Daftar Blog Saya

Minggu, 29 Oktober 2017

Kalau Kau Memandang dengan Mata Terpejam


Cerpen Hajriansyah (Kompas, 29 Oktober 2017)
Kalau Kau Memandang dengan Mata Terpejam ilustrasi Niluh Pangestu - Kompas.jpg
Kalau Kau Memandang dengan Mata Terpejam ilustrasi Niluh Pangestu/Kompas
Birin mengucek matanya yang merah darah. Semakin dikuceknya semakin perih. Jari-jarinya basah. Agak samar ia melihatnya berwarna darah. Sementara pecahan kaca semakin menempel, perih makin parah. Ibunya yang melihatnya terpekik. Hening sesaat, lalu ia berteriak, “Usuuup!” Rumah lanting berayun, tanda seseorang menjejak dengan kaki yang tergesa. Pamannya itu bereaksi cepat, ia tangkap tangan Birin yang masih mengucek, digendongnya anak kecil itu dan berlari membawanya ke mantri terdekat. Ibunya rebah di atas kaki bertelimpuh, hilang tenaga. Ibu-ibu tetangga datang menghiburnya.
Peristiwa hilangnya penglihatan Birin itu terjadi saat umurnya belum genap lima tahun. Menjelang usia sekolah. Kini ia telah memasuki usia remaja, waktu sepuluh tahun berlalu seperti air sungai mengalir menuju muara. Kadang terasa kadang tidak. Birin menjalaninya dengan tabah. Tapi tidak bagi ibunya. Orangtua yang malang itu sering menangis di malam hari. Suaranya samar-samar ditangkap telinga adiknya, Usup, yang tidur berbatas dinding tripleks kusam. “Ya Tuhan, ambillah mataku ini, penglihatanku ini, dan berikan untuk anakku….”
Doa-doa yang perih itu seiring isak tangis ditahan yang menyayat hati. Wanita separuh baya yang baru menikmati menimang anak di usianya yang menjelang 40 tahun itu kehilangan suaminya saat Birin baru berusia belum dua tahun. Buruh penggergajian kayu di tepi Sungai Jagabaya itu tewas di tempat kerja, saat balok kayu besar yang baru digergajinya separuh jatuh menumbuk kepalanya ketika ia sedang makan siang di sisi panggung penggergajian. Kesedihan wanita itu makin dalam saat menyaksikan anaknya tak dapat melihat seperti anak-anak kebanyakan, dan merelakannya tak dapat sekolah. Setahun lewat berjalan setelah Birin kehilangan penglihatan, wanita penuh kasih itu meninggalkan anaknya semata wayang. Usuplah yang kemudian menggantikannya, menjadi ibu-menjadi ayah bagi anak buta yang tak pernah menangis itu.
Usup sendiri bekerja serabutan. Keterampilannya melukis dan menulis puisi membantunya mendapatkan uang. Bila-bila ia jadi tukang cat dinding, di lain waktu membantu temannya yang pemborong membuat taman. Bila tak ada pekerjaan di luar ia membuat lukisan wajah pesanan, dan saat malam sendirian ia menulis puisi atau cerita pendek.
Suatu hari Birin menegurnya dari belakang. Kemenakannya yang buta itu tidur di kamar dulu ibunya tidur, di sebelah kamar Usup yang sama kecil.
“Paman sedang menulis puisi, ya?”
Usup berpaling memandang wajah kemenakannya yang polos itu. Ia menjawab dengan sepenuh kasih yang dapat diberikannya. “Iya. Kenapa semalam ini kau belum tidur?”
“Aku baru berbincang dengan Kakek Jibu.”
Dahi Usup mengernyit, tapi segera ia acuh. Bukan sekali ini Birin berkata ia baru bertemu atau berbincang dengan Kakek Jibu. Usup sudah terbiasa meski awal-awalnya ia heran juga, siapa Kakek Jibu. Pikirnya, Birin hanya berhalusinasi dan mengisi kekosongan waktunya dengan cerita-cerita yang tak mudah dicernanya itu. Konon, Kakek Jibu adalah jelmaan buaya penguasa Sungai Jagabaya.
“Paman, aku ingin menulis buku. Maukah paman membantu menuliskannya untukku?”
“Sangat mau, nak. Sini, duduk di samping paman,” kata Usup menarik tangan Birin. “Berceritalah, paman akan menuliskannya.”
Anak buta itu duduk perlahan di sisi pamannya. Ia menoleh ke arah pamannya yang telah siap meletakkan jemarinya di atas tombol-tombol huruf. Notebook hasil dari honor beberapa juara lomba menulis puisi itu mendongak ke atas, seperti menantang atap rumah mereka yang tak berplafon.
