dengan wajah sedikit miring ke kanan dan mata yang
tampak tak bisa fokus. Menurut Akong, konon kotak pita film itu
diberikan oleh sang tukang potret lantaran pamanku menangis ketakutan
melihat kamera. Usianya saat itu barangkali sekitar empat tahun. Karena
seingat Akong, waktu itu istrinya masih hidup. Nenekku meninggal dunia
saat Man-Man berumur lima tahun setelah sakit berkepanjangan.
Ya, banyak orang yang tidak mengenalnya dengan cukup baik mungkin
akan mengira ia kurang waras. Kami sekeluarga pun membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk menyadari kalau ia juga memiliki kecen derungan
homoseksual dan menganggap dirinya perempuan. Hal ini lantaran pada usia
yang sudah agak tua, barulah ia mulai menunjukkan tanda-tanda ke arah
sana.
“Wanita itu tidak bodoh!” begitulah ia kerap menangkis penuh
kemarahan, dengan mata mendelik dan mulut mencong, setiapkali merasa
dilecehkan orang. Ketika itu ia sudah suka mengumpat orang-orang yang
tidak disukainya dengan carut-marut kotor atau menggoda cowok-cowok
belia yang ia anggap tampan. Lalu suatu hari ia mengungkapkan kepada
semua orang bahwa ia bercita-cita menjadi seorang perias pengantin.
“Merias pengantin itu banyak duit!” katanya penuh semangat dan
membuat wajah Akong seketika berubah jadi merah padam. Tentu, kami semua
tahu bahwa itu cita-cita yang mustahil baginya karena ia takkan mungkin
menguasai keterampilan tersebut. Jadi ia hanya bisa mengotori
tembok-tembok rumah dengan tempelan pita warna-warni, foto-foto artis
dari kalender, dan rupa-rupa gambar yang entah ia gunting dari mana
saja, juga huruf “Fu” [5] di setiap ambang pintu dalam posisi terbalik.
Bahkan gambar Dewi Kwan Im dan Bunda Maria berukuran besar secara
bersisian!
Ia juga membeli sebuah pohon Natal kecil lengkap dengan untaian lampu
kelap-kelip dan beragam pernak-perniknya yang dipasang abadi di ruang
tengah, kemudian patung-patung keluarga kudus, boneka barbie dan
boneka-boneka lainnya, bunga-bunga plastik gantung mau pun dalam vas,
dan banyak “mainan” lagi yang ditatanya dengan telaten namun
menghasilkan sebuah dunia ajaib yang porak-poranda di atas meja dan
lemari, pegangan tangga dan di berbagai tempat lainnya.
Tidak ada yang berani melarangnya atau mengusik barang-barang
tersebut sebab takut ia bakal mengamuk, kendati kekacau-balauan yang ia
ciptakan itu senantiasa membuat para tamu—sanak keluarga kami maupun te
mantemanku—yang bertandang ke rumah mendelik kaget. Sebagian orang
langsung ter tawa tergelak, sebagian yang lain tampak tertegun takjub,
dan sebagian lagi hanya bisa menarik napas demi menyaksikan bagaimana
malaikat-malaikat kecil duduk di atas boneka anjing dan kucing, serdadu
kecil terayun-ayun di leher patung Yesus, seorang pembalap yang telah
kehilangan sepeda motornya menunggangi harimau, guntingan gambar Dewa
Rejeki memegang potongan iklan Pepsodent, sinterklas bergandengan tangan
dengan Kingkong, barbie cantik berdiri di atas tank, atau seorang
pengantin pria berkaki satu nangkring di mulut kaleng bir…
Tetapi setahun sekali, pada hari-hari men dekati Tahun Baru China,
biasanya Mama akan mengambil langkah tegas, menyingkirkan sebagian
kesemerawutan itu agar tidak mengundang malu. Kerap terjadi keributan,
tetapi terkadang Man-Man diam saja, membiarkan barang-barangnya
dimasukkan ke dalam kardus atau kantong plastik dan diamankan di kolong
ranjang tua atau lemari barang-barang bekas. Toh selewat tahun baru,
sosok-sosok itu biasanya akan muncul lagi di mana-mana dalam
posisi-posisi absurd yang lebih mencengangkan!
***
TAK seorang pun yang tahu pasti kenapa ia kemudian
tidak mau lagi pergi ke gereja. Namun kukira ada beberapa hal yang
barangkali menjadi penyebab.
Pertama, paman bungsuku itu tidak suka disuruh-suruh bersalin pakaian kendati t-shirt dan
celana pendek yang dikenakannya sudah seminggu tidak diganti, bau dan
dekil. Dan jangan pernah berharap ia mau mengenakan celana panjang.
Pernah sekali Akong menjahitkan untuknya sehelai celana panjang, dan
alhasil ia tak pernah berani melangkahkan kakinya turun dari lantai atas
saat dipaksa mengenakan celana barunya itu.
Kedua, ia tidak sudi menyumbangkan uangnya untuk dana kolekte. Dan,
yang ketiga, lantaran ada beberapa orang yang ia benci sangat rajin
pergi ke gereja.
Meskipun demikian, sesekali kami masih mendengar ia menyanyikan
lagu-lagu liturgi dengan suaranya yang cadel. Ya, ketika itu ia leb ih
kerap menyanyikan lagu-lagu pop yang di dengarnya di televisi ataupun
yang diputar di tape deck hingga kemudian di VCD player.
Kukira inilah masa ia mulai suka menggoda anak-anak sekolah yang lewat
di depan ruko kami, di mana biasanya anak-anak sekolah itu akan balas
menggodanya sambil tertawa-tawa.
Beberapa tahun yang lalu seorang mahasiswa UNY asal Belinyu, Reddy
Suzayzt, datang ke rumah kontrakan lamaku di Krapyak Wetan dan bercerita
bahwa ia juga pernah digoda oleh paman bungsuku itu saat duduk di
bangku SMA. Tentu saja ia belum tahu kalau itu pamanku.
“Aku pernah digoda oleh orang gila bencong di daerah pasar lama dekat rumah Abang,” tukas Reddy ketika itu.
Yang tidak kuduga, momen ini kemudian berkembang menjadi cukup
dramatis dan agak melenceng dari kejadian sebenarnya di ruang tamu rumah
kontrakanku tatkala diceritakan Reddy kepada Indrian Koto. Dan,
akhirnya, kau tahu, menjadi lebih dramatis lagi saat dituturkan kembali
oleh pedagang buku online di daerah Wijilan yang juga seorang penyair itu dengan nada rada getir.
Menurut Koto, selepas kata-kata di atas diucap kan oleh Reddy, aku
terdiam cukup lama, menghisap rokokku dalam-dalam dan mengembuskan
asapnya yang pekat, lalu menghirup kopi di cangkirku, setelah itu
barulah menjawab dengan suara lirih, dengan wajah setengah tertunduk:
“Itu pamanku.” Lantas terciptalah keheningan yang cukup mencekam di
antara kami, aku dan Reddy.
