Daftar Blog Saya

Kamis, 14 Desember 2017

Sepasang Kekasih dan Percakapan-percakapan di Kepala Mereka

Cerpen Afri Meldam (Padang Ekspres, 10 Desember 2017)
Sepasang Kekasih dan Percakapan-percakapan di Kepala Mereka ilustrasi Orta - Padang Ekspres
Sepasang Kekasih dan Percakapan-percakapan di Kepala Mereka ilustrasi Orta/Padang Ekspres
SAYA akan bercerita tentang sepasang kekasih yang tak saya ketahui namanya. Mereka kini sedang duduk di bangku taman sebuah kota, berangkulan. Si Lelaki yang sedang melingkarkan kedua tangannya ke leher perempuan itu memakai topi berwarna gelap, sementara si Perempuan yang bersandar di dada lelaki itu baru saja melepas ikat rambutnya, membiarkan angin memainkan helai-helai hitam di kepalanya. Baiklah, untuk memudahkan penceritaan, si Lelaki akan kita panggil El, sedangkan si Perempuan akan kita namai dengan Pe.
Rumah kita mungil saja, satu kamar untuk kita dan satu kamar untuk kedua putri kita, Pe membuka percakapan. Ia memain-mainkan ujung rambutnya. Ada sebuah ruang tamu yang akan kupenuhi dengan foto-foto kita. Juga foto anak-anak kita. Kita bisa nonton TV di sana, sepuasnya. Kalau kau mau, di kamar kita juga bisa kita pasang satu TV lagi. Di dapur akan ada lemari-lemari tempat menyimpan bahan masakan dan bumbu-bumbu.
Apa kau ingin menamam bunga di halaman depan? El bertanya. Pe mengangguk. Tentu saja, kata Pe. Ia sengaja mengeraskan volume suara, sedikit kesal karena kekasihnya menanyakan sesuatu yang ia pikir sudah seharusnya ia ketahui sejak lama. Lelaki macam apa yang tidak mengetahui kalau kekasihnya menyukai bunga, Pe, sedikit merutuk dalam hati, tapi tentu saja itu tak akan pernah ia ucapkan pada lelakinya, karena ia tahu El adalah lelaki yang baik. Kau tak boleh menghukum seseorang atas ketidaktahuannya, begitu ia buru-buru meyakinkan diri. Aku akan memenuhi halaman rumah kita dengan bunga-bunga, Pe memamerkan barisan giginya, tentu saja karena ia membayangkan bunga-bunga itu tengah bermekaran. Suara Pe terdengar lembut.
Bagaimana kalau anak-anak yang kebetulan lewat di depan rumah kita, lalu pikiran jahil mereka menggerakkan tangan-tangan mungil itu untuk memetik bunga-bunga yang kau tanam? El kembali bertanya, seolah ingin menguji kesungguhan Pe. Biarkan saja, tukas Pe santai. Aku suka anak-anak. Malah aku akan sangat senang kalau anak-anak itu merasakan kebahagiaan dengan memetik bunga-bunga di halaman rumah kita. Kau tahu, sayang, anak-anak sekarang sudah dibebani dengan berbagai macam hal oleh orangtua mereka. Kasihan sekali mereka. Makanya aku akan membiarkan mereka memetik bunga-bunga itu, Pe mengulang-ulang kalimatnya, jelas sekali ia ingin meyakinkan lelakinya.
Aku juga suka anak-anak, El menimpali. Ia membelai rambut Pe. Tapi kenapa kau ingin kedua anak kita perempuan. Bukankah lebih baik kalau satu lelaki dan satu perempuan? Terdengar nada protes dari lelaki itu, meski tentu saja ia berusaha menyampaikannya sehalus mungkin, sesopan mungkin, agar ketika Pe mendengarnya, perempuan itu tidak salah tafsir.
Anak-anak perempuan bisa aku dandani tiap kali aku mau, balas Pe. Aku akan memanjangkan rambut mereka, biar bisa kukucir atau kukepang. Akan kupetik beberapa bunga lalu kuhiasi kepala mereka dengan bunga-bunga itu. Pe kembali terkikik. Mungkin ia membayangkan ia tengah melakukan hal itu pada gadis-gadis kecilnya.
Sesederhana itu? El seakan tak bisa menerima. Iya, jawab Pe. Sesederhana itu. Pe tentu tak menyebutkan alasannya yang lain, misalnya tentang ketakutan-ketakutannya jika memiliki anak laki-laki yang menurut Pe susah diatur seperti abangnya, seperti bapaknya. Pe takut anak laki-laki tak akan menghiraukan Pe yang melarang mereka bermain di pinggir rel, atau agar mereka tidak bermain layang-layang di jalanan. Apalagi kalau Pe melarang mereka main bola. Di telinga anak laki-laki kata-kata yang kau anggap nasihat hanya akan terdengar sebagai ocehan tak bermakna dan kau akan dipandang sebagai seorang ibu yang cerewet. Pe tak ingin menjadi Ibu yang cerewet.
Lalu kenapa kau ingin anak laki-laki? Pe juga penasaran dengan kemungkin alasan yang bertengger di benak kekasihnya. Akan kuajak ia memancing tiap hari ke sungai di belakang rumah kita, jawab El, terdengar sama santainya dengan jawaban perempuan itu pada pertanyaan sebelumnya. Anak perempuan juga bisa diajak memancing, protes Pe. Tapi anak perempuan takut cacing, bantah El. Pe terdiam, karena ia sendiri memang tak pernah mempunyai nyali untuk memegang binatang bertubuh lunak-licin yang hidup di kegelapan tanah itu.
Kau bisa ajarkan putri kita agar mereka tak takut pada cacing, kata si Pe kemudian, meski ia masih ragu apakah nanti ia akan memperbolehkan anak-anaknya mengotori tangan mereka dengan tanah, apalagi sampai memegang mahkluk berlendir itu. Perempuan cantik, menurut keyakinan Pe, harus bisa merawat kuku mereka dengan baik. Kuku-kuku yang panjang dan bersih. Sesekali tentu ia bisa mengecat kuku-kuku anak-anaknya nanti, pikirnya sambil memperhatikan kuku-kuku di kedua tangannya.
Anak laki-laki tak perlu diajari untuk berani memegang cacing, El masih keukeh, dan Peyakin bahwa mereka akan terus memperdebatkan tentang anak laki-laki dan anak perempuan ini sepanjang hari, maka ia pun mengajukan usulan bahwa mereka akan membahas lebih lanjut mengenai masalah ini di kemudian hari. Lalu ia teringat abangnya yang suka berantem, juga bapaknya yang sangat suka marah-marah.
Mengusir wajah kedua laki-laki itu dari pikirannya,Pe berkata kalau ia ingin membelikan boneka yang banyak untuk kedua putri mereka kelak. Akan ia jejali kamar putrinya dengan boneka-boneka lucu.
