Daftar Blog Saya

Sabtu, 09 September 2017

Rumah Pahlawan

Cerpen Adi Zamzam (Koran Tempo, 09-10 September 2017)
Rumah Pahlawan ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo
Rumah Pahlawan ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
“Apakah semua pahlawan punya rumah, Pa?” tanya makhluk mungil bermata kelinci itu kepadaku. Sosok Superman yang tadi malam kami tonton bersama kembali melintas dalam benak. Kemudian disusul Batman, Kura-Kura Ninja, bahkan juga Naruto dan Son Goku yang sering dijejalkan televisi sebagai pahlawan bagi anak-anak itu-termasuk anakku.
Aku hampir saja mengangguk sebelum kemudian teringat Papa yang tempo hari meneleponku, menyuruhku pulang ke Kradenan. Kami—anak-anaknya—pun kemudian mengatur jadwal untuk bergantian menjaga beliau di sana. Apalagi Paklik Han sudah mengibarkan rambu menyerah dalam hal mengurus kakaknya itu lantaran ia sendiri juga mulai butuh diurus. Paklikku yang masih perjaka hingga di umur kepala lima ini sudah sering mengeluh sakit-sakitan.
“Kenapa kau menanyakan itu?” sengaja kubalik pertanyaan sembari mencari jawaban yang tepat untuknya.
“Adakah pahlawan yang tak punya rumah? Yang kesepian dan kedinginan setelah selesai menolong banyak orang?”
Keningku berkerut, “Kenapa kau menanyakan hal itu juga?” merasa bahwa pertanyaan itu terlampau mendahului umurnya.
“Kalau semua pahlawan juga punya rumah, itu berarti mereka juga sering merasakan ketakutan,” ujarnya polos, seolah kalimat itu adalah kalimat biasa yang tak berarti apa-apa. “Batman kalau kalah kan pulang ke rumahnya dulu, Pa. Kura-Kura Ninja juga,” ujarnya lagi, membuatku ingin tertawa. Tapi kemudian aku tertegun menyadari kebenaran analisisnya.
“Ada apa, Pa?” tanyanya, seolah tahu bahwa aku telah tertawan kalimatnya tadi.
“Papa pernah kenal seorang pahlawan yang tak punya rumah. Entah ia pulang ke mana setiap selesai menolong kami.”
Anak itu menatapku tanpa kedip.
“Besok, pas ke rumahnya Opa, akan kuceritakan banyak hal tentang pahlawan yang ini.”
“Kenapa harus pas ke rumahnya Opa?”
“Karena di sanalah semua hal tentangnya masih bisa dikenang dengan baik.”

Ketika sampai di rumah masa lalu, kupunguti sisa-sisa perasaan sebagai sekumpulan orang yang pernah terasing dari para tetangga. Meski Papa sudah tak segempita seperti biasanya ketika menyambutku, beliau tetaplah pusar dari segala kenangan itu. Beliau bahkan memanggilku dengan nama “Kiem”.
“Kiem siapa, Pa?” tanya bocah bermata kelinciku itu. Sebuah pertanyaan yang menggiring pada kesedihan. Terlebih Opa yang seharusnya bisa menjadi mata air atas pertanyaan itu sudah tak mengenal kami lagi.
“Dialah pahlawan yang dulu sering menolong kami di rumah ini?”
“Menolong Opa dan Oma?”
Aku mengangguk, “Kami semua.”
“Lalu di mana pahlawan Kiem sekarang berada?”
Aku menggeleng.
“Bagaimana Papa bisa tidak tahu? Apa Opa juga tidak tahu?”
“Apa di Gotham, para warganya tahu di mana rumah Batman? Apa semua warga Smallville juga tahu di mana letak rumah Superman? Mereka bahkan tidak tahu siapa sebenarnya orang yang berada di balik topeng Batman dan Superman.”
Ia terdiam dalam jeda waktu yang cukup lama. Di teras rumah, pandangannya menyapu ke segenap penjuru, seolah tengah mencari jejak-jejak yang bisa dihubungkan dengan Kiem sang pahlawan.
“Apa dulu Papa dan Opa punya musuh?” tanyanya tanpa kuduga, membuatku tersenyum kecil dalam suasana haru.
Aku lalu memulai cerita dari ketika Papa mengumpulkan rupiah pertama di sebuah pabrik kapuk di Semarang. Dulu, pohon kapuk randu masih mudah ditemukan, terutama dari daerah Grobogan dan pesisir utara Jawa. Pada masa inilah Papa kemudian bertemu dengan calon istrinya yang merupakan anak pemasok kapuk dari Jepara.