“Aku jadi tidak enak dengan Bang Sunlie,” konon begitulah kata Reddy sebagaimana dikutip oleh Koto.
Indrian Koto di sini agaknya memang seorang pendongeng berbakat alam
yang lumayan mahir dalam merekonstruksi jalan cerita dan suasana. Sebuah
bakat yang barangkali terpupuk oleh tradisi bakaba dan
bergunjing yang membesarkannya selama bertahun-tahun di kampung halaman.
Dan, kukira, aura kedua tradisi ini kadangkala cukup berhasil ia
hidupkan dalam satu-dua cerita pendeknya, dan lebih terasa lagi dalam
kebiasaan anehnya mengumpulkan anekdot-anekdot penulis. Lalu aku pun
teringat kalau beberapa tahun silam ia sempat mengelola sebuah blog yang
diberinya nama Kuli Pelabuhan, di mana ia menulis banyak cerita tentang
orang-orang yang pernah dekat dengannya dengan gaya tutur yang kocak
sekaligus mengharukan, dan sebagian lainnya begitu konyol.
Demikianlah pertemuanku dengan Reddy Suzayzt itu kemudian menjadi sebuah cerita konyol melalui mulutnya.
***
AH, aku tidak tahu apakah Man-Man bakal merasa
senang atau justru sebaliknya, jika aku memberitahu ia bahwa aku telah
menjadikannya salah satu narator dalam novelku Kampung Halaman di Negeri Asing yang belum juga rampung kutulis sampai hari ini.
Bertahun-tahun lamanya, kau tahu, ia adalah penggemar sinetron Ram
Punjabi, dan karakter-karakter yang ia sukai adalah sosok-sosok
antagonis, entah itu ibu-ibu kaya yang judeslicik atau gadis-gadis
cantik yang jutek-angkuh. Entahlah kenapa ia bisa menyukai tokoh-tokoh
semacam itu. Jadi, kurasa kemungkinan besar ia takkan menyukai dirinya
kubayangkan sebagai sosok titisan Dewa Naca dengan kemampuan melihat ke
masa depan maupun masa lalu dalam novelku; melalui peng
lihatan-penglihatan sekilas yang datang secara tiba-tiba dan tak mampu
ia pahami de ngan benar sepenuhnya. Yang mana, lewat sudut pandangnya
yang lugu, bizar, dan ambigu, aku mencoba menulis ulang sejarah orang
Tionghoa di kampungku.
Ya, kendati dalam ceritaku, karakter ini barangkali juga bukanlah
benar-benar dirinya, tetapi lebih kepada semacam gabungan antara
karakter Clara si Cenayang dalam novel Isabel Allende The House of Spirits dan karakter Moemie dalam novel Marion Bloem Een Meisje van Honderd, yang polos kekanak-kanakan seperti Jintong dalam Big Breasts dan Wide Hips karya Mo Yan…
Dan, harus kuakui, sungguh tidaklah mudah menggunakan perspektif
sosok yang seumur hidupnya tak pernah tumbuh dewasa dan “bodoh-bodoh
pintar’’ seperti ini. Tentunya bakal jauh lebih mudah kalau kita
menggunakan sudut pandang seorang anak kecil yang betul-betul anak
kecil. ***
Krapyak, Jogjakarta, Desember 2017
CATATAN
*) Cerita ini adalah bagian dari himpunan cerita “Memoar Pulau Timah”.
Dalam artitektur China, thian ciang (bahasa Hakka) atau天井 [tian jing]
dalam bahasa Mandarin, secara harfi ah berarti sumur langit. Sebuah
istilah untuk bagian tengah rumah yang dibiarkan terbuka dan sering
difungsikan menjadi semacam taman kecil.
Mandarin:國蠻 [Guo Man]. Guo berarti negara, juga mengandung makna keluarga, Man = nakal, binal, liar.
Cernak Azka Alvira Maulida (Suara Merdeka, 10 Desember 2017) Kue Olimpiade ilustrasi Suara Merdeka
Suatu pagi ada yang mendesak kulakukan. Kebetulan kulihat Yaya
sahabatku tengah bengong. Kudekati dia dan segera kutarik tangannya. Dia
tampak terkejut, namun tidak menolak tarikan tanganku.
“Yaya, sini deh ikut aku,” kataku.
“Ada apa sih,Ying?” jawab Yaya agak malas-malasan.
“Kita ke tempat mading yuk,” ajakku.
Tanpa menunggu kesediaannya, tangan Yaya kubawa menuju mading. Aku dan Yaya berjalan menuju mading .
Di tempat mading, aku berkata
“Baca saja.”
“Lomba olahraga, siapa ikut mendapat hadiah,” kata Yaya, membaca judul mading itu.
“Ikut saja, aku ikut lomba bersepeda,” kataku.
“Aku ikut lomba lari aja, kita mendaftar di mana?” kata Yaya.
“Bu Mila ke sana yuk,” kataku, kami berjalan menuju kantor.
“Assalamualaikum, boleh bertemu dengan Bu Mila?” kata kami serempak.
“Wa ‘alaikum salam, Bu Mila ada, silakan masuk,” kata Pak Totok, yang berjaga di ruangan. Kami pun masuk di ruangan Bu Mila.
“Permisi, Bu, maaf mengganggu Bu Mila,” kata Yaya sopan.
“Tidak apa-apa, ada apa ke sini?” tanya bu Mila.
“Kami mau mendaftar lomba olahraga,” kataku.
“Wah banyak sekali yang ikut, lomba apa kalian?” kata Bu Mila.
“Saya lomba lari,” kataku.
“Saya lomba bersepeda,” kata Liya.
Bu Mila mencatat daftar lomba kami.
“Oke, boleh juga. Jangan lupa besok sore kalian ke sekolah untuk latihan,” kata Bu Mila.
“Iya Bu,” kata kami serempak.
***
Sore harinya.
“Ting..tong..ting..tong,” bel rumah Yaya berbunyi.
“Liya.. Ayo cepat nanti kita terlambat,” teriakku dari bawah.
“Iya, tunggu sebentar, Ying,” teriak Yaya dari jendela.
Beberapa menit kemudian.
“Berangkat yuk,” kata Yaya.
“Dasar, lama sekali,” kataku.
Kami mengayuh sepeda dengan cepat. Ternyata sebagian besar temanku
sudah datang. Untung seleksi belum mulai. Terlambat sedikit saja bisa
dipastikan aku tak boleh ikut seleksi. Aku pun segera menghambur besama
mereka ikut pemanasan. Berolahraga tanpa pemanasan hanya akan mengundang
bencana. Setelah pemanasan cukup, inilah saat yang mendebarkan; kami
diuji kecepatan belari.
“Ternyata ada rintangan, rintangan meloncat,” kataku.