Bagaimana kalau mereka tak suka boneka, El bertanya. Anak perempuan mana yang tidak suka boneka, suara Pe sedikit ketus.
Ada, ujar El tak mau kalah. Kakak perempuanku tak suka main boneka. Ia suka memanjat pohon dan bermain bola sepak seperti anak laki-laki, katanya. Pe menarik garis bibirnya sejauh mungkin ke bawah, memberikan kesan bahwa ia sangat tidak suka alasan seperti itu.
El melihat wajah murung Pe. Kau ingin aku membelikan boneka apa untuk kedua putri kita nanti? Ia bertanya, menekankan pada kata ‘kedua putri kita’, yang tentu saja untuk memperbaiki keadaan, meski sebenarnya Pe tak sepenuhnya terusik oleh cerita tentang kakak perempuannya itu. Boneka apa saja, sambar Pe. Tapi aku lebih suka boneka gajah. Boneka gajah yang gemuk dengan telinga yang bisa kujadikan selimut, jawabnya. Barisan giginya kembali terihat.
El tertawa. Mungkin baginya selimut dari telinga gajah gemuk itu terdengar sangat lucu. Entahlah, kadang laki-laki suka tertawa pada saat yang tidak seharusnya, gerutu Pedalam hati. Dan di saat bersamaan ia berpikiran bahwa pada hari ketika mereka kembali membicarakan tentang anak-anak nanti, hal ini bisa ia jadikan alasan untuk tidak memiliki anak laki-laki. Makanya ia membiarkan saja laki-laki itu tertawa.
Lalu apa yang akan kau tanam di halaman belakang rumah kita? Bunga-bunga? Tanya El, memecah hening yang sempat hadir di tengah mereka. Pe menggeleng. Bunga-bunga cukup di depan saja. Di halaman belakang kita tanami pohon buah-buahan. Aku suka makan buah. Kalau beli tiap hari di supermarket, harganya mahal. Lebih baik kita tanam sendiri pohonnya. Pohon mangga, pohon rambutan, pohon durian, pohon sawo, pohon duku, dan pohon-pohon lain yang aku tidak tahu namanya. Kulihat di ujung jalan sana banyak sekali orang menjual bibit pohon. Kita tentu bisa membelinya di sana nanti.
Pohon-pohon itu semuanya berbuah lebat, sepanjang musim mereka bergantian mengeluarkan buah-buah yang ranum, Pe melanjutkan. Kau tahu, pohon-pohon itu cabangnya rendah saja, jadi kita bisa menjangkau buahnya dari tanah. Anak-anak kita juga bisa memetik buah-buahan di halaman belakang. Bersama-sama kita bisa memetik mangga, rambutan, durian…
Aku tak suka durian, potong El. Baunya membuat perutku menggelegak. Bisakah pohon durian kita ganti pohon salak saja? Aku suka salak, sambar Pe.
Kau ini bagaimana sih, ujar Pe sebal. Pohon salak banyak durinya. Bagaimana kalau anak-anak kita bermain di kebun belakang lalu duri-duri salak menusuk kaki mereka? Apa kau mau punya anak-anak pincang? Pe tahu bahwa pernyataannya agak dilebih-lebihkan, namun ia juga tahu bahwa itulah jalan satu-satu agar lelakinya mau mendengarkan usulannya tentang pohon-pohon buah yang bakal mereka tanam di halaman belakang.
Halaman belakang kita luas sekali, Pe ternyata belum selesai. Di sana juga ada kolam ikan. Selain di sungai, kau bisa memancing di kolam itu. Banyak ikan besar-besar di kolam kita. Ikan gurame, mujaer, ikan mas. Tapi aku tak ingin memelihara ikan lele di sana, Pe menegaskan. Bentuknya menyeramkan. Kumisnya terlihat menggelikan. Tapi, apa kau yakin ingin memancing di sungai? Ia tiba-tiba ingat tentang lelakinya yang ingin pergi mengajak anak mereka memancing di sungai.
Tentu saja, El terdengar bersemangat. Ikan-ikan yang hidup di sungai dagingnya lebih gurih daripada ikan di kolam. Tentu saja sungai di belakang rumah kita tidak sekotor sungai di kota ini. Jangankan ikan, sampah saja malas berada di sana.
El membayangkan sungai-sungai yang jauh, yang entah dimana, yang pernah ia lihat di TV. Sungai di belakang rumah kita airnya bening. Kau bahkan bisa melihat bebatuan dan ikan-ikan bertelur di dasarnya. Airnya dari gunung. Dan tak ada orang yang membuang sampah atau kotoran tubuh mereka ke sana.
Wah aku belum pernah melihat sungai seperti itu, seru Pe, tak bisa menyembunyikan rasa takjub. Kau bisa berenang? Tanyanya kemudian. Laki-laki itu mengangguk. Tolong ajari aku berenang, pinta Pe, sungguh-sungguh. Biar nanti kita bisa berenang bersama-sama di sungai itu. Kita bisa membeli perahu karet kalau kau tak bisa berenang, usul El. Tidak, ujar Pe. Aku hanya ingin berenang di sungai itu. Bersama kau dan anak-anak kita. Bersama ikan-ikan yang ada di sana, tentu saja.
Lama keduanya terdiam, membiarkan pikiran mereka hanyut bersama aliran sungai yang bening di belakang rumah mereka nanti.
Apa kau akan mandi di sungai itu juga kalau mau kerja? Pe tiba-tiba bertanya. Tentu saja tidak, ujar El. Di kamar kita ada tempat mandi dengan air yang juga bening. Ada air panas juga di sana. Kau tak perlu memasak air panas untukku. Tinggal menekan tombol, air panas akan mengalir dari dinding di kamar mandi kita. Pe lagi-lagi tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada rencana-rencana El.
Aku akan memasak setiap hari untukmu, begitu ujar Pe sambil memandang lekat-lekat ke dalam mata lelakinya. Mungkin dengan demikian ia berharap bisa melihat dengan langsung roman bahagia lelakinya. Dan ia memang melihat mata lelaki itu berbinar.
Apa yang akan kaumasak untukku? Desak El. Jangan bilang kalau kau akan menjejali lambungku dengan mi instan setiap hari.
Pe agak kurang terima dengan tuduhan semacam itu, meski untuk saat itu ia belum bisa membuktikan apa-apa agar lelakinya menarik kata-katanya kembali. Memasak makanan kesukaanmu, jawabnya mantap. Kau suka udang goreng dan ikan bakar, kan? Ibumu yang memberitahuku. Jujur, seperti yang juga telah kuakui pada ibumu, saat ini aku belum bisa memasak kedua masakan itu. Jangan khawatir, kata ibumu. Aku akan mengajarimu jika nanti kamu menjadi menantuku.
