Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
“Bila nanti sesuatu yang membuatmu merana datang ke hidupmu, hadapi
saja. Sudah jadi takdirmu. Kamu anakku. Kecuali kamu menyesali kenyataan
kalau aku ini bapakmu.” (hlm. 228)
“Aku merasa seperti air di dalam gelas yang tidak tepat. Bukan
gelasnya yang salah. Tapi aku, si air, yang seharusnya tidak menempati
gelas itu.” (hlm. 119)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Cokelat hangat akan membuatmu lebih baik. (hlm. 99)
Kalau kita punya banyak teman, keluarga, mungkin hidup kita tidak seburuk ini. (hlm. 110)
Adakalanya berinteraksi dengan orang lain tidak terasa begitu buruk. (hlm. 152)
Katakan apa yang mau dikatakan. (hlm. 225)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
Sarjana saja susah mencari kerja, apalagi belum tamat SMP. (hlm. 17)
Jangan jadi orang alim, kamu akan susah jadi orang kaya. (hlm. 18)
Kawin sama orang juga tidak lantas membuatmu bahagia. (hlm. 18)
Apa mengeluarkan rokok dari tempatnya, sama artinya dengan membakar rokok itu? (hlm. 77)
Pakai HP itu. Kamu bukan mahluk antisocial. (hlm. 88)
Minuman beralkohol tidak bagus diminum oleh anak di bawah umur. (hlm. 108)
Apakah semua kakak-beradik di dunia ini pernah mengalami hal yang namanya tidak akur? (hlm. 112)
Jangan kebanyakan melamun. Tidak akan memberimu solusi. (hlm. 119)
Cerpen K.Y. Karnanta (Jawa Pos, 12 November 2017) Madah ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosRUMAH kami rumah kenangan, gerimis doa alun senada. Rumah kami selembar bulan, duaja merah rindu berada.
Begitulah madah itu diajarkan, dilagukan, turun temurun, oleh setiap
penghuni rumah ini. Siapa pun akan mendengarnya di kala subuh saat
cahaya matahari belum utuh, saat pendaran lampu-lampu belum genap di
matikan. Juga di ambang magrib saat angin terasa gaib oleh senja yang
berangsur raib.
Kadang kami melagukannya bersama, kadang sendiri, hingga kami merasa
bahkan dalam diam sekalipun kami sesungguhnya melagukan madah itu. Dalam
hati, tentu saja, hati yang tak pernah berbunyi namun senantiasa
merasai betapa kami tinggal dalam kenangan tentang hujan dan doa,
merindui selembar duaja merah bergambar bulan yang menghilang.
Jika di sudut langit bulan melingkar genap benderang, kami akan duduk
di halaman, melagukan madah itu bersama-sama para tetua desa. Ayah akan
mengenakan baju lurik bergaris hitam kebiruan, menyalakan damar,
sembari memetik sitar yang di hari-hari biasa tersimpan di sebidang
makam keluarga kami yang terletak sehari perjalanan ditempuh dengan
kaki. Ibu akan mengenakan kebaya merah muda yang lusuh juga tua.
Sementara aku dan kedua adikku duduk bersila sembari terus berlagu,
menghidupkan setiap kata dalam syair madah itu sesuai pikiran dan
perasaan kami sendiri.
Sesungguhnya kami, aku dan adikku Damar telah jenuh dan muak dengan
kebiasaan di rumah kami, madah yang tak pernah kami mengerti berkisah
tentang apa dan untuk apa, kisah selembar duaja bergambar bulan dan
rumah impian yang tak pernah kami lihat namun kami harus percaya memang
demikian adanya. Tapi kami segan menanyakan siapakah pencipta madah itu,
atau mengapa kami harus melagukannya. Sebab setiap kali bertanya kepada
ayah dan ibu, atau mereka yang kami anggap tua, selalu dijawab dengan
air mata–air mata yang kubayangkan kadang berulir bening, terkadang
merah menyala, dan tak jarang hitam menjelaga.
Jika kami bertanya dengan sedikit nada mendesak, mereka tak hanya
berurai air mata, namun juga akan terisak-isak hingga sekujur tubuh kami
tak kuasa menahan ngeri dan sesak tak terperi, mendapati betapa suatu
pertanyaan ternyata bisa begitu tajam mendalam mengiris hati yang, kami
duga, telah lama memar dan mengidap suatu perih yang selalu tak mampu
kami mengerti.
Dua hari lagi purnama tiba. Aku dan Damar selalu mendapat tugas untuk
mengambil sitar dan kebaya di makam leluhur kami. Maka, sebelum
matahari berangsur tinggi, kami segera pergi, dengan membawa sebakul
kembang, kendi, dan sebilah parang kalau-kalau kami menjumpai hewan
buas.
“Apakah ini kutukan?”
Kubalas pertanyaan adikku dengan lirikan, sambil terus berjalan.
Bukan sekali ini Damar bertanya, dan selalu kujawab dengan diam. Saat
seusianya dulu aku pun tak henti mempertanyakan hal itu kepada ayah,
bahkan dengan nada dan cara yang lebih keras, setiap kali ayah
mengajakku menempuh jalan setapak di hutan jati yang tandus ini demi
mengambil sitar dan duaja. Ingatanku akan suatu peristiwa terbangun
sepanjang perjalanan, terusik oleh pertanyaan Damar tadi.
“Ayah, kenapa tidak kita simpan saja duaja dan sitar itu di rumah?”
tanyaku saat itu. Ayah hanya menoleh sekilas, lalu menghentikan langkah.
“Lam, lihat ini. Ini tahi macan. Tapi bukan macan loreng, Lam, ini macan tutul. Atau gogor ya?
Hmm…” Ayah melirikku, seakan memancing rasa penasaranku. Biasanya aku
selalu tertarik dengan cerita ayah tentang macan yang memang sudah lama
sekali tidak terlihat di desa ini. Namun saat itu aku tak peduli.
“Besok aku tak mau ikut ayah ke makam lagi,” ujarku sambil melangkah gegas.
Ayah segera menyusul dan menawarkan air kendi.
“Minum dulu, Lam,” ujarnya. Lagi-lagi aku mengacuhkannya, mempercepat
langkah menuju cungkup makam yang terlihat tinggal beberapa jangkau di
depan.
Ayah langsung menuju pancuran air dekat sungai di pinggir makam,
membersihkan tangan dan kaki sembari membasuh muka. Kulihat jejak tapak
dan kotoran macan di sekeliling makam, selalu seperti itu. Anehnya, tak
pernah kudapati jejak atau kotoran macan di dalam makam, meski di
dalamnya ada gubuk dirundung pohonan beringin yang teramat besar yang
kukira sangat nyaman untuk berteduh.
Aku berdiri tak jauh dari ayah saat ia mendadak kaku, tubuhnya
bergetar, mendapati duaja merah bergambar bulan yang akan diambilnya tak
ada di tempatnya. Sitar dan kebaya ibu ada, namun duaja itu tak ada.
Ayah menoleh kepadaku, matanya awas menembusi relung penglihatanku.
Seketika tubuhku gemetaran. Ingin aku menunduk tapi tak mampu. Pandangan
ayah seakan memaku kepalaku. Napasku tersengal, terkejut, tak pernah
kulihat wajah ayah tiba-tiba berubah seperti seseorang yang tak pernah
kukenali.
Ayah meraung, menghampiri setiap sudut di gubuk dan cungkup-cungkup
makam. Duaja itu tak ada. Tetap tak ada. Setengah berlari ayah
menghampiri pohon asem, kepalanya mendongak seakan mengurai tiap ranting
dan rongga di dahannya. Ayah segera melompat, meraih baju kebaya dan
sitar, memeluknya seakan dua benda itu tak pernah ia lihat sebelumnya.
Saat itulah, pertama dalam hidupku, aku melihat seorang lelaki yang
teramat sabar dan tegar menitikkan air mata, meraung dan terisak-isak.
Air mata itu teramat sakit, hitam, pekat, seakan endap kesedihan
bertahun-tahun kini menemukan celahnya untuk mengalir. Ayah, sungguh tak pernah kukira dukamu bisa mengarus sekelam jelaga.
Kudapati kesadaranku kembali. Aku segera berlari menuju sungai.
“Lam, Galam.” Tak kuhirau panggilan ayah. Aku melesat ingin segera
tiba di tempat yang kutuju, tempat aku sengaja menyembunyikan duaja
merah itu beberapa hari yang lalu. Tanganku meraih seonggok batu,
berusaha menggesernya. Dadaku berdegupan. Bayangan wajah ayah, suara
isaknya, berdengungan di kepalaku, mengaliri urat-urat jariku yang
berkeras menggeser batu itu. Tak ada! Ah, tidak mungkin. Duaja itu ku
taruh di situ beberapa hari lalu. Kualihkan pandanganku ke sekitar,
tetap tak ada. Tak mungkin! Tak mungkin ada yang datang di hutan jati
sejauh ini, di sudut seterpencil ini.
Ayah hanya berdiri, diam melihatku. Tak ada keberanian sedikit pun
dalam diriku untuk menatap matanya. Hanya kulihat kakinya perlahan
bergerak ke arahku. Aku ingin berlari, sungguh ingin berlari. Tapi
sekujur tubuhku dihinggapi perasaan yang teramat ngilu menusuk dada
hingga tak ada yang mampu kugerakkan atau kudengar, kecuali napasku yang
tertatih dan perih. Yang kurasakan hanya jemari ayah mengusap kepalaku,
lalu memelukku dengan lembut dan amat dalam. Seakan suatu sesak
menjalar dari relung tubuh kini menggantung di kelopak mata. Aku
menangis sekuat-kuatnya. Sejadi-jadinya. Ayah, Ayah, betapa aku terhukum atas air matamu.
Sejak peristiwa itu tak sedikit pun aku bertanya perihal madah yang
kami lagukan, juga duaja merah, kebaya, sitar tua, dan segala yang
kukira akan mengundang air mata bagi ayah dan ibuku. Kuhalau segala
sangsi, sekian ragu, juga perih, setiap kali keluarga kami berlagu
menjemput purnama. Jika semua itu adalah kutukan, mungkin saja itu
benar, maka aku mesti menjalaninya. Kalaulah tidak, toh aku juga hidup
di dalamnya, tak bisa mengelak darinya.
Diam-diam aku akhirnya percaya bahwa ada beberapa hal dalam hidup
yang begitu saja melekati diri, seakan sepatu yang tak bisa terlepas ke
mana pun diri melangkah, dan bahkan kebal terhadap setajam apa pun
kesangsian. Dan air mata ayah barangkali telah menyucikanku dari segala
kesangsian itu. Rumah kami rumah kenangan, gerimis doa alun senada. Rumah kami selembar bulan, duaja merah rindu berada.
“Jadi benar ini kutukan?” Damar bertanya sekali lagi.
“Aku tidak mengatakan begitu,” sahutku.
“Tapi kamu melamun. Melamun berarti benar, Kang.”
