Daftar Blog Saya

Senin, 30 Oktober 2017

Apa Nama Baumu?


Cerpen Yetti A. KA (Jawa Pos, 29 Oktober 2017)
Apa Nama Baumu ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos
Apa Nama Baumu? ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
MESIN pemotong meraung-raung di belakang rumah. Tetangga sedang memotong rimbunan rumput liar. Bau rumput yang dipotong menguar. Aku tidak bisa menjelaskan baunya itu. Bukan wangi seperti bau parfum. Bukan busuk seperti bau bangkai.
Aku sering menemukan bau yang tak bernama. Bau hujan. Bau tanah kering. Bau kayu tua. Bau buku. Kau juga adalah sebuah bau. Kau mirip bau rumput yang dipotong itu. Bau yang membuatku mendadak sedih. Tidak. Bau rumput itu tidak mengirimkan sesuatu yang ngilu. Namun, aku tetap ingin menangis karena aku teringat kepada baumu.
Jadi apa nama baumu itu?
“Aku ingin mati,” katamu satu minggu sebelum kau ditemukan membeku dengan gaun tidur putih tipis berpola dedaunan—foto gaun tidur itu sempat kau pamerkan kepadaku ketika kau baru membelinya dari sebuah butik—di ranjangmu.
“Aku ingin mati,” katamu berulang kali. Dan kau memang akhirnya mati. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu saat berada di ranjang itu dan kau pelan-pelan membaringkan tubuhmu. Kau telentang, merapikan tangan di kedua sisi tubuhmu, perlahan memejamkan mata, hingga kau memasuki detik-detik kematianmu.
Aku sama sekali tidak tahu apa dadamu terlonjak keras pada saat malaikat mencabut rohmu. Tidakkah ia—malaikat itu—melakukannya terlalu keras? Apa kau menggumamkan sesuatu? Apa kau berteriak dan ketakutan? Apa kau masih berkata untuk terakhir kali, “Aku ingin mati.” Siapa yang kau ingat ketika itu? Apa kau menangis? Mungkin tidak. Aku tahu kau sudah lama berhenti menangis.
“Apa air mata bisa habis?” tanyaku saat kau bilang hidupmu terlalu kering dan kau bahkan tak lagi bisa mengeluarkan beberapa butir air mata.
Seingatku, dari kecil aku terlalu banyak menangis. Teman-temanku jahil semua. Mereka memecahkan balonku. Aku menangis. Mereka menarik rambutku. Aku menangis. “Kau ini punya air banyak sekali, jangan-jangan kau anak lautan ya?” tanya salah satu dari mereka sambil terkekeh-kekeh. Aku belum pernah melihat lautan. Aku mengangguk begitu saja. “Ya, aku anak lautan.”
“Kalau kau anak lautan berarti kau terbuat dari air. Ih, seram,” timpal yang lainnya. Aku kembali menangis karena aku tidak pernah menyangka kalau aku ini terbuat dari air dan itu menyeramkan. Dan air mataku tidak henti-henti mengalir. Ibuku yang sudah mati dan fotonya kutempel di dinding kamar, berkata, “Mereka hanya sekumpulan anak nakal. Jangan didengarkan. Mereka sengaja mau menyakitimu.”
Aku memang sering mengadu kepada ibuku pada waktu itu dan aku sangat percaya kepadanya. Orang yang sudah mati mana mungkin berbohong, karena hal itu tidak akan berguna baginya, pikirku.
Akan tetapi, kali itu, ibuku ternyata salah tentang mereka. Bertahun-tahun setelah itu, aku mencari lautan dan aku masuk ke dalamnya dan aku merasa menemukan diriku yang seutuhnya. Aku pun berubah menjadi lautan dengan ombak dan karangnya, pasir dan binatang-binatang laut, rumput dan ikan-ikan, perahu-perahu nelayan mengapung dan kapal-kapal besar berlayar menuju samudera luas. “Kau terus berpikir menjadi lautan?” tanyamu sebelum kau sampai pada hari-hari yang membuatmu ingin mati dan ingin mati saja.
“Ya,” jawabku malu karena mungkin kau menganggap aku ini anak kecil. Pipiku yang gelap mungkin bertambah gelap.
Kau tidak mengatakan apa pun. Kau memang tidak banyak bicara. Temanmu sedikit sekali. Mungkin hanya ada lima di dunia ini. Aku salah satunya. Saat pertama kali bertemu, kau berumur 35, aku 25. Kau bilang, “Waktu seusiamu, aku merasa bisa menjadi apa saja, termasuk mengubah diri menjadi bermacam-macam binatang atau benda-benda. Tapi kemudian aku memilih menjadi malam.”
“Kau memilih menjadi apa?” tanyaku kurang yakin.
“Malam. Malam yang gelap,” katamu.
Lalu kau mati. Lalu aku tak pernah lagi mendengar suaramu dan yang tertinggal hanya ingatan tentang baumu yang aku tidak tahu namanya itu.
***
IA tidak suka diberi nama Lonely. Rasanya, dunia ini bertambah sepi sejak ia mulai memikirkan namanya itu. Orang-orang dalam kehidupannya terlalu sibuk. Bapak harus segera ke kantor. Kakak ada rapat di komunitas. Adik ingin jalan-jalan. Ibu ada janji dengan teman di restoran untuk urusan bisnis. Papa pulang dan pergi ke kantor lagi. Adik mau makan nasi goreng di luar. Kakak mau sate di warung Y karena rasanya enak sekali. Adik ingin jalan-jalan ke pantai. Kakak mau nonton pertunjukan seni. Di akhir pekan Bapak dan Ibu mesti menghadiri pernikahan A, B, C. Ah, masih ada pernikahan D di luar kota.
“Lonely, cepatlah! Kau ikut tidak?”
Lonely tidak suka buru-buru. Ia sedang memperhatikan bercak putih di kukunya.
“Lonely, kita terlambat!”
Lonely melihat seekor kelelawar menggantung di cabang pohon seri dari jendela kamarnya. Kelelawar yang berwarna malam. Bagaimana kelelawar bisa tiba di tengah kota yang sesak oleh bangunan ini? Lonely tak habis pikir.
“Kau sedang apa sih, Lonely? Huh, kok, lama sekali!”
Lonely kembali memperhatikan kukunya. Bercak putih itu seperti sebuah noda yang lahir dari rasa sepi. Aku sepi sekali, desah Lonely murung. Suara-suara yang memanggil namanya hilang. Lonely bangkit, melongokkan kepalanya keluar. Ia tak menemukan dunia masa kanak-kanaknya yang riuh itu dan seketika ia telah berdiri dengan sepasang kaki yang panjang—kaki perempuan dewasa berumur 25 tahun.
Ia pikir kakinya itu akan mampu membawanya ke tempat yang ramai oleh suara lain, suara yang tak buru-buru, dan sangat banyak warna, yang tak memungkinkannya merasa sendirian, yang membuatnya melupakan keinginannya berubah menjadi malam. Aku akan menggenggam semuanya! Aku akan bergembira selamanya! Lonely tersenyum semringah. Ia memoles kukunya dengan cat warna merah. Kuku-kukunya seketika menjadi buah stroberi yang masak sempurna. Mata Lonely terbuka karena takjub. “Rasa sepi sama sekali tak boleh pergi bersamaku,” katanya saat tak lagi menemukan noda putih di kuku yang mengganggu perasaannya. Lonely menutup jendela cepat-cepat dan kelelawar itu masih menggantung di sana dengan warnanya yang makin hitam.
Lonely berjalan. Terus berjalan. Ia sudah melewati seluruh tempat keramaian di kota. Namun, tidak ada tempat yang tak membuatnya merasa sepi. Kenapa aku bernama Lonely? protesnya dalam hati. Malam begitu cepat tiba. Ia merasa tak ingin kembali. Ia berjalan lagi. Ia masuk ke dalam pub yang memutar musik ingar-bingar dan kebanyakan orang di dalamnya dilahirkan dengan hati sepi. Ia tak bisa bertahan lama. Ia meninggalkan pub itu dan berada di pesta sekelompok anak muda yang gagal membahagiakan diri sendiri dan berencana membuat keributan di kota menjelang pagi. Ia menelepon pacarnya, tapi cepat ditutupnya kembali, karena ia tahu lelaki itu bahkan mesti menelan berbutir-butir pil untuk berdiri di depan orang lain tanpa rasa hampa.