“Kasih ibu seperti sungai yang menampung deras aliran bawah sungai. Tahukah Kau, arus bawah itu sangatlah kencang? Aku tahu. Kakek Jibu yang mengatakannya padaku. Begitu pula yang kurasakan saat merendamkan kaki di sisi buaya tua itu. Bagaimana Paman, menarikkah kata-kata pembuka ini? Sudah kau tulis bukan.”
“Iya. Teruskanlah!”
“Ibuku adalah wanita yang teguh. Seperti sungai yang tebing-tebingnya luruh, ia tetap menjagaku sepenuh hatinya….”
Malam itu luruh bersama cerita Birin. Usup mengetik setiap kata dengan sabar. Air matanya merembes dari ujung kelopaknya. Perlahan, tangis tanpa suara, tanpa sengguk, tanpa jeda. Waktu sekian jam habis untuk satu bab cerita, enam halaman. Tertulis di sana tepat 2.100 kata.
“Mengapa paman menangis?”
“Ah, kata siapa paman menangis.”
“Aku merasakannya. Setiap tetes di pipi paman aroma asinnya sampai ke hidungku.”
“Ah, itu perasaanmu saja. Aku tak menangis.” Usup menyapu pipinya. Tiba-tiba tangan Birin juga menyeka air matanya, Usup terkejut, seketika itu langsung memeluk kemenakannya.
“Paman tak perlu malu untuk menangis. Setiap tetesnya membasuh luka di hati kita. Semua orang, tak besar tak kecil menangis, paman. Orang kaya menangis, yang miskin pun menangis. Yang berilmu menangis, yang bodoh begitu pula. Alasannya bisa berbeda, namun tangis menjadi obat bagi sesak di dada.”
“Bagaimana kau bisa tahu sebanyak itu, anakku?”
“Aku tak pernah berdusta.”
“Benarkah?” Usup menarik tubuhnya, tangannya tetap memegang pundak Birin. Ia mengambil jarak, benar-benar merasa heran. “Sekali pun kau tak pernah berdusta?”
“Ya, aku tak pernah berdusta. Juga tentang Kakek Jibu, meskipun paman tidak memercayainya.”
Kali ini Usup benar-benar kagum sekaligus penasaran. Kemenakannya ini seperti tahu isi hatinya.
“Paman ingin kukenalkan dengan Kakek Jibu? Kemarilah!”
Kali ini Usup yang dituntun Birin. Mereka membuka pintu rumah lanting yang menghadap ke sungai. Kaki Usup yang ragu terasa berat, namun tetap diikutinya langkah kecil di hadapannya. Setiap jejakan iramanya mengayun rumah kecil di atas sungai itu.
Dua beranak paman dan kemenakan itu duduk mencangkung di atas papan yang disangga bambu dan batangan pohon berlumut itu. Tangan Birin menepuk-tepuk permukaan sungai, mulutnya memanggil lirih, “Kakek Jibu, Kakek Jibu, datanglah. Pamanku ingin berkenalan denganmu.”
Waktu melambat bagi Usup. Pikiran dan perasaannya di antara percaya dan tidak percaya, tapi ia mau bersabar kali ini. Tak berselang lama, permukaan sungai bergelombang. Sebuah benda sebesar batang ulin berdiameter sehampir satu meter menyembul dari bawah sungai. Tepatnya, seekor binatang. Buaya! Warnanya persis batang taradam dengan lumut-lumut hijau tua.
Usup hampir terjatuh dari jongkoknya. Refleks tangannya menahan tubuhnya yang terasa berat. Ia benar-benar percaya, namun tak sepenuhnya ingin percaya. Matanya dikuceknya. Birin menahan posisi pamannya yang ingin berdiri. “Jangan takut, Paman. Kakek Jibu baik, ia tidak memakan manusia. Kitalah manusia, yang sering menakut-nakuti makhluk selain kita. Kemarikan tanganmu, belailah ia!”
Usup benar-benar percaya, meski tak ingin sepenuhnya percaya. Telapak tangannya membelai kepala sebesar ember itu. Binatang itu diam, matanya yang nyalang. Usup seperti mendengar suara yang menjalar lewat tangannya.
“Namaku Kakek Jibu. Kau mungkin sudah sering mendengarnya dari kemenakanmu. Aku pun tahu nama dan kebaikanmu darinya. Aku makhluk Tuhan Yang Esa, sepertimu. Kau mungkin heran, tapi percayalah kuasa Tuhan yang mengalir lewat kepolosan hati kemenakanmu. Aku adalah penjaga keluargamu. Datukmu yang bernama Harun, seorang Paaliran, yang pertama memeliharaku. Sampai ke generasi ayahmu, tak ada lagi yang mau bersahabat denganku. Kakak ayahmu yang tertua yang telah menalak persahabatanku dengan keluargamu. Tak mengapa bagiku.
