Daftar Blog Saya

Senin, 26 Februari 2018

Ziarah Terakhir Gus Dar

Cerpen Triyanto Triwikromo (Kompas, 25 Februari 2018)
Ziarah Terakhir Gus Dar ilustrasi Sito Pati - Kompas.jpg
Ziarah Terakhir Gus Dar ilustrasi Sito Pati/Kompas 
Setelah shalat tahajud, Gus Dar merasa mendapat pesan yang sudah lama ditunggu: kau akan mati pada saat berziarah di salah satu makam wali.
Kiai 81 tahun itu gemetar. Bukan karena takut. Ia justru takjub pada kedatangan pesan yang terduga itu. Ia sama sekali tidak ingin menghindar dari kematian. Karena itulah, sesungguhnya, ia tak hendak melacak dari mana asal pesan. “Tetapi kalau berasal dari iblis, bahaya juga. Mati dalam rengkuhan tangan perkasa sang iblis bukanlah kenikmatan yang kuinginkan.”
Gus Dar, pemimpin Pondok Pesantren Kalipungkur yang meskipun telah uzur tetap dipanggil dengan sebutan Gus itu, lalu membayangkan bagaimana pesan kematian tersebut sampai kepadanya. Mungkin mula-mula Allah berbisik kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad berbisik kepada merpati. Merpati berbisik kepada angin. Angin mengulang berkali-kali kemudian menyampaikan kepada hujan. Kata Hujan: aku tidak sanggup menyampaikan sendiri. Aku akan segera membisikkan pesan ini kepada Sunan Kalijaga.
Karena itulah, menurut Gus Dar, Sunan Kalijaga pun menerima pesan itu. Sebelum itu, Sunan Kalijaga menyibak kerumunan seribu sunan dan nabi, menembus lapisan tujuh langit, dan akhirnya hanya berhadapan dengan Hujan.
“Di makam wali yang mana ia akan mati?” tanya Sunan Kalijaga.
Hujan tak menjawab. Hujan hanya membisikkan pesan berantai itu.
***
“Bagaimana jika ternyata Hujan merupakan penjelmaan iblis?” batin Gus Dar, “Bagaimana jika ternyata pesan itu berbunyi: kau akan mati sesaat setelah mimpi buruk, sesaat setelah kau pulang dari Makam Sunan Bonang?”
“Tak ada cara lain aku harus sowan ke Pondok Pesantren Kiai Rahtawu,” kata Gus Dar, “Aku harus bertanya apakah aku akan mati pada usia 81 tahun pada saat sujud di Makam Sunan Bonang?”
Gus Dar yakin setelah bertanya kepada kiai berusia 101 tahun itu misteri kematiannya akan tersibak. Gus Dar membayangkan: Allah telah mengi rimkan pesan kematian itu kepada Izrail, sang malaikat pencabut nyawa. Izrail lalu membisikkan pesan itu kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad berbisik kepada merpati. Merpati berbisik kepada angin. Angin mengulang berkali-kali kemudian menyampaikan pesan itu kepada hujan. Hujan lalu berbisik kepada Sunan Kalijaga. Kata Sunan Kalijaga: Hanya Rahtawu yang sanggup membisikkan perihal kematian itu kepada Gus Dar.
“Mengapa?” tanya Hujan.
“Karena Gus Dar berguru kepada Rahtawu.”
“Hanya karena itu”
“Karena Rahtawu itu Al Hallaj dan Gus Dar apinya. Karena Rahtawu itu Simurg dan Gus Dar 30 burung pencari raja. Karena Rahtawu cermin dan Gus Dar sepasang mata.”
Hujan tidak terlalu memahami ungkapan-ungkapan Sunan Kalijaga. Hujan hanya bilang kepada Sunan Kalijaga: di balik kematian masih ada langit, di balik kematian masih ada laut, di balik kematian masih ada hutan. Apakah telah kau siapkan juga semacam buraq semacam cahaya untuk siapa pun yang akan dibunuh Izrail agar ia bisa terbang ke langit? Apakah telah kau siapkan semacam perahu kencana? Apakah telah kau siapkan kereta kuda terindah?
Gus Dar tahu Sunan Kalijaga tidak akan pernah mau menjawab pertanyaan semacam itu. Gus Dar tahu Sunan Kalijaga justru akan segera meminta dia ke Pondok Pesantren Kiai Rahtawu.
***
Diantar sopir terkasih, Gus Dar meluncur ke Kota Suci. Mereka kemudian menuju ke Pegunungan Rahtawu.
Akan tetapi, tidak mudah bertemu Kiai Rahtawu. Untuk bertemu sang kiai, Gus Dar harus berhadapan dengan Jamal Juaim. Jamal adalah penjaga pintu pondok pesantren yang sangat mengetahui situasi Kiai Rahtawu. Jamal tahu apakah Kiai Rahtawu sedang sujud atau membaca A1 Quran. Jamal paham Kiai Rahtawu sedang tidur atau berzikir. Jamal juga paling mengerti apakah Kiai Rahtawu ingin menolak atau berkenan menerima tamu. Namun, Jamal tak tahu Gus Dar adalah murid terkasih Kiai Rahtawu.