Kulihat Damar. Wajahnya lugu dan teduh, meski tak dapat kuingkari
sepasang matanya yang baru lepas dari kanak-kanak itu makin tajam
menghunus rasa ingin tahu. Tapi aku selalu memilih menjawab
keingintahuannya dengan senyuman. Aku tak yakin dia bisa menerima
penjelasanku. Ah, mungkin juga bukan penjelasan. Keingintahuan dan
penafsiran sering melompat lebih jauh melampaui kenyataan. Maka,
kenyataan dan penjelasan bahwa air mata ayah yang menggenangi ingatan
kukurasa hanya akan semakin menyalakan rasa keingintahuan Damar yang
menyala-nyala.
Angin berhembus teramat kering. Tak ada bebunyian lain kecuali suara
ranting-ranting dan ranggas dedaunan jati yang bergesekan menutupi jalan
setapak menuju makam. Tinggal beberapa turunan lagi kami tiba. Damar
melagukan madah keluarga kami, dengan aneka nada yang dibuat-buat. Aku
tertawa. Damar ikut tertawa.
Aku baru akan menantang Damar beradu lari saat kusadari, baru saja
kusadari, betapa kami berdua telah melewati turunan jalan setapak ini
berkali-kali sejak tadi. Ya, aku yakin. Pohon jati yang tepat
bersebelahan dengan seonggok batu besar yang bentuknya menyerupai kepala
macan tempat aku menyembunyikan duaja merah yang kemudian hilang
bertahun-tahun lalu itu telah kami lewati.
Matahari telah miring hampir segaris dengan telinga. Tak mungkin, tak
mungkin kami menghabiskan waktu selama itu jika hanya untuk tiba di
bagian jalan ini, yang masih jauh dari makam. Mungkinkah lamunanku
tentang masa lalu tadi teramat membuai hingga tak menyadari jalan yang
kulalui? Dan Damar, apakah dia juga tidak menyadarinya?
Damar terdiam menatapku, tatapannya begitu ganjil, teramat aneh.
Mendadak kurasakan bulu kudukku berdiri. Bunyi gesekan ranting dan
pusaran angin hutan raib. Tapi ada semacam hawa dingin menerpa. Dengan
tangan setengah gemetar Damar menunjuk ke arah batu besar itu. Mata Da
mar begitu awas tajam menusuk satu titik. Astaga! Tidak mungkin!
Tiga ekor macan loreng berukuran hampir seperti anak kerbau, macan
yang selama ini hanya kudengar dari cerita-cerita ayah yang tak juga
kupahami itu, berjalan pelan mengelilingi kami berdua. Kupegang erat
tangan Damar. Kurasakan tubuhku seakan mengawang, hening, hingga bisa
kudengar bunyi napasku sendiri, juga napas Damar, gemetar seakan gentar
beradu getar dengan dengus tiga mahluk besar itu.
Jika benar apa yang dikisahkan para tetua desa, betapa macan tidak
memakan manusia, namun selalu melukai apa yang ia anggap membawa bahaya
di wilayahnya, maka sebentar lagi habislah kami berdua. Namun jika
seperti yang dikatakan ayah, macan tidak akan melukai tubuh yang
teraliri madah dan niscaya, maka apa yang bisa aku dan Damar lakukan
saat ini adalah diam, hanya menabuh gumam sekian doa dan madah dalam
dada: Rumah kami rumah kenangan, gerimis doa alun senada. Rumah kami selembar bulan, duaja merah rindu berada.
Hening. Diam. Kurasai denyut jantungku sendiri, sembari menahan kaki
yang mendadak terasa begitu lemah. Tiga macan itu menatapku. Napasnya
sesekali terengah. Angin terik mati suri. Desirannya tak kurasakan lagi.
Kulirik Damar. Pandangannya seakan tertumbuk pada satu titik, pandangan
yang tajam seperti yang biasa ia punyai. Genggamanku dilepasnya
perlahan. Ada hawa panas mendadak menguap di punggung hingga tengkuk. Brukk. Samar-samar kurasai kaki dan tubuhku ambruk.
Pandanganku hanya segaris tipis warna bebatuan tandus, mengabur jauh,
teramat jauh. Lirih kudengar suara erangan, dengkur, tapi aku, ah, aku
tak sanggup menerkanya.
***
WAKTU terbangun seakan beribu serangga berbisik di
telingaku. Langit gelap. Kurabai tubuhku, antara berharap dan tidak,
mencari kalau-kalau ada luka dan darah. Tidak ada. Bulan melingkar
genap. Ah, ya, jangan-jangan sudah dua malam setidaknya kami di sini.
Dibias bulan purnama, jalan setapak yang kulalui seperti bercak-bercak
hitam panjang pandangan. Samar-samar kulihat Damar, terduduk bersila
dengan parang bebercak darah.
“Ke mana perginya?”
Damar bergeming. Pakaiannya tampak bebercak merah. Ketika aku
bertanya apakah dia terluka, dia menjawab tidak sepatah kata.
Membayangkan tiga macan itu kembali, nyaliku bergidik. Kuraih tangan
Damar dan menariknya berjalan. Apakah kami masih harus mengambil sitar
dan kebaya merah itu?
Sesekali kubayangkan muka ayah dan para tetua yang kecut tersebab tak
ada kebaya, sitar, dan madah terlagu malam itu. Juga raut muka ibu yang
akan berderaian air mata mengenangkan kebaya merah yang tak jadi
dipakainya. Ayah dan Ibu, hanya kami berdua yang kau punya. Tidakkah
nyawa lebih berharga daripada madah dan selembar kebaya kusam seakan
rumah impian yang tak jelas ada?
Bulan bundar di langit masai, kami berjalan dengan langkah dan
pikiran gusar tak selesai. Dingin angin kami tak rasa, duri di semak
kami tak jera. Selepas jembatan bambu di depan rumah kami berada. Sayup
terdengar suara tabuhan dan madah nyaring terdengar. Ah, apa pula itu?
Dari jauh kami lihat damar menyala. Dua orang menabuh gendang, kukira
ayah salah satunya, sedangkan ibu menari, gerakannya teramat kuhapali.
Damar masih membisu. Ah, betapa dalam perjalanan kembali ini dia
hanya diam tak seperti jamaknya dia kerap bertanya. Semakin dekat
semakin lekat gambar yang kulihat: ayah mengenakan baju lurik bergaris
hitam kebiruan kebanggaannya sembari memetik sitar, ibu dengan baju
kebaya merah tua menari dengan duaja dikibar-kibarkan. Lalu dua orang di
belakangnya …ah mustahil!
Seakan suatu kekuatan mendekap lekat dadaku. Berdiri di sebelahku,
Damar terdiam. Tatapannya, juga tatapanku, menghujam sekerumunan
tubuh-tubuh yang sedang menari dengan purnama di ubun-ubun mereka. Ya,
tubuh-tubuh yang kami kenali, dengan duaja yang kami kira raib tak
kembali. Bahkan kini kami lihat tubuh kami sendiri turut berada di sana,
bermadah teramat sendu, teramat merdu, seakan besok kami akan bisu. Rumah kami rumah kenangan, gerimis doa alun senada. Rumah kami selembar bulan, duaja merah rindu berada. ***
Jatirogo, 2017
KUKUH YUDHA KARNANTA, staf pengajar Program Studi Magister Kajian Sastra dan Budaya FIB Universitas Airlangga Surabaya.
Ketika kamu adalah monster, semua orang akan memastikan sepanjang hidupmu adalah rangkaian terror. (hlm. 11)
“Kalau monster memang jahat, lalu kenapa kami yang dianggap
monster ini malah jadi objek penindasan? Sebenarnya yang monster itu
siapa?” (hlm. 33)
“Tidak ada buruknya menjadi monster. Monster bukan perkara
‘rupa’, bukan juga masalah terlahir ‘berbeda’. Tidak masalah menjadi
monster atau pahlawan, itu hanyalah sebutan. Tapi yang penting adalah
bagaimana menerima diri apa adanya. Menerima segala yang ada pada diri
seutuhnya. Menjadikannya anugerah.” (hlm. 304)
Cerpen Fajar Martha (Pikiran Rakyat, 12 November 2017) Perjalanan Kata-kata ilustrasi Alanwari Spasi/Pikiran Rakyat
HARI ini kejutan datang dari Dimas. Kekasihku itu minta ditemani
mencari hadiah untuk keponakannya. Seharusnya hal ini merupakan jenis
peristiwa biasa saja, tak bisa dianggap istimewa. Tapi kau harus
mengenal Dimas. Dia pria paling dingin dan angkuh seantero kota.
***
IA tak pemah berusaha mengakrabkan diri dengan siapa saja, bahkan
dengan ayah-ibuku. Baginya, interaksi cukup dijalankan seperlunya. Tak
perlu ada basa-basi, apalagi senyum palsu. Ia jenis manusia yang enggan
mengucap permisi saat meminta bantuan kepada orang untuk menunjukkan
arah jalan.
Saat memintaku untuk menjadi pacarnya saja, Dimas tidak mengucapkan
rayuan maut atau melakukan tindakan spesial. Biasa saja, layaknya
makanan dingin nan hambar di pesawat.
“Aku memperhatikan kamu memperhatikanku selama tiga bulan terakhir.
Aku juga tahu kamu belum punya pacar. Aku pikir itu alasan yang cukup
untuk kamu menjadi pacarku. Mau atau tidak?” itu saja yang dia katakan.
Tegas, kaku, tanpa mukadimah.
Jelas aku terkesiap saat dia minta ditemani membeli kado buat Belva,
yang akan berulang tahun yang ketiga esok lusa. Andai kami tidak berada
di tempat umum, ugh, sudah kuhujani ia dengan ciuman!
“Aku pikir kita bisa mencari hadiah buat Belva di mal, sayang.
Pilihannya banyak dan ada layanan membungkus kado, sehingga kita tidak
repot,” saranku.
“Kalau memang itu yang terbaik, marilah kita ke mal,” balasnya, sepatuh lembu.
Padahal ia menganggap mal sebagai altar kepalsuan dunia modern,
sehingga haram untuk dimasuki. Urusan menonton, contohnya, Dimas lebih
memilih mengajakku ke pusat-pusat kebudayaan Eropa. Menurut dia,
tempat-tempat itu menawarkan film-filmyang secara kualitas berlipat kali
lebih baik ketimbang yang disajikan di mal. Dia memang lelaki dingin
yang penuh sinisme.
Dimas tak tahu, selain merasa antusias (ini pertama kalinya kami ke
mal berdua!), ajakan ini membuatku mengeja kenangan tentang seseorang
dari masa yang jauh; sahabat yang sekalipun tak pernah kusentuh, yang
hanya dapat berbicara denganku dari jendela kamarnya di lantai dua.
Persahabatan kami terputus saat umurku menginjak enam belas, yang
cukup lama membuat hari-hari terasa kosong—meski hanya kurahasiakan
dalam hati. Ini memang persahabatan yang aneh, tetapi aku sangat
menyayanginya.
***
“SSST, kamu!”
Ana menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Merasa takut dan
curiga, gadis cilik kelas IV SD itu menundukkan lagi kepalanya. Ia juga
sernakin erat mencengkeram tali tas, semakin cepat melajukan langkahnya.
“Ssst, kamu! Sini, saya di atas.”
Setelah jelas terdengar suara itu berasal dari anak kecil, sepertinya, Ana memberanikan diri menengadah.