Ibumu orang baik, aku melihat itu dari cara ia menatapku. Kau tahu, hati seseorang bisa kita lihat dari pancaran matanya. Kau tak akan menemukan telaga yang teduh jika hati sang pemilik mata itu adalah danau keruh yang di dasarnya berdiam segala demit jahanam. Mata ibumu penuh dedaunan hijau, juga bunga-bunga. Aku betah berlama-lama di sana.
Hidung El kembang-kempis, senang sekali ia mendengar Pe bercerita tentang ibunya.
Aku akan membelikan sepatu untukmu, kali ini El yang bersuara. Sepatu dengan hak yang tinggi. Kau tentu akan terlihat tambah cantik jika memakai sepatu itu.
Sepatu warna merah? Pe bertanya, bintang-gemintang bersinar di matanya.
Iya, sepatu warna merah, jawab El.
SORE ITU, dengan percakapan yang bergulir di kepala mereka masing-masing, sepasang kekasih itu, entah kenapa merasa bahwa mereka tak pernah sebahagia itu sebelumnya. Senyum paling manis merekah di wajah dekil mereka saat keduanya beranjak dari bangku taman, mengambil pengait besi dan karung goni masing-masing yang isinya sudah mereka timbang di tempat seorang pengepul tak jauh dari taman, lalu berjalan ke dua arah yang berbeda, bertelanjang kaki. Si Lelaki menuju kolong jembatan di barat kota, tempat ibunya yang lumpuh tengah menunggu, sementara si Perempuan menyeret goninya ke sebuah gubuk kardus di bantaran sungai berair busuk.
Besok, sehabis memulung, sepasang kekasih bisu itu akan kembali lagi ke sini. Duduk di bangku taman, setelah seharian berkeliling dengan karung goni dan besi pengait, mencari barang-barang apa saja yang bisa mereka pungut untuk kemudian dijual ke pengepul. Dan saya akan kembali menceritakan padamu tentang percakapan-percakapan di kepala mereka. Tunggu saja!

Jakarta, Agustus 2017

Bus Gaib

Cerpen Ken Hanggara (Rakyat Sumbar, 09 Desember 2017)
Bus Gaib ilustrasi Google.png
Bus Gaib ilustrasi Google
SAYA tidak tahu apakah bus itu milik setan atau malaikat atau kaum bidadari. Yang pasti, saat duduk di bangkunya, saya tidak merasa ada yang aneh. Di kanan kiri, juga depan belakang, para penumpang diam. Mungkin seperti saya, mereka lelah.
Sudah dua tahun ini saya berangkat dan pulang kerja naik bus. Karena lelah, tak memperhatikan plat nomor bus (saya hampir tidak pernah melakukannya; lagi pula, pentingkah?). Saya naik begitu saja dan mencari bangku kosong, karena berpikir harus segera sampai super market depan gang rumah. Lily, anak saya, besok ulang tahun. Dan dia minta boneka Barbie plus sekantung cokelat.
Satu-satunya suara di bus—yang biasa saya tumpangi—adalah datang dari kenek. Ia berdiri di pintu depan atau belakang, melambai ke para pejalan kaki, meneriakkan arah tujuan bus. Kadang suara kenek beradu nyanyian pengamen. Di bus, saya jarang dengar pengamen bersuara merdu. Biasanya cempreng, bahkan cenderung tidak paham nada, yang dua menit kemudian menyodorkan bungkus permen setengah memaksa demi beberapa receh.
Tapi di bus ini tidak ada kenek atau pengamen.
Saya tidak curiga, malah senang. Ada bus begini, ya? Coba setiap pulang kerja, busnya begini, tidak berisik dan gaduh, wah, bakal awet muda. Cukuplah beban pikiran tinggal di kantor, tidak terbawa sampai ke rumah, karena di rumah tugas saya sebagai Ayah adalah menyenangkan anak dan istri.
Kira-kira lima menit saya duduk di bangku itu dan bus belum juga berangkat. Tidak ada tanda-tanda pengemis masuk. Saya kira, mungkin, pemerintah daerah mulai memberlakukan peraturan baru, yakni pengamen dan pengemis dilarang masuk bus. Barangkali bus ini bersertifikat dan secara resmi membuatnya jadi eksklusif. Saya tidak tahu apa benar begitu, karena saya sendiri hampir tidak pernah baca-baca koran, apalagi nonton televisi.
Maka, saya bersiul sambil mengamati jalan raya yang disirami lampu-lampu jalan. Sore begini jam pulang kerja, orang kalau tidak berebut bus, mesti berdiri. Tapi saya lihat penumpang bus ini tidak sampai berjejalan. Bangku-bangku terisi semua dan tidak ada yang berdiri. Pria tua bercelana cargo naik. Setelah menyelipkan sebotol air mineral di kantung celananya, ia duduk di kursi kemudi. Mesin menyala dan bus pun berangkat.
Saya tidak tahu apakah bus itu milik setan atau malaikat atau kaum bidadari. Yang pasti, saat duduk di bangkunya, saya tidak merasa ada yang aneh. Saya juga tidak heran melihat wajah kurus kenek—yang entah sejak kapan berada dalam bus ini. Setahu saya tadi tidak ada kenek. Mungkin, pikir saya ketika itu, dia naik ketika saya sedang asyik melihat suasana jalan.
Kenek itu melangkah dari belakang, menarik ongkos ke para penumpang. Tiba di bangku saya, telunjuknya mencolek. Saya beri lima ribu rupiah. Lalu dia bilang, “Uang pas, Pak.” Apa tarifnya turun, tanya saya. Dia diam dan mencari-cari kembalian di sakunya. “Buat kamu saja,” kata saya pendek.
Dia bisu beberapa detik dan memandangi saya dengan wajah pucat, lalu menarik ongkos ke penumpang di depan saya.
Saya kira ini sore yang hebat, bukan aneh. Tidak merasa ada yang berubah, kecuali hal-hal yang sifatnya material pada bus, yang mungkin dapat berevolusi kurang dari 24 jam bagi seorang minim informasi. Televisi di rumah lebih banyak diisi acara kartun kesukaan Lily dan kakaknya, Bella. Istri saya sendiri muak dengan acara gosip dan berita korupsi yang itu-itu saja. Kami juga bukan kutu buku sejak lama, maka koran bukan kebutuhan. Membaca jadi urusan kesekian. Karena itulah, saya Cuma menduga-duga, mungkin, bus yang saya tumpangi sore ini diubah sedemikian rupa oleh pemerintah daerah, hingga kenyamanan penumpang pun benar-benar maksimal.