Aku paham zaman telah berganti. Orang-orang tak perlu lagi persahabatan dan perlindungan makhluk semacamku. Tak mengapa bagiku. Cukuplah kasih dan pemberian keluargamu hingga kakekmu.
Karena kebaikan merekalah, kini aku menemani kemenakanmu. Sebenarnya aku tak benar-benar menjaganya. Aku hanyalah perantara, karena kasih dan kebaikan yang mengalir lewat tangan orang-orang yang baik hati, kasih dan kebaikan Tuhan Yang Esa menjaga keturunan mereka.”
Tangan Birin masih memegang tangan pamannya. Ia turut mendengar suara itu.
“Birin, ini mungkin akan menjadi pertemuan terakhir kita. Setelah ini, pamanmu yang akan sepenuhnya menjagamu sampai kau kembali ke pangkuan ibumu. Selesaikanlah ceritamu, sampaikan kisah tentang kasih dan cinta kepada manusia.”
Birin mengangguk-angguk, ia tampaknya paham maksud pembicaraan itu. Bibir pamannya hanya sanggup menyuarakan “iya”, meski ia tak tahu, “iya” untuk apa dan ke mana maksud tujuan pembicaraan dari suara yang menjalar di tangannya.
Sejak malam itu dua beranak paman dan kemenakan itu tenggelam dalam ketik kata dan suara lirih yang keluar dari mulut kecil penuh cinta itu.
Dari kata-kata yang seperti aliran sungai itu ia baru menyadari, ternyata banyak sekali yang ia tak dapat rasakan dan tahu sementara kemenakannya lebih memiliki kesadaran. Cerita tentang keluarga mereka yang pedih. Tentang ayahnya, Haji Isam, juragan kayu yang bangkrut bahkan jauh sebelum peraturan larangan illegal logging diterapkan pada masa Presiden SBY, karena ditipu. Ya, ia tahu ayahnya dulu orang kaya. Tapi ketika itu ia masih remaja dan tak mau ambil peduli keadaan mereka, mengapa mereka kemudian harus pindah ke rumah lanting yang dihibahkan rekan kerja ayahnya, persis di belakang rumah mereka yang besar di darat. Ia hanya tahu ayahnya meninggal tak lama setelah bangkrut. Ibu tirinya meninggalkan mereka, hingga Isah, kakaknya satu-satunya bersama suaminya, ayah Birin, yang menggantikan ayahnya.
Umar, ayah Birinlah yang bekerja sementara kakaknya membuat anyaman tanggui untuk membantu penghasilan suaminya yang tak seberapa dari memburuh di bekas penggergajian kayu milik ayah mereka. Usup terlalu asyik dengan teman-temannya yang seniman. Ia hanya merasa pedih sesaat dan kemudian tak mau ambil peduli lagi. Ia menjalani hidupnya seperti arus sungai mengalir di bawah rumah mereka.
Tepat pada malam ke-40 cerita Birin selesai. Pandangan anak kecil yang buta matanya itu ternyata lebih dewasa dibandingkan Usup sendiri. Setiap cerita yang didengarnya direkamnya begitu kuat, dan detail. Termasuk cerita ngalor-ngidul di warung tentang keadaan masyarakat dan politik negeri ini. Dan untuk itu semua, Birin hanya punya satu kata: Cinta. Sesederhana itu saja, meski tak sesederhana itu menurut Usup.
Malam-malam berikutnya adalah malam yang penuh panas demam bagi Birin. Keadaan itu tak juga membaik meski Usup telah mencoba membawanya ke mantri atau puskesmas terdekat. Obat telah diminum, tapi kesehatan Birin terus memburuk. Perlahan Usup mulai paham maksud pembicaraan Kakek Jibu. Mungkin, inilah kesudahannya. Birin meninggalkan Usup, untuk selamanya, di pangkuannya.
Orang-orang datang melayat dan membantu penguburannya. Remaja buta yang selalu membawa keceriaan di mana saja ia bersinggungan dengan tetangganya itu diantar orang banyak sekali. Usup bahkan tak menyangka akan sebanyak itu yang datang dan membantu. Ia baru tahu, ketika ditinggal bekerja, ternyata Birin sering keluar rumah beramah-tamah dan membantu orang-orang. Ia yang kecil dan seolah tak berdaya, bahkan lebih kuat dari Usup yang tua membujang itu.
Ketika membaca kembali tulisan Birin, yang dipikirkannya akan diusahakannya dicetak jadi buku ke temannya yang penerbit, Usup berhenti pada dua kalimat, dan benar-benar merenungkannya:
“Kalau kau memandang dengan mata terpejam, akan lebih banyak hal yang dapat kau lihat. Terutama kasih yang datang dari cinta kepada sesama, semuanya memenuhi semesta.”