“Hai, saya sering memperhatikanmu dari sini. Boleh saya tahu siapa
namamu? Saya pengin punya teman. Saya Nova. Tetapi sayang, kita nggak
bisa salaman. Yang saya lihat di TV, orang-orang selalu bersalaman
ketika mereka berkenalan.”
Ana mematung, meski sempat dua kali mengarahkan matanya ke dalam gang, ia berharap untuk segera sampai di rumah.
“Kok kamu diam saja. Sumpah, saya nggak jahat. Kalau kamu nggak
percaya, tunggu sebentar. Jangan ke mana-mana, ini cuma sebentar.”
Ana rnematung. Ana terpukau. Kecantikan gadis ini sungguh
mengagumkan. Nova seperti berasal dari dunia yang lain, dunia yang jauh.
Ana membayangkan seperti dialah rupa Cinderella cilik. Setelah ia
mengangguk, Nova pun menghilang dari jendela.
“lni, saya punya banyak boneka buat kamu,” ujarnya setelah sejenak
menghilang. “Semuanya masih bagus, kok. Syaratnya kamu harus memberitahu
namamu dulu, gadis cantik.”
Itu boneka Barbie, pasti mahal sekali. Aku tidak cantik, kamu yang cantik.
“Nih, ayoo,” pinta Nova dengan sedikit merengek.
“Nama saya Ana. Senang bisa berkenalan denganmu, Nova.”
Pluk. Jatuhlah boneka itu ke hadapan Ana.
“Karnu baik sekali,” kata Ana setelah memungut Barbie bergaun ungu, “Kenapa, sih, kamu tidak turun saja?”
“Soal itu saya nggak bisa kasih jawabannya. Saya dilarang Mama, nggak boleh ke mana-mana. Kamu suka bonekanya?”
“lya, suka sekali. Kok Mamamu jahat?” Ana bertanya lagi. Ia telah
merasa nyaman berbincang dengan gadis ini. Kenyamanan yang membuatnya
sedikit berani.
“Husy! Jangan keras-keras. Saya mana tahu. Mama selalu bilang kalau
saya nggak perlu keluar rumah. Aduh, waktu saya tinggal sedikit.
Pokoknya, saya senang sekali bisa kenalan sama Ana.”
“lya, saya juga. Senang bisa kenal Nova.”
***
SEORANG anak selalu tahu saat orangtua hendak memarahi mereka.
Seperti malam ini. Ibu menyuruhnya keluar dengan nada tak biasa, membuat
gadis itu khawatir telah melakukan kesalahan.
Ia keluar dengan langkah gontai, lalu meleseh di hadapan sang ibu.
Kepalanya ditundukkan ke bawah, walau tak yakin telah berbuat salah.
“Dari ana kamu dapat boneka-boneka itu, Ana?”
Aduh, kenapa ia sampai lupa?! Ibunya sering berpesan untuk tidak
menerima pemberian apa pun dari orang, kecuali bila ia berulang tahun.
Pernah ia dipaksa mengembalikan kado pemberian Paman Adnan, paman yang
baru sekali ia temui. Bayang-bayang mendapat kejutan setelah mengupas
kertas kado terpaksa menguap. Berkali-kali memaksa, Paman Adnan mesti
rela membawa pulang hadiah untuk keponakan yang baru dijumpainya itu. Di
atas kasur, Ana menangis terisak, menilai dunia tak adil.
“Kita memang susah, tapi Ibu nggak mau kamu menunjukkan diri sebagai
orang susah. Jangan pernah menerima uang atau barang, kecuali di hari
ulang tahunmu. Kamu haru punya harga diri.” Itulah yang dikatakan Ibu
ketika ia bersiap pergi ke sekolah keesokan harinya. Ibu juga
mengatakannya sambil melotot dan mengacungkan jari telunjuk.
Ia menyayangkan mengapa lemarinya tak memiliki kunci, yang bisa
menyembunyikan hadiah-hadiah dari Gadis Pelempar Boneka. Sejak
perkenalan itu, mereka telah sering bertukar cerita. Rasanya memang agak
tak enak karena ia lelah harus terus mendongakkan kepala. Namun, Nova
telah membuat hari-harinya berwarna. Ia pun bisa membunuh waktu karena
rumahnya selalu sepi di siang hari.
“Jawab, Ana.”
Mengapa secepat ini harus berpisah dengan boneka-boneka itu? Ia masih
belum puas mengelus rambut mereka yang emas berkilauan, belum puas
menata mereka sesuka hati, seraya berkhayal akan secantik benda mati
yang sebentar lagi harus ia relakan pergi.
“Dari Nova. Rumahnya di pintu gang sebelum jalan besar, Bu. Maaf, Ana menerima boneka-boneka itu.” Air mata telah tumpah.
Karena tak juga dimarahi, batin Ana bertanya-tanya. Ibu lantas
menghela napas, kemudian menjawil dagu Ana supaya menatap matanya. Tak
ada rona kemarahan di sana.
“lbu senang kamu main sama dia. Tapi jangan terima lagi hadiah apa
pun darinya. Kalau makanan sih boleh saja. Nanti Ibu buatkan ia kukis,
sebagai balasan dari kita. Tapi kamu harus ingat waktu ya. Kalau lagi
banyak PR atau musim ulangan, jangan terlalu lama,” ucap sang ibu dengan
nada lembut
Ana terkejut. Ana tak tahu harus berkata apa. Ana memeluk Ibu,
berterima kasih sambil menyeka kedua matanya. Dia memang gadis yang
gampang menangis.
***
SETELAH confetti bertaburan, doa-doa pun dilafalkan. Belva begitu
senang dengan peristiwa yang sesungguhnya tidak ia pahami. Mungkin di
benaknya, ia harus merasa senang karena orang-orang di sekitarnya tiada
berhenti tertawa dan menyapanya. Aku pun merasa bungah. Betapa dunia
anak-anak begitu indah dan menenangkan. Berkali-kali gadis lucu itu
kukecup gemas.
“Niih, lihat kamu dapat apa dari Oom Dimas dan Tante Ana. Nanti kita
buka, ya, Bel. Bilang apa hayoo sama Oom dan Tante?” ujar Yenny, ibu
Belva dan kakak kedua Dimas. Katanya lagi, “Eh, Ana, kamu apakan si
Dimas sampai dia mau repot begini? Hebat kamu. Anak tak tahu diri ini
bahkan tidak hadir di rumah sakit, lho, waktu Belva lahir.”
“Aku juga nggak tahu, Kak Yenny. Kerasukan malaikat mungkin, he he.”
Kekasihku cuma tersenyum kecut sambil meremas pundak kananku, sedikit
menekan tulang selangka. Aku masih takjub ia bisa merasa nyaman dengan
kehangatan antar manusia. Kombinasi tingkah dan sentuhannya seketika
membuatku sedikit terangsang.
“Eh, nyalakan TV deh!” Terdengar suara nyaring dari Yuly, kakak
pertama Dimas. Hadirin tertegun, bingung dengan tingkah kakak pertama.
Gairahku yang telah menyala pun meredup.
Suara narator dari televisi berangsur lantang. Sebuah tayangan
menyita perhatian kami. Maharani, penyanyi yang lama menghilang setelah
merilis lagu laris “Bulan Merah Jambu”, ditemukan tewas overdosis di
sebuah hotel di Puncak. Karena ini acara gosip, maka asumsi-asumsi liar
pun diucapkan sang narator. Tentu saja dengan intonasi yang berlebihan.
Kemudian kami menyaksikan pendapat ibu sang biduan. Ia menjamin bahwa
puterinya bukan pecandu narkoba, karena hingga kini mereka masih
tinggal bersama. Sambil menangis tersedu, ia begitu yakin bahwa Maharani
dibunuh. Overdosis kokain cuma rekayasa.
“Mamaaa, Tante Ana nangis…” Sekonyong-konyong Belva memekik. Keluarga Dimas menatapku heran.
“Lho, kamu kenapa?” tanya Dimas, sedikit cemas. Aku pun meminta maaf sambil menatap mereka, lalu pamit ke toilet.
Bagiku, “Bulan Merah Jambu” bukan sekadar lagu. Di suatu malam, Nova
bertanya apa aku pernah jatuh cinta. Ia lantas mengoceh bahwa ketika
seorang gadis jatuh cinta, bulan di langit akan berwarna merah jambu.
Cinta memang bisa membuat segalanya merah jambu, balasku. Kami pun
tertawa deras berderai-derai. Aku menggodanya, menuding ia sedang jatuh
cinta.
Sebelum menghilang dari duniaku, Ibu pernah menjelaskan riwayat
keluarga Nova. Nova memiliki kakak perempuan yang hamil saat menginjak
tahun kedua kuliah. Berbulan-bulan menjalani hari dalam kerangkeng dan
sumpah-serapah, perempuan bunting itu menjadi sinting. Nova, setelah
tragedi itu, justru diperlakukan dengan keras. Selain menjalani
pendidikan home-schooling, hari-harinya juga dibebani bermacam les privat.
Aduh, sial. Air mataku terus saja tumpah. Ini lebih menyesakkan
ketimbang dulu saat Nova tak kunjung muncul di jendela kamarnya. Lantas
berkelebat lagi kamar hotel bernuansa suram di layar televisi.
“Bulan Merah Jambu” bukan sekadar lagu dan Maharani bukan sekadar
penyanyi. Di masa yang jauh-jauh sebelum ia terjun ke dunia hiburan, aku
mengenalnya sebagai Andinova Mariani, si Gadis Pelempar Boneka.
Cerpen Bamby Cahyadi (Tribun Jabar, 12 November 2017) Ars Longa, Vita Brevis ilustrasi Yudixtag/Tribun JabarARS longa, vita brevis. Itu kalimat yang meluncur dari mulut ayahku ketika ia bertengkar sengit dengan ibuku.
Ayahku mengundurkan diri dari restoran cepat saji terbesar di jagat
ini ketika usiaku 6 bulan. Ketika itu ayahku menyatakan berhenti bekerja
dari perusahaan waralaba restoran cepat saji itu dengan haru-biru.
Konon kabarnya ia menangis tersedu-sedu saat menyerahkan sehelai surat
pengunduran diri kepada atasannya. Tentu saja ia menangis, bayangkan, ia
bekerja di restoran itu genap 16 tahun, waktu yang tidak boleh
dikatakan singkat. Sebab apa? Apabila ia— maksudku waktu 16 tahun itu
seorang bocah laki-laki—mungkin kini ia sudah ahli merancap bahkan bisa
saja ia menghamili anak gadis orang. Ya, itu bisa-bisanya aku saja.
Ayahku tidak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi bagian dari
perusahaan yang begitu terkenal dan mendunia yang papan-papan iklannya
bisa kita saksikan di layar televisi ketika ada pertandingan sepak bola
level benua, bahkan dunia, misalnya Piala Eropa, Piala Dunia, atau
Olimpiade dihelat. Betul sekali, perusahaan ayahku selalu menjadi
sponsor utama perhelatan olahraga itu. Membanggakan tentunya. Sayangnya,
saat itu aku belum lahir. Tapi tidak apa-apa, bukan soal besar bagiku.
Karena aneka pernak-pernik dari restoran cepat saji itu kini menjadi
mainan milikku, mulai dari boneka Hello Kitty, Kungfu Panda, Snoopy hingga karakter Ronald yang semuanya suplemen dari menu Happy Meal.
Semula ayahku bercita-cita menjadi wartawan meski ia jebolan Fakultas
Ekonomi jurusan Manajemen. Hmm, agak aneh juga. Tapi memang ia itu ayah
yang aneh pada kenyataannya. Harap bersabar mengenai cerita perilaku
aneh ayahku. Bagian ini baru prolog. Kalaupun aku tak ceritakan karena
tulisan ini telah menjadi sebuah cerpen. O ya, ayahku kini bekerja di
sebuah restoran cepat saji yang lain yang tak sebesar yang pertama.
Ayahku sarjana ekonomi, tapi keinginan terbesarnya bekerja menjadi
jurnalis. Ia pun menyelesaikan kuliahnya terlambat setahun lantaran ia
terlalu asyik jadi aktivis mahasiswa. Kudengar cerita masa mahasiswanya
yang heroik dari obrolan dengan ibuku, ketika itu ia memang suka menulis
dan aktif bergiat di unit pers mahasiswa di kampusnya. Bahkan ia pernah
menjadi ketua senat mahasiswa, ia aktivis dan tukang demo. Semakin
menarik, bukan? Padahal kita tahu menjadi aktivis mahasiswa di zaman
rezim Soeharto sangatlah pelik untuk tidak dikatakan sulit.
“Aih, aku ingin sekali bercerita tentang masa muda ayahku, tentu yang
kuketahui dari ibuku, dan langsung dari sumbernya, ayahku,” seruku
kegirangan sendiri.
Kucing-kucing si Farel, tetanggaku, yang semula anteng
terkantuk-kantuk saling peluk dan garuk-garuk bulu di depan teras
rumahku mendadak terbangun dan mengeong. “Sabar, ya, Mpus!” kataku pada
kucing-kucing itu setengah berbisik, separuhnya lagi menghardik.
Kucing-kucing Farel beranjak pergi berhamburan sambil mengibas-ibas ekor
mereka, melirikku dengan benci.
Namun ada yang mengganjalku. Apabila aku yang bercerita, tentu cerita
ini akan bertutur dengan naratornya aku sebagai “Aku”, aku yang sebagai
sudut pandang orang pertama. Hal ini tentu tidak adil, aku hanya akan
menyerupai Haruki Murakami yang serbatahu dalam novel-novelnya. Lagi
pula, saat ini aku akan berulang tahun yang ke-6 di bulan Oktober nanti.
Jadi tak mengapa aku menjadi bocah sok tahu untuk sementara waktu.
Namun, setelah kupikir-pikir, tak jadi perihal luar biasa dan
merepotkan bagiku, bahkan aku pernah dengar ada cerita yang diceritakan
oleh seekor monyet, anjing, babi, kecoak bahkan sebuah benda mati
sekalipun sebagai orang pertama yang bertutur. Dengan begitu, hal itu
memberikan peluang bagiku untuk bercerita tentang ayahku saat ia masih
belia, atau siapa saja yang terlibat dalam kisáh ayahku. Mungkin, atau
bisa jadi, Anda juga akan terlibat dalam cerita ini. Seru, bukan?
Iya, ya ya. Aku sudah menduga, kalian akan mengatakan secara lugas
bahwa aku anak kecil sok tahu, anak kecil yang terlalu banyak berkhayal,
imajinatif, maniak fantasi, dan sekadar berbual. Bukankah hal itu ciri
khas anak kecil sekali untuk tidak menuliskannya banget. Dan sudah
kukatakan pada paragraf sebelumnya. Hal ini membuatku terkikik.
Sebentar.
Hari ini masih pagi, hari Minggu. Ayah dan ibuku masih tidur ketika
ayam jantan peliharaan Pak Tohir, bapaknya si Farel, berkokok lima belas
kali. Aku sangat tak paham, mengapa ayam Pak T’ohir itu selalu berkokok
lima belas kali, tak kurang pun tak lebih. Padahal, apabila patokan
hitungan adalah jam, seharusnya ayam itu berkokok 12 kali sesuai angka
pada jam, angka 1 hingga 12. Atau 24 kali, sesuai hitungan dalam 1 hari
terdiri atas 24 jam. Bisa juga 7 kali, secara simbolik bahwa 7 kali
merupakan jumlah hari itu dalam 1 minggu dengan sebutan hari Senin,
Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Ya, hari ini hari Minggu,
hari ke-7. Seharusnya ayam Pak Tohir berkokok cukup 7 kali pertanda ini
hari, hari Minggu. Kulihat jarum pendek pada jam dinding menunjukkan
angka 8. Bolehlah juga setelah ayam itu berkokok 7 kali, lantas
menyambungnya dengan berkokok sebanyak 8 kali pertanda jam saat ini.
Lho? Ya ampun! Bukankah secara matematis kokok ayam 15 kali tadi sudah
menerjemahkan hari ke-7 dan tepat pukul 8 pagi ini. Betapa tololnya aku
ini. Tapi, maklumlah aku kan hanya anak kecil.
“Koran-koran!”
Di depan pagar, Pak Badiru loper koran langganan ayahku sudah
berdiri. Sepeda ia sandarkan pada sisi pagar yang lain. Agak terlalu mainstream
loper koran selalu menggunakan sepeda sebagai alat transportasi, tapi
kenyataannya demikian. Seperti seorang pacar yang menerima surat dari
sang kekasih, aku berhambur ke arah pagar dengan mata berbinar-binar.
“Dek, bapakmu masih tidur, ya?” tanya Pak Badiru.
“Iya, Pak, biasaaa!” jawabku singkat dengan tarikan panjang pada kata biasa.
“Ini Kompas Minggu, ini Jawa Pos, ini Media Indonesia, ini Pikiran Rakyat, dan ini Nova… eh, ada Tribun Jabar, nih!” ujar Pak Badiru sambil mengangsur lima buah koran dan sebuah tabloid ke tanganku.
“Lho, koran Republika-nya mannaaaa?” sergahku dengan tarikan panjang pada kata mana.
“Astaga. Saya lupa bawanya, Dek!” Pak Badiru menepok jidatnya sendiri.
“Huh, dasar pikun!” gerutuku. Tentu dalam hati, tak sopan menghardik
orang tua seperti Pak Badiru dengan suara lantang seperti toa masjid
yang beberapa bulan lalu di Tanjung Balai dijadikan alat provokasi untuk
membuat kerusuhan.
“Nanti siang saya ke sini lagi, ya, bilang ke bapakmu,” kata Pak Badiru seraya menaiki sepedanya.
“Oke, bos!” sahutku.
Sebenarnya Pak Badiru setiap hari Sabtu juga datang mengantar koran ke rumahku, ia mengantar Koran Tempo edisi Akhir Pekan dan Kompas edisi hari Sabtu. Ia hanya datang pada hari Sabtu dan Minggu, hari lain tidak.
Aku membawa koran-koran dan tabloid itu ke ruang tamu dan meletakkannya di atas meja tamu, sembari tanganku meraih remote televisi mencari saluran acara televisi kesukaanku Upin-Ipin, hore!
Nanti saat ayahku bangun, pastinya hal pertama dan utama yang ia
lakukan adalah membuka halaman koran lembar demi lembar dengan antusias,
lalu pada halaman tertentu ia akan berhenti, ia melumat isi lembar
koran pada tangannya dengan bersemangat, lantas ia membuka halaman koran
yang lain, berhenti pada halaman tertentu, dan semua koran yang ada ia
begitukan. Setelah itu bergegas ia mengambil laptop, menyalakannya dan
mengaktifkan koneksi internet, lantas ia larut dengan laptopnya, entah
apa yang ia lakukan. Mungkin ia menemukan lowongan pekerjaan yang
diiklankan di koran-koran itu lalu ia membuat surel lamaran pekerjaan.
Itu dugaanku. Aku tidak begitu yakin apa aktivitasnya.
Kembali ke suasana rumahku saat ini.
Ayah dan Ibu sudah bangun. Hal pertama yang dilakukan Ayah seperti
yáng telah kuutarakan tadi. Ibuku membereskan rumah, lantas beberapa
saat kemudian… mereka sudah mandi.
Aku melihat Ibu sedang menyisir rambutnya yang tebal dan panjang
tergerai hingga ke pinggul. Ia terlihat begitu modis. Ia memandang
wajahnya yang cantik dari pantulan cermin sambil bersenandung. Sesekali
ia mengerlingkan matanya pada cermin itu. Wajahnya telah ia pulas dengan
bedak dan bibirnya telah ia poles dengan lipstik merah cerah. Ia
terlihat begitu narsis. Entah apa yang ada di benaknya saat ini. Kini ia
memperhatikan tatanan riasan wajahnya, membetulkannya sedikit,
memastikan semuanya sudah terlihat sempuma. Cantik. Pantas saja ayahku
jatuh cinta padanya.
Aku lihat Ayah mendekati Ibu. Ada perihal penting rupanya yang akan
Ayah sampaikan hari ini pada ibuku. Ketika hal itu Ayah sampaikan, ibuku
terperangah dan hampir saja terjerembap ke lantai, untung ia masih
sempal bersandar pada kusen pintu kamar. Ketika aku dengar, Ayah
mengatakan bahwa ia mengundurkan diri lagi dari tempatnya bekerja. Ibuku
buru-buru menguasai dirinya dengan menarik napas dalam-dalam dan
mengembuskannya melalui mulutnya seperti saat ia melahirkanku, dulu.
Ibuku berupaya mencerna perkataan Ayah, lantas ia memandang wajah Ayah
dengan mata menyipit. Dahi ibuku mengerenyit membuat semacam tanda tanya
besar di dahinya.
“Ya, aku berhenti bekerja lagi,” kata ayahku berupaya menjawab
kerenyitan Ibu. “Ini bagian dari resolusiku tahun 2017!” lanjut Ayah
mantap.
“Mau jadi apa kamu kalau tidak kerja?” tanya ibuku dengan ketus.
“Aku memutuskan untuk menjadi penulis saja, menulis cerpen dan
novel,” jawab ayahku datar. “Seperti yang sudah kulakukan saat ini,”
ujar ayah melanjutkan perkataannya lagi.
“Mau makan apa kita?”
“Ars longa, vita brevis!” jawab ayah tegas.
Suara ibuku tiba-tiba melengking lantas menggelegar bagai gemuruh
guntur di langit kelam dan siap menghancurkan plafon rumah kami yang
mendadak berderak-derak.
“Koran, koran, Republika-nya udah ada, nih!” Suara Pak Badiru mengheningkan sejenak suasana panas yang mencemaskan ini.
Ayah juga pernah berkata, untuk merasakan sepi datanglah ke
keramaian. Lihatlah betapa kerumunan orang-orang hanya serupa gumpalan
awan yang siap lenyap ketika angin berembus.
Tapi mengapa ibuku berkata dengan nada sangat tinggi, “Mau makan apa
kita?”, ketika ayahku bilang ia mau menjadi penulis saja? Sebagai anak
kecil, bagian inilah yang tak kumengerti, maka kusudahi saja cerita ini.
Catatan:
– Saat ini Koran Tempo yang memiliki rubrik cerpen dan puisi terbit di hari Sabtu dan Kompas mengubah konsep pemuatan puisi pada hari Sabtu dan cerpen pada hari Minggu.
– Ars longa, vita brevis adalah frasa latin yang berarti Seni itu panjang, sedangkan hidup itu pendek.
Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret
1970. Menulis cerpen untuk sejumlah koran, tabloid, dan majalah. Buku
kumpulan cerpen terbarunya Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah (Desember, 2016).
Cerpen Agus Salim (Kedaulatan Rakyat, 12 November 2017) Meme ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan RakyatDIA aku ciptakan bertepatan dengan sakitnya Sudar,
tokoh politik terkenal di kotaku, ingat, di kotaku beberapa bulan yang
lalu, dan aku beri nama dia: Meme.
Tentu saja aku bahagia atas ciptaanku itu, dan aku tidak ingin merasa
bahagia sendirian. Maka, agar semua merasa ikut bahagia atas ciptaanku
itu, aku sebar dia ke media sosial agar dikenal siapa saja dan
orang-orang bisa memberi komentar atas kelahirannya. Benar, orang-orang
memiliki antusias untuk memberikan ucapan selamat dengan tanda jempol,
tanda hati dengan warna merah menyala, dan, mungkin, karena kelucuan
bentuknya, ada sebagian orang memberi komentar lucu.
“Wow, mirip musuh Batman dalam film The Dark Knight Rises.”
“Hahahaha, mirip pilot pesawat tempur.”
Itu dua komentar dari sekian banyak komentar yang bisa aku suguhkan
kepada kalian. Tapi, ingat, semua komentar itu bukan berniat mengejek
atau menertawakan. Tapi komentar-komentar itu aku yakini sebagai bentuk
apresiasi mereka kepada dia yang telah aku ciptakan. Sebenarnya, tak
semua orang suka dengan ciptaanku itu. Ada beberapa yang menuliskan
komentar dengan nada mengingatkan di akun FB-ku. Salah satunya
berkomentar panjang seperti ini:
“Siapa menanam angin, maka akan menuai badai. Siapa berani berbuat,
maka harus siap menanggung risikonya. Nah, begitu juga dengan kau. Kau
harus siap menerima segala akibat dari apa yang telah kau ciptakan. Jika
kau telah berani menciptakan Meme, maka kau harus siap berhadap-hadapan
dengan hukum karena Meme itu. Ingat, ini negara hukum.”
Komentar itu tidak salah. Bahkan sepenuhnya benar. Tapi, aku hanya
tidak suka kalimat di akhir komentar itu. Maka aku balas dengan komentar
begini:
“Hukum harus tegak digarisnya. Harus digunakan sebaik-baiknya. Kalau
kebebasan berpendapat yang dilindungi undang-undang pada akhirnya juga
harus disalahkan, maka merosotlah demokrasi di negara yang aku kenal
sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat ini. Kalau hukum
disalahgunakan hanya untuk membela orang-orang salah dan untuk
menakut-nakuti orang lemah, maka hukum tak lebih dari sekadar belati
yang dipegang preman-preman berotak udang. Aku hargai pendapatmu dan
terima kasih.”
Dan benar, aku sekarang diburu. Setelah Sudar sembuh, dia tidak
terima karena Meme itu dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Dia
gunakan tangan hukum untuk memburu aku yang telah menciptakan Meme.
Sebenarnya, Sudar, sebagai orang yang aku kenal sebagai orang
berpendidikan tinggi bahkan dia sudah mendapatkan gelar S-3 baru-baru
ini, dan memiliki kharisma, tak usah bersikap seperti orang tolol, atau
berlagak seperi cacing kepanasan, atau bersikap seperti orang kebakaran
jenggot dengan kehadiran Meme itu. Toh Meme itu tidak akan sampai
membuat nyawanya melayang, atau kulitnya terluka, atau hartanya
terkuras, atau keluarganya terbunuh, atau membuat dirinya dipenjara.
Meme yang kuciptakan dan kusebar di media sosial itu cuma gambar.
Sumpah, tidak akan menyakiti siapa pun!
Aku sadar, memang Meme yang aku ciptakan itu terkesan tidak beretika.
Tapi, itulah bentuk kreatifitas yang lahir dari nuraniku. Perlu
diingat, aku menciptakan Meme itu tidak berdasarkan kebencian, melainkan
karena aku prihatin dengan kondisi hukum yang sedang berlaku di kotaku.
Ingat, catat, hanya berlaku di kotaku. Jika, peristiwa yang aku
ceritakan ini ada kesamaan dengan peristiwa yang sedang terjadi di
kotamu, maka ini hanya kebetulan belaka.
Akhirnya, atas nama Meme, sebelum menyudahi cerita ini, aku ucapkan
permohonan maaf kepada siapa saja, khususnya kepada Sudar yang merasa
tengganggu dengan Meme itu.
Kemudian, jika pihak penegak hukum masih kebingungan mencari pencipta
Meme itu, maka aku perkenalkan siapa pencipta Meme itu. Namaku Satir,
tinggal di Desa Makmur Kecamatan Sunyi, Kota Halimunan. ❑-e
Agus Salim, Lahir di
Sumenep tanggal 18 Juli 1980. Tinggal di Jalan Asoka Nomor 163 Pajagalan
Sumenep 69416 Madura-Jawa Timur. Cerpen terangkum dalam buku antologi
bersama: Sang Pelukis Kupu-kupu (2013), Dosa Membunuh dan Membunuh Dosa (2017), Sebuah Kisah Melupakan Mantan (2017), Bukan Perempuan (2017).
Cernak Kak Ian (Padang Ekspres, 12 November 2017) Naya dan Ifah ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Pagi itu Naya ingin bersiap-siap pergi berangkat ke sekolah. Walaupun
saat itu ia masih mematutkan diri di depan cermin sambil menyisir
rambutnya yang panjang. Tapi ketika mendengar ucapan Bunda ia langsung
terhenti sejenak menyisir rambutnya.
“Bagaimana, kamu mau berangkat sekolah juga atau tidak?” ucap Bunda mencoba membuat sebuah pilihan pada Naya.
“Iya, Bunda. Aku mau sekolah!” jawab Naya datar.
Hari itu adalah hari pertama Naya masuk di sekolah baru. Ia dulu
tinggal di Semarang. Sekarang karena mengikuti Ayah pindah dinas kerja
di Jakarta akhirnya Naya pun ikut pindah sekolah pula.
Akhirnya Bunda pun mengantar Naya ke sekolah barunya itu. Pagi yang ceria pun sudah siap menyambut Naya.
Tidak berapa lama kemudian Bunda yang mengantarkan Naya pun tiba di
sekolah. Dengan gontai Naya pun melangkah ke sekolah itu. Lalu ia
menyusuri koridor sekolah sambil mencari kelasnya. Ternyata sekolah
barunya itu cukup besar dan banyak ruang kelas. Dan itu membuat ia
kelelahan mencarinya. “Lho, kamu kok masih di sini. Bel sekolahkan sudah berbunyi?” tanya seorang anak gadis seusia Naya.
“Ma-maaf aku anak baru! Aku anak pindahan. Aku sedang mencari
kelasku! Tapi aku bingung. Kelasku yang mana ya?” jawab Naya pada anak
itu.
“Oh, jadi ini ya anak baru pindahan itu. Kenalkan aku Ifah. Aku ketua
kelas VA. Ternyata ini teman sekelasku yang baru dan selalu juara terus
jika lomba mengarang itu,” puji Ifah.
Naya sejenak diam. Ia heran dengan Ifah, teman barunya itu bisa mengetahui dirinya. Jika ia adalah siswa yang jago mengarang.
“Tidak usah heran denganku. Aku tahu kamu semua itu karena dari Bu Puji, wali kelas kita nanti,” Ifah akhirnya menjelaskan.
“Oh.” Naya lega mendengarnya.
Akhirnya kelas yang dicari-cari Naya pun ketemu. Ia sekarang sudah
duduk di bangku bersama Ifah si ketua kelas dan sebangku pula.
Hari itu tepat pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran yang sangat
disukai Naya. Tapi ia tidak begitu semangat mengikuti pelajaran di
kelas. Dan hal itu pun mencuri perhatian Ifah.
“Kamu kok tidak mengeluarkan buku tulis, Nay? Bukannya ini mata
pelajaran kesukaanmu. Kenapa sekarang tidak semangat,” ujar Ifah.
“Aku malu! Nanti aku ditertawakan oleh teman-teman sekelas jika anak
pindahan ternyata anak aneh. Karena aku menulis memakai tangan kiri,”
Naya akhirnya mengatakan sebenarnya yang terjadi pada Ifah.
Ifah yang pertama kali mendengarnya pun terkejut. Ternyata teman sebangkunya itu bertangan kidal.
“Apa karena kamu malu dengan tangan kidalmu itu. Jika kamu malu tidak
apa-apa aku memaklumi kamu. Biarlah nanti aku pinjami bukuku agar kamu
salin di rumah,” Ifah ternyata mau memaklumi teman barunya itu. Ia mau
meminjami bukunya untuk disalin nanti.
“Terima kasih ya, Fah! Aku minta maaf jika sudah merepotkan kamu,” ucap Naya pelan.
“Tidak apa-apa! Aku senang kok membantu kamu,” Ifah akhirnya
menyerahkan buku tulis itu pada Naya. Apalagi bel istirahat sudah
berbunyi.
Esokkan harinya Naya, tidak sekolah. Buku yang ia pinjam dari Ifah
dikembalikannya seusai sepulang sekolah. Apalagi besok buku itu akan
dipakai oleh Ifah. Biar bagaimanapun Naya harus mengembalikannya tepat
waktu.
Akhirnya Naya pun pergi menuju ke rumah Ifah. Terlebih dulu berpamitan pada Bunda jika sore itu Naya akan ke rumah Ifah.
Setiba di rumah Ifah akhirnya Naya pun menemui Ifah. Saat itu Ifah
sedang ada di teras depan rumah. Naya pun langsung menghampiri Ifah.
“Maaf aku baru mengembalikan buku yang kupinjam dari kamu,” ujar Naya.
“Oh, terima kasih. Kamu tidak usah repot. Seharusnya aku yang ke rumah kamu,” jawab Ifah ramah. “Nggak apa-apa, kok, Fah! Oya, ini buku kamu yang aku pinjam.”
Akhirnya mereka berbicara di depan teras rumah.
“Oya, kenapa kamu tadi di sekolah?” tanya Ifah mencoba mencari tahu.
“Aku malu! Apalagi kalau nanti aku sedang menulis. Pasti teman-teman
akan mengatakan aku anak aneh karena dikutuk oleh penyihir,” Naya pun
mengungkapkan apa yang menjadi pikirannya. “Apalagi aku anak dari
daerah. Tentu mereka akan mengatakan seperti itu.”
Ifah yang mendengarnya hanya tersenyum-senyum saja.
“Ha-ha. Kamu ada-ada saja, Nay! Seperti di buku dongeng saja.”
“Kamu tidak usah seperti itu. Jika ada yang meledek kamu seperti itu
ada aku! Aku akan membela kamu,” pungkas Ifah menghibur Naya. “Kalau
begitu terus kamu akan ketinggalan pelajaran.”
“Iya benar apa kata Ifah! Dulu anak kesayangan Mama ini dulu seperti
kamu. Menulis dengan tangan kiri. Jika kamu tahu Ifah dulu seperti kamu.
Tapi ia rutin memeriksakan dirinya ke dokter spesialis syaraf. Saat ia
tahu kalau dirinya bukanlah kidal karena cacat apalagi kelainan. Ia
terus berlatih menulis dengan tangan kanan. Akhirnya ia bisa menulis
tangan kanan. Walaupun tangan kirinya lebih dominan untuk menulis. Siapa
tahu Ifah bisa berbagi tentang masalah itu pada kamu, Nay. Lagi pula
Allah memberikan keistimewaan itu pada kita pasti ada tujuannya,” Mama
Ifah akhirnya menceritakan itu semua pada Naya.
Naya yang mengetahui itu akhirnya memeluk Ifah. Naya terharu karena Ifah dan Mamanya begitu perhatian padanya.
Usai mendengar ucapan Mama Ifah itu Naya pun berjanji. Naya akan
berusaha belajar menggunakan tangan kanan saat menulis. Jadi tidak
salahnya jika ia menerima kebaikan Ifah itu.
Apalagi sekarang ia memiliki sahabat dalam berbagi suka dan duka.
Walaupun hanya hitungan jari Naya mengenal Ifah. Tapi Naya sudah
menganggap Ifah adalah sahabat yang tulus untuk berbagi. Apalagi mereka
sama-sama bertangan kidal. (***)
Cerpen Yetti A. KA (Padang Ekspres, 12 November 2017) Sasali masih Menunggu ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Sasali duduk di kelas dua. Siang itu, ia satu-satunya siswa yang
tertinggal di sekolah. Semua teman-temannya sudah dijemput oleh orang
tua mereka. Ia menunggu dijemput Papa—tidak biasanya Papa datang
terlambat sesibuk apa pun pekerjaannya. Karena semua temannya sudah
pulang, Sasali hanya bermain di dalam kelas saja.
Ibu Guru—wali kelas Sasali—memutuskan menemani Sasali ketika semua
guru pamit pulang. Ibu Guru itu mengutak-atik kuku tangannya dan tampak
bosan. Lalu ia membuka buku tulis, mencoret-coretinya. Sasali
memperhatikan dari kursinya. Ia tidak tahu apa yang ditulis gurunya itu.
Bisa jadi, Ibu Guru hanya membuat bulatan-bulatan tanpa bentuk yang
jelas. Orang yang sedang bingung kadang melakukan itu tanpa sadar. Ibu
Guru pasti sudah tidak sabar ingin pulang ke rumah. Di rumah, ia bisa
membuka sepatu merahnya. Kaki dalam sepatu itu sudah pucat dan butuh
udara.
Sebenarnya Sasali juga berharap Papa segera datang.
Ibu Guru semakin tampak tidak sabar. Ia berdiri dari kursinya.
Terdengar bunyi kaki kursi itu bergeser ke belakang. Ibu Guru berjalan
ke pintu. Matanya menatap ke gerbang yang sunyi. Ibu Guru tidak bisa
pulang karena ia tidak berani meninggalkan siswanya sendirian di
sekolah. Namun, Papa memang menyebalkan hari ini. Ia datang terlambat
sekali. Mungkin Papa terkena macet—meski itu nyaris tidak mungkin.
Mereka tinggal di kota kecil yang masih sepi. Atau Papa kedatangan tamu
mendadak—sangat mungkin rekan bisnis. Papa pasti tidak bisa menolak
orang itu dan menganggap tidak masalah sedikit terlambat menjemput
Sasali. Ibu Guru akhirnya pamit pergi sebentar. Ia mau ke kantor sekolah
dan berpesan agar Sasali menunggu saja dalam kelas. Atau, kalau mau,
kata Ibu Guru, kau boleh main di sekitar sekolah, tapi tidak sampai
keluar pagar.
Sasali tidak suka pekarangan sekolah yang, menurutnya, biasa saja.
Setiap hari ia melihat halaman yang sama dan berpikir kenapa orang-orang
tidak melakukan sesuatu terhadap halaman itu. Kata Papa, Kau kebanyakan
mau sih, Sasa. Papa mengatakannya sambil bercanda, maka ia membalasnya
sambil bercanda pula. Ia berkata, Ini juga ketularan dari Papa sih.
Karena gemas, Papa biasanya menggelitiki kaki atau ketiaknya. Mama akan
berkata dari meja kerjanya, Jangan berisik. Papa menimpal, Siapa suruh
bawa kerjaan terus ke rumah. Mama membalas lagi, Han, jangan mengajari
anak tidak toleran dong. Papa tidak mau kalah, Tapi ini kan jam bermain
sama Sasali, Vi. Mama nyaris berteriak, Ini juga bukan keinginanku, tapi
kerjaan memang sedang numpuk. Sasali cepat-cepat meniup peluit yang ia
temukan dalam bungkusan makanan ringan, Jangan bertengkar, katanya
sambil memasang wajah cemberut. Papa dan Mama saling memandang. Mereka
menarik napas dan melepaskannya bersama-sama dan tersenyum. Mereka
berbaikan. Mereka bertiga main bersama. Mama melupakan pekerjaannya.
Namun, besok paginya ia terserang kepanikan dan segera terbang ke kantor
dan urusan mengantar dan menjemput Sasali ke sekolah menjadi tugas Papa
selama-lamanya sejak saat itu.
Papa belum juga datang. Selama menunggu di kelas, Sasali merasa ingin
pipis. Ia berjalan keluar, mencari kakus sekolah. Tempat yang selama
ini selalu ia hindari. Sasali tahu, kakus sekolah di mana-mana bersih
dan wangi di pagi hari dan menjadi jorok setelah lewat siang hari.
Anak-anak jarang sekali menyiram lantai dan lubang kakus sehabis
kencing—biasanya mereka gerombolan anak laki-laki. Namun, karena tak
bisa menahan pipis, ia tidak peduli kejorokan kakus itu. Ia dapat
menahan napas beberapa menit ketika berada di dalam kakus nanti. Ia
berlari keluar. Tas ia tinggalkan di atas meja di kelas yang kosong.
Benar saja. Kakus itu bau sekali, padahal ia baru berdiri di muka
pintu. Ia hampir muntah. Tidak ada siapa-siapa lagi di sekolah selain
Ibu Guru yang sedang berada di kantor sekolah. Jadi ia berpikir untuk
pipis di balik dinding gedung saja. Jangan pernah membuka celanamu di
tempat sembarangan, Sasali, ia teringat pesan Mama. Itu benar sekali.
Mama pasti sudah banyak mendengar tentang kejahatan yang mengintai
anak-anak. Papa kerap bilang di dalam mobil kalau ia harus waspada dan
pintar menjaga diri. Mama memang tidak terlalu mencemaskannya. Yang
paling sering Mama lakukan, melarangnya begini dan begitu. Kata Papa,
Mamamu itu tidak punya cukup waktu untuk menjelaskan kecemasannya, maka
bisanya cuma melarang. Mereka merasa geli saat membicarakan Mama yang
sok sibuk sekali. Kata Papa, meski begitu kita harus tetap mencintai
Mama. Sasali setuju dengan Papa. Bagaimanapun Mama perempuan paling
pintar di antara mama teman-temannya di sekolah dan itu membuatnya
bangga. Kata Papa, selain cantik dan pintar, Mamamu itu juga sangat baik
hati dan memang pantas dicintai.
Ia benar-benar tidak tahan. Tanpa berpikir lagi, ia menahan napas dan
masuk ke dalam kakus yang gelap. Sasali mengangkat rok dan menurunkan
celana short dan celana dalam. Semua ia lakukan cepat-cepat.
Napasnya lepas karena ia tidak kuat menahannya. Bau kakus menyerbu
hidung dan perutnya menjadi mual. Air dalam bak kecil, kosong. Keran
mati. Pantas saja kakus itu bau sekali. Setelah selesai pipis, ia
mengelap selangkangannya dengan tisu. Ke mana-mana ia memang senang
membawa tisu. Ia lebih suka cebok dengan tisu ketimbang air. Setelah
selesai, ia menaikkan celana dalam, lalu celana short, dan
menurunkan rok merahnya. Mestinya Sasali cepat-cepat keluar karena ia
sudah tidak tahan bau di dalam kakus—lebih-lebih setelah ditambah bau
pipisnya. Namun, ia malah asyik memperhatikan pecahan cahaya yang masuk
lewat celah atap. Perlahan kakus tidak terlalu gelap lagi. Ia bisa
melihat tulisan-tulisan di dinding, walau tidak terlalu jelas. Ia juga
bisa bernapas seperti biasa dan tidak terganggu dengan bau pesing.
Dalam cahaya itu, ia melihat sesuatu beterbangan. Ia pikir itu
binatang kecil. Namun, sepertinya, bukan. Nanti ia akan bertanya kepada
Papa tentang itu. Kata Papa, Apa-apa yang kau tidak tahu, sebaiknya
ditanyakan. Apa Ibu Guru sudah mencoba menelepon Papa dan bertanya
kenapa ia belum juga menjemputku? pikir Sasali. Oh, Ibu Guru mungkin
sudah kembali ke kelas dan sebaiknya hal itu ditanyakan kepadanya,
Sasali berpikir lagi.
Ia meninggalkan kakus. Ibu Guru sudah pasti kebingungan mencarinya.
Ia sudah sungguh merepotkan Ibu Gurunya hari ini. Sebenarnya, ia sudah
merepotkannya beberapa kali—juga sejumlah temannya yang sering terlambat
dijemput orang tua. Kali ini, Papa memang sangat keterlaluan
terlambatnya. Kasihan Ibu Guru. Kalau saja, ia bisa membuat Papa datang
cepat ke sini.
Kelas masih kosong. Tas punggungnya tergeletak sendirian di atas
meja. Tas itu mungkin tidak suka jika ia lama-lama meninggalkannya. Kata
Mama, benda-benda juga punya perasaan loh, Sasali. Mama mengatakan itu
saat mendongeng sebelum tidur. Namun, ia memilih percaya kalau benda
memang benar-benar punya perasaan. Karena itu ia harus menjaganya
baik-baik. Ia menyayangi semua miliknya; tas, sepatu, baju, boneka,
buku, kaos kaki, dan banyak lagi.
Sasali duduk di kursinya. Ia tendang-tendang pelan kaki meja hingga
menimbulkan suara yang teratur. Ibu Guru belum kembali dari kantor
sekolah. Ia buka tas. Kotak bekal makannya tentu sudah kosong. Perutnya
lapar. Padahal tadi ia makan siang cukup banyak. Kotak bekalnya berisi
macam-macam. Papa yang menyiapkan semuanya. Mama tidak suka dapur. Papa
memang suka masak. Mama senang bila diberi tugas mengguntingi
pucuk-pucuk bunga yang bercabang liar. Kalau pekerjaan rumah terlalu
numpuk, Mama memanggil pekerja dari perusahaan penyedia jasa cleaning servis.