Saya baru sadar, setelah kira-kira bus berjalan beberapa menit, bahwa kursi yang saya duduki empuk. Bus ini sejuk, tidak seperti biasa yang gerah. Oh, rupanya dipasang AC. Tak terbilang betapa girang. Sebagai pecinta lingkungan, saya tidak suka motor atau mobil pribadi. Polusi udara bikin kesehatan anak-anak terancam, pikir saya. Karena bus berkualitas ini, saya bayangkan ke depan, semua pemilik kendaraan pribadi sesekali menjajal public transport. Tidak kalah nyaman dengan naik kendaraan sendiri.
Setelah tahu kursi bus empuk—dari yang sebelum ini keras dan diterai kata-kata cabul, nomor hand phone antah berantah, sampai puisi-puisi murahan—saya bersandar menikmati setengah jam perjalanan. Penumpang lain sama; mereka bahkan mendengkur, dan ada yang sekadar bersandar dan melamun.
Saya tersenyum dan memejamkan mata. Wajah saya dibelai udara sejuk AC yang menenangkan. Pelan-pelan, sepotong demi sepotong kesadaran saya copot. Pelan-pelan, saya terperosok ke lubang mimpi.
***
“Silakan, pilih sedotan. Bebas!”
Seorang lelaki, berbaju serba hitam, menyodorkan gelas berisi ratusan sedotan. Saya terbengong-bengong. Perasaan tadi ada di bus hebat, kok mendadak di sini?
Saya ingat permainan masa kecil. Di SD, dulu ada penjual mainan. Orang itu kakek berkepala gundul. Menggelar dagangan berupa balon dan beberapa mainan. Sesekali membawa mainan mahal berupa bus mini dengan jalan raya model bongkar pasang dan berbagai rambu lalu lintas yang bisa kita rangkai sesuka hati.
“Kamu nggak usah beli kalau mau yang ini,” kata kakek itu dulu, semasa saya SD. “Tinggal bayar lima ratus, boleh pilih sedotan.”
Peraturannya, kalau saya dapat sedotan dengan tulisan ‘selamat’, bus mini itu jadi milik saya, tanpa membayar uang lima puluh ribu—harga aslinya.
Sayangnya saya tidak pernah berhasil. Kalau dihitung-hitung, hampir seratus kali saya ambil sedotan dalam gelas si penjual mainan. Itu saya lakukan dengan memecah celengan ayam punya kakak, karena setiap sedotan dihargai lima ratus rupiah. Saya kecewa dan sedih. Sudah tidak dapat mainan, dihukum juga oleh Ibu, karena mencuri celengan yang bukan punya saya.
Ibu menasihati, “Ingat, Nak, segala tujuan tidak akan tercapai kalau caranya salah.”
Saya tahu saya nyuri tabungan kakak, tapi saya belum mengerti. Barulah ketika dewasa, saya tahu maksud Ibu. Saya resapi nasihat itu dan saya terapkan di kehidupan. Saya menjadi manusia paling lurus. Dan saya yakin, sayalah manusia paling hebat yang ibu saya lahirkan.
Sekarang, saya melihat di kiri kanan ada manusia lain. Saya kaget, karena pernah bertemu satu-dua orang. Oh, saya sadar. Rupanya mereka penumpang bus itu. Kami berbaris. Di depan saya, orang-orang memegang sedotan dan menunduk kecewa. Di belakang, penumpang lain tidak sabar menunggu saya mengambil sedotan. Agaknya kami mendapat tugas mengambil sedotan dari lelaki berbaju serba hitam. Untuk apa, saya tidak tahu.
Wajah lelaki di depan saya buram, tertutup kerudung yang biasa dipakai penyihir di film horor Eropa. Saya patuh dan mengambil satu sedotan. Di sana tertulis kata ‘selamat’. Karena memenangkan undian, saya disuruh belok ke kanan, tidak berjalan lurus seperti orang lain yang sebelumnya ada di antrean depan saya. Entah mereka dibawa ke mana, saya tak tahu. Saya sendiri juga tidak tahu digiring ke mana.
***
Saya tidak tahu apakah bus itu milik setan atau malaikat atau kaum bidadari. Yang pasti, saat duduk di bangkunya, saya tidak merasa ada yang aneh. Tetapi, sebangun dari mimpi, barulah saya merasa aneh.
Di mimpi itu saya dibawa ke super market dan boleh mengambil ratusan bungkus cokelat sebagai imbalan karena berhasil mengambil sedotan yang tepat. Saya tidak ingat Lily. Saya kira itu hadiah yang pantas untuk saya. Saya makan cokelat sampai kenyang. Lalu perut saya menggelembung besar. Ketika itulah, saya ingat anak dan istri di rumah. Saya ingin pulang, tetapi orang-orang meninggalkan saya dalam keadaan lemas karena kebesaran perut.
Saat bangun, perut saya kembali kurus. Saya panik. Ini bukan bus biasa. Ini bus setan, pikir saya. Saya menoleh kiri-kanan, depan-belakang. Semua bisu dan diam. Di sini, jalanan terang dan matahari sudah terbit. Apa saya tidur terlalu lama?
Wajah-wajah penumpang yang disirami cahaya pagi tampak pucat. Saya tidak tahu bus apa ini. Saya ingin turun, tetapi penumpang di sisi saya—ibu-ibu paruh baya—tidak mau memberi jalan.
Saya bilang, “Permisi, Bu.”
Dia diam.
“Bu, saya turun!”
Masih diam.
Akhirnya ibu-ibu itu saya dorong sampai terjerembab. Kenek di depan melotot dan mengutuk saya. Para penumpang, masih dalam posisi duduk, memandang benci ke arah saya tanpa satu pun yang menolong ibu-ibu tadi. Wajah mereka mirip vampire sehingga saya terkencing-kencing.
“Kalau mau turun, Anda harus lompat!” kata sang kenek.
Si sopir, yang tua dan membawa botol air mineral di kantung celana cargo-nya itu, tertawa keras. Saya tidak berani lompat, karena bus ini semakin kencang lajunya, seperti sengaja biar saya tidak turun. Saya hampiri si kenek, saya cengkeram bajunya. Saya bilang, dia dan sopir itu bisa dipenjara kalau begini. Dia tersenyum sinis dan menantang, “Emang bisa?”
“Saya orang kaya!”
“Tidak peduli kaya atau miskin, atau anggota DPR sekalipun. Semua kalau sudah numpang bus ini, tidak kembali.”
“Bus apa ini?! Saya mau pulang! Dan ini bukan jalan pulang!”
“Omong kosong. Anda sudah pulang! Hahahaha!” (*)

KEN HANGGARA. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media cetak.

Hutan Berkabut

Cerem Adelfiani (Rakyat Sumbar, 09 Desember 2017)
Hutan Berkabut ilustrasi Google
Hutan Berkabut ilustrasi Google
INI hanyalah tentang sebuah perjalanan spritual seorang gadis kecil bernama Shelza. Shelza gadis manis dengan lesung pipi di wajahnya, hidung mancung dan senyumannya sangat anggun.