Catatan:
  • Paaliran: Pawang buaya
  • Batang tarandam: Kayu gelondongan yang terendam di sungai
  • Tanggui: Caping khas Banjar yang biasa digunakan para pengayuh perahu

Hajriansyah, menulis puisi dan cerpen, tinggal di Banjarmasin. Karya cerpennya sudah dibukukan dalam Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami (Frame Publishing, 2009) dan Kisah-kisah yang Menyelamatkan (Tahura Media, 2016). Ia mengikuti program Kelas Cerpen Kompas 2017.

Surga di Formosa

 
 
 
 
 
 
1 Votes

Cerpen Kaka Clearny (Republika, 29 Oktober 2017)
Surga di Formosa ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Surga di Formosa ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Embusan sapu-sapu angin November membawaku terbang kembali memunguti serpihan asa yang pernah terberai. Tergoda oleh iming-iming gaji tinggi yang ditawarkan seorang calo TKI, aku memilih Negeri Formosa, Taiwan, untuk mengadu nasib, menggantungkan harapan-harapan pada koin-koin NT. Dengan semangat super meluber-luber, jiwa dan ragaku lesap menuju negeri empat musim bersama maskapai Eva Air, meliuk di birunya angkasa, menyelinap di antara gumpalan putihnya mega.
Kedua mataku berbinar. Aku merasakan angin daratan Cina menyapa lembut wajah, mencumbu tengkuk, menyibakkan rambut yang luruh di dagu, saat aku tertunduk. Kupijakkan kaki di pelataran parkir Rumah Sakit Buddist Tzu Chi di Xindian sesaat setelah oto berpelat nomor aksara Han Zi itu memboyongku untuk menemui majikan. Aku tidak sendiri, ada Mr Chen yang notabene sebagai agenku.
Ada sesuatu yang membuncah isi kepalaku, hatiku membelungsing. “Bukankah aku sudah medical check-up, mengapa harus ke rumah sakit lagi?” gumamku dalam hati.
Meski begitu, aku tetap mengekor mengikuti jejak Mr Chen menuju lantai 7, ruangan nomor 23. Aroma pekat obat begitu kuat di dalam ruangan itu. Terdapat tiga ranjang pasien. Langkah kami lurus menuju ranjang yang memangku jendela.
Sontak perhatianku mengarah pada sosok pria yang tergolek pulas di atas ranjang. Terlihat kedua tangannya dalam keadaan terbungkus dan terikat pada masing-masing sisi ranjang. Separuh batok kepalanya terbalut perban dengan bercak darah. Di hidungnya terpasang selang makan. Di lehernya terdapat lubang sebagai saluran sedot dahak. Di dadanya terpasang alat pendeteksi detak jantung. Dan di bagian bawah ranjang terdapat kantong kencing.
Kondisi pria itu sungguh memprihatinkan. Ini pemandangan pertama yang mengerikan sepanjang hidupku. Terdapat dua wanita yang berdiri di masing-masing sisi ranjang. “Selamat petang, Nyonya Ma,” suara Mr Chen menyapa wanita di depannya memecahkan lamunanku akan sosok pria yang tergolek di atas ranjang.
“Petang, Mr Chen.” Salah satu wanita menjawab sapaan agen perekrutku. Wanita paruh baya, bertubuh kurus. Tingginya kurang lebih sama denganku 150 cm kurang sesenti. Tergambar jelas guratan-guratan penuh beban di wajahnya, kusam. Matanya terlihat lelah.
“Namanya Nana, baru datang dari Indonesia pagi ini,” tambah Mr Chen.
“Nana, ini nyonyamu,” ungkap Mr Chen padaku.
“Selamat petang, Nyonya,” sapaku padanya sambil menganggukkan kepala. Ada sedikit rasa gugup meski ini bukan kali pertamanya aku bekerja menjadi pembantu.
“Selamat datang,” jawab Nyonya, diikuti seraut senyuman hambar dari wajahnya.
“Nana, tugas utamamu menjaga Tuan Ma.”
“Beliau baru saja operasi di bagian kepala akibat kecelakaan.” Mr Chen memberi penjelasan singkat padaku.
Perkenalan dilanjutkan dengan penjelasan tugas dan kewajibanku yang Nyonya paparkan panjang lebar. Aku sedikit tergemap. Keadaan seperti ini bagai membeli kucing dalam karung. Aku tidak membaca dengan seksama isi lembar hijau yang telah terbubuh oleh tanda tanganku itu.
Tepatnya, semasa pelatihan di asrama perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), sebelum terbang ke Taiwan. Yang ada di benakku saat itu hanya ingin segera bekerja di Taiwan, tanpa memilah-milah bagaimana kondisi kerjanya. Pekerjaan kali ini sungguh berbeda dengan sewaktu di Singapura yang kukira berkutat dalam urusan dapur dan kebersihan rumah. Tapi, berurusan dengan pesakit dan rumah sakit.
Meski begitu, aku harus tetap konsisten, semua sudah telanjur. Terikat perjanjian utang bank selama sembilan bulan, aku harus melunasinya. Aku harus tetap bekerja demi pulang membawa uang. Mr Chen pamit undur diri, sepesan wejangan dia wariskan padaku.
“Kerja baik-baik ya.”
“Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” pesannya sambil menepuk ringan pundakku.
“Terima kasih,” ungkapku sambil mengangguk.
Mr Chen berlalu meninggalkanku. Semen tara, sesosok wanita lain yang bersama Nyonya adalah yang merawat Tuan sebelum aku tiba. Namanya Ms Anggie. Perawakannya tinggi besar. Wajahnya sinis menatapku. Untuk sementara, dia juga yang akan mengajariku bagaimana merawat Tuan.
“Nyonya, kecil sekali dia!”
“Apa dia mampu menjaga Tuan?” ungkap wanita itu pada Nyonya sambil sesekali melirikku.
“Nana pernah bekerja di Singapura selama empat tahun.” Nyonya mencoba membela.