Kalau besar kau mau jadi apa? tanya Papa. Mau sibuk kayak Mama,
katanya. Jangan, sergah Papa. Mamamu bahkan hanya punya sedikit waktu
untuk minum teh. Sasali dan Papa cekikikan. Mama tidak tahu kalau mereka
menertawakannya.
Papa belum juga datang. Kalau datang nanti, Sasali berjanji akan
memarahi Papa. Papa boleh sibuk, tapi jangan seperti Mama yang sering
tidak memikirkan apa pun kalau sudah duduk mengurus pekerjaannya. Ia
tidak bisa marah kepada Mama. Mereka bertiga sudah membuat kesepakatan
kalau Papa yang bertanggung jawab mengantar-jemput Sasali sekolah.
Sebagai gantinya, Mama yang bertugas menemani Sasali bermain ke taman
kota tiap hari Minggu dan Papa akan malas-malasan dan tidur seharian di
rumah. Di rumah nanti, Mama harus diberi tahu soal keterlambatan Papa
hari ini. Biar Papa tidak mengulanginya lagi, biar tidak sering-sering
merepotkan Ibu Guru.
Ibu Guru ke mana perginya? Apa Ibu Guru sudah pulang dan
meninggalkanku sendirian? Memikirkan itu, Sasali jadi ketakutan. Ia
belum pernah sendirian di kelas. Ini jelas berbahaya. Mama selalu
mengingatkan kalau ia tidak boleh sendirian di sebuah tempat.
Ia menaikkan kedua kakinya ke atas kursi. Ia peluk dua lututnya
erat-erat. Dagunya menempel lekat di kedua lutut itu. Kepalanya
memikirkan semua yang menakutkan. Papa tidak datang-datang juga. Ibu
Guru entah di mana.
***
Papa datang dan menemukan tas Sasali tergeletak di meja. Papa
kebingungan mencari-cari Sasali. Ia melihat angka pada jam tangannya. Ia
datang tepat waktu. Ia tidak tahu kenapa sekolah demikian sepi. Tidak
ada pemberitahuan sama sekali jika hari ini sekolah pulang cepat dari
biasa.
Sambil berdiri di pintu, mata Papa terus mencaricari Sasali. Ia
berharap melihat anak itu berlari-lari menujunya, tapi tak ada. Ia
berpikir untuk segera menghubungi Mama. Siapa tahu Sasali dijemput
mamanya dan mereka pergi makan-makan berdua.
***
Sasali! Sasali! Ibu Guru memanggil-manggil di pintu kelas. Ia tadi
tertidur di kantor. Semalaman ia kerja lembur memeriksa buku PR siswa.
Matanya tidak tahan dan tertidur begitu saja ketika ia pergi ke kantor
sekolah untuk beristirahat sejenak di atas sofa.
Tidak ada siapa-siapa di kelas. Tas Sasali tergeletak di atas meja.
Ibu Guru mencari nama Papa Sasali dalam daftar kontak ponselnya. Tadi,
nomor itu selalu sibuk. Sekarang, nomor itu tidak bisa dihubungi. Ibu
Guru berpikir, Sasali telah melupakan tas itu ketika papanya datang
menjemput.
Rumah Kinoli, 16/17
Yetti A.KA, Tinggal di Kota Padang, Sumatra Barat. Kumpulan cerpen terbaru Pantai Jalan Terdekat ke Rumahmu (2017).
Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS (Padang Ekspres, 12 November 2017) Hanya Burung Belum Mau ke Sarang ilustrasi Padang EkspresHanya Burung Belum Mau ke Sarang : Himawan Imron dan Muhammad Furqon Jamzuri
kita hanya burungburung namun belum mau ke sarang
selagi masih ada bulan. dan lampulampu jalan tak padam
di bawah payung dan selembar meja
kita menulis setiap percakapan. menghimpun
percakapan dari kitabkitab yang kita baca
— kini sudah pula terbuka dan lembarnya
kian menua — kuning di daundaun yang
kemudian kalian rontokkan agar semakin
ramping
ya. kita hanya burungburung yang belum
ingin ke sarang. merapikan ranjang dari
anyaman jerami. memimpikan orangorang
yang tak mau pulang. jalanjalan riuh, lelampu
menawarkan cahaya. dunia begitu sempit
tapi kita tak pernah terjepit
lelampu itu, aduhai, lauk dari katakata
yang kita tulis untuk sebuah kitab
KGM, malam 17 Agustus 2017
Takdir di Jalan : Fajar
kita ditakdir untuk selalu di jalan
meski kita bukan ahasveros
karena kita masih rindu purnama
atau saat bulan sabit. betapa pun
kita harus sakit. menghitung tiap
jejak — juga tumpukan dahak — yang
kita baca sebagai kitab baik-buruk
15 Agustus 2017
Mata Senja
apakah akan kau biarkan pintu kamar itu
tetap tertutup, sedang ia bagai burung
hendak pula mengepak: menyilakan
kau masuk
lalu nikmati dengkur waktu sebelum
terbangun saat fajar
: matahari matahari
hadapkan wajahmu ke mata senja…
2017
Kaukah yang Berlari dan Berteriak?
kaukah yang berlari ke tanah lapang
dan berdiri tegap di depan tiang bendera?
angin sepoi, langit putih menatap
matahari yang mulai cemerlang
anakanak berseragam sekolah
para tua berbalut baju lusuh
topi di kepala — mereka sedang
memandangi masa depankah,
ataukah mengenang silam
penuh mesiu dan bau darah?
siapa bisa lagi mengingat
di tanah lapang depan tiang bendera
kain warnawarni. lelaki di podium
duduk rapi. tak ada bisa membaca
senyum dan tatapannya
hari ini, 17 Agustus, merah putih
pesta. tapi tiada pora. meriah
dalam balutan gagah. tapi siapa
mengira yang lain sudah lupa
warna bendera. tak hafal lagu
yang sering dinyanyikan anakanak
di dalam kelas atau upacara senin pagi
memanggilmanggil nama laut
menghitung bukitbukit garam
yang kian karam. ombak
kembali melempar ke laut lepas
atau sebagai yatim terlantar
di pantai berpasir
lagu itu dinyanyikan lagi
begitu syahdu
sumpah dibacakan ulang
begitu melanglang
ayatayat kemerdekaan
diproklamasikan
begitu ngiang
dan kaukah yang berdiri tegap
tanpa menatap
di dekat tiang bendera
dalam lagu kemerdekaan
Cerpen Surya Gemilang (Bali Post, 12 November 2017) Sebatang Pohon Itu adalah Seekor Binatang ilustrasi Bali PostORANG-ORANG mengira bahwa aku adalah sebatang pohon.
Padahal, aku adalah seekor binatang. Dua bulan lalu, pada tengah malam,
aku muncul begitu saja di lapangan ini—entah karena apa. Sedari muncul,
batangku sudah setinggi 10 meter dan berdiameter 2 meter. Ketika pagi
tiba dan aktivitas orang-orang dimulai, tak ada seorang pun yang tak
terkejut begitu melihatku. Keterkejutan itu pun membuat mereka segera
mengerubungiku.
“Oh, besar sekali!” seru seseorang. “Pohon apa ini?!”
“Aku bukan pohon!” sahutku. “Aku adalah binatang!”
“Hei! Kalian dengar suara itu?”
“Suara apa?”
“Ya suara itu!”
Aku menyahut lagi, “Itu suaraku!”
“Suara itu terdengar lagi!”
“Ah! Aku mendengarnya!”
“Yang mirip serdawa itukah?”
“Ya! Suara yang itu!”
Aku lantas menyadari: orang-orang itu tak mengerti bahasaku—sedangkan
aku mengerti bahasa mereka. Maka, dapat disimpulkan, memberitahukan
mereka bahwa aku ini adalah seekor binatang tidaklah mudah.
“Aku juga mendengarnya! Dan, kuyakin suara itu berasal dari pohon ini!”
“Bagaimana bisa sebatang pohon bersuara?”
“Bagaimana bisa pohon ini berada di sini?”
“Ini pohon pasti bukan sembarang pohon!” tiba-tiba si Tetua berkata. “Ini pohon pasti titisan Dewa!”
Berkat kalimat si Tetua itulah aku jadi dipuja-puja oleh banyak orang
setiap hari. Di kemudian hari, aku dinamai Pohon Dewa oleh mereka.
Kalau kupikir-pikir, tak bisa aku menyalahkan mereka karena menyangka
aku adalah sebatang pohon. Sebab, bukan hanya mereka saja yang
menyangka demikian, melainkan….
“Sejak kemarin, kuperhatikan kau berdiri terus di dekatku,” ucapku
kepada si Makhluk Halus—entah ia laki-laki atau perempuan. “Apa yang
sebenarnya sedang kaulakukan?”
“Sejak kemarin, aku adalah penunggumu,” sahutnya. “Yah, ini semua
gara-gara pohon yang sebelumnya kutunggui ditebang oleh seseorang. Jadi,
terpaksalah aku berpindah tempat dan menungguimu, meski aku sendiri tak
tahu pohon apakah kau ini.”
“Aku bukan pohon! Aku adalah binatang!”
Si Makhluk Halus pun terdiam beberapa jenak. Matanya menatapku lekat-lekat. “Tidak mungkin,” ucapnya kemudian.
“Tapi aku tak berbunga pun berbuah, Makhluk Halus! Sebab, aku ini binatang!”
“Tapi, lihatlah, kau ini berbatang, bercabang, beranting, dan berdaun.”
“Tapi aku bermulut! Mana ada pohon yang bermulut?!”
“Di mana mulutmu? Aku tidak melihatnya.”
“Di puncak batangku, tertutup oleh daun-daunku!”
“Kalau memang ada, tapi tak terlihat, bisa saja dianggap tak ada, kan?” Apakah semua Makhluk Halus semenyebalkan ini? pikirku.
***
Saban pagi, aku selalu ditemani oleh orang-orang yang
berdoa—kepadaku—bersama. Setelah acara berdoa bersama usai, mereka akan
meninggalkan sesajen masing-masing di sini, di tanah yang terselimuti
bayangan daun-daunku. Kala siang tiba, mereka akan kembali kemari untuk
membawa sesajen-sesajen itu pergi.
Kutegaskan, apa yang kupermasalahkan hanyalah kebinatanganku yang tak
diakui. Aku tak peduli mau seperti apa orang-orang memujaku. Omong-omong, sebelum aku ada, siapakah yang mereka puja?
“Orang-orang itu pintar memilih sesajen, ya,” kata si Makhluk Halus
suatu waktu, terdengar agak tak jelas sebab ia berbicara sembari
mengunyah wujud halus salah satu sesajen yang dipersembahkan buatku.
“Eh, kau yakin tak mau memakan sesajen-sesajen ini? Enak, lho.”
“Tidak. Aku mempunyai makanan dan cara makanku sendiri.”
Perihal cara makanku, akan kujelaskan padamu: Aku memiliki akar, tapi
aku makan bukan melaluinya—bagian itu hanyalah “alat untuk
berdiri”—melainkan melalui mulut yang terletak di puncak batangku. Mulut
itu mengeluarkan aroma yang “menarik” sehingga mangsaku akan
memasukinya. (Biasanya, yang menjadi mangsaku adalah kaum insek dan
aves.) Dan, tentu saja mulutku akan langsung bekerja begitu ada mangsa
yang masuk.