“Huft, yey, akhirnya selesai juga gue packingnya,” Shelza menghela napas lega saat kerelnya telah dimuat barang keperluan untuk mendaki gunung Rinjani di Lombok. Bermodalkan alat camping, makanan, P3K dan training selama tiga hari Shelza sudah siap berangkat pukul 07.30 ke Lombok bersama teman sekelasnya yang berjumlah 40 orang. Dibawa oleh mobil Vircanza abu-abu dan tentu saja Pak Anto berkumis—ya, begitu mereka menyebutnya—ikut dalam rombongan itu.
Berhubung Pak Anto berkumis merupakan wali kelas XI MIPA 2, dengan senang hati Pak Anto berkumis mendampingi murid-muridnya mendaki. Katanya sih mau membagi ilmunya, entah apa pun alasannya, yang jelas semua murid mendukung dan bersemangat termasuk Shelza.
Sepanjang perjalanan, mereka bercanda ria ada yang main gitar, karaoke, ngemil, pacaran dan aneh-aneh deh pokoknya. Lain halnya dengan Shelza yang larut dalam pikirannya tentang kegembiraan yang akan dilaluinya saat mendaki nanti.
“Dinda! Jangan ambil cokelat kakak ih, sini balikin gaaak?!” suara Lefya membuyarkan lamunan Shelza. ‘Ih, kebiasaan deh ngigau terus,’ batin Shelza. Ada rasa aneh yang sedari tadi mengganggu pikiran Shelza. Tangan mungilnya terus saja mengelus kalung kesayangannya. Hingga kelopak matanya mulai berat dan tertidur pulas di samping Lefya.
“Woy Shel, napa lo?” Lefya mengguncang-guncang lengan Shelza.
“Ngggh, paan?” Shelza bangun dan melihat wajah Lefya yang berubah cemas.
“Lo kenapa, kok nangis ketakutan kek gitu? Gue takut nih!” Lefya menyondorkan botol minuman yang disondorkan Lefya dan meminumnya rakus hingga habis.
“Gue mimpi buruk, Lef,” suara Shelza berubah menjadi lirih.
“Ya udah lo atur napas dulu, trus ceritain ke gue,” Lefya beringsut mendekati Shelza.
“Jadi gini, gue rasanya kayak di hutan berkabut tebel banget. Tiba-tiba gue ngeliat bayangan, pas gue kejar, tiba-tiba gue di…” wajah Shelza berubah menjadi pucat.
“Anak-anak bangun semuanya, ayo beres-beres lima belas menit lagi kita sampai,” suara Pak Anto berkumis menggelegar ditambah toa putih yang dipegangnya. Karena suara toa pak Anto berkumis semua orang jadi sibuk sendiri, sehingga Shelza menghentikan ceritanya dan sibuk membereskan barang-barang miliknya.
“Ayo semuanya turun, kita sudah sampai, langsung baris menurut absen masing-masing. Kita langsung berangkat,” Pak Anto berkumis masih setia dengan toa putihnya.
“Maaf Pak, kita kan baru sampe Pak. Apa nggak bisa istitahat dulu, teman-teman masih lelaaah Pak,” tiba-tiba si ketua kelas Hasan, menyampaikan usulan teman-temannya.
“Tidak perlu, kita langsung berangkat. Manti malam saja istirahatnya. Cepatlah, kita langsung berangkat!” Entah apa pula yang di pikirkan Pak Anto berkumis. Dengan toa putih yang memekakkan telinga, Pak Anto berkumis terus saja meracau, sekali-kali membawa bahasa ibunya itu sepanjang perjalanan.
Dengan semangat yang mulai luntur, Shelza terus saja berjalan mengikuti intruksi Pak Anto berkumis. Sampailah mereka di sebuah danau, entah apa nama danau itu yang jelas danaunya sangat indah dan banyak para pendaki yang dominan orang bule.
“Huuft, akhirnya sampe juga capeeeeek!” begitulah celotehan anak-anak XI MIPA 2.
“Sekarang kita dirikan tendanya!” teriak Pak Anto berkumis dan mendirikan tendanya serta beberapa guru yang juga berpatisipasi dalam liburan mereka.
“Shel, gimana niiih?” Lefya menaruh tenda mereka di atas tanah.
“Apanya yang gimana?” Shelza mulai mengacak-acak tenda yang akan mereka dirikan sekarang.
“Gue kebelet, di sini ada toilet gak ya? Shel udah gak tahan lagi nih,” Lefya terus aja jingkrat-jingkrat kayak cacing kepanasan.
“Lapor aja tuh ke tenda guru cewek, nah tuh ada Bu Ayu. Cepet gih sana!” Lefya langsung lari terbirit-birit menemui Bu Ayu.
“Aduh, susah banget niiiiiih!!!” Shelza berteriak frustasi karena tendanya belum juga berdiri sedangkan orang sudah banyak yang selesai. Tiba-tiba ada suara deheman dari belakang.
“Eh,” ternyata itu Raka.
“Mau dibantuin gak?” Raka menawarkan dirinya.
“Eh, iya, tadi temen gue pergi. Jadi gue ngak bisa kerjain sendiri,” Shelza menjawab malu.
“Makanya gue di sini buat bantuin lo,” jawab Raka.
“Huuuuuf, akhirnya selesai juga,” seru Selza senang.
“Ya udah gue cabut dulu ya,” Raka berdiri dan membersihkan debu di tangannya.
“Makasih ya, lo udah bantuin gue. Kalau ngak ada lo mungkin sampe besok ngak berdiri nih tenda,” Shelza tertawa kecil dibalas dengan senyum dan anggukan dari Raka.
“Eh udah berdiri tendanya? Keren lo, Shel,” Lefya nyengir dengan watadosnya yang minta digampar keknya tuh.
“Kemana lu, kok baru datang? Dari tadi gue capek tau, lo mah tau enaknya doang. Ish, sebel gue,” Shelza ngomel sendiri lalu langsung tidur. Karena hari udah malam makanya mereka langsung tidur, sambil menghilangkan rasa lelah selama di perjalanan.
***
“Lef, bangun dong, Lef!!” Shelza menepuk pipi Lefya pelan.
“Aduh, nggak mau bangun lagi, terpaksa deh gue harus cek sendiri keluar,” Shelza mengambil senter di dalam tasnya lalu membuka resleting tenda dan keluar. Entah kenapa dia sangat penasaran dengan bayangan yang sedari tadi berdiri di depan tendanya. Dalam kabut gunung yang tebal serta dingin membuat siapa saja menggigil kedinginan. Shelza merapatkan jaket barkanya yang berwarna merah maroon dan mempererat syal cokelat bermotif kotak pemberian kakaknya. Semakin lama Shelza semakin jauh memasuki hutan dan kabut semakin tebal dengan jarak pandang hanya lima meter saja. Tiba-tiba, ada yang menarik ujung jaketnya dari bawah.
Shelza berteriak ketakutan dan berlari terbirit-birit. Sebelum tercebur ke dalam sungai ada sebuah tangan besar yang memegang pergelangan kakinya. Hingga dia tersandung dan tiba-tiba semuanya gelap.
***
Perlahan Shelza membuka kelopak matanya, dilihatnya dia berada dalam sebuah tempat yang sangat menyeramkan dan tengkorak berserakan di lantai tanah yang berbau. Shelza meronta ketika dua orang berjubah hitam menyeretnya menuju sumber cahaya di lorong kanan. Saat sampainya di sana terdapat aliran sungai deras di bawahnya, dengan kasar dia dilemparkan ke dalam sungai yang deras. Kini rasa takutnya berlipat, saat tubuhnya seperti digulung dan diempaskan oleh aliran air. Kepalanya sangat pusing dan sampailah di sebuah perkampungan yang asri. Setiap orang berlalu lalang melihatnya dengan tatapan tak suka dan mereka terlihat bergerak tanpa tenaga entah bagaimana pula dijelaskan.
“Hei, siapa kau?” suara dari arah samping itu yang sepertinya tidak senang dengan kehadiran Shelza.
“Maaf namaku Shelza, aku di mana?” seketika saja pakaian Shelza menjadi kering.
“Kami tidak menerima tamu di sini, jadi pergilah!!” suara perempuan remaja itu sekarang meninggi.
“Aku juga tidak tahu mengapa aku sampai di sini, kenapa sudah siang? Beberapa waktu lalu masih malam,” Shelza memelankan suaranya pada dua kalimat terakhir.
“Bodoh!! Dunia kita berbeda makhluk tanah! Ikut aku!” remaja itu menyeringai sinis.
“Kemana?” Shelza heran bercampur cemas.
“Ke tempat tetuah agung!” nadanya naik beberapa oktaf, hal ini membuat Shelza bergidik ngeri.
Tanpa bertanya lagi Shelza mengikuti remaja tempramen itu ke sebuah rumah putih yang sangat besar. Banyak lorong aneh di sini, sampailah mereka di depan pintu bulat yang besar mungkin seperti batu yang dipahat atau apalah itu.
“Kau tunggulah di sini dan jangan melakukan apa pun,” tanpa menunggu jawaban Shelza, remaja itu masuk ke dalam sebuah pintu yang kali ini berwarna cokelat.
“Oh, cucu Adam masuklah!” ada seorang kakek tua yang menunjuk ke arah Shelza, dan remaja tadi langsung keluar. Jika dilihat sekilas hanya kakek ini saja yang sepertinya hidup, yang lain seperti mayat hidup saja.
“Keluarkan kalungmu anak kecil.” Oh, ternyata kakek itu menyukai kalung Shelza. Dengan ragu-ragu Shelza mengeluarkan kalung di balik shal cokelatnya. Dan entah mengapa kakek tua itu mengetahuinya.
“Kenapa kau bisa sampai di sini?” kali ini suara kakaek mulai ramah.
“Aku juga tidak tahu, Kek,” jawab Shelza.
“Nak, ini bukan duniamu. Kau tidak seharusnya tau tentang kami,” kakek itu berubah menjadi serius.
“Maksud kakek? Emangnya kenapa kek?” kata-kata kakek tua membangkitkan kebiasaan kepo Shelza.
“Dunia kita berbeda, Nak, dan seharusnya kau tidak pernah bisa melihat kami,” kakek tua memberikan kalung Shelza dengan cairan seperti tiner.
“Sepertinya orang-orang di sini tidak menyukai kehadiranku,” Shelza mulai berani bercerita dengan kakek tua.
“Ya, karena kau berbeda dan kalungmu ini memancing mereka. Pergilah kau tidak pernah diinginkan di sini,” kakek tua memberikan kembali kalung Shelza.
“Tapi kakek siapa? Kakek juga berbeda dari yang lain?” Shelza mengambil kembali kalung miliknya.
“Kau tidak perlu tahu, ini bukan duniamu,” selepas perkataan kakek tua, ruangan itu tiba-tiba bergetar.
“Waktu sudah habis, sebelum kau terjebak di sini. Masuklah ke dalam pintu hitam itu,” kakek tua menjadi pucat dan berubah panik.
“B..b..baik kek, makasih,” jawab Shelza sambil bergegas memasuki pintu hitam.
“Dan jangan pernah membuka sekat seperti…,” kakek tua berteriak tak jelas sedangkan sayup sayup terdengar seperti ada suara orang yang memanggil Shelza.
“Shel, bangun Shel…” Shelza mendengar suara isakan di sampingnya. Sedangkan dia sedang berlari kencang mengejar cahaya putih yang mulai mendekat. Sayup-sayup terdengar orang yang berseru panik, oh, itu suara para guru dan teman-temannya. Semakin lama cahaya yang dikejar Shelza semakin besar dan perlahan dilihatnya langit biru bersih, teman-teman, para guru dan pemandu. Terdengar seruan lega, dan rasanya ia digendong entah siapa sekarang sampailah dia di tenda guru. Setelah sadar kembali dia mengingat apa saja yang terjadi, untuk hal ini dia akan menyimpannya sendiri. Dan dia masih penasaran tentang obrolannya dengan si kakek tua. Diambilnya kalung dari sakunya, dan terdapat benda cokelat persegi yang tak sengaja masuk ke saku jaketnya.
“Woyyy Shel, lo sudah sadar?” dan Lefya membuyarkan lamunannya.
“Iya nih, eh kalian nemin gue di mana?” Shelza belum berbicara dari tadi, hanya mengangguk dan menggeleng kalau ditanya.
“Lo itu terdampar di pohon rindang di bibir sungai. Abis ini lo utang penjelasan sama gue,” Lefya melotot dibuat-buat.
“Iya, iya, perjalanan kita kan belum selesai. Puncak aja masih jauh noh,” Shelza menolak secara halus permintaan teman satu tendanya itu.
“Iya juga ya. Perjalanan ditunda sampe jam 9.00 buat mulihin tenaga lo!” Lefya memberitahu Shelza dan pergi keluar tenda karena guru akan masuk.
“Shelza gimana, udah baikan?” tanya Pak Anto berkumis.
“Udah Pak,” Shelza menarik garis tipis di bibirnya.
“Kamu kenapa pergi sendirian malam-malam itu kan sangat berbahaya. Ibu harap ini yang pertama dan terakhirnya terjadi!” Bu Ayu seperti biasanya, sangat cerewet.
“Ya Buk, maaf saya tidak akan mengulanginya kembali,” Shelza memberikan tatapan yang meyakinkan.