Aku mulai melewati rintangan itu dengan cepat. Sampai-sampai Pak Bobo
tidak mengedipkan mata. Aku tambah cepat berlari, dan aku sampai di
garis finish terlebih dahulu.
“Ying, selamat kau mewakili lomba lari,” kata Pak Bobo.
“Ying, kau hebat,” puji Boboiboy.
“Tulalit..tulalit…” Bunyi telepon genggam pak Bobo berbunyi.
“Assalamualaikum,” salam Pak Bobo.
“Pak, ini saya Bu Mila. Anak-anak tidak jadi lomba karena Bupati yang
menyaksikan pergi ke Laos, mohon anak-anak diberitahu,” kata Bu Mila
dari seberang sana.
“Iya, Bu, akan saya sampaikan,” kata Pak Bobo.
“Terima kasih Pak, Assalamualaikum,” kata Bu Mila.
“Waalaikumsalam,” kata Pak Bobo.
Dia lalu memasukkan telepon genggamnya ke saku.
“Mohon maaf anak-anak, lomba dibatalkan karena Bupati yang
menyaksikan pergi ke Laos, sekarang kalian boleh pulang,” kata Pak Bobo.
Semua anak mengeluh dan marah. Wajah-wajah kecewa terlihat jelas di
muka mereka. Perasan keringat mereka seperti tidak terbalas. Rasa capai
mereka seperti tak berbekas.
“Fang, Boboiboy, Yaya, nanti ke rumahku,” kataku, sekadar untuk mengobati kekesalan.
“Oke,Ying,” kata mereka.
***
Di rumah.
“Nah, tadi kan Pak Bobo bilang kalau lomba dibatalkan. Semua anak mengeluh. Bagaimana kalau kita membuat kue Olimpiade?” kataku.
“Boleh,” kata Boboiboy.
“Terserah kalian,” kata Fang.
“Aku dan Yaya akan membuat kue, sedangkan kalian berdua menghias kue
itu, misalnya lomba basket hiasannya ada gambar bola basket,” kataku
memberi pengarahan.
“Oke, kita mulai sekarang,” kata Yaya.
Kemudian, Aku dan Yaya menuju dapur untuk memasak.
Beberapa menit kemudian, “Kue sudah matang,” teriak Yaya.
Mendengar teriakan Yaya, Fang dan Boboiboy menghampiri Yaya.
“Sekarang kerjakan tugas kalian,” kataku dan Yaya.
“Siap,” kata mereka serempak. Aku pun berjalan menuju kamarku untuk mengambil kartu ucapan.
“Orangnya 15, kartu ucapannya 18, tak apalah,” kataku.
Aku menulis surat di dalam kartu ucapan.
“Ying, ayo antarkan kuenya,” teriak Yaya.
“Iya tunggu sebentar,” kataku.
Aku pun turun melewati tangga dan memakai sandal. Kami berbagi tugas mengantarkan kue itu.
Beberapa menit kemudian, “Akhirnya,” kata Fang.
“Kayaknya ada SMS,” kataku.
Aku membuka pesan di telepon genggam dan membacanya: Hai, jangan
bersedih hati, ya. Menurutku sekolahmu hebat. Kamu bisa ikut lomba
lainnya.
“Terima kasih, kuenya enak, aku tidak akan bersedih lagi,” kataku.
“Sudah nggak bersedih lagi,” kata Fang.
“Menyenangkan hati orang akan mendapat pahala,” kata kami serempak. (58)
Cerpen Wendoko (Suara Merdeka, 10 Desember 2017) Empat Kisah pada Satu Hari Minggu ilustrasi Suara MerdekaKisah Satu
Hari itu cerah. Lewat jam satu siang. Langit biru dan awan putih.
Pohon-pohon berjajar, dalam warna hijau yang lembut. Rumput di tepi
jalan bergoyang mengikuti angin. Kompleks perumahan itu cenderung
lengang. Pertama, karena kompleks itu tergolong baru. Masih banyak tanah
yang ditumbuhi ilalang. Kedua, sebagian besar penghuni kompleks adalah
orang-orang golongan menengah. Jadi pada Minggu siang tidak banyak yang
berdiam di rumah.
Dua ABG perempuan di atas motor melintasi salah satu jalan di
kompleks perumahan itu. Di kiri jalan tanah kosong yang dipenuhi rumput.
Beberapa petak tanah ditanami singkong dan jambu. Di sebelah kanan,
sedikit rumput lalu sungai buatan yang membatasi dengan kompleks
perumahan lain. Jalan itu lebar dan beraspal mulus.
ABG pertama, yang memegang kemudi, bertubuh tinggi-kurus. Ia
bercelana jins yang sudah tak keruan warnanya dan kaus merah. ABG kedua,
yang duduk di boncengan, bertubuh gemuk-pendek. Ia mengenakan kaus dan
rok yang melewati lutut. Keduanya bukan penghuni kompleks perumahan itu,
tapi penduduk yang bermukim di belakang kompleks. Dulu mungkin kakek
atau orang tua mereka adalah pemilik tanah yang sekarang berubah menjadi
perumahan golongan menengah.
ABG pertama baru satu minggu ini punya motor. Karena itu ia datang ke
kompleks perumahan yang cenderung lengang itu, untuk belajar mengemudi.
ABG kedua tidak punya motor, tapi sangat ingin naik motor. Karena itu
ia mengekor temannya yang masih belajar mengemudi itu.
Siang itu cerah. Langit biru dan awan putih. Pohon-pohon berjajar,
dalam warna hijau yang lembut. Rumput di tepi jalan bergoyang mengikuti
angin. Mungkin karena terbawa suasana itu, ABG pertama menarik gas
kencang-kencang. Motor melesat dengan kecepatan 60 km/jam. Keduanya
tertawa senang.
Jalan itu lebar dan beraspal mulus. Tapi ada sedikit kelokan, yang
setengah terhalang ilalang. Setelah itu jembatan dan pintu gerbang salah
satu blok perumahan. Di depan pintu gerbang ada gundukan aspal, yang
disebut polisi tidur. ABG pertama kaget. Ia menginjak rem. Mungkin
karena gugup atau belum pintar mengemudi, ia malah menginjak persneling
dan menarik gas. Motor itu menerjang gundukan aspal. Kedua ABG menjerit.
Motor itu melayang. Kedua ABG juga melayang. ABG pertama mendarat di
konblok dengan pinggul lebih dulu, lalu bahu. ABG kedua mendarat dengan
lutut lebih dulu. Keduanya menggeletak diam, sementara motor yang baru
berumur satu minggu menggesek konblok beberapa meter lebih jauh.
Di samping pintu gerbang ada pos jaga. Seorang satpam paruh baya,
yang terkantuk-kantuk, tersentak kaget. Ia mendengar jeritan. Ia tidak
melihat motor itu melayang. Ia tidak melihat kedua ABG melayang. Tapi ia
melihat waktu mereka jatuh dan menggeletak di konblok.
