Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Masa Lalu di Meja Makan ilustrasi Muhammad Sabil/Kompas
Frankfurt Oktober, diramaikan dedaunan yang bagaikan pemain sandiwara
sibuk berganti pakaian warna-warni yang berubah-ubah. Angin bergurau
dengan helai rambut yang tak tertutup topi, berjuntai di tepi telinga
ketika aku berjalan cepat menuju rumah.
Semalam, sebelum tidur, aku sempat menyingkapkan kain tirai jendela
untuk melihat apa yang sedang terjadi di luar. Cahaya lampu jalanan dan
angin menderu menampilkan bayang-bayang menari bergoyang, tarian
pepohonan yang dipadu suara nyanyian alam masih bisa kudengar
sayup-sayup menembus celah daun jendela. Sore hari aku masih melihat
seluruh pohonan bergaun hijau, tetapi sekarang sebagian sudah berbaju
kekuningan. Sebagai anak petani yang datang dari negeri dipanggang
matahari, aku tertegun dalam kenikmatan. Apalagi beberapa puluh tahun
yang lalu, ketika pertama kali menengadahkan telapak tangan menampung
butir-butir salju beterbangan dari langit kelabu.
Mbak Ntin sudah keluar dari selimutnya, tempat tidurnya sudah rapi.
Tapi aku tidak melihat orangnya. Kami tidur di ruang tamu, ada dua sofa
yang dibuka lipatannya menjadi tempat tidur. Ruang tamu ini ruang
serbaguna, kalau diperlukan, meja besar yang ada menjadi meja makan,
terutama kalau banyak orang yang akan ikut melahap masakan yang
tersedia. Masakan beraneka ragam dibawa oleh orang yang datang, bersama
membuka pesta masa lalu. Di meja makan itulah Suharto dihidupkan kembali
kemudian dibunuh beramai-ramai. Tapi tidak lama kemudian, Suharto hidup
kembali membumbui hikayat hidup orang-orang yang terhalang pulang.
Suharto hebat, tidak pernah mati dalam perjalanan kaum kelayapan,
terutama sekali kalau ada anak negeri khatulistiwa mampir untuk memetik
harapan yang menggelayut dari langit-langit kiprahnya.
“Pak Gung, sarapan sudah siap.” Terdengar suara Mbak Ntin di ruangan yang lain.
“Masih tidur apa?”
“Sudah buka mata, buka telinga, dan buka mimpi Mbak. Sarapan apa?”
“Yang semalam saja belum habis.”
“Lha, yang semalam? Semalam, kan, kebab turki habis sampai ke bungkus-bungkusnya.”
Terdengar suara tertawa renyah ringan, tidak hanya suara Mbak Ntin. Ada suara Go Koan dan Mercy.
“Riwayat Jauhari, kan, belum tamat?” suara Go Koan menimpalinya.
Rumah ini sudah dihuni oleh pasangan suami istri, Go Koan dan Mercy,
sejak lima puluh tahunan yang lalu. Selalu menjadi rumah singgah, atau
penampungan sahabatnya yang berkunjung ke Frankfurt dengan berbagai
kesibukan. Tertawa renyah itu menandakan semua penghuni sudah kumpul di
dapur, menyantap roti dan sisa kueh semalam, sambil nyeruput minuman yang diadon sendiri-sendiri.
“Kebabnya habis, masa lampaunya yang belum.” Suara Mbak Ntin disambut oleh yang lainnya.
Aku langsung bangun, dan sesudah membasuh muka nimbrung dengan
mereka. “Masa lalu itu selalu enak, seperti nasi kemarin yang dijadikan
nasi goreng.” Sahut Mercy yang berasal dari Polandia.
Mbak Ntin yang warga sebuah kota di Jerman, kukenal sejak sepuluh
tahunan di Jakarta, tidak pernah aku ketahui seluk-beluk hidupnya. Biasa
aku memanggilnya Mbak Ntin, tetapi di beberapa kota ia dikenal dengan
panggilan Mbak Nunik. Bahkan, yang mengherankan, aku pernah mendengar ia
dipanggil dengan nama Ling Ling. Ketika aku tanya siapa nama
sebenarnya, dengan enteng ia menjawab, “Ternyata nama tidak mampu
mengubah manusianya.” Diteruskan dengan tertawanya terpingkal-pingkal,
menertawakan dirinya sendiri. “Intel punya beragam foto saya, dari
samping kiri, kanan, atas, dan mungkin telapak kaki saya juga.”
“Sebegitunya Mbak.”