Pernikahannya kemudian berhasil mendewasakan lima anak yang komposisinya terdiri atas tiga anak lelaki dulu dan dua anak perempuan di belakang. Aku sempat menikmati masa-masa jaya Papa sebagai pegawai tetap gudang kapuk yang menyambi sebagai pedagang barang-barang selundupan, sebelum semuanya berakhir ketika huru-hara Lintang Kemukus memporandakan semuanya.
“Apa itu Lintang Kemukus?” dia menyela ceritaku.
“Bintang terang yang terlihat berpindah tempat kala siang hari.”
“Lalu, huru-haranya?”
“Opamu sudah menduga bahwa kemunculan Lintang Kemukus kali itu akan membawa huru-hara besar yang membuat susah banyak orang. Pabrik kapuk Opa yang sebelumnya mampu mengirim bahan benang tersebut ke Eropa mulai kacau. Beliau juga mulai tak bisa mengambil susu dan sabun selundupan dari pelabuhan, lantaran gerak-gerik beliau selalu diawasi….”
Aku mulai merasa berjalan ke arah lorong gelap nan jauh, yang seharusnya belum boleh diberitahukan kepada anak seumurannya. Bahwa hidup yang lapang ini kadang kala bisa menjadi begitu sempit hanya lantaran sebuah lorong bernama SARA.
“Sejak terjadinya kerusuhan besar itulah pahlawan Kiem diam-diam sering menolong kami. Diam-diam, tanpa sepengetahuan orang-orang, dia sering mengirimi kami makanan.”
“Saat itu Opa tak punya pekerjaan lain?”
“Bekerja, apa pun yang bisa menghasilkan uang, pasti beliau lakoni. Tapi kondisi saat itu memang terlampau sulit. Jika bukan lantaran kebaikan-kebaikan Opa sebelumnya terhadap orang-orang sekitar, kamu pun bahkan mungkin tak akan lahir ke dunia ini.”
Ia terdiam sejenak sebelum kemudian bertanya lagi. Seperti sudah bisa merasakan aura kemuraman pada ujung ceritaku, sehingga kemudian memilih berbelok ke arah pertanyaan lain.
“Seperti siapa rupa pahlawan Kiem itu, Pa?”
Pertanyaan ini justru melumerkan air mataku. Tak bisa kuhentikan bahkan saat menceboki Papa yang bahkan dengan kotorannya sendiri pun sudah tidak begitu hirau. Bagaimana tak? Sebab, setiap kali melihat wajah yang sudah tampak layu oleh kerut-merut itu, yang tampak adalah juga seraut wajah yang datang hanya saat malam telah melelapkan semua.
Seperti kepulangan pertamanya sejak kepergiannya yang entah ke mana. Ia datang dengan mengetuk pintu belakang rumah. Jantungku berdetak keras tiap kali melihat sekarung makanan yang ia bawa. Entah ia dapat dari mana.
Yang aku harapkan pertama kali keluar dari mulutnya, sebenarnya adalah selalu bagaimana kabarnya? Di mana ia tinggal selama ini? Apa yang ia lakukan selama ini? Apakah di sana lebih nyaman daripada di desa ini, sehingga ia lebih memilih tidak pulang?
Tapi yang keluar dari sela bibirnya hampir selalu saja tentang bagaimana kabarnya anggota Pemuda Rakyat? Bagaimana nasibnya keluarga Kamituwo? (yang dulu rumahnya sering ia jadikan tempat pidato dalam pertemuan-pertemuan pengenalan visi-misi partai) Apa saja yang dilakukan para tentara belakangan ini? Serta apakah kalian baik-baik saja selama ini?
Pertanyaan terakhir itu jelas mengandung ironi, mengingat kamilah yang seharusnya bertanya balik seperti itu. Tapi dia justru seperti tak peduli akan dirinya sendiri. Berlagak seperti Robin Hood, padahal posisinya jelas tengah menjadi pelarian yang diburu di sana-sini.
“Kau jangan pergi lagi ya, Kiem?” Papa memeluk erat diriku setelah kubantu mandi dan mengenakan pakaian. Mengingatkanku bahwa pertanyaan serupa dulu juga pernah dilontarkan untuk anak kesayangannya itu.