“Ya sudah, keamanan harus diperketat setiap malamnya,” sergah Bu Ayu.
“Kalau gitu kamu beresin barang-barang kamu, kita bentar lagi melanjutkan perjalanan,” Shelza bangkit dan bergeges menuju tendanya.
“Shel, lo ngak apa-apa kan?” tiba tiba saja Raka memeluknya erat.
“Iya, gue baik-baik aja,” bingung dan Shelza hanya diam di tempat.
“Gue cemas banget, gue takut nggak ketemu lagi sama lo,” Raka melepas pelukannya.
“Alah, alay banget lo,” sebenarnya wajah Shelza berubah blushing.
Begitu juga dengan teman-teman Shelza yang turut senang Shelza sudah ditemukan setelah melakukan pencarian sejak dini hari.
Saat akan berangkat benda persegi itu seperti meniup tangan Shelza, dan terlintas bayangan sinis di balik kabut hutan yang tipis. (*)

Adelfiani, SMAN 1 Padang Panjang.

Sepatu Mulut Buaya

Cernak Kak Ian (Padang Ekspres, 10 Desember 2017)
Sepatu Mulut Buaya ilustrasi Google
Sepatu Mulut Buaya ilustrasi Google
Dudu masih menunggu hujan reda di sekolah. Hujan hari itu membuat ia harus menunggu beberapa jam agar reda. Walaupun saat itu perutnya sudah beberapa kali bunyi ia mencoba untuk bertahan. Apalagi rasa dingin saat itu membuat sekujur tubuh kecilnya menggigil.
Dudu baru menyadari kalau pagi tadi, sebelum berangkat sekolah hanya menyentuh satu ubi rebus saja untuk mengganjal perutnya. Sebenarnya ia bisa saja mengabiskan ubi rebus itu saat Ibunya menyajikannya di meja. Tapi ia ingat jika ubi rebus itu bukan hanya untuk dirinya saja. Masih ada Ayahnya yang bekerja sebagai sol sepatu keliling dan Adit, adiknya yang masih sekolah di kelas dua. Dan makan ubi rebus itu sebagai sarapan mereka.
Ternyata hujan hari itu belum juga reda. Dudu bingung. Jika ia harus berlama lagi menunggu nanti rasa laparnya makin menjadi-jadi. Bila ia harus menerjang hujan saat itu matanya terus melihat ke bawah. Tidak lain melihat sepatunya yang sudah hampir mirip mulut buaya. Padahal belum begitu lama sepatunya itu dijahit oleh ayahnya.
Saat Dudu menunggu hujan reda ia tidak sengaja melihat Pak Januar, si penjaga sekolah itu memakai payung. Ia baru usai mengantar kepala sekolah ke mobilnya. Akhirnya Dudu pun memberanikan diri untuk meminjam payung.
“Pak Jan, boleh aku pinjam payungnya?” tanya Dudu pada Pak Januar.
Pak Januar tidak langsung menjawab. Matanya melirik ke gudang sekolah.
“Begini karena ini payung inventaris sekolah lebih baik kamu cari saja di gudang. Kali saja ada payung untuk kamu bisa pulang. Jika nanti ada itu buat kamu saja,” tukas Pak Januar.
Dudu yang mendengar ucapan Pak Januar pun terkejut. Ia tidak menyangka jika Pak Januar berkata seperti itu. Ia pun langsung menuju gudang sekolah di samping kantor guru.
Tidak lama Dudu pun sudah berada di gudang sekolah. Ia akhirnya mendapatkan payung yang dibutuhkannya. Payung itu masih bisa digunakan olehnya. Walaupun ada yang bolong sebagiannya itu bisa ditambal.
Payung itu sekarang sudah ada di tangan Dudu. Ia ternyata tidak pulang dulu. Tapi sebelum-sebelumnya ia sudah izin pada Ibunya jika telat pulang dari sekolah berarti mencari uang. Dan Ibunya pun mengizinkannya. Seperti saat itu ia mengojek payung.
Satu, dua dan tiga bahkan sampai lima orang sudah Dudu dapati menjadi penerima jasa ojek payungnya. Ia mengojek tidak jauh dari sekolah. Akhirnya karena sudah kedinginan dan rasa laparnya begitu kuat ia pun berhenti. Ia lalu menuju sebuah warung nasi dan membeli beberapa bungkus. Ia tahu Ibunya tidak akan masak banyak.
Usai itu Dudu keluar dari warung nasi. Tapi saat ia keluar matanya melihat ada sebuah dompet jatuh. Ia lalu mengambilnya dan melihat tanda pengenal pemilik dompet itu.
Dompet itu akhirnya Dudu simpan. Besok ia akan mengembalikan pada pemilik dompet itu. Biar bagaimanapun dompet itu bukan miliknya walau di dalamnya banyak uang dan kartu-kartu penting lainnya. Ia harus mengembalikan pada pemiliknya secepatnya. Esokkan harinya, Dudu pun menepati janji itu. Ia akan mengembalikan dompet itu pada pemiliknya. Usai pulang sekolah ia akan mengembalikannya.
Tidak menunggu lama Dudu pun sampai di rumah pemilik dompet itu. Karena alamatnya tidak jauh dari sekolah. Dengan rasa sungkan Dudu pun memencet bel rumah pemilik dompet yang ditemukannya itu.
Beberapa kali Dudu memencet bel tapi si pemilik rumah belum juga keluar. Dudu pun putus asa. Ia pun meninggalkan rumah itu. Namun sebelum Dudu meninggalkan rumah itu tiba-tiba ada suara yang memanggilnya. Ternyata pemilik rumah itu keluar juga.
“Hei, Nak, tadi kamu yang memencet bel, ya?” tanya lelaki muda berkacamata dan berlesung pipit pada Dudu.
“Iya, Om!” pungkas Dudu. “Saya mau mengembalikan dompet Om yang saya temukan di jalan. Apakah ini dompet, Om?” lanjut Dudu.
“Oh, iya, ya,” seru lelaki itu.
“Pantas saya cari-cari tidak ada. Ternyata jatuh di jalan,” ucapnya.
“Makanya, Om, saya mau mengembalikannya. Saya juga minta maaf kalau mengganggu istirahat Om.”
“Oh, nggak kok. Ayo masuk dulu,” lelaki itu akhirnya menyuruh Dudu masuk. “Oya, nama kamu siapa?”
“Terima kasih, saya di sini saja, Om. Saya tidak bisa lama-lama karena ibu saya lagi sakit,” Dudu berkata yang sebenarnya. “Nama saya Dudu, Om.”
“Ya, sudah kalau begitu. Ini ada uang untuk Dudu jajan. Anggap saja sebagai imbalan Dudu menemukan dompet Om. Bagaimana?” bujuk lelaki itu.