“Apakah aku bisa bertemu dengan Kiai Rahtawu?” tanya Gus Dar begitu berada di Pondok Pesantren Kiai Rahtawu.
“Mungkin bisa,” kata Jamal Juaim, “Tetapi menunggu waktu yang tepat.”
“Aku murid Kiai Rahtawu,” kata Gus Dar.
“Murid atau bukan murid tidak bisa bertemu dengan Kiai Rahtawu sekarang.”
“Apakah Kiai Rahtawu sedang berzikir?”
“Bisa, ya, bisa tidak.”
“Apakah Kiai Rahtawu sedang membaca Al Quran?”
“Bisa, ya, bisa tidak.”
“Apakah Kiai Rahtawu tidak pernah berpesan kepadamu: bakal datang seseorang untuk menanyakan kapan ia akan mati dan di mana ia akan dikuburkan?”
“Kiai Rahtawu tidak berpesan apa-apa.”
Gus Dar terdiam sesaat. “Pasti ada yang tak beres,” pikirnya, “Sunan Kalijaga bisa saja belum mengatakan apa-apa kepada Kiai Rahtawu. Bisa juga Sunan Kalijaga sudah mengatakan segalanya tetapi Kiai Rahtawu lupa.”
Gus Dar lalu bertanya lagi kepada Jamal Juaim, “Apakah semalam Kiai Ralitawu tidur?”
“Kiai Rahtawu nyaris tidak pernah tidur.”
“Apakah Kiai Ralitawu tidak bermimpi tentang kematian lelaki berusia 81 tahun?”
“Sejak lima tahun lalu Kiai Rahtawu tak bisa bermimpi lagi.”
Gus Dar terdiam lagi. “Pasti ada yang tak beres,” pikimya, “Barangkali Allah memang tidak pernah mengirim pesan kematian. Barangkali Izrail ingin memainkan nyawaku. Barangkali Nabi Muhammad juga tidak pernah membisikkan apa-apa kepada merpati. Merpati juga tidak pernah berbisik kepada angin. Angin tidak pernah mengulang pesan kematian itu berkali-kali kemudian menyampaikannya kepada hujan. Hujan juga tidak pernah bercakap-cakap dengan Sunan Kalijaga.
Gus Dar lalu bertanya lagi kepada Jamal Juaim. “Apakah kau pernah bermimpi bertemu Sunan Kalijaga?”
“Pernah.”
“Apa yang pernah dikatakan oleh Sunan Kalijaga kepadamu?”
“Sunan Kalijaga bilang: seseorang akan mati indah pada saat berziarah di salah satu makam wali.”
“Apakah kau mengenal siapa yang akan mati?”
Jamal Juaim menggeleng. “Kiai Rahtawulah yang tahu siapa yang bakal mati siapa yang bakal hidup hingga sembilan hari mendatang.”
“Kalau begitu,” kata Gus Dar, “Sekali lagi izinkan aku bertemu Kiai Rahtawu. Aku akan bertanya siapa yang akan mati pada sembilan hari mendatang?”
“Mungkin kau akan bisa bertemu Kiai Rahtawu,” kata Jamal Juaim, juga sekali lagi, “Tetapi menunggu saat yang tepat.”
Sebenarnya Gus Dar ingin marah. Akan tetapi, ia memilih bersabar. Malah tiba-tiba Gus Dar merasa Jamal Juaim, sebagaimana Kiai Rahtawu, tahu siapa akan mati siapa akan hidup sembilan hari mendatang.
Karena itu, Gus Dar mengurungkan niat bertemu dengan Kiai Rahtawu.
“Apakah sembilan hari mendatang aku akan mati?”
Jamal Juaim terdiam. Jamal Juaim kaget. “Mengapa tidak kau lontarkan pertanyaanmu itu kepada Kiai Rahtawu?”
Kini ganti Gus Dar yang terdiam. Ia merasa berhadapan dengan tembok yang tidak bisa ditembus. Karena itu, ia ingin pulang saja. Jika masih memiliki sembilan hari untuk hidup, ia memutuskan hari itu juga mulai berziarah ke Makam Sunan Ampel. Lalu meneruskan secara acak ke Makam Sunan Giri, Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, Makam Sunan Drajat, Makam Sunan Bonang, Makam Sunan Muria, Makam Sunan Kudus, Makam Sunan Gunung Jati, dan diakhiri ke Makam Sunan Kalijaga.
***
Akan tetapi, niat Gus Dar terhalang oleh sopir yang tiba-tiba menghilang. Tidak. Tidak menghilang. Sopir itu diusir oleh sepasang laki-laki berusia 40 tahunan, yang sangat tampan. Sopir itu akan ditembak jika tidak segera pergi.
“Tidak perlu mencari sopir Sampean. Kami akan mengantar ke mana pun Sampean pergi,” kata salah seorang kepada Gus Dar.
“Aku akan ke makam para wali.”
“Akan kami antar.”
Mereka kemudian mengantar Gus Dar ke makam para wali. Sembilan hari. Selama itu pula Gus Dar tidak pernah bertanya siapakah mereka. Gus Dar yakin kedua pria tampan itu bagian dari kisah kematian dirinya yang dirancang agak berbelit-belit dan rumit oleh Allah. Hanya, pada hari kesembilan Gus Dar masygul. “Mengapa aku tidak mati-mati?”
***
Kini Gus Dar berada di Makam Sunan Kalijaga. Ia berharap akan mati setelah melakukan wasilah terakhir. Ia berharap pesan Allah terwujud.
“Apakah jika aku mati hari ini kalian akan memakamkan aku di dekat makam para wali?”
“Siapa bilang Sampean akan mati?” tanya salah seorang.
“Aku merasa akan mati.”
“Mungkin Sampean akan mati,” kata salah seorang, “Tetapi menunggu saat yang tepat.”
“Aku akan mati saat berziarah di salah satu makam wali.”
“Siapa yang memberi pesan Sampean akan mati saat mengunjungi makam wali?”
“Tentu saja Allah.”
“Yakin?”
“Yakin.”
“Bukan iblis?”
Gus Dar terperanjat mendapat pertanyaan semacam itu. “Tetapi aku yakin aku akan segera mati. Usiaku sudah 81 tahun.”
“Ya, kau mungkin akan mati,” kata salah seorang, “Tetapi tidak di makam ini.”
“Lalu aku akan mati di makam siapa?”
Kedua pria tampan itu tidak menjawab. Mereka bergegas memapah Gus Dar yang kian lama kian kelelahan. “Akan kalian ajak ke mana lagi aku?” tanya Gus Dar.
Kedua pria tampan itu membisu. Mereka kemudian meninggalkan Makam Sunan Kalijaga. Jip mereka kini menuju ke arah Tanjungrasung. Dalam ingatan samar Gus Dar, di Tanjungrasung memang ada makam kecil. Makam di ujung tanjung.
“Apakah itu Makam Syekh Siti Jenar?” Gus Dar membatin, “Apakah aku akan mati setelah berziarah di makam itu? Apakah Syekh Siti Jenar wali paling wali? Apakah…”
Jip terus melaju ke Tanjungrasung.
“Kami akan membunuhmu sekarang,” kata salah seorang, setelah jip berhenti di ujung tanjung yang sepi.
Meskipun telah cukup lama mempersiapkan kematian, Gus Dar terperanjat juga. Gus Dar tak tahu akan mati dengan cara apa. Apakah kedua orang itu akan berebutan memukul kepala Gus Dar dengan pentungan kasti? Apakah kedua orang itu akan membentangkan tangan Gus Dar di tiang lalu menusukkan lembing di jantung? Apakah seseorang akan meletuskan pistol tepat di lambung atau hanya memintanya tafakur di antara keheningan daun-daun yang gugur? Gus Dar tak tahu. Gus Dar sudah tak berhasrat mengetahui apa pun saat meninggalkan dunia yang fana dan kian karut-marut itu.

Triyanto Triwikromo telah menulis Kematian Kecil Kartosoewirjo yang memungkinkan ia memperoleh penghargaan Tokoh Seni 2015 Pilihan Majalah Tempo. Ia juga menulis Ular di Mangkuk Nabi (pemeroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa). Selain sebagai jurnalis, ia mengajar Penulisan Kreatif di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Sastrawan ini memperoleh Penghargaan Kesetiaan Berkarya Kompas 2017.
Sito Pati, lahir 6 Agustus 1966 di Pati, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan seni di STSRI/ISI Yogyakarta. Sito menjadi finalis Philip Morris Indonesia Art Award tahun 1995, 1996, dan 1998. Ia juga memperoleh penghargaan Karya Terbaik dalam pameran Rambut Putih, Tahun Mas (2015). Kini menetap di kota Yogyakarta.

Zera

Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 25 Februari 2018)
Zera ilustrasi Putut Wahyu Widodo - Suara Merdeka.jpg
Zera ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Bu Raka mengadu lagi pada Bu RT. Suaminya diam-diam punya wanita simpanan.