Maghrib menjelang, senja di ufuk barat menyemburatkan asa yang segera tenggelam dalam dekapan malam langit Negeri Formosa. Nyonya pun telah berpulang ke kediamannya dan memercayakanku merawat tuan di bawah pengawasan Anggie yang memang sudah berpengalaman.
“Kamu bisa sedot dahak kan?”
“Coba kamu praktikkan sekarang!” Suruh Anggie dengan nada agak tinggi. Entah apa yang terjadi, sejak awal kedatangan dia memperlakukanku dengan sinis. Aku cuaikan saja. Toh dia bukan majikan.
“Aku bisa, Nona Anggie,” jawabku lirih.
“Selamat malam, Tuan.”
“Namaku Nana.”
“Nantinya, aku yang akan merawatmu.”
“Permisi Tuan, aku akan membantumu sedot dahak.” Aku memperkenalkan diri pada tuan sebelum melakukannya.
Tuan tak bersuara karena di bagian leher ada semacam lubang napas dan itu dijadikan jalan saat sedot dahak, dia hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Sesekali, dia melirik ke arah Anggi. Sorotan mata Tuan bak pisau tajam, penuh kebencian. Dahinya mengernyit, bibirnya komat-kamit menyumpah serapah, tapi tak terdengar suara.
Kulakukan dengan perlahan penuh kehati-hatian. Aku ingat pesan Nyonya yang menjelaskan mengapa kedua tangan Tuan terikat. Karena otak Tuan bagian pengendali saraf motorik belum benar-benar pulih, hal ini menimbulkan gerak refleks memukul, mencakar, mencabut apa saja yang ada didekatnya dan dia tidak sadar akan hal itu.
Saat aku sedang menyedot dahak pada sedotan ketiga, tiba-tiba pembungkus tangan Tuan sebelah kanan terlepas. Reflek tangan kanannya menampar wajahku sangat kuat, aku tersungkur menepi ranjang.
Tangannya tak terkendali mencabut selang makan, menarik alat yang terpasang pada lehernya. Seketika darah segar muncrat bak air mancur dari lubang sedot dahak itu, tangannya tak berhenti mencakar-cakar tubuhnya sendiri.
“Dokter!”
“Suster!”
“Tolong!” Terdengar teriakan Ms Anggie. Wajahnya menggambarkan ketakutan.
Aku dengan gegas memencet tombol darurat di tepi ranjang agar pertolongan segera datang. Kuraih tangan kanan tuan. Ada sembilan perawat, tiga dokter yang datang menanganinya. Sementara, aku lirik Anggie yang berdiri menepi, terlihat sedang berbicara di telepon.
Tak lama, Tuan dibawa masuk ke ruang ICU. Pada waktu yang bersamaan, Nyonya datang bersama kedua putrinya. Wajah mereka penuh kegelisahan berderai air mata. Tapi, reaksi Nyonya membuatku nanap terpatung. “Pergi kau, aku tak ingin melihatmu!” dengan suara yang begitu lantang hingga beberapa penghuni ruang lantai 7 keluar menyaksikan pengusiranku.
Dia melempar tas yang berisi baju-bajuku, berserakan di lantai. “Tapi, Nyonya…!” Aku berusaha menjelaskan, Nyonya berlalu tak pedulikanku.
“Tak punya pengalaman, jangan ke sini,” ejek Anggie yang mengikuti langkah Nyonya.
Aku punguti baju-bajuku. Beberapa pasang mata mengawasiku penuh iba, ada pula yang mencaci, menyumpah serapah. Selanjutnya, dalam lunglainya tubuh ini, wajahku bagai tersulut api. Dadaku terpanggang.
Rasanya, seperti ada hawa panas berdesak-desak, menggerapai kerongkongan, menggumpal di rongga hidung, berjalar pelan, lalu bermuara di balik kelopak mata. Kubiarkan saja air mataku merembes mengalir pelan di pipi. Mindaku seolah masuk dalam delusi dan berbisik agar aku tak perlu takut.
Tanganku merogoh ke dalam tas, kuraih telepon genggam yang hanya memiliki tiga fungsi, menelepon, mengirim SMS, dan mengajarkan keikhlasan. Kutekan beberapa nomor dan mulai berbicara.
“Selamat malam, Mr Chen!”
“Aku….” Dengan nada terbata-bata aku mengubungi agen, tapi belum selesai berucap dia sudah memotong pembicaraan.
“Ya, aku sudah tahu.”
“Bermalam saja di rumah sakit.”
“Besok aku jemput.” Mr Chen berkata dengan nada ketus. Sepertinya, dia sudah tahu apa yang terjadi. Dia tak memberiku kesempatan berbicara dan langsung mematikan telepon.
Bulir-bulir bening tak berhenti menetes. Isak tangis lirih memecah keheningan malam yang semakin larut. Bahkan, satu-satunya pelindung di negeri ini menelantarkanku. Aku ingat Ibu, ingin mengadu padanya. Tapi tidak, ini kecerobohan yang kubuat sendiri. Aku tidak boleh membebaninya. Aku tidak memahami isi kontrak kerjaku, ambisi untuk segera mengeruk NT mematahkan nalarku, itu kelalaianku.
“Ibu, aku sudah sampai di Taiwan, majikanku sangat baik. Ibu doakan anakmu ya?” Selayang SMS kukirim untuk Ibu, agar beliau tidak khawatir.
Dinginnya AC ruangan lobi rumah sakit membawa lamunku pada sebuah perenungan. Kejadian hari ini akan jadi pengalaman tak terlupakan seumur hidupku. Belajar, belajar, dan belajar dari setiap skenario hidup yang terjadi.
“Kamu pergi mandi dulu!” Seorang perawat tiba-tiba mendekatiku sambil mengulurkan sebungkus roti dan sekaleng susu.
“Malam ini, aku boleh bermalam di kursi ini?” izinku padanya.
Dia mengangguk tanda setuju. Kuhabiskan malam ini di bangku ruang tunggu rumah sakit menunggu pagi menanti agen datang menjemputku. Menjadi TKI itu bagai melempar dua sisi mata uang, mempertaruhkan nasib.
Entah, saat melemparkan mata uang, nasib akan jatuh di salah satu sisi mana, nasib baik atau buruk. Namun, yang paling utama adalah berharap kepada Sang Pencipta agar senantiasa memberikan hidayah dan jauh dari putus asa. Semangat harus tetap ada, meski permasalahan selalu berdatangan.

