Daftar Blog Saya

Selasa, 02 Januari 2018

Melodrama Superhero


Cerpen Teguh Affandi (Tribun Jabar, 31 Desember 2017)
Melodrama Superhero ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar
Melodrama Superhero ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
MIMPIKU? Sama. Sejak kecil aku bermimpi menjadi superhero dengan kostum paling gagah yang bisa kubayangkan. Tubuh terjiplak ketat dengan simbol kebanggaan di tengah dada. Aku ingin menjadi superhero. Hingga bisa terbang menyelamatkan gadis yang tergantung di beranda apartemen, membantu kasir toko emas saat ditodong perampok, atau sekadar membunyikan lonceng tahun baru atas undangan khusus wali kota.
Impian itu menjadi kenyataan ketika aku sedang terpuruk akibat persoalan asmara. Kekasihku menikah dan tanpa mengirim pesan pernyataan berpisah. Aku merasa seperti sebentuk bayangan yang tanpa pernah dikehendaki kehadiran. Dia kekasihku yang selalu kukirimi pesan pengingat makan, ternyata lebih memilih orang lain. Aku memutuskan untuk mengakhiri hidup saja. Tidak ada lagi orang yang akan kukirimi pesan pengingat makan siang.
Aku pergi ke Bukit Golgota. Aku ingat, di sana ada pohon yang lekuk tajuknya mirip bentuk kepala Kumbakarna. Di sanalah salah seorang kawanku menggantungkan diri. Aku ingin mengikuti dia. Meski aku tahu, Bukit Golgota itu sekarang tak lagi sama dengan sepuluh atau lima belas tahun lalu. Lantaran seorang pebisnis batu bara berhasil menemukan kandungan timah yang cukup banyak 300 meter di bawah Bukit Golgota. Akibatnya, mobil pengeruk, kemah penambang, bangunan kantor menutup sebagian Bukit Golgota. Walaupun pohon yang mirip kepala Kumbakama itu masih ada, aku tetap harus memutar jauh agar tidak harus melewati pengamanan tambang timah.
Setelah berjalan lebih dari setengah jam, kakiku kesemutan. Aku duduk di atas batu besar, pohon yang mirip kepala Kumbakarna masih jauh di ujung pandangan. Dua hasta di depan saya, jurang yang menjadi penanda penambangan menganga. Tak dalam. Mungkin 10 atau 15 meter. Napasku satu-dua, keluar seperti seorang kakek yang diminta mengangkut sekarung beras. Mungkin aku akan mengakhiri hidup di sini saja. Bila kehidupan sudah terlalu perih, lantas mengapa harus membiarkan hidup merasakan kesakitan lebih.
Aku tidak membawa pisau, racun serangga, atau senjata tajam. Tali tambang untuk menggantung tubuhku di pohon yang mirip kepala Kumbakarna saja. Sebaiknya aku tali saja sebongkah batu dan aku pukul-pukulkan ke batok kepala. Kalaupun aku tidak mati, pastilah aku kehabisan darah, payah, akibat luka bentur yang aku ciptakan sendiri. Kemudian mati oleh dingin atau ikut tergerus akibat Bukit Golgota yang hancur oleh tambang.
Dalam masa pencarian itulah mataku menangkap sebuah kerlip yang sedikit berbeda. Warnanya hitam mengilat, seperti adonan dodol yang pekat bila terkena sorot matahari. Ukuran batunya tidak besar. Hanya sebesar genggaman tangan. Posisi ada di bawah bongkahan besar yang kuniatkan sebagai senjata untuk melukai diri sendiri. Batu apa gerangan? Mungkinkah itu bagian dari batu bara yang mencelat dari jurang tambang? Kupungut. Kutimang-timang. Debu-debu kuusap dengan kaus bagian dalam. Kemudian kilatnya semakin cerlang.
Batu apa gerangan? Tekstur permukaannya sehalus batu akik yang sudah diasah sekian ratus kali. Begitu jernih seperti kolam ikan yang baru saja dibersihkan. Mataku mengintip sesuatu bentuk yang tersimpan di dalam batu itu. Seranggakah itu? Atau fosil nyamuk purbakala? Andai ini benar-benar fosil seekor nyamuk zaman purbakala, aku akan bahagia karena menjadi kaya meski cintaku tak menghadirkan bahagia.
Saat mata masih mengamat. Mendadak Bukit Golgota diguncang gempa. Aku bisa merasakan skalanya cukup besar. Batu besar menggelinding dan jatuh ke jurang. Kemudian dahan-dahan berguncang. Tubuhku pun ikut limbung. Batu kusakui dan kuikuti goyangan gempa. Tubuh saya jatuh ke dalam jurang.
***
“SELAMAT datang Jason!” suara itu membangunkanku.
Mataku sayup-sayup. Kesadaran belum optimal 100%. Ketika mata sudah terbuka sempurna, aku menangkap sebuah robot kecil dengan bentuk kepala ceper mirip piring terbang dengan lampu-lampu merah berkelap-kelip. Kakinya berbentuk roda dan dua tangan berbentuk supit. Aku terkesiap. Aku berdiri dan kemudian melangkah dua tiga langkah mundur. Mengambil ancang-ancang. Aku lebih memilih untuk mengakhiri hidup sendiri daripada harus mati di tangan robot yang tak punya hati.
“Jason! Selamat datang di Kapal Rangers,” suaranya tersendat-sendat serupa pita kaset yang tergores ujung pena.
“Kalian makhluk apa?” suaraku terbata.
“Tenang Jason! Aku tidak akan membu nuhmu!”
“Bagaimana aku bisa masuk ruangan ini?” tanyaku.
“Kristal Merah yang telah kamu temukan. Bukan. Kristal Merah yang menemukanmu. Kamu terpilih! Kamu terpilih! Kamu yang kedua setelah Zack!”
Kemudian robot itu berkisah dengan bantuan muka seseorang yang terpahat di dinding kapal. Robot itu bemama Alpha 5 dan muka yang terjiplak dalam kapal adalah Zoron. Mereka berdua sedang mengumpulkan satu demi satu Ranger. Sekawanan superhero yang dipilih Zoron untuk mengembalikan Kristal Aurora miliknya, yang apabila tidak, bumi bisa hancur.
Dadaku seketika terkesiap. Aku menjadi superhero. Aku menjadi pahlawan.
“Benar!” sahut Alpha 5.
“Tapi kita harus menunggu tiga kawan lagi. Aku ranger hitam dan kamu ranger merah,” Zack lelaki yang sejak pertama kali kutemui tak sekali pun mau mengenakan kaus itu.
“Sudah berapa lama kamu di sini?” tanyaku kepada Zack.
“Mungkin dua minggu,” jawabnya.
Dua minggu sampai aku datang bergabung. Kepada Zack, aku takkan menceritakan alasan ke Bukit Golgota, hingga menemukan batu merah yang kemudian terpilih secara acak menjadi ranger merah.
Selama masa penantian, Zoron dan Alpha 5 bergantian melatih kami berdua. Zack dan aku diajar bagaimana berubah menjadi ranger. Kami dibekali kekuatan membangkitkan kekuatan dan memanggil robot sebagai bala bantuan. Robot itu adalah potongan-potongan dari bagian pesawat tempat Zoron dan Alpha 5 berdiam.
Ternyata menjadi superhero sama saja dengan menang undian. Aku sendiri tak pernah membayangkan menjadi superhero akan semudah ini. Tanpa sengaja menemukan batu merah, terjerembap dalam kapal, kemudian dilatih mempergu nakan kekuatan dan aneka robot buatan Zoron dan Alpha 5. Bahkan bila kelak dalam pertempuran kami hampir saja mati, Zoron memberitahukan bahwa ada satu tombol yang berfungsi untuk memanggil Zoron, sumber segala kedigdayaan kami. Kemudian Zoron melawan dan memberi jurus paripurna penghabisan musuh. Ah, ternyata begitu gampang menjadi superhero dan pahlawan.
“Zoron baru akan melepaskan kita sebagai pahlawan bila kita sudah genap lima. Power Rangers harus lima,” Zack menegaskan suatu kali seusai latihan.