Satpam paruh baya keluar dari pos jaga. Tak perlu waktu lama untuk
paham. Motor nahas itu pasti menerjang gundukan aspal, yang disebut
polisi tidur. Kedua ABG perempuan itu pasti sedang belajar mengemudi.
Lalu ia teringat beberapa bulan lalu, ketika ditubruk oleh dua ABG
perempuan yang belajar mengemudikan motor. Ia jatuh dan lengannya patah.
Lengannya digips, dan selama dua minggu ia mengaduh-aduh kesakitan.
Setelah dua minggu, ia masuk kerja dengan lengan masih digips dan
dicangklong ke leher.
Satpam paruh baya masuk kembali ke pos jaga. Ia pura-pura tidak tahu
kejadian itu. Sementara kedua ABG, karena tak ada yang menolong,
pelan-pelan bangun, beringsut mendekat, lalu saling memeluk dan
menangis. Kisah Dua
Siang itu cerah. Langit biru dan awan putih. Di sisi kota yang lain,
tidak ada pohon-pohon berjajar dalam warna hijau yang lembut. Tidak ada
rumput bergoyang mengikuti angin. Hanya jalan yang tak begitu lebar di
area perkantoran. Jalan itu agak lengang. Ada lampu lalu lintas, lalu
dua mobil dan tiga motor berhenti di lampu lalu lintas itu.
Begitu lampu berubah dari merah ke hijau, ketiga motor langsung
tancap gas. Satu dari ketiga motor itu mungkin motor keluaran awal
1990-an. Bentuknya agak aneh. Berwarna merah pudar, jok robek-robek, dan
hanya tinggal satu kaca spion. Pengemudinya laki-laki berumur 30-an.
Agak gemuk. Berjaket dan bercelana jins dan bersandal jepit. Ia
mengenakan helm yang lebih tepat disebut topi proyek.
Motor itu melaju sekitar 50 meter. Lalu si pengemudi mendengar suara
keras di belakang. Seperti ada yang pecah atau copot, lalu suara
berderak-derak, dan motor itu melaju tersendat-sendat. Seketika si
pengemudi berpikir, jangan-jangan rantai motornya putus. Tiga minggu
lalu, waktu motor itu masuk bengkel, ia diingatkan untuk mengganti
rantai dan gir. Kondisinya sudah tak layak pakai, kata mekanik bengkel.
Harganya cukup mahal dan ia berpikir, untuk apa mengganti. Bukankah
lebih baik motor butut dan tak terurus itu dijual?
Motor itu masih melaju tersendat-sendat. Si pengemudi menginjak rem.
Lalu motor itu oleng ke kiri. Motor dan pengemudi terempas ke aspal yang
tidak mulus. Si pengemudi jatuh dengan keras, tapi tidak sekeras
seperti pada Kisah Satu. Ia berguling-guling. Helmnya copot. Sandal
jepitnya copot. Ia menaruh kedua lengan di depan wajah, seperti petinju.
Mungkin maksudnya melindungi kepala. Dan ia berguling sampai beberapa
meter.
Si pengemudi menengok ke belakang.Tidak
ada apa-apa di belakangnya. Berarti ia tidak ditubruk oleh mobil atau
motor lain. Kedua sikunya luka, karena lengan jaket sengaja ditarik
sampai melewati siku. Kepalanya pusing, mungkin terantuk-antuk aspal.
Dengkul dan kakinya sakit. Tapi yang lebih sakit adalah harga dirinya.
Lalu si pengemudi memilih menggeletak di aspal. Sampai beberapa orang
berlari mendekat. Dua orang menuntun motornya ke tepi. Tiga orang
mengangkat tubuhnya ke trotoar. Kisah Tiga
Siang itu cerah. Langit biru dan awan putih. Pohon-pohon berjajar,
dalam jarak yang longgar. Berdaun jarang dan dalam warna hijau yang
kusam. Tak ada rumput bergoyang mengikuti angin. Hanya sejumput-sejumput
yang muncul dari celah kanstin atau trotoar. Jalan di area pertokoan
itu tidak lebar, tapi cukup untuk dua mobil. Pada Minggu siang itu, arus
di jalan itu macet total.
Seorang pengemudi motor mengumpat-ngumpat. Ia merasa terjebak. Kota
berengsek ini dari hari ke hari makin parah, katanya. Dulu hanya arus di
sedikit jalan yang macet pada hari Minggu. Sekarang hanya sedikit jalan
yang arusnya tidak macet pada hari Minggu. Padahal ia memakai jaket
hitam, sarung tangan hitam, celana panjang hitam, sepatu hitam. Lalu
helm hitam yang menutup seluruh kepala. Umurnya tidak bisa diketahui,
karena ia memakai helm yang menutup seluruh kepala.
Tapi si pengemudi motor masih bersyukur. Jalan itu memang hanya cukup
untuk dua mobil. Tapi ada celah 60 sampai 80 sentimeter di antara
mobil-mobil atau mobil dengan trotoar. Jadi ia bisa berkelok-kelok
melewati celah itu, mengekor beberapa motor di depannya.
Ia berkelok-kelok sampai beberapa puluh meter. Lalu di satu celah
yang agak sempit, ia menarik gas. Menurut perhitungannya, ia bisa masuk
dengan menyisakan sekian sentimeter dari sedan di depannya. Tapi
perhitungannya meleset. Atau, mungkin karena tubuhnya bergoyang waktu
menarik gas. Kemudi motor menyenggol keras pintu belakang sedan. Ia
terempas ke kiri. Cukup keras, tapi tak sekeras seperti pada Kisah Satu
dan Kisah Dua. Pinggang si pengemudi motor menghantam kanstin trotoar.
Celaka, pikirnya, setelah melihat logo di bumper sedan. BMW seri
terbaru, dengan plat nomor putih! Si pengemudi motor berpikir cepat. Ia
lalu berkelojot-kelojot di trotoar sambil memegangi pinggang.
Beberapa orang berlari mendekat. BMW seri terbaru itu masih melaju sekitar tiga meter, sebelum seseorang menggebuk bagasinya.
Seorang laki-laki paruh baya keluar dari pintu kemudi. Tubuhnya besar-tegap, rambutnya cepak, dan ia berpakaian safari.
“Hei, elu! Ngapain elu mukul-mukul mobil gue?”
“Tanggung jawab dong, Pak!”
“Tanggung jawab apaan? Elu bisa lihat kagak? Itu motor yang nyenggol mobil gue! Lihat tuh, pintu belakang sampai lecet. Hei, bangsat! Bangun elu!Kagak usah pura-pura. Gue tahu elu kagak apa-apa!” Kisah Empat
Sebelum itu, pukul sembilan pagi. Langit biru dan awan putih.