Hong Kong, 20 September 2016
Cerpen ini berhasil menjadi pemenang pertama Bilik Sastra VOI Award 2017 yang ditulis oleh pemilik nama asli Nila Noviana dengan nama akun Facebook sekaligus nama pena Kaka Clearny. Dara Blitar kelahiran 17 Desember 1986, saat ini, aktif sebagai pekerja migran di Negeri Beton. Pernah menjuarai lomba cerpen yang diadakan KPKers Hong Kong maupun KPKers pusat. Masuk dalam 250 penyair terbaik Indonesia versi Bebuku Publisher. Juara satu lomba menulis puisi tema janji Penerbit Harasi. Karya-karya lain dibukukan dalam antologi bersama baik cerpen maupun puisi. Alamat e-mail yang masih aktif nila00123@gmail.com.

Keinginan Angin


Cerpen Istafid Al Mubarok (Media Indonesia, 29 Oktober 2017)
Keinginan Angin ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Keinginan Angin ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
TERUS saja kupandangi perempuan itu. Rambutnya yang juntai bak jembatan bambu keropos membentang sungai obsesi seorang pemimpin sejati. Lalu, kerutan tipis-tipis di wajahnya yang terlalu dini menampak bagai gumpalan mendung yang mengusik pesona jingganya senja. Sesekali gigil mencuat dari gemetarnya bibir mungil yang mulai ungu dan jari-jemari tangannya mencengkeram mencari perlindungan dari rasa pahit yang membeku. Pandangannya kosong. Namun, tajam. Sejenak mata itu binar-binar. Meleleh butiran-butiran bening nan mutiara. Aku selalu menghormati perempuan itu, meski ia memutuskan untuk menangis.
Aku menyuruh Mega menggendong Jagad, lalu kuhisap dalam-dalam rokok yang tadi sore kupungut dari jalanan sepulang mulung. Sambil kupijat pelan kaki perempuan yang sepantasnya aku panggil kakak. Namun, hampir tiga bulan ini aku sapa dia dengan sebutan ibu. Aku temukan jejak-jejak perih di telapak kakinya. Hanya senyum yang sesekali terpaksa ia lemparkan untuk menutupi setiap tikungan pedih dalam menapaki kehidupan yang misteri. Karena bagi kami ketenteraman hidup dalam kehidupan adalah jauh lebih nikmat dari pada hidup dalam kemewahan hasil penjarahan.
***
HARI sudah mulai malam, Kudengar derap langkah-langkah tergegas waktu. Balik merehatkan tubuh. Ada juga yang bermula menanam mimpi-mimpi. Dari seberang jalan nampak, Banyu dan Bumi menuju ke kediaman kami yang remang-remang oleh biasan lampu jalan.
Kedua bocah yang kupanggil adik ini seperti ketakutan, wajahnya memerah, matanya elang yang siap menikam mangsa, jantungnya bersuara tanpa jeda. Nelungsep di pinggiran ketiak ibu.
“Banyu. Bumi, ada apa? Apa kalian dikejar-kejar segerombolan srigala!” Tanya ibu sambil memposisikan tubuhnya setengah duduk setengah tiduran, bersandar pada tembok kediaman kami.
“Tii…Tidak bu, kami menemukan dompet sewaktu mandi di MCK samping Masjid Gede, dan ini bu.” Kalimat Banyu mengalir tak lancar bagai kali hitam penuh limbah yang tersumbat segelintir pejabat tak punya adab, meraba untuk kelanjutan yang tidak terungkap.
Ibu membuka dompet yang berpenghuni, dua lembar ratusan ribu dan kartu identitas hak milik. Kurasa malam ini perut kami akan terisi makanan yang mengenyangkan dan nikmat. Bukan makanan yang lezat. Orang seperti kami memimpikan makan makanan yang lezat adalah suatu kedhoifan. Cukup, bisa makan kenyang dan bercanda sedikit sebelum nyenyak dalam tidur adalah surga yang terkirim lebih awal buat kami.
Oh…Ternyata persepsiku salah, setelah melihat dua lembar ratusan ribu, Ibu membagikan satu-satu kepada mereka yang menemukannya dan mengatakan besok mau dibelikan jaket di pasar loak agar kalau tidur tidak kedinginan.
Mereka semua sudah pada lelap. Desir sepoi menggerayangi kulit menerobos ke tulang kaki lalu naik ke seluruh tubuh kurusku. Sesekali kulirik perempuan itu dalam ketenangan tidurnya. Ada kejanggalan yang mengusik hati dan otak ini. Padahal kejanggalan semacam ini selalu muncul dan selalu pula aku bisa meredamnya. Entah, kenapa malam ini sesuatu yang mengusik isi batin serta otakku seakan-akan makin berpacu menyeruak bersama dinginnya malam. Napasku putus-putus, jantungku tak punya ritme. Aku coba untuk melangkah keluar, menepis gejolak yang menganga mengalihkan pandangan mata ke ruas jalan nan sunyi menggulita. Namun, beberapa jenak, derasnya hasrat tak lagi tertangkis. “Akankah risalah baru tumpah malam ini, bagai hujan yang dirindukan petani.” Perang dalam batinku bertalu-talu.
***
DENGAN jutaan rasa, aku belai pelan rambutnya mengumal, lalu jemari ini berenang di pipi dan mungil bibirnya, saat tangan ini ingin menyelam ke dasar gundukan salju. Tanganku tak bergerak, mukaku merah saat dingin kurasa meremas jemariku.
“Aak akk aku, aku,” mulutku tertutup jarinya. Kemudian ia duduk dan menawarkan air mineral setelah ia minum. Kugelengkan kepala tanpa kata, jutaan rasa masih memumpa jantung tak berirama.
“Surya, tak usah kau malu, apa yang kau rasakan sebenarnya juga sama selama ini saya pendam.”
Napasnya terasa hangat saat kalimatnya mengurai. Tapi, di setiap kali aku mau ngomong, mulutku selalu ditutup jemarinya. Ia meyakinkanku. Badannya sudah pulih, kuat dan segar, sesegar mukanya yang terbasuh air. Beberapa jenak kami tanpa kata, hanya pandangan mataku tak mau sekedip pun lepas dari apa yang ia lakukan. Sesaat, aku di buat nyinyir, ngeri olehnya. Kulit muka yang sengaja di kelupas tak membuat dia mengaduh.
“Lihat ini Surya!” sobekan kulit di tonjokkan di hatiku.
“Kenapa kau lakukan itu?”
“Tamati wajah saya dan pengang sobekan kulit ini,” pintanya sambil mengusap-usap basah wajahnya dengan kaos yang dipakainya.
“Kenapa saya lakukan hal demikian,” jelasnya dalam kepekatan malam yang mulai memuncak, pipinya basah lagi, kali ini bukan oleh air dalam botol minuman, tapi karena embun kepedihannya tak kuasa terbendung, dalam kalimatnya yang terbata-bata, ia mengurai kepedihan-kepedihannya: Pertama, kepedihan yang amat sangat perih saat ia didustai kekasihnya, mengorbankan harum kelopak bunganya hambar sebelum waktunya merekah. Kepedihan yang sengaja ia kelupas seperti kulit mukanya tadi adalah saat ia memutuskan untuk lari dari rumah memilih mengadu nasib di ibukota. Namun, Nahas, sepulang kerja di perkosa pemuda berandalan.
Ia berhenti sejenak, mukanya lebam memerah, hanya jeritan hatinya yang kudengar menyayat-nyayat saat ia mendekap penuh kasih di tubuhku.
“Apakah kau masih ingin tahu kepedihan saya, Surya?”
Aku hanya diam. Rambutnya pun basah oleh tangisku juga.
“Sakitnya sembilu menusuk jantung mungkin tak seberapa dari pada kepedihan saya saat pimpinan srigala berpura-pura baik membebaskan dari operasi orang-orang gelandangan semacam kita, malam ini pimpinannya, lalu malam berikutnya anak buahnya, hari selanjutnya temannya. Mereka, srigala-srigala itu menikmati saya semaunya, sebebas makhluk menghirup angin, maka itulah nama saya menjadi Angin dan saya tembel lem pada wajah ini seperti dalam peran para aktor atau aktris di televisi.” Tangisnya kembali tumpah, isyaknya yang tertahan memuncratkan darah dari seseguk batuk tekanan, malam menjadi merah.