Ia tegak di tepi jalan. Orang-orang berlalu lalang, tapi tak seorang pun melihatnya. Di kota ini, mata tak lagi digunakan untuk melihat orang lain. Ia sudah lama tahu itu. Dari kecil ia sudah mengerti mata bapaknya lebih senang menekuri kertas-kertas tugas kantor yang dibawa pulang ke rumah ketimbang menatap ia yang berdiri dengan baju tidur dan sebuah bantal.
“Kembali ke kamar dan tidur lagi sana, Lonely,” kata bapaknya tanpa memandang kepadanya.
“Lonely, ini sudah malam, cepat tidur ya,” kata ibunya sambil membuat coretan-coretan pada bundalan kertas di depannya.
Lonely menghapus sebutir air mata terakhir yang jatuh di pipinya. Semua sama saja, pikir Lonely. Tak ada orang yang menyenangkan di kota ini. Tak ada tempat yang tak membuatnya merasa sepi. Ia duduk di trotoar dan mulai membayangkan apa saja yang bisa ia lakukan. Ia benar-benar ingin berubah menjadi malam saja. Ia tidak tahu apakah menjadi malam akan menyenangkan baginya. Ia sudah pernah pura-pura menjadi babi, lalu badak, lalu cacing, lalu burung, lalu semut, lalu meja, lalu bolpoin bapaknya, lalu panci di dapur, lalu ia ingat lagi kelelawar di batang pohon seri kecil di dekat kamarnya. Kelelawar yang sehitam malam. “Aku mau menjadi malam saja biar bisa sembunyi dalam warnanya yang gelap,” katanya pelan, merasa tenteram.
***
Aku datang ke rumahmu yang diselimuti rasa duka. Saat itu, aku belum mencium bau apa-apa. Suamimu meneleponku saat aku berada di lautan. Lelaki itu meninggalkan pesan dan aku segera membacanya saat aku selesai mencopot baju lautku yang selama ini memungkinkan aku menjelajahi duniaku yang maha dalam dan luas. Ia mati. Begitu isi pesan itu. Aku membacanya sekali lagi. Ia mati.
Aku mulai bertanya-tanya, dengan cara apa kau mengakhiri hidupmu? Apa kau minum puluhan pil atau sebotol cairan kimia seperti yang sering kau katakan kepadaku?
Ia mati. Kubaca sekali lagi.
Air mataku mulai menetes. Kau benar-benar mati. Aku tidak akan lagi melihatmu. Aku tidak akan lagi mendengar atau membaca pesanmu yang tiada henti itu: aku ingin mati.
Bagaimana rasanya mati? pikirku. Apa saat mati kau membayangkan dirimu segumpal malam yang terbang sangat perlahan ke ketinggian dan memilih tak kembali lagi? Apakah kau membawa serta perasaanmu yang selalu merasa sepi itu? Atau kau menjadi dirimu yang benar-benar berbeda? Kukemasi peralatan lautku dengan cepat. Aku tidak ingin ketinggalan. Aku ingin melihatmu terakhir kali sebelum kau diberangkatkan ke tempat tinggalmu yang baru. Kau akan dimasukkan ke dalam tanah. Apa kau sama sekali tidak cemas? Apa kau tidak keberatan bertetangga dengan begitu banyak cacing yang rakus dan berusaha keras berada sedekat mungkin denganmu? Di sana pasti saja tidak ada udara. Dadaku menjadi sesak memikirkanmu.
Lalu aku telah berdiri di dekat peti jenazahmu yang berwarna hitam dan tampak licin karena sentuhan pelitur. Kau tampak tenang sekali. Bibirmu terkatup kaku, tapi sama sekali tidak tampak murung. Kelopak matamu kelihatan lembut, serupa dua kelopak mawar yang tertelungkup.
Suamimu berkata di belakang telingaku, “Dia mati.”
Lelaki itu pasti saja terpukul. Ia tak percaya kau melakukannya. Kau menyimpan dengan sangat baik bagian tersepi dari hatimu. Kau tak pernah membiarkan orang lain benar-benar masuk ke dalam hidupmu selain aku. “Kenapa aku?” tanyaku waktu itu. “Karena kau anak lautan,” katamu, “dan aku adalah malam. Kita sama-sama orang yang aneh.”
“Dia mati,” kata lelaki itu lagi, dan kali ini lebih bergetar. “Ia begitu bahagia. Ia masih tertawa bersama anak-anak pada pagi hari. Ia singgah ke toko buku. Ia mau membuat pesta ulang tahunku bulan depan. Ia berencana membuka usaha baru. Ia orang yang sangat bersemangat selama aku mengenalnya.” Bahu lelaki itu terguncang-guncang dan ia berhenti bicara saat tangisnya terlepas.
Kau pernah bilang, “Suamiku lelaki baik.” Kini aku melihat air mata lelaki yang baik hati itu berjatuhan. Aku bisa mencium bau air matanya. Bau yang tidak aku tahu namanya. Pelan-pelan aku juga mencium baumu. Bukan bau peti jenazahmu, melainkan betul-betul baumu. Bau yang mungkin akan kuingat selamanya. Bau itu, hari ini, menguar dari batang-batang rumput yang dipotong di belakang rumah persinggahanku sebelum aku kembali ke lautan.
Apa nama baumu itu? Katakanlah sesuatu biar aku tak perlu lagi bertanya-tanya. Katakanlah sesuatu biar aku berhenti berpikir ingin mencopot baju lautku dan menenggelamkan diriku di lautan, sebab aku terlalu lelah memikirkan baumu, yang bisa muncul di mana-mana, di kapal, pasir, bunga, keong, daun, baju, sepatu, pindang ikan, bakso, minuman bersoda, kebun sayur, dan bau rumput yang dipotong itu, makin segar, makin aneh. Apa nama baumu? ***

Rumah Kinoli, 2017
YETTI A.KA, buku kumpulan cerpen terbarunya Pantai Jalan Terdekat ke Rumahmu (2017)

Suamiku Ingin Mati di Wawonii


Cerpen Arsyad Salam (Suara Merdeka, 29 Oktober 2017)
Suamiku Ingin Mati di Wawonii ilustrasi Suara Merdeka
Suamiku Ingin Mati di Wawonii ilustrasi Suara Merdeka
1/
Pukul satu siang.
Duduk menyandar pada tumpukan dos mi instan, perempuan itu tampaknya sedang asyik dengan diri sendiri. Pandangannya tak pernah lepas dari layar ponsel yang terkoneksi dengan headset di kupingnya. Namun saya yakin ia tidak bisa fokus mendengarkan lagu. Meskipun duduk di bagian paling atas Kapal Fajar Fadilah, ia pasti terganggu oleh suara mesin yang mulai menaikkan gas. Sebentar lagi kapal berangkat. Kembali mengarungi lautan Kendari-Wawonii. Suara percakapan para penumpang hilang tertelan suara mesin. Begitulah memang setiap kali kapal hendak berangkat.
Rasanya saya kenal perempuan itu. Entah di mana. Sepertinya saya pernah tahu siapa dia. Atau paling tidak pernah berbicara dengannya. Sayang, ingatan tak selamanya panjang.
Pasti ada di antara kalian bertanya, cantikkah perempuan itu? Berapa usianya? Bagaimana postur tubuhnya? Langsing? Kurus? Gemuk? Yang bertanya begitu bisanya laki-laki. Entah kenapa laki-laki di mana pun lebih mengutamakan detail fisik perempuan daripada soal lain. Apakah ia cerdas? Apa kelebihannya? Itu jarang ditanyakan.
Terus terang saya tak bisa menjawab pertanyaan kalian. Seperti sudah saya singgung, saya tak kenal dekat perempuan itu. Apakah ia cantik? Mungkin. Namun bukankah definisi cantik dan tampan sangat relatif? Artinya berbeda bagi setiap orang.
Ketika Pulau Hari di kanan dan Pulau Saponda di kiri telah terlewati, saya perhatikan tidak terjadi perubahan pada wajah perempuan itu. Biasa-biasa saja dan terus mengawasi laut dengan ekspresi sangat wajar. Mungkin kedua pulau itu sudah terlalu biasa bagi dia, tak lagi membawa kesan mendalam. Mungkin ia seperti saya juga, melewati pulau itu hampir tiap pekan. Bolak-balik Kendari-Wawonii. Rutinitas membosankan. Tapi mau apalagi. Saya memang harus menempuhnya demi tugas dan tanggung jawab sebagai aparat negara.
Perempuan itu masih juga memandang laut. Tiba-tiba ia berdiri, melangkah hati-hati mendekati tempat saya duduk di samping tumpukan jerigen solar. Saya berdebar oleh tingkah yang mendadak itu. Bajunya tersibak angin. Jilbabnya juga.
“Bapak masih ingat saya?”
Saya memandang cukup lama seraya mengumpulkan ingatan yang berserakan tentang sosok perempuan yang sekarang berdiri di hadapan saya.
“Saya Nining, Pak.”
“Nining?” saya membalas ragu. Dan ia tahu saya ragu. Ia meneruskan.
“Dulu kita sama-sama naik Kapal Wawonia ke Kendari.”
“Ah, kenapa sekarang sulit sekali mengingat orang?” batin saya. Namun yang keluar dari mulut saya hanya sahutan pendek, “Oh ya?”
Saya memang tidak dikaruniai kefasihan mengingat segala kejadian. Saya nyaris lupa semua kejadian yang telah lewat, meskipun baru sepekan lalu. Mungkin benar ia pernah sekapal dengan saya. Entahlah. Namun mungkin juga ia cuma mengarang-ngarang, mencari alasan bisa mengobrol dengan saya. Saya tak tahu.
Saya perhatikan perempuan itu lebih cermat. Ada sesuatu yang menarik dalam dirinya. Sesuatu yang saya tak tahu. Dan saya bingung tak bisa menunjukkan hal menarik itu. Saya pernah membaca sebuah buku filsafat. Saya lupa judulnya, tetapi ada yang tidak bisa saya lupakan dalam buku itu; bahwa saat kita melihat sebuah objek, sudah berbeda bila melihatnya waktu lain. Perbedaan waktu itulah yang membuat objek berubah.
Saya dan Nining terlibat percakapan. Ia bercerita dulu mengajar di sebuah sekolah dasar dekat Tumburano di Wawonii Utara. Namun sejak empat tahun lalu, ia menikah dan tinggal di Kendari.
“Baru hari ini saya kembali ke Wawonii setelah menikah dengan Rustam.”
“Empat tahun?” tanya saya agak heran.
Ia mengangguk mantap.
“Suami kamu sekarang di mana?”
“Di kapal ini.”
“Di kapal ini? Di mana?”
“Di kamar ABK.”
“Kenapa?”
“Ia sakit. Saya membawanya ke kampung untuk berobat.”
“Kenapa kamu di atas sini? Kenapa tidak menjaganya?”
“Ia sedang tidur sekarang. Biarlah ia istirahat.”
Sebenarnya banyak yang saya ingin tanyakan. Namun, entahlah, saya hanya mampu membisu seraya menatap ombak berkejaran.

2/
Tiga jam sebelumnya.
“Tahan sakitnya ya, Rus, sebentar lagi kita ke pelabuhan,” bujuk Nining.
Rustam diam, tak menyahut atau mengangguk. Di dalam taksi sepanjang perjalanan, Nining berusaha menghibur sang suami. Ia mengajak Rustam bicara dengan nada manis. Sesekali tangannya mengusap pelipis dan rambut Rustam yang acak-acakan. Sopir taksi yang mereka tumpangi, lelaki gemuk yang tampak baik hati, cuma sesekali melirik mereka lewat kaca spion.
“Sejak dulu kan aku sudah bilang, kita berobat ke Makassar saja, tapi kamu maunya ke kampung. Memang di kampung ada yang bisa mengobatimu?” Nining terus bicara sendirian. Rustam tergolek tanpa daya di jok belakang, di sampingnya.
Nining menyuruh sopir taksi mempercepat laju kendaraan, khawatir ketinggalan kapal. Ia tahu jadwal berangkat kapal kayu ke Pulau Wawonii tak pernah tepat. Kadang lebih cepat, kadang juga terlambat berjam-jam. Dalam hati ia berdoa semoga kapal belum berangkat. Kalau ia ketinggalan, pupuslah harapan membawa pulang Rustam ke kampung.
Memasuki pintu gerbang pelabuhan, Nining sedikit lega ketika dari jauh melihat Kapal Fajar Fadilah masih tertambat di dermaga. Orang ramai naik-turun kapal. Pedagang asongan di mana-mana, berteriak menjajakan nasi bungkus, jagung rebus, dan air mineral.
Nining minta tolong sopir taksi membantu membopong Rustam ke kapal. Dalam hati ia berharap semoga tidak ada yang tahu apa yang sesungguhnya ia lakukan. Sengaja ia menutup kepala Rustam dengan kain panjang supaya tak terkena sinar matahari. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu ramai membicarakan keadaan Rustam yang telah lama diketahui sakit dan tidak sembuh-sembuh sampai sekarang. Orang-orang di pelabuhan siang itu dan hari-hari lain kebanyakan orang Wawonii juga. Mereka kenal Nining. Juga Rustam tentu saja.
“Kasihan ya,” kata seseorang.
“Memang ia sakit apa?”
“Saya dengar ia sakit jantung.”
Rustam dimasukkan dalam kamar kosong, kamar seorang anak buah kapal. Nining lega. Kembali ia mengusap kepala suaminya penuh kasih sayang. Dalam hati ia berdoa kepada Tuhan agar perbuatan itu tidak diketahui penumpang lain di kapal. Apalagi sampai diketahui juru mudi. Bisa gawat urusan nanti. Tadi ia berdebar ketika seorang ABK berkata tubuh Rustam sudah pucat, mirip mayat.
“Jangan-jangan ia sudah mati,” kata orang itu.
Nining menyahut cepat, Rustam cuma tak sadarkan diri. Penyakitnya memang gawat. “Ia pernah pingsan dua hari,” ucap Nining untuk menenangkan diri sendiri.

3/
Dermaga Langara sudah tampak. Kami berhenti bercakap-cakap. Nining lekas berdiri dan minta diri untuk ke bawah, ke kamar sang suami berbaring. Ia menatap saya agak lama, membuat saya agak heran seraya berpikir pasti ada rahasia yang hendak ia katakan. Saya memberanikan diri bertanya.
“Ada apa?”
Ia mendekat lagi, mendekatkan mulut ke kuping saya. Suaranya halus dan dalam, meskipun agak gemetar.
“Suamiku ingin dikuburkan di Wawonii. Ia ingin mati di pulau itu.”
“Lantas apa masalahnya? Kan kamu membawanya pulang untuk berobat?”
“Ia sudah meninggal, sudah mati sejak dari rumah di Kendari.”
“Hah?”
“Jangan bilang-bilang ya,” bisiknya dengan wajah agak sedih.
“Soalnya kapal-kapal di sini dilarang membawa mayat. Pemali, kata mereka. Saya pun terpaksa melakukan ini untuk melaksanakan wasiat suami saya yang ingin dikuburkan di Wawonii.”
Saya belum mampu mencerna apa yang sesungguhnya terjadi ketika dari bawah terdengar teriakan seorang anak buah kapal. “Ada mayat dalam kapal ini! Siapa keluarganya? Siapa bertanggung jawab?” (44)

Arsyad Salam, menulis novel dan cerpen. Novel yang telah terbit Kidung dari Negeri Apung (2015), Jejak Manusia Langit (2016), dan Lintasan Menikung (2017). Kumpulan cerpennya Pasung Jiwa Merpati Putih (2016). Kini, dia tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Mimpi Sekejap


Cernak Wahidatun Nisai Fauziyati (Suara Merdeka, 29 Oktober 2017)
Mimpi Sekejap ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Mimpi Sekejap ilustrasi Suara Merdeka
Kamis malam Jumat, Akbar mengunjungi pengajian peringatan Isra Mikraj di mushala bersama Kak Yusuf. Tetangga rumah berbondong-bondong menuju mushala dengan membawa jajanan pasar. Bakda magrib acara dibuka dengan pembacaan surat Al-Fatihah. Akbar antusias mengikuti rangkaian acara meskipun didera kantuk.
“Kak, Kiai Hamzah kapan mulai ceritanya sih? Akbar mengantuk,” tanya Akbar ke Kak Yusuf.
“Sabar Akbar, kan baru saja dimulai,” jawab Kak Yusuf singkat.
Kiai Hamzah merupakan pemuka agama yang sangat disegani. Tausiyah yang disampaikan mudah dipahami dan mengena di hati. Akbar menantikan kisah-kisah yang biasa disampaikan ketika mengaji.
Akbar mengamati sekeliling ruang utama mushala. Orang-orang terlihat khusyuk merapalkan doa. Suasana yang khidmat membuat Akbar semakin mengantuk. Segera Kak Yusuf memintanya untuk mencuci muka. Akbar menuju tempat wudhu untuk mencuci muka dengan harapan kantuknya hilang.
Saat menuju ke tempat wudhu, tiba-tiba ada Raka yang mengajak Akbar untuk bergabung bermain gerobak sodor.
“Akbar main yuk. Gabung ke tim aku, kurang satu orang nih,” pinta Raka ke Akbar. Akbar pun tergiur untuk ikut bermain. Padahal Kak Yusuf sudah berpesan agar ia mengikuti pengajian hingga tuntas. Namun, untaian doa-doa yang mendayu serta suasana khidmat membuat kantuk semakin parah.
“Bosan menunggu lama, lebih baik ikut bermain saja,” bisik Akbar.
Akhirnya Akbar memutuskan untuk ikut bermain bergabung bersama tim Raka yang akan melawan tim Mario. Permainan dimulai, tim Raka yang akan berjaga dengan susunan Akbar-Rio-Arkhan-Raka.
Mudah saja bagi Akbar untuk mematikan lawan dengan menangkap si gembul, Naufal. Poin pertama untuk tim Raka disumbangkan oleh Akbar. Sementara kedudukan satu nol untuk kemenangan tim Raka atas tim Mario. Giliran tim Raka yang akan menjadi penyerang melewati penjaga untuk mencapai garis finish. Penyerang pertama adalah Akbar, ia dikenal sebagai pelari yang cepat. Tak heran lawan mewaspadai gerak-gerik Akbar. Tubuh mungilnya meliuk-liuk menghindari sergapan penjaga. Akbar pun mampu mencapai garis finis dan kembali menyumbangkan poin untuk tim Raka.
Sementara itu, Raka dan Rio masih terjebak dalam kepungan para penjaga. Gemuruh sorak anak-anak yang menonton membuat suasana menjadi tegang dan seru.
“Raka masuk ke kanan…kanan…kanan..awas ada Naufal…awas!” sorak salah satu penonton.
“Rio ayo ..cepat…cepat..cepat masuk… Awas..” teriak histeris para penonton.
Teriakan anak-anak ini terdengar hingga ke ruang utama mushala. Datanglah Pak Haji Salman di antara anak-anak tersebut. Mereka terkejut. Tatapan mata yang tajam, tangan berkacak pinggang serta kumis tebal melengkung ke atas menjadikan kesan garang. Seketika anak-anak tak berkutik. Mereka diam. Namun, rupanya Akbar tidak mengetahui kedatangan Pak Haji Salaman. Dengan semangat, ia masih terus berteriak, “Masuk kanan Ka..Raka ke kanan…kanan si Naufal…ayo masuk kanan…cepat…cepat!”
Arkhan segera memberi kode, tapi Akbar tak menghiraukannya hingga jeweran mengenai telinganya.
“Dasar anak-anak yang bandel. Sudah diperingatkan berkali-kali tetap saja teriak-teriak di mushala. Bermain boleh saja tapi nanti setelah pengajian. Mengganggu orang yang sedang beribadah itu tidak baik,” tegur Pak Haji Salman, Akbar pun terkejut dan mengerang kesakitan.
Dan… Jeweran Pak Haji Salman rupanya membangunkan Akbar dari mimpi buruk petang itu. Tidak ada Pak Haji Salman di sampingnya, tidak ada teman-teman di sekelilingnya.
Akbar terduduk di kursi tempat wudhu karena kantuk yang tak tertahan. Akbar lalu mengusap seluruh muka dengan air dan menutup keran air tersebut. Segera ia kembali ke ruang utama mushala karena suara merdu Kiai Hamzah mulai menggema di telinganya. Tidak akan ia lupakan mimpi sekejapnya itu. (58)