Pohon-pohon berjajar, dalam warna hijau yang lembut. Rumput di tepi
jalan bergoyang mengikuti angin. Di kompleks perumahan yang sama seperti
pada Kisah Satu, orang-orang tumpah ke jalan utama. Sebagian orang
bersepeda. Banyak yang lari-lari pagi. Sebagian lagi duduk-duduk di
pembatas jalan, yang ditumbuhi rumput dan pepohonan.
Sebagai kompleks perumahan yang tergolong baru, banyak tanah kosong
terlihat ditumbuhi ilalang. Penghuninya tidak banyak, meski seluruh unit
rumah yang dibangun sudah terjual. Pihak pengembang juga sudah
melengkapi dengan prasarana dan sarana. Ada jalan utama dua arah yang
lebar, dengan pembatas jalan berupa taman. Ada deretan ruko, lalu
trotoar lengkap dengan pepohonan.
Mungkin karena kondisi itu, penduduk sekitar memanfaatkannya sebagai
tempat rekreasi. Tiap hari Minggu, banyak orang tumpah-ruah ke jalan
utama. Pihak pengelola akhirnya membiarkan. Mungkin mereka berpikir
lebih baik begitu daripada kompleks perumahan itu terlihat lengang.
Mereka bahkan meminjamkan tanah kosong pada penduduk yang mau membuka
warung atau menjual keperluan taman. Mungkin pihak pengelola berpikir
lebih baik begitu daripada mengeluarkan uang untuk merawat tanah kosong.
Asalkan dengan perjanjian tertulis: tak boleh mendirikan bangunan
permanen dan siap dikembalikan kapan saja jika diminta.
Pagi itu laki-laki berumur 30-an dari Kisah Dua, dengan motor
bututnya, keluar dari salah satu gang. Laki-laki dari Kisah Tiga, yang
berpakaian serbahitam, melaju dengan motor di jalan utama.
Pagi itu seorang ibu berbadan gemuk, umur akhir 40-an, berjalan
dengan anak perempuannya di tepi pembatas jalan. Mereka memakai kaus dan
celana pendek berwarna mencolok. Mereka baru saja lari-lari pagi.
Sekarang mereka mau mampir ke pedagang bubur yang hanya berjualan setiap
hari Minggu.
Dari arah belakang si ibu gemuk dan anak perempuannya, dua motor
melaju agak kencang. Dua pasang ABG, laki-laki dan perempuan, bercanda
di atas dua motor itu. Tak ada yang memakai helm. Mereka tertawa-tawa.
Lalu motor pertama tak sengaja menyenggol motor kedua. Lalu motor kedua
oleng ke kanan, ke arah si ibu gemuk dan anak perempuannya. ABG
laki-laki di belakang kemudi berteriak kaget. Ia menginjak rem.
Terlambat! Ia menarik kemudi ke kiri, tapi tetap menyenggol si ibu
gemuk. Si ibu gemuk berputar seperti gasing, dan jatuh dengan pantat
lebih dulu. Cukup keras, tapi tak sekeras seperti pada Kisah Tiga. Motor
kedua masih melaju beberapa meter sebelum terguling di aspal. Dua ABG
itu, laki-laki dan perempuan, terpental. Cukup keras, lebih keras
daripada Kisah Ketiga. Tapi tak sekeras Kisah Satu dan Kisah Dua.
Si ibu gemuk merasa pantatnya sangat sakit. Kepalanya mendadak
pusing. Tapi begitu melihat motor dan dua ABG yang terpental, ia
berpikir, pasti ia disenggol dari belakang. Ia lalu rebah di jalan
aspal.
Dua ABG itu, laki-laki dan perempuan, bergegas berdiri. Lalu berlari
ke arah si ibu gemuk. Sementara anak perempuan si ibu gemuk berlutut. Ia
mulai menjerit dan meraung.
Sungguh, pemandangan yang dramatis! (44)
– Wendoko menulis puisi dan cerita. Ia telah menerbitkan beberapa buku puisi, antara lain Jazz! (2012) dan Catatan si Pemabuk (2014). Novelnya Cerita tentang Tuan Kecil dan (Sedikit) tentang Tuan Besar (2017).
Cerpen Siti Siamah (Pikiran Rakyat, 10 Desember 2017) Di Bawah Pohon ilustrasi Mawar Diah Pratiwi/Pikiran Rakyat
POHON beringin yang berdiri di tengah kampung pelosok itu, tepatnya
di pojok perempatan jalan itu, umurnya memang sudah cukup tua. Menurut
penuturan Kakek Joyo, warga tertua yang umurnya sudah 80 tahun, ketika
ia masih kecil pohon beringin itu sudah besar dan tingginya sama dengan
tiang listrik.
KINI, pohon beringin itu menjadi satu-satunya pohon terbesar,
tertinggi dan tertua di kampung itu. Kini, pohon beringin itu besarnya
hampir dua depa orang dewasa, dan tingginya sekitar 15 meter. Banyak
orang yang percaya bahwa di dalam pohon beringin itu ada kekuatan gaib
yang luar biasa. Kekuatan gaib itu akan mampu membunuh setiap orang yang
punya niat menebang pohon beringin itu.
Misalnya, jika ada warga di kampung itu yang berniat menebang atau
sekadar punya keinginan melihat pohon beringin itu roboh, maka ia akan
kualat, langsung jatuh sakit. Sialnya, jika ia sudah jatuh sakit, tidak
akan ada obat yang bisa menyembuhkannya, juga tidak bisa mati, kecuali
jika ia bersedia menyembah dan meminta maaf kepada pohon beringin itu.
Dengan demikian, jika ada orang yang jatuh sakit gara-gara pernah punya
niat menebang atau melihat pohon beringin itu roboh, pasti ia akan mati
setelah menyembah pohon beringin itu.
Karena itu, setiap warga di kampung itu akan cepat-cepat
memperingatkan anak- anaknya sedini mungkin, jangan sampai suatu ketika
punya niat atau keinginan menebang atau melihat pohon beringin itu
roboh.
Memang, warga di kampung itu sudah mengenal agama, dan sudah punya
tempat ibadah, bahkan di antaranya sangat tekun beribadah sesuai dengan
agamanya. Tapi mereka tetap percaya bahwa di dalam pohon beringin itu
ada kekuatan gaib. Bahkan, pemuka-pemuka agama di kampung itu juga suka
memberi nasihat kepada warga agar melestarikan pohon beringin itu.
“Tuhan telah menciptakan alam semesta ini, termasuk pohon beringin
itu, yang harus kita lestarikan. Agama melarang kita merusak alam
semesta. Bahkan, Tuhan akan mengutuk orang yang membuat kerusakan bagi
alam semesta ini,” tutur pemuka-pemuka agama ketika sedang berceramah.
Penuturan pemuka-pemuka agama itu kemudian diterjemahkan
sendiri-sendiri oleh masing-masing warga. Bahwa Tuhan mungkin telah
membekali pohon beringin itu dengan sebuah kekuatan gaib yang luar
biasa, yang bisa bikin kualat bagi siapa pun yang berniat menebang atau
berkeinginan melihat pohon beringin itu roboh.