“Sekarang kita sudah satu bulan di kapal ini,” jawabku.
“Kamu bosan? Menyerah jadi pahlawan?” kalimat Zack penuh sindiran.
“Tidak. Menjadi pahlawan dan superhero adalah impianku. Dan di luar sana, akan banyak orang yang menanti pertolongan Power Ranger.”
Zack berdiri, tangan kirinya menyambar sebotol minuman khusus yang dibuat Alpha 5. Kita tak pernah tahu bahannya apa. Tapi berhubung rasanya nikmat dan membuat badan terasa ringan dan lebih kuat, aku dan Zack tak mengajukan protes.
Meskipun kami disibukkan latihan dan strategi perang, menunggu tiga kristal lain (biru, kuning, dan merah muda) ditemukan adalah pekerjaan yang sangat tidak kusukai. Aku sudah berulang kali bertanya kepada Zack apakah sudah ada tanda akan ada penemu batu lagi. Zack hanya menggeleng.
Apakah di luar sana orang sudah tidak membutuhkan pahlawan? Apakah dunia sudah begitu aman-damai-sentosa sehingga pahlawan dihapus dari kamus besar mereka. Aku takut, impianku menjadi pahlawan justru akan mengurungku di kapal ini dan membuatku mati tua karena menunggu.
“Zack? Apakah superhero dan pahlawan harus menunggu sebegini lama?”
“Seharusnya tidak! Zoron dan Alpha 5 saja yang sepertinya salah perhitungan dan mendarat di Bukit Golgota,” kalimat Zack membuat badanku tegak.
Bukit Golgota pasti sekarang telah hancur oleh penambangan? Batu-batu kecil pastilah sudah lumat atau terendam lebih dalam. Bagaimana tiga batu berwarna lainnya akan ditemukan kalau Bukit Golgota saja sudah raib oleh penambangan. Lantas bagaimana nasib Power Rangers yang aku dan Zack impikan.
“Nasib kita akan semakin tua di sini,” kataku.
“Aku akan protes kepada Zoron dan Alpha 5,” Zack seketika berdiri dan menuju ruang utama di mana Zoron dan Alpha 5 berada.
Protes Zack ternyata hanya ditanggapi untuk menunggu. Aku mengumpat sekali. Zack menyumpahi kemudian menendang meja dan membanting tubuh Alpha 5.
Aku dan Zack menyingkir dari ruang utama. Pertengkaran bukan tabiat seorang superhero. Kami berdua duduk di dapur, tempat kami makan. Zack memilih anggur putih meski siang belum menandakan turun.
“Bajingan mereka berdua!”
“Aku juga bisa merasakan, usaha menjadi superhero ini sia-sia saja. Tidak ada yang butuh superhero.”
“Apalagi kalau semua orang sudah menjadi bandit, tak butuh pengusir bandit,” Zack menenggak segelas anggur sekaligus.
Aku biarkan Zack menghabiskan satu botol anggur putih. Hanya dua gelas yang berhasil aku teguk, itu pun sekadar menemani Zack yang benar-benar kalut. Pikiranku sudah kalut sejak lama. Aku lebih ingin mengingat kembali bagaimana hidupku bisa sedemikian tak beruntung. Semua ini lantaran keinginan mati dan melupakan luka akibat patah hati. Benar kata orang, patah hati adalah luka yang dalam dan terbawa sampai mati.
Sekarang nasib akan kuhabiskan di kapal ranger ini dengan impian menjadi Ranger Merah terwujud. Yang itu entah kapan. Dalam hitunganku sekarang sudah masuk bulan kedelapan. Menjadi pahlawan ternyata melelahkan.
“Jason, apa pernah terpikir mengapa aku bisa terjerembap di kapal ini?” Zack mulai terpengaruh alkohol. Kujawab dengan gelengan.
“Pacarku selingkuh di depan mataku sendiri.”
“Kita sama, Zack!”
“Ternyata superhero orang terpapa dalam asmara,” Zack meniriskan botol anggur putih. Tak ada setetes pun yang tersisa.
“Mengapa tidak kita selesaikan saja persoalan itu sekarang?” Zack mulai mengibul.
Mataku kemudian menatap bibir Zack yang begitu merah oleh sapuan anggur. Kemudian ada sesuatu yang hidup dalam diriku ketika menyaksikan tubuh Zack. Mimpi? Sekarang aku bisa menggenapi mimpi. Bukan superhero, memang. Ini perihal asmara.

* Untuk film “Power Ranger” (2017).

TEGUH AFFANDI, lahir di Blora, Jawa Tengah. Menulis cerpen, esai, ulasan buku di berbagai media massa. Memenangi sayembara cerpen menulis Femina, Green Pen Award Perhutani, Pena Emas PPSDMS Nurul Fikri.

Kopiah Marbot Marbun

Cerpen Fahri Asiza (Padang Ekspres, 31 Desember 2017)
Kopiah Marbot Marbun ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Kopiah Marbot Marbun ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Kopiah itu sudah butut, warna hitamnya mencoklat, tapi Marbot Marbun selalu memakainya penuh kebanggaan, agak miring. Kalau ada yang bertanya, selalu dijawab, “Biar mirip Bung Karno.” Bila Lebaran tiba, bila peringatan kelahiran nabi besar Muhammad SAW menjelang, bila peringatan Isra’ Mi’raj datang, bukan satu dua orang saja yang menghadiahi kopiah baru, tapi selalu kopiah yang tak sedap dipandang mata itu yang bertengger di kepalanya.
Selaku ketua masjid, Iskandar gelisah setiap kali memikirkan kopiah Marbot Marbun yang dipakai penuh kebanggaan. Bolehlah sekali atau dua kali saja dipakai, selebihnya alangkah baiknya bisa sudah harus dipensiunkan.
“Memangnya kenapa, Pak?” tanya Marbot Marbun yang sudah 15 tahun menjadi marbot masjid Al Falah. Usianya kurang lebih 53 tahun dan senyum tak pernah lepas dari bibir tuanya yang agak menghitam karena nikotin yang kini sudah dienyahkan.
“Tidak apa-apa sebenarnya, tapi alangkah baiknya bila Pak Marbun sesekali memakai kopiah yang baru. Seingat saya, banyak yang memberi kopiah pada Pak Marbun, bukan?”
“Seingat saya, ada tiga puluh kopiah, Pak.”
“Nah, pakailah salah satu.”
“Maaf, Pak… kopiah itu sudah tidak ada lagi.”
“Oh, Pak Marbun menjualnya?”
“Saya memberinya pada orang yang lebih membutuhkan.”
Iskandar mengeluh. Catatan hari tinggal tiga hari lagi peringatan kelahiran Rasullah akan dilakukan. Ajudan Pak Bupati seminggu yang lalu datang ke rumah, memberitahu Pak Bupati akan hadir pada perhelatan itu. Digadangkan pula, kalau ini bupati baru yang menggantikan bupati lama.
“Pak Marbun jelas membutuhkannya bukan?”
“Saya sudah cukup puas dengan kopiah ini, Pak,” senyum Pak Marbun. “Maaf Pak, sebentar lagi ashar, saya harus adzan dulu.”
Iskandar mengeluh, masih banyak yang ingin dicurahkan. Intinya, lepas kopiah itu, ganti yang baru, dan saat Pak Bupati datang semua warga sudah siap dengan atribut yang manis dan layak dipandang mata. Iskandar tidak menyerah, dia tetap mencoba membujuk Marbun menurunkan tahta dari kepalanya.
“Memang salah bila Pak Bupati datang saya memakai kopiah ini, Pak?” tanya Marbot Marbun sambil menikmati nasi bungkus yang dibelinya di warung sudut jalan di bawah pohon besar.
Iskandar tersengat beberapa jenak, harus lebih bisa mencari kata terbaik agar dapat dimengerti Pak Marbun. Terlebih agar Pak Marbun tidak tersinggung.
“Tak masalah memang. Namun ada baiknya bila kita semua berpakaian lebih rapih.”
“Berarti menurut Pak Is selama saya pergi dan berada di masjid saya tidak rapih?”
Iskandar lagi tersengat, buru-buru umbar senyum dan nada lebih cepat, “Oh, rapi, rapi sekali.”
“Berarti tak ada masalah, bukan?”
Iskandar tak berkutik lagi, juga tergigit kesal. Catatan telepon hari ini, yang kali kelima ajudan Bupati mengingatkan, “Semua harus tertib. Jangan ada keributan. Terlebih lagi lahan atau jalan kotor. Ini sekaligus buat penilaian. Bila dikaji baik, Pak Bupati akan membuat jalan tembus hingga tak perlu berputar. Ingat, ini bupati baru Pak, barangkali punya tabiat berbeda dengan bupati lama. Cuma jaga-jaga.”
Iskandar pulang. Tria, istrinya yang telah memberinya dua anak, tahu apa yang dipikirkannya. Bila datang dengan wajah menekuk layu, berarti masalah menggayut di hati suaminya. Setelah dituangkan teh manis, hati-hati perempuan berhati lembut itu berujar, “Masih soal Pak Marbun?”
Iskandar menoleh setipis ari, lalu mengambil gelas tersaji, terasa hangat, disodorkan ke mulutnya, perutnya mulai dibuai kehangatan, namun gelisah masih menjalar. Sekilas dianggukkan kepala. “Susah bagiku menjelaskan pada Pak Marbun.”
“Pasti abang berputar, bukan?”
“Tak mau aku melukai hati dia, Dik. Bagi abang, dia pengganti almarhum bapak.”
“Bila memang abang masih menginginkan soal itu, tak mau Pak Bupati memandangn sebelah mata, lakukan lagi penjelasan yang terbaik.”
“Letih aku melakukannya. Dia tetap tak mau mengerti. Yang bikin abang gerah, bila melihat kopiahnya masih miring bertengger di pucuk kepalanya.”
Tria tersenyum. “Makanlah dulu, sejak lepas Zuhur tadi abang belum makan.”
***
Sehari sebelum kedatangan bupati baru, Iskandar mengadakan pertemuan. Kebetulan Marbot Marbun lagi diutus untuk mencek pinjaman permadani di masjid desa seberang. Membuncah gembira hati Iskandar, karena ternyata bukan hanya dirinya yang gelisah tentang kopiah Marbot Marbun, sebagian besar yang hadir pun berkehendak yang sama.
“Ingat tidak waktu pejabat dari Jakarta bertandang ke desa kita?” kata salah seorang. “Malu kita ketika pejabat itu bertanya pada Pak Marbun soal usangnya kopiah yang dipakai. Saya khawatir, sang pejabat menduga kita tak mumpuni menghidupi Pak Marbun sebagai marbot masjid.”
“Jadi solusi apa yang kita terapkan?”
Hening menggelintir. Dinding masjid bertafakur memandang hampa dalam jilatan gelisah. Tiba-tiba ada yang bersuara, “Bila Pak Bupati tiba di sini, beri tugas pada Pak Marbun untuk menghadiri peringatan yang sama di masjid lain.”
Usul itu menyentak dan membuat terperanyak. Usulan lain bertubi-tubi bermunculan, tapi dari kebanyakan usulan, usulan pertama yang disetujui.
“Bagaimana cara mengutusnya?” Iskandar merasa pelita menyala lagi.
“Pak Is yang mengutusnya selaku ketua masjid.”
“Adakah dia curiga?”
“Tak mungkin terjadi, karena kita tahu, perkara akhirat Pak Marbun tak pernah menolak. Gaji yang kita berikan yang jelas hanya bisa buat makan saja diterima lapang dada.”
Pertemuan ditutup setelah ada yang memberitahu Pak Marbun sudah tiba.
Persiapan perhelatan pun dilaksanakan. Dari mulai speaker yang biasanya hanya dua buah, ditambah jadi empat. Tikar yang anyamannya sudah berpecah berai yang biasanya dipasangkan di sudut ruangan masjid sudah terganti dengan yang baru. Permadani pinjaman dari masjid desa seberang digelar di lima shaft terdepan. Khusus buat Pak Bupati dihamparkan pula sajadah milik Haji Gofar yang setelah pulang haji sajadah itu terpisan di almari.
Marbot Marbun selalu bersemangat, pun ketika akhirnya Iskandar berhasil meyakinkan dirinya—tepatnya tak perlu diyakinkan karena Pak Marbun selalu menerima—guna menghadiri acara yang sama di masjid desa lain.
Lega tak terkira Iskandar sekarang. Besok pagi rombongan Pak Bupati akan datang. Semua warga disarankan memakai pakaian terbaik mereka, bila tak punya sangat disarankan pula agar tidak datang ke masjid. Ini demi nama baik desa ini, begitu Iskandar mewanti-wanti dalam surat edarannya. Tak ada yang membantah, bahkan berlomba mengeluarkan uang dengan menjual hasil panen untuk mendapatkan baju, sarung atau kopiah baru.
Salah seorang ajudan Pak Bupati sejak pukul tujuh pagi telah tiba. Beralat handy talky dia selalu memantau perjalanan Pak Bupati. Semua berjajar menunggu di muka masjid, saling berhadapan dengan senyum tak lepas dari bibir. Matahari yang bersorot garang tak membuat warga ingin mundur dari sana. Tata cara bersalaman pun telah diajarkan semalam. Semua dikehendaki untuk mencium tangan Pak Bupati.
Lepas satu jam, kegelisahan mulai tampak. Rombongan Pak Bupati belum pula tertangkap mata. Dari handy talky yang dipegang, sang ajudan memberitahu, kalau rombongan Pak Bupati terhalang jembatan yang agak rapuh bila dilewati kendaraan roda empat. Pak Bupati memutuskan untuk melanjutkan kaki saja menuju masjid Al Falah.
Iskandar tercekat, semua tergugu. Mengapa tak teringat soal jembatan itu? Dan hampir semua menyalahkan Marbot Marbun, bila tak ada urusan dengannya, tentunya masih teringat soal jembatan. Mereka kembali harus menahan sabar menunggu rombongan meski terbunga rasa malu.
Rombongan Pak Bupati pun tiba. Iskandar mengisyaratkan yang lain kembali tegap berdiri. Pak Bupati baru begitu bersahaja, begitu muda dan simpatik diiring seorang lelaki tua yang selalu tersenyum. Senyum yang menghiasi bibir Iskandar dan warga putus serentak ketika menyadari lelaki itu Marbot Marbun! Anehnya, dia tidak berkopiah! Syukur, nila itu tak menghancurkan susu sebelanga.
Pak Bupati kian mendekat, mengucapkan salam yang serentak disahuti dan serentak pula menggigil melihat kopiah yang bermanja di kepala Pak Bupati. Kopiah usang yang sudah mencoklat yang posisinya miring pula.
“Ini kopiah milik Pak Marbun… kopiah saya jatuh ke sungai kala melewati jembatan,” senyum Pak Bupati. “Kopiah yang menarik, diletakkan pula dalam posisi miring. Pak Is tahu mirip siapa?”
Iskandar menelan ludah, sarat beban dia hendak berucap, tapi satu suara membentur keras, “Bung Karno!”
Dan semua memandang Pak Marbun yang sedang tersenyum…

Mutiara Duta, 2017
Fahri Asiza, tulisannya dimuat di berbagai media massa, baik nasional maupun lokal.

Ra dan Tiwi

Dongeng Vendo Olvalanda S (Padang Ekspres, 31 Desember 2017)
Ra dan Tiwi ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Ra dan Tiwi ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Suatu hari di zaman kerajaan, hiduplah dua orang saudari kembar yatim piatu yang hanya dirawat oleh rakyat. Mereka berdua dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Besar bersama, bermain bersama. Setelah beranjak remaja, diketahuilah di antara mereka mempunyai sifat berbeda. Ra adalah sosok pendengki, berbeda dengan Tiwi yang baik hati. Hingga akhirnya mereka pun dewasa. Mereka memutuskan untuk melanjutkan hidup sendiri-sendiri, dan akan bertemu kembali setelah sukses nanti. Singkat cerita, mereka berpisah.
BERTAHUN-tahun kemudian, terdengarlah kabar bahwa Ra telah hidup sukses menjadi seorang saudagar yang kaya raya, dan Tiwi senang mendapatkan berita itu. Di satu sisi Ra juga tahu Tiwi belum mendapat kerja, namun Ra malah merasa bangga karena ia berprasangka telah mengalahkan saudarinya. Semakin hari, Ra semakin sukses dan kaya. Berbeda dengan Tiwi yang tidak ada kemajuan. Namun Tiwi tetap bersabar dan berusaha, melanjutkan keahliannya sebagai seorang pelukis, melukis apa saja lalu menjualnya.
Suatu hari. Tak disangka, di saat Tiwi menjajakan lukisannya, ternyata Ratu sedang berkeliling desa untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Langkah sang Ratu terhenti pada deretan lukisan yang dibawa Tiwi. Tanpa pernah ia duga, Ratu menyukai semua buah karya Tiwi. Ratu pun membeli semua karyanya, bahkan Tiwi diminta menjadi seorang pelukis kerajaan. Beberapa hari kemudian, nama Tiwi pun naik daun. Berita itu pun sampai ke Ra. Bukan malah senang akan keberhasilan saudarinya, mendengar kabar itu Ra malah merasa iri dan tidak senang. Ia takut Tiwi malah lebih sukses dari pada dirinya.
Hingga Ra pun merencanakan sesuatu yang buruk kepada Tiwi. Suatu ketika, Ra yang sangat dihargai di kalangan kerajaan mengadakan pesta pribadi dan mengundang Ratu untuk datang bersama pelukisnya yang tidak lain adalah saudarinya, Tiwi. Tiwi merasa bahagia mendengar undangan saudarinya itu. Datanglah sang Ratu dan Tiwi ke pesta Ra. Di tengah pesta, Ra melancarkan siasat jahatnya untuk menjatuhkan Tiwi dari nama baiknya.
Di saat Ratu sedang berada cukup jauh dari Tiwi, Ra berbisik kepada sang Ratu dan berkata,
“Yang Mulia, tahukah Anda barusan sang pelukis kesayangan Anda berkata bahwa Yang Mulia ternyata memiliki nafas yang busuk,” ucap Ra.
Ratu pun kaget. Ia sangat marah dan ingin menghukum Tiwi. Terjadilah peristiwa penangkapan yang menghebohkan pesta.
Tiwi yang tak bersalah dengan segala kebaikan hatinya hanya pasrah dan sedih ketika ditangkap.
Namun tiba-tiba Raja menarik Ratu ke sudut ruangan dan berkata, “Istriku, memang benar mulutmu sekarang dalam keadaan berbau tidak sedap, tak ingatkah engkau kalau sebelum ke sini engkau memakan dua mangkok sup bawang putih,” ujarnya.
Terkejutlah sang Ratu mendengar ucapan Rajanya. Ia pun coba membaui mulutnya sendiri. Dihembuskannya nafasnya kuat-kuat lalu diciumnya dan benar, aroma mulutnya sangat bau. Dengan rasa malu, Ratu pun membebaskan Tiwi dan meminta maaf.
Akibat kejadian tersebut Tiwi malah diangkat menjadi penasihat Ratu. Ratu menganggap kata-kata yang disampaikan Tiwi kepada Ra merupakan kejujuran yang besar dan sangat sopan karena tidak berani meyampaikan sendiri kepada Ratu, takut menyinggung perasaannya.
Ra sangat kesal karena rencananya malah menjadikan Tiwi semakin disayang. Belum menyerah, Ra semakin marah dan kembali merencanakan siasat buruk kepada Tiwi. Tiba-tiba Ra ingat bahwa Ratu pernah cerita kepadanya, bahwa pada hari perayaan pernikahannya nanti, Ratu akan meminta dilukiskan sebuah lukisan paling indah oleh Tiwi.
Lalu, karena Ra bersahabat baik dengan Ratu, Ratu meminta ide lukisan nanti berasal dari idenya. Beberapa waktu sebelum hari perayaan belangsung, Ra mengatakan bahwa Ratu akan diberi lukisan sepasang burung sebagai lambang keabadian hubungan Ratu dan Raja. Dan Ratu pun sangat senang dengan ide tersebut.
Di saat itulah Ra melancarkan siasat buruknya. Ra mengirimkan sepucuk surat kepada Tiwi yang berisi Ratu meminta untuk dibuatkan lukisan sepasang monyet yang sedang berpelukan dan di bawahnya dituliskan kata-kata perumpamaan “Ratu dan Raja”. Tiwi yang hanya ingin mematuhi setiap perintah dan permintaan Ratu akhirnya membuat lukisan tersebut.
Sehari sebelum perayaan, lukisan telah sampai kepada Ratu. Dengan perasaan tidak sabar, Ratu membuka lukisan yang telah dikirim Tiwi kepada Ratu. Ratu benar-benar kaget melihat lukisan yang sangat menghina ia dan suaminya itu. Masih dengan rasa tidak percaya, Ratu terpaksa memutuskan hukuman yang akan diterima Tiwi adalah hukuman mati. Namun dengan cara yang sopan, untuk mengenang jasa-jasa Tiwi. Ratu pun mengirimkan seorang pesuruh untuk mengantarkan surat kepada Tiwi dengan beberapa pesan.
Lalu tibalah pesuruh di kediaman Tiwi dan berkata, “Putri, ada surat dari Ratu. Putri harus mengantarkannya ke pengawal digedung hitam dan Ratu berpesan jangan buka surat itu sampai pengawal gedung hitam membacanya,” sebut pesuruh.
Ra kebingungan karena tak mendengar berita Tiwi akan dihukum. Lalu bersiasatlah Ra mencari informasi, hingga bertemu pesuruh Ratu yang mengirimkan surat kepada Tiwi. Ra tak menyangka, bahwa Tiwi bukan dihukum malah diberi surat untuk diantarkan ke gedung hitam yang merupakan gedung pasukan khusus Ratu. Tempat barang siapa yang bisa bekerja di sana, maka namanya akan terkenal.
Lagi-lagi dengan sifat iri hati, Ra menyusul dan menghentikan Tiwi. Ia pun membohongi Tiwi dengan mengatakan bahwa ia diminta Ratu melanjutkan perjalanannya. Karena Ra adalah saudari yang ia sayangi, maka ia selalu percaya pada perkataan Ra. Tiwi pun berpesan pada Ra agar surat tidak dibuka sampai tempat tujuan. Ra pun mengikuti permintaan Tiwi, dan juga mengatakan pada Tiwi, bahwa ia dipensiunkan dan diberikan tempat tinggal di sebuah pulau terpencil oleh Ratu, yang sebenarnya adalah pulau milik Ra sendiri. Dan pergilah Tiwi, begitu pula dengan Ra.
Sambil tersenyum bahagia, Ra akhirnya sampai di gedung hitam. Penjaga pun lekas membaca surat dari Ratu tersebut. Tiba-tiba Ra ditangkap, lalu ia mempertanyakan kesalahannya.
Ia terkejut saat mendengarkan isi surat itu, “Dinyatakan Ratu, orang yang mengantar surat ini harus dihukum mati,” begitu isi suratnya.
Apapun alasan Ra, tidak ada yang mau mendengarkan. Akhirnya dengan membawa sifat angkuh, sombong, dan iri hati, Ra dihukum mati. Berita kematian Ra dirahasiakan. Di tempat yang tidak diketahui orang letaknya. Sedangkan Tiwi, hidup tentram dan bahagia selamanya. (*)

Kutipan The Single Girls to do List

Semua terjadi karena suatu alasan. (hlm. 139)

Beberapa kalimat favorit:
  1. Semesta selalu memberimu apa yang kau butuhkan asal kau terbuka terhadap energinya. (hlm. 140)
  2. Ada yang pertama untuk segala hal. (hlm. 197)