***
IZINKAN malam ini saya nyaman di pangkuanmu. Angin meminta saat tangisnya reda, setelah menghabiskan minum dan membersihkan mulutnya.
“Inilah kediaman kita, mulai detik ini kau jangan panggil saya ibu, karena kita adalah serpian debu dunia yang berwujud manusia gelandangan yang kebetulan dipertemukan, kau dulunya bukan siapa-siapa saya, Bumi dan Banyu saya temukan saat ia merengek kelaparan di stasiun, Jagad adalah balita yang selalu digendong perempuan tua di bawah lampu merah. Perempuan itu menyerahkan kepada saya saat ia menemui ajalnya. Sedang Mega, kamu yang membawanya.”
“Oh ya, apa yang menyebabkanmu memilih kehidupan seperti ini, Angin?”
“Saya tak pernah memilih. Tapi aneh, di setiap saya mengiat-ingat masa kecil, kepala ini berat rasanya lalu pingsan, pernah saya coba mengingat siapa kedua orang tua saya, lagi-lagi pingsan. Dan anehnya lagi, saya ingat peristiwa yang menyakitkan itu, tapi alamatnya di mana, saya eror. Apa kamu masih ingat masa kecilmu, Surya?” Tanyanya balik.
“Masih, aku sering tidur di pasar-pasar, maling jajanan, bahkan pernah dipaksa….”
“Dipaksa apa, kok tidak dilanjut omongnya, Surya?”
“Emm…mm…dipaksa menindih mbak-mbak, tat, tt, tapi, tapi, waktu itu jika aku tidak melakukan aku dihajar Abang-abang gendeng itu.” Jelasku malu.
“Kok sama saya, kamu anteng. Kamu jijik ya dengan saya, kamu….” Angin memotong kalimatnya lalu membalikkan tubuhnya dan mendekapku, kemudian berbisik lirih dalam tangis yang kesekian kali, kalau dia tidak akan pernah bisa memberi keturan karena pernah aborsi yang mengakibatkan kefatalan di kandungannya yang harus disterilis tobektomi. Aku hanya diam lalu kualihkan perhatiannya. Jujur aku tak kuasa melawan kesedihannya yang secara perlahan membahur di otak dan meredam nafsu kelakianku.
“Tapi kita nyamankan di kediaman bawah jalan tol yang bertembok beton ini?”
“Nyaman. Saya cukup nyaman bersandar dalam dekapmu. Karena, tak akan pernah ada satu orang pun yang mau memedulikan kebahagiaan atau kepedihan dari orang-orang gelandangan semacam kita. Kalau tidak kita yang menciptakannya sendiri keindahan ini lantas siapa lagi, Tuhan pun rasanya lupa kepada kita. Betulkan Surya?”
Tanpa ku balas, aku seakan terhipnotis kalimat-kalimatnya. Di kejauhan kudengar kebisingan kendaraan mulai merangkak. Musik yang dari tadi samar-samar entah dari cafe atau diskotek yang sempat mampir di telinga, kini sudah redup tak terdengar.
“Kalau kamu, menginginkan apa, Angin?” Tanyaku.
“Hehe…Saya hanya ingin hidup layak seperti pada umumnya manusia.” Tawanya hampa. Suaranya pelan sekali. Saat kutanya, apakah mulai mengantuk, hanya gelengan kepala dan batuk-batuknya berkejaran dengan suara angkutan kota. Bolehkah saya memimpikan? Kita bertempat tinggal di rumah yang layak walau masih mengontrak, Surya. Tapi kapan?
Jujur, aku terenyuh dengan keinginan yang mulia itu. Aku mendongakkan kepala sambil melepas keras napas ini. Lama kupandangi langit yang hitam tanpa kerlip satu bintang pun.
Dingin kembali menampar muka, kurasakan genggaman Angin tak lagi sekencang tadi. Lunglai tanpa rasa, kepalanya tak lagi tegak di dadaku.
“Angin! Angiin..! Bangun Angiiin..!” Darah terus kelur dari mulutnya. Puluhan kali kugoncang-goncang tubuhnya, hanya darah dan darah yang tanpa henti mengalir.
“Angiiiiiiiiiin……!” Teriakku disusul jerit tangis adik-adikku. [*]

Demak, 2017
Istafid Al Mubarok, lahir dari sastra Pesantren Mutakhorijein Ponpes Raudlotus-Salikin, Buko-Wedung-Demak.