Daftar Blog Saya

Minggu, 12 November 2017

Lelaki Penungu Sabtu

Cerpen Muhammad Husein Heikal (Kedaulatan Rakyat, 05 November 2017)
Lelaki Penunggu Sabtu ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Lelaki Penunggu Sabtu ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
Sabtu. Hari yang selalu dianggap terakhir sebelum Minggu. Atau Sabtu memang merupakan hari terakhir dalam sepekan, bila Minggu dihitung sebagai hari pertama. Namun kita sama-sekali tak usah mempersoalkan itu. Sebab bagaimanapun, Sabtu selalu disebut sebagai akhir pekan.
Akan tetapi, Sabtu bukan sekadar akhir pekan biasa bagi lelaki itu—atau tepatnya lelaki penyair itu.
Di pagi yang baru saja lahir, lelaki itu baru saja kembali menidurkan mimpinya. Ia bangkit dari matras, menata kembali letak selimut dan bantalnya. Kemudian membuka sedikit celah jendela kayu disisi utara. Seketika ruang kamar kecil itu menjadi benderang. Cahaya ultraviolet menembus bersama kehangatannya. Lelaki itu, atau lelaki penyair itu sama-sekali tidak tahu sekarang jam berapa.
Hanya satu yang ia sadari saat ini, hari ini adalah Sabtu.
Lelaki itu menghidupkan smartphone-nya. Menatap layarnya, menunggu-nunggu barangkali ada notifikasi masuk. Semenit berlalu, secara otomatis layar smartphone itu menggelap kembali. Ya, sama-sekali tak ada kabar hari ini. Kabar gembira maupun kabar tidak gembira.
Ia pandang-pandangi smartphone yang baru dibelinya tiga bulan lalu. Harganya cukup mahal, baginya. Hampir setara dengan harga notebook baru berspesifikasi rendah. Ia lebih memilih membeli smartphone, daripada memperbarui notebook-nya yang sudah dipakai sejak SMA. Sebab menurutnya, notebook itu masih cukup bagus, dan masih tahan untuk digunakan sehari-harinya. Apalagi, notebook itu hanya ia gunakan untuk mengetik tulisan—puisi-puisi, tepatnya—dan kemudian mengirim tulisan itu melalui email. Ya, itu saja.
Alasan ia membeli smartphone cukup sederhana: agar mudah mengecek e-paper koran. Sebagai seorang yang bergelut di dunia kepenulisan, ia beranggapan tentu harus rutin dan aktual mengecek berbagai koran yang terbit di berbagai sudut kota. Tidak hanya koran ibukota, koran-koran yang tak terdata di dewan pers pun ia cek setiap hari. Kegiatan ini setiap hari dilakukannya.
Inilah yang menyebabkan seorang mahasiswi tertarik pada keanehannya. Di awal-awal masa perkenalan mereka—ketika smartphone itu belum terbeli—senantiasa keheranan melihat lelaki itu mengapa selalu membawa koran ke kampus. Meski mahasiswi yang kini menjadi pacarnya itu tak sempat beranggapan, bahwa lelaki itu adalah penjaja koran keliling.
Dari sekian banyak koran yang terbit, hampir setengah di antaranya pernah memuat nama lelaki ini, tentu saja beserta karya puisi-puisinya. Namun, dari semua itu ada dua koran nasional berkaliber, tentunya, yang memuat rubrik puisi di setiap hari Sabtu. Dua koran ini sudah lama menjadi incaran dirinya—dan tentu para penyair sebayanya—lewat karya puisi. Sudah entah berapa kali, yang jelas lebih dari bilangan belasan, ia mengirimkan puisi-puisinya ke koran-koran itu. Namun sampai saat ini ia belum berhasil, sama-sekali.
Terkadang, ia membayang-bayangkan namanya di koran itu. Dilengkapi lukisan ilustrasi, dan di bawah puisi-puisinya itu bakal tertulis biodatanya yang singkat. Sering pula ini menjadi mimpi yang menghiasi tidurnya. Ia terbayang, puisi manakah yang bakal dimuat sang redaktur tersebut. Bila puisi ini kira-kira di sebelah sinilah letaknya yang bagus. Dan ilustrasinya dapat diperkecil sedikit, dan..dan.. itu semua hanya angan.
Hari ini Sabtu. Ya, hari yang ditunggunya itu kembali berkunjung. Lelaki itu begitu setia melakukan ritual hari Sabtu-nya. Bangun, bangkit, menatap smartphone, dan—seperti biasa—kembali kecewa. Tak jarang ia menelan ludah.
Akan tetapi, kali ini, di Sabtu pengujung bulan ini, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Semacam sesuatu yang menggairahkan, baginya. Ya, kali ini ia kembali mematikan smartphone-nya. Kemudian membuka lipatan notebook-nya, dan menuliskan sebuah cerita tentang itu. Dan cerita itu kini sedang Anda baca…

Medan, 2017
Muhammad Husein Heikal, lahir di Medan, 11 Januari 1997. Cerpen dan puisinya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris. Termuat pula dalam buku Merindu Tunjuk Ajar Melayu (Riau Pos 2015), Perayaan Cinta (Puisi Inggris-Indonesia 2016), Pasie Karam (Temu Penyair Nusantara 2016), Cinta yang Terus Mengalir (Taaruf Penyair Muda Indonesia 2016), Matahari Cinta Samudra Kata (Hari Puisi Indonesia 2016), dll.

Sepasang Kekasih yang Menyukai Senja

Cerpen Rizkia Hasmin (Pikiran Rakyat, 05 November 2017)
Ketegangan Ini ilustrasi Zesika H Kamilah - Pikiran Rakyat.jpg
Ketegangan Ini ilustrasi Zesika H Kamilah/Pikiran Rakyat
KAU memesan segelas latte, ketika dari balik dinding kafe yang jernih, matahari tampak merosot. Kafe itu persis menghadap laut. Saat langit menyibakkan lembayung, cahayanya jatuh tepat ke permukaan kaca, membiaskan semburat kuning keemasan pada seisi ruangan. Suara ombak mengempas bibir pantai menambah sejuk suasana hatimu sore itu. Dari meja barista, seorang pelayan muncul membawakan kopi susu dengan sedikit lapisan busa di permukaannya. Terlihat lembut dan menggoda.
SEBULAN lalu ayahmu menelepon. Rematiknya kumat lagi. Katanya, dia akan mengunjungimu dalam waktu dekat. Dulu, ayahmu selalu pulang seminggu sekali. Jika rematiknya kumat, kau akan membuatkan ramuan dari jahe. Dua potong jahe kau panggang di atas bara api, lalu kautumbuk dan kauoleskan pada kaki ayahmu yang sakit. Tapi semenjak perusahaan tempat ayahmu bekerja menugaskannya pindah ke Sulawesi, kau kian jarang bertemu dengannya. Sudah enam bulan ayahmu tak pulang Semoga rematik ayah tak kambuh lagi, katamu sekali waktu. Telefon selulermu menjerit. Kaulihat di layamya ada panggilan masuk.
“Halo, lagi di mana?”
“Di kafe, dengan segelas latte dan…”
“Sudah! Jangan teruskan! Nanti aku jadi….”
“Jadi apa?” kau tertawa menggoda. Kau tahu dia tak akan tahan dengan godaan senja.
“Tidak! Aku hanya….”
“Hanya?”
“Minggu depan barangkali aku akan sibuk.”
“Ed, ada apa?!” kau bertanya.
“Ada urusan yang harus kuselesaikan.”
“Maksudku, kamu hanya ingin apa?”
Dia tertawa mendengar perkataanmu yang terkesan serius. Tawanya terdengar renyah di telingamu. Kau suka saat dia tertawa. Setiap mendengar tawanya, kau merasa nyaman.
“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.” Ucapannya terdengar sungguh- sungguh di telingamu.
“Aku bisa jaga diri. Aku akan baik-baik saja. Sudah ya! Kamu kan tahu aku….”
“lya, iya,” potongnya cepat. “Selamat menikmati senja.”
Dia lelaki yang kaukenal dua tahun silam. Saat itu kau duduk di meja yang sama di kafe itu. Menikmati segelas latte dan suasana senja yang menawan. Semenjak ayahmu bekerja di Sulawesi, hidupmu mulai terasa sepi. Seharian kau hanya di rumah. menggelesot di sofa, menonton acara reality show di televisi atau membaca buku-buku fiksi kesukaanmu. Dan seminggu sekali duduk di kafe itu, menikmati keindahan senja. Selebihnya tak ada yang menarik bagimu. Tubuhmu hanya dipenuhi ruang-ruang kosong.
Kemudian dia datang.
Perlahan ruang-ruang kosong itu mulai terisi oleh kehadirannya. Kau suka tatapannya yang lembut dan cara bicaranya yang terkesan serius, namun tidak pernah membuatmu merasa bosan.
Kau masih ingat saat dia memandangmu. Posisi dudukmu cukup jauh darinya, namun saling berhadapan. Ia selalu memandang ke arahmu. Kau bahkan sedikit kikuk oleh tatapannya. Kemudian ia menghampiri, duduk semeja denganmu. Kau masih ingat percakapan saat pertama kali bertemu dengannya.
“Kamu keberatan jika aku duduk di sini?”
Awalnya kau takut membuka diri untuk seseorang yang belum kaukenal. Tetapi sorot matanya membuatmu percaya bahwa sifat seseorang bisa dilihat dari cara dia memandang. Saat menatapnya, kau percaya dia lelaki yang baik.
“Sebenarnya aku lebih suka sendiri, tapi kalau kamu ingin duduk aku tidak keberatan.” Dia tersenyum mendengar jawabanmu, kemudian memesan espresso.
“Kamu sering ke sini?”
Dia mencoba membuka obrolan saat kau tengah asyik memandang matahari yang perlahan mulai merosot. Tujuanmu ke kafe itu tak lain hanya untuk menyaksikan mata-hari tenggelam.
“Sepertinya kamu begitu menikmatinya,” sambungnya.
Kau sedikit kaget atas ucapan dan tingkahnya yang kaku. Kau menoleh, lalu membalas ucapannya.
“Kamu lelaki pemberani.”
Dia tertawa, “Ya. lelaki yang mencoba berani. Oya, aku, Ed.”
Itulah percakapan pertamamu dengannya. Kemudian percakapan itu terus berlanjut hampir setiap minggu di kafe yang sama. Kedekatanmu dengannya semakin hari semakin hangat. Bagimu dia adalah lelaki yang sangat berani. Hingga suatu malam, kau larut dalam mabuk asmara yang menggebu-gebu.
Langit dipenuhi geriap cahaya. Udara dingin menyeruak melalui jendela yang terbuka. Di sana, sepasang kekasih tengah dilanda asmara.
“Aku mencintaimu, Ed.”
“Ya, aku tahu, kamu tidak perlu mengatakannya.”
“Kamu akan setia, Ed?”
“Apa kamu meragukan kesetiaanku, Sita?”
“Sejak pertama kali menatapmu, aku percaya kamu lelaki yang setia.”
“Kalau begitu, kamu tidak perlu menanyakannya lagi.”
“Aku mencintaimu, Ed.”
“Ya, aku tahu itu. Kamu mabuk Sita, sekarang tidurlah!”
Malam semakin memagut. Tapi, udara dingin tak sanggup memberi gigil pada seasang kekasih yang dimabuk asmara.
***
SEMINGGU kau kehilangannya. Dia tidak memberimu kabar, nomor telefonnya tak bisa dihubungi. Pikiran buruk seketika merebak. Kau khawatir dia akan pergi. Tapi akhirnya, dia menelefonmu, katanya dia sedang berada di luar kota. Bukankah dia pernah mengatakan kepadamu bahwa dia bekerja di sebuah hotel di kota lain, dan sebulan sekali datang menemuimu. Dia selalu membawakanmu sebuah buku dan beberapa rangkaian bunga kesukaanmu. Lalu kalian akan mengunjungi kafe tempat pertama kali bertemu. memesan latte dan espresso sembari menyaksikan matahari tenggelam. Kalian sepasang kekasih yang menyukai senja.
***
MATAHARI sudah sepenuhnya tenggelam. Tapi masih ada sedikit sisa cahaya kuning berpelitur, selebihnya hanya ombak yang terus menyapu pantai. Sayup-sayup. mengalun Ligh As A Feather dari Return To Forever feat Chick Corea. Jazz memang selalu menarik untuk didengar, kau membatin. Kau begitu hapal dengan lirik lagu itu. Tanpa sadar mulutmu ikut menirukan suara perempuan yang terdengar merdu itu.
Telefon selulermu menjerit lagi. Sebuah panggilan masuk.
“Sayang, lusa ayah akan pulang.”
“Bagaimana dengan pekerjaan ayah?”
“Ayah dapat cuti satu bulan dari perusahaan. Jadi ayah akan pulang. Apa kamu baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja.”
“Baiklah. Besok ayah telefon lagi.”
Hening. Suasana mulai sepi. Hanya satu dua meja yang masih terisi pengunjung. Saat itu kau hanya ingin segera berada di rumah. Perasaan gelisah mulai menyerang pikiranmu. Kau bingung, apa yang mesti kau lakukan? Kau tak ingin ayahmu kecewa. Kau tak ingin ayahmu mengetahui bahwa janin yang ada di rahimmu adalah buah dari hubungan yang tidak resmi. Kau sangat takut.
Kau segera meninggalkan kafe. Kaupacu mobil dengan pikiran-pikiran yang terus berkelebat di kepala. Saat itu kau hanya butuh kekasihmu. Jika dia ada di sampingmu, kau pasti tak akan serisau ini. Sesampainya di rumah, kau bngsung menghambur ke tempat tidur. Segera kauraih telefon seluler.
“Ya, halo.”
“Apa kamu sibuk?”
“Tidak, Sayang. Ada apa?”
“Kita mesti segera menikah!”
“Tenanglah, Sita! Apa kamu sedang mabuk?”
“Tidak. Aku hanya ingin kamu segera menikahiku.”
“Ya, tentu kita akan menikah. Bukankah aku pernah mengatakannya.”
“Lusa, ayah akan pulang. Kita harus segera bicara.”
“Ya, besok aku akan menemuimu. Tapi kamu harus tenang. Sudah ya, jangan menangis.”
“Aku sayang kamu, Ed.”
“Ya, aku tahu itu. Sekarang kamu harus tidur!”
Obrolan berakhir. Ada sedikit rasa lega dalam hatimu. Kau berusaha agar segera tertidur. Tapi pikiranmu masih berkelebat. Membayangkan pernikahan dengan lelaki yang sangat kaucintai.
Dalam risau, bibirmu melengkungkan senyum. Tapi matamu kini sudah sepenuhnya terpejam. Sementara di sudut ruangan di kota lain, kekasihmu juga tampak risau setelah menutup telefon darimu. Ia berjalan ke kamar, ingin segera tidur.
“Telefon dari siapa?” tanya seorang perempuan yang berbaring di tempat tidur.
“Ada tugas dari kantor, besok aku ke luar kota lagi.”
“Kok mendadak begitu?”
“Aku juga tidak tahu.”
“Bagaimana dengan Aya? Besok hari pertamanya masuk sekolah.”
“Besok pagi aku yang akan mengantar Aya ke sekolah. Sekarang tidurlah!” dia mengecup kening perempuan itu. Sebentar hening. Sekilas membayang wajah polos Sita dalam kantuknya. ***

Warisan Terakhir Kolektor Gigi

Cerpen Ken Hanggara (Tribun Jabar, 05 November 2017)
Warisan Terakhir Kolektor Gigi ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar.jpg
Warisan Terakhir Kolektor Gigi ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
CUKUP lama juga Brenda menjadi kolektor gigi. Ia mengaku mendapat banyak gigi ketika masa perang masih berlangsung. Itu bertahun-tahun lalu, ketika dia masih sangat muda, karena sekarang kami sudah menyebutnya bau tanah.
Orang-orang tidak suka Brenda. Dari dulu hampir selalu begitu. Brenda penganut aliran sesat, Brenda si pemuja setan, dan lain-lain. Tuduhan serius tidak pernah Brenda masukkan hati. Sejak muda sudah tidak punya banyak teman, dan saat tubuhnya menua, kurasa ia tidak lagi memiliki teman, kecuali aku.
“Mereka hanya tidak betul-betul mengerti,” katanya selalu, ketika ada yang cukup dekat dengannya mengingatkan akan kebencian semua orang terhadapnya. Brenda tidak pernah cemas memikirkan itu.
Ada masa ketika Brenda memiliki dua atau tiga orang pengingat, yang artinya dia masih memiliki setidaknya tiga orang yang dianggap dekat dengannya. Aku masih amat muda waktu itu, dan tentu saja aku tidak perlu menghabiskan waktu mampir ke rumah janda itu demi mengingatkannya soal kebencian.
Ketika semua orang mati, yang kemudian hanya aku tersisa untuk kehidupan sosok Brenda sang kolektor gigi, tugas-tugas mengingatkan jatuh ke tanganku. Tugas ini tidak terlalu penting sebenarnya, dan bahkan Brenda sendiri tidak membuat semacam tulisan agar sesoorang bertugas mengingatkannya, kemudian menyiapkan bayaran uang dengan jumlah tertentu untuk itu.
“Terserah saja kalian maunya apa. Datanglah sesuka hati ke rumahku dan bicaralah apa yang menurut kalian perlu.” Kurasa kalimat Brenda yang satu itu dianggap sebagai izin bagi siapa pun untuk dapat mengabdi padanya dengan ikhlas. Tentu saja Brenda tak pikun, dan ia tahu bagaimana setiap orang di kawasan itu membencinya karena gigi-gigi manusia tidak selayaknya dikoleksi. Tenlu saja, “mengabdi” di mata orang-orang yang juga menyukai Brenda, seperti halnya diriku, berarti adalah membuatnya selalu ingat dan waspada.
Brenda bukan berhenti setelah tahu orang pertama mengumumkan kebencian pada aktivitas sang kolektor gigi. Jasad-jasad tak dikenal sering ditemukan semasa perang. Di sekitar situ ada banyak sekali pendatang yang tidak jelas identitasnya, dan tentunya tak jelas pula siapa keluarga mereka. Para imigran gelap, yang takut ketahuan kedatangan mereka adalah tindakan ilegal, merasa cukup dengan hanya berdoa saja, jika memang di keluarga mereka ada yang tewas terbunuh dan ditemukan di jalan, sebelum kemudian masuk ke kamar jenazah. Brenda punya hubungan spesial dengan pengurus jenazah di salah satu rumah sakit, sehingga dengan begitu, ia mudah mendapat beberapa bilah gigi dari seonggok mayat yang keluarganya takut mendapat masalah karena telah melanggar hukum perbatasan.
Brenda tidak ingin berhenti, dan malah membuka museum gigi, dengan sejarahnya masing-masing dan ditulis oleh tangannya yang lembut, dan setiap tulisan dipajang di bawah sebilah gigi yang sudah dibersihkan dan ditata di suatu kotak dari kaca. Setiap bilah gigi memiliki cerita menarik, dan semua itu seakan-akan pernah terjadi di masa lalu.
“Seperti gigi yang ini,” kata Brenda kepada salah satu pengunjung. “Seorang jenderal pernah nyaris mematahkannya, tapi si pemilik gigi memakai pelindung sehingga ia bisa kabur bersama giginya. Hari ini, semua orang tahu bahwa suatu ketika gigi ini nyaris hilang ke muka bumi kalau tidak pemiliknya terlalu cerdas. Pada saat itu, ia menantang seorang jenderal demi cinta gadis penjual kue.”
Setelah menjelaskan itu, Brenda menunjukkan sejarah tertulis soal sebilah gigi. Dia membuatnya seolah nyata dan beberapa orang percaya. Aku sendiri tidak percaya dan mengira Brenda tukang dongeng andal. Suatu hari ia harus menulis novel, kataku kepada salah satu orang terdekatnya. Suatu hari ia memang harus menulis sesuatu agar dapat lebih banyak uang ketimbang sekadar menjadi kolektor yang membuka museum gigi.
Yang kudengar setelah itu adalah sejarah Brenda sendiri. Bahwa ia memang dapat membaca sejarah benda-benda. Orang terdekat Brenda tidak terima kuanggap remeh cerita-cerita setiap gigi yang dia tulis, dan mereka berkata dengan nada yang sangat tak wajar, “Sebaiknya kamu pergi saja, atau sekalian bunuh Brenda diam-diam. Kami tidak akan membiarkanmu!”
Sejak itu aku tahu, Brenda bukan orang sembarangan. Ia membuktikan itu dengan rasa sayangnya kepadaku. Ia mengajakku masuk ke ruangan pribadinya, yang tak setiap orang kepercayaan mendapat kepercayaan ini. Bahkan, mereka yang cukup sering mengingatkan Brenda akan kebencian di luar sana yang sewaktu-waktu bisa membunuh sang kolektor belum tentu mendapat kepercayaan ini.
Brenda mengisahkan padaku sejarah benda-benda di ruangan pribadinya. Aku tidak bisa membantah kebenaran yang ia ungkap dari sepatu bututku. Bahkan, kancing bajuku yang tidak berarti pun, ia tahu bukan berasal dari baju yang kukenakan.
“Aku tahu dulu kamu mencurinya dari rumah tukang jahit, yang pernah meledek ayahmu tukang main perempuan. Karena kamu tersinggung, kamu curi banyak sekali kancing baju. Dan umurmu waktu itu masih enam tahun. Bayangkan, bocah enam tahun sudah tahu konsep dendam. Kamu benar-benar istimewa.”
Kedekatanku dengan Brenda pun terjalin. Itu terjadi bukan karena aku tahu Brenda memang mampu menelusuri sejarah benda-benda, terutama gigi yang dia koleksi, tetapi juga karena kebencian di luar mulai membahayakan diriku. Orang-orang kepercayaan yang biasa menjadi pengingat mati satu per satu. Aku masih terlalu muda dan tidak ada yang menganggapku penting, tapi Brenda tahu aku mungkin satu-satunya ahli waris yang tepat.
Brenda mengaku punya suatu cara untuk melindungi diri. Jika setiap warga di desa dan bahkan seluruh kola dapat membunuh orang-orang terdekat, mereka tidak akan bisa membunuh Brenda sendiri. Aku tidak tahu bagaimana bisa begitu, sampai kudengar ada yang tidak beres di belakang malam itu. Brenda duduk di meja dapur sambil menunduk dan wajahnya tampak sangat biru.
Brenda menyuruhku bersembunyi, dan kupatuhi sarannva. Aku bersembunyi dalam ruang bawah tanah selama hampir dua puluh empat jam. Pada saat itu perang sudah usai selama setahun lebih, dan museum yang Brenda buka sudah beroperasi selama nyaris setahun, tetapi aku merasa getaran-getaran dahsyat di atas mengakhiri segalanya. Aku pikir, Brenda telah tewas. Mungkin museum yang ia dirikan tepat di samping rumahnya sudah roboh dan tidak ada lagi yang memberiku tempat tinggal.
Aku keluar setelah kondisi mulai tenang, dan ketakutan tak dapat lagi mencegahku menghirup udara segar. Di sana kutemukan Brenda di rumah dan dapurnya yang masih utuh. Seluruh desa hancur lebur dan rata dengan tanah. Aku tidak tahu apa yang Brenda lakukan, tapi ia bilang, “Ini demi siapa pun yang percaya sejarah yang paling tak berarti, sebenarnya adalah sejarah paling berarti.”
Brenda mengeluarkan beberapa bilah gigi dari orang-orang yang menentangnya. Ia memberikannya kepadaku sebagai warisan terakhir, sebab menurutnva, aku bisa menguak sejarah paling berarti di tempat lain.
“Lalu, bagaimana denganmu, Brenda?”
“Di sini aman. Tidak ada lagi yang membenciku, dan tidak ada juga yang berniat merobohkan tempat ini. Tentu saja museumku masih buka bagi para pendatang dari kota yang mau belajar sejarah. Ingatlah, gigi adalah unsur penting dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya gigi, manusia tidak akan bisa menikmati hidup. Pcrcayalah, karena kalau kamu sudah tua, kamu akan membuktikannya.”
Brenda lantas menjelaskan bahwa mereka yang membencinya, yang menuduhnya sebagai penganut aliran sesat, pemuja setan, dan entah apalah, hanya orang-orang yang tidak pernah benar-benar bisa menghargai kehadiran gigi.
“Sesuatu yang dianggap kecil bukan berarti tidak bisa jadi berarti, Nak.”
Sejak itu aku tinggal di kota lain, dan sesekali mampir ke tempat Brenda yang aku tahu tidak berkembang seperti yang Brenda harapkan. Museumnya ia tutup di tahun kedua belas, dan rumahnya diubah menjadi peternakan lebah sejak hari penutupan itu. Di museum yang kudirikan, pada akhirnya semua gigi dan sejarah mereka masing-masing menetap hingga kini.
Brenda dapat membaca waktu, tetapi tidak mampu mengontrol takdir. Segala yang terjadi sepenuhnya berada di luar kuasa Brenda. Sebab, ia memang bukan Tuhan. Orang yang dahulu membencinya juga tidak dapat mengontrol takdir. Sejarah, betapapun kecil di mata manusia, toh tidak akan pernah benar-benar hilang.

Gempol, 2010-2017
Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).