Begitulah. Kepercayaan bahwa di dalam pohon beringin itu ada kekuatan
gaib yang luar biasa selalu dianggap logis dan sesuai dengan ajaran
agama. Maka, jika ada warga desa yang menyembah pohon beringin itu untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, juga dianggap logis dan
dianggap sama dengan sembahyang kepada Tuhan.
Misalnya, jika ingin kaya, ingin sehat, ingin selalu rukun
berkeluarga, banyak warga yang menyembah pohon beringin itu dengan sikap
santun, mirip adegan rakyat yang sedang menghadap rajanya di masa
silam. Bahkan, agar keinginannya segera terkabul, banyak warga yang
hendak menyembah pohon beringin itu membawa sebungkus bunga dan senampan
kue dan buah-buahan untuk sesajian, yang biasanya diletakkan di bawah
pohon beringin itu. Tak ada seorang pun yang berani mengambil sesajian
itu, kecuali warga desa yang tidak waras, seperti Kang Jupri.
Kang Jupri memang tidak waras, alias edan. Ia sakit ingatan sejak
kecil, dan sering berjaian-jalan tanpa tujuan, dan kadang datang
mengambil sesajian yang ada di bawah pohon beringin itu. Laki-laki
bujangan berusia sekitar 40 tahun ini hidup sebatang kara, kedua
orangtuanya sudah wafat dan tidak punya sanak saudara. Rambutnya panjang
menggimbal. Tubuhnya kurus dan dekil karena tak pernah mandi,
pakaiannya sangat kumal dan compang-camping karena tak pernah diganti.
Bahkan, Kang Jupri sering juga tidur-tiduran di bawah pohon beringin
itu sehabis menyantap sesajian yang ada. Yang sangat kurang ajar, ia
juga sering kencing di bawah pohon beringin itu. Dan anehnya, ia tetap
sehat-sehat saja, bahkan nyaris tidak pernah jatuh sakit.
Sejak orde baru tumbang, Kang Jupri setiap hari selalu datang di
bawah pohon beringin itu. Dan ia akan tidur-tiduran sepanjang hari, lalu
kencing sambil bicara sendiri dan tertawa cekikikan, lantas
meludah-ludah ke arah batang pohon beringin itu. Bahkan, ia juga kadang
berak di bawah pohon beringin itu, jika kebetulan sedang diare atau
kebelet.
Dan karena Kang Jupri selalu berada di bawah pohon beringin itu
sepanjang hari, maka warga desa berdatangan pada malam hari jika ingin
menyembah pohon beringin itu dan membawa sesajian. Padahal, suasana di
bawah pohon beringin di malam hari itu agak gelap. Maka, ada-ada saja
warga yang datang ingin menyembah pohon beringin itu yang menginjak
kotoran Kang Jupri.
Suatu malam, ada warga yang datang ingin menyembah pohon beringin itu
dan membawa sesajian, tapi sial karena kakinya menginjak kotoran Kang
Jupri yang berceceran. Warga yang sial itu sepontan memaki-maki. Dan
setelah pulang ke rumah, langsung jatuh sakit, sekujur tubuhnya demam
dan muntah berak, kemudian esoknya meninggal dunia.
Kematian warga yang sial itu, langsung dianggap sebagai bentuk
peringatan bagi warga yang lain, agar jangan sekali-sekali memaki-maki
di bawah pohon beringin itu. Bahkan, muncul kepercayaan baru: Siapa yang
memaki-maki atau menghina Kang Jupri, akan kualat, karena Kang Jupri
dilindungi oleh kekuatan gaib yang luar biasa yang ada di dalam pohon
beringin itu.
“Kalau Kang Jupri tidak dilindungi oleh kekuatan gaib yang ada di
dalam pohon beringin itu, pasti dia sudah mati, karena sering kencing
dan berak di bawah pohon beringin itu,” ujar banyak warga.
Namun, dasar tidak waras, Kang Jupri semakin kurang ajar. Suatu
malam, ia berak di bawah pohon beringin itu. Dan ketika ada warga yang
datang untuk menyembah pohon beringin itu, langsung disuruh untuk
menyantap kotorannya. Warga yang sial itu tidak berani menolak.
Dengan menahan jijik, terpaksa menyantap kotoran Kang Jupri. Lalu
muntah-muntah, dan berlari pulang ke rumahnya. Dan setibanya di rumah,
lang-sung jatuh sakit, demam tinggi dan muntah berak, lalu esoknya
menghembuskan napas terakhir.
Kematian warga yang habis menyantap kotoran Kang Jupri itu, langsung
dipercaya sebagai sebuah bentuk kutukan. Lebih jelasnya, bagi siapa saja
yang kebetulan berada di bawah pohon beringin itu, dan disuruh oleh
Kang Jupri untuk menyantap kotorannya, harus bersedia melakukannya
dengan setulus hati, jangan sampai muntah-muntah, agar tidak kualat.
Dan dasar tidak waras, pada suatu malam Kang Jupri tiba-tiba
berteriak-teriak di bawah pohon beringin itu, memanggil-manggil semua
warga kampung itu untuk segera datang menyembahnya dan kemudian
menyantap kotorannya.
“Wahai semua warga yang mendengar suaraku! Cepat datang ke sini!
Sembahlah aku, dan kemudian santaplah kotoranku yang berceceran ini!”
teriak Kang Jupri sambil berdiri dengan punggung bersandaran di batang
pohon beringin itu.
Mula-mula hanya beberapa warga terdekat yang mendengar teriakan Kang Jupri itu. Lalu mereka saling berbisik.
“Waduh, bagaimana ini? Kang Jupri mengundang kita. Dia meminta kita untuk menyembahnya dan menyantap kotorannya”
“Ya, bagaimana, ya? Mana mungkin kita menyembahnya, apalagi menyantap kotorannya?”
Mereka kemudian didera perasaan bingung, takut, dan jijik. Lalu mereka muntah-muntah, pusing-pusing dan kemudian jatuh sakit.
Kang Jupri terus berteriak-teriak. Maka semakin banyak warga yang
mendengarnya. Dan semakin banyak warga yang bingung, takut; dan jijik,
lalu muntah-muntah, pusing, lemas, dan akhirnya jatuh sakit
Karena banyak warga yang jatuh sakit, gara-gara tidak bersedia
menyembah Kang Jupri dan menyantap kotorannya, kemudian beberapa warga
lain yang baru saja mendengar teriakan Kang Jupri segera
berbondong-bondong mendatangi pohon beringin itu dan langsung menyembah
Kang Jupri dan menyantap kotorannya. Mereka memilih patuh kepada Kang
Jupri daripada jatuh sakit. Tapi, mereka adalah orang-orang normal, yang
memiliki perasaan jijik ketika menyantap kotoran. Maka, mereka langsung
muntah-muntah begitu menelan kotoran Kang Jupri yang berceceran itu.