“Sudah lama uang belanja bulanan saya terus dikurangi. Turunnya juga seret. Kalau sudah saya ancam-ancam akan bunuh diri, baru dia membuka dompet. Tapi sudah siang. Mau masak apa coba. Akhirnya saya sering minta makan ke rumah tetangga supaya tidak mati. Eh, pulang-pulang, dia ngamuk, ribut tidak ada makanan. Padahal kalau ada juga, menoleh sebelah mata pun tidak. Segalanya jadi salah. Saya heran, dia sering marah-marah tanpa alasan. Segalanya dia gampar, tak terkecuali saya. Untung, anak saya Risky selalu melindungi. Dia tidak takut lawan papa tirinya yang kesetanan itu. Saya suruh Risky terus latihan fitnes supaya ototnya kuat. Nanti kalau tiba-tiba berantem supaya tidak kalah. Kalau mulut papanya pedas, harus dia jawab lebih pedas lagi. Kalau papanya banting kursi, Risky juga saya suruh banting kursi. Masa dia nuduh saya sudah morotin sampai dia bangkrut. Saya juga selalu dia tuduh bawa sial. Batu bara hancur, nyalahin saya. Gagal nyaleg, dia bilang saya tidak bawa hoki. Padahal yang selalu bikin perkara kan itu, si Riene anak kandungnya. Perempuan kegenitan itu maksa-maksa papanya menceraikan saya dan menuntut semua warisan jatuh ke dia. Anak saya jadi marah. Kalau saya tidak cegah dia sudah ngamuk. Untung, bisa saya bujuk. Lalu dia hanya mengadu ke LBH. Papanya kaget, mengeluarkan pistol. Entah dapat dari mana, entah ada isinya atau tidak. Tapi saya kan jadi stres. Akhirnya, saya…”
Putus. Bu Raka menyemburkan tangis. Dengan tangkas Bu RT menenangkan seperti biasa, sambil mengusap-usap. Tapi tangis tamunya terus mengucur. Baru setelah disuguh makan, ia anteng kembali.
“Makannya lahap sekali, seperti orang kelaparan, Pak. Masa sih orang kaya begitu kelaparan? Pulang juga minta dibawain, untuk makan malam, katanya!” lapor Bu RT kemudian entah sudah berapa puluh kali pada suaminya. “Kalau kelas dia saja kelaparan, bagaimana kita ini?”
“Ya betul, Bu RT, serius! Sudah enam bulan saya hanya makan mi instan. Yang lain tidak ada yang bisa masuk!”
“Jangan, Bu Raka! Kebanyakan makan mi instan sama dengan bunuh diri.”
“Tapi kan enak!”
“Semua yang enak berisiko tinggi. Enak di mulut, racun di perut!”
Biarin, yang dalam perut kan tidak kelihatan! Yang tidak kelihatan bukan urusan kita!”
Bu RT tersenyum. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan otak yang lagi kacau. Tetapi ia tak bisa membiarkan warganya sesat terlalu jauh.
“Kalau Bu Raka makan mi instan terus berarti selalu membuang makanan yang saya sering berikan dong?!”
Bu Raka bingung, tak menjawab. Ia loncat ke soal lain.
“Sekarang saya mulai minum pel mengurangi tekanan, karena tekanan saya sering sampai 120. Tinggi kan, Bu RT?”
“Siapa bilang, 120 itu normal.”
“Bukan 120, melainkan 210!”
“Wah, 210? Itu tinggi sekali. Ibu harus ke UGD. Cepat, sebelum kecolongan!”
“Betul, Bu RT. Risky juga bilang begitu. Tapi bagaimana ya, ke UGD kan repot, jauh, belum kalau dimainkan rumah sakit. Periksa sini, periksa sana. Mau bilang mencret saja, pakai periksa jantung, periksa darah, dironsen. Nanti kalau saya dikirim ke rumah sakit gila bagaimana? Memang itu tujuannya! Supaya saya pergi dari rumah. Jadi dia merdeka dengan cemceman-nya dan si Riene ambil alih semua. Tinggal Risky yang akan jadi anak ayam kehilangan induk. Aduh, tak kuat saya. Akhirnya, akhirnya saya….”
Putus lagi. Ibu kaya yang kelaparan itu sekali lagi dilabrak tangis.
Bu RT kemudian menyelipkan selembar 50-an ke tangan Bu Raka. Langsung tangisnya tamat. Lalu ia mau pulang ke rumahnya yang berlantai tiga di ujung.
“Itu dia. Kenapa aku kemarin ngotot menentang kamu jadi ketua RT!” kata Amin ngedumel. “Sudahlah. Mundur saja, Bu!”
“Lo, Pak, kamu ini bagaimana! Mau saya langsir? Jangan berpikir negatif terus! Ini kan risiko. Mana ada jabatan tanpa risiko. Katanya ingin belajar jadi caleg. Sudah, bersihkan rumah, jangan sambat aja, aku nengok saudara dulu! Nanti kalau tetangga baru itu lapor mau bawa tamu untuk nginap, tahan KTPnya, jangan terulang kasus sodomi itu lagi!”
Amin tak bisa membantah. Sejak istrinya jadi ketua RT, ia tak bisa ke mana-mana, karena seluruh kegiatan rumah praktis jatuh ke tangannya. Maka ketika dulu warga mencalonkan dia jadi ketua RT, ia angkat tangan. Tapi istrinya kepengin. Teman hidupnya itu ngiler dipanggil Bu RT.