Aku mengangguk dengan senyum. Rencana mengajaknya menghirup udara segar di luar semakin mendapat angin segar tatkala bocah bermata kelinciku itu tersulut lagi oleh rasa penasaran.
“Mengapa Opa memanggilmu dengan nama Kiem, Pa? Bukankah itu nama pahlawan yang Papa bilang tadi? Bagaimana bisa…?”
“Seorang pahlawan bisa saja dianggap sudah mati oleh orang lain yang menganggapnya penjahat, Nak. Tapi seorang pahlawan akan tetap hidup di hati dan pandangan mata orang-orang yang menganggapnya pahlawan.”
“Jadi, apa pahlawan Kiem masih hidup?”
Kuputar ulang ingatanku mundur ke belakang. Ke masa tatkala rasa persaudaraan kami si lima bersaudara benar-benar diuji. Tan Kian Kiem, Tan Kian Swan, Tan Kian Lian, Tan Kian Nio, dan si bungsu Shianawati yang lahir setelah kami semua memiliki nama pribumi, yang kadang-kadang kami benci lantaran mengingatkan kami akan kerbau-kerbau yang harus tunduk pada tali cucuk.
Desember 1960 adalah bulan ketika Papa dan Mama resmi memilih menjadi warga negeri ini setelah setahun sebelumnya pemerintah mengeluarkan peraturan perihal dwikewarganegaraan. Ketika kami bertanya tentang nama-nama baru kami itu, Papa selalu bilang demi keamanan. Meski begitu, Kiem tetap saja luput, dan enam tahun kemudian Papa tetap kena stempel ET (lantaran sebuah celana warna hijau yang kerap ia pakai saat ronda dulu, padahal beliau tak pernah terpaut dengan pergerakan partai apa pun).
“Para tentara itu menyangka Papa adalah anggota Pemuda Rakyat,” ujar beliau sepulang dari wajib lapor setelah penggeledahan paksa.
Hingga kemudian kami mulai tahu siapa yang sebenarnya mereka incar.
Namun Papa bilang bahwa kami harus tetap jaga diri. Dari nasihat-nasihat beliau berikutnya aku mulai bisa menerka bagaimana nasib Kiem, yang tak pernah kembali untuk memastikan keadaan kami, betapa pun Papa sering membohongi kami, dan terutama dirinya sendiri, dengan ucapan, “Dia sudah aman dan enak di rumah barunya.”
“Jadi, pahlawan Kiem masih sering kemari menjenguk Opa, ya Pa?” bocah bermata kelinci itu kembali mengulangi pertanyaan yang menyesakkan itu.
Tapi toh kumaklumi jua dengan mengucek rambut lidinya, “Masih, masih. Bahkan dia sudah tinggal bersama Opa, di sini,” kutunjuk dadaku. Betapa pun, saat kulihat Papa, ia seperti sudah kehilangan segala-galanya. Bahkan dirinya sendiri.

Kalinyamatan – Jepara, 2017
Adi Zamzam lahir pada 1 Januari 1982, tinggal di Desa Banyuputih, Kalinyamatan, Jepara, Jawa Tengah. Selain menciptakan cerpen, ia menulis esai dan resensi buku. Bersama kawan-kawannya, saat ini ia sedang aktif mengawal berdirinya sekolah kepenulisan Akademi Menulis Jepara.

Perempuan Sunyi dan Saudaranya

Cerpen Yus R Ismail (Media Indonesia, 10 September 2017)
Perempuan Sunyi dan Saudaranya ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Perempuan Sunyi dan Saudaranya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
ORANG-ORANG menyebut saya Perempuan Sunyi. Mungkin karena keberadaan saya tidak ditandai dengan suara. Saya tidak berbicara, apalagi keras, apalagi berteriak. Sering ada yang bertamu ke rumah nenek, setelah lama berbincang dengan nenek atau kakek, baru menyadari kehadiran saya di kursi pojok sedang membaca buku.
“Oh, itu Anelis cucu Ibu itu, ya?” tanya tamu sambil tersenyum kepada saya. Nenek selalu mengangguk menjawab pertanyaan seperti itu. Sang tamu kemudian menghampiri saya. “Oh, cantik sekali. Rambutnya begitu indah, matanya begitu cerlang.”
Nenek selalu tersenyum mendengarnya. Mungkin karena tahu, bila tidak ada nenek, komentar tamu atau orang lain yang melihat saya itu sedikit ada penyimpangan. Mereka akan mengatakan seperti ini: “Kasihan sekali, cantik-cantik kok bisu, tuli, dan lumpuh.”
