Daftar Blog Saya

Minggu, 28 Januari 2018

Muazin Pertama di Luar Angkasa

Cerpen Kiki Sulistyo (Koran Tempo, 27-28 Januari 2018)
Muazin Pertama di Luar Angkasa ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Muazin Pertama di Luar Angkasa ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Di dunia ini tidak ada yang lebih menakjubkan dari suara azan. Baginya, suara azan bisa menembus pori-pori, menyusup dalam tulang, bergerak dalam darah. Ia berpikir bahwa suara azan itulah yang membuatnya hidup; mendenyutkan nadinya, mendegupkan jantungnya, memompa paru-parunya. Suara azan menumbuhkan dan menguatkan tulang-tulangnya, memproduksi sel-sel darahnya, mengaktifkan kerja otaknya. Hingga ia bisa tumbuh dari bayi merah menjadi seseorang yang sanggup menentukan sendiri jalan hidupnya. Bukan itu saja, baginya suara azanlah yang sebenarnya menggerakkan seluruh kehidupan di muka bumi ini; menyusun sistem yang memungkinkan terjadinya fotosintesis bagi tanaman, mengembangkan jalur rantai makanan, sekaligus secara ajaib memungkinkan hadirnya hukum alam dengan kausalitasnya.
Karena itu, sudah sejak lama, ia hanya ingin menjadi muazin.
Keinginan itu terdengar sederhana. Apalagi ia tinggal di negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, terlebih di sebuah pulau dengan masjid yang dibangun hampir di setiap dusun. Jumlah masjid di pulau tersebut memang nyaris tak terhitung, meskipun pada perkembangannya jumlah tersebut tampaknya akan bersaing dengan jumlah minimarket dan kafe. Tetap saja, menjadi muazin bukan cita-cita yang mudah buatnya. Karena itu, ketika ia menyampaikan cita-citanya, dalam satu sesi tanya-jawab di sekolah dasar, gurunya senyum-senyum saja, dan teman-temannya terbahak-bahak.
Pada saat itu ia tidak paham maksud senyum guru dan bahak teman-temannya. Orang tuanya juga tidak menjadikan itu masalah, lantaran mereka mengira itu hanyalah cita-cita seorang bocah yang belum tahu apa-apa. Tetapi ketika ia ternyata demikian kukuh dengan cita-citanya, orang tuanya mulai khawatir. Tidak, mereka tidak membawanya ke seorang psikolog atau mencoba berkonsultasi dengan pakar. Mereka justru mendatangi seorang alim-ulama dan bertanya dengan hati-hati perihal perkara tersebut. Kesimpulannya, cita-cita tersebut terbilang mustahil.
Seperti juga kemustahilan cita-cita itu, tampaknya mustahil pula baginya untuk surut. Semakin ia tumbuh besar, semakin besar pula keinginannya untuk mewujudkannya. Apalagi ketika ia melihat sendiri saat sepupunya lahir, seseorang mengumandangkan azan di telinga bayi merah itu. Memang, selama itu tidak banyak usaha yang dilakukannya, karena ia tidak tahu bagaimana harus memulai. Paling-paling, dengan suara lirih, ia mengumandangkan azan di dalam kamarnya. Setiap kali melakukan itu, matanya berlinang dan terasa seperti ada tetesan air yang demikian sejuk membasahi kedalaman dadanya. Sekali-dua ibunya akan mengetuk pintu dan menengok ke dalam, ia pura-pura tidak sedang melakukan apa-apa. Ibunya selalu tampak curiga seakan menduga-duga hal ganjil apa yang sedang dilakukannya. Ia tahu orang tuanya paham apa yang dilakukannya. Dan di mata keduanya, tindakan azan dalam kamar tergolong ganjil.
Tetapi sampai kuliah ia terus melakukan kebiasaan itu.
“Kedua orang tuaku taat beragama. Tentu mereka senang kalau anak satu-satunya ini juga taat beragama, rajin ibadah dan selalu menyebut nama tuhan. Tapi yang aku lakukan itu sepertinya meresahkan mereka. Padahal aku hanya azan, sendirian pula,” katanya pada suatu ketika kepada seorang kawan.
“Bagaimana tidak resah, kamu azannya di kamar. Azan itu di masjid atau ikut lomba.”
“Tapi kan tidak bisa. Memangnya kamu bisa mengupayakan supaya aku jadi muazin?”
“Itu masalahnya. Lagi pula kenapa sih kamu suka sekali azan?”
Pada saat itulah ia menyampaikan pikirannya tentang azan. Ia juga sudah coba mencari tahu perihal kemungkinan ia menjadi muazin. Sesungguhnya cita-cita itu tidak semustahil yang dibayangkan. Tapi syaratnya memang sulit, dan syarat itulah yang tampaknya mustahil. Ketika ia membaca satu artikel bahwa sepanjang waktu di dunia ini azan tidak pernah berhenti dikumandangkan, keinginannya semakin kuat untuk menjadi muazin. Setiap hari ia memutar rekaman azan di kamarnya, menjadikan lantunan azan sebagai nada dering telepon genggamnya. Meski begitu, tetap saja tidak banyak usaha yang dilakukannya untuk menjadi muazin. Memangnya apa yang bisa dilakukan? Tak mungkin tiba-tiba ia datang ke suatu masjid, berbicara dengan pengurusnya, dan melamar menjadi muazin. Bisa-bisa pengurus masjid itu senyum-senyum saja, dan bila ada orang lain dalam pembicaraan itu bisa dipastikan mereka akan terbahak-bahak, seperti teman-teman sekolahnya dulu. Sementara ia termasuk orang yang tidak begitu suka bergaul, lantaran kecintaannya pada azan sering membuat ia merasa kawan-kawannya tidak nyaman. Apabila azan berkumandang ketika mereka sedang berbincang-bincang, ia akan berhenti bicara (apabila ia sedang bicara) atau berhenti mendengar (apabila ia sedang mendengar). Seketika ia akan memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam, seakan-akan azan itulah udara. Mungkin, sesungguhnya, teman-temannya tidak terganggu. Buktinya hal semacam itu kerap terjadi di antara mereka. Paling sering karena telepon genggam. Meskipun telepon genggam mereka tidak berbunyi tiap saat, mereka tampaknya selalu sibuk dengan benda itu. Dan, sepertinya, tidak ada yang terganggu. Tapi itu wajar saja, pikirnya, sebab semua kawan-kawannya melakukan hal yang sama, sementara perkara azan ini, hanya ia sendiri yang melakukannya.
Sadar tidak ada yang bisa dilaksanakan untuk mencapai cita-citanya, selesai kuliah, ia memutuskan untuk berhenti berandai-andai. Itu pekerjaan yang lebih berat lagi, sebab artinya ia harus menghindar dari azan supaya godaan untuk memikirkan cita-cita itu tak timbul kembali. Sementara azan tak pernah berhenti dikumandangkan. Bahkan seandainya ia punya kesempatan untuk pergi ke negara-negara tertentu, di mana tidak banyak masjid dan karenanya azan jarang terdengar, ia pastikan akan mendengar suara azan pada waktu-waktu biasanya. Azan sudah mengejawantah menjadi petunjuk waktu. Ia akan mendengar azan di pagi buta, ketika matahari tepat di atas kepala, ketika matahari yang sama mulai melembut sinarnya, ketika datang senja dan warna magenta mengembang di angkasa, dan ketika kegelapan turun bagai kelir tua. Tidak ada tempat, tidak ada waktu, di mana ia bisa terlepas dari azan.
Suatu ketika, setelah lama tak jumpa, kawannya bertanya perihal cita-citanya, ia menjawab, “Mungkin aku memang tak bisa menjadi muazin di bumi ini. Tapi aku kira aku bisa menjadi muazin di luar angkasa, siapa yang tahu? Lagi pula, di atas sana waktu tidak linear, tapi terlipat-lipat, jadi aku bisa azan kapan saja.”
Tidak. Kawannya tidak menganggap ia sudah kehilangan akal sehat. Sebab ia menjalani hidupnya sebagaimana kebanyakan orang. Ia menyelesaikan pendidikan, bekerja, menikah, memiliki seorang anak perempuan, dan menjalani hari-harinya dengan normal. Memang ia masih terdiam dan memejamkan mata ketika mendengar azan, tetapi setiap orang pasti punya hal-hal semacam itu; misalnya menggoyang-goyangkan kaki, atau mengangguk-angguk saja meski tidak ada yang berbicara. Maka ketika ia menjelaskan bahwa ia merasa suara azan dari masjid atau dari mana saja seperti berasal dari luar angkasa, kawannya menanggapi dengan biasa-biasa saja.
Ia memang menjalani kehidupan sebagaimana umumnya orang. Dan semua keluarganya menganggap kegemarannya yang kemudian, yakni mengumpulkan rekaman suara azan dari berbagai tempat, adalah hobi belaka sebagaimana orang gemar mengumpulkan tutup botol atau gantungan kunci. Jadi bisa dikatakan ia hidup bahagia.
Sayang sekali, ia tak berumur panjang. Sesungguhnya kematian akan selalu membuat sebuah cerita terasa klise. Tapi mau bagaimana lagi, ia memang benar-benar mati oleh sebab-sebab yang tidak bisa diceritakan di sini lantaran khawatir cerita akan menjadi kian klise.
Menjelang wafat, ada permintaannya yang membuat keluarga ragu-ragu untuk melaksanakan; ia meminta agar anak perempuannya membisikkan azan di telinganya. Pihak keluarga sempat berdebat soal itu, bahkan sampai mengundang seorang alim-ulama. Tapi perdebatan tidak berlangsung lama—mungkin karena disimpulkan bahwa hal tersebut tak melanggar apa-apa, atau karena pihak keluarga mengingat cita-cita lama yang tak kesampaian itu, dan lantas merasa kasihan padanya—ia meninggal dengan tenang di rumahnya yang asri, dan putrinya melaksanakan permintaan terakhirnya itu.
“Mungkin saat aku lahir Ibu ingin sekali membisikkan azan di telingaku, tapi itu tidak mungkin. Jadi pasti Ayah yang melakukannya. Tahu kan, sepanjang hidupnya Ibu hanya ingin menjadi muazin. Dia bahkan ingin menjadi muazin di luar angkasa,” kata Sirin kepadaku sambil senyum-senyum waktu peringatan seribu hari meninggalnya kakak sepupuku itu. Aku terbahak-bahak, “Kira-kira apa dia berhasil jadi muazin di atas sana?”
“Aku yakin dia berhasil. Bahkan ia sudah mengumandangkan azan di sana jauh sebelum ia lahir. Tahu waktu Neil Armstrong menjejakkan kakinya di bulan? Konon, pada saat itu ia mendengar suara azan. Ibulah yang mengumandangkan azan itu.” kata Sirin.