Warisan Antoni

Cerpen Agit Yogi Subandi (Lampung Post, 05 November 2017)
Warisan Antoni ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Warisan Antoni ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
“SERATUS hektare tanah kebun kelapa sawit dan uang sebesar Rp 500 juta untuk perawatan kebun tersebut selama dua bulan ke depan,” ucap Notaris Kadarsyah jelas dan lantang. “Dan ini uang dan surat-menyurat yang berkaitan dengan tanah dan kebun tersebut.”
Antoni terdiam lalu tertawa kecil saat melihat amplop berisi uang serta berkas-berkas di dalam kardus di depannya.
“Ini benar-benar aneh dan tidak masuk akal,” dia mencoba menjelaskan. “Jika jumlah uang itu dua miliar, seseorang bisa membeli mobil, pergi berlibur ke pantai atau berbelanja di sebuah kota dan berinvestasi di reksadana. Uang sejumlah itu membuat orang banyak berpikir menggunakannya.”
“Kan, kamu sudah mendengar sendiri, apa yang sudah diwasiatkan paman kamu,” lanjut Notaris Kadarsyah dengan nada yang lebih berwibawa. “Saya sebenarnya kurang yakin, apakah kamu memperhatikan detail-detail dari apa yang saya bacakan tadi, tapi saya harus mengingatkan kamu satu hal inti dari wasiat ini. Kamu diharuskan memberikan kami catatan atas penggunaan uang itu, dan haruslah digunakan untuk perawatan kebun-kebun tersebut. Begitulah keinginan dari wasiat tersebut. Saya yakin kamu bisa mengikuti kehendak Bapak Tamrin Ilhamsyah almarhum, paman kamu.”
“Bapak dapat memercayai saya,” kata Antoni, dengan nada sopan.
“Meskipun merawat kebun yang sudah bertahun-tahun tidak diurus itu, membutuhkan biaya lebih dari apa yang diberikan, dan saya sangat tidak pandai dalam hal ini.”
Antoni pergi ke sebuah warung menemui Nasrudin, yang biasa ia panggil Angkel Nas.
Nasrudin seorangyang kalem, usianya sekitar lima puluh tahun dan orang-orang menemuinya kalau ada perlu saja. Dia selalu berada di sudut warung itu, membaca koran dan ketika melihat Antoni mendekat, ia langsung melengos dan melenguh, melipat korannya dan mengangkat gelas kopinya kemudian meneguknya sedikit.
“Angkel Nas,” kata Antoni sambil memegang gelas kopinya.
Angkel Nas melihat ke arah Antoni dan menaikkan alisnya lalu kembali meminum kopinya kembali, sedikit. “Apa cerita?” tanya Angkel Nas.
“Aduh, ini sungguh cerita yang aneh.”
“Saya harap kamu menceritakan cerita kamu itu ke teman-temanmu, bukan ke saya.” ujar Nasrudin. “Cerita kamu itu aneh-aneh.”
“Ini lebih aneh dari biasanya,” Antoni mengambil pisang goreng di meja. “Dan Angkel saya harus ceritakan ini kepada Angkel. Terlalu sedih dan sekaligus tidak masuk akal. Saya baru saja dari kantor notaris yang memegang surat wasiat dari paman saya yang sudah meninggal. Saya diwariskan olehnya 100 hektare tanah kebun kelapa sawit dan sejumlah uang sebesar Rp 500 juta untuk perawatan kebun tersebut selama dua bulan ke depan. Sekarang saya kebingungan dengan warisan ini. Apa yang dilakukan seseorang dengan warisan semacam ini?”
“Oh, pamanmu itu,” tukas Nasrudin, sedikit terperangah mendengar cerita Antoni, bagai seseorang yang sedang mengunyah nasi dan tiba-tiba giginya tak sengaja menggigit batu. “Orang kaya namun meninggalkan sesuatu yang agak tidak masuk akal.”
“Betul sekali, Angkel Nas,” Antoni sepakat sekali dengan pendapat Nasrudin. “Dan di sinilah letak keanehannya lagi ia meninggalkan kekayaannya untuk seekor kutu. Justru. warisan yang sedikit dan remeh diberikan kepada pembantunya yang sudah lama menetap di rumahnya, berupa lemari pakaian dan uang satu juta. Keponakannya ini mendapatkan warisan yang cukup besar untuk kuhambur-hamburkan.”
“Kamu memang beruntung, punya sesuatu untuk dihamburkan.” Nasrudin menggelengkan kepalanya.
“Banyak sekali, Angkel,” sahut Antoni sambil terkekeh. “Paman saya itu seorang dermawan selama uang itu berkaitan dengan uang jajan.”
“Apakah paman kamu itu punya ahli waris yang lain?” tanya Nasrudin.
“Sepertinya tidak ada,” tukas Antoni sambil memiringkan kepalanya ke kiri dan memutar bola matanya ke kanan atas, lalu memukul pelan meja dengan telapak tangan. “Seharusnya Salbiah, anak angkat paman saya itu. Dia seorang gadis yang baik dan tenang dan tekun belajar dan juga rajin. Ia anak dari keluarga yang kurang beruntung yang dijadikan anak angkat pamanku untuk mengurusnya. Saya lupa mengatakan kalau Salbiah ini merupakan bagian dari keanehan ini. Saya bisa menyerahkan segala urusan semacam ini kepada dia. Tolonglah, Angkel Nas, katakan pada saya, apa yang seharusnya saya lakukan dengan warisan ini?”
Nasrudin mengusap wajahnya yang sedikit mengantuk dan sedikit tersenyum. Ketika Nasrudin sedikit tersenyum itu, Antoni mengerti bahwa ia bermaksud lebih mengejek kelakuannya itu.
“Warisan itu,” katanya sambil menghela nafas. “Sebenarnya itu sesuatu yang banyak. Karena dengan warisan itu, orang bisa tinggal duduk dan menghabiskan semuanya dan menertawakan orang-orang yang mencari uang setiap hari hingga lupa kepada keluarganya tapi tidak menjadikan orang itu kaya. Uang Rp 500 juta dan 100 hektare kebun kelapa sawit, mungkin kamu bisa kredit kendaraan roda empat atau kamu bisa memberi makan anak yatim piatu sepertimu, atau kalau kamu tidak mau pusing, kamu bisa pergi ke sebuah toko pakaian dan membeli pakaian yang bermerek.”
“Ah, kamu berpikir seperti orang kebanyakan, Angkel Nas,” kata Antoni, sedikit tenang. “Saya minta pendapat Angkel Nas untuk membantu saya berpikir menyelesaikan persoalan ini.”
“Kamu ini,” ujar Nasrudin sambil tertawa meremehkan. “Mengapa, Ton, cuma satu hal yang masuk akal untuk bisa kamu lakukan, belikan saja janda yang selalu kau ajak kemari itu, si biduan, Mala, dengan mas kawin 10 atau 20 gram emas, supaya ia mau kawin denganmu. Setelah itu, kalian berdua merawat kebun tersebut bersama-sama. Mudah kan?”
“Baiklah, terima kasih kalau begitu,” Antoni bangun dari duduknya.
Antoni pergi dan memanggil tukang ojek dan berkata: “Studio Monata Electone.”
Mala sedang menunggu giliran untuk berlatih bernyanyi di studio, hampir siap untuk tiba gilirannya memasuki studio, ketika penjaga studio mengatakan kepadanya, bahwa Antoni mencarinya.
“Biarkan ia kemari,” ujar Mala. “Sekarang apa lagi Bang Anton, Mala mau latihan sebentar lagi.”
“Abang hiasi jari Mala dengan cincin ya,” ujar Antoni memberi saran yang merayu. “Hmmm, pasti lebih terlihat manis dan cantik. Abang sebentar saja, kok. Bagaimana pendapat kamu? Aku bisa membelikanmu besok lalu kita akan menikah. Bagaimana, kamu mau?”
“Wah, Abang baik sekali, mau melamar Mala,” kata Mala sambil senyum simpul. “Mana teks lagu untuk latihan, Supri?” Lalu melihat ke Antoni. “Bagaimana, Bang, kemarin Dona dapat mas kawin yang bertebaran ke jari, tangan, dan lehernya, dan belum lagi ditambah dengan sebuah mobil baru keluaran terbaru,” kemudian Mala meminta penjaga studio. “Talong ambikan tas saya di ruang operator, dong Supri.”
“Ayo, Mala, giliran kamu beriatih,” kata temannya yang baru selesai berlatih.
Antoni berjalan lemas keluar studio menuju tukang ojek yang telah menunggunya di luar. Beberapa kecamatan di kota yang diberi lambang tugu Payan Mas itu terlewati. Antoni menghentikan tukang ojeknya itu dan turun dari kendaraan. Seorang lelaki penjual keliling setengah baya yang membawa kursi bambu yang cukup panjang, istirahat di trotoar, mengipas-ngipas lehernya dengan handuk putih yang telah dilumuri keringat dan daki. Antoni menghampiri dan duduk di samping orang itu.
“Pak,” panggilnya. “Sudikah bapak memberitahu saya apa yang akan Bapak lakukan kalau Bapak memiliki uang Rp 500 juta dan 100 hektare kebun kelapa sawit?”
“Adek ini yang baru turun dari motor itu?” tanya bapak itu.
“Sepertinya anda bukan orang yang susah.” kata si penjual kursi keliling itu. “Bepergian dengan kendaraan roda dua itu. Saya akan masukkan ke buku ini. Lihatlah.”
Lelaki itu mengeluarkan buku tabungan dari tas pinggangnyadan menyodorkannya. Antoni membukanya, dan buku itu adalah buku tabungan dari sebuah bank. Antoni melihat jumlah tabungannya yang sudah mencapai Rp 12.725.000.
Antoni mengembalikan buku tabungan itu dan bergegas menuju tukang ojek yang sudah menantinya.
“Kita menuju kantor Notaris Kadarsyah Hasan, S.H., M.Kn, dan partner, di dekat tugu kota.”
Notaris Kadarsyah melihat Antoni dengan perasaan agak sedikit kesal, bertanya-tanya melalui matanya yang membesar itu.
“Maafkan saya, Pak.” Antoni melanjutkan. “Boleh saya bertanya? Saya harap ini masih bisa disebut sopan. Apakah Salbiah mendapatkan warisan dari paman saya, Pak?”
“Tidak,” kata Kadarsyah.
“Baiklah, terima kasih ya, Pak.” ucap Antoni lalu keluar menuju tukang ojeknya. Lantas ia memberi tahu si tukang ojek alamat rumah almarhum pamannya itu.
Salbiah sedang mencatat sesuatu di ruang teras rumah almarhum pamannya itu. Dia bertubuh ramping, tinggi dan berpakaian terusan bunga-bunga berwarna gelap. Tapi lihat mata dan bulu matanya yang lentik, Antoni sedikit mabuk karenanya dan memandang kehidupan menjadi lebih berbeda karenanya.
“Abang baru pulangdari tempat pak notaris,” jelas Antoni. “Mereka sedang memeriksa berkas-berkas yang abang bawa ini. Mereka menemukan sebuah…” Antoni mencoba mengingat-ingat tentang istilah hukum yang digunakan oleh si Pak Notaris tadi. “Mereka menemukan sebuah wasiat tambahan atau sesuatu mengenai wasiat, Buya Karim. Sepertinya Buya memikirkan kamu juga dan menginginkan kamu menerima 100 hektare kebun kelapa sawit dan uang sejumlah Rp 500 juta untuk kamu. Bapak Notaris Kadarsyah meminta abang untuk membawakan semua itu. Ini dia. Sebaiknya kamu lihat dulu dan menghitungnya untuk memastikan uang dan berkas-berkasnya.” Antoni mendekatkan surat-surat yang berkaitan dengan tanah kebun dan uang itu ke dekat tangan Salbiah.
Salbiah terkejut, “Hah!” dan sekali lagi, “Hah!”
Antoni berdiri dan mencoba duduk di tempat yang lebih jauh.
“Tentu saja,” kata Antoni dengan suara yang berpusat di dada. “Kamu tahu, Abang mencintaimu.”
“Maaf,” kata Salbiah sambil merapihkan uang dan berkas menjadi satu tumpukan.
“Apakah ini berguna untukmu?” tanya Antoni dengan nada bicara yang halus.
“Maaf,” kata Salbiah sekali lagi.
“Boleh Abang minta kertas dan pena?” pinta Antoni sambil tersenyum manis. Ia berdiri di dekat meja tempat Salbiah menulis tadi. Salbiah memberinya selembar kertas dan pena kemudian ia merapikan kembali berkas-berkas tadi.
Antony mencatat: “Telah diterima dari si Anjing Liar, Antoni Ahmad, Rp 500 juta sebagai tabungan akhirat atas perintah Allah Yang Mahakuasa kepada perempuan terlembut dan tercinta di kota yang mengerikan ini.”
Antoni memasukkan kertasnya tadi ke sebuah amplop, mengajak salaman lalu pergi.
Tukang Ojek telah membawanya lagi ke kantor Notaris Kadarsyah Hasan, S.H., M.Kn., dan partner.
“Saya telah menyelesaikan tugas yang diberikan melalui wasiat paman saya itu, Pak,” katanya sambil tersenyum kepada notaris Kadarsyah. “Dan saya kemari untuk memberikan catatan yang diminta tersebut sebagaimana yang telah Bapak bacakan dan saya setujui. Rasanya agak sedikit lega, mudah-mudahan Bapak juga merasa lega.” Antoni meletakkan selembar amplop putih ke atas meja notaris itu. “Bapak akan menemukan catatan singkat di situ, Pak, tentang cara saya mengurus segalanya.”
Tanpa menyentuh amplop yang tergeletak itu, Notaris Kadarsyah beranjak dari kursinya dan memanggil rekan kerjanya. Berbarengan mereka memeriksa sebuah kardus yang baru saja mereka keluarkan dari sebuah lemari besi. Setelah rekannya memberikan sebuah amplop besar cokelat yang masih tersegel, pencarian telah berhenti dan sekarang mereka merapikan kembali kardus itu dan memasukkannya kembali ke lemari besi. Notaris Kadarsyah membuka segel dan menarik keluar selembar kertas, lalu kemudian mengajak rekannya untuk membaca surat itu. Mereka berdua mengernyitkan dahi kemudian menggeleng-geleng setelah membaca surat itu. Lalu Notaris Kadarsyah membacakan surat itu dengan suara yang lantang dan jelas.
“Saudara Antoni,” ucapnya sedikit resmi, “Di sini kami membaca sebuah lampiran untuk saudara yang sebenarnya satu rangkaian dengan surat wasiat paman anda itu. Lampiran ini telah dikuasakan kepada kami dengan perintah untuk tidak membukanya sampai saudara memberikan catatan pengeluaran sejumlah uang yang digunakan untuk mengolah perkebunan warisan paman anda itu. Sebelumnya, kami ingin bertanya terlebih dahulu kepada saudara, apakah uang itu digunakan dalam kaitannya dengan perkebunan itu? Karena jika jawaban Anda adalah, ‘iya’ maka kami akan memberitahukan kepada anda mengenai isi dari lampiran ini.”
“Bagaimana saudara Antoni?” tanya Notaris kepadanya.
“Baiklah,” sambil tergugup-gugup ia menjawah, “Iya.”
“Bahwa, Anda telah memenuhi syarat pada wasiat pertama, yaitu mengurus 100 hektare kebun sawit dengan sejumlah uang sebesar Rp 500 juta, yang syarat dari dapat dibukanya lampiran ini, saudara Antoni, selaku ahli waris dari Almarhum Bapak Tamrin Ilhamsyah, patut mendapatkan imbalan. Baiklah Saudara Antoni, syarat yang kita bicarakan tadi merupakan syarat untuk diberikannya lampiran ini kepada Saudara, dan Almarhum Tamrin Ilhamsyah telah memercayakan kepada kami untuk menyerahkan surat rumah dan uang tabungan sejumlah Rp 5 miliar kepada Saudara. Namun, apabila Anda menggunakan uang yang diisyaratkan sebelumnya di wasiat, Anda gunakan sebagaimana yang pernah diisyaratkan almarhum Bapak Tamrin Ilhamsyah, seperti yang pemah Anda lakukan pada waktu yang telah lalu, maka kami akan menyerahkan lampiran ini kepada anak angkatnya, yaitu Saudari Salbiah. Sehubungan dengan hal itu, kami berhak untuk menilai catatan Anda sebelum lampiran ini kami serahkan kepada Saudara.”
Tangan Notaris Kadarsyah hendak mengambil amplop yang diberikan oleh Antoni di meja itu, tetapi, Antoni lebih cepat dari tangan notaris ketika hendak mengambilnya. Setelah Antoni mendapatkan amplop itu kembali, amplop itu dirobeknya menjadi dua dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya.
“Baiklah, bisa dimengerti,” tukas Antoni sambil tersenyum. “Jangan hiraukan hal ini, sepertinya bapak-bapak notaris ini tidak akan mengerti perincian yang saya berikan. Selamat sore bapak-bapak sekalian.”
Bapak-bapak notaris itu sedikit kesal dan mulai menggeleng-gelengkan kepala, mereka lebih terlihat sedih dan bersalah, namun Antoni melangkah keluar dengan langkah lebih mantap dari sebelumnya.

