Rheana menoleh ke arah sahabatnya dan menghela napas panjang.
"Apakah menurutmu dia mencintaiku?"
Nadia yang sedang asyik mengaduk-aduk supnya mengangkat kepalanya dan menatap Rheana
hati-hati, "Aku tidak tahu. Cintakah itu kalau dia tidak mau memberimu apa yang kamu mau?"
"Dia bukannya tidak mau...dia tidak bisa." Rheana menghela napas, memandang jauh ke jendela.
"Kamu tahu dia tidak bisa."
"Dia tidak bisa tapi kau tetap memberinya."
"Memberinya apa?"
"Cintamu." Nadia melanjutkan kata-katanya dengan tajam, tepat menohok jantung Rheana,
"Kamu memberinya cintamu tanpa batas, tanpa tendensi, tanpa meminta apapun. Dan yang dia
berikan kepadamu hanyalah keegoisan tanpa janji apapun."
"Apakah itu berarti aku orang bodoh?" Rheana meringis.
"Sangat," Nadia menghela napas, "Tetapi beberapa orang memang menikmati menjadi orang
bodoh. Aku tidak bisa menyalahkanmu."
Termasuk aku, aku tahu aku bodoh. Tetapi aku bertahan. Demi dia. Dia yang kucintai sepenuh
hati. Rheana bergumam dalam hati. Mengusir sesak yang menghancurkan hati.
***
"Apakah kau menunggu lama?" Alex meletakkan sekotak pizza yang masih hangat di meja dan
duduk di sofa di sebelah Rheana, "Maaf, kau jadi menunggu lama."
Rheana tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Tidak pernah dikatakannya kepada Alex,
bahwa dia sudah siap sejak jam enam sore tadi, berdandan, dan menunggu. Hanya untuk
kemudian menerima telepon dari Alex bahwa lelaki itu akan datang terlambat karena ada urusan
penting.
Rheana tahu urusan penting itu apa. Tetapi dia tidak bertanya. Pertanyaan hanya akan menyakiti
hatinya, melukainya terlalu dalam. Dia mencoba tersenyum dan berpura-pura ceria, seolah
keterlambatan Alex tidak mengoyak hatinya.
"Wow, ini toping kesukaanku." Rheana mengambil sepotong pizza yang masih hangat itu dan
melahapnya, "Terimakasih Alex."
Alex menatap Rheana dengan sayang, lalu mengacak rambur Rheana dengan lembut, "Kau lapar
ya, aku menahan makan malammu karena kau menungguku, Maafkan aku ya."
"Kau tidak perlu minta maaf, aku mengerti,"
Ya. Rhena mengerti. Dia selalu mengerti. Meskipun berkali-kali Alex selalu menjadikannya nomor
dua, Rheana tidak pernah protes. Karena pada kenyataannya, dia adalah nomor dua,
Setelah perempuan itu....
***
"Kamu tidak bisa terus-terusan begini." Nadia menatap sahabatnya dengan sedih, "Kamu terlalu
berharga untuk menjadi wanita kedua."
Tapi Rheana rela. Demi cintanya pada Alex. Sejak awal mereka berhubungan, Alex sudah
menjelaskan kepadanya bahwa dia sudah terikat dengan perempuan lain. Sudah bertunangan
dengan perempuan lain dan akan menikah. Alex bilang dia mencintai perempuan itu, Tetapi dia
juga mencintai Rhenana.
Dan Rheana percaya itu. Percaya dan terus berharap, bahwa dia masih punya kesempatan
bersama Alex, meskipun sekejap, sebelum lelaki itu terikat secara resmi dengan tunangannya.
"Tunangan Alex tidak pernah tahu kau ada bukan?"
Rheana tersenyum pahit, "Tidak. Alex selalu menjaga perasaan Katrin, dia tidak akan tega
menyakiti Katrin."
"Tetapi dia tega menyakitimu, sangat dalam."
Rheana menghela napas panjang, "Aku yang merelakan diriku berada di posisi ini, dengan segala
konsekuensinya."
"Lalu akan kamu bawa kemana perasaanmu itu? Tidakkah kamu sadar kalian tidak akan berujung
bersama?" Nadia menggumam, tahu bahwa dia menyakiti perasaan sahabatnya, tetapi tetap
melakukannya, agar Rheana sadar.
"Aku tahu. Aku tahu cepat atau lambat ini akan berakhir, aku hanya menipu diriku sendiri dan
terus berharap bahwa aku punya sedikit waktu."
"Kalau begitu, ambilah keputusan. Sebelum rasa sakitnya terlalu merusak untuk disembuhkan."
Nadia menggumam, merasakan kepedihan Rheana.
***
"Aku mencintaimu." Alex memeluk Rheana, dalam gelap yang sendu, di atas sofa hijau tua itu,
"Maafkan aku membuatmu jadi seperti ini."
Rheana mengenggelamkan wajahnya di dada Alex. Merasa lelah. Lelah menahan tangis dan pilu.
Lelah berusaha tegar di depan Alex. Tetapi dia harus, demi Alex.
"Aku tidak apa-apa Alex, bukankah dari awal aku sudah tahu konsekuensinya?"
Alex menangkup wajah Rheana dalam kedua tangannya, "Kau tidak tahu bertapa
berterimakasihnya aku karena kau sudah mengambil resiko itu. Resiko untuk bersamaku. Saatsaat
bersamamu
tidak
akan
kulupakan.
Aku
sangat
bahagia."
"Aku
juga
Alex.
Aku
juga."
Pernahkah
kau menangis di saat bahagia? Rheana mendesah dalam hati. Di satu sisi hatinya
dipenuhi cinta, terpuaskan dengan kehadiran Alex, tetapi di sisi lain luka itu terus membesar,
mengucurkan darah dan luka yang makin mengancam.
Tidak pernah terpikirkan bagi Rheana sebelumnya bahwa dia akan menjadi perempuan kedua,
dan menjalaninya dengan sukarela. Alex selalu menyembunyikannya dari kehidupannya, Rheana
tidak pernah berjumpa dengan teman-teman Alex, dengan keluarganya dan dengan semua hal
yang berhubungan dengan hidup Alex. Dia seakan diletakkan di satu sisi, dalam gelembung tak
terlihat, mati suri dan hanya hidup ketika Alex bergabung bersamanya dalam gelembung itu.
Ini harus diakhiri. Rheana mendesah, ketika kesadaran itu, kesadaran yang sudah lama berbisik di
benaknya namun selalu dia hempaskan, mulai berbisik lagi... makin lama makin keras.
Ini harus diakhiri....
***
"Tidak berhasil." Rheana menatap pilu ke arah Nadia dan mengernyit, "Aku sudah mencoba
berbagai cara dan tidak berhasil."
"Berbagai cara?" Nadia menatap ingin tahu.
"Ya. Berbagai cara. Aku pernah bertingkah buruk, berkata kasar, bersikap tidak menyenangkan,
bahkan mengusirnya pergi." Rheana menarik napas panjang, "Pada akhirnya kami terus bertemu
dan tak bisa berhenti berhubungan."
"Kamu belum mencoba cara yang itu." Nadia mengingatkan dengan hati-hati
"Aku takut." Rheana menahan pahit di dadanya.
Nadia menghela napas, lalu menepuk pundak Rheana lembut, "Ketakutanmu tidak akan terjadi.
Lakukanlah. Aku yakin cara yang satu itu pasti berhasil."
***
Mereka bertemu seperti biasa, di sofa warna hijau tua. Tempat mereka berpelukan dan
mencurahkan rasa. Alex selalu mencuri waktu sepulang kerja, untuk bersama Rheana. Waktu
rahasia untuk mereka berdua. Lelaki itu tersenyum sambil menatap Rheana yang datang
membawa nampan, dua gelas kopi hangat untuk mereka berdua.
"Kenapa sayang? kau tampak pucat."
Rheana meletakkan nampan itu, tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, dia lalu duduk di
sebelah Alex dan menanti.
Lelaki itu mengambil cangkir kopi dan menyesapnya, lalu tersenyum setelah meletakkan
cangkirnya di meja, ditatapnya Rheana dengan sayang, "Kopi buatanmu adalah yang paling enak.
Mungkin karena dibuat dengan cinta." Ekspresinya berubah, mengernyit karena menatap Rheana
yang begitu serius memandangnya. "Kenapa sayang?"
"Tinggalkan dia." Rheana berucap tegas. Walau dalam hatinya dia hanya ingin bersama Alex,
tanpa tendensi apapun, tanpa menuntut apapun. Tetapi cintanya kepada Alex membuatnya
mampu mengatakan itu, "Tinggalkan dia, dan pilihlah aku."
Alex membeku. Matanya menatap Rheana terkejut, "Apa?"
Kumohon. Jangan mewujudkan ketakutanku Alex.... Rheana berdoa dalam hati, berharap Alex
tidak melakukan sesuatu yang ditakutkannya.
"Tinggalkan dia. Atau tinggalkan aku." Sekuat tenaga Rheana berjuang agar ekspresinya mantap.
Menyembunyikan rasa sakit itu, yang mulai menggores-gores dadanya dengan keperihan tiada
tara.
"Kau tidak serius kan sayang?" Alex mengubah posisi duduknya, bingung. "Bukankah kita sudah
sepakat akan menikmati waktu kita sebisa mungkin? Hanya menghargai waktu kita bersama?
Bahwa kau tidak akan memaksaku memilih karena aku tidak bisa?'
Rheana menggeleng, "Aku berubah pikiran. Aku ingin kau memilih. Tinggalkan dia atau tinggalkan
aku Alex." diambilnya ponselnya dan digenggamnya. "Aku mau kau menentukan sekarang. Kalau
kau mengizinkan aku menelepon Katrin dan menjelaskan tentang hubungan kita, berarti kau
memilihku. Tetapi kalau kau melarangku meneleponnya, berarti kau harus pergi dari hidupku
selamanya."
Alex membeku. Lama.
Rheana menunggu. Jantungnya seakan ingin meledak, penuh darah dan kesakitan.
Lalu lelaki itu meraih ponsel yang dipegang Rheana, dan meletakkannya di meja. Ekspresinya
begitu kesakitan hingga Rheana merasakan dorongan untuk memeluknya. Tetapi dia bertahan.
"Maafkan aku Rheana." Alex berucap serak, matanya berkaca-kaca.
***
Rheana duduk di lantai, dalam kegelapan kamarnya, menangis keras-keras sebisanya,
menumpahkan perasaannya yang begitu sakit, begitu luka.
Lalu dia meraih ponselnya dan menghubungi Nadia.
"Bagaimana?" suara Nadia langsung bertanya di seberang sana.
"Dia pergi." Rheana menelan ludah, berusaha supaya tangisnya tak menghambur keluar.
"Bagus, sesuai rencana." Nadia menghela napas lega, "Benar bukan? cara ini berhasil.
Ketakutanmu tidak beralasan, kau takut kalau dia akan memilihmu dan meninggalkan
tunangannya. Tapi aku tahu, Alex tidak akan melakukannya, dia terlalu berperasaan halus untuk
tega meninggalkan tunangannya."
"Andai saja dia tidak berperasaan....." Rheana menangis, tidak bisa menahan perasaannya. Dia
butuh menumpahkan air matanya, meski dia tahu semua ini akan terjadi. Alex pasti akan
meninggalkannya kalau dia dipaksa memilih. Dan Nadia tahu satu-satunya cara Rheana bisa
membuat Alex meninggalkannya adalah dengan memaksanya memilih. Rheana sadar, Alex harus
meninggalkannya, demi kebaikan mereka semua. Demi kelegaan hati Rheana, kebebasan Alex,
dan kebahagiaan perempuan bernama Katrin itu.
Rheana sudah tahu hasil akhirnya akan seperti ini. Tetapi tetap saja dia merasa sakit.
***
Rheana terlambat mengetahuinya.
Dia berlari ke Rumah Sakit itu. Menahan degup yang menyesakkan dada. Itu Alex! Alexnya yang
sedang meregang nyawa di sana!
Mereka hampir sebulan tidak pernah bertemu, meski cinta itu masih ada. Rasanya sakit pada
mulanya, dan tetap sakit sampai sekarang. Tetapi Rheana bertahan, Berpegang teguh bahwa ini
semua adalah yang terbaik untuk mereka semua.
Dan sekarang Alexnya sedang meregang nyawa. Kecelakaan itu. Kenapa Alex begitu teledor
dalam menyetir? Rheana mulai menahan tangis.
Langkahnya tertahan di ujung lorong.
Dia melihat perempuan itu. Perempuan bernama Katrin. Tunangan Alex. Perempuan itu baru saja
keluar dari ruangan tempat Alex berada. Dan perempuan itu menangis. Terisak-isak oleh
kesedihan yang dalam.
Dan Rheana langsung tahu. Dia tahu begitu saja.
Alexnya telah tiada. Meninggalkan mereka semua.... Alexnya telah pergi untuk selamanya.
Kakinya gemetar ketika tanpa sadar air mata mengalir di pipinya. Katrin begitu beruntung, bisa
memegang jemari Alex di saat terakhirnya, melewatkan waktu bersamanya sampai detik terakhir.
Sedangkan dia hanya bisa berdiri disini, terlambat datang dan hanya bisa mengintip dari kejauhan.
Bahkan Rheana tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada Alex.... perpisahan yang
menyakitkan itu, ternyata benar-benar menjadi pertemuan terakhir mereka.
Hatinya hancur lebur, seakan air mata tidak bisa menyelamatkannya lagi. Kepedihannya luar
biasa dan air mata tidak akan bisa menyembuhkannya.
Rheana berlari keluar dari rumah sakit itu, menghambur begitu saja, menabrak orang-orang.
Sampai kemudian dia jatuh terduduk, dan menangis keras-keras. Tidak peduli akan tatapan
orang-orang disekitarnya.
***
Ponsel itu berkedip. Rheana melirik. Matanya masih buram oleh air mata. Dia tak henti-hentinya
menangis sejak tadi, mengurung diri di kamar gelap, meratapi Alexnya yang telah tiada.
Jantung Rheana berdegup kencang. Itu.... nomor yang digunakan Alex untuk berhubungan
dengannya. Ada satu pesan masuk.
Saya ingin bertemu dengan anda Rheana. Katrin.
Rheana membeku. Untuk waktu yang lama waktu serasa berhenti di sekelilingnya.
Lalu dia mengetik sebuah pesan balasan di ponsel. Membalas pesan dari Katrin.
***
Dua Perempuan di Sebuah Bar Yang Remang
Bar kecil itu sepi dengan nuansa pencahayaan remang-remang. alunan musik jazz mengalun
lembut dari sudut ruangan. Katrin berdiri di pintu bar dan menatap ragu ke sekeliling, matanya
mengernyit ketika menemukan apa yang dicarinya sedang duduk sambil termenung di sudut lain
bar yang gelap. Dengan gugup Katrin membetulkan letak kacamatanya dan melangkah mendekat.
“Hai”
Rheana mendongakkan kepalanya, menatap sosok di depannya dengan teliti. Jadi inilah dia,
gumamnya dalam hati. Inilah dia wanita yang juga dicintai oleh Alex.
“Hai juga”, tangannya terulur dan dengan sedikit canggung Katrin membalas jabatannya.
Rheana tidak bisa melepaskan pandangannya, pun ketika Katrin sudah duduk di hadapannya.
“Aku sudah memesan”, Rheana mengedikkan bahunya ke cangkir kopi di depannya, “Mungkin
kamu ingin memesan dulu?”
Katrin mengangguk dan melambaikan tangannya memanggil pelayan lalu memesan minuman.
Selama itulah Rheana memanfaatkan kesempatan untuk mengamati Katrin lagi, perempuan yang
sungguh cantik. Cantik, dengan kacamatanya yang elegan dan tampak begitu feminim. Pantas
Alex menganggap perempuan itu begitu berharga baginya. Dan perempuan itu memiliki Alex.
Sejenak rasa sakit menghantam dadanya, terasa menusuk sampai ke ulu hatinya. Tidak adil!.
Teriaknya dalam hati, perempuan ini sudah memiliki segalanya, karier yang bagus, kecantikan
wajah, masa depan yang cerah, dan dia memiliki Alex, Alexnya. Perempuan ini sudah memiliki
segalanya dalam genggaman tangannya, dan dia masih juga memiliki calon suami yang sangat
sempurna. Atau paling tidak, di mata Rheana, Alex adalah pasangan paling sempurna di dunia.
“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?”, Rheana memulai pembicaraan untuk memecah
keheningan.
“Kamu tahu kenapa”
“Tidak, aku tidak tahu.”
“Ini tentang Alex”
Hening yang lama dan terasa menyesakkan
“Apa hubungannya dengan aku?”, Rheana memasang wajah sedatar mungkin, menenangkan diri.
Katrin tidak mungkin tahu, Rheana tahu pasti Alex sedapat mungkin merahasiakan semuanya dari
Katrin. Dia mencintai calon isterinya itu dan yang pasti tidak ingin melukainya.
Untuk pertama kalinya Katrin menatap mata Rheana dengan tajam, “Kau pasti sudah tahu apa
hubungan semua ini denganmu ”, desis Katrin tampak menahan diri
Hening lagi. Kali ini lebih menyesakkan.
“Darimana kamu tahu tentang aku?”, Rheana mengalihkan kegugupannya dengan meneguk
kopinya.
“Bukan urusanmu darimana aku tahu tentang dirimu”, suara Katrin setajam tatapannya, tatapan
sakit hati seseorang yang dikhianati, “Bukan itu tujuan aku ingin menemuimu”
“Aku sudah meluangkan waktu untuk menemuimu secara baik-baik”, Rheana tidak tahan lagi
menerima hujaman tatapan Katrin yang menusuknya , kenapa harus dia yang dihakimi?
Bukankah dia juga berhak marah? Alex miliknya juga kan?, “Jadi Katrin, kalau kau bersikap
seperti ini lebih baik aku pergi”, Rheana mulai beranjak dari duduknya
“Jangan.”
Satu kata. Menahan gerakan Rheana. Kedua perempuan itu saling menatap, sama-sama
menunggu.
“Aku tahu tentangmu dari ponsel Alex.”
Kalimat singkat itu menjawab semuanya, membuat Rheana terdiam.
“Mereka memberikan dua ponsel Alex kepadaku, setahuku Alex hanya memiliki satu ponsel, tapi
ada dua yang diserahkan kepadaku...”, suara Katrin tercekat, dia berdehem pelan, lalu ketika
berhasil mengumpulkan suaranya lagi, terdengar sangat tajam, “Di dalam ponsel itu, tersimpan
hampir enam ribu sms kalian berdua. Sejak kalian berkenalan, dua tahun yang lalu.”
Alex masih menyimpan sms-sms mereka? Sejenak hati Rheana terasa hangat. Tetapi sebelum
kehangatan itu memancar di matanya, dia segera membunuhnya.
“Apakah kalian memulainya dua tahun yang lalu?”
“Apanya?”
“Kau tahu apa”
Rheana memalingkan muka, merasa jengah,
“Aku tidak harus menjawabnya”
“Kau harus menjawabnya!”, suara Katrin meninggi, dia mulai kehilangan kesabarannya, “Aku
berhak untuk tahu sejak kapan perselingkuhan ini dimulai di belakangku!”
“Apa kau serius ingin tahu? Alex sangat ingin menjaga perasaanmu, dia tidak ingin kau tersakiti.”
“Dia tetap berselingkuh, itu sudah menyakitiku”
Rheana mendesah.
“Kami tidak pernah berencana untuk jatuh cinta satu sama lain.”
“Tapi kalian tetap saja tidak menahan perasaan kalian.”, Katrin menatap tajam, “Apakah pada
saat pertama kau mengenal Alex, kau tahu bahwa dia sudah mempunyai calon isteri? Bahwa dia
sudah berkomitmen untuk menikah denganku?”
“Ya, aku tahu. Alex tidak pernah menutup-nutupi statusnya yang sudah bertunangan.”
“Dan kau tetap melanjutkan hubunganmu dengannya, perempuan macam apa kau ini?”
Perempuan macam apa? Batin Rheana merintih galau. Yah perempuan macam apa dia?
Mengetahui bahwa lelaki yang dicintainya adalah hak milik perempuan lain, tetapi dengan
sepenuh hati tetap saja melepaskan dirinya untuk mereguk cinta dari lelaki itu.
Alex tidak pernah menjanjikan apa-apa kepadanya, dia tidak bisa. Tetapi meskipun Alex datang
ke pelukannya dengan segala ketidak pastian itu, dia tetap merengkuhnya dan membiarkan
dirinya jatuh hati. Sekarang ketika ditanya perempuan macam apakah dirinya, Rheana sungguh
tidak tahu harus menjawab apa. Perempuan gatal? Perebut kekasih orang? Perusak hubungan
orang? Semua istilah-istilah buruk itu berkecamuk di kepalanya, merenggut sinar dari matanya.
“Aku mencintainya.”, Rheana menatap mata Katrin, memohon pengertian. Dia sudah lelah
dengan segala penghakiman yang menciderai perasaannya selama ini. Dia hanya ingin mencintai.
Salahkah dia?
Katrin memalingkan matanya, tidak tahan dengan tatapan memohon di mata Rheana,
perempuan itu tampak menderita, dan astaga, dia merasa iba. Bagaimana mungkin dia bisa
merasa iba kepada perempuan yang telah berselingkuh dengan tunangannya di belakangnya?
“Apakah..... Alex mencintaimu?”, suara Katrin bergetar, menahankan perasaannya.
“Maksudmu?”
“Apakah Alex pernah bilang kalau dia mencintaimu?”
Hening.
Ribuan kali. Pikiran Rheana melayang, rasanya setiap detik Alex selalu membisikkan kata-kata itu.
“Aku mencintaimu, mungil”, Setelah mengucapkan kata-kata itu Alex pasti akan menatapnya
dalam-dalam, lalu tersenyum lembut dan mengecup bibir Rheana dengan lembut. Rheana
mempercayai kata-kata Alex dengan sepenuh hati.
Rheana mengangguk. Kesedihan langsung menghantam Katrin, tatapannya menerawang.
“Dia sering sekali mengatakan kalau dia mencintaiku”, gumam Katrin mengambang, “Setiap kami
bertemu, setiap kami berbicara melalui telephone, dia selalu mengatakan kalau dia mencintaiku”
Seberkas rasa cemburu menusuk di dada Rheana,
“Oh ya? Bagus dong”, Rheana berusaha menahan ekpresinya tetap datar. Tapi Katrin merasakan
kesakitan yang memancar dari Rheana.
“Terlalu sering, sampai aku merasakan kata-kata itu seperti sapaan biasa, seperti ucapan selamat
pagi, selamat siang atau selamat malam”, sambung Katrin dengan senyuman miris, “Kini aku tahu
kenapa.”
Tiba-tiba Rheana didorong perasaan untuk menghibur perempuan di depannya ini, entah kenapa.
Padahal seharusnya dia membenci Katrin. Perempuan ini adalah perempuan yang dengan
mudahnya memiliki posisi yang sangat diimpikan oleh Rheana, posisi sebagai perempuan pemilik
Alex, perempuan yang berhak atas Alex. Tetapi entah kenapa Katrin tampak begitu terpukul
dengan kenyataan yang ada di depannya. Yah, bagaimanapun juga, mereka mencintai laki-laki
yang sama. Hanya saja, Rheana mengetahui tentang keberadaan Katrin di hati Alex, sedang Katrin
tidak tahu apa-apa. Apakah Rheana bisa dikatakan lebih beruntung di banding Katrin, dia sendiri
tidak tahu.
“Alex mencintaimu”, bisik Rheana serak.
Kepala Katrin yang menunduk terangkat dengan segera, matanya tampak getir,
“Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan berselingkuh denganmu”
“Tidak, jangan berpikir begitu....aku.... aku bingung bagaimana menjelaskannya, tapi sebagai
perempuan yang mencintai Alex, aku tahu kalau Alex mencintaimu, dia peduli padamu,
perasaannya masih sama”
“Aku membaca sms-sms kalian. Bagaimana Alex berkata-kata lembut kepadamu, bagaimana Alex
menyusun kata-kata romantis untukmu, dia tidak pernah begitu kepadaku, menyusun kata-kata
romantis, begitu serius.... begitu puitis, seolah-olah ini adalah Alex yang berbeda”, Katrin
menahankan matanya yang berkaca-kaca, “Alex tidak mungkin mencintaiku.”
“Dia mencintaimu”, suara Rheana meninggi untuk mempertegas maksudnya, “Mungkin dia
memang tidak pernah bersikap romantis ataupun puitis untukmu, mungkin itu dilakukannya
karena dia mengetahui kalau kau tidak akan nyaman dengan kasih sayang seperti itu, mungkin
Alex memandangmu sebagai perempuan yang lebih bahagia dengan tindakan tulus daripada
kata-kata. Jangan pernah berpikir kalau Alex tidak mencintaimu, aku tahu sekali, dia
mencintaimu.”
“Aku tidak pernah berpikir sebelumnya kalau Alex tidak mencintaiku”, suara Katrin semakin
bergetar, “Aku tahu kalau Alex mencintaiku... tetapi, kalau Alex mencintaiku dan kemudian tetap
saja ada perempuan lain yang bisa membuat Alex berselingkuh.....bukankah itu...”, suara Katrin
hilang, “Bukankah itu berarti... Alex lebih mencintai perempuan itu dibandingkan aku?”
Udara di antara mereka tiba-tiba terasa menyesakkan dada
Lalu Rheana tersenyum getir dan menggeleng,
“Tidak”, gumamnya.
“Tidak?”, Katrin memandang bingung.
“Tidak. Aku mungkin akan setuju ketika kamu bilang Alex mencintaiku. Tapi aku akan membantah
keras-keras kalau kamu bilang bahwa Alex lebih mencintaiku daripada dia mencintaimu”
“Kamu nggak bisa bilang begitu, semua bukti sudah menunjukkan kepadaku”
“Percayalah, aku tahu”, Rheana memandang sedih, “Sesering apapun Alex menunjukkan kalau
dia mencintaiku, aku tahu dia tidak akan pernah mau meninggalkanmu demi aku. Di matanya
kamu adalah pelabuhan terahkirnya, tempatnya pulang, wanita yang akan dinikahinya dan akan
selalu dicintainya”, setiap kata terasa mengiris bagi Rheana, tapi dia menahankannya, “Bagi Alex,
kamulah yang nomor satu.”. Dan aku si nomor dua, sebuah suara berbisik, mengejek hati Rheana.
“Tapi tidak pernah ada bukti kalau...”
“Alex pernah dihadapkan pada posisi memilih antara aku dan kamu, dan dia memutuskan
meninggalkanku demi kamu”, Rheana meringis, sungguh dia ingin melupakan kenangan itu kalau
bisa, tetapi rasanya dia harus mengatakannya sekarang atau Katrin akan selamanya salah paham.
“Teruskan”, suara Katrin begitu lirih dan ragu-ragu
“Suatu hari aku mengalami kecelakaan, kakiku patah, aku ada di rumah sakit”, Rheana
memejamkan matanya mencoba mengusir kepedihan yang menyeruak, “Alex menungguiku
waktu itu, tetapi ada seuatu yang tampak mengganggu pikirannya, dia tampak tidak tenang
disana. Aku tahu Alex sedang memikirkanmu, meski aku tidak pernah mengatakannya, aku tahu
hari itu adalah hari ulangtahunmu, aku tahu Alex seharusnya menghabiskan waktu bersamamu”,
Rheana tersenyum getir, “Tapi waktu itu aku kesakitan, kakiku patah dan obat penghilang sakit
tidak bekerja dengan baik, aku demam, aku mual dan keegoisanku merajalela, aku ingin Alex
bersamaku, bukan bersamamu”, mata Rheana mulai berkaca-kaca, “Saat itu aku menangis, aku
memohon..... tetapi Alex meminta maaf, dan dia pergi, dia pergi untuk memenuhi janjinya,
merayakan ulangtahunmu. Bersamamu, perempuan yang dicintainya di hari ulangtahunmu”
Hening. Udara terasa semakin berat.
Katrin ingat hari itu, di hari ulangtahunnya, Alex datang dengan senyum cerah dan sebentuk
liontin emas sebagai hadiah ulangtahunnya. Mereka menghabiskan waktu berdua, makan malam
istimewa lalu duduk berpelukan di sofa sambil menikmati es krim dingin. Katrin ingat dia
mengatakan betapa dia mencintai Alex, betapa dia bahagia memiliki calon suami seperti Alex,
betapa dia bersyukur kepada Tuhan karena memberikan pasangan sempurna seperti Alex,
betapa dia berterimakasih karena hari ulang tahunnya terasa begitu indah. Dan Alex tersenyum,
meraih kepala Katrin, menenggelamkannya di dadanya, dan memeluknya erat-erat. Malam itu
adalah salah satu malam terindah yang akan selalu dikenang Katrin.
“Meskipun begitu... kamu tetap mencintai Alex?”, tanya Katrin hati-hati.
Rheana mendesah,
“Aku mencintai Alex semudah aku bernafas. Aku mencintainya, karena itulah aku mengerti
kenapa dia tidak bisa menjanjikan apa-apa kepadaku, kenapa dia memilih merahasiakan diriku
demi menjaga perasaanmu, kenapa dia tidak bisa meninggalkanmu demi diriku, aku sungguhsungguh
mengerti.”,
Rheana mencoba tersenyum kepada Katrin, “Perasaan yang ini.....mungkin
semua orang akan mencaci-maki. Tetapi aku bangga karena aku punya perasaan ini”
Katrin terdiam dan menatap jalinan jemarinya di meja.
“Ya... aku tahu perasaan itu. Alex sungguh amat mudah dicintai, dan aku sangat mencintainya.
Kau tahu, keluargaku dulu tidak menyetujui hubunganku dengan Alex, papaku sudah
menjodohkanku dengan junior di tempat kerjanya, sesama dokter, tetapi aku begitu mencintai
Alex, aku memperjuangkannya, Kalau aku tidak mencintai Alex, mungkin aku sudah menyerah
dan meninggalkannya, tetapi aku terlalu mencintainya untuk melepaskannya”
Rheana terdiam. Membantah kata-kata Katrin dalam hatinya, terlepas dari cinta atau tidak, Alex
memang lelaki yang berharga.
“Dia lelaki yang pantas diperjuangkan”, Rheana terpekur, tanpa sadar menyuarakan pikirannya.
“Ya”, Katrin menganggukkan kepalanya, setuju. Matanya tersenyum tanpa sadar.
Hening lagi, seolah-olah kedua perempuan itu tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Kenapa.... kenapa kau menghubungiku? Kenapa kau ingin bertemu denganku? Apa tujuan dari
pertemuan ini sebenarnya?”, Rheana berpikir keras, tidak mungkin kan Katrin hanya ingin
menyakiti dirinya sendiri dengan mengorek-ngorek kisah perselingkuhan Alex dengannya? Atau
Katrin ingin menghakimi dan mencaci makinya? Tetapi kalau itu memang tujuannya, seharusnya
Katrin sudah melakukannya dari tadi.
“Mungkin kau berpikir aku ingin mencaci makimu”, Senyum simpul muncul di sudut bibir Katrin,
menertawakan dirinya sendiri, “Sejujurnya, itulah tujuanku pada awalnya, aku ingin mencaci
makimu, menumpahkan kemarahanku, perasaan dikhianati ini begitu menyesakkan dada sampaisampai
aku
hampir
kehilangan
kewarasanku...”
Rhena
terdiam,
menunggu.
“Tetapi
kemudian
aku
sadar,
aku
cuma...
aku
cuma
kaget
ternyata
ada
kamu
di
tengah
hubungan
kami,
dan
aku
hanya
ingin
melihat...
apakah
kamu..
benar-benar
nyata”
“Aku
nyata
dan
ada”,
Rhenana
mengangkat
bahu.
“Ya,
dan
ketika
aku
menyadari
itu,
perasaanku
hancur....”
“Perasaanku
sudah
hancur
dari
dulu”,
Rheana
menyela,
“Kalau
terus
menerus
memikirkan
siapa
yang
lebih Alex cintai, kenapa Alex lebih memilihmu... aku pasti akan hancur, karena itu aku
selalu berusaha tidak memikirkannya”, Rheana menatap Katrin dengan sedih, “Selama ini
kamulah yang beruntung Katrin, kamu menerima cinta Alex dengan pengetahuan kalau cintanya
hanya untukmu, sedangkan aku menerima cinta Alex dengan pengetahuan akan kenyataan
bahwa ada kamu yang lebih dicintainya... posisimu lebih beruntung....”
“Apakah kalau kau boleh memilih, kau akan memilih tidak tahu apa-apa... seperti aku?”
Rheana terdiam. Apakah kalau boleh bertukar dia akan memilih berada di posisi Katrin? Sebagai
kekasih yang dicintai dan dijaga hatinya agar tidak tersakiti, dan bahagia tanpa tahu kalau
kekasihnya membagi cinta dengan perempuan lain? Rasanya posisi Katrin terasa indah dan aman,
jauh dari kesakitan yang getir seperti yang dirasakannya setiap kali dia memikirkan Alex, tapi
entah kenapa, Rheana tidak akan mau bertukar, bahkan meskipun dia diberi kesempatan.
Baginya cara mencintai Alex seperti dia mencintai adalah cara terindah yang bisa dia lakukan.
Mencintai tanpa meminta apa-apa. Hanya ingin mencintai dan tidak menginginkan apa-apa lagi.
Ini adalah pilihannya dan dia senang dengan pilihannya itu.
Rheana menggelengkan kepalanya dan Katrin mendesah,
“Yang paling menyedihkan... aku merasa lebih baik berada di posisimu.”, kata-kata itu bagaikan
pengakuan yang diungkapkan Katrin dengan kesedihan yang mendalam.
Rheana mengernyitkan keningnya, bingung.
“Seiring berjalannya waktu, aku merasa Alex semakin lama semakin menjauh dariku”, sambung
Kristin sambil tersenyum ironis.
“Bagaimana kau bisa bilang begitu?”, Rheana menyela dengan gusar, teringat akan hari-hari yang
dilewatkannya sendiri dengan kesakitan akan pengetahuan bahwa Alex sedang menghabiskan
waktunya bersama Katrin, “Dia selalu bersamamu, dia selalu ada untukmu, seluruh prioritas
waktunya diberikan untukmu”
“Ya, dia memang ada di sebelahku, aku bisa memeluknya, aku bisa menggenggam tangannya, aku
bisa menciumnya, dia selalu ada disampingku kapanpun aku mau, kapanpun aku minta, Alex
selalu memberikan waktunya untukku....”, Katrin mendesah lagi, “Tapi hatinya seperti tidak ada
di sana, tubuhnya ada di sana, tapi keberadaannya terasa jauh... dulu aku tidak tahu kenapa, tapi
sekarang aku tahu, tubuhnya ada di pelukanku, tetapi hatinya ada pada dirimu.”
Rheana ingat Alex pernah berkata kepadanya, “Kuberikan hatiku untukmu Rheana, seluruhnya
untukmu”, saat itu dia hanya tersenyum dan menganggap kata-kata Alex hanyalah salah satu dari
ungkapan puitisnya. Tetapi sekarang, ketika Katrin yang mengatakannya, entah kenapa, dia
mempercayainya.
“Yah.... mungkin aku memang memiliki hatinya... tetapi tidak pernah bisa memeluk Alex, bahkan
disaat aku sangat merindukannya, tidak pernah bisa memintanya ada bahkan di saat aku
membutuhkannya, tidak bisa meminta seluruh waktunya, karena memang aku tidak berhak.... itu
terasa sangat menyakitkan, lebih menyakitkan daripada apapun...”
Hening lagi. Kedua perempuan itu terpekur. Memikirkan pilihan yang ada. Yang satu memiliki
tubuh, yang satu memiliki hati. Sungguh dua pilihan yang sangat sulit. Memiliki tubuh tapi tidak
memiliki hati, sama saja berpelukan dengan kehampaan yang dibalut kebahagiaan semu.
Memiliki hati tetapi tidak bisa memiliki raga, sama saja memiliki sekuntum mawar paling indah di
dunia, tetapi beracun, dan tidak bisa disentuh. Kedua-duanya sama-sama sulit, ditambah lagi
dengan ketidak-mungkinan untuk bisa memiliki kedua-duanya sekaligus, hati dan jiwa.
Katrin menarik napas panjang, lalu menyesap cappucino pesanannya, setelah meletakkan
gelasnya, dia menatap Rheana dan mencoba tersenyum meski guratan kelelahan tampak jelas di
wajahnya,
“Yah... mungkin sudah saatnya aku pergi”, Katrin melirik jam tangannya, “Mereka semua pasti
sudah menungguku”
Rheana menganggukkan kepalanya, tidak tahu harus berkata apa. Matanya mengawasi Katrin
yang berdiri dan membenahi tasnya, perempuan itu nampak begitu pucat, tanpa sadar dia ikut
berdiri,
“Kau tidak apa-apa Katrin?”, kata-kata itu terlontar di bibirnya sebelum sempat di tahannya.
Katrin tertegun, seolah tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari bibir Rheana,
kemudian dia tersenyum,
“Aku.... entahlah...”, Katrin menghela nafas panjang, “Setidaknya aku bertahan”, senyumnya
tampak begitu sedih.
Rheana menganggukkan kepalanya seolah salah tingkah,
“Baiklah kalau begitu, aku juga akan pergi”, Rheana mengulurkan tangannya, “Selamat tinggal”
“Selamat tinggal.”, Katrin membalas jabatan tangannya. Mereka lalu saling melepaskan jabatan
tangan, sedikit salah tingkah, dan kemudian setelah menggumamkan ucapan perpisahan tak jelas
Rheana melangkah pergi, meninggalkan bar mungil itu.
Lama Katrin terpaku menatap Rheana yang membalikkan tubuhnya dalam diam, matanya
menelusuri punggung itu, melihat Rheana yang tampak lunglai terasa begitu menyentuh hatinya.
Seharusnya dia membenci perempuan itu, tetapi entah kenapa, dia merasa tersentuh.
“Rheana ?”
Rheana membeku mendengar panggilan Katrin, pelan-pelan dia memutar tubuhnya dan menatap
Katrin ragu,
“Ya?”
Katrin menelan ludah,
“Mungkin.... mungkin kau mau datang ke pemakaman besok pagi?”
Bibir Rheana menganga, tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari bibir Katrin.
“Kau memintaku datang....?”, suara Rheana entah kenapa menjadi begitu parau, dia berdehem
untuk menenangkan dirinya, “Aku.... benarkah? bolehkah aku datang ?”
“Tentu saja boleh. Kau juga berhak datang... lagipula... lagipula ....”, Katrin menghela nafas
panjang, “Alex pasti akan bahagia kalau kau datang ke pemakamannya...”.
Rheana masih diam disana, terpaku dengan mata berkaca-kaca.
“Kau... kau tidak pernah datang di rumah sakit pada saat-saat terahkir Alex... jadi aku...”, Suara
Katrin tertelan di tenggorokannya.
“Kau tahu aku tidak bisa datang”, suara Rheana bergetar.
“Ya... aku mengerti”
Katrin benar-benar mengerti. Seharusnya dia marah, tetapi entah kenapa dia bisa mengerti.
Rheana hanyalah wanita yang ingin mencintai. Dia mencintai Alex dengan sepenuh hatinya,
tetapi dia menderita. Mungkin memang Katrin lebih beruntung dibandingkan Rheana. Dia bisa
selalu ada di sisi Alex, bahkan tadi siang di saat-saat terahkir Alex, dia bisa menggenggam tangan
lelaki itu, membisikkan kata cinta untuk mengantar kepergian Alex selama-lamanya. Tetapi
Rheana, perempuan itu pasti sangat ingin datang, tapi dia terikat disana, tidak bisa menengok
lelaki yang dicintainya yang sedang terbaring sekarat di ranjang rumah sakit, Rheana pasti sangat
menderita, dan Katrin bisa membayangkan bagaimana rasanya.
“Kalau kau bisa datang, datanglah besok.”
Mata Rheana tampak berkaca-kaca,
“Aku.. aku pasti akan datang....”, suara Rheana terdengar bahagia, “Terimakasih.”, hanya satu
kata, tapi penuh dengan emosi yang meluap-luap, penuh dengan rasa syukur sesungguhnya yang
melimpah.
Dua perempuan itu berdiri berhadapan, dipenuhi oleh perasaan yang menyesakkan dada.
Lalu tanpa kata, Rheana membalikkan badan dan pergi, air matanya berderai, tetapi hatinya
penuh rasa syukur. Dia tidak bisa mengantarkan kepergian Alex di saat-saat terahkirnya, tetapi
Tuhan begitu baik, memberinya kesempatan untuk mengucapkan salam terahkir kepada jenazah
Alex sebelum lelaki itu dimakamkan ke peraduan terahkir.
Tidurlah dalam damai Alex, aku akan selalu mencintaimu....
Aku akan selalu mencintaimu, tak peduli siapapun yang kamu cintai.....
Di belakangnya, Katrin melepas kacamatanya dan menyusut airmatanya, dia sudah melakukan
apa yang seharusnya dilakukannya. Tangannya memeluk dirinya sendiri dan mendesah dalam
kesedihan,
Tidurlah dalam damai Alex, aku akan selalu mencintaimu....
Aku akan selalu mencintaimu, tak peduli siapapun yang kamu cintai.....
Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
7 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar