Daftar Blog Saya

Senin, 16 Oktober 2017

Cakil

Cerpen AS Kurnia (Suara Merdeka, 15 Oktober 2017)
Cakil ilustrasi Suara Merdeka
Cakil ilustrasi Suara Merdeka
“Hap, hap, aem!” kata Mbak Lasmi saat menyuapi Giok, adikku. Kami bermain-main di depan panggung gedung pertunjukan wayang orang. Hari masih sore. Ruangan masih sepi.
Waktu usia lima tahunan aku tinggal di samping gedung pertunjukan Wayang Orang Sri Wanito Semarang. Adik perempuanku masih berumur setahun, sedangkan kakak lakiku selisih setahun dariku. Pembantu yang mengasuh adikku sering mengajak kami ke gedung itu. Pintu belakang gedung persis di samping rumahku. Kalau dilihat dari Jalan Dr Cipto, rumahku berada di belakang gedung, di jalan samping Gedung Sri Wanito.
Sudah biasa bagi kami melihat para anak wayang merias diri. Hampir tiap sore kami ke situ. Saat pementasan, aku paling suka penampilan Buto Cakil yang melompat salto berjempalitan dan berguling-guling. Adegan itu seru sekali. Sayang, kami tidak lama tinggal di rumah itu. Hanya dua tahun. Namun pembantu kami sudah mengenalkan salah satu kebudayaan Jawa.
***
Kucari Do Drop In Bar & Restaurant di sepanjang Jalan Legian. Kutemui bangunan kecil bermaterial bambu beratap rendah berbahan ilalang. Tertata rapi sejumlah mejakursi bambu di teras. Di salah satu sudut di depan restoran teronggok seperangkat pemanggang sate.
Imajinasiku buyar. Aku membayangkan bar seperti di komik-komik Zaldy, Jan Mintaraga, seperti night club, ada band dengan penyanyi cantik dan seksi. Belakangan aku baru paham, bar itu tempat minum-minum (biasanya minuman beralkohol), tidak selalu identik dengan night club. Bisa saja di rumah pribadi (private bar) di sudut ruang tamu.
Aku ke Bali menumpang bus dari Semarang. Harga tiket waktu itu Rp 3.400,00. Berangkat sore hari, transit di Surabaya pagi, berangkat ke Denpasar sore dan sampai esok hari di Terminal Suci. Karena baru kali pertama dan masih bingung, kuputuskan nyarter bemo menuju ke Legian.
Tahun 1979 Legian belum begitu ramai. Belum padat bangunan. Di sepanjang jalan masih banyak ladang kelapa. Di pantai juga belum ada jalan aspal. Pinggir pantai juga dipenuhi pohon kelapa. Restoran ini milik pelukis Semarang, Tan Hok Lay. Di ruang dalam restoran ada galeri kecil untuk memajang lukisan-lukisan pelukis Semarang dan para murid Dullah. Ketertarikanku pada Bali tumbuh ketika melihat tafril-tafril Bali di lukisan-lukisan Tan Hok Lay.
Untuk kali pertama aku merasakan suasana turisme. Legian dan Kuta menjadi jantung pariwisata Bali masa itu. Beragam tingkah para turis melintas di depan mataku, melekat dalam ingatan. Mulai banyak yang kuketahui tentang Bali. Aku banyak ngobrol tentang tradisi dengan karyawan restoran asal Bali. Banyak karya seni kulihat. Lukisan, patung, tarian dengan musik gamelan tak luput dari perhatianku.
Suara kulkul bulus bertalu-talu malam itu.
“Ayo, Kur!” ajak Rudi, koki restoran seraya memegang sebilah samurai.
“Ke mana?” tanyaku.
“Ronda.”
Di luar sudah banyak orang berkumpul. Suasana mencekam. Kulkul bulus masih terus berbunyi. Ada kabar seorang laki-laki membawa senjata tajam terlihat di pantai. Kami serombongan menyusuri pantai, tapi hingga berjaga sampai pagi tak menemukan hal mencurigakan. Telah beberapa hari merebak isu ada maling dan rampok. Segerombolan rampok dari dauh tukad menyerbu Bali.
Hari itu restoran tutup. Sepanjang jalan tak ada toko atau restoran buka. Jalanan lengang, suasana sunyi, tak terdengar suara deru motor atau mobil seperti biasa. Hari itu, kali pertama aku merasakan Nyepi, tahun baru Saka menurut kalender Bali. Tak ada arakan ogoh-ogoh di Legian pada masa itu. Pada saat Nyepi orang Bali melaksanakan Catur Brata Penyepian yang terdiri atas amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan).
Pada malam Nyepi, bersama Rudi dan Mas Pardi (kasir restoran), aku berkunjung ke rumah Made Yeni, tetangga di belakang rumah. Ada jalan tembus yang menghubungkan restoran dan rumah Yeni dan tempat kos Mas Pardi. Kami duduk-duduk di balai-balai bambu di halaman rumah bersama keluarga Yeni diterangi cahaya bulan. Bercengkerama melewati malam.
Setiap ke pantai, 100 meter di belakang restoran, aku selalu lewat pintu belakang restoran, melalui tegalan rumah Yeni, melewati kamar mandinya yang berada di luar, tanpa atap, berdinding sebatas leher. Sering kali kujumpai dia sedang mandi saat aku lewat, mengakibatkan adrenalinku melonjak. Made Yeni, gadis Legian berambut panjang, suka naik motor trail, rambutnya tergerai. Dia masih SMA waktu itu.
Aku sering nongkrong di artshop Pak Ketut yang menjual patung dan lukisan tradisional. Kami ngobrol tentang seni dan budaya. Ketertarikanku pada seni makin kuat. Pak Ketut juga bertutur tentang kasta. Dia berkasta sudra. Dia juga menyinggung dharma, adharma, karma. Sekali waktu dia berbicara soal reinkarnasi. Dia ceritakan cucu lelakinya adalah titisan adik perempuannya. Aku tak mengerti. Pada waktu itu aku belum membaca buku Reinkarnasi tulisan Vicki Mackenzie yang mengisahkan bocah Spanyol bernama Osel yang diyakini titisan Lama Thubten Yeshe, guru spiritual Tibet. Osel melewati serangkaian ujian sebelum dinobatkan dalam sebuah upacara sebagai Lama.
Menjadi kebiasaan di Bali pada hari ke-12 setelah kelahiran, orang tua membawa bayinya ke balian atau jero dasaran (orang pintar) untuk menanyakan siapa yang menitis atau turun manumadi ke diri si bayi. Reinkarnasi bersifat “roh”, tidak berkait genital yang bersifat “wadag”. Bisa terjadi sang dumadi yang dalam kehidupan terdahulu adalah wanita, dalam kehidupan berikutnya menitis pada diri laki-laki seperti dalam kasus cucu Pak Ketut. Bagi sang dumadi reinkarnasi bertujuan menyempurnakan karmanya.
Tiga bulan aku mengenyam dinamika turisme, pertemuan lokalitas dan budaya asing sebelum kabar duka datang dari Semarang. Aku harus pulang, ayahku berpulang menghadap Sang Khalik.
Aku serasa mimpi saat-saat prosesi pemakaman ayahku. Benak diliputi ingatan tentang Bali. Mungkin karena baru kali pertama aku mengunjungi negeri seribu pura itu.
“Kurniaaaa!”
Yeni melambaikan tangan dari dalam mobil yang dipenuhi keluarganya. Mereka hendak sembahyang di Pura Agung Besakih. Aku tengah berjalan menuju pura. Kawasan Besakih di Kabupaten Karangasem dipenuhi pemedek dan turis mancanegara dan domestik. Hari itu dilangsungkan upacara besar Eka Dasa Rudra yang digelar 100 tahun sekali. Kulihat pelukis Maria Tjui sedang melukis on the spot. Beberapa pelukis mengabadikan peristiwa itu, antara lain Rudiyat.
Bau dupa dan wangi jepun menyebar di sekelilingku. Pura, kecak, legong, suara gamelan, tawa turis, gadis Legian berambut tergerai dan kain tersingkap menunggangi motor trail, menggetarkan ingatanku. Dua minggu aku hidup dalam imajinasi sebuah negeri dongeng dengan tradisi dinamis. Entakan-entakan laras gamelan, prosesi ngaben, suara “cak” mencerminkan itu. Ingatanku melayang… hinggap di Gedung WO Sri Wanito, pada Cakil yang jempalitan kena pukul atau tendangan lawan. Aku tersenyum.
***
Aku ke Sobokartti mau belajar menari. Ini hari pertama. Sudah banyak yang hadir. Ada anak-anak, juga remaja. Kami dipisah sesuai dengan usia. Dilatih beberapa guru. Pelajaran dasar dulu yang diberikan, yaitu sikap dan gerak dasar tangan, kaki, dan kepala. Kami mengingat dan berlatih apa dan bagaimana ngithing, ngrayung juga ukel, gerakan memutar pergelangan tangan berlawanan dengan arah jarum jam. Kemudian kebyak, gerakan tangan menggunakan selendang yang disentakkan sehingga selendang lepas dari pergelangan tangan. Gerakan itu didahului menyentakkan selendang, sehingga nyangkut di pergelangan tangan yang disebut kebyok. Ada juga nggroda, mendak, srisig, gerakan lari-lari kecil dengan jinjit dan lutut ditekuk. Selanjutnya kedet yang menggerakkan kepala seolah menarik dagu, gerak dasar lain gedug, gilek, gejug.
Para siswa Sobokartti acap kali mendapat kesempatan menari di Gedung WO Sri Wanito yang bersebelahan. Sobokartti, yang berarti tempat berkarya, dirancang arsitek asal Belanda, Herman Thomas Karsten, dibangun pada 1930, sedangkan Gedung WO Sri Wanito dibangun 1945. Perkumpulan WO Sri Wanito didirikan oleh dua kembar bersaudara, Juk Hwa dan Kong Hwa, pada 1935. Sebelum ke Semarang, grup wayang orang itu menggelar pementasan di Temanggung, Jawa Tengah.
Aku grogi. Menggambar alis meleset terus. Akhirnya aku minta tolong Mbak Pur. Malam ini aku menari di Sri Wanito.
“Alisku mencong. Nggak pas terus. Malah seperti preman!”
“Grogi ta?”
“Iya, Mbak. Demam panggung. Mbak Pur dulu juga begitu?”
“Ya iyalah. Namanya pengalaman pertama.”
“Aku sebenarnya lebih suka jadi Cakil.”
Walah! Nggantengmu nggak kelihatan dong kalau jadi Cakil.”
Aku menari sendirian. Menarikan Gatotkaca Gandrung. Kursi sudah dipenuhi penonton. Gatotkaca Gandrung mengisahkan ksatria Gatotkaca putra Bima yang kasmaran pada Dewi Pergiwa, putri Arjuna. Meski gagah perkasa, Gatotkaca tak berani mengungkapkan perasaan sehingga dia sangat gundah gulana. Malam itu aku cukup mendapat aplaus. Tepuk tangan penonton terngiang-ngiang sampai ke dalam tidurku. Tepukan tangan seorang anak kecil makin keras ketika Buto Cakil melompat salto berjempalitan. Mimpi itu terus hidup di benakku.
Meski keluarga raksasa, perawakan Cakil tidak sebesar raksasa umumnya. Tokoh Cakil hanya ada dalam pewayangan Jawa. Dia tidak ada dalam kitab Mahabharata. Ia memiliki beberapa nama sesuai dengan lakon. Bahkan sang dalang adakalanya memunculkan tokoh baru dengan meminjam sosok Cakil. Cakil jadi semacam simbol, mewakili sifat buruk, sisi lain dari sifat manusia seperti pada dua sisi keping mata uang.
“Eee… Ladalah! Ditanya kok ganti bertanya! Aku Cakil, ksatria Kerajaan Gondomayit! Hentikan langkahmu dan kembalilah! Ini perintah rajaku!”
“Aku Arjuna. Aku tetap akan melanjutkan perjalanan, apa pun yang terjadi.”
“Lah… lah… lah…! Arjune… Arjune…, pulanglah, Cah Bagus! Kau harus kembali atau mati di tanganku!”
Buto Cakil bersiap tarung ketika melihat Arjuna bersikukuh.
Malam ini aku menarikan Perang Kembang, cerita tanding saat Buto Cakil mencegat Arjuna yang baru keluar dari pertapaan di hutan belantara. Akhirnya aku memerankan Buto Cakil, figur yang tersimpan di memoriku sejak kecil. Buto Cakil adalah dunia kanak-kanakku.
Seorang anak kecil bersorak-sorai setiap aku berjempalitan, melompat salto. Dia duduk di barisan depan. Ditemani adik perempuannya, lelaki kecil itu bertepuk tangan keras sekali. Matanya berbinar-binar. Dia tertawa lebar melihat tingkah lakuku. Cakil dilukiskan suka bercanda dan cengengesan. Sebuah sumber menyebutkan Cakil gambaran rakyat biasa yang siap di garis depan, patuh dan tunduk kepada penguasa dan juga menjadi korban demi kepentingan penguasa. Bocah laki-laki itu terus bersorak riang, bertepuk tangan diikuti adik perempuannya. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
***
“Gioook!” teriak seorang anak kecil berlari menyusul adik perempuannya yang berusia belum genap dua tahun yang menyeberang jalan raya. Sebuah mobil kencang melaju.
“Braaak!” (44)

Catatan:
Kulkul bulus: titir
Jepun: bunga kemboja
Dauh tukad: luar Bali
Sang dumadi: yang menitis
Balian: dukun
Pemedek: umat yang hendak sembahyang

Pejeng, Juli, 2017
AS Kurnia, perupa asal Semarang yang tinggal di Bali.

Jembatan Charles dan Cerita Pendek tentang Senja

Cerpen Alif Febriyantoro (Media Indonesia, 15 Oktober 2017)
Jembatan Charles dan Cerita Pendek tentang Senja ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Jembatan Charles dan Cerita Pendek tentang Senja ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
“SUATU saat nanti … dalam keadaan yang tak pernah kita tahu, kita pun akan belajar meninggalkan.”
Dan wanita itu pun pergi, meninggalkan kekasihnya. Tepat pukul 5 sore. Ketika senja jatuh di kedua mata mereka. Ketika matahari mulai meredup dan menghasilkan siluet bangunan kota yang menakjubkan. Tak ingin kalah, lampu-lampu di jembatan tua ini pun ikut menghasilkan cayaha, menambah kehangatan bagi orang-orang yang berada di sini, di Jembatan Charles, Praha. Tapi serumit apakah isi hati laki-laki yang baru saja ditinggalkan oleh kekasihnya itu?
Selama senja tetap bergerak, akan selalu ada kisah tentang sepasang peristiwa: meninggalkan dan ditinggalkan. Senja memang selalu terasa singkat. Tapi bulan seakan melambat, ketika menjumpai sepasang kekasih yang terjebak dalam diorama perpisahan.
Sampai kapan senja akan selalu melahirkan kejadian-kejadian dramatis? Sampai kapan jembatan tua ini menjadi panggung yang selalu ditimbun kenangan?
Oh, Jembatan Charles, jembatan tua yang berdiri tegap, dengan 30 patung orang suci yang berjajar di sepanjang sisinya, lampu-lampu klasik bergaya vintage yang juga berjajar di kedua sisinya, semua itu adalah bagian dari Kota Praha yang dingin. Sungai Vltava yang pendiam itu tak mudah untuk pergi secepatnya. Begitu pun dengan orang-orang yang selalu melewati jembatan tua ini. Jembatan tua yang antik dan artistik ini adalah penghubung antara Lasser Town dan Old Town: dua kota yang akan selalu mengapit jembatan tua ini, selama-lamanya. Kecuali takdir berkata lain. Tentu saja.
***
Tahun pun tumbuh dan bergerak. Sepasang angsa yang telah tumbuh dewasa itu pun ikut bergerak, ketika arus pelan-pelan membawa mereka ke tepi. Aroma dedaunan, aroma kayu, dingin batu, dan orang-orang yang selalu berangsur ramai, membuat Jembatan Charles ini menjadi tempat paling nyaman untuk sejenak menghilangkan penat, atau sekadar berlibur. Atau sekadar bercakap-cakap dengan seseorang, atau berbagi pendapat. Dan orang-orang selalu berbicara tentang segala hal yang tumbuh. Segala hal yang menyenangkan, atau sebaliknya.
Setidaknya ada yang dibuang di sini. Apa saja.
“Kenapa kau selalu datang ke sini?” tanya seorang laki-laki kepada lawan jenisnya, lima tahun kemudian. Tepat hari ini.
“Aku suka dengan bentuk lampu-lampu itu.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
Seperti burung-burung yang duduk di sisi tua jembatan ini, mereka mengenal tanpa nama. Laki-laki itu pun mengenal beberapa orang di sini tanpa nama, ia hanya butuh bahasa. Ia hanya butuh mendekat lalu memulai sebuah pembicaraan. Meski, sudah banyak orang yang tidak–sepenuhnya–menanggapi.
Laki-laki itu selalu berada di jembatan tua ini, sebelum senja. Ia selalu datang tepat waktu. Meski ia tahu, bahwa tak ada yang menunggunya. Hanya siluet menara, patung, lampu-lampu klasik, semua yang menghasilkan bayangan, adalah kesunyian paling indah baginya.
“Kenapa kau selalu datang ke sini?” tanya laki-laki itu kepada seseorang yang lain.
“Aku suka dengan atap rumah yang berwarna merah itu.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
Dan ia akan selalu seperti itu, sampai senja turun di jembatan tua ini.
Sebenarnya laki-laki itu hanya ingin bercakap-cakap dengan siapa saja yang ia temui di sini. Ia hanya ingin sekadar berbagi kenangan. Sebab ia selalu mengingat ucapan terakhir kekasihnya, “Suatu saat nanti … dalam keadaan yang tak pernah kita tahu, kita pun akan belajar meninggalkan.” Setiap kali ia memulai sebuah pembicaraan kepada orang lain, setiap kali ia ingin menanyakan, “Apakah kau punya kenangan di sini?” sebelum pertanyaan itu muncul, semua orang yang pernah ditemuinya itu sudah pergi meninggalkannya.
“Aku selalu ingat fragmen ini: ketika kau, yang mungkin berjalan menjauh ke arah barat, di hadapan senja yang selalu menyayat.”
Sampai kapan ia terus mengingat yang sudah? Sampai kapan ia terus menunggu kekasihnya? Dan sampai kapan ia mendapatkan jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan yang terus melayang di kepalanya?
Selama senja tetap bergerak, perntanyaan-pertanyaan seperti itu tak lagi berguna untuk dijawab.
“Apakah kau punya kenangan di sini?” Akhirnya laki-laki itu berhasil bertanya kepada sesorang yang berada di ujung timur jembatan tua ini.
Tentu saja seseorang itu adalah wanita. Mengenakan topi kelasi berwarna abu-abu.
“Pertanyaan itu sudah sering aku dengar.”
“Benarkah? Dari siapa?”
“Kau selalu bertanya kepadaku. Setiap hari, setiap senja.”
“Oh maaf jika aku terlampau sering bertanya.”
“Tidak masalah. Aku paham.”
Sebenarnya, wanita itu hanya ingin tahu, mengapa laki-laki itu selalu berada di jembatan tua ini, sebelum senja. Tapi laki-laki itu sama sekali tidak menyadari bahwa ada seseorang yang–ternyata–masih peduli kepadanya.
“Lalu, apakah kau tak ingin menjawab pertanyaan yang sering kutanyakan itu?”
“Pertanyaanmu tak perlu dijawab.”
“Lalu?”
“Karena setiap orang pasti memiliki kenangan.”
“Tapi yang kutanyakan adalah tentang kenangan di jembatan ini.”
“Ya, tetap saja sama. Setiap orang yang datang ke sini, pasti memiliki kenangan. Maka kau tak pertu bertanya seperti itu.”
Kenangan memang seperti senjata yang luar biasa ampuh untuk membunuh waktu yang berada di luar lingkaran masa lalu. Lupa adalah salah satu bagian dari kematian penggunanya. Ketika seseorang terjebak dalam lingkaran kenangan, ia akan lupa tentang segalanya, hanya ada kenangan. Tak ada yang lain.
“Dan apakah kau ingin berbagi kenangan?”
“Lagi-lagi pertanyaanmu tampak klise.”
Sejenak, laki-laki itu terdiam. Tapi wanita itu tiba-tiba tertawa riang.
“Tidak perlu kaku seperti itu. Kita hanya butuh sepotong senja untuk saling mengerti tentang sebuah kenangan.”
“Tidak usah terlalu dramatis.”
Dan mereka tertawa lepas, dengan nada yang tak sama. Seketika mereka tampak begitu akrab. Seperti sepasang kekasih yang baru saja kembali dipertemukan setelah sekian lama telah terpisah.
Mungkin mereka seterusnya akan seperti itu. Bercakap-cakap, berbagi pendapat, sampai senja datang. Kita tahu, untuk saling mengenal, kita tak butuh sebuah nama. Atau tatapan. Lagi-lagi kebutuhan kita hanyalah bahasa.
Jam terpojok di angka 5. Orang-orang berangsur pergi meninggalkan jembatan tua ini. Kehangatan senja sudah bersetubuh dengan Kota Praha. Sepasang burung dara duduk di sisi tua jembatan. Mereka bercakap-cakap, mungkin. Mereka berbagi kehangatan di bawah senja yang ramah. Kemudian salah satu burung mengepak sayapnya, lalu terbang menjauh. Melewati sepasang manusia yang sejak tadi bersandar di sisi tua jembatan bagian timur.
Selama senja tetap bergerak, segala cerita yang singgah di jembatan tua ini akan selalu menjadi baru. Sebab senja tak ingin, jika ia selalu melihat berbagai peristiwa lama yang selalu diulang-ulang. Dan cerita ini, mungkin sudah ada sebelumnya. Tapi sepasang manusia yang baru saja terlihat akrab itu tak ingin pergi begitu saja dari cerita ini.
“Senja sudah datang.”
“Ya.”
“Akankah kau merindukanku di waktu yang lain setelah ini, seperti kau merindukan kekasihmu itu?” tiba-tiba wanita itu bertanya.
Laki-laki itu tampak kaget. Laki-laki itu terdiam. Dan ia berpikir cukup lama. Tentu saja.
“Kau dan jembatan tua ini adalah kenangan tersendiri bagiku,” timpal wanita itu lagi.
“Kenapa seperti itu?”
“Tunggu saja sampai senja selesai, kau akan mengerti. Lalu kau boleh pergi, dan kau boleh tak mengingatku lagi setelah ini.”
Laki-laki itu tampak kebingungan. Lagi-lagi, dua kata yang tepat adalah “tentu saja”.
Dan di saat seperti ini, mungkin pertanyaan yang begitu sulit dijawab adalah, kenapa senja begitu cepat berlalu? Tapi senja akan selalu bergerak kembali, esok atau sebuah hari setelah hari ini. Ia akan melihat kembali berbagai peristiwa di muka bumi, tentu bukan hanya perihal sepasang kekasih. Karena terlampau banyak peristiwa lain yang ia lihat secara bersamaan di waktu yang begitu singkat.
Sejenak suasana di sisi tua jembatan ini tampak lengang.
“Sepertinya senja sudah selesai,” ucap laki-laki itu.
“Sudahkah kau mengerti?”
“Tidak. Bagaimana aku bisa mengerti, sedangkan sepasang mata ini menolak senja itu masuk ke dalamnya.”
“Aku tidak bisa melihat senja itu, atau kepergian keksasihku di masa lalu.”
Tentu saja.
“Seperti kau menatapku, hari ini. Kau tak perlu sepasang mata. Yang kaubutuhkan hanya sebuah rasa. Cukup kaurasakan kehadiranku, saat ini.”
“Sesederhana itukah?”
“Ya.”
Selama senja tetap bergerak, jembatan tua ini akan selalu menjadi penghubung antara ingatan dan kenangan.
Dan hari ini, senja memang telah jatuh di dua pasang mata itu. Tapi adakah yang mengetahui bahwa laki-laki itu adalah seorang tunanetra, selain wanita itu? Laki-laki itu menekan kedua lengannya pada sisi tua jembatan ini. Ia tertunduk ke arah sungai, dengan segala ingatan yang mengalir dari kedua matanya. Dan wanita itu tertegun ketika melihat senja yang tiba-tiba bergerak di sepasang mata itu.
Kemudian malam memasang ruang, bersama sepasang peristiwa: meninggalkan dan ditinggalkan. (*)

*Cerita ini terinspirasi dari sepotong sajak yang ditulis oleh Goenawan Mohamad yang berjudul, “Jembatan Karel, Praha”

Jember, 20 September 2017
Alif Febriyantoro, kelahiran 23 Februari 1996. Asal Situbondo. Menulis cerpen dan puisi. Kini berdomisili sementara di Jember, sebagai mahasiswa. 60 Detik sebelum Ajal Bergerak (Karyapedia Publisher, 2017) adalah buku kumpulan cerpen pertamanya.

Sarmin Mencari Kantil

Cerpen Ferry Fansuri (Kedaulatan Rakyat, 08 Oktober 2017)
Sarmin Mencari Kantil ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Sarmin Mencari Kantil ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
PENGEMBARAAN Sarmin berlanjut ke puncak cakrawala Tengger, sambil berlari mengejar kuda turis di pasir savana Bromo. Langkah-langkah telanjang kecilnya itu demi mendapatkan segenggam rupiah untuk mengisi perutnya. Hampir tiga tahun Sarmin berkelana mencari ketenangan dari kegelisahan selama ini. Suatu malam di tepi kawah kaldera melihat kemeriahan upacara Kasodo, Sarmin duduk termenung diam memandang kosong. Bukan memandang masyarakat Tengger larung sesajen tapi asap yang keluar dari kaldera yang berubah dengan wajah Kantil. Sarmin merasa rindu akan dirinya, bagaimana keadaannya dan janjinya pada Kantil. Kegelisahan itu terus tergerus beriringan malam jatuh diufuk pagi
***
Siang itu Sarmin turun dari peron stasiun Gambir, tujuannya mencari informasi semua hal tentang Kantil. Tapi suasana Jakarta tidak seperti ia lihat, lebih buruk dari terakhir kali Sarmin tinggalkan. Dimana-mana ban dibakar, suara-suara saling beradu, spanduk hujatan rezim terpampang dipojok-pojok kota dan toko-toko luluh lantak.
Bulan Mei itu Sarmin berkeliaran di area Slipi, Grogol dan Senayan menanyakan sesama gelandangan keberadaan Kantil. Dari kenalan pengamen jalanan Si Sarmin mendapatkan info bahwa Kantil ada di Kalijodo. Bergegas Sarmin dengan sedikit berlari tapi saat berhenti dekat Harmoni, dari ujung gang muncul gerombolan beringas tak tahu dari mana asalnya. Sekejab show-room mobil dan toko sekitar jadi ladang api, Sarmin ada di dalam para penjarah itu, suara-suara teriakan dan asap memenuhi rongga paru-parunya.
Tiba-tiba Sarmin tidak sadarkan diri, sebuah popor senapan menghujan tengkuknya. Gerombolan penjarah itu kalah kabut akan datangnya polisi, Sarmin jadi korban pertama. Tersungkur di atas kerasnya aspal, matanya sayup-sayup melihat serbuan maut polisi menghantam penjarah kocar-kacir ke segala penjuru. Sebelum pingsan, Sarmin sempat meraih sesuatu yang jatuh dari hura-hara itu.
***
Remang-remang lampu kafe di lorong lokalisasi terpadat di Ibukota tak menyurutkan keasyikan syahwat dengan hura-haru di luar sana. Tak peduli akan kondisi kota yang mulai membusuk karena di sini asal mula kebusukan bermula. Sarmin terus merangsek dengan kepala masih pening berdarah, dalam tempurung hanya untuk bertemu Kantil.
Bertanya kesana kemari ternyata Kantil primadona di Kalijodo, seorang tukang ojek menunjukkan wisma di ujung gang bahwa Kantil bekerja. Sarmin masuki wisma tanpa hiraukan bodyguard seperti mengenalnya tidak mencegah hanya memencet tuts hape usangnya menghubungi seseorang di ujung sana, Sarmin terus teriak nama Kantil seantero wisma.
“Hei bocah, apa mau kamu. Teriak-teriak ditempatku,” seorang wanita gembrot menghardik Sarmin.
“Mana Kantil? Mana Kantil?” Sarmin bertanya berulang-ulang dengan nada keras.
“Mau apa kau dengan Kantil? Dia primadona di sini, lagi melayani pelanggan.”
Sarmin mendorong wanita tambun itu sampai jatuh sambil mengancam akan mencongkel matanya. Wanita itu ketakutan hanya mengarah telunjuk jarinya ke kamar ujung lorong, bergegas menuju kamar yang ditunjuk.
Tapi kunci kamar terkunci, Sarmin hanya bisa melihat dari lubang kunci. Melihat seorang anak perempuan seumurnya sedang dilucuti pria hidung belang. Pintu kamar didobrak Sarmin hingga mengeluarkan suara gaduh.
“Keparat!! Jangan kau sentuh Kantil,” Sarmin menghantam botol miras di meja ke kepala pria hidung belang sampai mengaduh-ngaduh berdarah-darah di sudut kamar mengerang kesakitan.
“Sarmin.. apakah kau itu Sarmin?” anak perempuan itu memandang si Sarmin.
“Kau datang untuk menempati janjimu kepadaku. Kau kembali untukku,” lelehan airmata menetes di matanya.
Sarmin hanya mengulurkan tangannya ke anak perempuan yang belepotan dandanan menor tapi di arah pintu terdengar suara serak yang ia kenal.
“Oh Sarmin. Sarmin mau kau bawa kemana gadis kesayanganku itu..sudah kubilang dulu Kantil aset masa dapan dan mesin uangku.”
Suara itu dan wajah tak asing bagi Sarmin, hanya terlihat beda ada codet pada mata kiri terlihat sedikit buta.
“Bekas luka ini oleh-oleh dari kamu dulu, tak akan aku lupakan kejadian kemarin.” Dulmatin mengelus wajahnya sekejab mata kanan memerah menahan amarah purba yang dibendungnya.
“Lama kau kucari tapi kau datang sendiri demi gadis tengil ini,” kekehnya sambil mengeluarkan kelewang parang di balik bajunya siap menebas Sarmin.
Sarmin bukan anak kecil kemarin sore ketakutan, dia sudah melawan rasa takut dengan kebencian terhadap Dulmatin. Dia mengeluarkan sesuatu yang diambil waktu kerusuhan tadi, sebuah piston revolver standar polisi.
“Hei Sarmin. Jangan main-main kau Sarmin, itu benda berbahaya.” Dulmatin bergetar di bawah todongan revolver itu dan tahu akan kenekatan Sarmin jika itu meletus di kepalanya
“Berlutut kau!!” teriak Sarmin sambil mengokang ujung pelatuk pistol revolver itu.
“Sarmin… tenang… kita bisa bicarakan masalah ini. Anggap masa lalu kita lupakan, hapus yang lalu memulai yang baru,” sodor Dulmatin sambil berlutut meletakkan parangnya perlahan.
“Tak akan lupa? Hah… maaf, Dulmatin kamu yang harus melupakan semua ini. Bukan aku.”
“Duaaarrr..!!!”
Revolver itu menyalak keras, peluru menghajar kepala Dulmatin hingga tersungkur di lantai bersimbah darah
Secepat kilat Sarmin menarik tangan Kantil dan keluar dari tempat busuk itu. Berlari sejauh mungkin. q-g

Duri, Agustus 2017

Ketika Prenjak Berkicau

Cernak Sulistiyo Suparno (Suara Merdeka, 15 Oktober 2017)
Ketika Prenjak Berkicau ilustrasi Suara Merdeka
Ketika Prenjak Berkicau ilustrasi Suara Merdeka
Minggu pagi, Johan dan Ayah sedang mencabuti rumput di halaman. Johan mendengar kicau prenjak di pohon mangga. Johan berkata kepada Ayah, “Akan ada tamu di rumah kita, Ayah.”
“Dari mana kamu tahu?” tanya Ayah.
“Kata teman-teman Johan, kalau ada prenjak berkicau, itu tanda akan ada tamu,” jawab Johan.
“Ada-ada saja kamu ini,” sahut Ayah tertawa.
Pukul 10.00 siang, Johan sedang membaca majalah anak di ruang tamu. Tampak mobil merah berhenti di halaman. Dari balik jendela ruang tamu, Johan melihat seorang lelaki paruh baya keluar dari mobil itu. Johan bergegas membuka pintu dan berseru, “Paman Herman!”
“Assalamualaikum, Johan,” sapa Paman Herman.
“Waalaikumsalam, Paman,” sahut Johan.
“Jam berapa dari Semarang, Paman?”
“Jam berapa, ya? Sekitar jam delapan, kalau tidak salah,” jawab Paman Herman.
Paman Herman menenteng tas plastik hitam, lalu menyerahkannya pada Johan.
“Paman bawa oleh-oleh buat kamu,” kata Paman Herman.
Johan membuka plastik itu. Isinya beberapa buku cerita. Johan melonjak-lonjak gembira.
“Terima kasih, Paman. Terima kasih,” Johan mencium tangan Paman Herman.
Johan dan Paman Herman masuk rumah. Paman Herman berbincang-bincang dengan Ayah dan Ibu di ruang tamu. Johan membaca buku pemberian Paman Herman di ruang tengah.
Ketika tiba waktu makan siang, mereka makan bersama. Usai makan siang, Johan berbisik pada Ayah.
“Benar bukan, Yah? Prenjak berkicau tanda akan ada tamu?”
“Kamu ini ada-ada saja,” sahut Ayah tersenyum.
Kemudian Johan dan Paman Herman bermain catur. Inilah saat yang menyenangkan bila Johan bertemu Paman Herman. Mereka selalu bertanding catur. Kali ini Johan yang memang, dua kali.
“Wah, kamu sudah makin hebat main catur. Paman nyerah, deh,” kata Paman Herman.
“Ayo, Paman. Main lagi,” sahut Johan bersemangat.
Paman Herman melirik jam tangan.
“Maaf, Johan. Paman harus berangkat. Paman ada tugas wawancara dengan pejabat di Jakarta. Nanti malam Paman harus sudah sampai Jakarta,” kata Paman Herman yang seorang wartawan.
“Ah, Paman. Mengapa sebentar saja ke sini?” sahut Johan kecewa.
Paman mengacak-acak rambut Johan.
“Kali lain Paman akan main lagi ke sini dan lebih lama. Kalau perlu Paman akan menginap,” kata Paman Herman.
“Benar, Paman? Paman akan menginap? Asyik! Janji ya, Paman?”
“Ya. Paman janji.”
***
Pukul 21.00, Johan bersiap untuk tidur. Seperti biasa, Ayah menyelimuti Johan dan membimbing membaca doa sebelum tidur.
“Ayah,” panggil Johan, ketika Ayah hendak ke luar kamar.
“Ya, Nak?” sahut Ayah.
“Ayah masih tak percaya kalau kicau prenjak itu tanda akan ada tamu?”
Ayah tersenyum. Duduk di tepi ranjang, mengeluarkan ponsel dari celana panjangnya.
“Lihat,” kata Ayah menunjukkan layar ponselnya.
“Ini SMS dari Paman Herman kemarin. Kamu bacalah.”
Johan membaca SMS di ponsel Ayah.
Assalamualaikum, Mas Hasan. Besok Minggu saya akan ke Jakarta. Saya akan mampir ke Pekalongan. Saya bawa buku-buku cerita untuk Johan. Tapi jangan beritahu Johan, ya? Buat kejutan. Wassalamualaikum.
Usai membaca SMS itu, Johan tertegun.
“Jadi, Paman Herman datang bukan karena kicau prenjak?” tanya Johan.
Ayah tersenyum.
“Sudah malam dan kamu sudah berdoa. Sekarang tidurlah,” kata Ayah, lalu berjalan hendak meninggalkan kamar Johan. Ketika Ayah hendak menutup pintu kamar, Johan memanggilnya.
“Ayah.”
“Ya, Nak?”
“Mengapa prenjak berkicau, Yah?”
Ayah berpikir sejenak, tersenyum, lalu menjawab.
“Mungkin karena prenjak sedang bahagia, Nak. Sudah, ya? Tidurlah, Nak.”
Ayah menutup pintu kamar Johan.
Johan memejamkan mata. Bibirnya tersenyum dan akhirnya terlelap dalam tidur yang nyenyak. (58)

Berubah

Pernahkah Anda berpikir, sejauh mana perubahan dari tahun ke tahun? Bandingkan diri anda saat ini dengan 5 tahun ke belakang.
Adakah perubahan berarti dalam hidup Anda?

Saya tahu, Anda ingin berubah, ingin menjadi lebih baik. Buktinya Anda bergabung dengan mailing list Zona Sukses atau Motivasi Islami, itu karena Anda ingin berubah.

Begini cara berubah ..

"Jika Anda Bisa Mengubah Pikiran Anda, Maka Anda Bisa Mengubah Hidup Anda." — William James

Jadi kunci mengubah diri Anda, pencapaian Anda, dan hidup Anda, semuanya berawal dari pikiran Anda. Ubahlah pikiran Anda, maka yang lainnya akan berubah.

Jika Anda ingin berubah, namun masih ada saja yang mengganjal, sehingga tidak juga terjadi perubahan. Mungkin, pikiran Anda masih terjebak dengan cara berpikir lama.

Kondisi pikiran yang menentukan hidup kita adalah kondisi pikiran bawah sadar, yang tentu tidak kita sadari.

Lalu, bagaimana cara mengubah pikiran bawah sadar menjadi lebih baik?


Memiliki Cara Berpikir Seperti Orang-orang Sukses

Yang Mampu Meraih Apa Yang Anda Anggap Tidak Mungkin

Pernahkah Anda merasa dalam sebuah kondisi dimana Anda tidak bisa mendapatkan apa yang Anda inginkan? Rasanya tidak mungkin untuk Anda. Sementara orang lain bisa.
Anda sudah belajar cara-cara melakukan berbagai hal, namun tidak juga berhasil. Anda sudah belajar berbagai teknik, taktik, dan strategi jitu. Namun tetap tidak ampuh.
Anda punya keinginan untuk berubah menjadi lebih baik. Punya keinginan untuk meraih cita-cita yang tinggi.
Tapi ... seolah ada yang menghalangi antara diri mereka dengan apa yang mereka inginkan. Tahukah Anda apa yang menghalangi itu?
Ya benar ... itu pikiran Anda sendiri.
Jika Anda ingin berubah, maka mulai sekarang ubahlah pikiran Anda. Miliki mindset atau pola pikir sukses. Bukan pola pikir yang lagi dan lagi membawa Anda kepada kegagalan.
Anda PERLU mengetahui bagaimana menjadikan pikiran Anda lebih positif dan lebih optimis. Pikiran yang membawa Anda pada kebaikan dan pencapaian. Anda perlu memiliki pola pikir sukses.
Itulah tepatnya yang akan Anda pelajari sebentar lagi.

Anda Harus Mengubah Pikiran Anda Jika Hidup Anda Ingin Berubah

Mungkin Anda sudah mengetahui, bahwa Anda harus memiliki pikiran yang positif jika mau sukses. Tapi, nyatanya tetap saja masih ada yang "mengganjal" diri untuk meraih sukses.
Begini ...
Untuk mengubah pikiran itu tidak cukup dengan mengetahui. Ada proses bagaimana agar Anda memiliki pikiran positif. Banyak orang yang mengetahui sesuatu, tetapi tidak dilakukan.
Mengubah pikiran positif memang tidaklah mudah. Anda tidak hanya berkata "berpikir positif sajalah!" Atau mengatakan "saya berpikir positif".
Karena pada kenyataanya, sekedar kata tidak mengubah tindakan Anda.
Harus ada proses tertentu, yang benar-benar bisa mengubah pikiran Anda dari dominasi pikiran negatif menjadi dominasi pikiran positif. Setelah itulah Anda akan mulai merasakan dahsyatkan kekuatan pikiran Anda.
Itulah mengapa Anda membuka halaman ini bukan?

Bayangkan Anda Memiliki Keyakinan, Semangat, dan Gairah Dalam Meraih Impian Anda

Jika Anda sudah memiliki keyakinan, semangat, percaya diri, gairah, dan perasaan positif lainnya, maka tindakan Anda akan berubah menjadi lebih dahsyat.
Jika tindakan berubah, maka hasilnya akan berubah. Pikiran positif menghasilkan perasaan positif, perasaan positif menghasilkan tindakan positif, dan tindakan positif menghasilkan hasil yang positif.
Dan, saya akan tunjukan bagaimana caranya mengubah pikiran Anda, kemudian mengubah perasaan Anda, sehingga akhirnya tindakan Anda berubah, kemudian ada perubahan hidup yang lebih baik pada diri Anda.
Saya sudah merancang cara sederhana, hanya melalui membaca, mendengarkan audio dan beberapa latihan, maka pikiran Anda akan mulai berubah sedikit demi sedikit.
Teknik sederhana dan aman dan dilakukan dengan penuh kesadaran dan pemahaman sehingga hanya hasil positif yang Anda inginkan yang akan Anda dapatkan.

KODE DARI sang Pencipta



Udah dikasih kode, kok engga peka......

Kode apa sih?

Jadi gini, pernah gak temen-temen Lagi enak-enaknya tidur, eh Tiba - tiba banyak nyamuk yang menggigit kita, akhirnya terbangun dari tidur. Lihat jam ternyata jam 02.00
Lalu ambil obat nyamuk, terus tidur lagi

Setengah jam kemudian terbangun lagi karena kebelet buang air kecil. Setelah buang air, lihat jam ternyata masih jam 02.30 Ya udah deh, tidur lagi.

Lalu Udara dingin banget, bangun terus ambil selimut. Ternyata masih jam 03.00, Pasang selimut terus tidur lagi, dengan kehangatan selimut.

"AAAAHHHH..!!!! TIDAAAKK..!!!"

Terbangun...
Huft.. Ternyata tadi mimpi buruk. Lihat jam masih jam 03.30
"Tidur lagi ah, lumayan masih shubuh masih lama nih"

Sering kali kita tidak peka terhadap hal seperti itu, tidakkah kita merasa itu adalah kode dari Allah bahwa Allah sedang kangen sama kita?

Allah ingin kita sholat malam, ingin mendengar doa - doa kita dan curhat kita. Allah lagi rindu kita

#PekaDong

Di sepertiga malam Allah turun dari 'Arsy menuju langit bumi.
Allah datang, eh kita malah tidur..

Katanya pengen hidup berubah, sukses, pengen meng-hajikan orang tua, pengen punya rumah, pengen punya mobil dan motor, Terus katanya pengen dapat jodoh *ehh...

Ketika manusia memberi kode kepada orang lain, terus orang tersebut nggak peka, pasti sakit hatikan ??
Terus bilang deh, "Kenapa sih kamu enggak peka sama aku?

Coba bayangkan sudah berapa kali kita abaikan kode - kode dari Allah??

Nanti malam kalau dapat kode dari Allah, peka yaaa ...

Terus curhat deh pengen apa aja