Lalu mereka pulang ke rumah masing-masing dengan kepala pusing, lantas
muntah berak sebelum kemudian lemas dan jatuh sakit.
Kang Jupri semakin lantang berteriak-teriak memanggil-manggil semua
warga untuk segera datang menyembahnya dan menyantap kotorannya. Dan
karena sudah banyak warga yang menentang maupun yang patuh kepada Kang
Jupri sama-sama jatuh sakit, sejumlah warga yang lain memilih untuk
bersikap menolak. Mereka mencoba bersikap rasional. Mereka mengungkapkan
isi hatinya masing-masing.
“Kita harus menolak panggilan Kang Jupri! Dia itu gila! Bagaimana mungkin kita-kita yang normal ini rela ikut-ikutan gila?!”
“Setuju! Kita jangan bersedia menyembah orang gila itu! Kita jangan sampai menyekutukan Tuhan!”
“Kalau cuma menyembah orang gila itu, rasanya oke-oke saja. Tapi
kalau disuruh menyantap kotorannya, waduh, siapa yang tidak jijik?”
“Ya, siapa yang tidak jijik?”
“Ya, jelas sangat menjijikkan, dong!”
“Tapi kita harus ingat, menyekutukan Tuhan itu juga sebenarnya sangat
nista, amat sangat menjijikkan dan menakutkan, karena dosanya tidak
akan terampuni, dan di akhirat nanti akan menerima hukuman yang sangat
berat, dibakar di neraka jahanam selamanya!”
Kang Jupri terus menerus berteriak memanggil-manggil warga untuk
segera datang menyembahnya dan menyantap kotorannya. Semakin malam,
teriakan Kang Jupri semakin nyaring terdengar, sampai jauh. Pak lurah
mendengarnya. Pak Carik juga mendengarnya. Pak RW, Pak RT, Pak Kadus,
dan para hansip, semuanya mendengar teriakan itu. Tapi mereka memilih
untuk tetap berada di dalam rumah masing- masing. Mereka tidak mau
peduli. Mereka tahu, sejak dulu Kang Jupri memang tidak waras. Mereka
tidak tahu, betapa sudah banyak warga yang menjadi korban.
Dan pagi itu, di dalam kamarnya masing-masing, Pak Lurah dan para
pamong serta para hansip masih berbaring berdekapan dengan sang istri,
sambil mendengarkan teriakan-teriakan Kang Jupri yang semakin lantang
dan nyaring, seolah-olah dilansir oleh pengeras suara di pucuk tiang
bambu yang tinggi. Begitu jelas terdengar. Begitu menggoda. Dan karena
tergoda, mereka pun keluar rumah, bersama istri masing-masing, dan
bergegas mendatangi pohon beringin itu.
Kang Jupri tertawa cekikikan, ketika melihat Pak Lurah dan semua
pamong serta para hansip bersama istri masing-masing berbondong-bondong
mendatanginya.
“Ayo cepat sembahlah pohon ini dan diriku. Dan ayo santaplah
kotoranku!” teriak Kang Jupri sambil berdiri bersandaran di batang pohon
beringin itu.
Tanpa banyak pikír dan bicara, Pak Lurah dan rombongannya segera
menyembah pohon beringin dan menyembah Kang Jupri, lalu menyantap
kotoran yang berceceran di sekitarnya. Mereka tidak peduli disaksikan
oleh ratusan warga yang terheran-heran. Mereka tampak khusyuk menyembah
pohon beringin dan menyembah Kang Jupri, dan asyik menyantap kotoran.
Tak ada tanda-tanda rasa jijik atau rasa malu tersirat di wajah mereka.
Seorang gadis kecil berseragam taman kanak-kanak, yang berdiri di
depan ibunya, di tengah kerumunan warga yang menyaksikan pemandangan
aneh di bawah pohon beringin itu, tiba-tiba tertawa- tawa dan
berkomentar: “Hi hi hi hi, lucunya, pohon kok disembah-sembah!”
Mendengar komentar gadis kecil itu, semua orang tersentak kaget seperti sedang terbangun dari mimpi buruk. ***
Oleh Julia Hartini (Pikiran Rakyat, 10 Desember 2017) Pedestrian ilustrasi Google
PERBAIKAN trotoar di beberapa kota besar sedang digalakkan pemerintah
daerah, termasuk di ibu kota. Di wilayah ini, beberapa trotoar yang tak
ramah bagi penyandang disabilitas dibongkar. Selain itu, jalur pejalan
kaki diperlebar. Bahkan, pohon-pohon akan dipindahkan sehingga siapa pun
yang memakai kursi roda tak mengalami hambatan. Pengerjaan itu pun
direncanakan selesai total tahun depan.
Beberapa bulan lalu, saya berjalan di daerah Blok M, Jakarta Selatan,
kemudian melihat aktivitas para pekerja yang membongkar trotoar. Adanya
proyek tersebut membuat laju kendaraan semakin tersendat. Saya pun
sebagai pedestrian harus rela melangkah di badan jalan lalu berlomba
dengan laju kendaraan. Tak pelak, suara klakson yang memekakkan telinga
meminta saya untuk ke pinggir. Meskipun kesal, saya harus melakukan itu.
Perjalanan saya untuk sampai di tujuan jelas terganggu. Kendati
demikian, tak ada yang bisa disalahkan. Baik saya maupun pengendara
memang harus berbagi. Di tengah rasa kesal itu, rupanya ada kelucuan
yang mungkin tak semua orang sadar akan hal tersebut.
Di sekitar lokasi pengerjaan perbaikan trotoar terdapat tulisan penataan pedestrian DKI Jakarta. Saya lalu bergumam, apakah pemerintah daerah sedang menata pejalan kaki atau jalur pejalan kaki? Mungkin juga dua-duanya.
Meskipun demikian, tetap ada yangjanggal dalam kata-kata tersebut. Mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan edisi kelima, pe.des.tri.an/pedestrian/n
pejalan kaki: jalan khusus – memang dibuat bersusun dua. Oleh karena
itu, pemberitahuan yang dikeluarkan pembuat proyek di spanduk tersebut
tampaknya keliru. Sebab, yang sedang ditata saat itu adalah fasilitas
fisik, yakni trotoar. Secara logika pun, apakah pemerintah sedang
membangun pejalan kaki?
Oleh karena itu, diperlukan kata tambahan sebelum kata pedestrian, yakni jalur. Ja.lur
1 n kolom yang lurus; garis lebar; setrip lebar, n ruang di antara dua
garis pada permukaan yang luas, n ruang memanjang di antara dua deret
tanaman. Dengan begitu, jalur pedestrian bisa diartikan sebagai ruang
yang memanjang bagi pejalan kaki.