Agit Yogi Subandi, bergiat seni di Komunitas Berkat Yakin (KoBer), Lampung. Tinggal di Bandar Lampung.

Suamiku Ingin Mati di Wawonii

Cerpen Arsyad Salam (Padang Ekspres, 05 November 2017)
Suamiku Ingin Mati di Wawonii ilustrasi Padang Ekspres.jpg
Suamiku Ingin Mati di Wawonii ilustrasi Padang Ekspres
1/
Pukul satu siang.
Duduk menyandar pada tumpukan dos mi instan, perempuan itu tampaknya sedang asyik dengan diri sendiri. Pandangannya tak pernah lepas dari layar ponsel yang terkoneksi dengan headset di kupingnya. Namun saya yakin ia tidak bisa fokus mendengarkan lagu. Meskipun duduk di bagian paling atas Kapal Fajar Fadilah, ia pasti terganggu oleh suara mesin yang mulai menaikkan gas. Sebentar lagi kapal berangkat. Kembali mengarungi lautan Kendari-Wawonii. Suara percakapan para penumpang hilang tertelan suara mesin. Begitulah memang setiap kali kapal hendak berangkat.
Rasanya saya kenal perempuan itu. Entah di mana. Sepertinya saya pernah tahu siapa dia. Atau paling tidak pernah berbicara dengannya. Sayang, ingatan tak selamanya panjang.
Pasti ada di antara kalian bertanya, cantikkah perempuan itu? Berapa usianya? Bagaimana postur tubuhnya? Langsing? Kurus? Gemuk? Yang bertanya begitu bisanya laki-laki. Entah kenapa laki-laki di mana pun lebih mengutamakan detail fisik perempuan daripada soal lain. Apakah ia cerdas? Apa kelebihannya? Itu jarang ditanyakan.
Terus terang saya tak bisa menjawab pertanyaan kalian. Seperti sudah saya singgung, saya tak kenal dekat perempuan itu. Apakah ia cantik? Mungkin. Namun bukankah definisi cantik dan tampan sangat relatif? Artinya berbeda bagi setiap orang.
Ketika Pulau Hari di kanan dan Pulau Saponda di kiri telah terlewati, saya perhatikan tidak terjadi perubahan pada wajah perempuan itu. Biasa-biasa saja dan terus mengawasi laut dengan ekspresi sangat wajar. Mungkin kedua pulau itu sudah terlalu biasa bagi dia, tak lagi membawa kesan mendalam. Mungkin ia seperti saya juga, melewati pulau itu hampir tiap pekan. Bolak-balik Kendari-Wawonii. Rutinitas membosankan. Tapi mau apalagi. Saya memang harus menempuhnya demi tugas dan tanggung jawab sebagai aparat negara.
Perempuan itu masih juga memandang laut. Tiba-tiba ia berdiri, melangkah hati-hati mendekati tempat saya duduk di samping tumpukan jerigen solar. Saya berdebar oleh tingkah yang mendadak itu. Bajunya tersibak angin. Jilbabnya juga.
“Bapak masih ingat saya?”
Saya memandang cukup lama seraya mengumpulkan ingatan yang berserakan tentang sosok perempuan yang sekarang berdiri di hadapan saya.
“Saya Nining, Pak.”
“Nining?” saya membalas ragu. Dan ia tahu saya ragu. Ia meneruskan.
“Dulu kita sama-sama naik Kapal Wawonia ke Kendari.”
“Ah, kenapa sekarang sulit sekali mengingat orang?” batin saya. Namun yang keluar dari mulut saya hanya sahutan pendek, “Oh ya?”
Saya memang tidak dikaruniai kefasihan mengingat segala kejadian. Saya nyaris lupa semua kejadian yang telah lewat, meskipun baru sepekan lalu. Mungkin benar ia pernah sekapal dengan saya. Entahlah. Namun mungkin juga ia cuma mengarang-ngarang, mencari alasan bisa mengobrol dengan saya. Saya tak tahu.
Saya perhatikan perempuan itu lebih cermat. Ada sesuatu yang menarik dalam dirinya. Sesuatu yang saya tak tahu. Dan saya bingung tak bisa menunjukkan hal menarik itu. Saya pernah membaca sebuah buku filsafat. Saya lupa judulnya, tetapi ada yang tidak bisa saya lupakan dalam buku itu; bahwa saat kita melihat sebuah objek, sudah berbeda bila melihatnya waktu lain. Perbedaan waktu itulah yang membuat objek berubah.
Saya dan Nining terlibat percakapan. Ia bercerita dulu mengajar di sebuah sekolah dasar dekat Tumburano di Wawonii Utara. Namun sejak empat tahun lalu, ia menikah dan tinggal di Kendari.
“Baru hari ini saya kembali ke Wawonii setelah menikah dengan Rustam.”
“Empat tahun?” tanya saya agak heran.
Ia mengangguk mantap.
“Suami kamu sekarang di mana?”
“Di kapal ini.”
“Di kapal ini? Di mana?”
“Di kamar ABK.”
“Kenapa?”
“Ia sakit. Saya membawanya ke kampung untuk berobat.”
“Kenapa kamu di atas sini? Kenapa tidak menjaganya?”
“Ia sedang tidur sekarang. Biarlah ia istirahat.”
Sebenarnya banyak yang saya ingin tanyakan. Namun, entahlah, saya hanya mampu membisu seraya menatap ombak berkejaran.

2/
Tiga jam sebelumnya.
“Tahan sakitnya ya, Rus, sebentar lagi kita ke pelabuhan,” bujuk Nining.
Rustam diam, tak menyahut atau mengangguk. Di dalam taksi sepanjang perjalanan, Nining berusaha menghibur sang suami. Ia mengajak Rustam bicara dengan nada manis. Sesekali tangannya mengusap pelipis dan rambut Rustam yang acak-acakan. Sopir taksi yang mereka tumpangi, lelaki gemuk yang tampak baik hati, cuma sesekali melirik mereka lewat kaca spion.
“Sejak dulu kan aku sudah bilang, kita berobat ke Makassar saja, tapi kamu maunya ke kampung. Memang di kampung ada yang bisa mengobatimu?” Nining terus bicara sendirian. Rustam tergolek tanpa daya di jok belakang, di sampingnya.
Nining menyuruh sopir taksi mempercepat laju kendaraan, khawatir ketinggalan kapal. Ia tahu jadwal berangkat kapal kayu ke Pulau Wawonii tak pernah tepat. Kadang lebih cepat, kadang juga terlambat berjam-jam. Dalam hati ia berdoa semoga kapal belum berangkat. Kalau ia ketinggalan, pupuslah harapan membawa pulang Rustam ke kampung.
Memasuki pintu gerbang pelabuhan, Nining sedikit lega ketika dari jauh melihat Kapal Fajar Fadilah masih tertambat di dermaga. Orang ramai naik-turun kapal. Pedagang asongan di mana-mana, berteriak menjajakan nasi bungkus, jagung rebus, dan air mineral.
Nining minta tolong sopir taksi membantu membopong Rustam ke kapal. Dalam hati ia berharap semoga tidak ada yang tahu apa yang sesungguhnya ia lakukan. Sengaja ia menutup kepala Rustam dengan kain panjang supaya tak terkena sinar matahari. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu ramai membicarakan keadaan Rustam yang telah lama diketahui sakit dan tidak sembuh-sembuh sampai sekarang. Orang-orang di pelabuhan siang itu dan hari-hari lain kebanyakan orang Wawonii juga. Mereka kenal Nining. Juga Rustam tentu saja.
“Kasihan ya,” kata seseorang.
“Memang ia sakit apa?”
“Saya dengar ia sakit jantung.”
Rustam dimasukkan dalam kamar kosong, kamar seorang anak buah kapal. Nining lega. Kembali ia mengusap kepala suaminya penuh kasih sayang. Dalam hati ia berdoa kepada Tuhan agar perbuatan itu tidak diketahui penumpang lain di kapal. Apalagi sampai diketahui juru mudi. Bisa gawat urusan nanti. Tadi ia berdebar ketika seorang ABK berkata tubuh Rustam sudah pucat, mirip mayat.
“Jangan-jangan ia sudah mati,” kata orang itu.
Nining menyahut cepat, Rustam cuma tak sadarkan diri. Penyakitnya memang gawat. “Ia pernah pingsan dua hari,” ucap Nining untuk menenangkan diri sendiri.

3/
Dermaga Langara sudah tampak. Kami berhenti bercakap-cakap. Nining lekas berdiri dan minta diri untuk ke bawah, ke kamar sang suami berbaring. Ia menatap saya agak lama, membuat saya agak heran seraya berpikir pasti ada rahasia yang hendak ia katakan. Saya memberanikan diri bertanya.
“Ada apa?”
Ia mendekat lagi, mendekatkan mulut ke kuping saya. Suaranya halus dan dalam, meskipun agak gemetar.
“Suamiku ingin dikuburkan di Wawonii. Ia ingin mati di pulau itu.”
“Lantas apa masalahnya? Kan kamu membawanya pulang untuk berobat?”
“Ia sudah meninggal, sudah mati sejak dari rumah di Kendari.”
“Hah?”
“Jangan bilang-bilang ya,” bisiknya dengan wajah agak sedih.
“Soalnya kapal-kapal di sini dilarang membawa mayat. Pemali, kata mereka. Saya pun terpaksa melakukan ini untuk melaksanakan wasiat suami saya yang ingin dikuburkan di Wawonii.”
Saya belum mampu mencerna apa yang sesungguhnya terjadi ketika dari bawah terdengar teriakan seorang anak buah kapal. “Ada mayat dalam kapal ini! Siapa keluarganya? Siapa bertanggung jawab?” (44)

Arsyad Salam, menulis novel dan cerpen. Novel yang telah terbit Kidung dari Negeri Apung (2015), Jejak Manusia Langit (2016), dan Lintasan Menikung (2017). Kumpulan cerpennya Pasung Jiwa Merpati Putih (2016). Kini, dia tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Percakapan dengan Saika-san

Cerpen Ardy Kresna Crenata (Koran Tempo, 11-12 November 2017)
Percakapan dengan Saika-san ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo.png
Percakapan dengan Saika-san ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Ketika aku berjalan di sepanjang lorong menuju lobi, aku masih berusaha membayangkan sesosok perempuan Jepang yang katanya tengah menungguku itu. Pertengahan tiga puluhan. Mata sipit. Kulit putih yang terkesan tipis. Terakhir kali aku bertemu dan berinteraksi lewat tatap muka dengan seorang perempuan Jepang adalah enam tahun sebelumnya, dan jujur saja malam itu aku sedikit gugup. Mungkin ia kawaii [1], pikirku, menghibur diri, dan setelahnya merasa konyol. Ketika aku tiba di lobi dan menoleh ke sebuah meja-bundar paling dekat di sebelah kiri aku melihatnya, menemukan sosoknya; ia sedang mengamati sesuatu di ponselnya dan air mukanya entah kenapa terlihat begitu bersih dan begitu jernih—semacam air muka yang mampu membuatmu kehilangan rasa lelah untuk beberapa saat. Aku menyapanya, dan ia menatapku. Iris matanya hitam. Hidung dan bibirnya kecil dan ketika ia tersenyum sebagian gusinya yang tampak segar terlihat. Ia sedikit lebih menarik daripada gambaran tentangnya yang coba kuciptakan tadi.
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Saika. Nama yang jarang kudengar, jujur saja, dan aku langsung teringat pada Sonohara Anri dalam Durarara!!, serial anime yang diadaptasi dari light novel karangan Ryohgo Narita dan Suzuhito Yasuda. Awalnya kami mengobrol dalam bahasa Jepang sebab aku yang memulai. Tiba-tiba, ia meresponsku dengan bahasa Indonesia, dan untuk seorang non-Indonesia bahasa Indonesianya itu sangatlah kaya. Ia kemudian mengatakan bahwa sudah hampir tujuh tahun ia tinggal di negeri ini dan mantan suaminya adalah seorang dosen Sastra Indonesia di sebuah universitas. “Berkat kesabaran mantan suamikulah aku bisa selancar ini,” ujarnya, lalu tersenyum seperti tadi.
Obrolan kami lekas menjadi tidak biasa sebab, tanpa pernah aku menduganya, ia berkata bahwa ia membaca cerita pendekku yang tayang di sebuah koran dua minggu sebelumnya. “Itu cerita yang asyik. Membacanya memberiku kesenangan,” katanya. Ia mengaku sampai sebelum kami bertemu itu ia telah membaca lagi cerita pendekku tadi paling tidak sebelas kali, dan ia juga telah coba-coba mengulasnya, meski ia tidak—atau belum—memperlihatkannya kepada siapa pun. Rupanya ia, di tahun-tahun awalnya di Indonesia, aktif membantu mantan suaminya menyunting naskah-naskah terjemahan; mantan suaminya memanfaatkan koneksi yang dimilikinya dengan beberapa penerbit di Yogyakarta untuk memperoleh limpahan proyek-proyek terjemahan yang sebagian di antaranya dari bahasa Jepang, atau berhubungan dengan teks-teks Jepang. Dengan cara itulah mantan suaminya itu membiasakannya bersentuhan dengan bahasa Indonesia; dan di situlah mantan suaminya itu juga mengajarinya bagaimana melakukan pembacaan-pembacaan yang kritis terhadap teks. “Sebelum menikah dengannya dulu aku pernah secara intensif mengambil kursus bahasa Indonesia sekitar enam bulan. Aku bahkan beberapa kali ke Bali untuk mengetes kemampuanku. Dan saat aku membantunya menyunting naskah-naskah terjemahan itu, aku menyadari satu hal: selama ini aku keliru; caraku melihat bahasa (Indonesia) selama ini keliru.” Ia bilang, mantan suaminya itu punya ketertarikan yang akut terhadap psikoanalisis, terutama konsep bawah-sadar-kolektifnya Jung. Ketika mengurusi penyuntingan naskah-naskah terjemahan itu, ia digiring mantan suaminya untuk menemukan, memasuki, dan membedah bawah-sadar-kolektif tersebut, yang diyakini lelaki itu ada di tiap-tiap teks yang dihadapinya.
“Itu juga menjadi awal dari ketertarikanku terhadap karya sastra, khususnya cerita pendek,” kata si perempuan. “Hingga kini aku masih menyempatkan diri membaca cerita pendek koran yang mudah diakses. Buku-buku fiksi dari para pengarang Indonesia sendiri, beberapa aku membacanya.”
Jika aku lagi-lagi harus berkata jujur, aku akan mengatakan bahwa obrolan kami malam itu sungguhlah obrolan yang mahal, dan karenanya pertemuan kami itu adalah pertemuan yang istimewa—di mataku. Sejak menjadi pengajar bahasa Jepang di lembaga kurus bahasa asing waktu-waktu kongkow-ku dengan teman-teman penulis berkurang begitu juga intensitas menulisku; pasalnya jam kerjaku adalah dari siang hingga larut malam. Pertemuan dan obrolan dengan perempuan Jepang itu membuka kembali rasa hausku akan sastra, akan hal-hal yang berkaitan dengan cerita atau teks pada umumnya. Belum lagi antusiasmenya yang tinggi saat membahasnya di depan mataku itu, membuatku hampir seperti berhadapan dengan seorang penggemar yang pandai memberi apresiasi, dan itu sesuatu yang menyenangkan. Dan jadi semakin menyenangkan lagi ketika ia mulai membahas cerita pendekku yang disinggungnya tadi. “Membacanya,” katanya, “aku seperti membaca (ulang) kisahku sendiri.” Aku tersenyum dan ia kembali menunjukkan padaku senyum segarnya tadi.
***
Cerita pendekku itu mengisahkan seorang perempuan yang, entah bagaimana, tiba-tiba kehilangan kemampuan berbahasanya. Ia terbangun suatu malam dan menyadari ada sesuatu yang salah dengan dirinya, namun ia belum tahu itu apa sampai lebih dari setengah jam kemudian ketika ia menjawab panggilan telepon dari seseorang. Sama sekali ia tak mengerti apa yang dikatakan seseorang itu. Kata-kata yang dilesakkan seseorang itu ke telinganya seperti bebunyian belaka, atau sandi yang tak mampu ia pahami sedikit pun. Segera ia menyadari bahwa ia pun tak bisa membaca teks yang tertulis di layar ponselnya; huruf-huruf itu tak ia kenali; tak satu pun ia kenali. Ia menyisir ke seisi kamar, berharap menemukan teks-teks yang setidaknya bisa ia baca. Ia juga membuka-buka laci meja kerja dan mengamati buku-buku di meja tersebut. Sama saja. Tak ada satu kata pun yang bisa ia baca. Tak ada satu huruf pun yang ia kenali. Ia seperti sedang berada di sebuah kawasan asing; jauh dari kota di mana selama ini ia tumbuh. Sementara itu, seseorang yang meneleponnya tadi, masih terus berbicara dengan bahasa yang tak ia kenali.
Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Dan dalam kebingungannya itu ia mengaktifkan mode loudspeaker dan menaruh ponselnya di meja kerja. Ia sendiri duduk di pinggiran kasur, memandangi langit malam di balik jendela. “Aku di mana?” gumamnya, tentu saja dengan bahasa yang ia sendiri belum tahu itu apa.
Menurut Saika-san, begitu aku akhirnya menyebut perempuan Jepang tadi, yang kugambarkan di cerita pendekku itu adalah sebuah kegamangan identitas, di mana seseorang tiba-tiba saja merasa begitu asing dengan apa yang dimilikinya dengan apa yang ada pada dirinya dengan apa-apa yang ada di sekitarnya, padahal sesungguhnya, secara teknis, perubahan itu tidak ada. Tidak terasa, lebih tepatnya. “Dan aku suatu kali merasakan itu,” ujarnya. Saika-san kemudian bercerita panjang lebar tentang apa yang dialaminya itu, yakni bahwa suatu malam ia terbangun dan mendapati ia begitu cemas seakan-akan ia telah berubah menjadi seekor serangga besar, atau seakan-akan ia sebelum jatuh tertidur itu baru saja melakukan sebuah pembunuhan dan tak lama lagi ia akan mendengar sirene polisi dan terpaksa melarikan diri.
“Aku merasa bersalah. Di saat yang sama aku merasa aku semestinya tak di sana,” katanya.
Saat itu konon ia sedang berada di sebuah kamar hotel di Shibuya, dan mantan suaminya masih terlelap di sampingnya; mereka sendiri tengah berlibur dalam rangka merayakan hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima.
“Kami tak memiliki anak, sehingga bisa dibilang itu seperti kami sedang berbulan madu saja. Dan mantan suamiku memilih Shibuya sebab dulu aku pernah tinggal dan bekerja di sana. Dan kami sesungguhnya menikmatinya, seingatku,” lanjut Saika-san.
Namun begitulah malam itu ia terbangun dan merasakan ada yang salah dengan dirinya, dengan keberadaannya di sana, dengan segala hal yang ada di sekitarnya saat itu.
“Aku memandangi mantan suamiku dan mengelus-elus pipinya seolah-olah memastikan ia benar-benar ada, nyata, dan aku pun begitu, dan hubungan dan kebersamaan kami pun begitu. Dan ketika aku berdiri di balkon beberapa lama kemudian, dengan angin dingin sesekali membuatku bergidik, aku menyadari: aku muak dengan semua itu, dengan semua hal yang ada padaku, dengan semua yang ada di sekitarku. Aku seperti harus … melarikan diri. Dan aku benar-benar melakukannya.”
Berdasarkan pengakuannya malam itu, Saika-san berpakaian dan mengemas baju-baju dan meninggalkan mantan suaminya di kamar hotel, tanpa meninggalkan memo atau semacamnya. Ia pergi. Ia menyetop taksi di pinggir jalan dan meminta si sopir taksi membawanya mengitari kota sampai ia kelak memintanya berhenti. Di dalam taksi, di sepanjang perjalanan, ia memikirkan banyak hal, mencoba mengingat-ingat apa-apa saja yang telah dialaminya dalam beberapa tahun terakhir, dalam beberapa belas tahun terakhir, baik di negerinya itu maupun di Indonesia. Ia merasa ajaib perasaan terasing dan muak itu tiba-tiba saja menghantamnya seakan-akan selama ini hidupnya baik-baik saja, seolah-olah selama ini ia baik-baik saja.
“Itu sebuah bukti betapa tololnya kita, manusia; kita terlampau membiarkan diri kita terbawa arus dan lambat-laun melihat arus itu sebagai arus kita sendiri, sebagai sesuatu yang berasal dari kita,” jelasnya.
Aku mencoba membayangkan taksi yang melaju di jalanan lengang di Shibuya ketika pagi masih terlalu dini, ketika tengah malam belum lama berlalu, ketika sebagian besar orang tentunya sangat lelah dan terperangkap dalam tidur yang lelap dan tanpa mimpi. Apakah saat itu Saika-san merasa lapar, atau haus? Apakah tubuhnya bergemetar, atau tidak? Aku lantas mengingat-ingat cerita pendekku itu; mencoba mencari adegan serupa atau yang bernuansa sama. “Sungguh, aku senang membaca cerita pendekmu itu,” ujar Saika-san, membuyarkan visualisasiku.
***
Di dalam cerita pendekku itu, si perempuan memutuskan untuk meninggalkan kamar apartemennya. Ia tak membawa ponsel, sebab ia merasa itu percuma. Sebenarnya ia pun terpikir untuk tidak membawa uang, namun untuk yang satu ini ia bertaruh-siapa tahu nanti ia menemukan cara untuk menggunakan uang itu. Ia berjalan di lorong; ia turun lewat lift; ia mengangguk sopan kepada resepsionis, juga satpam yang berjaga di dekat pintu masuk. Di bahu jalan, ia terdiam. Kota tempat ia berada itu tak pernah begitu sepi; bahkan di dini hari seperti itu sejumlah mobil masih terlihat melintas di jalan raya. Beberapa kali ia pun melihat taksi. (Ia memang tak bisa membaca tulisan “taksi” di mobil itu tetapi ia ingat bentuknya, juga warnanya.) Ia sempat berpikir untuk menyetop salah satunya, namun urung melakukannya. Pada akhirnya ia memilih untuk berjalan kaki saja, dengan langkah-langkah yang pelan dan malas. Udara dingin mengepungnya. Sesekali ia menengadah memandangi langit sementara kedua tangannya senantiasa ia masukkan ke saku mantel. Ketika ia membuang napas, ia bisa melihat napasnya sendiri-sebuah kepulan asap yang tipis dan samar.
***
“Apa yang kulakukan malam itu menjadi awal dari perceraian kami setengah tahun kemudian,” kata Saika-san. Ia menilai keputusan itu tepat, meski dari nada bicaranya aku bisa merasakan ada sedikit penyesalan. Selepas “bulan madu” itu mereka konon pulang ke Indonesia sendiri-sendiri—satu tiket pulang untuknya jadi terbuang percuma. Mantan suaminya memarahinya setibanya ia di Indonesia; memarahinya habis-habisan sampai-sampai ia menduga selama ini kemarahan itu tertanam dan tumbuh subur di alam bawah sadar lelaki itu; bahwa hubungan dan kebersamaan mereka sesungguhnya tidaklah baik-baik saja, tidak pernah baik-baik saja. Selama “pelarian”-nya di Shibuya itu sendiri, ia mematikan ponsel. Ia baru mengaktifkan kembali ponsel delapan hari kemudian, sehari sebelum ia kembali ke Indonesia.
“Ada satu hal yang kupahami dari apa yang kulakukan itu, dan itu menyakitkan, jujur saja,” ujarnya. Ia bilang selama “pelarian”-nya itu ia sama sekali tidak merasa di rumah dan apa-apa yang pernah dialaminya di kota itu seperti menguap sekejap setelah ia mengingatnya. “Aku bukan lagi seorang Jepang seperti yang kupikirkan, dan itu membuatku putus asa,” sambungnya. Ia menilai bahwa sebagian dari dirinya adalah hal-hal yang diperolehnya bukan di kota tumbuh-kembangnya itu melainkan di sini, di Indonesia, bersama seorang lelaki Indonesia yang mencintainya.
“Dan itu kemudian membuatku berpikir,” lanjutnya, “aku mungkin memang semestinya di sini, di Indonesia, meski aku tak bisa juga mengatakan aku ini seorang Indonesia, dan bahwa aku berada di rumah. Sebab semuanya telah terlalu … bias.”
Setelah mengatakan itu, ia tersenyum. Senyum yang pahit.
“Mungkin sejatinya semua hal di kehidupan ini memang begitu—bias,” kataku, dan aku tak tahu kenapa aku mengatakannya.
Saika-san kembali tersenyum; kali ini senyumnya yang segar itu. Ia kemudian menoleh ke arah kanannya, mengamati entah apa itu di balik jendela.
“Aku menikmati hari-hariku di sini, di negeri ini,” ujarnya kemudian.
Kukatakan bahwa aku bisa melihat itu, dan tanpa melihatku ia melebarkan senyumnya.

Bogor, September-November 2017

Catatan:
[1] cantik, imut

Ardy Kresna Crenata tinggal dan bergiat di Bogor. Buku kumpulan puisinya, Kota Asing (Basabasi, 2017). Buku kumpulan cerita pendeknya, Sebuah Tempat di Mana Aku Menyembuhkan Diriku (Diva Press, 2017).

Dua Kekasih

Cerpen Dian Nangin (Analisa, 05 November 2017)
Dua Kekasih ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa.jpg
Dua Kekasih ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
AKU sedang sekarat—hidupku rasanya sudah di ambang batas. Seakan dapat kulihat malaikat maut tengah tersenyum manis padaku sambil mengulurkan tangan.
Aku hanya bisa tergeletak di lantai. Kepalaku berada di pelukan seorang perempuan. Perempuanku. Wajahnya pias demi melihatku tak berdaya. Dia hanya bisa kutatap di antara celah sempit kelopak mataku yang nyaris menutup. Kulewati menit demi menit sambil menghitung dalam hati, memperkirakan berapa lama lagi aku sanggup bertahan.
Tak sabar menunggu, perempuanku mondar-mandir di jendela sambil bersedekap. Matanya nyalang mengawasi jalanan. Bersiap menyambut cinta pertamaku yang sudah dia minta untuk segera datang.
Dulu, perempuanku ini sungguh bebal. Dia datang ketika satu-satunya hati milikku telah jatuh pada cinta pertama yang menjerat begitu kuat. Dia hadir. Tanpa ragu mengutarakan perasaan dan kesungguhan hasratnya ingin menggenggam hatiku.
“Aku sudah ada yang memiliki,” tuturku jujur waktu itu. Meski suduthati kecilku tak ingin melewatkan perempuan secantik dia.
“Aku tidak bertanya kau sudah ada yang punya atau tidak. Yang ingin kutahu adalah jawabanmu, ya atau tidak!”
Selain bebal, ternyata dia juga bernyali besar.
Cukup lama aku berpikir dan menimbang. Aku telah menjalin hubungan dengan cinta pertamaku bertahun-tahun. Perempuan ini hadir menawarkan penyegaran. Kurasa, tak ada ruginya aku menjalani hubungan lain dengannya. Kehadirannya malah memberiku keuntungan. Ya, keuntungan untuk bersenang-senang. Apalagi?!
Begitulah. Dia melemparkan diri ke pelukanku, lengkap dengan deklarasi bahwa segala rupa luka dan penyesalan siap dia tanggung sendiri. Diam-diam aku kagum akan ketabahannya.
Ketika aku sedang bercumbu bersama cinta pertamaku, dia bahkan sabar menanti giliran. Sabar menungguku memuaskan diri sebelum kemudian berbalik dan memberinya perhatian yang sama besar.
Barangkali aku lelaki paling beruntung yang pernah ada. Mana ada perempuan yang rela menyerahkan dirinya utuh pada seorang lelaki. Di sisi lain, lelaki itu punya cinta lain yang takkan pernah dia tinggalkan?
Suatu hari aku tersadar, seolah kepalaku telah diketuk palu agar siuman dari permainan yang melenakan. Seperti maling yang menyadari bahwa mencuri tidaklah  terpuji.
“Apa alasanmu mencintaiku?” tanyaku pada suatu siang yang teduh dan tenang. Aku tak dapat menunggu waktu yang lebih tepat lagi untuk mengetahui kebenaran isi hatinya, lalu mengungkapkan apa yang ada dalam hati dan kepalaku.
“Kau benar-benar ingin mendengarkan sebuah alasan?” dia balik bertanya.
“Ya. Tanpa alasan yang kuat, kau takkan bertahan denganku sejauh ini.”
“Aku hanya… jatuh hati. Padamu. Itu saja.”
Kuaduk gumpalan rambutku yang ikal gondrong. Kepalaku pusing. Kebersamaan kami selama ini telah semakin menguatkan perasaannya, sementara aku merasakan sebaliknya—aku cuma bersenang-senang. Bersamaku dia hanya membuang-buang waktu. Aku bahkan tidak yakin dengan masa depanku sendiri.
“Bersamamu aku tak takut menjalani ketidakpastian,” dia menanggapiku dengan yakin.
Aku menggeleng. Lirih, kuujarkan sebuah kalimat klise.
“Kau terlalu sempurna. Aku yang tak pantas untukmu.”
“Basi!” teriaknya tak terima. Baru kali ini kulihat dia menumpahkan kemarahan yang selama ini tak pernah tampak.
“Sungguh. Bersamaku lebih lama hanya akan membuatmu rusak lebih jauh.”
“Kalau begitu jangan merusakku. Jangan siakan aku,” ujarnya ketus.
Tetap bersamaku ataupun memaksanya menjauh adalah dua hal yang sama pahit baginya. Aku berakhir dengan mulut bungkam.
“Mengapa bukan dia yang kamu usir pergi? Kenapa harus aku?” dia menantangku.
Aku dan cinta pertamaku telah memutuskan dari jauh-jauh hari bahwa kami akan mengarungi hidup bersama. Tanpa perlu pengesahan ikrar janji sehidup semati, kami sepakat melangkah menuju keabadian.
“Aku juga bisa membuatmu lebih baik,” ujarnya, separuh meyakinkan separuh mendesak.
Seharusnya sudah kuperhitungkan hal ini sejak awal, bahwa perempuan ini akan menuntut. Menuntutku untuk memilih. Sebenarnya bukan hanya sekali dua aku pernah berpikir untuk meninggalkan cinta pertamaku.
Saat aku mencoba tegar dengan berpikir bahwa dunia tak akan berhenti berputar. Hanya karena kami tak lagi bersama. Saat itu pulalah aku diserang sebuah melankoli bahwa aku tak sanggup melewatkan hari tanpanya. Tanpa tubuhku dalam dekapannya.
Aku memutuskan kembali padanya. Sebab, cinta pertama bagiku adalah candu paling fanatik. Adiktif. Berpisah darinya berarti aku membunuh diri sendiri.
“Maaf, aku masih membutuhkannya.”
Aku tahu perempuan ini kecewa dan terluka, entah untuk kali keberapa.
***
Sekalipun aku dan perempuan ini dalam beberapa waktu belakangan saling menyakiti dengan kata-kata dan keadaan. Entah kenapa kami seakan terikat. Lihatlah, dengan gugup bercampur harap dia menunggu sesuatu yang akan merobek hatinya. Dia sibak gorden tiap kali mendengar deru kendaraan mendekat.
Bibirku menumpahkan seribu raungan, sementara tubuhku bergulat dengan sejuta kecamuk rasa sakit paling gila yang tak tergambarkan kalimat. Barangkali inilah hadiah atas ketidakmampuanku untuk memilih. Akibat dari ketidakberdayaanku mengambil keputusan terbaik.
Kini terbersit keinginan untuk membenahi segala yang porak-poranda. Menyembuhkan berlusin luka dan membuat awal yang baru. Sebab tak mungkin aku kembali ke masa lalu, namun semua telah terlambat.
Kesempatan kedua bagiku hanya mimpi. Akhirku telah tiba. Aku melihatnya bergerak mendekat, dengan seringai lebar sarat kemenangan.
Wajah pias perempuanku berubah lega setelah cinta pertamaku datang. Sekian hari sudah kami tidak bertemu dan aku sudah sekarat karenanya. Seorang kurir atau apapun namanya, memastikan dia tiba dengan keselamatan utuh. Perempuanku menerima dengan tergesa, lantas berlari mendapatkanku.
“Ini cintamu,” ucapnya terbata, antara pasrah dan tak rela.
Aku sudah tak mampu bergerak. Seluruh tenagaku yang tinggal secuil bercokol di tenggorokan. Aku ingin mengatakan sesuatu. Ingin kuucapkan terima kasih pada perempuan ini karena telah setia di sisiku walau dia tahu betapa busuk perangaiku. Tak sepatah katapun keluar dari mulutku.
Perempuanku juga tak menaruh perhatian. Sebab dia terlalu sibuk menarik laci dan merobek plastik pembungkus sebuah benda berujung runcing. Kutahu sangat dia takuti sewaktu masih kanak-kanak.
Kini kemampuannya sudah terlatih setelah berulang kali berjuang menyingkirkan ketakutannya. Dia lebih takut kehilanganku. Aku sudah tak dapat lagi merasakan apapun. Bahkan ketika ujung jarum menusuk kulit dan menyebarkan sekian cc zat terlarang namun amat kucintai ke pembuluh darahku.
“Bertahanlah!” perempuan itu memukuli dadaku. Cinta menggenangi telaga matanya, hingga tumpah meluber.
“Jangan takluk, pengecut!”
Di jeda kesadaranku, kulihat matanya memantulkan rasa sakit dua kali lebih besar dari yang kuderita. Matanya yang dulu ibarat cermin yang jernih, kini penuh gores dan retakan. Di sisa akal sehat di kepala, aku akhirnya menyadari mana yang lebih berharga. Seharusnya aku tak pernah berkenalan dengan cinta pertama ini.
Tak ada hal lain yang ingin kulakukan sekarang kecuali mengecup perempuanku ini untuk kali terakhir. Mengisap habis segala cinta yang dengan sukarela dipersembahkannya di baki yang teramat rapuh; hati.
Ingin kubawa kehangatannya bersamaku ketika dingin paling ngilu dan menggigilkan datang, lalu merenggutku. Tak ada negosiasi. Aku diseret pergi tanpa diberi kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.

Medan, 2016-2017

Persimpangan Berdarah

Cerpen Trah W (Haluan, 05 November 2017)
Persimpangan Berdarah ilustrasi Haluan.jpg
Persimpangan Berdarah ilustrasi Haluan
“Jangan jauh-jauh, Alia!” imbau seorang lelaki berperawakan sedang dan tinggi. Adalah Ali, seorang pekerja kuli panggul di pasar. Saban sore ketika ia tidak bekerja, Ali menerima resparasi alat elektronik apa saja yang dibawa pelanggan.
“Ya, Ayah!” balas Alia, anak Ali tanpa menoleh pada ayahnya. Ia terlalu asyik bermain bersama Aisya, teman sebayanya.
Alia adalah anak berusia 10 tahun. Ia tidak sekolah akibat perang sipil yang sudah berlangsung dua tahun menghancurkan satu-satunya sekolah di daerah tempat tinggalnya. Alia tinggal berdua bersama Ayahnya—sedangkan ibunya telah meninggal 5 tahun lalu karena serangan Demam Berdarah (DBD). Kenyataan itu membuat Alia harus ikut bekerja. Saban pagi, Alia menjajakan roti sebentuk mirip piring—agak pipih dan lebar—bikinan tetangganya, seorang wanita paruh baya.
Sore di pemukiman kumuh itu tidak begitu ramai. Suara ledakan dan bangunan yang runtuh di kota sebelah terdengar sampai ke pemukiman itu. Perang sipil yang sudah berlangsung dua tahun telah merenggut kebahagiaan semua orang. Saban malam selalu saja ada orang-orang yang mengetuk pintu untuk meminta pertolongan tempat tinggal sementara. Mereka terpaksa harus pindah akibat rumah yang mereka tinggali hancur digempur rudal.
Penjagaan di setiap pemukiman juga sangat ketat. Pemimpin kaum pemberontak menyebarkan pasukan hingga ke pusat-pusat pemukiman padat penduduk. Kata mereka, ini merupakan tindakan penjagaan agar masyarakat merasa aman dan nyaman. Kenyataannya, tindakan itu untuk malah menarik simpati masyarakat kepada kaum pemberontak. Agar masyarakat mau membantu kaum pemberontak dalam melancarkan serangan. Dengan kelicikan mereka, kaum pemberontak selalu memberikan doktrin yang menyudutkan pemerintahan.
***
Pagi kembali menyapa pemukiman tempat Alia tinggal. Nyanyian burung sudah tidak terdengar lagi. Mereka sudah bermigrasi ke daerah yang jauh dari suara ledakan rudal. Setiap kali pagi hadir, masyarakat di sekitar lokasi perang disapa oleh suara sirine, pertanda seluruh pasukan harus bersiap untuk kembali berperang.
Ali tengah bersiap untuk pergi bekerja. Di rumah yang hanya ada kamar, dapur, dan kamar mandi itu, tidak banyak yang harus Ali bereskan. “Kamu kenapa pakai baju merah, Alia?”
“Ya, Ayah. Alia suka warna merah,” jawab Alia sambil merapikan jilbab panjang berwarna senada bajunya.
“Baiklah. Ayah pergi dulu ya, Nak. Alia hati-hati di rumah. Jangan jauh-jauh dari pemukiman,” tukas Ali sambil mencium kepala Alia.
“Ya, Ayah.”
Setelah bersiap-siap, Alia mendatangi rumah Bibi Fatimah, tetangga pembuat kue yang sering dibantu Alia untuk menjualnya ke jalanan. “Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam. Alia, kemarilah, Nak!” sila Bibi Fatimah yang tengah menata kue di dalam keranjang anyaman bambu. “Nah, Alia, ini kuenya, Nak. Hati-hati membawanya, ya.”
“Iya, bibi. Alia pergi dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Alia tidak menjajakan kue-kue tersebut ke pasar. Ia lebih memilih arah ke sebuah persimpangan yang banyak dilalui orang. Matahari sudah mulai memanjat naik. Alia mempercepat langkah. Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan pasukan pemberontak. Mereka bersenjata lengkap menaiki kendaraan lapis baja dan bersiap untuk kembali ke medan perang. Mereka mengalungkan sorban kotak-kotak putih-merah di leher. “Sorban ini adalah tanda bahwa kami selalu bersama Allah!” kata mereka setiap kali melakukan propaganda pada warga sipil.
Suara ledakan kembali terdengar. Sangat dekat dengan Alia, hanya berjarak sekitar 600 meter dari tempat Alia berdiri. Lima belas menit kemudian, satu kompi pasukan bergegas menuju lokasi ledakan. Ada kendaraan mengangkut rudal-rudal di antara pasukan-pasukan itu. Termasuk dua buah tank yang dengan gagahnya melindas jalanan. Alia sudah terbiasa dengan pemandangan itu, begitu juga masyarakat sekitar. Mereka tidak panik apalagi kocar-kacir.
Dan kemudian kembali lagi. Booooooooommmmmmm…….!
Sebuah rudal menghantam sebuah bangunan yang lain. Meluluhlantakkan bangunan yang berada tepat di hadapan Alia. Bocah itu pun terlempar seketika. Sejauh sepuluh meter. Baju merah yang ia kenakan penuh sobe. Banyak luka fatal nan menganga di tubuh mungil itu. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Alia tidak bergerak. Barulah semenit kemudian ia sadar. “Ayah….,” rintihnya pertama. Seluruh orang yang berada di persimpangan itu terkena hantaman rudal. Mereka juga terbujur tak berdaya. Alia merasa tubuhnya dingin. Ia menggigil. Ia pun memanggil.
Tiga ratus meter dari lokasi Alia, Ali terhentak. Ia sadar betul lokasi ledakan itu dari arah tempat biasa Alia berjualan. “Alia!” teriaknya, kemudian berlari. Meski tanpa alas kaki, Ali terus berlari. Tidak peduli kakinya menginjak krikil yang tajam. Kakinya berdarah, tapi Ali terus berlari.
“Alia!!” teriak Ali ketika melihat anaknya sudah terbaring tak berdaya.
“Ayah… Dingin…,” rintih Alia.
“Tolong!” Tidak ada orang yang membantu. Semua orang di sana terkapar, senasib dengan Alia. Persimpangan sejenak sepi. Hanya ketidakberdayaan yang ada. Duka dalam mereka dapati, meski kesalahan pada yang lainnya. Dalam hati, mereka tidak menginginkan perang saudara itu. Mereka berharap keadaan yang damai.
“Tolong!!! Tolong anakku!” pinta Ali kepada sebuah pasukan yang baru saja sampai.
“Bawa dia!” perintah seorang pemimpin pasukan.
Rumah sakit masih sepi. Namun, beberapa saat lagi seluruh ruangan akan dipadati tubuh-tubuh kaku dan penuh luka. Alia baru saja sampai. Dokter membawa Alia ke ruang operasi. Satu menit. Sepuluh menit. Lima belas menit kemudian, dokter keluar dari ruang operatie khomer (OK).
“Bagaimana keadaan Alia, dok?” sambut Ali.
Wajah dokter itu tampak murung. Ali menyadari itu. “Maaf, pak. Keadaan anak bapak begitu lemah. Allah telah memanggil Alia dalam perjalanan ke sini.”
“Tidak! Tidak mungkin! Alia!” Ali berlari ke kamar. Ia harus menerima Alia yang sudah tak bernyawa. Alia yang ceria. Alia yang tertawa. Alia telah pergi. Rudal yang menghantam persimpangan telah merenggut tujuh belas nyawa tak bersalah, termasuk Alia. Pihak pemerintah menyangkal bahwa mereka dalang penyerangan itu. Pemimpin pasukan pemberontak tak mau kalah, mereka juga menolak. Tidak ada yang ingin disalahkan dalam peristiwa itu. Satu hal yang pasti, perang sipil merenggut begitu banyak nyawa tidak bersalah, tetapi tidak jelas perang itu demi kepentingan siapa. (*)

Bungo, 01 Agustus 2017
Trah W atau Fitra Wahyudi. Menetap di Padang. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang.

Rastamin Mencari Rumah

Cerpen Kiki Sulistyo (Banjarmaasin Post, 05 November 2017)
Rastamin Mencari Rumah  ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post Group.jpg
Rastamin Mencari Rumah ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
Karena tercekat rasa haus yang begitu berat, Rastamin mencari-cari kran air di sekitar perumahan itu. Matanya sibuk memperhatikan halaman setiap rumah, siapa tahu ada kran yang sekiranya tidak perlu izin untuk memakai airnya.
Perumahan itu sepi, sejak tadi Rastamin tidak melihat seorang pun. Sepertinya ia memang tak perlu meminta izin untuk sekadar mengambil air dari kran. Toh, tidak akan ada yang melihatnya.
Tadi Rastamin memasuki perumahan ini dengan harapan ada rumah kosong yang bisa disewa. Tetapi tak ada seorang pun yang bisa ditanya.
Setelah berputar beberapa kali, Rastamin melihat seulas selang yang mengucurkan air di samping sebuah rumah yang sedikit terpisah dari rumah-rumah lainnya. Ia bergegas mendekati selang itu.
Ada rasa heran yang timbul melihat air yang dibiarkan mengucur begitu saja. Tetapi rasa haus mengalahkan keheranan itu. Rastamin sigap menyambar selang lalu diarahkan ke mulutnya. Kesegaran air seketika melenyapkan rasa hausnya.
Sekonyong-konyong seorang lelaki keluar dari rumah. Lang kahnya bergegas, namun begitu melihat Rastamin lelaki itu segera berhenti bagaikan sosok dalam film yang di-pause.
“Haus?” tanyanya.
Lelaki itu berpenampilan rapi dengan selelan kemeja panjang, celana hitam, dan sepatu kantor yang berkilauan terkena cahaya matahari. Rastamin tercenung, tidak menjawab. Selang air masih dipegangnya, air mengucur ke tanah memercikkan pasir-pasir halus ke kaki Rastamin.
“Kenapa tidak minum di dalam?” lanjut lelaki itu.
Rastamin tidak mengenalnya, tapi rasanya pernah melihat lelaki itu entah kapan. Sepertinya si lelaki baru pulang dari kantor, mungkin untuk makan siang bersama keluarganya, dan sekarang ia akan segera kembali ke kantor.
Tanpa sungkan lelaki ltu menggamit lengan Rastamin dan mengajaknya masuk. Selang air terlepas dan menggeliat di tanah bagaikan ular yang sekarat.
Seketika timbul dalam pikiran Rastamin bahwa orang ini mengira ia hendak mencuri lalu menjebaknya masuk rumah. Rastamin membayangkan sebentar lagi semua penghuni perumahan ini akan datang dan menghajarnya sampai mati.
Pikiran itu membuat Rastamin ketakutan. Ia tidak mau mati konyol karena kesalahpahaman. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, atau lebih tepatnya tak berani berbuat apa-apa. Rastamin menurut saja.
Ketika akan masuk, Rastamin tiba-tiba merasa pernah melihat rumah ini sebelumnya. Tapi bukankah semua bentuk rumah di perumahan macam ini memang seragam? kata Rastamin dalam hati menepis perasaannya sendiri.
Di dalam rumah beberapa orang terlihat seakan sudah menunggu. Mereka satu keluarga. Seorang perempuan yang kelihatan sedih dan letih, seorang gadis yang tampaknya baru beranjak dewasa, dan seorang anak laki-laki remaja.
Di sekitar mereka menumpuk barang-barang, sehingga mengesankan mereka hendak pindah rumah. Ah, laki-laki tadi pastilah kepala keluarga ini, pikir Rastamin. Lelaki itu berdiri di belakang Rastamin.
Pikiran akan dijebak membuat Rastamin segera bertindak. Sebelum mereka angkat bicara. Rastamin lebih dulu bersuara.
“Mohon maafkan saya, rupanya ada salah paham. Sungguh saya tidak bermaksud jahat. Tadi saya cuma kehausan dan melihat ada selang yang mengalirkan air. Saya kira tidak ada orang. Kalau saya tahu ada orang di rumah ini, tentu saya akan minta izin dulu. Sekali lagi mohon maafkan saya.”
Orang-orang itu diam saja. Mata mereka menatap Rastamin dengan kesan yang tak mudah disimpulkan. Rastamin balas menatap mereka. Gadis yang baru beranjak dewasa itu memiliki banyak jerawat di wajahnya yang berminyak. Gadis ini pasti tak pandai bersolek, pikir Rastamin.
Sementara perempuan yang tampak sedih dan letih serta anak lelaki yang baru beranjak remaja itu benar-benar punya garis wajah yang serupa. Sekali lihat orang pasti bisa menduga mereka ibu dan anak. Tapi gadis tadi tidak mudah dicari kesamaan garis wajahnya dengan mereka. Garis wajah gadis tadi justru mengingatkan Rastamin pada wajahnya sendiri.
Rupanya usahaku tidak begitu berhasil, ucap Rastamin daiam hati. Ia harus meyakinkan mereka lagi.
“Oh ya, tadi saya masuk ke perumahan ini untuk mencari rumah yang bisa disewa. Saya datang dari jauh dan butuh tempat tinggal segera. Hmm, saya lihat barang-barang di sini sudah di-packing. Apakah kalian baru tiba atau hendak pindah dari sini? Kalau hendak pindah, nah, barang-kali rumah ini jodoh saya. Rasanya rumah ini cocok buat saya.”
Tatapan orang-orang sedikit berubah, seperti menajam, seperti siap melontarkan kemarahan. Malu aku,pikir Rastamin. Suasana senyap beberapa saat. Rastamin merasa harus lebih meyakinkan lagi.
Baru saja ia akan bicara kembali, tiba-tiba gadis yang baru beranjak dewasa itu membentak.
“Apa Bapak sudah gila? Ini rumah kita! Rumah yang Bapak gadaikan. Itu lihat! Itu petugas yang sudah siap menyita rumah ini. Kita mau tinggal di mana, Pak?” (*)

Kiki Sulistyo lahir di Kota Ampenan, Lombok, 16 Januari 1978. Buku puisinya adalah Hikayat Lintah (2014), Rencana Berciuman (2015), Penangkar Bekisar (2015), dan yang terbaru Di Ampenan, Apalagi yang Kaucari? (2017). Domisili di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Lukisan Wulan

Cerpen Niken Hergaristi (Media Indonesia, 12 November 2017)
Lukisan Wulan ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Lukisan Wulan ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Aku adalah sosok wanita dalam salah satu lukisannya yang belum selesai. Ia memberiku nama Wulan karena mataku berwarna kelabu dan menyala dalam kegelapan seperti layaknya bulan. Entah mengapa dia membuat warna mataku abu-abu. Mungkin saja karena malam menjadi waktu yang dia pilih saat aku pertama kali membuka mata dan ia menyambutku. Ia meniru bulan putih bertubuh tambun yang melayang di atas kepalanya.
“Kau tahu? Kau sangat cantik tapi kenapa tampak begitu menyedihkan?” ucapnya pada kanvas setelah kami bertatap sapa.
Ia menjadikan aku seorang wanita dengan wajah sendu seakan membawa kesedihan sejuta umat di dunia. Mata kelabuku tampak terluka. Di setiap sentuhan kuasnya, dia menitipkan luka. Ia benar-benar tidak adil padaku. Aku baru saja terlahir di dunia. Baru beberapa menit aku menghirup udara malam yang bercampur dengan wangi tanah sehabis hujan—dengan hidung yang dia ciptakan di atas bibirku, tentunya. Namun, ia sudah membuatku tidak sempat lagi menghirup udara karena rasa teriris-iris yang menyayat setiap senti kulit wajahku.
Ia sengaja membuatku menarik untuk dipandang tapi tidak membiarkan orang lain memandang terlalu lama. Kecantikan yang pelan-pelan memberi luka. Aku yakin siapa saja yang melihatku—nanti jika ia sudah selesai melukisku—pasti menitikkan air mata.
Ia tampak ragu melanjutkan gerakan tangannya. Kegamangan itu jelas terlihat di raut wajahnya. Keningnya berkerut, menatapku dalam. Cukup lama kami saling memandang hingga akhirnya ia yang kalah. Ia yang pertama kali melepas pandangan matanya dariku.
Tangannya berhenti melukis. Keduanya kemudian luruh di sisi tubuhnya. Pundaknya naik turun perlahan namun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Aku tahu ia menangis. Padahal ia baru membuat wajahku—tanpa rambut dan tubuh di bawahnya. Hanya wajah saja!
Aku tahu siapa ia. Teramat mengenalnya dari luar hingga dalam. Semua cerita perihal kehidupannya telah tersalur melalui kuas miliknya. Ia tampak begitu tegar dari luar. Bertindak seolah tidak butuh orang lain. Ia wanita paling mandiri yang pernah aku kenal. Namun kenyataannya, dibalik tembok yang dibangun itu, ada sesosok tubuh yang meringkuk kesakitan. Wanita yang tengah menundukkan kepala di depanku ini hanyalah seorang wanita yang kesepian. Di umurnya yang sudah melewati kepala tiga, ia hidup sendiri. Bukan berarti ia tidak laku. Paras ayunya tidak mungkin dilewatkan oleh lelaki-lelaki di luar sana.
Ia sudah pernah menikah saat umurnya masih belia. Dua bulan setelah ia merayakan ulang tahunnya ketujuh belas, ia terpaksa harus menghadap penghulu dengan seorang pria yang tidak ia cintai. Ia harus merubah statusnya menjadi istri seseorang. Pria yang berada di sampingnya itu merupakan teman sekolahnya. Ketika teman-teman sekolahnya sibuk dengan persiapan menghadap ujian nasional, ia dan pria itu malah sibuk dengan sebuah pernikahan yang mendadak.
Ia sudah melakukan kesalahan. Tidak hanya sekali sehingga kesalahan-kesalahan itu akhirnya berbuah, tinggal menunggu matang di dalam rahimnya. Ia dan pria itu harus putus sekolah. Meninggalkan jauh-jauh mimpi, dan cita-cita. Bahkan keduanya dianggap mencoreng muka keluarga masing-masing sehingga setelah menikah mereka harus disingkirkan ke sudut kota. Tidak ada kebahagiaan seperti pernikahan-pernikahan orang lain. Hanya ada tangis, caci maki dan berujung sebuah pengusiran.
Beberapa bulan mereka hidup berdua dengan saling benci satu sama lain. Miris memang, mereka yang mulanya tertawa bersama, melakukan kesalahan dengan senyum sumringah di bibir, berubah jadi tidak pernah saling bertegur sapa. Tidak ada kehangatan. Hubungan mereka dingin. Sangat dingin sampai tulang-tulang mereka sakit. Seolah tidak cukup penderitaan yang menimpa, petaka lain muncul. Kematian ikut campur dalam hidupnya. Nyawa yang dia bawa di dalam perutnya pergi.
“Kenapa aku harus menikahimu jika akhirnya ia mati!”
Pria itu menuding perutnya yang berselimut jarik. Saat itu ia masih tergolek lemas di sebuah kamar rumah sakit. Tidak ada keluarga yang menengok. Hanya mereka berdua. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain menangis.
“Padahal aku masih ingin kuliah. Aku mau jadi dokter. Demi kau, aku harus mengorbankan sekolahku tapi apa yang kau perbuat? Kau membunuhnya! Kau benar-benar membawa kematian di sekitarmu!”
Kalau ia punya kekuatan, ingin rasanya ia berteriak bahwa ia pun harus mengorbankan masa mudanya. Ia ingin jadi pelukis tapi semenjak menikah, ia tidak pernah memegang kuas lagi. Ia terlalu sibuk dengan kesedihannya sehingga lupa dengan cita-citanya.
Tak lama setelah hilangnya calon bayi itu, ayah si bayi menyusul. Sebuah bus menghantam tubuhnya saat pria itu dalam perjalanan pulang dari pekerjaannya menjadi kuli panggul di pasar. Jarak yang tidak terlalu jauh dari kematian sebelumnya, membuat orang-orang di sekitarnya berkasak-kusuk mengenai perempuan itu.
Ia benar-benar membawa kematian di sekitarnya.
Berita itu sampai di telinga orang tua si pria. Mertuanya tidak mau lagi menyanggapnya sebagai menantu. Mereka bertingkah layaknya orang yang tidak saling kenal. Sementara orang tuanya sendiri tidak pernah menghubunginya lagi. Mungkin saja berita itu sudah sampai ke telinga mereka juga.
Kabar yang berhembus beberapa waktu setelah itu, membuat ia benar-benar kehilangan dunianya. Ia tidak tahu lagi bagaimana untuk berpijak. Kedua orang tuanya meninggal oleh kawanan perampok yang menyatroni kediaman mereka. Orang tuanya ditemukan tewas di tempat.
Kematian demi kematian datang silih berganti. Seperti angkot yang selalu datang mengangkut para penumpang yang sudah menunggu.
Di sudut kota, ia hidup sendiri. Julukan sebagai perempuan dengan kematian di sekitarnya, membuat ia dikucilkan oleh tetangganya. Bahkan ia terpaksa harus pindah ke tempat yang jauh dari rumah-rumah penduduk karena desakan mereka. Mereka tidak membiarkan anggota keluarga mereka dekat dengan perempuan itu. Rumah dengan kebun yang mengelilinginya, menjadi pilihan untuk melanjutkan sisa hidup yang terasa sia-sia.
Ia hanya sedang menunggu kendaraan yang membawanya menuju kematian. Namun, kematian yang dia tunggu-tunggu masih enggan menghampirinya lagi.
Umurnya belum genap delapan belas tahun, tapi ia sudah menjadi janda, pernah keguguran, dan hidup sebatang kara. Ia telah mengalami segala hal menyakitkan terlahir menjadi seorang wanita. Hanya malam dan bulan yang menjadi temannya. Hanya mereka berdua yang membuatnya tenang.
Ia pun mulai melukis lagi. Tidak ada yang tahu bahwa perempuan yang mereka sebut sebagai pembawa kematian itu adalah seorang pelukis. Ia melukis sembari menunggu.
Ia mengangkat kepalanya ketika mendengar bunyi dari ponsel yang tergeletak di meja. Bola matanya yang berwarna hitam sempat menatapku sedetik lalu mengalihkan pandangan pada ponselnya. Ketika menatap layar ponsel, sebuah senyum tipis muncul di bibirnya.
Sepuluh tahun berlalu dalam penantian, ada yang berubah pada hidupnya. Akhir-akhir ini ia sedang menjalin hubungan dengan kurir pengirim lukisannya. Pria itu mengetuk pintu hatinya yang sudah lama ditutup dan perlahan berhasil membukanya. Pria itu tidak peduli dengan rumor yang berhembus mengenai si pelukis dan kematian di sekitarnya. Mereka dengan santai memadu kasih, menghantarkan kehangatan satu sama lain. Dengan pria itu, pelukis kesepian tidak lagi sendirian. Dengan pria itu, segala yang salah pun berubah menjadi benar. Perlahan ia mulai berharap supaya kematian yang ada di sekitarnya pergi menjauh.
Jangan jemput aku dalam waktu dekat. Begitulah doa yang selalu dia panjatkan setiap malam.
Ia menghapus butir-butir air mata yang membasahi pipinya kemudian membuka pesan yang datang dari pria itu. Sesaat setelah pesan terbuka, senyuman di bibirnya perlahan menghilang. Pesan yang tertulis di layar membuat isi kepalanya tiba-tiba kosong. Ia meletakkan kembali ponselnya ke atas meja lalu menatapku dengan mata berkabut.
Ia meraih kuas lukisnya kembali lalu mulai menggoreskan kuas di atas bidang kanvas, melanjutkan untuk melukisku. Aku penasaran apa yang akan dia lakukan padaku. Aku merasakan tangannya yang memegang kuas bergetar.
“Wulan,” panggilnya. Kini suaranya yang bergetar. “Ia ingin aku menjadi pembunuh,” lanjutnya sambil mengelus perut dengan satu tangannya yang bebas.
“Kenapa aku selalu terhubung dengan kematian?”
Dia bertanya padaku tapi aku tidak sanggup menjawab. Yang bisa kulakukan hanya balas menatap matanya dengan mataku yang berwarna abu-abu.
Dapat kurasakan bahwa suaranya terdengar pilu. Sejenak tangannya yang melukis berhenti kemudian ia bergerak lagi. Aku bisa merasakan kesakitan di setiap goresannya. Selama jari-jari tangannya menari di atas kanvas dengan penuh emosi, saat itulah aku merasakan sakit yang luar biasa.
Dia memilih cat berwarna merah lalu mencoret-coretnya di sekujur tubuhku. Ingin rasanya aku menghentikannya. Aku tidak suka warna merah itu. Merah itu seperti bercak darah. Kini tubuhku penuh warna merah. Tidak puas dengan tubuhku, dia mewarnai lantai dengan warna merah. Aku merasa sakit tapi aku tidak akan mati karena aku memang benda mati.
Setelah puas dengan lukisan yang dia hasilkan, ia terkekeh pelan lalu terbahak-bahak sendiri. Ia menunjuk-nunjuk aku seperti mengejek. Ia pasti sudah gila! Perlahan aku melihat tubuhnya luruh di lantai. Ah, aku lupa memberi tahu namanya. Namanya Wulan, sama seperti nama yang dia berikan untukku. Lalu ia juga berakhir dengan kondisi yang sama sepertiku. ***

Surakarta, 27 Februari 2017
Niken Hergaristi, lahir di Surakarta, 29 September 1992. Cerpennya pernah dimuat di Solopos, Padang Ekspres, dan Gogirl! Magz.