Kekalik, 2017
KIKI SULISTYO lahir di Kota Ampenan, Lombok. Menulis puisi dan cerita pendek untuk pelbagai media cetak maupun online. Buku puisinya Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (2017) meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa.

Lorong Sunyi

Cerpen Makanudin (Republika, 28 Januari 2018)
Lorong Sunyi ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Lorong Sunyi ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Ia menjatuhkan wajahnya di atas lutut laki-laki lima puluhan. Meski laki-laki itu berusaha melepasnya, wajahnya masih jatuh lekat dengan posisi duduk di bawah kursi. Lama sekali. Seolah ia mempertahankan posisinya sampai laki-laki itu menerima keinginannya untuk tetap menjaga hubungan dengan Suhaili.
Ibunya yang tepat di kursi sebelah laki-laki itu hanya diam. Tak berkata apa pun. Apa lagi memintanya untuk kembali ke rumah tempat tinggalnya sampai dewasa. Bahkan tempatnya dilahirkan. Sebagaimana permintaan si laki-laki itu, ia juga tidak menghiraukannya.
Masih dalam posisi duduk di lantai di hadapan si laki-laki. Pikirannya goyah tak tentu. Bagaimana ia harus menerima keinginan laki-laki itu. Ia juga tidak pernah mendengar tanggapan ibunya sama sekali. Ibu tidak menyinggung hubungannya dengan Suhaili, entah menerima atau menolak keinginan si laki-laki.
Baginya, sungguh seolah ia mendapati gunung tinggi pikirannya yang sulit untuk ia lintasi itu. Maka, begitu mendapatinya duduk bersebelahan dengan ibu, dan ia ingin tetap menjaga hubungan dengan Suhaili, ia segera menyurukkan wajahnya di lutut bapaknya, berharap tidak lagi mengusik kondisi suaminya.
Hidupnya memang serupa lorong sunyi. Hanya bayang-bayang panjang tanpa batas. Tanpa harapan yang jelas. Ia mengingat kerasnya usaha Suhaili untuk memenuhi kebutuhan rumah. “Kau terlalu berat bekerja, Bang. Kau akan lelah,” tegurnya ketika Suhaili harus pulang malam menjajakan makanan di terminal.
“Yang penting kamu menerima keuntungan yang kudapatkan.”
“Tapi, Abang harus istirahat.” Ia menaruh kasih bila pulang di malam hari dalam lelah yang sangat. Dengan banjir keringat yang sebagiannya sudah mengering.
“Aku tidak lelah.”
Suhaili hanya ingin menghapus kecemasannya. Ia tetap harus mengasong. Ia pernah cerita kepadanya, terjatuh ketika akan turun dari mobil di siang yang panas. Kakinya terpeleset di tumpukan sampah licin yang teronggok di depan terminal. Badannya kotor limbah pasar itu.
Mendengarnya ia hanya diam. Iba.
Maka, bapak memintanya meninggalkan Suhaili. Kembali ke rumah kelahirannya. Tapi, tidak mungkin ia meninggalkannya begitu saja di saat suami kesulitan pekerjaan. Ia merasa bapak tidak membalas kebaikan Suhaili saat-saat ia menapaki kejayaan.
Ia memiliki beberapa toko sederhana yang dikelola keluarga. Semua dalam koordinatornya. Ia sebenarnya siap memegang satu toko untuk membantu. Tapi, suaminya itu tidak merestui. “Kau cukup mengurus rumah saja,” begitu sarannya. Sementara, lapak di pasar harus disewakan. Suhaili membantu bapak agar tidak lagi bekerja sebagai penjaga toko.
“Kita harus membantu kebutuhan orang tua, Dijah.” Suhaili memastikan ia akan membantu bapak. Khodijah hanya diam. Seolah membiarkan keinginan Suhaili. Sebagian keuntungan toko diserahkan ke bapak. Ia mendengar bapak meminta bantuannya mendirikan usaha sendiri. Bapak pun tidak harus kerja ke temannya. Setelah terbangun, ia terlihat lebih nyaman di toko miliknya.
Namun, tak ia duga, hanya beberapa tahun kejayaan itu, ladang usahanya bangkrut. Toko-toko miliknya tak berkembang. Satu demi satu tutup. Hingga kedua toko dan sebuah lapak harus ia jual. Tapi, Munawar, bapaknya, tidak menerima kegagalan yang dialami Suhaili. Seakan penyakit menular yang harus dijauhi.
“Rumah kita luas dan besar, Dijah. Bersama kedua anakmu juga cukup, tidak sesak,” jelas bapak. Tapi, ibu tak begitu menghiraukan perubahan kehidupannya. Dalam pikiran ibu, kegagalan adalah hal wajar. Tidak semua keinginan mereka tercapai.
Ibu mengerti itu. Sejak tokonya harus dijual untuk menutup kebutuhan, Dedeh, ibunya, diam. Sebagaimana ia, ibu pun tak menghiraukan kekecewaan bapak melihat kondisi hidupnya. Tapi, bapak bukan sekadar kecewa. Bapak ingin membawanya ke rumah. Pulang. Meski ia tidak mengatakan memutus tali pernikahannya dengan Suhaili. Tapi, ia tak menerima. Ia tak begitu menanggapi respons bapak terhadap kegagalan suami Dijah.
“Sudah, kamu tidak banyak merajuk, Khodijah.” Ibunya mengelus bahu anak gadis satu-satunya itu yang cantik. Ia mengerti, ibu tak bersikap sejak usahanya gulung tikar. Sejak bapaknya selalu mengeluhkan suaminya yang benar-benar bangkrut.
Malah, ibu sesekali meminta bapak menerima kondisinya. Lalu, ia mengangkat kepalanya begitu bapak lama diam. Seakan bapak masih tetap tidak menerima keinginannya.
“Kau menerima kondisi Suhaili, Dijah.” Ibunya berharap dengan jawaban yang tepat hingga bapak mendengar jelas. Tapi, ia diam. Bapak tetap memaksanya meninggalkan Suhaili bila ia tetap menjawabnya ‘menerima’. Tanpa berkata, ia kembali ke rumahnya.
Namun, Suhaili tidak ia temui sore itu yang ia ketahui biasanya selalu di rumah. Dia pulang menjelang siang. Hanya beberapa jam setelah keluar. Mungkin tidak mendapatkan pekerjaan serabutannya. Tapi, sore itu tidak ia dapati.
Hanya ia temui Minih, ibu rumah tangga sebelah rumahnya, duduk di bawah pohon jambu air depan gerbang rumahnya. Seolah sudah mengikat perjanjian, Ibu Wiwin datang. Disusul kemudian Ibu Sakem. Mereka perempuan-perempuan senasib. Selalu menerima kondisi kehidupan yang mereka alami. “Ingin bagaimana lagi, usaha untuk lebih baik lagi sudah kita lakoni,” kata mereka.
Hanya terkadang mereka selalu mencari celah usaha yang bisa dikerjakan suami. Dan, percakapan itu selalu mereka bangun. Saling menanggapi harapan-harapan mereka.
“Benarkah kita bisa mendapatkan yang kita harapkan?” Seakan Sakem tak percaya hidupnya bisa berubah lebih baik.
“Kalau Allah berkehendak bisa saja terjadi,” sambut Minih yang sesekali ikut pegajian ibu-ibu di Mushola Baitul Ilmi yang dikelola Ibu Yuyun di lingkungan sekolah di ujung kampung. Tetangganya yang juga staf pengajar itu sesekali mengajaknya hadir di Majlis Ta’lim Baitul Ilmi.
Ia hanya diam. Pandangannya hampa ke depan. Ke langit kemerahan di barat. Merasa sakit mengingat suaminya pernah mendapatkan kemajuan usaha. Tapi, ia menerima perkataan Minih. Allah berkehendak atas kehidupan masing-masing makhluk-Nya. Kepada Minih dan Sakem, ia mengerti kondisi ekonominya tidak jauh berbeda. Tapi, Wiwin?
Sungguh. Kehidupan ekonomi Wiwin tidak lebih baik darinya. Dan, melihatnya ia masih bersyukur. Tetangga dan teman-temannya sudah mengenalnya keluarga paling miskin di Sak Bakar, kampungnya.
Perempuan yang memang diselimuti kesulitan hidup sejak berumah tangga, bahkan sejak anak-anak ia tidak mendapati hidup senang. Bapaknya seorang kuli cangkul di sawah-sawah milik teman dan tetangganya. Sementara, ibunya hanya mengurus rumah dengan kebutuhan yang lebih banyak tak terpenuhi. Tapi, ia sabar dan kuat.
“Khodijah, kau memiliki kehidupan lebih baik dari kami, lebih beruntung,” kata Wiwin.
“Kau bisa lebih dahulu mendapatkan kesejahteraan ekonomi dari kami,” balas Sakem. Minih hanya diam sembari membayangkan kehidupannya bisa berubah.
“Kalau kau mendapatkan pekerjaan bagus bisa ajak-ajak kami.” Wiwin kembali meminta. Seolah mendorongnya untuk mengubah kondisi kehidupan rumahnya. Tapi, begitulah perempuan kekar itu meski kurus. Ia lebih semangat. Kehidupan pahit yang ia alami membuatnya terus berusaha lebih baik.
***
Ia mendengar pengunjung pasar menyebut-nyebut lapak milik Ibu Wiwin. Ia mengenal nama itu, tetangganya yang sudah pindah ke kampung dekat pasar. Perem puan yang sejak kecil tak mendapati hidup senang. Selalu kekurangan meski sekeluarga harus kuli. Setelah izin kepada nyonya lapak, ia meninggalkan menguliti bawang, pekerjaan yang ia geluti setelah suaminya kesulitan membangun usaha kembali, akan mencari kebenaran kalau Wiwin yang ia dengar itu adalah tetangganya.
Teriak pengunjung ‘Ibu Wiwin’ mengharuskannya lebih mendekati suara itu. Agak malu ia pelan melangkah setelah memastikannya benar-benar tetangganya di Sak Bakar. Ia mengingat ketika suaminya dengan pakaian rapih melayani para pelanggan.
Tapi, Wiwin terlihat lebih baik. Dibantu seorang ibu-ibu lebih tua, ia melayani pelanggan yang membeli beberapa macam bumbu masak dan sayuran di lapak miliknya yang cukup besar. Ia percaya kehendak Allah, tentu juga dengan usaha yang serius layak untuk seorang Wiwin.
“Khodijah! Sini.”
Ia segera mendekat begitu Wiwin menegurnya. Tersenyum bahagia atas keberhasilannya mendapatkan pekerjaan sebagai pedagang. Besar juga lapak dan barang jualannya.
“Duduk kau, Khodijah!”
Sembari penuh kehati-hatian melangkah di antara hamparan tampah yang masing-masing berisi bumbu dan sayuran, ia mencari tempat yang tepat.
“Di sini.”
Sembari menggeser badannya memberi tempat, ia menunjuk ke arah sebelahnya.
Khodijah duduk. Begitu Wiwin selesai melayani beberapa pelanggan, kembali ia meminta, “Kau bantu aku saja.”
Ia diam. Sementara pikirannya masih ke lapak tempatnya kuli menguliti bawang.

Cibitung, Januari 2018
MAKANUDIN. Selain menulis, sehari-hari ia aktif mengajar di lingkungan Bekasi Kabupaten. Alumni Pesantren Assa’adah Cikeusal, Serang, Banten.

Pemesan Batik

Cerpen Muna Masyari (Kompas, 28 Januari 2018)
Pemesan Batik ilustrasi Andreas Camelia - Kompas.jpg
Pemesan Batik ilustrasi Andreas Camelia/Kompas
Kali ini, untuk menggarap batik pesanan lelaki itu, ia memilih saat malam buta, di sebuah kamar berhias sarang laba-laba. Kamar penyimpan langut dan kemelut. Sebelumnya, hampir lima tahun pintu kamar itu dibiarkan terkatup serupa kebisuan mulut disumpal ujung selimut.
Ditemani kompor kecil bertindih wajan berisi cairan malam, perempuan itu menggores kain putih yang serupa kafan dan dihampar di pangkuan dengan cantingnya. Menggambar pola. Dituntun suara yang memantul dari palung paling rahasia. Setiap celupan canting pada cairan malam adalah detak jantung si pemesan yang memantul ke palung dadanya.
Di luar, jerit jangkrik beradu dengan desah gesekan daun pisang.
Sebagai pembatik yang biasa menerima pesanan khusus, bagi perempuan itu, corak, warna, dan motif batik buatannya merupakan kesatuan rasa dan jiwa pemesan. Salah satu cara untuk bisa menjiwai saat menggarap batik pesanan, perempuan yang baru menginjak kepala empat itu mengajukan beberapa pertanyaan laiknya penjaga warung makan menanyai pelanggan.
Terlebih dahulu, ia bertanya, kain batiknya untuk siapa? Akan dikenakan sendiri? Dalam rangka apa? Acara keluarga, pesta atau dinas?
Atau, akan dihadiahkan pada orang lain? Istri? Suami? Teman? Orangtua? Saudara? Sahabat dekat? Atasan? Anak buah?
Dalam rangka apa? Kado pernikahan? Ulang tahun? Kenaikan pangkat? Hadiah prestasi?
Tak hanya itu. Ketika mengajukan pertanyaan, ia mencuri pandang pada kedalaman matanya. Memancing rasa yang menjalar dari palung dada. Mengaktifkan sinyal di dadanya sendiri seperti tangan seorang ibu ketika menyentuh buah hati.
Tak jarang ia menerima pesanan dari seorang karyawan untuk dihadiahkan di ulang tahun atasannya, dengan harapan gaji dinaikkan karena bahan pangan melambung tak terjangkau. Ia membuatkan batik bermotif padih kepa’ (gabah kosong) bertabur di tanah, serupa beras tumpah. Ditambahi anak-anak burung dengan paruh menganga dan sayap mengepak rendah. Sementara corak warnanya mengambil warna gelap dan gunungan bermotif tanah retak.
Ketika ada seorang guru hendak menghadiahkan kain batik pada anak didiknya karena meraih juara lomba mata pelajaran menjelang hari kemerdekaan, ia membuatkan batik bermotif Tabur Bintang dengan latar biru langit. Dari goresan canting, polesan warna, tercurah harapan masa depan secerlang bintang di gelap malam. Saat menggarapnya, ia pun memilih nuansa pagi ceria di bawah rindang pohon lengkeng tua, tempat di mana sewaktu kecil ia disuapi ibunya sambil melihat anak ayam ribut berebut makanan.
Batik buatannya tidak berkutat pada motif dan corak yang sudah dipatenkan sebagai batik Madura, seperti batik Sagarah, Gentongan, Kembhang Saladri, Kerraban Sape, Mo’-ramo’ dan lainnya. Ia membatik dengan menyatukan imajinasi dan jiwa. Menggurat motif dan corak sesuai perasaan pemesan. Semakin kuat jiwa dan perasaan pemesan, semakin hanyut ia dengan cantingnya, semakin halus noktah dan guratan yang dihasilkan, semakin membutuhkan waktu panjang untuk menyelesaikan. Tak jarang ia melakukan tapapuasa demi menghasilkan karya yang sempurna.
Untuk pemesan batik kali ini, tak sekadar melakukan tapapuasa selama tujuh hari, ia pun terpaksa menyepuh kenangan demi merasakan kemarahan yang sama kentalnya dengan apa yang dirasakan si pemesan. Terpaksa menguak pintu kamar berkarat, penyimpan kisah laknat yang tak pernah lumat dan sempat menimbulkan kiamat.
Di hari ketiga tapapuasa, daun pintu itu dibuka dan menimbulkan denyit parau. Sarang laba-laba dan wang-sawang bersekutu. Ranjang dan seprai berlapis debu. Di kamar itu, langut dan kemelut saling pagut. Ia tak cukup memiliki kekuatan untuk membukanya, sepanjang lima tahun ini. Membiarkan pintunya rapat terkatup sama artinya berdamai dengan kenangan pada malam terkutuk.
Akan tetapi, pemesan batik itu datang suatu senja, ketika matahari tak lagi jelita. Kulitnya legam dan berkumis tebal. Dari mulutnya tercium anyir kemarahan yang begitu kental. Kepulan asap rokok yang disemburkan dengan pedas seolah satu-satunya jalan mengurangi sesak.
Ia memesan batik untuk seseorang yang telah menyulut sulur-sulur api di dadanya. Katanya, sungguh cara paling purna menghadiahkan susuatu yang bisa dijadikan penyampai pesan. Mewakili kemarahan. Bahkan ancaman. Tanpa perlu mengumbar serapah dan cercaan sampah lewat kata-kata yang sudah diracuni amarah.
“Kain batik itu bukan sekadar hadiah pernikahan. Ia berupa surat pesan, jadi harus selesai dalam sebulan! Jangan sampai terlambat!” tegas lelaki itu.
Semula ia menolak begitu mencium anyir kemarahan dan dendam dari mulutnya. Ia tidak mau campur tangan perkara dendam. Akan tetapi, anyir kemarahan kian pekat begitu mendengar dirinya menolak.
“Mungkin kau sama saja dengan perempuan senok itu!” sindir lelaki itu, pedas.
Ia terdiam. Tidak tersinggung. Perkataan yang menyembur dari kemarahan tak lebih dari celoteh anak ayam berebut makanan. Kata ibunya.
“Samua perempuan sama saja! Tidak tahu diuntung! Dia yang memaksaku bekerja ke Malaysia untuk beli gelang dan kalung. Sepergianku, di belakang malah main serong!” mendengus geram.
Perempuan itu menelan ludah. Sepat. Seperti ada lidah api menjilati sudut hati. Ia melihat kebodohan dan kemarahan yang sama pada wajah lelaki di depannya. Ia tahu bagaimana kerasnya banting tulang di negeri orang. Bekerja tak kenal malam. Dalam 24 jam, tak jarang hanya sempat memejam mata dua jam. Telat bangun, cacimaki majikan seperti semburan air didih dari mulut keran.
Ia pernah merasakan didihnya darah yang mengalir di sekujur tubuh begitu tahu bahwa kekasih yang selama ini dikirimi uang hasil memeras peluh justru berlabuh ke lain tubuh.
“Bajingan itu boleh mengawini biniku, tapi setelah melangkahi mayatku!” lelaki itu menepuk dada tiga kali, “aku menantangnya!”
Amarah berletupan.
“Buatkan batik pesan untuknya! Aku pulang untuk membuat perhitungan! Etembhang pote mata lebbi bhagus pote tolang!” pungkasnya.
Tanpa diundang, kejadian malam laknat itu terpampang serupa lembar-lembar foto tua dalam album hitam. Setiap lembar terbuka bergantian seperti dihempas angin kencang.
Di bawah langit kelam dan deru angin kencang, saat pulang dari rantau. Merayapi pertengahan malam baru menginjak kampung halaman. Seturun dari ojek, hujan deras yang memberingas ia tebas dengan langkah gegas sambil menjinjing kardus dan tas. Memburu teras demi segera berlindung dari hujan deras.
Rumah sepi bagai tak berpenghuni. Pintu terkunci. Sebentar ia mengintip ke dalam melalui celah jendela. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Ia pulang tanpa pemberitahuan. Hendak menghadiahkan kejutan.
Tanpa kunci cadangan, ia memilih masuk lewat pintu samping belakang, dekat kamar mandi. Ada pintu kayu yang bisa dibuka dari luar dengan mengulurkan tangan lewat celah lubang di bagian tepi. Dengan sedikit menggeser kunci kayu, pintu lorong penghubung antara kamar mandi dan rumah terkuak. Empat tahun ditinggal, rumah itu tidak ada perubahan, termasuk pintu samping belakang.
Langkahnya dipelankan agar tidak menimbulkan suara. Kardus dan tas besar setengah basah diletakkan hati-hati. Langkahnya terhenti di depan sebuah kamar, tempat menghabiskan malam-malam mesra selama 24 bulan, sebelum pergi meninggalkan kampung halaman.
Pintu didorong agak ragu. Tidak dikunci. Akan tetapi, begitu terbuka, petir di luar serasa menyambar tepat di atas kepala. Betapa sulit untuk percaya. Di atas ranjang, dua tubuh saling labuh.
Dengan kepala sarasa akan pecah ia berlari ke dapur, mencari sebilah pisau, namun hanya menemukan setumpuk cabai di lincak yang dipenuhi perabot kotor.
Sebelum dilipat, kain batik berlatar warna kunyit busuk itu dihampar. Masih hangat, karena baru saja diturunkan dari tali jemuran. Matanya nanar memerhatikan hasil batiknya dengan dada berdenyar.
Daun-daun waru bertebaran sebagaimana korban musim kemarau, sebagai simbol cinta yang tak sempurna. Daun-daun itu berwarna hijau layu. Bagian tepi daun bergiligir, bagai bekas dilahap ulat. Pada tepi bawah kain, sulur-sulur api saling jilat, semerah darah. Di atasnya, celurit-celurit berujung lancip saling silang.
Perempuan itu menamainya batik arek lancor.
Sebentar lagi, begitu pemesan batik itu datang sesuai perjanjian, ia akan melipat kain batiknya dengan rapi, dan memasukkan ke dalam peti mungil terbuat dari kayu jati. Ia akan mengajak pemesan batik itu ke pantai Jumiang, dan melarungkan peti kecil berisi segala dendam dan amarah itu ke lautan.
Biarlah pengkhianatan menjadi urusan semesta. Kelak, ia akan menemukan muaranya sendiri. Kembali pada yang memiliki.
Pun demikian yang dilakukan perempuan itu lima tahun silam. Sebuah ajaran yang ibu berikan, sebelum kemarahan yang lebih pitam melumatnya jadi arang.

Muna Masyari, lahir di Pamekasan, Madura, 26 Desember 1985. Menulis cerpen dan puisi. Salah satu puisinya menjadi nomine dalam Lomba Puisi Forum Tinta Dakwah FLP Riau, dan terkumpul dalam antologi Munajat Sesayat Doa. Salah satu cerpennya termuat dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2016. Ia bisa dihubungi melalui e-mail: masyarimuna@gmail.com
Andreas Camelia, pelukis otodidak yang bersetia dengan pointilisme. Ia lahir di Bandung tahun 1958, pernah membuka kios antik cendera mata di Kings Shopping Centre Bandung. Andreas melukis dengan menerapkan disiplin pegawai kantoran untuk menghasilkan gambar dengan jutaan titik. Sehari-hari kini ia “berkantor” di NuArt Sculpture Bandung untuk melukis.

Surat untukmu, Tjoe

Cerpen Robbyan Abel R (Media Indonesia, 28 Januari 2018)
Surat untukmu, Tjoe ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Surat untukmu, Tjoe ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
SELAMAT pagi, Tjoe. Kuduga hampir jam 08.01 surat ini bakal sampai di depan rumahmu setelah tiga hari sebelumnya kukirim pada jam yang sama. Ketika surat ini sampai barangkali kamu sedang sibuk bersiap ke kantor. Aku punya selusin teman di Jakarta, mereka  semua punya rutinitas yang sama: pagi-sore adalah kantor. Terkadang aku mengira mereka semua adalah orang yang sama. Tetapi kuharap kamu mau duduk sebentar walau kutahu kamu kurang suka melihat tulisan-tulisan berparagraf. Di sampingku ada anakmu. Ia duduk mengawal surat ini, sudah dua gelas susu dihabiskannya. Ia berjaga kalau-kalau dalam surat ini akan ada salah kata yang menyakitimu. Ia menurutimu untuk memperbanyak minum yang sehat-sehat meski terkadang anakmu minum vodka bersamaku tiap sabtu malam. Seminggu lalu, kami pun melakukan rutinitas tersebut—sehari setelah ujian sekolah berlalu. Anakmu mabuk dengan mengomeli banyak kondisi dari yang remeh-temeh hingga yang paling menyakitkan: agama.
“Tuhan tidak butuh makan buah di meja persembahan itu untuk hidup,” protesnya padaku sambil meletakkan dengan tegas gelas yang isinya selesai ditenggak. Selama riwayat kami minum bersama, anakmu tidak pernah jatuh ke pundakku. Ia senantiasa menyisakan sedikit kesadaran untuk menolak jika disentuh.
Hari ini hari perempuan sedunia. Muncul lagi wacana pasaran yang menguntungkan para penjual buku, para aktivis karbitan, bahkan ide-ide prematur yang terpaksa bertarung terkait pembebasan gender dari belenggu konservatif. Barangkali mereka lupa, bahwa di tempat kita ini kebebasan bukan kerajaan besar. Banyak yang mendukung, pun tidak sedikit yang menolak. Anakmu berada di kelompok yang mendukung. Ia pengin membebaskan orang-orang yang teralienasi dari apa pun. Betapa anakmu ini berperi kemanusiaan, Tjoe. “Cinta tak boleh dibatas-batasi,” ungkapnya. Perkenalan kami dimulai dengan membahas sejarah hidupnya. Mulai dari perpisahan teman sekolah, pertama kalinya ia menjalin hubungan secara intim dengan gurunya, bahkan tentang kecelakaan yang dialami rombongannya saat berlibur ke Paris. Kuyakin yang terakhir kamu belum diceritakan, Tjoe. Sesekali ia menyesali dirinya yang lahir pada kondisi menyedihkan ini. Baginya menyedihkan ialah ketika kita dilahirkan atas dasar keegoisan orangtua dan diberi kewajiban untuk meneruskan cita-cita mereka yang tidak tercapai. Sederhananya, seorang anak yang lahir untuk meneruskan hasrat duniawi orangtuanya adalah anak yang menyedihkan. Dan anakmu merasa demikian, Tjoe.
Aku mengenal anakmu belum setahun. Tapi aku merasa sudah mengenalnya lebih daripada itu. Anakmu memasang curiga pada semua orang dengan nilai tinggi, bahkan aku sekalipun. Ini diwariskan darimu selain jimat merah yang sering dibawanya setiap kami bertemu. Tidak mengherankan anakmu memiliki sedikit teman. Ia selalu berhati-hati saat memutuskan berteman dengan seseorang atau tidak. Terlebih lelaki. Bukan karena tidak nyaman dengan topik perbincangan yang itu-itu saja, tetapi ia takut suatu saat akan mengecewakan orang-orang itu. Dan ia berasumsi bahwa akulah orang yang akan kuat menghadapi kekecewaan itu jika tiba waktunya. Kudengar kamu juga senang piknik. Sadarilah, Tjoe. Aku lahir di Papua untuk menyiapkan itu. Di sana kamu bisa menemukan banyak bukit hijau dengan panorama mengagumkan. Lepas dari rutinitas kantormu, tidak ada suara-suara telepon yang wajib dijawab, khususnya suara kemacetan yang pasti sering menjadi keluhan kebanyakan orang—sering pula jadi topik kampanye calon pejabat. Namun, di Papua, Tjoe, terlalu banyak penindasan. Yang mereka alami mirip seperti yang  menimpamu belasan tahun lalu. Kurasa kita memang perlu memaklumi tahun-tahun ’98. Negeri kita ini mengalami kesulitan dalam memperhatikan penindasan. Jika saja hidup tidak butuh banyak syarat, kita pasti sudah bertemu sejak aku jatuh cinta dengan anakmu, Tjoe. Dan aku tidak perlu mengenalmu sebagai orang Cina. Tjoe, kami sering membicarakan ini, kami selalu memikirkan strategi untuk melampaui batas-batas agama itu supaya kami bisa berdiri paling tinggi lalu berpegangan tangan di atas orang-orang yang mendongak melihat langit.
Selain mendukung kebebasan mencintai tanpa sekat gender, anakmu juga mendukung orang bercinta tanpa pandang agama. Ini di luar dari dedikasimu sebagai ibu. Ia punya ideologi sendiri seiring perjalanan hidupnya. Begitu juga ketika ia memilih untuk beragama atau tidak, berpacaran atau tidak, menikah atau tidak, di dapur atau tidak, di ranjang atau tidak, hamil atau tidak, kaya atau tidak. Duh. Pokoknya banyak kemapanan yang tidak  disetujui anakmu ini, Tjoe. Terkadang aku sering gengsi kalau berdiskusi dengannya. Pasti aku kalah telak. Ia lebih liar dari kecurigaanmu. Seandainya dunia ini tidak terbentuk dengan moral, jimat-jimat, hukum, dan tetek-bengeknya, anakmu pasti sudah melarikan diri dari rumah. Hanya saja butuh waktu lama meyakinkannya untuk melakukan suatu tindakan. Ia menyusun indikator dalam setiap bervisioner: harus objektif, berpihak pada rakyat, tidak  merendahkan martabatnya sebagai perempuan, bermanfaat, dan tidak boleh untung sepihak. Harus imbang dan adil. Kalau semuanya sudah tersedia, kamu akan segera mendapat kesepakatannya.
Setiap pagi menjelang, kami sering sarapan di tempat yang sepi dan murahan. Ini kami sengaja guna menambah modal para pengusaha kecil untuk menghancurkan pasar pengusaha besar. Dengan begitu, terpantiklah peperangan ekonomi hingga menjatuhkan semua harga barang. Bagi kami peristiwa ini wujud dari hakikat kebahagiaan. Bahagia untuk kami, bahagia untuk mereka semua. Aku jadi ingat ketika ia menyelipkan cerita tentang perjuangan suamimu sewaktu merebut hati mertua. Kalian harus bersusah payah mengarang cerita di hadapan ibumu supaya ia tak perlu mengamuk jika mengetahui anaknya melahap makanan dengan kadar gizi rendah. Dalam arti lain mungkin juga dengan harga rendah. Kurasa perilaku itu tak perlu kucontoh di hadapanmu, Tjoe, aku sudah mengantisipasi betul kekecewaanmu jika banyak yang kusembunyikan darimu. Meski jujur pun kuyakin telah membuatmu kecewa berkedalaman.
Berasal dari agama yang sama, bahkan ras antaramu dan suamimu tidak berbeda. Perjuangannya kukira akan lebih mudah jika dibandingkan dengan aku pada anakmu.
“Tapi sesungguhnya tidak ada perjuangan yang bisa dianggap remeh,” katanya. Mewujudkan ekspektasi mertua menjadi lelaki yang berkecukupan tentu lebih berat daripada sekedar memberanikan diri hanya dengan mengirim surat. Uang bisa menjinakkan segala macam prinsip. Bukan begitu, Tjoe?
Anggap saja semua yang kutulis sekarang adalah laporan kebersamaanku dengan anakmu. Terlebih aku juga menghormatimu sebagai orangtuanya. Ia menitip salam supaya kamu jangan terlalu sibuk bekerja, luangkan waktumu untuk berlibur, perbanyak juga minum air sebelum di tempatmu air berubah menjadi debu. Dan belajarlah sedikit suka membaca  seandainya suratku datang lagi dengan halaman yang lebih banyak. Namun, berhati-hati pula dalam memilih bahan bacaan. Terutama di media. Mereka memang pabrik informasi terbesar, tapi yang kau baca darinya belum tentu baik. Kusarankan berlanggananlah koran mingguan yang memiliki kolom sastra, dan kau sobek saja berita di halaman bagian depan itu. Semuanya. Sebab yang penting dari koran hanya obituari dan kolom sastra. Dan atau jika kamu memang seorang yang gemar memperhatikan pasar bebas, lembar tentang situasi ekonomi bisa kamu temui. Agar kamu tahu betapa memilukannya keadaan di sekitarmu sekarang. Juga jangan ragu memasang iklan di sana, banyak orang yang mesti kamu selamatkan. Salam pada suamimu, aku harap bisa bertemu langsung dengannya untuk sekedar bertukar rahasia, memberi tahu tentang koleksi barangmu. Supaya saat berkunjung nanti aku tidak bawa tangan kosong.
Oh, ya (Hampir lupa). Kesimpulan dari surat ini, bahwa, hal paling ekstrem dalam perjuangan sepasang kekasih yakni ketika mereka menjalin ikatan yang tidak melibatkan syarat kemapanan. Mungkin para anggota keluarga akan mempertimbangkan keberlangsungan hubungan mereka—Maksudku kami. Mereka akan menjadi dua kutub yang terpisah di antara bentangan: bentangan yang berisi cibiran masyarakat paling beradat, atau  sejenisnya. Mereka yang saling mencintai adalah mereka yang gila. Tetapi merekalah yang paling sadar bahwa cinta menjadi cara lain Tuhan menyatukan hambanya. Tidak ada manusia yang memiliki otonom atas manusia lain dalam kebebasan mencintai, Tjoe. Ketika semakin banyak orang membangun kebenaran sendiri dan membentuk serikat-serikat gelap, kebebasan akan semakin purba. Dan para pembisik berdatangan pada kuping-kuping kami, “Dosa itu lebih berakibat daripada patah hati!” Mungkin para pembisik itu lupa, kalau orang jatuh cinta kupingnya sedang gangguan.
“Apa tidak masalah kalau isi suratnya terlalu kasar?”
“Tenang. Aku tidak mencantumkan namaku.”

Pecalang Cilik

Oleh Ferry Fansuri (Kompas, 28 Januari 2018)
Pecalang Cilik ilustrasi Regina Primalita - Kompas.jpg
Pecalang Cilik ilustrasi Regina Primalita/Kompas
Pada hari Jumat di suatu perumahan di kota Denpasar, Bali, seorang anak bercakap-cakap dengan bapaknya.
“Bapak mau ke mana, kok pagi-pagi sudah pakai pakaian adat?” tanya Wayan kepada bapaknya, Pak Ketut yang sudah berpakaian adat lengkap dan hendak pergi.
“Iya, Wayan, Bapak jadi Pecalang hari ini. Nanti siang, Bapak mau bantu keamanan masjid saat ada kegiatan ibadah shalat Jumat,” terang Pak Ketut.
“Pecalang apa itu, Bapak?” tanya Wayan. “Kok Bapak jaga keamanan masjid, bukan pura?” Wayan memang anak yang serba ingin tahu. Umur Wayan belum genap enam tahun.
Pak Ketut tersenyum, lalu tubuh Wayan dipangkunya sambil berkata,”Pecalang itu penjaga tradisional adat, Sayang,” jawab Pak Ketut.
Pak Ketut berkata lagi, “Bapak sebagai pecalang, tapi turut menjaga masjid, karena sebagai umat Hindu, kita juga harus turut menjaga keamanan tempat ibadah saudara kita yang berbeda agama di Pulau Bali ini, Nak. Itu yang namanya toleransi,” ungkap Pak Ketut panjang lebar.
“Toleransi itu apa Pak?” Wayan bertanya kembali.
“Toleransi itu saling menghargai dan tolong menolong tanpa melihat agama yang berbeda, Nak. Biarpun kita beragama Hindu, tapi kita harus ikut membantu saudara kita yang Muslim di Bali ini, dan saudara kita yang beragama lain. Begitu juga saudara kita yang beragama Islam, mereka juga selalu membantu kita yang beragama Hindu. Sekarang kamu mengerti, Nak?” kata Pak Ketut sambil mengusap rambut Wayan.
Wayan pun mengangguk-angguk.
Tak lama kemudian, Pak Ketut pun berangkat ke luar rumah untuk menjalankan tugas sebagai pecalang.
Seminggu kemudian, pada hari Jumat yang cerah, Pak Ketut seperti biasanya menyiapkan baju adat untuk persiapan menjadi pecalang yang akan menjaga keamanan saat ibadah shalat Jumat nanti siang. Tiba-tiba Wayan muncul di hadapan Pak Ketut dengan komplet memakai baju adat seperti yang dipakai bapaknya itu.
“Wayan mau ikut Bapak jadi Pecalang juga,” seru Wayan dengan memegang baju adat yang tampak kedodoran miliknya.
Pak Ketut tertawa melihat tingkah laku anaknya itu.
“Aduh, lucunya anak Bapak ini. Kenapa kok mau ikutan jadi Pecalang?” tanya Pak Ketut ke Wayan.
“Wayan mau bantu keamanan di masjid, Pak. Karena kita kan harus saling membantu dan menghormati saudara kita yang berbeda agama. Lagi pula di masjid itu juga ada teman-teman Wayan yang shalat Jumat di sana. Wayan ingin turut membantu teman- teman, biar ibadahnya lebih khusyuk,” jawaban ceria Wayan itu membuat Pak Ketut haru bercampur gembira. Anak sekecil Wayan sudah bisa mengerti tentang toleransi beragama.
“Ayo, pecalang cilik, kita berangkat!”
Pak Ketut menggandeng tangan Wayan dengan bangga.

Nabi, Makam Kita, Pencurian Sekarung Arloji, dan Lainnya

Puisi-puisi Triyanto Triwikromo (Kompas, 27 Januari 2018)
Introspeksi ilustrasi Bambang Herras - Kompas.jpg
Introspeksi ilustrasi Bambang Herras/Kompas

Nabi

: cermin Cervantes, cermin Kundera

350 tahun ia bertempur
dengan kincir angin. 450 tahun
ia bersengketa dengan
sebongkah batu.

“Kematian telah memanggilku
dari gunung salju.” ia berkata.
“Kematian telah memanggilku.”

Ia tidak mengenakan topi
saat salju turun. Balkon
membeku. Kastil
membeku.

Museum menyimpan kisah
perang yang terlupakan
itu. Cermin menyimpan
kesedihan wajahnya
di bawah lampu.

Genta-genta berhenti
berbunyi. Genta-genta
hanya ilusi.

Ia tidak berkuda
saat berangkat
ke stasiun. Musuh
berada 15 mil
di luar Praha.

Ia berjalan kaki
tetapi membayangkan
terbang bersama gagak. Gagak
yang melupakan namanya. Gagak
yang melupakan sayapnya.

“Sejak kematian memanggilku
aku telah melupakan namaku. Melupakan
kotaku. Kota iblis. Kota hantu
dililit salju.”

Pada akhirnya ia harus bertempur
juga. Bertempur dengan waktu.
Jantungnya ditusuk. Kepala dipenggal.
Mata dicungkil. Telinga dipotong. Kaki
dipatahkan. “Tetapi aku tetap hidup, bukan?”

Maka, setelah itu
350 tahun ia bertempur
dengan kincir angin. 450 tahun
ia bersengketa dengan
sebongkah batu. Lagi
dan lagi.

Sejak saat itu, sejak Praha
dililit salju, mereka
menyebut ia sebagai nabi
di dunia yang terlupakan. Di dunia
tanpa kenangan.

2017

Makam Kita


Kita mulai dari makam. Kita mulai dari kematian. Tentu kita lewati keheningan tebing-tebing dulu. Kita lewati jernih sungai tanpa perahu. Kita abaikan ciuman perih yang hanya kita bayangkan terjadi di hijau hutan tanpa rubah. “Apakah kita akan menggunakan peta atau semacam petunjuk jalan?” “Tidak. Kita hanya akan membawa foto sepasang nisan dan seekor burung malam yang menolak terbang.”

Tetapi kita tak pernah sampai ke makam itu. Ada pagar besi menjulang. Badai datang dan lampu-lampu begitu cepat padam. “Ke museum saja. Mungkin kita bisa temukan jejak kematian di sana.” “Dan kita tetap berjalan tanpa sekali pun berciuman?”

Tak ada ciuman. Museum hanya menyimpan kesedihan. Hanya menyimpan sisa pengembaraan di bungker-bungker penuh ular. “Bagaimana kalau kita belajar mati dari orang yang tersalib di bukit bersalju?” “Bagaimana kalau dari area di pinggir jembatan saja?”

Rupanya kita tak memilih kematian dalam riuh gempa. Rupanya kita memilih kematian dalam riuh senja.

“Sebelum itu, apakah tak sebaiknya kita minum anggur putih saja. Anggur untuk hidup yang brengsek dan sia-sia.” “Setelah itu, apakah kau akan menciumku sekali saja?”

Tidak pernah ada ciuman. Tidak pernah ada kenangan. Waktu mencuri segalanya.

Juga hasrat terakhir mencari makam tua. Makam kita.

2017

Pencurian Sekarung Arloji


Burung-burung malam terbang dari kegelapan bukit
sebelum jembatan-jembatan diledakkan. Sebelum
seseorang disalib untuk kisah-kisah yang diracaukan
di taman-taman.

Saat itu ia memartil pintu kaca
toko tanpa penghuni. Menghancurkan
etalase. Mencuri
dan menenggelamkan sekarung arloji
ke sungai.

Tentu saja masih ada patung-patung iblis
dan singa di gereja. Seluruh kota belum
ditaklukkan. Orang-orang Yahudi
masih bisa bercakap tentang kabut
dan berdiang di keriuhan rumah.

Mungkin kereta-kereta telah berhenti
di stasiun paling sunyi. Mungkin masinis
telah menenggak anggur merah
dan memeluk kekasih. Mungkin
seseorang telah dicekik
dan museum-museum telah ditutup.

Tak ada yang pasti. Lonceng-lonceng
bisa berkeloneng pada pukul lima
dan bukan pada pukul lima. Gerimis
bisa reda pada pukul enam
dan bukan pada pukul enam. Senja
bisa terbakar pada pukul empat
dan bukan pada pukul empat Tak ada
yang pasti. Seseorang bisa memartil
dan tak memartil pintu toko. Menghancurkan
etalase. Mencuri
dan menenggelamkan sekarung arloji
ke sungai.

Apakah waktu mati setelah itu? Apakah
burung-burung terbakar
dan lampu-lampu
dipadamkan?

Ia tak peduli pada apa pun
yang gampang terbunuh.
Ia hanya ingin berdiri di jembatan
memandang Praha yang segera hilang
dari ingatan.

2017

Aturan Sewa Rumah


Menggunakan Kunci
Ia tahu agama hanyalah semacam jeruk. Bukan kunci
untuk membuka rahasia keheningan danau. Karena itu ia tak akan
menggunakan kode angka-angka ganjil untuk memahami
kehendak hujan. Tak akan.

Sarapan
Ia boleh melahap apa pun pada musim dingin. Ia tak boleh makan
apa pun saat tetangga bunuh diri. Pada pukul 8.00 hingga pukul
10.00 bom-bom diledakkan di dekat stasiun. Ia hanya
diperkenankan tidur.

Merokok
Ia berharap bisa melanggar perintah Tuhan kesebelas: merokok.
Tetapi tuberkulosis menghajar sepanjang waktu. Ia pun
mengulum permen dari Rusia dan merasa telah menelan semesta.
Ia tidak keberatan jika Tuhan menciptakan lagi perintah kedua
belas: dilarang merokok pada musim plankton dan ganggang
kawin-mawin sembarangan.

Mencuci
Ia diperkenankan mencuci baju pada malam-malam penuh
serangga. Ia tidak dizinkan mencuci hati dengan salju sembarang
waktu.

Memelihara Anjing
Ia tidak diizinkan memelihara binatang-binatang dari surga,
terutama anjing. Karena itulah ia ingin memelihara kecoa, babi,
dan belut.

Warga Negara
Ia dilarang menjadi Yahudi. Ia tidak boleh belajar bahasa Ibrani.
Ia diperkenankan menjadi monyet. Jika melanggar, ia akan
dibakar hidup-hidup di alun-alun.

2017

Danau Purba


Ia yakin apa pun yang berada di dasar Danau Wannsee adalah surga. Perahu-perahu putih yang ditambatkan hanyalah penjelmaan nabi-nabi terakhir yang mewartakan kebusukan neraka. Adapun burung-burung, angsa-angsa, dan itik-itik yang muncul dari balik kabut tak mempersoalkan apakah mereka berasal dari gua gelap atau bukit-bukit penuh pohon purba berembun.

Sebelum belajar memahami kilau daun-daun linde yang gugur perlahan ke pasir basah, ia tidak pernah berkunjung ke danau mana pun. Ia tidak pernah mengenal ikan-ikan kurus yang berenang sembarangan meskipun hanya dalam fantasi. Danau, baginya, adalah laut kecil yang asing. Hijau. Penuh ganggang yang berebut tumbuh.

Kadang-kadang ia melihat satwa lucu muncul dari keheningan danau. Ia pernah melihat ikan-ikan berkepala singa menyemburkan api ke arah kampung. Kadang-kadang ia melihat tumbuh-tumbuhan serbaungu gugur dari kehijauan langit. Ia melihat bunga-bunga berbentuk unta terbang terbawa angin ke tenggara.

Setelah surga, Tuhan memang menciptakan Praha. Akan tetapi baginya Danau Wannsee lebih dari sekadar surga. Iblis dan anggur sesekali menggoda. Tuberkulosis dan rindu bibir kekasih sesekali merasuk. Tak pernah ada badai kotoran kucing. Tak pernah ada serdadu-serdadu yang mencari Yahudi miskin dan kehilangan senja.

“Sebenarnya Tuhan ingin sekali menciptakanmu sebagai ganggang,” kata Danau Wannsee. “Tetapi aku tak menginginkanmu menjadi tumbuhan yang gampang membusuk. Lalu aku minta Tuhan menciptakanmu sebagai Narsisus tetapi kau lebih ingin menjadi Kafka. Apakah kau kecewa telah menjadi cermin neraka?”

Ia tak pernah kecewa menjadi Kafka. Tetapi ia sangat ingin menjadi danau. Danau tanpa kecoa. Danau tanpa ketakutan. Danau tanpa sinagog. Danau tanpa Sisifus yang berkali-kali ingin menghunuskan pedang ke jantung para dewa yang tak pernah membaca Kitab Kejatuhan Manusia.

2017


Triyanto Triwikromo menulis buku puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015). Selain mempersiapkan novel Metamorkafka, ia juga menganggit antologi puisi Efek K, basil dari residensi sastra di Berlin, Jerman, belum lama ini.

Kutipan Milea: Suara dari Dilan

Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk dimaafkan. (hlm. 97)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Tiap orang menghendaki hubungan persahabatan yang hebat. (hlm. 64)
  2. Tiap orang akan melakukan yang dia suka untuk dirinya. (hlm. 113)
  3. Akan selalu menjadi hal penting di dalam perasaan seorang perempuan untuk membantu pacarnya tumbuh menjadi apa-apa yang sesuai dengan harapannya, yang sesuai dengan keinginannya, dan menjauh dari apa-apa yang akan merusak kehidupannya. (hlm. 175)
  4. Kadang-kadang di dalam hidup ini ada situasi lain yang menjamin sesorang untuk mendapatkan hiburan. (hlm. 198)
  5. Tiap orang punya tempatnya masing-masing. Hanya saling menghargai. (hlm. 282)
  6. Tiap manusia memiliki semacam jalan hidupnya sendiri dengan pilihan pribadinya. (hlm. 288)
  7. Perpisahan harusnya dengan cara yang baik-baik. Tidak meninggalkan masalah yang akan terus mengganjal di dalam pikiran masing-masing. (hlm. 328)
  8. Manusia sempurna adalah justru yang memiliki kelebihan dan kekurangan. (hlm. 353)
  9. Rasa sedih jika ada, itu harus berbatas untuk member peluang munculnya harapan pada hari-hari berikutnya, mengejar impian dan meraih kebahagiaan bersama seseorang yang dapat menghabiskan sisa hidup kita dengannya. (hlm. 356)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Tak ada yang selesai dengan menangis. (hlm. 29)
  2. Terserah mau menjadi orang tua seperti apa dirimu. (hlm. 51)
  3. Jangan datang ke perempuan untuk membuat dia mau, tetapi datanglah ke perempuan untuk membuat dia senang. (hlm. 127)
  4. Jangan nangis, nanti kamu sakit kepala. (hlm. 144)
  5. Kenyataannya manusia secara emosional memang sangat rumit. (hlm. 227)
  6. Kalau tidak ada perlu-perlu amat, tidak akan pergi ke sana. (hlm. 239)
  7. Orang yang egois sebenarnya adalah orang yang paling merasa tidak aman sedunia. (hlm. 241)
  8. Kamu boleh berpendapat apa pun, tapi kondisi manusia selalu dipengaruhi oleh semua jenis dorongan, baik itu pengalaman, emosi, ego, kepribadian, dan tempramen. (hlm. 242)
  9. Sungguh lucu bagaimana kehidupan ini berkembang. (hlm. 263)
  10. Di mana pun kampusmu, itu adalah kampusmu, tetap yang terbaik, orang-orang harus tahu, semuanya adalah romantisme, sisanya adalah perjuangan. (hlm. 268)
  11. Bukan nama kampusnya yang harus dijunjung tetapi ilmu pengetahuannya yang harus disebarkan. Ini menjadi bukan tentang apa yang kaumiliki, tetapi apa yang kau lakukan, di mana pun kau berada. (hlm. 268)
  12. Bagaiamanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan, dan itu adalah perasaan sedihnya, bagaimana kita memulai dari awal dan kemudian mengakhirinya di tempat yang sama. Tetapi mau gimana lagi, kita harus tetap melanjutkan perjalanan bersama keyakinan dan harapan di udara. (hlm. 271)
  13. Tidak perlu ada kecemburuan. Tidak perlu ada penyesalan dengan segala sesuatu yang telah terjadi. (hlm. 283)
  14. Prasangka, betul-betul bisa mempengaruhi keyakinan. Mempengaruhi persepsi dan menimbulkan pikiran negatif. (hlm. 316)
  15. Kalau udah nyangkut perasaan, cowok itu emang manusia yang paling gengsian sedunia. (hlm. 322)
  16. Kalau cowok udah gengsian, jatuh-jatuhnya jadi sombong. (hlm. 322)

Penjaga Sawah

Oleh Anton Dwi Ratno (Suara Merdeka, 28 Januari 2018)
Penjaga Sawah ilustrasi Faris S Madjid - Suara Merdeka.jpg
Penjaga Sawah ilustrasi Faris S Madjid/Suara Merdeka
Patuh suka burung. Bulan ini padi di sawah Pak Mukit hampir panen. Pastilah banyak burung kecil bergerombol makan padi. Padi Pak Mukit bisa gagal panen dilahap burung-burung kecil. Karena itu, Pak Mukit selalu minta Patuh membantu menjaga sawah.
“Hai, Patuh!” teriak Pak Mukit dari kejahuan.
Patuh menoleh pada Pak Mukit dan berjalan di pematang. Lumpur kering terasa menancap-nancap di kaki, tapi Patuh terbiasa menerjang walau tanpa alas kaki. Dengan langkah cekatan, Patuh mendekati Pak Mukit.
“Burungnya banyak sekali, Pak,” kata Patuh sambil memikul gulungan jala dan membawa sangkar.
“Ya begitulah, Patuh,” sahut Pak Mukit.
Pak Mukit berteriak keras, sehingga gerombolan burung berhamburan di udara. Saat itulah Patuh menuju ke tengah sawah, memasang jala. Setelah jala terbentang di kedua sisi sawah, Patuh kembali ke tepi menemani Pak Mukit.
Tak lama kemudian, burung-burung itu kembali mendarat. Beberapa ekor tersangkut di jala. Patuh lari menghampiri jala untuk mengambil dan memasukkan burung itu sangkar yang telah berisi makanan dan minum.
Burung itu nanti akan dia kumpulkan di sangkar lebih besar di rumah. Patuh merawat burung itu sampai panen usai. Lalu, ia melepas kembali di alam bebas.
“Kamu sungguh bijaksana, Patuh,” puji Pak Mukit yang tahu kebiasaan Patuh itu. “Selain membantu Bapak mengurai hama burung, kamu pun peduli pada nasib burung-burung itu.”
Patuh tersenyum sambil menggaruk kepala.
“Oh, itu karena Ayah. Ayah sering mengingatkan, saya tak boleh menyakiti hewan. Hewan juga berhak hidup, Pak.”
“Wah, benar sekali, Patuh!” ucap Pak Mukit.
“Oh iya, Pak, hama kan tidak hanya burung. Bagaimana dengan hama lain?” tanya Patuh.
“Wereng bisa Bapak atasi. Tikus yang biasanya keluar malam, Bapak serahkan pada Seno,” jawab Pak Mukit.
“Seno?” tanya Patuh terkejut sekaligus penasaran.
Setahu Patuh di sekitar tempat tinggalnya tak ada yang bernama Seno. Pak Mukit pun sebatang kara. Lantas siapa Seno?
“Ya, Seno. Dia yang selalu menjaga sawah Bapak pada malam hari. Kalau kamu penasaran, nanti malam datanglah ke rumah Bapak. Bapak perkenalkan pada Seno,” kata Pak Mukit penuh misteri.
“Wah, mau sekali, Pak!” seru Patuh.
***
Malam hari, Patuh ke rumah Pak Mukit tak jauh dari sawah. Di sana, Patuh tak melihat orang lain. Hanya Pak Mukit yang sedang duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi.
“Eh, Patuh. Silakan duduk,” ucap Pak Mukit. “Sebentar, Bapak bawa Seno kemari.”
Dalam sekejap Pak Mukit masuk rumah. Patuh menunggu penuh tanda tanya. Sesaat kemudian Pak Mukit muncul dengan seekor burung hantu nangkring di lengan kanannya. Patuh bangkit.
“Perkenalkan, Patuh. Ini si Seno yang Bapak sebut siang tadi,” kata Pak Mukit.
“Wah! Baru kali ini saya melihat burung sebesar ini, Pak,” seru Patuh.
Seno diam. Matanya yang lebar memandang awas ke sekitar. Patuh sangat senang melihat. Dia mengelus punggung Seno. Meski Patuh orang baru, Seno tak terganggu. Burung itu tak bergerak dari lengan Pak Mukit.
Sesudah Patuh puas mengelus Seno, Pak Mukit menggerakkan lengan kanannya. Tiba-tiba Seno mengepakkan sayap, terbang ke ranting pohon tertinggi. Warnanya yang tadi kecokelatan kini terlihat hitam pekat seperti bayang-bayang di ujung ranting pohon trembesi. Lalu Pak Mukit mengajak Patuh ke sawah, menunjukkan burung kesayangan itu menjaga sawah.
Di sawah, mata Patuh terbelalak melihat Seno melayang-layang di langit gelap mengitari seluruh penjuru sawah. Saat itulah Seno tampak mengembang dua kali lebih besar dari ukuran tubuhnya. Lalu, Seno kembali hinggap di ujung pohon tertinggi. Mengawasi sawah Pak Mukit.
“Begitulah, Patuh, cara Seno menjaga sawah. Matanya yang tajam terus mengawasi sampai pagi buta. Jika melihat tikus, ia akan segera mengusir,” kata Pak Mukit sambil menatap Seno dari kejauhan.
“Luar biasa, Pak! Saya amat bahagia bisa mengenal burung secerdik Seno,” ucap Patuh gembira.
***
Tiba saat panen, hasil panen Pak Mukit melimpah. Pak Mukit memberi Patuh setengah karung beras sebagai rasa terima kasih. Sebab, Patuh telah membantu dan menemani menjaga sawah. Ketika itu pula, Patuh melepas semua burung kecil tangkapan kembali di alam bebas. (58)

Setelah Berbohong untuk Pamit Tidur

Oleh Fahmi Abdillah (Suara Merdeka, 28 Januari 2018)
Setelah Berbohong untuk Pamit Tidur ilustrasi Hery Purnomo - Suara Merdeka.jpg
Setelah Berbohong untuk Pamit Tidur ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Keisya tidak ingat sejak kapan mulai berbohong saat pamit tidur. Itulah ritual yang orang tuanya ajarkan sejak dia kecil, sesaat setelah semua kewajiban sebagai anak dan pelajar ia kerjakan. Yang ia ingat dan yakini, ia mulai berbohong untuk pamit tidur semenjak mengenal pria berkacamata itu di kelas II SMA.
“Eh, dia baru ya?” bisik Keisya pada teman sebangku waktu perkenalan pertama kala itu. Sebelum mengenal pria itu, pamit tidur merupakan kegiatan menyenangkan.
Setelah lelah atas rutinitas, Keisya akan mengakhiri hari dengan meminum segelas susu, mencium tangan Mama, meninju perut buncit Papa, dan dengan mata sayu berkata, “Keisya pamit tidur dulu ya, Ma, Pa.”
Setelah mengenal pria berkacamata itu, ritual pamit tidur selalu menjadi kebohongan gadis berparas cantik, berkaki jenjang, dan berambut panjang itu. Hingga Keisya pernah meminta pada Tuhan agar menghapus malam, karena menganggap waktu yang manusia gunakan untuk tidur tidak pernah lagi membiarkan dia beristirahat dengan tenang.
Seperti malam-malam sebelumnya, Keisya menjatuhkan diri di atas kasur tanpa ranjang yang tak lagi empuk. Keisya menggiring badan pada lelah dan mengajak pejam menyambangi mata.
“Ah! Lagi, bayanganmu datang lagi.”
Siswi salah satu sekolah terkemuka di Semarang itu mengubah posisi tidur dari telentang ke miring. Menyalakan telepon genggam, membuka galeri dan memandang wajah laki-laki yang muncul di layar. Hanya sekilas. Kembali menekan tombol lock. Keisya tak pernah tahan lama-lama memandang foto pria itu.
“Aku harus bagaimana?”
Tubuh gadis itu kembali telentang. Gadis yang memiliki bulu mata lentik itu kembali terpejam. Menangis tanpa suara. Hanya linangan air mata sebagai pertanda.
Begitu banyak pertanyaan membebani batin dan pikir gadis yang esok nanti resmi meninggalkan seragam putih abu-abu itu. Pertanyaan yang selalu ia awali dengan kata kenapa.
“Kenapa kau harus memiliki karakter semacam itu?” batin Keisya, mengingat kembali saat perkenalan pertama di kelas. Keisya sadar, pria itu begitu periang dan menyenangkan.
“Perkenalkan nama saya Adi Anggoro. Ingat, Anggoro, bukan Anggora. Saya masih nyaman dianggap manusia. Belum berminat menjadi kucing. Ha-ha-ha.”
Waktu itu sebagian besar siswa di kelas tertawa lepas, termasuk Keisya. Seiring perguliran waktu, Keisya tahu perkenalan itu tak hanya melepas tawa, tetapi juga hatinya.
“Kenapa kau harus begitu pandai merangkai kata?” ujar Keisya dalam hati.
Kata dan kalimat mengalir begitu saja dari otaknya, saling terhubung, menyatu, memuara menjadi lautan puisi, prosa, dan karya sastra dalam bentuk lain. Aneh, walau berkesan serampangan, semua karya yang ia ciptakan selalu indah.

Namaku rindu
aku lahir dari jarak
ajalku oleh pertemuan
makamku di peraduan.

Keisya masih begitu ingat puisi indah berjudul “Biografi Rindu” dari pria berkacamata itu.
“Kenapa kau harus begitu hebat dalam bersahabat?” Itu pertanyaan selanjutnya. Laki-laki itu sangat pandai bersikap. Menjadi sahabat semua orang. Semua murid sekolah Keisya mengenalnya. Bertutur sapa dan berbincang dengan pria berkumis tipis itu merupakan pengalaman menyejukkan. Dia selalu menjadi pendengar yang baik untuk orang yang membutuhkan telinga.
Ramah kepada siapa pun. Senyumnya selalu terpasang di wajah, seakan hanya itu ekspresi yang dia miliki. Tak hanya siswa, guru, atau pegawai tata usaha. Kepala Sekolah yang terkenal sangat ganas pun pernah menepuk bahunya sambil tertawa.
Keisya beranjak, yakin matanya tak akan terpejam bila gagal mengendalikan emosi malam ini. Kaki jenjang dalam kamar 4 x 4 meter itu melangkah mendekat dan berhenti di depan meja rias. Di dalam cermin ia menemukan mata yang sembap dan layu.
“Hei, besok perayaan kelulusan kelas XII. Kau harus gembira,” perintah Keisya pada sosok dalam cermin.
Keisya mengalihkan pandangan ke pintu. Di sana tergantung gaun berwarna hitam yang akan ia pakai besok pagi. “Kau pasti terlihat memukau memakai ini, Sya,” kata mamanya minggu lalu di butik langganan keluarga.
“Warna hitam yang berbanding terbalik dengan kulitmu justru akan membuatmu makin bersinar,” ujar wanita separuh baya pemilik butik itu memberikan argumentasi agar Keisya mengiyakan gaun pilihan mamanya.
Gadis berambut tebal, panjang, dan hitam itu berusaha membayangkan betapa cantik ia esok pagi. Namun gagal. Keisya tak tahu harus memasang ekspresi macam apa ketika tiba pada acara perpisahan nanti. Yang pasti akan sangat sulit bagi dia membacakan pidato perpisahan sebagai wakil kelas XII, walaupun sudah memegang teks.
“Mana mungkin aku bisa membaca pidato dengan baik jika apa yang kubaca berlawanan dengan keinginan hatiku?” ratap dia. Kembali dia memandang wajah sedih dalam cermin.
Keisya terpilih mewakili kelas XII membacakan pidato perpisahan bukan tanpa sebab. Ia sadar predikatnya sebagai juara lomba pidato tingkat pelajar se-Kota Semarang tahun lalu.
“Kei, saat perpisahan nanti kamu membuat naskah pidatomu kan?” tanya pembina OSIS itu, tanpa menanyakan kesediaan Keisya terlebih dulu.
“Eh, nanti yang membacakan siapa, Pak?”
“Kamu dong. Siapa lagi?”
“Saya buat saja, Pak. Nanti tolong Bapak koreksi ya?”
“Iya. Sip,” Pak Anggoro berkata sembari mengacungkan ibu jari dan segera berlalu.
Huh! Kalau bukan karena semangat menemani dalam setiap latihanku, aku tak akan memiliki kesempatan berdiri di podium juara tahun lalu. Keisya mengingat kembali bagaimana pria berkacamata dan senyum indah itu menemani dia berlatih pidato.
“Kei, kamu punya warna suara bagus. Kamu juga paham bagaimana mengolah vokal. Aku yakin, tak ada siswa lain di kota ini yang akan menjadi juara pada lomba pidato minggu depan.”
Hanya senyum yang saat itu Keisya lontarkan untuk membalas pernyataan pria itu. Keisya mengurai kembali setiap kenangan dua tahun terakhir di sekolah menengah. Keisya menyadari, pada setiap helaan napas dalam atmosfer gedung bernama sekolah, pria itu telah menjadi oksigen bagi dia.
“Kenapa harus kamu yang memiliki semua itu?” Pertanyaan itu kerap terulang dalam batin Keisya.
Pertanyaan yang selalu muncul dalam setiap kesendirian setelah berbohong untuk pamit tidur.
Sudah dua jam setelah Keisya berbohong untuk pamit tidur. Sudah banyak pula pergantian posisi dan tempat ia lalui.
Telentang di atas kasur, tidur miring di atas kasur, duduk di pinggir kasur, duduk di kursi depan meja rias, duduk di meja rias, dan yang menjadi pilihan terakhir ia akan duduk membenamkan tangis di sela kedua lutut yang ia peluk.
“Jika saja semua karakter yang kau miliki itu milik orang lain, tentu aku tak akan sejatuh cinta ini padamu,” bisik Keisya pada kedua lutut. Dia menganggap kedua bagian tubuhnya itu memiliki mulut. Mengharap keduanya memberi sahut.
“Malam ini, aku tak bisa tidur lagi. Aku bohong lagi,” Keisya masih berbisik pada kedua lutut. Bagian tubuh yang paling dekat dengan mulut.
“Kenapa semua yang kuharapkan dari seorang laki-laki harus kau yang memiliki? Seorang guru bahasa Indonesia yang sudah beristri.” Keisya masih bergumam pada lutut. Kakinya yang menekuk makin erat dia peluk.(44)

* Puisi “Biografi Rindu” saya pinjam dari sang penulis, Danang Cahya Firmansyah.

– Fahmi Abdillah, alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang, guru Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Semarang.