Apapun komentar mereka, saya akan tersenyum. Ya, karena saya tidak bisa bicara. Sudah lama saya berlatih, setiap ingin bicara atau berteriak saya mengalihkannya dengan tersenyum. Karena suara yang keluar dari mulut saya hanya melenguh. Dan saya tidak menyukai suara lenguhan.
***
Kata nenek, saya sudah bisu, tuli, dan lumpuh sejak lahir. Meski begitu, ketika saya lahir ada suara tangis bayi yang keras. Suara tangis bayi yang membuat pendengarnya bersyukur. Tapi suara tangis itu bukan keluar dari mulut saya. Suara tangis itu kepunyaan saudara kembar saya, namanya Inalis.
Nenek selalu bilang, di antara kami berdua yang lebih mirip ibu adalah saya. Ibu adalah perempuan yang cantik dengan rambut indah bergelombang, mata cerlang bercahaya, dan senyum seperti bunga yang selalu mekar. Ibu pun perempuan sunyi; bisu, tuli, dan lumpuh.
Meski mengalami keterbelakangan mental, tubuh Ibu nyaris normal. Kulit kuning langsat seperti bercahaya, halus mengundang orang untuk membelainya. Ibu bisa berjalan mengesot, bisa melakukan apa pun keperluannya sendiri. Mandi, ganti baju, mengambil makanan dari meja makan, ibu bisa melakukannya. Ibu pernah sekolah, tapi hanya beberapa tahun. Entah kenapa ibu tidak melanjutkan sekolah, nenek tidak pernah bercerita.
Suatu hari sepulang bermain di teras belakang rumah, ibu menangis. Melenguh-lenguh, lalu diam dengan air mata mengalir membasahi pipinya yang ranum. Tangis yang tidak biasa. Karena berhari-hari kemudian, berminggu-minggu kemudian, tangis itu tidak berhenti.
Nenek dan kakek tentu saja bingung. Tapi kemudian ibu melupakan tangisnya. Ibu sibuk lagi dengan keterampilan menyulamnya, keterampilan yang diajarkan nenek sejak kecil. Apa pun disulamnya. Taplak meja, sarung bantal, bajunya, hiasan dinding, dan apa pun. Sebagian hasil sulaman ibu dibagikan kepada saudara-saudara yang datang dan tetangga.
Tapi nenek dan kakek tidak berhenti bingungnya. Karena beberapa bulan kemudian ibu tidak juga datang bulan. Waktu dibawa ke dokter, ibu dinyatakan hamil. Waktu itu usia ibu dua puluh tahun. Sampai saya dan Inalis lahir, nenek dan kakek tidak tahu siapa sebenarnya ayah kami. Ibu selalu menangis setiap ditanya. Ibu pun meninggal waktu melahirkan saya dan Inalis.
***
Kata orang, saya dan Inalis seperti pinang dibelah dua. Hanya yang membedakannya, Inalis lebih besar dan tinggi. Karena sejak kecil Inalis biasa bergerak, menari, menyanyi, dan bermain berlari-larian. Sementara saya hanya menemaninya dari pinggir halaman, tersenyum, bertepuk tangan, dan ngesot untuk mengejarnya.
Inalis sangat menyayangi saya, seperti juga saya sangat menyayanginya. Inalis selalu membantu saya. Saya dipangkunya untuk dipindahkan dari lantai ke kursi atau tempat tidur. Saya digendongnya ketika ingin melihat pawai kendaraan hias saat perayaan hari kemerdekaan. Saya diberinya makanan dan mainan apa pun yang dipunyainya.
Hanya saja Inalis tidak pernah bisa menguasai bibirnya. Bila sudah marah, bicaranya akan panjang, mengomel mengatai apa pun yang tidak berhubungan dengan yang membuatnya marah.
Suatu hari saya tidak mau diajaknya bermain.
“Setiap hari saya pangku, saya gendong, saya beri apa pun yang saya punya; eh balasannya penolakan hanya dajak bermain. Saudara seperti apa kamu itu?” kata Inalis dengan wajah sinis. “Dasar, anak tidak tahu diri. Sudah lumpuh, bisu, dan tuli lagi!”
Inalis tidak tahu kepala saya pening sehingga saya tidak kuat bermain.
Tentu saja saya terkejut. Saya tidak menyangka Inalis mengatakan kalimat-kalimat pedas seperti itu. Saya menangis saking sedihnya. Tapi Inalis malah seperti yang berbahagia, merasa puas, melihat air mata saya mengalir menyusuri pipi.
“Makanya kamu bicara! Jangan hanya ah-uh auh-ah, seperti monyet! Tahu diri, kamu itu manusia tidak berguna!” katanya semakin membuat air mata saya banjir.
Sejak itu saya tidak ingin bisa bicara seperti Inalis bicara. Keinginan yang sejak saya ingat dan sadar bahwa saya tidak bisa bicara seperti itu, berhenti begitu saja. Seperti sinar matahari yang tertutup awan dan hujan. Saya lalu lebih memercayai tersenyum sebagai kata-kata. Itulah awalnya mengapa saya dikenal sebagai Perempuan Sunyi yang selalu tersenyum.
“Coba, kamu tahu apa arti senyum Perempuan Sunyi itu kali ini?” tanya seseorang kepada temannya saat melihat saya sedang menyulam di teras rumah. Saat itu senja turun dengan matahari jingga kekuningan.
“Mungkin dia bangga bisa membuat sulaman,” jawab temannya.
“Bukan. Dia pasti berbahagia begitu menyadari bahwa dirinya tidak bisa bicara.”
“Haha… masak karena bisu jadi bahagia?”
“Iya, karena dia tahu, banyak berkata-kata sering kali menutup orang untuk tersenyum.”
Mendengar percakapan seperti itu senyum di bibir saya semakin merekah.
***
Setelah kami dewasa, kata-kata seperti kutukan bagi Inalis. Dia sangat baik kepada siapa pun. Tapi begitu sudah berselisih, mulutnya seperti senapan yang tidak akan berhenti sebelum ada peristiwa besar. Sekali waktu, saat Inalis SMP, teman akrabnya sendiri dikatakan pelit, bodoh, tidak tahu diri, kurang ajar, sengsara, buruk rupa, pecundang, dan entah apa lagi; hanya karena tidak memberinya pinjaman buku. Tentu saja temannya itu marah. Dia memutuskan hubungan pertemanannya.
Saya sendiri tidak sekolah. Nenek mengundang guru les ke rumah. Saya belajar membaca, berhitung, dan menggambar. Saya sangat senang membaca. Saya bisa belajar banyak hal dari bacaan. Ketika guru les saya harus meneruskan kuliah ke luar kota, saya tidak mau lagi belajar. Saya tidak mau guru baru. Lagi pula, setelah bisa membaca, saya bisa belajar sendiri.
Lulus kuliah, bekerja, Inalis menikah dan berpisah rumah dengan nenek dan kakek. Saya diajaknya juga tinggal di rumah Inalis. Suaminya baik mengizinkan saya ikut tinggal dengan mereka. Lima tahun mereka berkeluarga tapi belum dikasih momongan juga. Sekali waktu Inalis dan suaminya berselisih. Seperti yang sudah-sudah, mulut Inalis seperti senjata yang tidak berhenti menembak.
“Dasar lelaki mandul, miskin, pecundang, tidak tahu diri, pemalas, pengangguran, dan….” Saya tidak hafal apa lagi yang dikatakan Inalis. Suaminya kemudian pergi. Beberapa hari kemudian datang surat cerai dari pengadilan.
Sebulan kemudian Inalis berselisih dengan tetangganya. Setahun kemudian Inalis dijauhi semua tetangganya. Hidup Inalis seperti terasing. Hidup menyendiri di tengah keramaian. Bertemu dengan saya para tetangga itu menyapa dan tersenyum. Tapi begitu melihat Inalis, mereka seperti tidak saling mengenal.
Sekali waktu Inalis menangis. Ujung bibirnya robek berdarah. Awalnya hanya karena ada orang yang lewat tidak bilang permisi. Mulut Inalis lalu menjadi senjata lagi mengeluarkan perbendaharaan kata yang begitu tidak terbayangkan banyaknya. Setiap orang itu lewat, mulut Inalis menembaknya dengan jutaan kata-kata. Orang itu awalnya bingung. Tapi begitu tahu kata-kata sumpah serapah dan ejekan itu ditujukan kepadanya, orang itu memukul Inalis.
Inalis memeluk saya. “An, tahukah engkau, sejak dulu, sejak kita kecil, aku ingin sepertimu,” katanya sambil menangis. “Aku ingin bisu sepertimu.”
Saya tentu saja tersenyum sambil membelai rambutnya.
***
Sekali waktu keinginan Inalis untuk bisu itu terkabul. Dia tidak bisa berteriak, menembak orang dengan kata-katanya yang tajam, bahkan melenguh pun tidak bisa. Saya memeluknya. “Bicaralah, In, bicaralah seperti biasa,” bisik saya. Tapi Inalis membisu.
Darah segar membasahi tangan saya saat tersentuh belati yang menancap di dada Inalis. ***

Yus R Ismail, menulis cerpen, novel, dan puisi, dalam bahasa Indonesia dan Sunda yang sudah diterbitkan di sejumlah media massa. Buku terbarunya Humor Klasik si Kabayan (BIP, 2017), Mahacinta (e-book Gramedia, 2017), Ambilkan Bulan, Bu(audiobook, 2017).

Tubuh Ayah Berwarna Tanah

Cerpen Damhuri Muhammad (Kompas, 10 September 2017)
Tubuh Ayah Berwarna Tanah ilustrasi Bonaventura Gunawan - Kompas.jpg
Tubuh Ayah Berwarna Tanah ilustrasi Bonaventura Gunawan/Kompas
Seberapa lama kita sanggup melihat kembali wajah yang pernah kita kekalkan dalam foto setelah ia meninggal dunia? Tanyamu sambil mencari potret diri seorang tokoh penting dalam sebuah folder khusus di laptopmu. Seorang teman kolumnis spesialis obituari meinginkannya, lantaran orang besar itu baru saja dilaporkan telah meninggal dunia. Bagaimana kalau yang muncul di layar monitor adalah wajah ayahmu sendiri, yang mungkin pernah kau abadikan sebelum ia pergi untuk selamanya? Kau sanggup menatapnya lama-lama? Sekadar melakukan olah-digital ringan untuk kebutuhan cetak buku Yasin dalam acara tahlilan 40 hari setelah kematian, misalnya?
Bagimu, itu pekerjaan paling mengerikan. Barangkali lebih berbahaya dari upaya keras mendapatkan sebuah momentum pemotretan dalam situasi yang sedemikian genting. Wajah dalam foto itu seolah-olah ingin bercakap-cakap denganmu. Bibirnya seperti nyata bergerak. Tangannya bagai menggapai-gapai memintamu diam sejenak, menyimak pembicaraannya. Dengan macam-macam ekspresi, ia seperti memohon uluran tanganmu guna menyampaikan hal-hal yang tak tersampaikan semasa hidup. Ia menyingkap segala rahasia di hadapanmu, mengakui rupa-rupa tudingan yang semasa hidup mungkin dibantah terus-menerus. Foto orang yang sudah mati itu seperti rumah virtual yang dihuni banyak harapan, dan semuanya dialamatkan kepadamu. “Semestinya bila orangnya sudah almarhum, datanya juga dikuburkan! Supaya tidak bikin repot,” ungkapmu, ketus.
Itulah yang kemudian membuat kau lebih gandrung mengabadikan benda-benda mati ketimbang memotret orang-orang hidup. Bila tak bisa mengelak dari manusia, kau pasti akan memilih manusia yang sudah menelentang di peti jenazah. Tapi, tentu ada saja saatnya kau tak bisa menolak untuk mengarahkan mulut lensa ke wajah orang hidup. Masih ingat saat ayahmu tiba-tiba minta dipotret dengan latar belakang kebun Kangkung yang ia garap dengan sisa-sisa tenaga setelah bertahun-tahun bekerja sebagai tukang sumur?
“Jangan sibuk memotret orang lain saja. Bikinlah foto Ayah. Tampakkan hamparan kebun sayur ini sebagai bukti bahwa Ayah masih bertenaga,” kata ayahmu pada satu kesempatan pulang beberapa tahun silam.
“Tolong kau atur bagaimana caranya supaya muka Ayah tidak tampak terlalu tua. Begitu juga tubuh Ayah, upayakanlah tak terkesan ringkih,” mohon ayahmu, meski usianya saat itu sudah berkepala tujuh.
“Kenapa masih diam? Lekas siapkan perkakasmu!”
Permintaan yang bukan saja ganjil, tapi juga membuatmu terperangah beberapa jeda. Kau tahu, sejak kecil hingga dewasa, tak ada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tengah rumahmu. Kalaupun ada, itu hanya foto adikmu saat menerima piala lomba pidato, atau foto-foto adikmu yang satu lagi, saat ia bersama teman-temannya di SMP, mengikuti lomba cerdas cermat antarsekolah. Bahkan hingga dari rumah itu sudah terlahir tiga orang sarjana, termasuk dirimu, tak satu pun terpampang foto wisuda. Tak ada foto ibumu, tak juga ayahmu, apalagi foto pernikahan mereka. Tapi kemudian, di usia tujuh puluhan ayahmu tiba-tiba memintamu untuk menyiapkan perkakas pemotretan guna mengabadikan dirinya. Entah untuk keperluan apa.
Tanpa banyak bertanya-tanya, lensa-lensa terbaik kau keluarkan dari ransel, lampu-lampu flash off, tripod, dan alat-alat pemantul cahaya, terpasang di area kebun Kangkung di belakang rumah masa kecilmu itu. Kau biarkan ayahmu berdiri dengan posisi yang dia sukai, tanpa diarahkan sama sekali. Kau bebaskan saja ayahmu berbincang-bincang dengan leluasa saat pemotretan berlangsung. Cahaya petang itu cukup cerah. Suasananya sejuk dan tenang, dengan selingan candaan-candaan ringan, hingga akhirnya kau berhasil memperoleh 50 frame dari macam-macam sudut pembidikan, dengan ketajaman gambar dan detail yang sempurna.
“Ayah tak perlu memeriksa hasilnya. Ayah percaya kau sudah mahir!”
“Satu-dua mungkin perlu kau kirim pada saudara-saudara Ayah. Sekadar menunjukkan bahwa Ayah masih kokoh. Tak lapuk digasak penyakit seperti mereka.”
“Selebihnya kau simpan saja. Barangkali kau memerlukannya nanti.”
Dari raut mukanya, sebenarnya kau mengerti, ia ingin punya pose berdua denganmu, yang bisa saja kau lakukan dengan menyalakan mode swafoto pada kamera digitalmu. Tapi ayahmu sungkan menyampaikan keinginan yang mungkin berlebihan itu. Sebab ia tahu, sejak kecil kau adalah anaknya yang paling getol menolak setiap ajakan berfoto. Pengalaman pertamamu dengan dunia fotografi adalah pengalaman menghadapi ketakutan. Masa itu, berdiri beberapa depa di depan mulut lensa, bagimu bagai pasrah menyambut tembakan mematikan dari senapan seorang algojo berwajah sangar, meski fotografernya adalah pamanmu sendiri, adik bungsu ayahmu. Kau merasa terancam setiap kali harus berhadapan dengan kamera. Mukamu terasa akan dikuliti, telingamu serasa akan digunting, dadamu terasa bakal ditikam.
“Orang yang takut difoto di masa kecil, kelak bila sudah besar akan menjadi juru foto,” demikian doa pamanmu, yang tampaknya segera diaminkan oleh ayahmu.
Doa itu terkabul di kemudian hari. Nasib mengantarkan hidupmu ke dunia foto. Hari-harimu tak pernah lepas dari kamera. Tak ada yang lebih menarik bagimu selain kegiatan menggambar dengan cahaya, meskipun bidang keilmuanmu sama sekali tak ada kaitannya dengan fotografi. Namun, perangaimu tak kunjung berubah. Jangankan di dunia citraan, di dunia nyata pun kau takut menampakkan diri. Kau selalu mengurangi risiko tampak muka bagi banyak orang. Kau gemar meniadakan tubuh dari siapapun. Tatkala tidak bisa menghindar dari keharusan berpose di depan kamera, hasilnya sudah bisa ditebak; senyum terpaksa, tatapan basa-basi, dan aura gamang yang tak bisa kau dustakan. Teman-teman menggelarimu sebagai juru foto dengan satu pantangan; difoto. Bila itu terjadi, kata mereka, reputasimu sebagai juru foto handal akan jatuh. Seperti pendekar yang rahasia kesaktiannya terbongkar, hingga bertekuk-lutut di hadapan musuh.
Satu tahun selepas kau mengirimkan beberapa frame foto ayahmu pada saudara-saudaranya melalui surat elektronik, dari kejauhan kau mendengar kabar bahwa ayahmu telah berpulang. Dari kebun Kangkung itulah tubuh ayahmu dipapah oleh beberapa orang. Saat itu ia sedang panen, dan hasilnya sudah ditunggu seorang tauke untuk dibawa ke pasar yang jatuh di hari Kamis. Tiba-tiba ayahmu diserang sesak napas yang sulit dihadang, hingga ia ambruk dan terkulai lemas di atas pembatang. Ayahmu terkapar dalam keadaan yang terus melemah selama beberapa bulan, hingga nyawanya tak terselamatkan.
Maka, peristiwa pemotretan yang menghasilkan 50 frame itu adalah perjumpaanmu yang terakhir dengan ayahmu. Bahkan sekadar mengantarkan ayahmu ke tempat istirahat penghabisan kau gagal memenuhinya. Pesawat yang kau tumpangi dari Jakarta mengalami keterlambatan. Yang dapat kau saksikan setiba di kampung halaman hanyalah tanah pemakaman ayah yang masih merah.
“Hingga kini aku belum sanggup membuka folder berisi foto-foto ayahku!” ungkapmu dengan tampang yang semakin gamang.
“Pernah aku tak sengaja membukanya, lalu aku buru-buru menutupnya. Ayahku hidup dalam foto-foto itu!”
***
Foto-foto dalam folder khusus di laptop itu belum seberapa menggetarkan dadamu, Kawan. Semasa kita masih mahasiswa, kau masih ingat pernah mengajakku pulang ke kampungmu? Waktu itu aku membawa sebuah kamera analog, hadiah yang kuperoleh dari sebuah photo-contest. Dengan kamera itu, tentu dengan kemampuan yang masih amatir dan perkakas pendukung yang murahan aku membuat sebuah pose foto bersama di halaman rumahmu; kau, dua adikmu, dan ayahmu. Foto itu kini masih utuh dalam arsip yang kuberi nama; dibuang sayang.
Memang sudah lusuh. Warnanya tentu sudah kusam. Tapi, kenangan yang bersarang di dalamnya, kupastikan tak akan berkarat. Dulu, setelah negatifnya kita cetak, dengan amat bersemangat kau bilang bahwa ayahmu masih kokoh. Kau ceritakan pula, saat memperbaiki pintu dapur yang lepas dari engselnya, ayahmu masih was-was bila tenaga mudamu tak sanggup menggeret daun pintu itu sendirian, lalu ayahmu tergesa datang membantu, hingga kalian merehab dapur ibumu bersama-sama. Masa itu ayahmu juga masih tangguh. Sepulang bekerja menggali sumur di rumah orang, sekujur tubuhnya bergelimang tanah liat. Kau bilang, hanya lidahnya yang tak berwarna tanah.
“Sepanjang sekop masih beradu dengan batu-batu di kedalaman sumur, jangan pernah ragu. Ayah akan terus bergelimang tanah, sementara kalian riang-gembiralah di dunia sekolah,” begitu ayahmu memompa semangat kalian.
Kau tak bisa merawat ayahmu sebagaimana ia dengan santai menggendong tubuh kecilmu ke Puskesmas tatkala kau panas tinggi selepas bermain bola dalam hujan lebat. Kau tak bisa menyuapinya dengan makanan kegemaran karena ia sudah kehilangan selera. Sementara di masa kanak-kanak, sepotong Martabak yang nyaris terdorong ke dalam mulutnya ia renggut kembali, karena ia melihat matamu menginginkan Martabak Terang Bulan itu.
Kini ayahmu sudah tiada. Kegembiraan kalian juga sudah lama berlalu. Tapi kau tak akan lupa bau tanah yang telah bersekutu dengan tubuh ayahmu. Kau tak akan lupa napas kelelakiannya, cara tertawanya, kekar pangkal lengannya. Merindukan masa bergelantungan di pundak ayahmu adalah semacam kegembiraan yang tidak lagi akan bersuara. Atau semacam kesenyapan yang tidak lagi akan terbahasakan di sepanjang hidupmu.
Klise foto itu sudah hilang, Kawan. Tapi, aku sudah menyelamatkannya dengan mengubah lembaran foto usang itu ke dalam format digital. Telah kukirimkan berkas lunaknya ke alamat emailmu. Unduh dan simpanlah baik-baik. Kelak, kau akan memerlukannya….

Damhuri Muhammad, cerpenis, esais, dan kolumnis. Cerpennya, Juru Masak dan Banun, terpilih sebagai materi ajar dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia, kelas II SMU, Kurikulum 2013. Sehari-hari ia bekerja sebagai pengajar filsafat di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Buku fiksi terkininya Anak-anak Masa Lalu(2015).