Menjelang sore, datang Pak Raka. Curhat dia juga tak sedikit. Entah tahu entah tidak istrinya langganan menangis di rumah Bu RT. Ia begitu saja nubruk Amin.
“Pak Amin, payah!”
“Apalagi, Pak Raka? Kan mobil baru ganti!”
“Bapak-bapak menteri ada-ada saja! Masa pembangunan Menara Jakarta kerja sama dengan Tiongkok, pelaksanaannya mau ditumpahkan ke saya!”
“Oh ya? Hebat, Pak Raka! Selamat! Saya bangga!”
“Tapi itu kan berat! Pasti makan bertahun-tahun. Banyak intrik, friksi, kontradiksi, gosip, sikut-sikutan, iri hati. Salah sedikit, saya bisa digantung KPK!”
“Itu risiko! Tapi proyeknya kan gede, Pak. Untungnya pasti juga gede banget! Ya nggak?”
“Memang.”
“Bapak yang terpilih dari 250 juta rakyat Indonesia. Itu kan tandanya Bapak hebat! Masa sih, bapak-bapak di atas akan memilih saya. Pasti mereka pilih Bapak yang hebat?! Selamat!”
Amin menyambar tangan Raka. Mengguncangnya berapi-api. Tapi muka Raka kelihatan loyo.
“Tapi rumah tangga saya lagi galau, Pak Amin. Tahu kan, istri saya belakangan ini stres, lalu suka berhalusinasi. Dia sudah tahu dari berita koran, TV, ekonomi kita lagi merosot, rupiah terpuruk, semua menjerit. Saya banyak tugas, saya perlu konsentrasi, kok saya dituduh punya simpanan bini muda? Bini muda tahi kucing! Bini muda saya tugas negara! Memang saya jarang di rumah, tapi itu kan karena saya sibuk membantu menteri mau buat Menara Jakarta sebagai ikon Indonesia, proyek mercu suar bersama dengan Republik Rakyat Tiongkok. Uang belanja sudah saya dongkrak, tapi dia terus saja ngaku ke tetangga saya potong sampai tidak bisa makan. Itu bullshit. Bawaannya tegang, curiga, marah terus. Akibatnya, jangankan anak saya, anaknya juga tidak dia urus. Masa si Risky pernah memukul saya! Lo jelek-jelek begini saya kan papanya! Risky sudah jadi liar dan narkobais sekarang! Masa Riene, anak saya, adiknya, mau dia perkosa? Saya laporkan saja dia ke polisi! Eh, dia malah mengadu ke LBH supaya status saya diajukan ke pengadilan berada di bawah pengampuan! Supaya saya tidak berhak melakukan tindakan hukum sendiri! Itu kan sama dengan pembunuhan! Itu otak sesoprenia ibunya! Ternyata dia paranoid, berkepribadian ganda! Bekas Ratu Kebaya kok begitu! Tadinya waktu kami menikah, dia santun, intelek, berkarakter! Sekarang kok tahi kucing, jadi iblis begitu! Kepala saya hampir pecah mikirin kelakuannya. Shit! Shit! Akhirnya, akhirnya….”
Putus. Bu Amin muncul.
“Tumben, Pak Raka pulang sore!”
Raka kaget. Gugup menyapa, “O, Bu RT. Selamat sore. Dari mana? Apa kabar? Apa itu?”
Bu RT mengangkat kurungan kucing yang dia tenteng dari rumah keponakan.
“Ini Zera. Anak kucing persia, punya ponakan. Istrinya mengandung, dokter nyuruh kucing diungsikan dulu, bulunya bisa menyebabkan tokso plasma yang mengganggu janin. Jadi Zera dibuang, cuma sayang harganya mahal. Jadi mending saya tampung.”
Amin terkejut.
“Tapi kalau kita pelihara, aku kan bisa asma?”
Bu RT kaget.
“Astaga, kok saya bisa lupa Bapak alergi bulu kucing?”
“Lagian itu kan kucing ras! Makanannya, dokternya, akan morotin kita. Itu kucing orang kaya. Bukan untuk kita. Itu mainan untuk bos-bos seperti Pak Raka yang mau jadi kepala proyek Menara Jakarta ini.”
Raka ketawa.
“Mau mengadopsi Zera, Pak Raka?”
“Adopsi?”
“Ya!”
“Adopsi kucing?”
“Ya!”
Raka ketawa. Bu RT mengangkat tentengan plastik berisi dokumen Zera.
“Di sini ada akta kelahiran Zera. Buku harian Zera. Jadwal dokter, daftar makanan, kaset lagu kesayangan dan video yang suka dia tonton.”
Raka tertawa geli.
“Mau tidak?”
“Oke, oke, saya adopsi. Tapi saya harus bayar berapa juta?”
“Tidak usah bayar, asal dipelihara selayaknya sebagai anggota keluarga.”
“Oke, oke, deal, akan saya pelihara sebagai keluarga!”
Mereka bersalaman.
“Terima kasih, Bu RT. Hanya satu permohonan kecil. Tanpa mengurangi rasa hormat saya atas kebaikan hati Bu RT, saya mohon, kalau istri saya datang kemari mau curhat, mohon tolak saja. Dia itu sesoprenia, depresi, paranoid, berkepribadian ganda, dan suka berhalusinasi. Kalau ditanggapi, dia akan merasa didukung dan dibenarkan. Dan, maaf, tolong jangan sekali-sekali memberi dia makanan kampung. Perutnya supersensitif. Kemarin sampai dilarikan berobat ke Sing. Oke, terima kasih. Selamat sore!”
Raka cepat menenteng kurungan kucing ke mobil. Bu RT dan Amin ternganga. Tak percaya apa yang mereka alami.
“Itu bukan Pak Raka yang kita kenal, Pak. Itu orang lain!” bisik Bu RT.
“Ya! Kelihatan sekarang, jiwa dia yang terganggu!”
Malam hari Bu RT tetap bengong. Ia menyesal telah menyerahkan Zera pada orang yang lagi sakit jiwa. Lalu ia memutuskan mengambil Zera kembali.
Sembari ngumpat dalam hati, Amin terpaksa ikut. Ternyata rumah Raka gelap gulita. Bu RT berusaha ngintip.
Kedengaran ada suara percakapan di dalam. Amin hampir saja mengetuk pintu. Tiba-tiba lampu teras menyala. Bu RT menyambar tangan suaminya untuk bersembunyi.
Lalu kedengaran derai suara tertawa bersama. Pak Raka memegang sebatang lidi dengan robekan kertas bekas kresek di ujungnya. Ia memainkan kertas itu hingga Zera dengan serius penuh semangat menerkam, mengejar, melompat, jatuhbangun. Semua ketawa histeris.
Kemudian sambil mengeluarkan bujukan dan kata-kata lembut, bergantian pegang lidi. Bu Raka menari-nari, Risky bergulung dan Riene menyanyi.
Bu RT dan Amin ternganga melihat orang dewasa itu jadi lebih dari anak-anak. Ketawa mereka meledak-ledak, terpingkal-pingkal tak putus-putus. Kegelapan rumah itu berubah jadi cahaya kebahagiaan yang lembut dan begitu mengharukan.
Ketika Raka terjatuh karena terlalu bersemangat mengelaki terkaman Zera, kucing itu terkejut, lalu ngibrit masuk rumah. Semua membantu Raka bangun, lalu bersorak tertawa melihat celana calon kepala proyek Menara Jakarta itu robek. Raka cekakakan.
Zera mengeong seperti minta permainan diteruskan. Semua menyusul masuk sambil tertawa. Tapi Raka salah langkah, oleng. Bu Raka menggapai, tapi terlambat. Keduanya jatuh pelukan. Amin tertawa, hampir saja bertepuk tangan. Bu RT cepat menutup mulut suaminya dan segera membawanya pergi. (44)

Jakarta, 10 November 2015
Putu Wijaya, yang bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, adalah sastrawan serbabisa. Pria kelahiran Tabanan, Bali, 11 April 1944, ini menulis esai, cerpen, novel, naskah drama, serta skenario sinetron dan film. Dia juga melukis serta bermain dan menyutradari teater.

Surga di Kolong Ranjang

Cerpen Abdullah Salim Dalimunthe (Media Indonesia, 25 Februari 2018)
Surga di Kolong Ranjang ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Surga di Kolong Ranjang ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
LAGI-LAGI, saya menemukan Alessa merebah di kolong ranjang di kamarnya. Sudah tiga kali saya temukan ia di sana. Tertidur pulas di lantai keramik berwarna gradasi abu-abu muda. Dengan posisi menyamping, dan telapak tangan yang menyelip di antara lantai dan pipinya, Alessa tertidur sambil tersenyum. Ingin saya membelai dan mengecup keningnya, atau bahkan memeluk tubuhnya, tetapi saya tahan. Saya khawatir, jika itu saya lakukan, saya hanya akan mengganggu tidurnya. Atau malah membangunkannya. Saya tidak mau itu terjadi. Oleh sebab itu, saya merebahkan diri dan mengawasi Alessa hanya dari pinggir kolong. Sambil mereka-reka apa yang sedang dimimpikan oleh keponakan saya tersebut.
Barangkali, Alessa sedang memimpikan sebuah istana yang terbuat dari cokelat, yang di dalamnya terdapat kolam besar yang berisikan madu. Atau, mungkin juga, saat ini Alessa sedang memimpikan sepasang boneka kelinci raksasa yang jarijemarinya dapat diemut bagaikan permen. Sebagaimana yang pernah ia ceritakan kepada saya dua hari yang lalu–ketika saya baru saja tiba di rumah ini, setelah kakak saya (mama Alessa) meminta saya untuk datang menemani Alessa selama beberapa hari ke depan. “Om, apakah di surga ada boneka kelinci raksasa?”
Pertanyaannya itu membuat saya tersenyum. Ia menggandeng saya ke kamarnya. “Tentu saja, Alessa. Di sana, apa pun yang menyenangkan hati kamu, pasti ada.”
“Meskipun boneka kelinci raksasa itu berbeda?”
“Ya, meskipun boneka kelinci raksasa itu berbeda. Asalkan hati kamu merasa gembira, boneka yang bagaimanapun bedanya, di sana pasti ada.”
Dengan senyum kanak-kanaknya yang khas, Alessa memandangi saya cukup lama, kemudian mulai bercerita. Ia mengatakan kepada saya, bahwasanya kemarin siang, setibanya di rumah usai pulang sekolah, ia terburu-buru masuk ke dalam kamar dan tanpa sengaja menjatuhkan botol minumnya. Dan, ketika hendak mengambil botol minumnya tersebut, ia melihat kerlip bintik-bintik cahaya yang beterbangan memenuhi kolong ranjang. Ia terkejut–sekaligus penasaran. “Seperti kunang-kunang?” tanya saya. Alessa lekas mengiyakan, “Iya, maksudku itu, Om, seperti kunang-kunang.”
Alessa kembali meneruskan ceritanya. Ia bilang, dirinya mengamati kerlip bintik-bintik cahaya itu terlebih dahulu—dalam beberapa menit—sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kolong. Dan, ketika dirinya telah berada di tengah-tengah kerumunan kerlip bintik-bintik cahaya—yang entah apa—itu, ia merasakan seperti ada sesuatu yang mengisap tubuhnya kuat-kuat. Hingga ia tersedot dan terlempar jauh ke suatu tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. “Dan, tempat itu benar-benar indah, Om!”
Ia tampak begitu ceria, saat mengatakan, di tempat itu ia melihat sebuah danau yang tidak terlalu luas, tetapi di tepiannya berderet perahu-perahu karet yang berwarna-warni. Dan, di dekat perahu-perahu karet yang berwarna-warni itu pulalah ia bertemu dengan sepasang boneka kelinci raksasa yang berdiri tegak menghadap ke arah danau. Sepasang boneka kelinci raksasa itu kemudian mengulurkan kedua kelingking mereka masing-masing ke dekat mulut Alessa. Sehingga aroma khas permen mentol yang menguar dari jari-jemari sepasang boneka kelinci raksasa itu tercium olehnya. Alessa pun mengulum satu per satu jari-jemari boneka-boneka kelinci raksasa tersebut.
Selepas menikmati jari-jemari sepasang boneka kelinci raksasa tersebut, Alessa dihampiri oleh seekor merpati yang berukuran besar. Tinggi badan merpati itu setinggi rumah dua lantai, hampir menyamai tinggi boneka-boneka kelinci raksasa tersebut. Merpati itu merebah. Lalu merentangkan sebelah sayapnya, “Naiklah ke punggungku, gadis kecil.” Dengan hati-hati, ia merangkak naik ke punggung merpati yang berwarna putih itu. Kemudian memegangi bulu-bulu yang tumbuh di leher merpati itu erat-erat. Merpati itu membawanya terbang menuju ke sebuah bukit yang sangat tinggi. Dan, di puncak bukit itu, Alessa melihat papanya sedang asyik memetik apel. “Papa? Papa kamu?”
“Iya, Om, papa kandung aku!”
Saya terkejut mendengarnya. Bagaimana Alessa bisa yakin kalau orang yang dilihatnya di puncak bukit itu adalah papa kandungnya? Padahal, saya tahu, sekali pun Alessa belum pernah melihat wajah papanya sejak ia berumur dua tahun. Karena mamanya tidak membiarkan hal itu terjadi. Saya ingat, enam tahun silam, dua minggu setelah kepergian papanya dari rumah yang entah ke mana, mamanya mengumpulkan semua foto yang ada di rumah lalu membakarnya. “Pernikahan dengan laki-laki itu adalah sebuah kesalahan,” kata mama Alessa meradang, “dia laki-laki pecundang.”
Dia bukan pecundang, pikir saya. Dia, laki-laki itu (papa Alessa), hanyalah seorang laki-laki yang kurang beruntung. Laki-laki itu bernasib jelek setelah menikahi kakak saya. Dia di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, tepat enam bulan sesudah menikah. Dan, nasibnya kian kurang beruntung setelah tidak berhasil memperoleh pekerjaan yang baru. Lamaran-lamaran pekerjaannya selalu ditolak, entah mengapa. Barangkali, perusahaan-perusahaan itu tidak menaruh minat kepada orang-orang yang terkena PHK. Atau, mungkin juga, usianya yang tidak lagi mampu bersaing dengan pelamar-pelamar yang jauh lebih muda. Atau memang, belum rezekinya saja. Ya, apa pun itu, menurut saya, papanya Alessa hanyalah seorang laki-laki yang kurang beruntung dan menikahi seorang perempuan yang kurang bersabar. Padahal, laki-laki itu laki-laki yang baik. Dia bahkan rela bekerja serabutan menjadi juru parkir liar demi anak dan istrinya. Dan, dia juga rela menerima hardikanhardikan istrinya setiap hari. Sampai pada suatu hari, dia menghilang, dan tak pernah kembali.
“Merpati itu yang memberi tahu, bahwa orang yang ada di puncak bukit itu adalah papaku.”
Betapa senangnya Alessa mengatakan hal itu. Saya bisa merasakan kebahagiaan yang berbalut kerinduan dalam getar suaranya.
“Ternyata papaku itu orangnya ganteng, ya, Om.”
Saya memalingkan muka. Saya tidak mau Alessa melihat kedua mata saya berkaca-kaca.
“Iya, sekarang kamu tahu, kan, cantiknya kamu itu nurun dari siapa?”
Ia tidak menjawab. Tapi, saya yakin, Alessa sedang tersenyum-senyum sendiri.
“Kasihan kamu, Alessa,” gumam saya pelan.
Ingin rasanya saya memeluk Alessa dan cepat-cepat membawanya pergi dari sini. Betapa sepinya Alessa di rumah ini. Setiap hari, ia hanya berteman dengan boneka-boneka yang ada di kamarnya. Dan seorang pembantu yang terlalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya, sedangkan mamanya, sungguh, ia tidak pernah peduli. Bagi mama Alessa, tanggung jawabnya hanyalah: menyekolahkan Alessa, memberinya pakaian dan makanan agar Alessa tetap hidup. Cuma itu. Dan itu pun sudah lebih daripada cukup buat seorang anak yang terlahir dari sebuah kesalahan. “Bagaimana dengan perhatian dan kasih sayang yang dia butuhkan?” protes saya kala itu. “Untuk hal-hal demikian, Kakak percayakan sama kamu,” jawabnya ringan.
Dan, ketidakpedulian mamanya itu kian menjadi-jadi setelah menikah lagi, setahun kemarin. Mamanya cuma sibuk mengurusi dan memberi perhatian kepada suami barunya saja. Sedangkan Alessa? Entahlah. Mungkin, baginya, Alessa hanyalah setitik debu di kehidupannya. Ah, seandainya saja kedua orangtua saya (kakek dan nenek Alessa) masih hidup.
Tiba-tiba, ponsel di saku celana saya bergetar. Sebuah pesan pendek dari kakak saya yang memberitahukan bahwa ia dan suaminya akan pulang esok pagi. Saya melihat jam yang tertera di layar ponsel: 19:09 PM. Ternyata, sudah hampir dua jam saya mengawasi Alessa dari pinggir kolong. Saya harus segera membangunkan Alessa untuk mengajaknya makan malam. Saya tidak mau ia masuk angin lalu sakit. Perlahan saya mendekati Alessa.
“Alessa, ayo bangun, kita makan dulu,” bisik saya ke telinganya.
Ia tidak merespons. Alessa masih terlihat pulas dengan senyumnya yang tampak begitu polos. Saya mencoba sekali lagi, “Alessa, ayo kita makan dulu, nanti setelah makan malam, kamu boleh tidur lagi,” bisik saya dengan suara yang agak lebih tinggi.
Alessa tetap tidak menjawab. “Alessa, bangun,” saya mengguncangkan badannya. Tapi, Alessa tetap tidak bereaksi. Saya menyentuh pipinya, kemudian memegangi tangannya. Dan, yang saya rasakan saat ini, pipi dan tangan Alessa terasa sangat dingin. Lalu saya mendekapnya. “Alessa, ayo bangun, sayang….”
Kemudian saya lepaskan dekapan saya dan berbaring di sampingnya. Saya kembali teringat, siang tadi, Alessa berkata: “Om, di tempat yang indah itu, aku melihat sebuah istana yang sangat megah. Dan, di situ, aku melihat banyak bidadari cantik yang berdiri di dekat Papa. Aku juga melihat Kakek, Nenek, dan Om ada di sana. Tapi…, kenapa aku tidak melihat Mama ada di sana, ya?”
Tidak lama kemudian, tiba-tiba, saya melihat kerlip bintik-bintik cahaya bermunculan satu demi satu. Mereka mulai menerangi dan memenuhi kolong ranjang. Kerlip kuning keemasan yang tampak cantik. Membuat saya terlena dan hanyut. Perasaan saya begitu damai. Tenang. Sejuk. Dan, ada rasa bahagia yang merangkul batin saya. Belum pernah saya merasakan kegembiraan seperti sekarang ini. Memaksa saya untuk selalu tersenyum. Hingga, mendadak saya merasakan ada sesuatu yang menarik diri saya dan mengempaskan saya ke suatu tempat. Dan, tempat itu terlihat sangat-sangat indah.
“Alessa?”
***

Abdullah Salim Dalimunthe. Kelahiran Medan, Sumut, November 1982. Alumnus Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Kini ia tinggal di Bandung, Jawa Barat.