“Orang sering tidak percaya. Di sini lebih seru Pak Gung. Di tanah
air, intelnya, kan, jelas orangnya. Di sini, ya Allah, ampun.”
Cerita dari teman lain mengatakan kalau seseorang punya nama Tionghoa
berarti ia pernah di Tiongkok, entah bersekolah di sana, atau datang ke
Tiongkok sesudah peristiwa. Kata peristiwa cuma punya satu tafsir,
yaitu gerakan yang terjadi pada tanggal satu Oktober subuh yang berpusat
di Desa Lubang Buaya, pada tahun 1965. Letupan peristiwa itu ternyata
lebih hebat jika dibandingkan dengan bom atom yang melantakkan
Hiroshima, manusia dan kemanusiaan, serta menumbuhkan dampak keretakan
bangunan kejiwaan di seantero dunia. Mbak Ntin, atau Ling Ling, masih
takut diketahui siapa ayahnya yang entah di mana keberadaan jenazahnya.
Ia memutus urat nadi keturunannya, dan masih dihantui mata-mata,
walaupun sejak umur belasan tahun sudah meninggalkan kampung halaman
pergi menuntut ilmu di benua seberang. Kesarjanaannya dia kempit di
ketiak untuk tidak diketahui orang, dan memulai hidupnya menjadi penjaga
toko.
“Sakit hati, nelongso, dan takut Pak Gung,” suatu pagi di
meja makan ia berucap. Waktu itu kami sedang menginap di sebuah rumah
sahabat di Koln, seorang wartawan-penyair yang tidak berani menulis
selama masih bekerja. Sesudah pensiun dari pekerjaan sebagai tata usaha
di sebuah pabrik, ia terseok-seok melanjutkan kemampuan kesastraannya,
dan beruntung bisa menjadi orang yang tidak ketinggalan zaman. Dalam
sehari mungkin hampir lebih dari sepuluh kali menunjukkan sertifikat
tanda jasa dari instansi tempatnya bekerja. Maaf, seperti orang mulai
bego. Dari sorot matanya memancar api dendam dan nyala gereget yang tak
terpadamkan oleh guyuran salju dan lembar-lembar euro jaminan hidupnya.
Kami selalu mengadon masa lalu dengan masakan jawa timuran yang
dihidangkan oleh istrinya dalam sarapan, makan siang dan makan malam.
Boleh jadi masakan itu menghidupkan mereka seperti berada di desanya di
Kerian. Di meja makan masa lalu tidak pernah habis dikunyah dan dicerna.
Di meja makan, masa lalu disantap untuk menerima dan memelihara
kekinian.
“Mas, apa sampeyan bangga menjadi wong Jerman?” Terpancar
kekosongan yang gemuruh dari bola matanya. Aku takut memandangnya dan
merasa bersalah mempertanyakan nya.
“Aku sekarang sedang menabung untuk membeli liang kubur kalau kami
mati.” Suaranya lirih. Terkesan jalan pulang ke kampung sudah ditutup
mati dan dihapus dari peta kehidupannya.
*
Aku adalah penjelajah ke sudut-sudut dunia
langkah diayun mimpi yang tidak pernah ketemu siang
aroma tanah sawah menempel di saluran pernapasan
sekalipun deru angin musim gugur mengiris daun telinga
masa lalu terus disantap di meja makan.
*
Mbak Ntin selalu menjadi pemandu aku berkeliling di beberapa negara
dan kota di Eropa. Ke mana pun pergi, selalu ketemu dengan masa lalu
yang menjadi pelengkap makanan, senda gurau, mimpi getir dan rasa kangen
yang menyakitkan. Pada kunjungan pertamaku di Frankfurt, di tahun 1989,
aku ketemu dengan bekas guruku di SMA di kota kelahiran. Kami seolah
membentangkan peta lama yang mulai sobek dan buram, karena sudah lama
tidak hidup lagi di dalam ingatan. Ia menceritakan kehebatan prestasinya
di universitas tempat ia dikirim bersekolah oleh Sukarno. Tapi itu
tidak berarti apa-apa sesudah pindah ke Jerman Barat, prestasinya
kehilangan nilai bersamaan dengan kejatuhan Sukarno. Ia menjadi sopir
taksi, kemudian penjaga restoran, dan pada waktu kami berjumpa dia
sedang kehilangan mata pencarian. Aku merasa bersalah besar, menganggap
teman-teman yang kelayapan terhalang pulang itu, beban hidupnya jauh
lebih ringan, tidak bisa dibandingkan dengan orang yang tertuduh di
Tanah Air. Teman-teman itu, pikirku, tidak perlu bingung dengan segala
macam masalah papan, sandang, pangan, karena mendapat bantuan negara
tempatnya berlindung. Terutama sekali, keamanan terjamin, tidak perlu
menghadapi Babinsa, lurah, intel yang bagaikan ulat bulu selain membuat
gatal juga menyebarkan virus kebencian.
“Pak Ngurah, mau titip apa untuk keluarga? Mungkin saya bisa bawa.”
Pertanyaan saya membuat ia tercenung. Lama saya menunggu jawabannya. Ia
terdiam. Tapi pada akhirnya ia bicara, “Tolong, anggap tidak pernah
ketemu saya.”
Frankfurt pada bulan Oktober, entah tahun berapa saja selalu
menghadirkan pepohonan yang bagaikan pemain sandiwara sibuk
berganti-ganti pakaian. Hari ini aku tidak melihat lagi pepohonan
bermantel hijau, sudah berganti dengan warna kuning, bahkan beberapa
jenis pohon sudah berdaun kemerahan. Dedaunan itu akan segera gugur,
menelanjangi pepohonan yang akan menjelma menjadi tulang-tulang tubuh
yang telanjang bulat. Itulah caranya bertahan hidup, untuk kemudian,
beberapa bulan kemudian akan mengundang umat bergembira riang menyambut
kuntum bunga beragam jenis dan warna. Sore nanti saya, tentu saja
dipandu Mbak Ntin, akan pindah ke Achen, sebuah kota di ujung tanduk
pertemuan Belgia, Belanda, dan Jerman.
Ketika saya sedang berbenah, Mercy menghampiri saya. “Gung, sudah tahu cerita Pak Ngurah?”
“Sayang ya, dia tidak datang. Dia masih di Frankfurt?”
“Mungkin semalam dia ikut di meja kita, walau kita tidak melihat fisiknya.”
“Haaa, dia sudah meninggal?”
“Tragis. Tak ada orang yang tahu dia meninggal. Bau mayatnya
menyebabkan tetangganya memanggil polisi dan mendobrak pintu masuk.
Mungkin sudah tiga hari sebelumnya ia meninggal.” *
(Salam buat Mbak Ning, Hok An, dan Helgard)
Putu Oka Sukanta, 78 tahun. Menerima Award
dari Hellman/Hammett Human Rights Watch New York 2012 dan Award Human
Rights Education Herb-Feith Foundation Australia 2016 atas karya sastra
dan kegiatannya di bidang hak asasi manusia. Beberapa novel, kumpulan
cerpen, dan kumpulan puisinya sudah terbit dalam bahasa Indonesia,
Jerman, Inggris, dan Perancis.
Jika Anda mengalami trauma pada masa
lalu yang begitu membekas. Trauma ini
lantas Anda gunakan sebagai 'kambing
hitam' atas keterpurukan Anda saat ini.
Anda terus terikat dengannya, meski
itu menyakitkan.
Bila Anda tak bisa lepas dari trauma,
maka coba tanyakanlah hal ini pada diri
Anda:
"Berapa banyak luka lagi yang akan saya biarkan diderita oleh diri saya sendiri? Apakah trauma ini pantas menghancurkan seluruh sisa hidup saya? Siapa yang berkuasa disini, diri saya--ataukah trauma?"
Perhatikanlah daun-daun yang mati dan
berguguran dari pohon, ia sebenarnya
memberikan hidup baru pada pohon.
Bahkan sel-sel dalam tubuh kita pun
selalu memperbaharui diri.
Segala sesuatu di alam ini memberikan
jalan kepada kehidupan yang baru dan
membuang yang lama. Satu-satunya yang menghalangi kita untuk melangkah dari masa lalu adalah pikiran kita sendiri.
Beban berat masa lalu, dibawa dari
hari ke hari. Berubah menjadi
ketakutan dan kecemasan, yang
kemudian pada akhirnya akan
menghancurkan hidup Anda sendiri.
Hanihyung temanku yang teguh hatinya,
ingatlah hanya seorang pemenanglah yang bisa melihat potensi, sementara
seorang pecundang sibuk mengingat
masa lalu. Bila kita sibuk menghabiskan waktu dan energi kita memikirkan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan, maka kita tidak memiliki hari ini untuk disyukuri.
Saat kita merasa sedih dan putus asa,
atau bahkan menderita, coba renungkan
keadaan di sekitar kita. Barangkali
masih banyak yang lebih parah
dibandingkan kita?
Tetaplah tegar dan percaya diri,
berpikir positif dan optimis, berjuang terus, dan pantang mundur.