“Kalau tidak memakannya, bagaimana bisa kau menikmati-secara-utuh pemujaan yang dilakukan orang-orang?”
“Aku tak perlu dipuja-puja seperti itu, meski aku tak mempermasalahkan pemujaan yang mereka lakukan!”
“Oh, baiklah …. Setidaknya, Kawan, aku senang kau dipuja-puja. Karena
dengan begitu, aku bisa menikmati banyak sesajen setiap hari.”
“Oh ya,” sambung si Makhluk Halus, “perihal kebinatanganmu itu …
jangankan mereka, aku yang belakangan ini terus bersamamu pun masih
sulit memercayai bahwa kau adalah seekor binatang.”
“Tapi, seperti yang sudah kubilang, aku mempunyai mulut, Makhluk Halus! Mulut bukanlah ciri isik tumbuhan!”
“Tapi, kan, mulutmu tak kelihatan, tertutup oleh daun-daunmu sendiri.
Jadi, wajar saja mereka tidak tahu kalau kau mempunyai ciri yang sah
sebagai binatang.”
“Lantas, aku mesti bagaimana?”
“Selain mulut, apa saja ciri sahmu sebagai binatang?”
Aku berpikir beberapa jenak. “Aku tidak berfotosintesis. Bukankah itu termasuk ciri binatang?”
“Hmmm … kurang memenuhi. Asal kau tahu, ada beberapa binatang yang berfotosintesis, semisal Elysia chlorotica dan Anemonia viridis.”
“Ada ciri yang lain?” sambungnya cepat.
“Aku memiliki penis dan anus, di bawah tanah.”
Si Makhluk Halus mengernyit. “Kau serius?”
“Ya.”
“Syukurlah kalau memang di bawah tanah. Jadi, aku dan orang-orang tak perlu melihatnya.”
“Oh ya, aku memiliki sistem saraf.”
“Hmm … ada ciri yang lain?”
“Ciri kebinatangan seperti apa lagi yang harus kumiliki?!”
“Tentu saja ciri kebinatangan yang mudah dilihat dengan mata telanjang.”
Aku merenung. Satu menit …. Tiga menit.
“Tak ada,” jawabku pada akhirnya.
“Ya sudahlah. Semoga hidupmu bahagia, Pohon.”
***
Tadi pagi, si Makhluk Halus tiba-tiba saja berkata, “Aku mendapat
ide! Aku tahu bagaimana cara agar kebinatanganmu diakui!” dan
terbang-pergi selama beberapa menit. Ketika si Makhluk Halus
kembali—dengan terbang pula—ia membawa sebuah benda pipih dan
menyangkutkannya di rantingku.
“Apa yang kaulakukan, heh?!” tanyaku.
“Lihat saja nanti, Kawan. Aku mencuri benda ini dari langit.”
Tak lama kemudian, datanglah dua orang laki-laki: bocah dan dewasa.
“Di sana!” si Pria berkata sembari menunjuk ke arah benda pipih yang disangkutkan di rantingku.
“Apa yang harus kita lakukan, Ayah?” ucap si Bocah. “Itu layangan
kesayanganku!” Ia pun jatuh terduduk di tanah dan menangis tersedu-sedu.
“Ayah, panjatlah Pohon Dewa! Ambilkan layanganku! Kumohon!”
“Memanjat Pohon Dewa?!” Si Pria mendelik. “Itu adalah perbuatan yang sungguh tidak sopan, Nak! Bisa-bisa Pohon Dewa marah!”
“Pokoknya ambilkan, Ayah!”
Mungkin sebab tidak ingin mendengar tangisan si Bocah lebih lama
lagi, si Pria akhirnya memanjati tubuhku. “Maafkan aku, Pohon Dewa,”
ucapnya lirih. Tak butuh waktu lama baginya untuk menggapai layangan
itu.
Tangisan si Bocah usai sudah.
Tiba-tiba si Pria tertegun. Tatapannya terpaku pada mulutku. “Apa
itu?” gumamnya. Pria itu pun berjalan perlahan di dahanku, mendekati
mulutku. “Bau ‘menarik’ itu ternyata berasal dari situ, toh.”
“Nah! Momen inilah yang kutunggu-tunggu, Kawan,” ucap si Makhluk
Halus dengan antusias. “Sebentar lagi ia akan menyadari kebinatanganmu!
Dan, saat ia sudah menyadari kebinatanganmu, semoga saja ia akan
memberitahukan apa yang baru disadari-dirinya-seorang itu ke banyak
orang!”
Si Pria lalu berjongkok di samping mulutku. Aku segera bersuara, berharap si Pria ketakutan dan segera turun.
“Eh? Dari situ juga, toh, sumber suaranya?” Tangan kanannya kemudian bergerak … memasuki “jebakan”-ku.
Sayangnya, mulutku tak bisa berhenti bekerja—karena memang begitulah mulutku.
“Tolong!!!” pekik si Pria, seraya berusaha menarik tangan kanannya dari mulutku.
Si Bocah pun berlari menjauhiku, menghilang entah ke mana. Beberapa
saat kemudian, si Bocah kembali kemari bersama begitu banyak orang.
(Mereka tak membawa sesajen sama sekali.)
“Ayah di sana!” pekik si Bocah—ia menangis lagi.
“Tolong! Pohon ini bermulut!” pekik si Pria.
“Mungkin itu hukumanmu karena berani-beraninya memanjati Pohon Dewa!” kata seseorang.
“Kasihan suamiku!” ujar seorang wanita, sesenggukan. “Berikanlah ia pertolongan!”
Tangan kanan si Pria makin hancur di mulutku. Ia pun terjatuh—ke
belakang—dariku begitu disentakkannya tangan kanannya dengan kuat hingga
terputus. Segeralah tubuhnya menghantam tanah, lantas ia tak
bergerak-bersuara lagi.
Orang-orang menjerit.
“Ini semua gara-gara kau, Makhluk Halus!” hardikku.
“Orang-orang akan segera sadar bahwa kau adalah seekor binatang!” balas si Makhluk Halus, bangga.
Beberapa orang lantas mengangkat jasad si Pria dan mengaraknya entah ke mana, diikuti oleh yang lainnya.
“Dewa tidak mungkin sebrutal itu!” samar-samar kudengar salah seorang
dari mereka berkata, ketika jarak mereka sudah agak jauh dariku.
“Apakah tadi kalian dengar? Sebelum tewas, pria ini berkata bahwa
Pohon Dewa mempunyai mulut,” kata seseorang yang lain. “Mana ada pohon
yang bermulut?!”
“Kalau bukan pohon, lantas apa?”
“Jangan-jangan, sebenarnya Pohon Dewa itu adalah seekor binatang!”
“Kau dengar itu?” ucap si Makhluk Halus padaku, dan tersenyum puaslah ia.
***
Malamnya—masih pada hari di mana si Pria tewas—orang-orang dewasa,
termasuk si Tetua, datang mengerubungiku entah buat apa. Masing-masing
dari mereka membawa obor. Dan tampak marah.
Puisi-Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 12 November 2017) Perintah Demang Kalang ilustrasi Pata Areadi/Media IndonesiaPerintah Demang Kalang
Telunjuk tanganmu,
Tak sebatas peringatan bagi kami yang diam
Demang ini, yang mengutus
anak buah terpilihnya
untuk menyibak hutan
Mereka menyebut diri dengan bubak yoso
Telunjuknya menuju Coyudo
Kakinya seakan lihai
menggelinding sendiri
Membuka areal pemukiman
di wilayah Gemuh sebelah barat
Coyudo inilah tokoh kami
yang mengawali
dukuh Wanglu Krajan
melahirkan diri di Poncorejo
Lambat laun, selepas
Coyudo mampu
melaksanakan tugas mulia
mencetak kampung,
ia membawa keluarga
dan sanak saudaranya
untuk tinggal dan menempati
muara hidup kami
Kami memulai suara baru,
mencipta kepantasan berkali-kali
Menimbun keganasan bertubi-tubi
Kendal, Juli 2017
Rumah Tak Berwujud
Sebagai rumah,
kami memilih
untuk tinggal di tengah
Sebagai tanah,
kami memilih
untuk sesekali dalam tengadah
Sebagai air,
kami kerap memilih
tinggal di rumah lain
Yang sama sekali
Sebagai wujud,
Kepada siapa
yang paling pantas
untuk kelalaian kami?
Kendal, Juli 2017
Berapa Meter Angkat Kaki
Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah bekerja
di kota besar itu
kau nampak seperti api
Jakarta semacam kabut
Yang menyambar
kening-keningmu
Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah pandai mencipakan
orang-orang baru
Para pekerja membabi-buta
Lihatlah mata mereka, Kalang
Dari nyalanya,
nampak para prajurit
Berkejaran dengan bayangannya
Hingga menjelang
masa akhir tugasnya
Mereka menemukan
pasangan hidup
Dari tepi
bayangannya sendiri
Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah menjadi orang tua
Mereka tiada lagi dapat
mempertahankan perkawinan
yang kini dikatakan kuno
Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah mengubah perkawinan
endogami menjadi eksogami
Lihatlah Kalang,
Perjodohan anak-anakmu pun
mengikuti arus perubahan zaman
seperti masyarakat desa-desa lain
Yang kian meninggalkan
muara-muaramu
Kendal, Juli 2017
Ajari Kami Menjadi Beban
Kalang, ajari kami menjadi beban
Tujuan yang bukan pilihan
banyak orang
Kalang, ajari kami menjadi beban
Dunia yang tak dikehendaki
banyak orang
Kalang, ajari kami menjadi beban
Alam pikiran yang tak dipikirkan
banyak orang
Kalang, ajari kami menjadi beban
Seperti yang kau haturkan
Untuk kekekalanmu sendiri
Kalang, ajari kami menjadi beban
Menjadi surga kecil
Menjadi belantara hening
Yang sanggup mengurusi kami
Sebab berhari-hari ini,
lelap telah melanda batin-batin kami
Kendal, Juli 2017
Mesin Penghancur
Kaulah mesin penghancur itu,
Yang mengajarkan kami
Semakin jauh
Meninggalkan banyak jejak
di sekitar rumah-rumahmu
Kaulah mesin penghancur itu,
Yang menjadikan kami
Semakin ragu
Untuk menjawab
Permintaan-permintaanmu
Kaulah mesin penghancur itu,
Yang menuntun kami
Semakin menemukan cara baik
Untuk mengejar banyak wirid
Yang tak pernah kau kehendaki
Wanglu Krajan,
Jadikan kami murid-muridmu
Turunkanlah kepada kami
Kepada kepala-kepala kami
Yang telah lama
Menjadi abdi
bagi benak kami sendiri
Wanglu Krajan,
Jadikan kami murid-muridmu
Bangunkanlah rumah lain
di tubuh kami
Agar alam tak pernah redup
Untuk tak sekalipun
Mengubah arah kemudi
dari segenap petunjuk-petunjukmu
Kendal, Juli 2017
Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Menerbitkan buku puisi, Perayaan Laut (April, 2016), Manusia Alarm (Agustus, 2017), Orang-Orang Kalang
(Agustus, 2017). Peraih Penghargaan Acarya Sastra 2017 dari Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
RI.