Dengan adanya kelucuan yang tidak disengaja ini, mari kita
#bijak-berbahasa. Tujuannya, kekeliruan tidak menjangkiti para
pedestrian yang sebentar lagi memiliki jalur pedestrian yang lebih bagus
dan manusiawi. ***
Cerpen Sri Wintala Achmad (Kedaulatan Rakyat, 10 Desember 2017) Cermin ilustrasi Joko Santoso – Kedaulatan RakyatDi tepi sungai puncak bukit yang menggemericikkan
air, Kaka menyaksikan sebongkah batu besar. Tempat sewaktu kanak, ia
mencuci seember pakaian yang kotor dan menyeruakkan bau keringat. Tempat
ia duduk bersama Arif pacarnya yang urung menjadi suaminya.
Kaka melelehkan air mata di pipi yang tembem seputih besusu. Kepada
Arif yang sekarang entah di mana, ia semakin membencinya. Terlebih
ketika mengingat rumah tangganya dengan Misbah serupa kapal menghantam
karang. Hancur berpuingan sebelum sampai di pelabuhan. Perkawinan yang
berujung di kantor pengadilan agama sesudah Kaka tak ingin terikat
dengan aturan suaminya.
Seusai mengusap air mata dengan punggung telapak tangan, Kaka kembali
menyaksikan batu di tengah sungai. Batu yang tak pernah bergeming,
sungguhpun berulangkali dihantam banjir besar. Batu yang serasa memberi
sindiran kalau jiwanya serupa selembar daun kering sesudah bercerai
dengan Misbah. Nasibnya serasa terbawa arus sungai tanpa tujuan, sebelum
membusuk dan tamat riwayatnya.
Kaka menghela napas. Sekian detik, napasnya serasa terhenti. Degup
jantungnya berdetak kencang, ketika pundaknya ditepuk seorang dari
belakang. Ia serasa terlempar ke negeri mimpi. Bagaimana tidak? Lelaki
yang menepuk pundaknya tak lain Arif. Lelaki yang dibencinya. “Enyah
kau! Aku tak mau lihat wajahmu. Aku pikir, kau sudah mati. Tertabrak
truk.”
“Jahat doamu, Ka.”
“Kutukanmu juga jahat.”
“Telah aku tarik kutukanku.” Arif meraih tangan Kaka, namun
ditolaknya dengan kasar. “Ketahuilah! Selama kau menikah dengan Misbah,
aku tetap membujang di pulau seberang. Aku pulang sesudah mendengar
kabar dari Mak Darsi ibumu, kau akan liburan sepekan di kampung. Aku
pulang hanya ingin meminangmu. Aku tetap mencintaimu.”
“Aku membencimu!” Serupa elang, Kaka menatap bengis pada Arif. “Enyah! Aku jijik melihatmu.”
“Aku akan pergi.” Arif mengarahkan pandangannya ke langit utara
dengan mendung mencurahkan garis-garis hitam ke bumi. “Hujan segera
turun. Kita harus segera pergi. Banjir besar akan tiba. Sangat bahaya
bila kita tetap berada di sini.”
Sesaat Kaka tak menghiraukan ucapan Arif. Namun seusai menangkap
suara gemuruh dari utara, ia mengikuti langkah Arif. Berlari sepanjang
jalan setapak. Selagi sampai di jalan beraspal, hujan turun teramat
deras. Serasa ditumpahkan dari langit. Sehabis-habis.
Bukan hanya Arif, Kaka pun berlari dengan napas terengah-engah.
Menjelang sampai di tikungan jalan, Kaka menjerit. Arif yang tengah
menengok ke belakang ke arah Kaka, tubuhnya tertabrak truk. Hancur tak
dapat dikenali lagi wajahnya. Kaka tak sadarkan diri. Tubuhnya terkapar
di jalan. Kuyup air hujan.
***
Sore sesudah Arif dikuburkan, Kaka siuman dari pingsan. Dari Darsi,
ia mendapat kabar kalau Arif telah dimakamkan. Bergegas ia ingin pergi
ke makam Arif, namun Darsi mencegahnya. Berita yang dikirim berantai
oleh warga lewat whatsapp, messenger, dan SMS; air sungai bawah tanah
meluap ke permukaan. Banjir menenggelamkan rumah-rumah di lembah bukit
itu.
Sekejap, Kaka tak tahu apa yang harus dilakukan. Pergi ke makam Arif
yang berarti menantang bahaya. Mengamankan diri di rumah, namun tak
dapat mengucapkan ‘selamat jalan’ pada lelaki yang dalam hati kecilnya
masih dicintainya. Sungguh, ia serupa dihadapkan pilihan simalakama.
“Sabar, Nduk!” hibur Darsi. “Arif telah damai di sisi-Nya!”
Kaka diam. Telinganya tak mendengarkan kata-kata Darsi. Ia hanya
mendengar jeritan hatinya yang kehilangan Arif. Lelaki yang mulai
dicintai ketika pergi untuk selamanya. Lelaki setia yang cintanya
disia-siakan semasih menghirup napas, mendetakkan jantungnya. Kaka
menumpahkan air mata. Lebih deras dari hujan semalam.
***
Tanpa sepengetahuan Darsi, Kaka meninggalkan rumah seusai matahari
menampakkan utuh sosoknya di langit timur. Berjalan gontai menuju makam
di lembah pinggir desa, di mana Arif dimakamkan. Setiba di tujuan, ia
tak percaya. Lembah di mana makam itu berada menyerupai danau.
Tekad sudah bulat. Kaka ingin terjun ke lembah yang berubah menjadi
danau itu. Sebelum keinginannya terpenuhi, tubuhnya ditarik dari
belakang. Ia terjatuh. Menimpa tubuh seorang lelaki yang kemudian
memeluknya erat-erat. “Lepaskan aku! Aku ingin hidup damai di surga
bersama kekasihku.”
“Ia bukan kekasihmu. Aku kekasihmu.”
Kaka memalingkan wajahnya ke belakang hingga melihat wajah lelaki
itu. Di matanya, wajah lelaki itu sekilas menyerupai Misbah. Sekilas
menyerupai Arif. “Siapa kau?”
“Kekasih pada kehidupan sunyimu.” Lelaki itu bangkit. “Pulanglah! Aku tunggu di kamar pribadimu.”
Sebelum Kaka melontarkan sepatah kata, bayangan lelaki itu lenyap di
balik tikungan jalan. Tanpa seizin Darsi, Kaka meninggalkan kampungnya
yang semakin dikepung banjir. Setiba di rumah, ia bergegas memasuki
kamar pribadinya. Tak ia lihat lelaki itu. Hanya bayangannya yang tampak
di cermin meja rias. Keakuan dan kebebasannya. Jauh berjarak dari
sentuhan cinta. n-e
Cilacap, 5 Oktober 2017
*) Cerita ini terinspirasi dari peristiwa banjir bandang di Gunungkidul.
Sri Wintala Achmad, menulis karya sastra
dengan bahasa Inggris, Indonesia dan Jawa. Tinggal di Cilacap Utara,
Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia.