Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cerpen Muhammad Husein Heikal (Kedaulatan Rakyat, 05 November 2017) Lelaki Penunggu Sabtu ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
Sabtu. Hari yang selalu dianggap terakhir sebelum Minggu. Atau Sabtu
memang merupakan hari terakhir dalam sepekan, bila Minggu dihitung
sebagai hari pertama. Namun kita sama-sekali tak usah mempersoalkan itu.
Sebab bagaimanapun, Sabtu selalu disebut sebagai akhir pekan.
Akan tetapi, Sabtu bukan sekadar akhir pekan biasa bagi lelaki itu—atau tepatnya lelaki penyair itu.
Di pagi yang baru saja lahir, lelaki itu baru saja kembali menidurkan
mimpinya. Ia bangkit dari matras, menata kembali letak selimut dan
bantalnya. Kemudian membuka sedikit celah jendela kayu disisi utara.
Seketika ruang kamar kecil itu menjadi benderang. Cahaya ultraviolet
menembus bersama kehangatannya. Lelaki itu, atau lelaki penyair itu
sama-sekali tidak tahu sekarang jam berapa.
Hanya satu yang ia sadari saat ini, hari ini adalah Sabtu.
Lelaki itu menghidupkan smartphone-nya. Menatap layarnya, menunggu-nunggu barangkali ada notifikasi masuk. Semenit berlalu, secara otomatis layar smartphone itu menggelap kembali. Ya, sama-sekali tak ada kabar hari ini. Kabar gembira maupun kabar tidak gembira.
Ia pandang-pandangi smartphone yang baru dibelinya tiga bulan lalu. Harganya cukup mahal, baginya. Hampir setara dengan harga notebook baru berspesifikasi rendah. Ia lebih memilih membeli smartphone, daripada memperbarui notebook-nya yang sudah dipakai sejak SMA. Sebab menurutnya, notebook itu masih cukup bagus, dan masih tahan untuk digunakan sehari-harinya. Apalagi, notebook itu hanya ia gunakan untuk mengetik tulisan—puisi-puisi, tepatnya—dan kemudian mengirim tulisan itu melalui email. Ya, itu saja.
Alasan ia membeli smartphone cukup sederhana: agar mudah mengecek e-paper
koran. Sebagai seorang yang bergelut di dunia kepenulisan, ia
beranggapan tentu harus rutin dan aktual mengecek berbagai koran yang
terbit di berbagai sudut kota. Tidak hanya koran ibukota, koran-koran
yang tak terdata di dewan pers pun ia cek setiap hari. Kegiatan ini
setiap hari dilakukannya.
Inilah yang menyebabkan seorang mahasiswi tertarik pada keanehannya. Di awal-awal masa perkenalan mereka—ketika smartphone
itu belum terbeli—senantiasa keheranan melihat lelaki itu mengapa
selalu membawa koran ke kampus. Meski mahasiswi yang kini menjadi
pacarnya itu tak sempat beranggapan, bahwa lelaki itu adalah penjaja
koran keliling.
Dari sekian banyak koran yang terbit, hampir setengah di antaranya
pernah memuat nama lelaki ini, tentu saja beserta karya puisi-puisinya.
Namun, dari semua itu ada dua koran nasional berkaliber, tentunya, yang
memuat rubrik puisi di setiap hari Sabtu. Dua koran ini sudah lama
menjadi incaran dirinya—dan tentu para penyair sebayanya—lewat karya
puisi. Sudah entah berapa kali, yang jelas lebih dari bilangan belasan,
ia mengirimkan puisi-puisinya ke koran-koran itu. Namun sampai saat ini
ia belum berhasil, sama-sekali.
Terkadang, ia membayang-bayangkan namanya di koran itu. Dilengkapi
lukisan ilustrasi, dan di bawah puisi-puisinya itu bakal tertulis
biodatanya yang singkat. Sering pula ini menjadi mimpi yang menghiasi
tidurnya. Ia terbayang, puisi manakah yang bakal dimuat sang redaktur
tersebut. Bila puisi ini kira-kira di sebelah sinilah letaknya yang
bagus. Dan ilustrasinya dapat diperkecil sedikit, dan..dan.. itu semua
hanya angan.
Hari ini Sabtu. Ya, hari yang ditunggunya itu kembali berkunjung.
Lelaki itu begitu setia melakukan ritual hari Sabtu-nya. Bangun,
bangkit, menatap smartphone, dan—seperti biasa—kembali kecewa. Tak jarang ia menelan ludah.
Akan tetapi, kali ini, di Sabtu pengujung bulan ini, ia merasakan
sesuatu yang berbeda. Semacam sesuatu yang menggairahkan, baginya. Ya,
kali ini ia kembali mematikan smartphone-nya. Kemudian membuka lipatan notebook-nya, dan menuliskan sebuah cerita tentang itu. Dan cerita itu kini sedang Anda baca…
Medan, 2017
Muhammad Husein Heikal, lahir di Medan, 11 Januari 1997. Cerpen dan puisinya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris. Termuat pula dalam buku Merindu Tunjuk Ajar Melayu (Riau Pos 2015), Perayaan Cinta (Puisi Inggris-Indonesia 2016), Pasie Karam (Temu Penyair Nusantara 2016), Cinta yang Terus Mengalir (Taaruf Penyair Muda Indonesia 2016), Matahari Cinta Samudra Kata (Hari Puisi Indonesia 2016), dll.
Cerpen Rizkia Hasmin (Pikiran Rakyat, 05 November 2017) Ketegangan Ini ilustrasi Zesika H Kamilah/Pikiran Rakyat
KAU memesan segelas latte, ketika dari balik dinding kafe yang
jernih, matahari tampak merosot. Kafe itu persis menghadap laut. Saat
langit menyibakkan lembayung, cahayanya jatuh tepat ke permukaan kaca,
membiaskan semburat kuning keemasan pada seisi ruangan. Suara ombak
mengempas bibir pantai menambah sejuk suasana hatimu sore itu. Dari meja
barista, seorang pelayan muncul membawakan kopi susu dengan sedikit
lapisan busa di permukaannya. Terlihat lembut dan menggoda.
SEBULAN lalu ayahmu menelepon. Rematiknya kumat lagi. Katanya, dia
akan mengunjungimu dalam waktu dekat. Dulu, ayahmu selalu pulang
seminggu sekali. Jika rematiknya kumat, kau akan membuatkan ramuan dari
jahe. Dua potong jahe kau panggang di atas bara api, lalu kautumbuk dan
kauoleskan pada kaki ayahmu yang sakit. Tapi semenjak perusahaan tempat
ayahmu bekerja menugaskannya pindah ke Sulawesi, kau kian jarang bertemu
dengannya. Sudah enam bulan ayahmu tak pulang Semoga rematik ayah tak
kambuh lagi, katamu sekali waktu. Telefon selulermu menjerit. Kaulihat
di layamya ada panggilan masuk.
“Halo, lagi di mana?”
“Di kafe, dengan segelas latte dan…”
“Sudah! Jangan teruskan! Nanti aku jadi….”
“Jadi apa?” kau tertawa menggoda. Kau tahu dia tak akan tahan dengan godaan senja.
“Tidak! Aku hanya….”
“Hanya?”
“Minggu depan barangkali aku akan sibuk.”
“Ed, ada apa?!” kau bertanya.
“Ada urusan yang harus kuselesaikan.”
“Maksudku, kamu hanya ingin apa?”
Dia tertawa mendengar perkataanmu yang terkesan serius. Tawanya
terdengar renyah di telingamu. Kau suka saat dia tertawa. Setiap
mendengar tawanya, kau merasa nyaman.
“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.” Ucapannya terdengar sungguh- sungguh di telingamu.
“Aku bisa jaga diri. Aku akan baik-baik saja. Sudah ya! Kamu kan tahu aku….”
“lya, iya,” potongnya cepat. “Selamat menikmati senja.”
Dia lelaki yang kaukenal dua tahun silam. Saat itu kau duduk di meja
yang sama di kafe itu. Menikmati segelas latte dan suasana senja yang
menawan. Semenjak ayahmu bekerja di Sulawesi, hidupmu mulai terasa sepi.
Seharian kau hanya di rumah. menggelesot di sofa, menonton acara reality show
di televisi atau membaca buku-buku fiksi kesukaanmu. Dan seminggu
sekali duduk di kafe itu, menikmati keindahan senja. Selebihnya tak ada
yang menarik bagimu. Tubuhmu hanya dipenuhi ruang-ruang kosong.
Kemudian dia datang.
Perlahan ruang-ruang kosong itu mulai terisi oleh kehadirannya. Kau
suka tatapannya yang lembut dan cara bicaranya yang terkesan serius,
namun tidak pernah membuatmu merasa bosan.
Kau masih ingat saat dia memandangmu. Posisi dudukmu cukup jauh
darinya, namun saling berhadapan. Ia selalu memandang ke arahmu. Kau
bahkan sedikit kikuk oleh tatapannya. Kemudian ia menghampiri, duduk
semeja denganmu. Kau masih ingat percakapan saat pertama kali bertemu
dengannya.
“Kamu keberatan jika aku duduk di sini?”
Awalnya kau takut membuka diri untuk seseorang yang belum kaukenal.
Tetapi sorot matanya membuatmu percaya bahwa sifat seseorang bisa
dilihat dari cara dia memandang. Saat menatapnya, kau percaya dia lelaki
yang baik.
“Sebenarnya aku lebih suka sendiri, tapi kalau kamu ingin duduk aku
tidak keberatan.” Dia tersenyum mendengar jawabanmu, kemudian memesan
espresso.
“Kamu sering ke sini?”
Dia mencoba membuka obrolan saat kau tengah asyik memandang matahari
yang perlahan mulai merosot. Tujuanmu ke kafe itu tak lain hanya untuk
menyaksikan mata-hari tenggelam.
“Sepertinya kamu begitu menikmatinya,” sambungnya.
Kau sedikit kaget atas ucapan dan tingkahnya yang kaku. Kau menoleh, lalu membalas ucapannya.
“Kamu lelaki pemberani.”
Dia tertawa, “Ya. lelaki yang mencoba berani. Oya, aku, Ed.”
Itulah percakapan pertamamu dengannya. Kemudian percakapan itu terus
berlanjut hampir setiap minggu di kafe yang sama. Kedekatanmu dengannya
semakin hari semakin hangat. Bagimu dia adalah lelaki yang sangat
berani. Hingga suatu malam, kau larut dalam mabuk asmara yang
menggebu-gebu.
Langit dipenuhi geriap cahaya. Udara dingin menyeruak melalui jendela
yang terbuka. Di sana, sepasang kekasih tengah dilanda asmara.
“Aku mencintaimu, Ed.”
“Ya, aku tahu, kamu tidak perlu mengatakannya.”
“Kamu akan setia, Ed?”
“Apa kamu meragukan kesetiaanku, Sita?”
“Sejak pertama kali menatapmu, aku percaya kamu lelaki yang setia.”
“Kalau begitu, kamu tidak perlu menanyakannya lagi.”
“Aku mencintaimu, Ed.”
“Ya, aku tahu itu. Kamu mabuk Sita, sekarang tidurlah!”
Malam semakin memagut. Tapi, udara dingin tak sanggup memberi gigil pada seasang kekasih yang dimabuk asmara.
***
SEMINGGU kau kehilangannya. Dia tidak memberimu kabar, nomor
telefonnya tak bisa dihubungi. Pikiran buruk seketika merebak. Kau
khawatir dia akan pergi. Tapi akhirnya, dia menelefonmu, katanya dia
sedang berada di luar kota. Bukankah dia pernah mengatakan kepadamu
bahwa dia bekerja di sebuah hotel di kota lain, dan sebulan sekali
datang menemuimu. Dia selalu membawakanmu sebuah buku dan beberapa
rangkaian bunga kesukaanmu. Lalu kalian akan mengunjungi kafe tempat
pertama kali bertemu. memesan latte dan espresso sembari menyaksikan
matahari tenggelam. Kalian sepasang kekasih yang menyukai senja.
***
MATAHARI sudah sepenuhnya tenggelam. Tapi masih ada sedikit sisa
cahaya kuning berpelitur, selebihnya hanya ombak yang terus menyapu
pantai. Sayup-sayup. mengalun Ligh As A Feather dari Return To
Forever feat Chick Corea. Jazz memang selalu menarik untuk didengar, kau
membatin. Kau begitu hapal dengan lirik lagu itu. Tanpa sadar mulutmu
ikut menirukan suara perempuan yang terdengar merdu itu.
Telefon selulermu menjerit lagi. Sebuah panggilan masuk.
“Sayang, lusa ayah akan pulang.”
“Bagaimana dengan pekerjaan ayah?”
“Ayah dapat cuti satu bulan dari perusahaan. Jadi ayah akan pulang. Apa kamu baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja.”
“Baiklah. Besok ayah telefon lagi.”
Hening. Suasana mulai sepi. Hanya satu dua meja yang masih terisi
pengunjung. Saat itu kau hanya ingin segera berada di rumah. Perasaan
gelisah mulai menyerang pikiranmu. Kau bingung, apa yang mesti kau
lakukan? Kau tak ingin ayahmu kecewa. Kau tak ingin ayahmu mengetahui
bahwa janin yang ada di rahimmu adalah buah dari hubungan yang tidak
resmi. Kau sangat takut.
Kau segera meninggalkan kafe. Kaupacu mobil dengan pikiran-pikiran
yang terus berkelebat di kepala. Saat itu kau hanya butuh kekasihmu.
Jika dia ada di sampingmu, kau pasti tak akan serisau ini. Sesampainya
di rumah, kau bngsung menghambur ke tempat tidur. Segera kauraih telefon
seluler.
“Ya, halo.”
“Apa kamu sibuk?”
“Tidak, Sayang. Ada apa?”
“Kita mesti segera menikah!”
“Tenanglah, Sita! Apa kamu sedang mabuk?”
“Tidak. Aku hanya ingin kamu segera menikahiku.”
“Ya, tentu kita akan menikah. Bukankah aku pernah mengatakannya.”
“Lusa, ayah akan pulang. Kita harus segera bicara.”
“Ya, besok aku akan menemuimu. Tapi kamu harus tenang. Sudah ya, jangan menangis.”
“Aku sayang kamu, Ed.”
“Ya, aku tahu itu. Sekarang kamu harus tidur!”
Obrolan berakhir. Ada sedikit rasa lega dalam hatimu. Kau berusaha
agar segera tertidur. Tapi pikiranmu masih berkelebat. Membayangkan
pernikahan dengan lelaki yang sangat kaucintai.
Dalam risau, bibirmu melengkungkan senyum. Tapi matamu kini sudah
sepenuhnya terpejam. Sementara di sudut ruangan di kota lain, kekasihmu
juga tampak risau setelah menutup telefon darimu. Ia berjalan ke kamar,
ingin segera tidur.
“Telefon dari siapa?” tanya seorang perempuan yang berbaring di tempat tidur.
“Ada tugas dari kantor, besok aku ke luar kota lagi.”
“Kok mendadak begitu?”
“Aku juga tidak tahu.”
“Bagaimana dengan Aya? Besok hari pertamanya masuk sekolah.”
“Besok pagi aku yang akan mengantar Aya ke sekolah. Sekarang
tidurlah!” dia mengecup kening perempuan itu. Sebentar hening. Sekilas
membayang wajah polos Sita dalam kantuknya. ***
Cerpen Ken Hanggara (Tribun Jabar, 05 November 2017) Warisan Terakhir Kolektor Gigi ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
CUKUP lama juga Brenda menjadi kolektor gigi. Ia mengaku mendapat
banyak gigi ketika masa perang masih berlangsung. Itu bertahun-tahun
lalu, ketika dia masih sangat muda, karena sekarang kami sudah
menyebutnya bau tanah.
Orang-orang tidak suka Brenda. Dari dulu hampir selalu begitu. Brenda
penganut aliran sesat, Brenda si pemuja setan, dan lain-lain. Tuduhan
serius tidak pernah Brenda masukkan hati. Sejak muda sudah tidak punya
banyak teman, dan saat tubuhnya menua, kurasa ia tidak lagi memiliki
teman, kecuali aku.
“Mereka hanya tidak betul-betul mengerti,” katanya selalu, ketika ada
yang cukup dekat dengannya mengingatkan akan kebencian semua orang
terhadapnya. Brenda tidak pernah cemas memikirkan itu.
Ada masa ketika Brenda memiliki dua atau tiga orang pengingat, yang
artinya dia masih memiliki setidaknya tiga orang yang dianggap dekat
dengannya. Aku masih amat muda waktu itu, dan tentu saja aku tidak perlu
menghabiskan waktu mampir ke rumah janda itu demi mengingatkannya soal
kebencian.
Ketika semua orang mati, yang kemudian hanya aku tersisa untuk
kehidupan sosok Brenda sang kolektor gigi, tugas-tugas mengingatkan
jatuh ke tanganku. Tugas ini tidak terlalu penting sebenarnya, dan
bahkan Brenda sendiri tidak membuat semacam tulisan agar sesoorang
bertugas mengingatkannya, kemudian menyiapkan bayaran uang dengan jumlah
tertentu untuk itu.
“Terserah saja kalian maunya apa. Datanglah sesuka hati ke rumahku
dan bicaralah apa yang menurut kalian perlu.” Kurasa kalimat Brenda yang
satu itu dianggap sebagai izin bagi siapa pun untuk dapat mengabdi
padanya dengan ikhlas. Tentu saja Brenda tak pikun, dan ia tahu
bagaimana setiap orang di kawasan itu membencinya karena gigi-gigi
manusia tidak selayaknya dikoleksi. Tenlu saja, “mengabdi” di mata
orang-orang yang juga menyukai Brenda, seperti halnya diriku, berarti
adalah membuatnya selalu ingat dan waspada.
Brenda bukan berhenti setelah tahu orang pertama mengumumkan
kebencian pada aktivitas sang kolektor gigi. Jasad-jasad tak dikenal
sering ditemukan semasa perang. Di sekitar situ ada banyak sekali
pendatang yang tidak jelas identitasnya, dan tentunya tak jelas pula
siapa keluarga mereka. Para imigran gelap, yang takut ketahuan
kedatangan mereka adalah tindakan ilegal, merasa cukup dengan hanya
berdoa saja, jika memang di keluarga mereka ada yang tewas terbunuh dan
ditemukan di jalan, sebelum kemudian masuk ke kamar jenazah. Brenda
punya hubungan spesial dengan pengurus jenazah di salah satu rumah
sakit, sehingga dengan begitu, ia mudah mendapat beberapa bilah gigi
dari seonggok mayat yang keluarganya takut mendapat masalah karena telah
melanggar hukum perbatasan.
Brenda tidak ingin berhenti, dan malah membuka museum gigi, dengan
sejarahnya masing-masing dan ditulis oleh tangannya yang lembut, dan
setiap tulisan dipajang di bawah sebilah gigi yang sudah dibersihkan dan
ditata di suatu kotak dari kaca. Setiap bilah gigi memiliki cerita
menarik, dan semua itu seakan-akan pernah terjadi di masa lalu.
“Seperti gigi yang ini,” kata Brenda kepada salah satu pengunjung.
“Seorang jenderal pernah nyaris mematahkannya, tapi si pemilik gigi
memakai pelindung sehingga ia bisa kabur bersama giginya. Hari ini,
semua orang tahu bahwa suatu ketika gigi ini nyaris hilang ke muka bumi
kalau tidak pemiliknya terlalu cerdas. Pada saat itu, ia menantang
seorang jenderal demi cinta gadis penjual kue.”
Setelah menjelaskan itu, Brenda menunjukkan sejarah tertulis soal
sebilah gigi. Dia membuatnya seolah nyata dan beberapa orang percaya.
Aku sendiri tidak percaya dan mengira Brenda tukang dongeng andal. Suatu
hari ia harus menulis novel, kataku kepada salah satu orang
terdekatnya. Suatu hari ia memang harus menulis sesuatu agar dapat lebih
banyak uang ketimbang sekadar menjadi kolektor yang membuka museum
gigi.
Yang kudengar setelah itu adalah sejarah Brenda sendiri. Bahwa ia
memang dapat membaca sejarah benda-benda. Orang terdekat Brenda tidak
terima kuanggap remeh cerita-cerita setiap gigi yang dia tulis, dan
mereka berkata dengan nada yang sangat tak wajar, “Sebaiknya kamu pergi
saja, atau sekalian bunuh Brenda diam-diam. Kami tidak akan
membiarkanmu!”
Sejak itu aku tahu, Brenda bukan orang sembarangan. Ia membuktikan
itu dengan rasa sayangnya kepadaku. Ia mengajakku masuk ke ruangan
pribadinya, yang tak setiap orang kepercayaan mendapat kepercayaan ini.
Bahkan, mereka yang cukup sering mengingatkan Brenda akan kebencian di
luar sana yang sewaktu-waktu bisa membunuh sang kolektor belum tentu
mendapat kepercayaan ini.
Brenda mengisahkan padaku sejarah benda-benda di ruangan pribadinya.
Aku tidak bisa membantah kebenaran yang ia ungkap dari sepatu bututku.
Bahkan, kancing bajuku yang tidak berarti pun, ia tahu bukan berasal
dari baju yang kukenakan.
“Aku tahu dulu kamu mencurinya dari rumah tukang jahit, yang pernah
meledek ayahmu tukang main perempuan. Karena kamu tersinggung, kamu curi
banyak sekali kancing baju. Dan umurmu waktu itu masih enam tahun.
Bayangkan, bocah enam tahun sudah tahu konsep dendam. Kamu benar-benar
istimewa.”
Kedekatanku dengan Brenda pun terjalin. Itu terjadi bukan karena aku
tahu Brenda memang mampu menelusuri sejarah benda-benda, terutama gigi
yang dia koleksi, tetapi juga karena kebencian di luar mulai
membahayakan diriku. Orang-orang kepercayaan yang biasa menjadi
pengingat mati satu per satu. Aku masih terlalu muda dan tidak ada yang
menganggapku penting, tapi Brenda tahu aku mungkin satu-satunya ahli
waris yang tepat.
Brenda mengaku punya suatu cara untuk melindungi diri. Jika setiap
warga di desa dan bahkan seluruh kola dapat membunuh orang-orang
terdekat, mereka tidak akan bisa membunuh Brenda sendiri. Aku tidak tahu
bagaimana bisa begitu, sampai kudengar ada yang tidak beres di belakang
malam itu. Brenda duduk di meja dapur sambil menunduk dan wajahnya
tampak sangat biru.
Brenda menyuruhku bersembunyi, dan kupatuhi sarannva. Aku bersembunyi
dalam ruang bawah tanah selama hampir dua puluh empat jam. Pada saat
itu perang sudah usai selama setahun lebih, dan museum yang Brenda buka
sudah beroperasi selama nyaris setahun, tetapi aku merasa
getaran-getaran dahsyat di atas mengakhiri segalanya. Aku pikir, Brenda
telah tewas. Mungkin museum yang ia dirikan tepat di samping rumahnya
sudah roboh dan tidak ada lagi yang memberiku tempat tinggal.
Aku keluar setelah kondisi mulai tenang, dan ketakutan tak dapat lagi
mencegahku menghirup udara segar. Di sana kutemukan Brenda di rumah dan
dapurnya yang masih utuh. Seluruh desa hancur lebur dan rata dengan
tanah. Aku tidak tahu apa yang Brenda lakukan, tapi ia bilang, “Ini demi
siapa pun yang percaya sejarah yang paling tak berarti, sebenarnya
adalah sejarah paling berarti.”
Brenda mengeluarkan beberapa bilah gigi dari orang-orang yang
menentangnya. Ia memberikannya kepadaku sebagai warisan terakhir, sebab
menurutnva, aku bisa menguak sejarah paling berarti di tempat lain.
“Lalu, bagaimana denganmu, Brenda?”
“Di sini aman. Tidak ada lagi yang membenciku, dan tidak ada juga
yang berniat merobohkan tempat ini. Tentu saja museumku masih buka bagi
para pendatang dari kota yang mau belajar sejarah. Ingatlah, gigi adalah
unsur penting dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya gigi, manusia tidak
akan bisa menikmati hidup. Pcrcayalah, karena kalau kamu sudah tua,
kamu akan membuktikannya.”
Brenda lantas menjelaskan bahwa mereka yang membencinya, yang
menuduhnya sebagai penganut aliran sesat, pemuja setan, dan entah
apalah, hanya orang-orang yang tidak pernah benar-benar bisa menghargai
kehadiran gigi.
“Sesuatu yang dianggap kecil bukan berarti tidak bisa jadi berarti, Nak.”
Sejak itu aku tinggal di kota lain, dan sesekali mampir ke tempat
Brenda yang aku tahu tidak berkembang seperti yang Brenda harapkan.
Museumnya ia tutup di tahun kedua belas, dan rumahnya diubah menjadi
peternakan lebah sejak hari penutupan itu. Di museum yang kudirikan,
pada akhirnya semua gigi dan sejarah mereka masing-masing menetap hingga
kini.
Brenda dapat membaca waktu, tetapi tidak mampu mengontrol takdir.
Segala yang terjadi sepenuhnya berada di luar kuasa Brenda. Sebab, ia
memang bukan Tuhan. Orang yang dahulu membencinya juga tidak dapat
mengontrol takdir. Sejarah, betapapun kecil di mata manusia, toh tidak
akan pernah benar-benar hilang.
Gempol, 2010-2017
Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni
1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV.
Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).
Cerpen Agit Yogi Subandi (Lampung Post, 05 November 2017) Warisan Antoni ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
“SERATUS hektare tanah kebun kelapa sawit dan uang sebesar Rp 500
juta untuk perawatan kebun tersebut selama dua bulan ke depan,” ucap
Notaris Kadarsyah jelas dan lantang. “Dan ini uang dan surat-menyurat
yang berkaitan dengan tanah dan kebun tersebut.”
Antoni terdiam lalu tertawa kecil saat melihat amplop berisi uang serta berkas-berkas di dalam kardus di depannya.
“Ini benar-benar aneh dan tidak masuk akal,” dia mencoba menjelaskan.
“Jika jumlah uang itu dua miliar, seseorang bisa membeli mobil, pergi
berlibur ke pantai atau berbelanja di sebuah kota dan berinvestasi di
reksadana. Uang sejumlah itu membuat orang banyak berpikir
menggunakannya.”
“Kan, kamu sudah mendengar sendiri, apa yang sudah diwasiatkan paman
kamu,” lanjut Notaris Kadarsyah dengan nada yang lebih berwibawa. “Saya
sebenarnya kurang yakin, apakah kamu memperhatikan detail-detail dari
apa yang saya bacakan tadi, tapi saya harus mengingatkan kamu satu hal
inti dari wasiat ini. Kamu diharuskan memberikan kami catatan atas
penggunaan uang itu, dan haruslah digunakan untuk perawatan kebun-kebun
tersebut. Begitulah keinginan dari wasiat tersebut. Saya yakin kamu bisa
mengikuti kehendak Bapak Tamrin Ilhamsyah almarhum, paman kamu.”
“Bapak dapat memercayai saya,” kata Antoni, dengan nada sopan.
“Meskipun merawat kebun yang sudah bertahun-tahun tidak diurus itu,
membutuhkan biaya lebih dari apa yang diberikan, dan saya sangat tidak
pandai dalam hal ini.”
Antoni pergi ke sebuah warung menemui Nasrudin, yang biasa ia panggil Angkel Nas.
Nasrudin seorangyang kalem, usianya sekitar lima puluh tahun dan
orang-orang menemuinya kalau ada perlu saja. Dia selalu berada di sudut
warung itu, membaca koran dan ketika melihat Antoni mendekat, ia
langsung melengos dan melenguh, melipat korannya dan mengangkat gelas
kopinya kemudian meneguknya sedikit.
“Angkel Nas,” kata Antoni sambil memegang gelas kopinya.
Angkel Nas melihat ke arah Antoni dan menaikkan alisnya lalu kembali
meminum kopinya kembali, sedikit. “Apa cerita?” tanya Angkel Nas.
“Aduh, ini sungguh cerita yang aneh.”
“Saya harap kamu menceritakan cerita kamu itu ke teman-temanmu, bukan ke saya.” ujar Nasrudin. “Cerita kamu itu aneh-aneh.”
“Ini lebih aneh dari biasanya,” Antoni mengambil pisang goreng di
meja. “Dan Angkel saya harus ceritakan ini kepada Angkel. Terlalu sedih
dan sekaligus tidak masuk akal. Saya baru saja dari kantor notaris yang
memegang surat wasiat dari paman saya yang sudah meninggal. Saya
diwariskan olehnya 100 hektare tanah kebun kelapa sawit dan sejumlah
uang sebesar Rp 500 juta untuk perawatan kebun tersebut selama dua bulan
ke depan. Sekarang saya kebingungan dengan warisan ini. Apa yang
dilakukan seseorang dengan warisan semacam ini?”
“Oh, pamanmu itu,” tukas Nasrudin, sedikit terperangah mendengar
cerita Antoni, bagai seseorang yang sedang mengunyah nasi dan tiba-tiba
giginya tak sengaja menggigit batu. “Orang kaya namun meninggalkan
sesuatu yang agak tidak masuk akal.”
“Betul sekali, Angkel Nas,” Antoni sepakat sekali dengan pendapat
Nasrudin. “Dan di sinilah letak keanehannya lagi ia meninggalkan
kekayaannya untuk seekor kutu. Justru. warisan yang sedikit dan remeh
diberikan kepada pembantunya yang sudah lama menetap di rumahnya, berupa
lemari pakaian dan uang satu juta. Keponakannya ini mendapatkan warisan
yang cukup besar untuk kuhambur-hamburkan.”
“Kamu memang beruntung, punya sesuatu untuk dihamburkan.” Nasrudin menggelengkan kepalanya.
“Banyak sekali, Angkel,” sahut Antoni sambil terkekeh. “Paman saya
itu seorang dermawan selama uang itu berkaitan dengan uang jajan.”
“Apakah paman kamu itu punya ahli waris yang lain?” tanya Nasrudin.
“Sepertinya tidak ada,” tukas Antoni sambil memiringkan kepalanya ke
kiri dan memutar bola matanya ke kanan atas, lalu memukul pelan meja
dengan telapak tangan. “Seharusnya Salbiah, anak angkat paman saya itu.
Dia seorang gadis yang baik dan tenang dan tekun belajar dan juga rajin.
Ia anak dari keluarga yang kurang beruntung yang dijadikan anak angkat
pamanku untuk mengurusnya. Saya lupa mengatakan kalau Salbiah ini
merupakan bagian dari keanehan ini. Saya bisa menyerahkan segala urusan
semacam ini kepada dia. Tolonglah, Angkel Nas, katakan pada saya, apa
yang seharusnya saya lakukan dengan warisan ini?”
Nasrudin mengusap wajahnya yang sedikit mengantuk dan sedikit
tersenyum. Ketika Nasrudin sedikit tersenyum itu, Antoni mengerti bahwa
ia bermaksud lebih mengejek kelakuannya itu.
“Warisan itu,” katanya sambil menghela nafas. “Sebenarnya itu sesuatu
yang banyak. Karena dengan warisan itu, orang bisa tinggal duduk dan
menghabiskan semuanya dan menertawakan orang-orang yang mencari uang
setiap hari hingga lupa kepada keluarganya tapi tidak menjadikan orang
itu kaya. Uang Rp 500 juta dan 100 hektare kebun kelapa sawit, mungkin
kamu bisa kredit kendaraan roda empat atau kamu bisa memberi makan anak
yatim piatu sepertimu, atau kalau kamu tidak mau pusing, kamu bisa pergi
ke sebuah toko pakaian dan membeli pakaian yang bermerek.”
“Ah, kamu berpikir seperti orang kebanyakan, Angkel Nas,” kata
Antoni, sedikit tenang. “Saya minta pendapat Angkel Nas untuk membantu
saya berpikir menyelesaikan persoalan ini.”
“Kamu ini,” ujar Nasrudin sambil tertawa meremehkan. “Mengapa, Ton,
cuma satu hal yang masuk akal untuk bisa kamu lakukan, belikan saja
janda yang selalu kau ajak kemari itu, si biduan, Mala, dengan mas kawin
10 atau 20 gram emas, supaya ia mau kawin denganmu. Setelah itu, kalian
berdua merawat kebun tersebut bersama-sama. Mudah kan?”
“Baiklah, terima kasih kalau begitu,” Antoni bangun dari duduknya.
Antoni pergi dan memanggil tukang ojek dan berkata: “Studio Monata Electone.”
Mala sedang menunggu giliran untuk berlatih bernyanyi di studio,
hampir siap untuk tiba gilirannya memasuki studio, ketika penjaga studio
mengatakan kepadanya, bahwa Antoni mencarinya.
“Biarkan ia kemari,” ujar Mala. “Sekarang apa lagi Bang Anton, Mala mau latihan sebentar lagi.”
“Abang hiasi jari Mala dengan cincin ya,” ujar Antoni memberi saran
yang merayu. “Hmmm, pasti lebih terlihat manis dan cantik. Abang
sebentar saja, kok. Bagaimana pendapat kamu? Aku bisa membelikanmu besok
lalu kita akan menikah. Bagaimana, kamu mau?”
“Wah, Abang baik sekali, mau melamar Mala,” kata Mala sambil senyum
simpul. “Mana teks lagu untuk latihan, Supri?” Lalu melihat ke Antoni.
“Bagaimana, Bang, kemarin Dona dapat mas kawin yang bertebaran ke jari,
tangan, dan lehernya, dan belum lagi ditambah dengan sebuah mobil baru
keluaran terbaru,” kemudian Mala meminta penjaga studio. “Talong ambikan
tas saya di ruang operator, dong Supri.”
“Ayo, Mala, giliran kamu beriatih,” kata temannya yang baru selesai berlatih.
Antoni berjalan lemas keluar studio menuju tukang ojek yang telah
menunggunya di luar. Beberapa kecamatan di kota yang diberi lambang tugu
Payan Mas itu terlewati. Antoni menghentikan tukang ojeknya itu dan
turun dari kendaraan. Seorang lelaki penjual keliling setengah baya yang
membawa kursi bambu yang cukup panjang, istirahat di trotoar,
mengipas-ngipas lehernya dengan handuk putih yang telah dilumuri
keringat dan daki. Antoni menghampiri dan duduk di samping orang itu.
“Pak,” panggilnya. “Sudikah bapak memberitahu saya apa yang akan
Bapak lakukan kalau Bapak memiliki uang Rp 500 juta dan 100 hektare
kebun kelapa sawit?”
“Adek ini yang baru turun dari motor itu?” tanya bapak itu.
“Sepertinya anda bukan orang yang susah.” kata si penjual kursi
keliling itu. “Bepergian dengan kendaraan roda dua itu. Saya akan
masukkan ke buku ini. Lihatlah.”
Lelaki itu mengeluarkan buku tabungan dari tas pinggangnyadan
menyodorkannya. Antoni membukanya, dan buku itu adalah buku tabungan
dari sebuah bank. Antoni melihat jumlah tabungannya yang sudah mencapai
Rp 12.725.000.
Antoni mengembalikan buku tabungan itu dan bergegas menuju tukang ojek yang sudah menantinya.
“Kita menuju kantor Notaris Kadarsyah Hasan, S.H., M.Kn, dan partner, di dekat tugu kota.”
Notaris Kadarsyah melihat Antoni dengan perasaan agak sedikit kesal, bertanya-tanya melalui matanya yang membesar itu.
“Maafkan saya, Pak.” Antoni melanjutkan. “Boleh saya bertanya? Saya
harap ini masih bisa disebut sopan. Apakah Salbiah mendapatkan warisan
dari paman saya, Pak?”
“Tidak,” kata Kadarsyah.
“Baiklah, terima kasih ya, Pak.” ucap Antoni lalu keluar menuju
tukang ojeknya. Lantas ia memberi tahu si tukang ojek alamat rumah
almarhum pamannya itu.
Salbiah sedang mencatat sesuatu di ruang teras rumah almarhum
pamannya itu. Dia bertubuh ramping, tinggi dan berpakaian terusan
bunga-bunga berwarna gelap. Tapi lihat mata dan bulu matanya yang
lentik, Antoni sedikit mabuk karenanya dan memandang kehidupan menjadi
lebih berbeda karenanya.
“Abang baru pulangdari tempat pak notaris,” jelas Antoni. “Mereka
sedang memeriksa berkas-berkas yang abang bawa ini. Mereka menemukan
sebuah…” Antoni mencoba mengingat-ingat tentang istilah hukum yang
digunakan oleh si Pak Notaris tadi. “Mereka menemukan sebuah wasiat
tambahan atau sesuatu mengenai wasiat, Buya Karim. Sepertinya Buya
memikirkan kamu juga dan menginginkan kamu menerima 100 hektare kebun
kelapa sawit dan uang sejumlah Rp 500 juta untuk kamu. Bapak Notaris
Kadarsyah meminta abang untuk membawakan semua itu. Ini dia. Sebaiknya
kamu lihat dulu dan menghitungnya untuk memastikan uang dan
berkas-berkasnya.” Antoni mendekatkan surat-surat yang berkaitan dengan
tanah kebun dan uang itu ke dekat tangan Salbiah.
Salbiah terkejut, “Hah!” dan sekali lagi, “Hah!”
Antoni berdiri dan mencoba duduk di tempat yang lebih jauh.
“Tentu saja,” kata Antoni dengan suara yang berpusat di dada. “Kamu tahu, Abang mencintaimu.”
“Maaf,” kata Salbiah sambil merapihkan uang dan berkas menjadi satu tumpukan.
“Apakah ini berguna untukmu?” tanya Antoni dengan nada bicara yang halus.
“Maaf,” kata Salbiah sekali lagi.
“Boleh Abang minta kertas dan pena?” pinta Antoni sambil tersenyum
manis. Ia berdiri di dekat meja tempat Salbiah menulis tadi. Salbiah
memberinya selembar kertas dan pena kemudian ia merapikan kembali
berkas-berkas tadi.
Antony mencatat: “Telah diterima dari si Anjing Liar, Antoni Ahmad,
Rp 500 juta sebagai tabungan akhirat atas perintah Allah Yang Mahakuasa
kepada perempuan terlembut dan tercinta di kota yang mengerikan ini.”
Antoni memasukkan kertasnya tadi ke sebuah amplop, mengajak salaman lalu pergi.
Tukang Ojek telah membawanya lagi ke kantor Notaris Kadarsyah Hasan, S.H., M.Kn., dan partner.
“Saya telah menyelesaikan tugas yang diberikan melalui wasiat paman
saya itu, Pak,” katanya sambil tersenyum kepada notaris Kadarsyah. “Dan
saya kemari untuk memberikan catatan yang diminta tersebut sebagaimana
yang telah Bapak bacakan dan saya setujui. Rasanya agak sedikit lega,
mudah-mudahan Bapak juga merasa lega.” Antoni meletakkan selembar amplop
putih ke atas meja notaris itu. “Bapak akan menemukan catatan singkat
di situ, Pak, tentang cara saya mengurus segalanya.”
Tanpa menyentuh amplop yang tergeletak itu, Notaris Kadarsyah
beranjak dari kursinya dan memanggil rekan kerjanya. Berbarengan mereka
memeriksa sebuah kardus yang baru saja mereka keluarkan dari sebuah
lemari besi. Setelah rekannya memberikan sebuah amplop besar cokelat
yang masih tersegel, pencarian telah berhenti dan sekarang mereka
merapikan kembali kardus itu dan memasukkannya kembali ke lemari besi.
Notaris Kadarsyah membuka segel dan menarik keluar selembar kertas, lalu
kemudian mengajak rekannya untuk membaca surat itu. Mereka berdua
mengernyitkan dahi kemudian menggeleng-geleng setelah membaca surat itu.
Lalu Notaris Kadarsyah membacakan surat itu dengan suara yang lantang
dan jelas.
“Saudara Antoni,” ucapnya sedikit resmi, “Di sini kami membaca sebuah
lampiran untuk saudara yang sebenarnya satu rangkaian dengan surat
wasiat paman anda itu. Lampiran ini telah dikuasakan kepada kami dengan
perintah untuk tidak membukanya sampai saudara memberikan catatan
pengeluaran sejumlah uang yang digunakan untuk mengolah perkebunan
warisan paman anda itu. Sebelumnya, kami ingin bertanya terlebih dahulu
kepada saudara, apakah uang itu digunakan dalam kaitannya dengan
perkebunan itu? Karena jika jawaban Anda adalah, ‘iya’ maka kami akan
memberitahukan kepada anda mengenai isi dari lampiran ini.”
“Bagaimana saudara Antoni?” tanya Notaris kepadanya.
“Baiklah,” sambil tergugup-gugup ia menjawah, “Iya.”
“Bahwa, Anda telah memenuhi syarat pada wasiat pertama, yaitu
mengurus 100 hektare kebun sawit dengan sejumlah uang sebesar Rp 500
juta, yang syarat dari dapat dibukanya lampiran ini, saudara Antoni,
selaku ahli waris dari Almarhum Bapak Tamrin Ilhamsyah, patut
mendapatkan imbalan. Baiklah Saudara Antoni, syarat yang kita bicarakan
tadi merupakan syarat untuk diberikannya lampiran ini kepada Saudara,
dan Almarhum Tamrin Ilhamsyah telah memercayakan kepada kami untuk
menyerahkan surat rumah dan uang tabungan sejumlah Rp 5 miliar kepada
Saudara. Namun, apabila Anda menggunakan uang yang diisyaratkan
sebelumnya di wasiat, Anda gunakan sebagaimana yang pernah diisyaratkan
almarhum Bapak Tamrin Ilhamsyah, seperti yang pemah Anda lakukan pada
waktu yang telah lalu, maka kami akan menyerahkan lampiran ini kepada
anak angkatnya, yaitu Saudari Salbiah. Sehubungan dengan hal itu, kami
berhak untuk menilai catatan Anda sebelum lampiran ini kami serahkan
kepada Saudara.”
Tangan Notaris Kadarsyah hendak mengambil amplop yang diberikan oleh
Antoni di meja itu, tetapi, Antoni lebih cepat dari tangan notaris
ketika hendak mengambilnya. Setelah Antoni mendapatkan amplop itu
kembali, amplop itu dirobeknya menjadi dua dan memasukkannya kembali ke
dalam sakunya.
“Baiklah, bisa dimengerti,” tukas Antoni sambil tersenyum. “Jangan
hiraukan hal ini, sepertinya bapak-bapak notaris ini tidak akan mengerti
perincian yang saya berikan. Selamat sore bapak-bapak sekalian.”
Bapak-bapak notaris itu sedikit kesal dan mulai menggeleng-gelengkan
kepala, mereka lebih terlihat sedih dan bersalah, namun Antoni melangkah
keluar dengan langkah lebih mantap dari sebelumnya.
Agit Yogi Subandi, bergiat seni di Komunitas Berkat Yakin (KoBer), Lampung. Tinggal di Bandar Lampung.
Cerpen Arsyad Salam (Padang Ekspres, 05 November 2017) Suamiku Ingin Mati di Wawonii ilustrasi Padang Ekspres
1/
Pukul satu siang.
Duduk menyandar pada tumpukan dos mi instan, perempuan itu tampaknya
sedang asyik dengan diri sendiri. Pandangannya tak pernah lepas dari
layar ponsel yang terkoneksi dengan headset di kupingnya. Namun
saya yakin ia tidak bisa fokus mendengarkan lagu. Meskipun duduk di
bagian paling atas Kapal Fajar Fadilah, ia pasti terganggu oleh suara
mesin yang mulai menaikkan gas. Sebentar lagi kapal berangkat. Kembali
mengarungi lautan Kendari-Wawonii. Suara percakapan para penumpang
hilang tertelan suara mesin. Begitulah memang setiap kali kapal hendak
berangkat.
Rasanya saya kenal perempuan itu. Entah di mana. Sepertinya saya
pernah tahu siapa dia. Atau paling tidak pernah berbicara dengannya.
Sayang, ingatan tak selamanya panjang.
Pasti ada di antara kalian bertanya, cantikkah perempuan itu? Berapa
usianya? Bagaimana postur tubuhnya? Langsing? Kurus? Gemuk? Yang
bertanya begitu bisanya laki-laki. Entah kenapa laki-laki di mana pun
lebih mengutamakan detail fisik perempuan daripada soal lain. Apakah ia
cerdas? Apa kelebihannya? Itu jarang ditanyakan.
Terus terang saya tak bisa menjawab pertanyaan kalian. Seperti sudah
saya singgung, saya tak kenal dekat perempuan itu. Apakah ia cantik?
Mungkin. Namun bukankah definisi cantik dan tampan sangat relatif?
Artinya berbeda bagi setiap orang.
Ketika Pulau Hari di kanan dan Pulau Saponda di kiri telah terlewati,
saya perhatikan tidak terjadi perubahan pada wajah perempuan itu.
Biasa-biasa saja dan terus mengawasi laut dengan ekspresi sangat wajar.
Mungkin kedua pulau itu sudah terlalu biasa bagi dia, tak lagi membawa
kesan mendalam. Mungkin ia seperti saya juga, melewati pulau itu hampir
tiap pekan. Bolak-balik Kendari-Wawonii. Rutinitas membosankan. Tapi mau
apalagi. Saya memang harus menempuhnya demi tugas dan tanggung jawab
sebagai aparat negara.
Perempuan itu masih juga memandang laut. Tiba-tiba ia berdiri,
melangkah hati-hati mendekati tempat saya duduk di samping tumpukan
jerigen solar. Saya berdebar oleh tingkah yang mendadak itu. Bajunya
tersibak angin. Jilbabnya juga.
“Bapak masih ingat saya?”
Saya memandang cukup lama seraya mengumpulkan ingatan yang berserakan
tentang sosok perempuan yang sekarang berdiri di hadapan saya.
“Saya Nining, Pak.”
“Nining?” saya membalas ragu. Dan ia tahu saya ragu. Ia meneruskan.
“Dulu kita sama-sama naik Kapal Wawonia ke Kendari.”
“Ah, kenapa sekarang sulit sekali mengingat orang?” batin saya. Namun yang keluar dari mulut saya hanya sahutan pendek, “Oh ya?”
Saya memang tidak dikaruniai kefasihan mengingat segala kejadian.
Saya nyaris lupa semua kejadian yang telah lewat, meskipun baru sepekan
lalu. Mungkin benar ia pernah sekapal dengan saya. Entahlah. Namun
mungkin juga ia cuma mengarang-ngarang, mencari alasan bisa mengobrol
dengan saya. Saya tak tahu.
Saya perhatikan perempuan itu lebih cermat. Ada sesuatu yang menarik
dalam dirinya. Sesuatu yang saya tak tahu. Dan saya bingung tak bisa
menunjukkan hal menarik itu. Saya pernah membaca sebuah buku filsafat.
Saya lupa judulnya, tetapi ada yang tidak bisa saya lupakan dalam buku
itu; bahwa saat kita melihat sebuah objek, sudah berbeda bila melihatnya
waktu lain. Perbedaan waktu itulah yang membuat objek berubah.
Saya dan Nining terlibat percakapan. Ia bercerita dulu mengajar di
sebuah sekolah dasar dekat Tumburano di Wawonii Utara. Namun sejak empat
tahun lalu, ia menikah dan tinggal di Kendari.
“Baru hari ini saya kembali ke Wawonii setelah menikah dengan Rustam.”
“Empat tahun?” tanya saya agak heran.
Ia mengangguk mantap.
“Suami kamu sekarang di mana?”
“Di kapal ini.”
“Di kapal ini? Di mana?”
“Di kamar ABK.”
“Kenapa?”
“Ia sakit. Saya membawanya ke kampung untuk berobat.”
“Kenapa kamu di atas sini? Kenapa tidak menjaganya?”
“Ia sedang tidur sekarang. Biarlah ia istirahat.”
Sebenarnya banyak yang saya ingin tanyakan. Namun, entahlah, saya hanya mampu membisu seraya menatap ombak berkejaran.
2/
Tiga jam sebelumnya.
“Tahan sakitnya ya, Rus, sebentar lagi kita ke pelabuhan,” bujuk Nining.
Rustam diam, tak menyahut atau mengangguk. Di dalam taksi sepanjang
perjalanan, Nining berusaha menghibur sang suami. Ia mengajak Rustam
bicara dengan nada manis. Sesekali tangannya mengusap pelipis dan rambut
Rustam yang acak-acakan. Sopir taksi yang mereka tumpangi, lelaki gemuk
yang tampak baik hati, cuma sesekali melirik mereka lewat kaca spion.
“Sejak dulu kan aku sudah bilang, kita berobat ke Makassar saja, tapi
kamu maunya ke kampung. Memang di kampung ada yang bisa mengobatimu?”
Nining terus bicara sendirian. Rustam tergolek tanpa daya di jok
belakang, di sampingnya.
Nining menyuruh sopir taksi mempercepat laju kendaraan, khawatir
ketinggalan kapal. Ia tahu jadwal berangkat kapal kayu ke Pulau Wawonii
tak pernah tepat. Kadang lebih cepat, kadang juga terlambat berjam-jam.
Dalam hati ia berdoa semoga kapal belum berangkat. Kalau ia ketinggalan,
pupuslah harapan membawa pulang Rustam ke kampung.
Memasuki pintu gerbang pelabuhan, Nining sedikit lega ketika dari
jauh melihat Kapal Fajar Fadilah masih tertambat di dermaga. Orang ramai
naik-turun kapal. Pedagang asongan di mana-mana, berteriak menjajakan
nasi bungkus, jagung rebus, dan air mineral.
Nining minta tolong sopir taksi membantu membopong Rustam ke kapal.
Dalam hati ia berharap semoga tidak ada yang tahu apa yang sesungguhnya
ia lakukan. Sengaja ia menutup kepala Rustam dengan kain panjang supaya
tak terkena sinar matahari. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu
ramai membicarakan keadaan Rustam yang telah lama diketahui sakit dan
tidak sembuh-sembuh sampai sekarang. Orang-orang di pelabuhan siang itu
dan hari-hari lain kebanyakan orang Wawonii juga. Mereka kenal Nining.
Juga Rustam tentu saja.
“Kasihan ya,” kata seseorang.
“Memang ia sakit apa?”
“Saya dengar ia sakit jantung.”
Rustam dimasukkan dalam kamar kosong, kamar seorang anak buah kapal.
Nining lega. Kembali ia mengusap kepala suaminya penuh kasih sayang.
Dalam hati ia berdoa kepada Tuhan agar perbuatan itu tidak diketahui
penumpang lain di kapal. Apalagi sampai diketahui juru mudi. Bisa gawat
urusan nanti. Tadi ia berdebar ketika seorang ABK berkata tubuh Rustam
sudah pucat, mirip mayat.
“Jangan-jangan ia sudah mati,” kata orang itu.
Nining menyahut cepat, Rustam cuma tak sadarkan diri. Penyakitnya
memang gawat. “Ia pernah pingsan dua hari,” ucap Nining untuk
menenangkan diri sendiri.
3/
Dermaga Langara sudah tampak. Kami berhenti bercakap-cakap. Nining
lekas berdiri dan minta diri untuk ke bawah, ke kamar sang suami
berbaring. Ia menatap saya agak lama, membuat saya agak heran seraya
berpikir pasti ada rahasia yang hendak ia katakan. Saya memberanikan
diri bertanya.
“Ada apa?”
Ia mendekat lagi, mendekatkan mulut ke kuping saya. Suaranya halus dan dalam, meskipun agak gemetar.
“Suamiku ingin dikuburkan di Wawonii. Ia ingin mati di pulau itu.”
“Lantas apa masalahnya? Kan kamu membawanya pulang untuk berobat?”
“Ia sudah meninggal, sudah mati sejak dari rumah di Kendari.”
“Hah?”
“Jangan bilang-bilang ya,” bisiknya dengan wajah agak sedih.
“Soalnya kapal-kapal di sini dilarang membawa mayat. Pemali, kata
mereka. Saya pun terpaksa melakukan ini untuk melaksanakan wasiat suami
saya yang ingin dikuburkan di Wawonii.”
Saya belum mampu mencerna apa yang sesungguhnya terjadi ketika dari
bawah terdengar teriakan seorang anak buah kapal. “Ada mayat dalam kapal
ini! Siapa keluarganya? Siapa bertanggung jawab?” (44)
– Arsyad Salam, menulis novel dan cerpen. Novel yang telah terbit Kidung dari Negeri Apung (2015), Jejak Manusia Langit (2016), dan Lintasan Menikung (2017). Kumpulan cerpennya Pasung Jiwa Merpati Putih (2016). Kini, dia tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Cerpen Ardy Kresna Crenata (Koran Tempo, 11-12 November 2017) Percakapan dengan Saika-san ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Ketika aku berjalan di sepanjang lorong menuju lobi, aku masih
berusaha membayangkan sesosok perempuan Jepang yang katanya tengah
menungguku itu. Pertengahan tiga puluhan. Mata sipit. Kulit putih yang
terkesan tipis. Terakhir kali aku bertemu dan berinteraksi lewat tatap
muka dengan seorang perempuan Jepang adalah enam tahun sebelumnya, dan
jujur saja malam itu aku sedikit gugup. Mungkin ia kawaii [1],
pikirku, menghibur diri, dan setelahnya merasa konyol. Ketika aku tiba
di lobi dan menoleh ke sebuah meja-bundar paling dekat di sebelah kiri
aku melihatnya, menemukan sosoknya; ia sedang mengamati sesuatu di
ponselnya dan air mukanya entah kenapa terlihat begitu bersih dan begitu
jernih—semacam air muka yang mampu membuatmu kehilangan rasa lelah
untuk beberapa saat. Aku menyapanya, dan ia menatapku. Iris matanya
hitam. Hidung dan bibirnya kecil dan ketika ia tersenyum sebagian
gusinya yang tampak segar terlihat. Ia sedikit lebih menarik daripada
gambaran tentangnya yang coba kuciptakan tadi.
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Saika. Nama yang jarang kudengar,
jujur saja, dan aku langsung teringat pada Sonohara Anri dalam Durarara!!,
serial anime yang diadaptasi dari light novel karangan Ryohgo Narita
dan Suzuhito Yasuda. Awalnya kami mengobrol dalam bahasa Jepang sebab
aku yang memulai. Tiba-tiba, ia meresponsku dengan bahasa Indonesia, dan
untuk seorang non-Indonesia bahasa Indonesianya itu sangatlah kaya. Ia
kemudian mengatakan bahwa sudah hampir tujuh tahun ia tinggal di negeri
ini dan mantan suaminya adalah seorang dosen Sastra Indonesia di sebuah
universitas. “Berkat kesabaran mantan suamikulah aku bisa selancar ini,”
ujarnya, lalu tersenyum seperti tadi.
Obrolan kami lekas menjadi tidak biasa sebab, tanpa pernah aku
menduganya, ia berkata bahwa ia membaca cerita pendekku yang tayang di
sebuah koran dua minggu sebelumnya. “Itu cerita yang asyik. Membacanya
memberiku kesenangan,” katanya. Ia mengaku sampai sebelum kami bertemu
itu ia telah membaca lagi cerita pendekku tadi paling tidak sebelas
kali, dan ia juga telah coba-coba mengulasnya, meski ia tidak—atau
belum—memperlihatkannya kepada siapa pun. Rupanya ia, di tahun-tahun
awalnya di Indonesia, aktif membantu mantan suaminya menyunting
naskah-naskah terjemahan; mantan suaminya memanfaatkan koneksi yang
dimilikinya dengan beberapa penerbit di Yogyakarta untuk memperoleh
limpahan proyek-proyek terjemahan yang sebagian di antaranya dari bahasa
Jepang, atau berhubungan dengan teks-teks Jepang. Dengan cara itulah
mantan suaminya itu membiasakannya bersentuhan dengan bahasa Indonesia;
dan di situlah mantan suaminya itu juga mengajarinya bagaimana melakukan
pembacaan-pembacaan yang kritis terhadap teks. “Sebelum menikah
dengannya dulu aku pernah secara intensif mengambil kursus bahasa
Indonesia sekitar enam bulan. Aku bahkan beberapa kali ke Bali untuk
mengetes kemampuanku. Dan saat aku membantunya menyunting naskah-naskah
terjemahan itu, aku menyadari satu hal: selama ini aku keliru; caraku
melihat bahasa (Indonesia) selama ini keliru.” Ia bilang, mantan
suaminya itu punya ketertarikan yang akut terhadap psikoanalisis,
terutama konsep bawah-sadar-kolektifnya Jung. Ketika mengurusi
penyuntingan naskah-naskah terjemahan itu, ia digiring mantan suaminya
untuk menemukan, memasuki, dan membedah bawah-sadar-kolektif tersebut,
yang diyakini lelaki itu ada di tiap-tiap teks yang dihadapinya.
“Itu juga menjadi awal dari ketertarikanku terhadap karya sastra,
khususnya cerita pendek,” kata si perempuan. “Hingga kini aku masih
menyempatkan diri membaca cerita pendek koran yang mudah diakses.
Buku-buku fiksi dari para pengarang Indonesia sendiri, beberapa aku
membacanya.”
Jika aku lagi-lagi harus berkata jujur, aku akan mengatakan bahwa
obrolan kami malam itu sungguhlah obrolan yang mahal, dan karenanya
pertemuan kami itu adalah pertemuan yang istimewa—di mataku. Sejak
menjadi pengajar bahasa Jepang di lembaga kurus bahasa asing waktu-waktu
kongkow-ku dengan teman-teman penulis berkurang begitu juga
intensitas menulisku; pasalnya jam kerjaku adalah dari siang hingga
larut malam. Pertemuan dan obrolan dengan perempuan Jepang itu membuka
kembali rasa hausku akan sastra, akan hal-hal yang berkaitan dengan
cerita atau teks pada umumnya. Belum lagi antusiasmenya yang tinggi saat
membahasnya di depan mataku itu, membuatku hampir seperti berhadapan
dengan seorang penggemar yang pandai memberi apresiasi, dan itu sesuatu
yang menyenangkan. Dan jadi semakin menyenangkan lagi ketika ia mulai
membahas cerita pendekku yang disinggungnya tadi. “Membacanya,” katanya,
“aku seperti membaca (ulang) kisahku sendiri.” Aku tersenyum dan ia
kembali menunjukkan padaku senyum segarnya tadi.
***
Cerita pendekku itu mengisahkan seorang perempuan yang, entah
bagaimana, tiba-tiba kehilangan kemampuan berbahasanya. Ia terbangun
suatu malam dan menyadari ada sesuatu yang salah dengan dirinya, namun
ia belum tahu itu apa sampai lebih dari setengah jam kemudian ketika ia
menjawab panggilan telepon dari seseorang. Sama sekali ia tak mengerti
apa yang dikatakan seseorang itu. Kata-kata yang dilesakkan seseorang
itu ke telinganya seperti bebunyian belaka, atau sandi yang tak mampu ia
pahami sedikit pun. Segera ia menyadari bahwa ia pun tak bisa membaca
teks yang tertulis di layar ponselnya; huruf-huruf itu tak ia kenali;
tak satu pun ia kenali. Ia menyisir ke seisi kamar, berharap menemukan
teks-teks yang setidaknya bisa ia baca. Ia juga membuka-buka laci meja
kerja dan mengamati buku-buku di meja tersebut. Sama saja. Tak ada satu
kata pun yang bisa ia baca. Tak ada satu huruf pun yang ia kenali. Ia
seperti sedang berada di sebuah kawasan asing; jauh dari kota di mana
selama ini ia tumbuh. Sementara itu, seseorang yang meneleponnya tadi,
masih terus berbicara dengan bahasa yang tak ia kenali.
Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Dan dalam kebingungannya itu ia mengaktifkan mode loudspeaker
dan menaruh ponselnya di meja kerja. Ia sendiri duduk di pinggiran
kasur, memandangi langit malam di balik jendela. “Aku di mana?”
gumamnya, tentu saja dengan bahasa yang ia sendiri belum tahu itu apa.
Menurut Saika-san, begitu aku akhirnya menyebut perempuan Jepang
tadi, yang kugambarkan di cerita pendekku itu adalah sebuah kegamangan
identitas, di mana seseorang tiba-tiba saja merasa begitu asing dengan
apa yang dimilikinya dengan apa yang ada pada dirinya dengan apa-apa
yang ada di sekitarnya, padahal sesungguhnya, secara teknis, perubahan
itu tidak ada. Tidak terasa, lebih tepatnya. “Dan aku suatu kali
merasakan itu,” ujarnya. Saika-san kemudian bercerita panjang lebar
tentang apa yang dialaminya itu, yakni bahwa suatu malam ia terbangun
dan mendapati ia begitu cemas seakan-akan ia telah berubah menjadi
seekor serangga besar, atau seakan-akan ia sebelum jatuh tertidur itu
baru saja melakukan sebuah pembunuhan dan tak lama lagi ia akan
mendengar sirene polisi dan terpaksa melarikan diri.
“Aku merasa bersalah. Di saat yang sama aku merasa aku semestinya tak di sana,” katanya.
Saat itu konon ia sedang berada di sebuah kamar hotel di Shibuya, dan
mantan suaminya masih terlelap di sampingnya; mereka sendiri tengah
berlibur dalam rangka merayakan hari ulang tahun pernikahan mereka yang
kelima.
“Kami tak memiliki anak, sehingga bisa dibilang itu seperti kami
sedang berbulan madu saja. Dan mantan suamiku memilih Shibuya sebab dulu
aku pernah tinggal dan bekerja di sana. Dan kami sesungguhnya
menikmatinya, seingatku,” lanjut Saika-san.
Namun begitulah malam itu ia terbangun dan merasakan ada yang salah
dengan dirinya, dengan keberadaannya di sana, dengan segala hal yang ada
di sekitarnya saat itu.
“Aku memandangi mantan suamiku dan mengelus-elus pipinya seolah-olah
memastikan ia benar-benar ada, nyata, dan aku pun begitu, dan hubungan
dan kebersamaan kami pun begitu. Dan ketika aku berdiri di balkon
beberapa lama kemudian, dengan angin dingin sesekali membuatku bergidik,
aku menyadari: aku muak dengan semua itu, dengan semua hal yang ada
padaku, dengan semua yang ada di sekitarku. Aku seperti harus …
melarikan diri. Dan aku benar-benar melakukannya.”
Berdasarkan pengakuannya malam itu, Saika-san berpakaian dan mengemas
baju-baju dan meninggalkan mantan suaminya di kamar hotel, tanpa
meninggalkan memo atau semacamnya. Ia pergi. Ia menyetop taksi di
pinggir jalan dan meminta si sopir taksi membawanya mengitari kota
sampai ia kelak memintanya berhenti. Di dalam taksi, di sepanjang
perjalanan, ia memikirkan banyak hal, mencoba mengingat-ingat apa-apa
saja yang telah dialaminya dalam beberapa tahun terakhir, dalam beberapa
belas tahun terakhir, baik di negerinya itu maupun di Indonesia. Ia
merasa ajaib perasaan terasing dan muak itu tiba-tiba saja menghantamnya
seakan-akan selama ini hidupnya baik-baik saja, seolah-olah selama ini
ia baik-baik saja.
“Itu sebuah bukti betapa tololnya kita, manusia; kita terlampau
membiarkan diri kita terbawa arus dan lambat-laun melihat arus itu
sebagai arus kita sendiri, sebagai sesuatu yang berasal dari kita,”
jelasnya.
Aku mencoba membayangkan taksi yang melaju di jalanan lengang di
Shibuya ketika pagi masih terlalu dini, ketika tengah malam belum lama
berlalu, ketika sebagian besar orang tentunya sangat lelah dan
terperangkap dalam tidur yang lelap dan tanpa mimpi. Apakah saat itu
Saika-san merasa lapar, atau haus? Apakah tubuhnya bergemetar, atau
tidak? Aku lantas mengingat-ingat cerita pendekku itu; mencoba mencari
adegan serupa atau yang bernuansa sama. “Sungguh, aku senang membaca
cerita pendekmu itu,” ujar Saika-san, membuyarkan visualisasiku.
***
Di dalam cerita pendekku itu, si perempuan memutuskan untuk
meninggalkan kamar apartemennya. Ia tak membawa ponsel, sebab ia merasa
itu percuma. Sebenarnya ia pun terpikir untuk tidak membawa uang, namun
untuk yang satu ini ia bertaruh-siapa tahu nanti ia menemukan cara untuk
menggunakan uang itu. Ia berjalan di lorong; ia turun lewat lift; ia
mengangguk sopan kepada resepsionis, juga satpam yang berjaga di dekat
pintu masuk. Di bahu jalan, ia terdiam. Kota tempat ia berada itu tak
pernah begitu sepi; bahkan di dini hari seperti itu sejumlah mobil masih
terlihat melintas di jalan raya. Beberapa kali ia pun melihat taksi.
(Ia memang tak bisa membaca tulisan “taksi” di mobil itu tetapi ia ingat
bentuknya, juga warnanya.) Ia sempat berpikir untuk menyetop salah
satunya, namun urung melakukannya. Pada akhirnya ia memilih untuk
berjalan kaki saja, dengan langkah-langkah yang pelan dan malas. Udara
dingin mengepungnya. Sesekali ia menengadah memandangi langit sementara
kedua tangannya senantiasa ia masukkan ke saku mantel. Ketika ia
membuang napas, ia bisa melihat napasnya sendiri-sebuah kepulan asap
yang tipis dan samar.
***
“Apa yang kulakukan malam itu menjadi awal dari perceraian kami
setengah tahun kemudian,” kata Saika-san. Ia menilai keputusan itu
tepat, meski dari nada bicaranya aku bisa merasakan ada sedikit
penyesalan. Selepas “bulan madu” itu mereka konon pulang ke Indonesia
sendiri-sendiri—satu tiket pulang untuknya jadi terbuang percuma. Mantan
suaminya memarahinya setibanya ia di Indonesia; memarahinya
habis-habisan sampai-sampai ia menduga selama ini kemarahan itu tertanam
dan tumbuh subur di alam bawah sadar lelaki itu; bahwa hubungan dan
kebersamaan mereka sesungguhnya tidaklah baik-baik saja, tidak pernah
baik-baik saja. Selama “pelarian”-nya di Shibuya itu sendiri, ia
mematikan ponsel. Ia baru mengaktifkan kembali ponsel delapan hari
kemudian, sehari sebelum ia kembali ke Indonesia.
“Ada satu hal yang kupahami dari apa yang kulakukan itu, dan itu
menyakitkan, jujur saja,” ujarnya. Ia bilang selama “pelarian”-nya itu
ia sama sekali tidak merasa di rumah dan apa-apa yang pernah dialaminya
di kota itu seperti menguap sekejap setelah ia mengingatnya. “Aku bukan
lagi seorang Jepang seperti yang kupikirkan, dan itu membuatku putus
asa,” sambungnya. Ia menilai bahwa sebagian dari dirinya adalah hal-hal
yang diperolehnya bukan di kota tumbuh-kembangnya itu melainkan di sini,
di Indonesia, bersama seorang lelaki Indonesia yang mencintainya.
“Dan itu kemudian membuatku berpikir,” lanjutnya, “aku mungkin memang
semestinya di sini, di Indonesia, meski aku tak bisa juga mengatakan
aku ini seorang Indonesia, dan bahwa aku berada di rumah. Sebab semuanya
telah terlalu … bias.”
Setelah mengatakan itu, ia tersenyum. Senyum yang pahit.
“Mungkin sejatinya semua hal di kehidupan ini memang begitu—bias,” kataku, dan aku tak tahu kenapa aku mengatakannya.
Saika-san kembali tersenyum; kali ini senyumnya yang segar itu. Ia
kemudian menoleh ke arah kanannya, mengamati entah apa itu di balik
jendela.
“Aku menikmati hari-hariku di sini, di negeri ini,” ujarnya kemudian.
Kukatakan bahwa aku bisa melihat itu, dan tanpa melihatku ia melebarkan senyumnya.
Bogor, September-November 2017
Catatan:
[1] cantik, imut
Ardy Kresna Crenata tinggal dan bergiat di Bogor. Buku kumpulan puisinya, Kota Asing (Basabasi, 2017). Buku kumpulan cerita pendeknya, Sebuah Tempat di Mana Aku Menyembuhkan Diriku (Diva Press, 2017).
Cerpen Dian Nangin (Analisa, 05 November 2017) Dua Kekasih ilustrasi Renjaya Siahaan/AnalisaAKU sedang sekarat—hidupku rasanya sudah di ambang
batas. Seakan dapat kulihat malaikat maut tengah tersenyum manis padaku
sambil mengulurkan tangan.
Aku hanya bisa tergeletak di lantai. Kepalaku berada di pelukan
seorang perempuan. Perempuanku. Wajahnya pias demi melihatku tak
berdaya. Dia hanya bisa kutatap di antara celah sempit kelopak mataku
yang nyaris menutup. Kulewati menit demi menit sambil menghitung dalam
hati, memperkirakan berapa lama lagi aku sanggup bertahan.
Tak sabar menunggu, perempuanku mondar-mandir di jendela sambil
bersedekap. Matanya nyalang mengawasi jalanan. Bersiap menyambut cinta
pertamaku yang sudah dia minta untuk segera datang.
Dulu, perempuanku ini sungguh bebal. Dia datang ketika satu-satunya
hati milikku telah jatuh pada cinta pertama yang menjerat begitu kuat.
Dia hadir. Tanpa ragu mengutarakan perasaan dan kesungguhan hasratnya
ingin menggenggam hatiku.
“Aku sudah ada yang memiliki,” tuturku jujur waktu itu. Meski suduthati kecilku tak ingin melewatkan perempuan secantik dia.
“Aku tidak bertanya kau sudah ada yang punya atau tidak. Yang ingin kutahu adalah jawabanmu, ya atau tidak!”
Selain bebal, ternyata dia juga bernyali besar.
Cukup lama aku berpikir dan menimbang. Aku telah menjalin hubungan
dengan cinta pertamaku bertahun-tahun. Perempuan ini hadir menawarkan
penyegaran. Kurasa, tak ada ruginya aku menjalani hubungan lain
dengannya. Kehadirannya malah memberiku keuntungan. Ya, keuntungan untuk
bersenang-senang. Apalagi?!
Begitulah. Dia melemparkan diri ke pelukanku, lengkap dengan
deklarasi bahwa segala rupa luka dan penyesalan siap dia tanggung
sendiri. Diam-diam aku kagum akan ketabahannya.
Ketika aku sedang bercumbu bersama cinta pertamaku, dia bahkan sabar
menanti giliran. Sabar menungguku memuaskan diri sebelum kemudian
berbalik dan memberinya perhatian yang sama besar.
Barangkali aku lelaki paling beruntung yang pernah ada. Mana ada
perempuan yang rela menyerahkan dirinya utuh pada seorang lelaki. Di
sisi lain, lelaki itu punya cinta lain yang takkan pernah dia
tinggalkan?
Suatu hari aku tersadar, seolah kepalaku telah diketuk palu agar
siuman dari permainan yang melenakan. Seperti maling yang menyadari
bahwa mencuri tidaklah terpuji.
“Apa alasanmu mencintaiku?” tanyaku pada suatu siang yang teduh dan
tenang. Aku tak dapat menunggu waktu yang lebih tepat lagi untuk
mengetahui kebenaran isi hatinya, lalu mengungkapkan apa yang ada dalam
hati dan kepalaku.
“Kau benar-benar ingin mendengarkan sebuah alasan?” dia balik bertanya.
“Ya. Tanpa alasan yang kuat, kau takkan bertahan denganku sejauh ini.”
“Aku hanya… jatuh hati. Padamu. Itu saja.”
Kuaduk gumpalan rambutku yang ikal gondrong. Kepalaku pusing.
Kebersamaan kami selama ini telah semakin menguatkan perasaannya,
sementara aku merasakan sebaliknya—aku cuma bersenang-senang. Bersamaku
dia hanya membuang-buang waktu. Aku bahkan tidak yakin dengan masa
depanku sendiri.
“Bersamamu aku tak takut menjalani ketidakpastian,” dia menanggapiku dengan yakin.
Aku menggeleng. Lirih, kuujarkan sebuah kalimat klise.
“Kau terlalu sempurna. Aku yang tak pantas untukmu.”
“Basi!” teriaknya tak terima. Baru kali ini kulihat dia menumpahkan kemarahan yang selama ini tak pernah tampak.
“Sungguh. Bersamaku lebih lama hanya akan membuatmu rusak lebih jauh.”
“Kalau begitu jangan merusakku. Jangan siakan aku,” ujarnya ketus.
Tetap bersamaku ataupun memaksanya menjauh adalah dua hal yang sama pahit baginya. Aku berakhir dengan mulut bungkam.
“Mengapa bukan dia yang kamu usir pergi? Kenapa harus aku?” dia menantangku.
Aku dan cinta pertamaku telah memutuskan dari jauh-jauh hari bahwa
kami akan mengarungi hidup bersama. Tanpa perlu pengesahan ikrar janji
sehidup semati, kami sepakat melangkah menuju keabadian.
“Aku juga bisa membuatmu lebih baik,” ujarnya, separuh meyakinkan separuh mendesak.
Seharusnya sudah kuperhitungkan hal ini sejak awal, bahwa perempuan
ini akan menuntut. Menuntutku untuk memilih. Sebenarnya bukan hanya
sekali dua aku pernah berpikir untuk meninggalkan cinta pertamaku.
Saat aku mencoba tegar dengan berpikir bahwa dunia tak akan berhenti
berputar. Hanya karena kami tak lagi bersama. Saat itu pulalah aku
diserang sebuah melankoli bahwa aku tak sanggup melewatkan hari
tanpanya. Tanpa tubuhku dalam dekapannya.
Aku memutuskan kembali padanya. Sebab, cinta pertama bagiku adalah
candu paling fanatik. Adiktif. Berpisah darinya berarti aku membunuh
diri sendiri.
“Maaf, aku masih membutuhkannya.”
Aku tahu perempuan ini kecewa dan terluka, entah untuk kali keberapa.
***
Sekalipun aku dan perempuan ini dalam beberapa waktu belakangan
saling menyakiti dengan kata-kata dan keadaan. Entah kenapa kami seakan
terikat. Lihatlah, dengan gugup bercampur harap dia menunggu sesuatu
yang akan merobek hatinya. Dia sibak gorden tiap kali mendengar deru
kendaraan mendekat.
Bibirku menumpahkan seribu raungan, sementara tubuhku bergulat dengan
sejuta kecamuk rasa sakit paling gila yang tak tergambarkan kalimat.
Barangkali inilah hadiah atas ketidakmampuanku untuk memilih. Akibat
dari ketidakberdayaanku mengambil keputusan terbaik.
Kini terbersit keinginan untuk membenahi segala yang porak-poranda.
Menyembuhkan berlusin luka dan membuat awal yang baru. Sebab tak mungkin
aku kembali ke masa lalu, namun semua telah terlambat.
Kesempatan kedua bagiku hanya mimpi. Akhirku telah tiba. Aku
melihatnya bergerak mendekat, dengan seringai lebar sarat kemenangan.
Wajah pias perempuanku berubah lega setelah cinta pertamaku datang.
Sekian hari sudah kami tidak bertemu dan aku sudah sekarat karenanya.
Seorang kurir atau apapun namanya, memastikan dia tiba dengan
keselamatan utuh. Perempuanku menerima dengan tergesa, lantas berlari
mendapatkanku.
“Ini cintamu,” ucapnya terbata, antara pasrah dan tak rela.
Aku sudah tak mampu bergerak. Seluruh tenagaku yang tinggal secuil
bercokol di tenggorokan. Aku ingin mengatakan sesuatu. Ingin kuucapkan
terima kasih pada perempuan ini karena telah setia di sisiku walau dia
tahu betapa busuk perangaiku. Tak sepatah katapun keluar dari mulutku.
Perempuanku juga tak menaruh perhatian. Sebab dia terlalu sibuk
menarik laci dan merobek plastik pembungkus sebuah benda berujung
runcing. Kutahu sangat dia takuti sewaktu masih kanak-kanak.
Kini kemampuannya sudah terlatih setelah berulang kali berjuang
menyingkirkan ketakutannya. Dia lebih takut kehilanganku. Aku sudah tak
dapat lagi merasakan apapun. Bahkan ketika ujung jarum menusuk kulit dan
menyebarkan sekian cc zat terlarang namun amat kucintai ke pembuluh
darahku.
“Bertahanlah!” perempuan itu memukuli dadaku. Cinta menggenangi telaga matanya, hingga tumpah meluber.
“Jangan takluk, pengecut!”
Di jeda kesadaranku, kulihat matanya memantulkan rasa sakit dua kali
lebih besar dari yang kuderita. Matanya yang dulu ibarat cermin yang
jernih, kini penuh gores dan retakan. Di sisa akal sehat di kepala, aku
akhirnya menyadari mana yang lebih berharga. Seharusnya aku tak pernah
berkenalan dengan cinta pertama ini.
Tak ada hal lain yang ingin kulakukan sekarang kecuali mengecup
perempuanku ini untuk kali terakhir. Mengisap habis segala cinta yang
dengan sukarela dipersembahkannya di baki yang teramat rapuh; hati.
Ingin kubawa kehangatannya bersamaku ketika dingin paling ngilu dan
menggigilkan datang, lalu merenggutku. Tak ada negosiasi. Aku diseret
pergi tanpa diberi kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.
Cerpen Trah W (Haluan, 05 November 2017) Persimpangan Berdarah ilustrasi Haluan
“Jangan jauh-jauh, Alia!” imbau seorang lelaki berperawakan sedang
dan tinggi. Adalah Ali, seorang pekerja kuli panggul di pasar. Saban
sore ketika ia tidak bekerja, Ali menerima resparasi alat elektronik apa
saja yang dibawa pelanggan.
“Ya, Ayah!” balas Alia, anak Ali tanpa menoleh pada ayahnya. Ia terlalu asyik bermain bersama Aisya, teman sebayanya.
Alia adalah anak berusia 10 tahun. Ia tidak sekolah akibat perang
sipil yang sudah berlangsung dua tahun menghancurkan satu-satunya
sekolah di daerah tempat tinggalnya. Alia tinggal berdua bersama
Ayahnya—sedangkan ibunya telah meninggal 5 tahun lalu karena serangan
Demam Berdarah (DBD). Kenyataan itu membuat Alia harus ikut bekerja.
Saban pagi, Alia menjajakan roti sebentuk mirip piring—agak pipih dan
lebar—bikinan tetangganya, seorang wanita paruh baya.
Sore di pemukiman kumuh itu tidak begitu ramai. Suara ledakan dan
bangunan yang runtuh di kota sebelah terdengar sampai ke pemukiman itu.
Perang sipil yang sudah berlangsung dua tahun telah merenggut
kebahagiaan semua orang. Saban malam selalu saja ada orang-orang yang
mengetuk pintu untuk meminta pertolongan tempat tinggal sementara.
Mereka terpaksa harus pindah akibat rumah yang mereka tinggali hancur
digempur rudal.
Penjagaan di setiap pemukiman juga sangat ketat. Pemimpin kaum
pemberontak menyebarkan pasukan hingga ke pusat-pusat pemukiman padat
penduduk. Kata mereka, ini merupakan tindakan penjagaan agar masyarakat
merasa aman dan nyaman. Kenyataannya, tindakan itu untuk malah menarik
simpati masyarakat kepada kaum pemberontak. Agar masyarakat mau membantu
kaum pemberontak dalam melancarkan serangan. Dengan kelicikan mereka,
kaum pemberontak selalu memberikan doktrin yang menyudutkan
pemerintahan.
***
Pagi kembali menyapa pemukiman tempat Alia tinggal. Nyanyian burung
sudah tidak terdengar lagi. Mereka sudah bermigrasi ke daerah yang jauh
dari suara ledakan rudal. Setiap kali pagi hadir, masyarakat di sekitar
lokasi perang disapa oleh suara sirine, pertanda seluruh pasukan harus
bersiap untuk kembali berperang.
Ali tengah bersiap untuk pergi bekerja. Di rumah yang hanya ada
kamar, dapur, dan kamar mandi itu, tidak banyak yang harus Ali bereskan.
“Kamu kenapa pakai baju merah, Alia?”
“Ya, Ayah. Alia suka warna merah,” jawab Alia sambil merapikan jilbab panjang berwarna senada bajunya.
“Baiklah. Ayah pergi dulu ya, Nak. Alia hati-hati di rumah. Jangan
jauh-jauh dari pemukiman,” tukas Ali sambil mencium kepala Alia.
“Ya, Ayah.”
Setelah bersiap-siap, Alia mendatangi rumah Bibi Fatimah, tetangga
pembuat kue yang sering dibantu Alia untuk menjualnya ke jalanan.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam. Alia, kemarilah, Nak!” sila Bibi Fatimah yang tengah
menata kue di dalam keranjang anyaman bambu. “Nah, Alia, ini kuenya,
Nak. Hati-hati membawanya, ya.”
“Iya, bibi. Alia pergi dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Alia tidak menjajakan kue-kue tersebut ke pasar. Ia lebih memilih
arah ke sebuah persimpangan yang banyak dilalui orang. Matahari sudah
mulai memanjat naik. Alia mempercepat langkah. Di tengah perjalanan, ia
berpapasan dengan pasukan pemberontak. Mereka bersenjata lengkap menaiki
kendaraan lapis baja dan bersiap untuk kembali ke medan perang. Mereka
mengalungkan sorban kotak-kotak putih-merah di leher. “Sorban ini adalah
tanda bahwa kami selalu bersama Allah!” kata mereka setiap kali
melakukan propaganda pada warga sipil.
Suara ledakan kembali terdengar. Sangat dekat dengan Alia, hanya
berjarak sekitar 600 meter dari tempat Alia berdiri. Lima belas menit
kemudian, satu kompi pasukan bergegas menuju lokasi ledakan. Ada
kendaraan mengangkut rudal-rudal di antara pasukan-pasukan itu. Termasuk
dua buah tank yang dengan gagahnya melindas jalanan. Alia sudah
terbiasa dengan pemandangan itu, begitu juga masyarakat sekitar. Mereka
tidak panik apalagi kocar-kacir. Dan kemudian kembali lagi. Booooooooommmmmmm…….!
Sebuah rudal menghantam sebuah bangunan yang lain. Meluluhlantakkan
bangunan yang berada tepat di hadapan Alia. Bocah itu pun terlempar
seketika. Sejauh sepuluh meter. Baju merah yang ia kenakan penuh sobe.
Banyak luka fatal nan menganga di tubuh mungil itu. Satu detik. Dua
detik. Tiga detik. Alia tidak bergerak. Barulah semenit kemudian ia
sadar. “Ayah….,” rintihnya pertama. Seluruh orang yang berada di
persimpangan itu terkena hantaman rudal. Mereka juga terbujur tak
berdaya. Alia merasa tubuhnya dingin. Ia menggigil. Ia pun memanggil.
Tiga ratus meter dari lokasi Alia, Ali terhentak. Ia sadar betul
lokasi ledakan itu dari arah tempat biasa Alia berjualan. “Alia!”
teriaknya, kemudian berlari. Meski tanpa alas kaki, Ali terus berlari.
Tidak peduli kakinya menginjak krikil yang tajam. Kakinya berdarah, tapi
Ali terus berlari.
“Alia!!” teriak Ali ketika melihat anaknya sudah terbaring tak berdaya.
“Ayah… Dingin…,” rintih Alia.
“Tolong!” Tidak ada orang yang membantu. Semua orang di sana
terkapar, senasib dengan Alia. Persimpangan sejenak sepi. Hanya
ketidakberdayaan yang ada. Duka dalam mereka dapati, meski kesalahan
pada yang lainnya. Dalam hati, mereka tidak menginginkan perang saudara
itu. Mereka berharap keadaan yang damai.
“Tolong!!! Tolong anakku!” pinta Ali kepada sebuah pasukan yang baru saja sampai.
“Bawa dia!” perintah seorang pemimpin pasukan.
Rumah sakit masih sepi. Namun, beberapa saat lagi seluruh ruangan
akan dipadati tubuh-tubuh kaku dan penuh luka. Alia baru saja sampai.
Dokter membawa Alia ke ruang operasi. Satu menit. Sepuluh menit. Lima
belas menit kemudian, dokter keluar dari ruang operatie khomer (OK).
“Bagaimana keadaan Alia, dok?” sambut Ali.
Wajah dokter itu tampak murung. Ali menyadari itu. “Maaf, pak.
Keadaan anak bapak begitu lemah. Allah telah memanggil Alia dalam
perjalanan ke sini.”
“Tidak! Tidak mungkin! Alia!” Ali berlari ke kamar. Ia harus menerima
Alia yang sudah tak bernyawa. Alia yang ceria. Alia yang tertawa. Alia
telah pergi. Rudal yang menghantam persimpangan telah merenggut tujuh
belas nyawa tak bersalah, termasuk Alia. Pihak pemerintah menyangkal
bahwa mereka dalang penyerangan itu. Pemimpin pasukan pemberontak tak
mau kalah, mereka juga menolak. Tidak ada yang ingin disalahkan dalam
peristiwa itu. Satu hal yang pasti, perang sipil merenggut begitu banyak
nyawa tidak bersalah, tetapi tidak jelas perang itu demi kepentingan
siapa. (*)
Bungo, 01 Agustus 2017
Trah W atau Fitra Wahyudi. Menetap di Padang. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang.
Cerpen Kiki Sulistyo (Banjarmaasin Post, 05 November 2017) Rastamin Mencari Rumah ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
Karena tercekat rasa haus yang begitu berat, Rastamin mencari-cari
kran air di sekitar perumahan itu. Matanya sibuk memperhatikan halaman
setiap rumah, siapa tahu ada kran yang sekiranya tidak perlu izin untuk
memakai airnya.
Perumahan itu sepi, sejak tadi Rastamin tidak melihat seorang pun.
Sepertinya ia memang tak perlu meminta izin untuk sekadar mengambil air
dari kran. Toh, tidak akan ada yang melihatnya.
Tadi Rastamin memasuki perumahan ini dengan harapan ada rumah kosong
yang bisa disewa. Tetapi tak ada seorang pun yang bisa ditanya.
Setelah berputar beberapa kali, Rastamin melihat seulas selang yang
mengucurkan air di samping sebuah rumah yang sedikit terpisah dari
rumah-rumah lainnya. Ia bergegas mendekati selang itu.
Ada rasa heran yang timbul melihat air yang dibiarkan mengucur begitu
saja. Tetapi rasa haus mengalahkan keheranan itu. Rastamin sigap
menyambar selang lalu diarahkan ke mulutnya. Kesegaran air seketika
melenyapkan rasa hausnya.
Sekonyong-konyong seorang lelaki keluar dari rumah. Lang kahnya
bergegas, namun begitu melihat Rastamin lelaki itu segera berhenti
bagaikan sosok dalam film yang di-pause.
“Haus?” tanyanya.
Lelaki itu berpenampilan rapi dengan selelan kemeja panjang, celana
hitam, dan sepatu kantor yang berkilauan terkena cahaya matahari.
Rastamin tercenung, tidak menjawab. Selang air masih dipegangnya, air
mengucur ke tanah memercikkan pasir-pasir halus ke kaki Rastamin.
“Kenapa tidak minum di dalam?” lanjut lelaki itu.
Rastamin tidak mengenalnya, tapi rasanya pernah melihat lelaki itu
entah kapan. Sepertinya si lelaki baru pulang dari kantor, mungkin untuk
makan siang bersama keluarganya, dan sekarang ia akan segera kembali ke
kantor.
Tanpa sungkan lelaki ltu menggamit lengan Rastamin dan mengajaknya
masuk. Selang air terlepas dan menggeliat di tanah bagaikan ular yang
sekarat.
Seketika timbul dalam pikiran Rastamin bahwa orang ini mengira ia
hendak mencuri lalu menjebaknya masuk rumah. Rastamin membayangkan
sebentar lagi semua penghuni perumahan ini akan datang dan menghajarnya
sampai mati.
Pikiran itu membuat Rastamin ketakutan. Ia tidak mau mati konyol
karena kesalahpahaman. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, atau lebih
tepatnya tak berani berbuat apa-apa. Rastamin menurut saja.
Ketika akan masuk, Rastamin tiba-tiba merasa pernah melihat rumah ini sebelumnya. Tapi bukankah semua bentuk rumah di perumahan macam ini memang seragam? kata Rastamin dalam hati menepis perasaannya sendiri.
Di dalam rumah beberapa orang terlihat seakan sudah menunggu. Mereka
satu keluarga. Seorang perempuan yang kelihatan sedih dan letih, seorang
gadis yang tampaknya baru beranjak dewasa, dan seorang anak laki-laki
remaja.
Di sekitar mereka menumpuk barang-barang, sehingga mengesankan mereka hendak pindah rumah. Ah, laki-laki tadi pastilah kepala keluarga ini, pikir Rastamin. Lelaki itu berdiri di belakang Rastamin.
Pikiran akan dijebak membuat Rastamin segera bertindak. Sebelum mereka angkat bicara. Rastamin lebih dulu bersuara.
“Mohon maafkan saya, rupanya ada salah paham. Sungguh saya tidak
bermaksud jahat. Tadi saya cuma kehausan dan melihat ada selang yang
mengalirkan air. Saya kira tidak ada orang. Kalau saya tahu ada orang di
rumah ini, tentu saya akan minta izin dulu. Sekali lagi mohon maafkan
saya.”
Orang-orang itu diam saja. Mata mereka menatap Rastamin dengan kesan
yang tak mudah disimpulkan. Rastamin balas menatap mereka. Gadis yang
baru beranjak dewasa itu memiliki banyak jerawat di wajahnya yang
berminyak. Gadis ini pasti tak pandai bersolek, pikir Rastamin.
Sementara perempuan yang tampak sedih dan letih serta anak lelaki
yang baru beranjak remaja itu benar-benar punya garis wajah yang serupa.
Sekali lihat orang pasti bisa menduga mereka ibu dan anak. Tapi gadis
tadi tidak mudah dicari kesamaan garis wajahnya dengan mereka. Garis
wajah gadis tadi justru mengingatkan Rastamin pada wajahnya sendiri. Rupanya usahaku tidak begitu berhasil, ucap Rastamin daiam hati. Ia harus meyakinkan mereka lagi.
“Oh ya, tadi saya masuk ke perumahan ini untuk mencari rumah yang
bisa disewa. Saya datang dari jauh dan butuh tempat tinggal segera. Hmm,
saya lihat barang-barang di sini sudah di-packing. Apakah kalian baru tiba atau hendak pindah dari sini? Kalau hendak pindah, nah, barang-kali rumah ini jodoh saya. Rasanya rumah ini cocok buat saya.”
Tatapan orang-orang sedikit berubah, seperti menajam, seperti siap
melontarkan kemarahan. Malu aku,pikir Rastamin. Suasana senyap beberapa
saat. Rastamin merasa harus lebih meyakinkan lagi.
Baru saja ia akan bicara kembali, tiba-tiba gadis yang baru beranjak dewasa itu membentak.
“Apa Bapak sudah gila? Ini rumah kita! Rumah yang Bapak gadaikan. Itu
lihat! Itu petugas yang sudah siap menyita rumah ini. Kita mau tinggal
di mana, Pak?” (*)
Kiki Sulistyo lahir di Kota Ampenan,
Lombok, 16 Januari 1978. Buku puisinya adalah Hikayat Lintah (2014),
Rencana Berciuman (2015), Penangkar Bekisar (2015), dan yang terbaru Di
Ampenan, Apalagi yang Kaucari? (2017). Domisili di Mataram, Nusa
Tenggara Barat.
Cerpen Niken Hergaristi (Media Indonesia, 12 November 2017) Lukisan Wulan ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Aku adalah sosok wanita dalam salah satu lukisannya yang belum
selesai. Ia memberiku nama Wulan karena mataku berwarna kelabu dan
menyala dalam kegelapan seperti layaknya bulan. Entah mengapa dia
membuat warna mataku abu-abu. Mungkin saja karena malam menjadi waktu
yang dia pilih saat aku pertama kali membuka mata dan ia menyambutku. Ia
meniru bulan putih bertubuh tambun yang melayang di atas kepalanya.
“Kau tahu? Kau sangat cantik tapi kenapa tampak begitu menyedihkan?” ucapnya pada kanvas setelah kami bertatap sapa.
Ia menjadikan aku seorang wanita dengan wajah sendu seakan membawa
kesedihan sejuta umat di dunia. Mata kelabuku tampak terluka. Di setiap
sentuhan kuasnya, dia menitipkan luka. Ia benar-benar tidak adil padaku.
Aku baru saja terlahir di dunia. Baru beberapa menit aku menghirup
udara malam yang bercampur dengan wangi tanah sehabis hujan—dengan
hidung yang dia ciptakan di atas bibirku, tentunya. Namun, ia sudah
membuatku tidak sempat lagi menghirup udara karena rasa teriris-iris
yang menyayat setiap senti kulit wajahku.
Ia sengaja membuatku menarik untuk dipandang tapi tidak membiarkan
orang lain memandang terlalu lama. Kecantikan yang pelan-pelan memberi
luka. Aku yakin siapa saja yang melihatku—nanti jika ia sudah selesai
melukisku—pasti menitikkan air mata.
Ia tampak ragu melanjutkan gerakan tangannya. Kegamangan itu jelas
terlihat di raut wajahnya. Keningnya berkerut, menatapku dalam. Cukup
lama kami saling memandang hingga akhirnya ia yang kalah. Ia yang
pertama kali melepas pandangan matanya dariku.
Tangannya berhenti melukis. Keduanya kemudian luruh di sisi tubuhnya.
Pundaknya naik turun perlahan namun tidak ada suara yang keluar dari
bibirnya. Aku tahu ia menangis. Padahal ia baru membuat wajahku—tanpa
rambut dan tubuh di bawahnya. Hanya wajah saja!
Aku tahu siapa ia. Teramat mengenalnya dari luar hingga dalam. Semua
cerita perihal kehidupannya telah tersalur melalui kuas miliknya. Ia
tampak begitu tegar dari luar. Bertindak seolah tidak butuh orang lain.
Ia wanita paling mandiri yang pernah aku kenal. Namun kenyataannya,
dibalik tembok yang dibangun itu, ada sesosok tubuh yang meringkuk
kesakitan. Wanita yang tengah menundukkan kepala di depanku ini hanyalah
seorang wanita yang kesepian. Di umurnya yang sudah melewati kepala
tiga, ia hidup sendiri. Bukan berarti ia tidak laku. Paras ayunya tidak
mungkin dilewatkan oleh lelaki-lelaki di luar sana.
Ia sudah pernah menikah saat umurnya masih belia. Dua bulan setelah
ia merayakan ulang tahunnya ketujuh belas, ia terpaksa harus menghadap
penghulu dengan seorang pria yang tidak ia cintai. Ia harus merubah
statusnya menjadi istri seseorang. Pria yang berada di sampingnya itu
merupakan teman sekolahnya. Ketika teman-teman sekolahnya sibuk dengan
persiapan menghadap ujian nasional, ia dan pria itu malah sibuk dengan
sebuah pernikahan yang mendadak.
Ia sudah melakukan kesalahan. Tidak hanya sekali sehingga
kesalahan-kesalahan itu akhirnya berbuah, tinggal menunggu matang di
dalam rahimnya. Ia dan pria itu harus putus sekolah. Meninggalkan
jauh-jauh mimpi, dan cita-cita. Bahkan keduanya dianggap mencoreng muka
keluarga masing-masing sehingga setelah menikah mereka harus
disingkirkan ke sudut kota. Tidak ada kebahagiaan seperti
pernikahan-pernikahan orang lain. Hanya ada tangis, caci maki dan
berujung sebuah pengusiran.
Beberapa bulan mereka hidup berdua dengan saling benci satu sama
lain. Miris memang, mereka yang mulanya tertawa bersama, melakukan
kesalahan dengan senyum sumringah di bibir, berubah jadi tidak pernah
saling bertegur sapa. Tidak ada kehangatan. Hubungan mereka dingin.
Sangat dingin sampai tulang-tulang mereka sakit. Seolah tidak cukup
penderitaan yang menimpa, petaka lain muncul. Kematian ikut campur dalam
hidupnya. Nyawa yang dia bawa di dalam perutnya pergi.
“Kenapa aku harus menikahimu jika akhirnya ia mati!”
Pria itu menuding perutnya yang berselimut jarik. Saat itu ia masih
tergolek lemas di sebuah kamar rumah sakit. Tidak ada keluarga yang
menengok. Hanya mereka berdua. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain
menangis.
“Padahal aku masih ingin kuliah. Aku mau jadi dokter. Demi kau, aku
harus mengorbankan sekolahku tapi apa yang kau perbuat? Kau membunuhnya!
Kau benar-benar membawa kematian di sekitarmu!”
Kalau ia punya kekuatan, ingin rasanya ia berteriak bahwa ia pun
harus mengorbankan masa mudanya. Ia ingin jadi pelukis tapi semenjak
menikah, ia tidak pernah memegang kuas lagi. Ia terlalu sibuk dengan
kesedihannya sehingga lupa dengan cita-citanya.
Tak lama setelah hilangnya calon bayi itu, ayah si bayi menyusul.
Sebuah bus menghantam tubuhnya saat pria itu dalam perjalanan pulang
dari pekerjaannya menjadi kuli panggul di pasar. Jarak yang tidak
terlalu jauh dari kematian sebelumnya, membuat orang-orang di sekitarnya
berkasak-kusuk mengenai perempuan itu.
Ia benar-benar membawa kematian di sekitarnya.
Berita itu sampai di telinga orang tua si pria. Mertuanya tidak mau
lagi menyanggapnya sebagai menantu. Mereka bertingkah layaknya orang
yang tidak saling kenal. Sementara orang tuanya sendiri tidak pernah
menghubunginya lagi. Mungkin saja berita itu sudah sampai ke telinga
mereka juga.
Kabar yang berhembus beberapa waktu setelah itu, membuat ia
benar-benar kehilangan dunianya. Ia tidak tahu lagi bagaimana untuk
berpijak. Kedua orang tuanya meninggal oleh kawanan perampok yang
menyatroni kediaman mereka. Orang tuanya ditemukan tewas di tempat.
Kematian demi kematian datang silih berganti. Seperti angkot yang selalu datang mengangkut para penumpang yang sudah menunggu.
Di sudut kota, ia hidup sendiri. Julukan sebagai perempuan dengan
kematian di sekitarnya, membuat ia dikucilkan oleh tetangganya. Bahkan
ia terpaksa harus pindah ke tempat yang jauh dari rumah-rumah penduduk
karena desakan mereka. Mereka tidak membiarkan anggota keluarga mereka
dekat dengan perempuan itu. Rumah dengan kebun yang mengelilinginya,
menjadi pilihan untuk melanjutkan sisa hidup yang terasa sia-sia.
Ia hanya sedang menunggu kendaraan yang membawanya menuju kematian.
Namun, kematian yang dia tunggu-tunggu masih enggan menghampirinya lagi.
Umurnya belum genap delapan belas tahun, tapi ia sudah menjadi janda,
pernah keguguran, dan hidup sebatang kara. Ia telah mengalami segala
hal menyakitkan terlahir menjadi seorang wanita. Hanya malam dan bulan
yang menjadi temannya. Hanya mereka berdua yang membuatnya tenang.
Ia pun mulai melukis lagi. Tidak ada yang tahu bahwa perempuan yang
mereka sebut sebagai pembawa kematian itu adalah seorang pelukis. Ia
melukis sembari menunggu.
Ia mengangkat kepalanya ketika mendengar bunyi dari ponsel yang
tergeletak di meja. Bola matanya yang berwarna hitam sempat menatapku
sedetik lalu mengalihkan pandangan pada ponselnya. Ketika menatap layar
ponsel, sebuah senyum tipis muncul di bibirnya.
Sepuluh tahun berlalu dalam penantian, ada yang berubah pada
hidupnya. Akhir-akhir ini ia sedang menjalin hubungan dengan kurir
pengirim lukisannya. Pria itu mengetuk pintu hatinya yang sudah lama
ditutup dan perlahan berhasil membukanya. Pria itu tidak peduli dengan
rumor yang berhembus mengenai si pelukis dan kematian di sekitarnya.
Mereka dengan santai memadu kasih, menghantarkan kehangatan satu sama
lain. Dengan pria itu, pelukis kesepian tidak lagi sendirian. Dengan
pria itu, segala yang salah pun berubah menjadi benar. Perlahan ia mulai
berharap supaya kematian yang ada di sekitarnya pergi menjauh.
Jangan jemput aku dalam waktu dekat. Begitulah doa yang selalu dia panjatkan setiap malam.
Ia menghapus butir-butir air mata yang membasahi pipinya kemudian
membuka pesan yang datang dari pria itu. Sesaat setelah pesan terbuka,
senyuman di bibirnya perlahan menghilang. Pesan yang tertulis di layar
membuat isi kepalanya tiba-tiba kosong. Ia meletakkan kembali ponselnya
ke atas meja lalu menatapku dengan mata berkabut.
Ia meraih kuas lukisnya kembali lalu mulai menggoreskan kuas di atas
bidang kanvas, melanjutkan untuk melukisku. Aku penasaran apa yang akan
dia lakukan padaku. Aku merasakan tangannya yang memegang kuas bergetar.
“Wulan,” panggilnya. Kini suaranya yang bergetar. “Ia ingin aku
menjadi pembunuh,” lanjutnya sambil mengelus perut dengan satu tangannya
yang bebas.
“Kenapa aku selalu terhubung dengan kematian?”
Dia bertanya padaku tapi aku tidak sanggup menjawab. Yang bisa
kulakukan hanya balas menatap matanya dengan mataku yang berwarna
abu-abu.
Dapat kurasakan bahwa suaranya terdengar pilu. Sejenak tangannya yang
melukis berhenti kemudian ia bergerak lagi. Aku bisa merasakan
kesakitan di setiap goresannya. Selama jari-jari tangannya menari di
atas kanvas dengan penuh emosi, saat itulah aku merasakan sakit yang
luar biasa.
Dia memilih cat berwarna merah lalu mencoret-coretnya di sekujur
tubuhku. Ingin rasanya aku menghentikannya. Aku tidak suka warna merah
itu. Merah itu seperti bercak darah. Kini tubuhku penuh warna merah.
Tidak puas dengan tubuhku, dia mewarnai lantai dengan warna merah. Aku
merasa sakit tapi aku tidak akan mati karena aku memang benda mati.
Setelah puas dengan lukisan yang dia hasilkan, ia terkekeh pelan lalu
terbahak-bahak sendiri. Ia menunjuk-nunjuk aku seperti mengejek. Ia
pasti sudah gila! Perlahan aku melihat tubuhnya luruh di lantai. Ah, aku
lupa memberi tahu namanya. Namanya Wulan, sama seperti nama yang dia
berikan untukku. Lalu ia juga berakhir dengan kondisi yang sama
sepertiku. ***
Surakarta, 27 Februari 2017
Niken Hergaristi, lahir di Surakarta, 29 September 1992. Cerpennya pernah dimuat di Solopos, Padang Ekspres, dan Gogirl! Magz.