Dudu sempat diam sejenak. Ia hampir tergoda dengan imbalan yang diberikan lelaki itu yang cukup lumayan banyak. Jika untuk membeli sepatu baru mungkin bisa. Tapi ia ingat kembali pesan ibunya jika menolong apapun harus ikhlas.
Dan Dudu pun ingin membuktikan ucapan ibunya itu. Ia harus ikhlas menolong tanpa pamrih. “Oh, tidak, Om! Terima kasih. Saya ikhlas kok, Om!” seru Dudu lagi.
Lelaki itu takjub dengan sikap Dudu. Tapi matanya tidak sengaja melihat sepatu mulut buaya Dudu yang sedang mangap lebar.
“Kalau tidak mau bagaimana kalau sepatu mulut buaya Dudu itu Om bayar. Nanti Dudu ganti yang baru. Jadi Om tidak memberi secara cuma-cuma. Nah, Dudu harus terima dong. Apalagi ini rezeki Dudu. Nggak boleh lho menolak rezeki,” bujuk lelaki itu kembali sambil tersenyum.
Dudu sesaat terdiam. Ia berpikir sejenak. “Ya, sudah Om kalau memang mau beli sepatu mulut buaya saya,” Dudu pun akhirnya mengikhlaskan sepatunya dibeli. Ia pun melepaskan sepatu mulut buayanya.
“Ini sepatunya, Om!” Dudu memberikan sepatunya.
Lelaki itu pun langsung menerima sepatu sambil memberi uang.
“Ini uang hasil beli sepatu Dudu. Sekarang Om balikin lagi sepatu ini ke Dudu,” lelaki itu ternyata mengembalikan sepatu mulut buaya Dudu.
Dudu termangu. Ia tidak menyangka jika lelaki yang di hadapannya sangat baik padanya.
Lho, kok om balikin lagi?”
Nggak apa-apa, kok. Lagi pula sepatu kamu kecil mana muat Om pakai!” ucapnya.
“Oh, iya, ya! Kalau begitu terima kasih banyak ya Om atas kebaikannya,” ujar Dudu.
“Iya, sama-sama. Jangan lupa beli sepatu baru ya untuk mengganti sepatu mulut buayamu itu. Ngeri lho melihatnya,” hibur lelaki itu.
Dudu pun tersenyum. Akhirnya karena dompet yang ia temukan di jalan kini berbuah balasan. Apalagi nanti ia akan menukar sepatu mulut buayanya itu dengan yang baru. Lagi-lagi Dudu tidak sabar untuk membelinya. Setelah itu Dudu akan membelikan ibu obat untuk menyembuhkan penyakitnya.
Dudu benar-benar beruntung hari itu. Sudah bertemu om berhati malaikat dan ia juga bisa mengganti sepatu mulut buayanya itu dengan yang baru. Dudu jadi tidak sabar untuk menggantinya. (***)

Kertas Sontekan

Cerem Riyan Prasetio (Padang Ekspres, 10 Desember 2017)
Kertas Sontekan ilustrasi Google
Kertas Sontekan ilustrasi Google
“KA, yakin kamu mau melihat contekan saat ujian nanti?” Fadil meletakkan tas di meja.
Giska tidak memedulikan pertanyaan Fadil. Pena yang ada di dalam genggaman tangannya terus menari di secarik kertas. Kertas yang sudah disobek dari buku. Siswa yang hadir belumlah seberapa. Masih banyak yang berada di perjalanan. Lagi pula, bel masuk baru akan berbunyi setengah jam lagi. Giska memang tidak biasa berangkat pagi. Berbeda dengan hari ini. Hari yang tidak datang dua kali bahkan ketiga kalinya. Sepasang matanya terus tertuju pada sebuah buku, menyalin setiap kalimat yang ada di buku ke secarik kertas.
“Percaya sama diri sendiri saja deh, Ka,” Fadil menasihati.
“Aku tidak belajar tadi malam, Dil,” ujar Giska tanpa menoleh.
Tangannya terus bekerja. Fadil menggelengkan kepalanya. Tidak bisa lagi memberikan nasihat kepada temannya. Waktu terus berputar, jam dinding menunjukkan angka 7. Bel masuk tak lama lagi berbunyi. Beberapa siswa telah mempersiapkan alat tulis yang akan digunakan dalam ujian. Tak lupa, Fadil mengeluarkan alat tulis yang ia bawa. Pensil dan pennghapus diletakkan di meja. Bersiap menunggu kedatangan pengawas ujian hari ini. Giska masih terlihat sibuk membuat sontekan. Diikuti beberapa teman lainnya yang baru datang. Mungkin mereka belum siap untuk mengikuti ujian.
***
“Silakan simpan semua buku yang berkaitan dengan materi Bahasa Indonesia,” Bu Darti mengingatkan.
Matanya tertuju ke seluruh siswa yang ada di ruang 10. Bu Darti termasuk salah satu guru yang disiplin di sekolah. Giska menghela napas panjang sebelum menyimpan tas miliknya di depan kelas. Hanya alat tulis dan nomor ujian yang ada di meja. Setelah mendapat aba-aba dari Bu Darti untuk berdoa. Seluruh siswa pun berdoa menurut kepercayaan masing-masing.
“Setelah soal ibu bagikan, tidak ada lagi yang bersuara,” Bu Darti membagikan lembar jawaban.
Giska memasang wajah kecewa. Usahanya untuk menyontek tidaklah mudah. Jika ketahuan menyontek oleh Bu Darti, secara otomatis siswa tersebut tidak akan mendapatkan nilai satu persen pun.
“Ada yang belum dapat lembar jawaban?”
“Tidak, bu,” jawab siswa serentak.
Suasana kelas kembali hening. Semua mata fokus pada titik yang sama, lembar jawaban. Dengan teliti, Fadil menghitamkan bagian lingkaran yang perlu dihitamkan. Sesekali, dihembusnya kertas yang sudah didominasi warna hitam tersebut. Giska terlihat sedikit gugup dengan ujian kali pertama untuk semester ini. Ia meregangkan otot tangan yang terasa kaku.
Dialihkan pandangannya ke tempat lain. Di mana semua teman-temannya mengerjakan soal ujian dengan serius. “Gagal menyontek deh,” gerutu Giska.
Berulang kali Giska memperhatikan Bu Darti yang duduk di bangku pengawas. Memandangi seluruh siswa. Setengah jam berlalu dengan cepat. Tak lama lagi, bel istirahat akan segera berbunyi. Fadil hampir selesai menjawab semua soal yang diujikan, sedangkan lembar jawaban Giska belum diisi sama sekali. Hanya di kolom biodata yang sudah dihitamkan dengan baik.
Giska melemparkan kertas yang sudah diremas tepat ke bagian kepala belakang milik Fadil. Membuatnya menoleh ke arah belakang. Ia menaikkan dagunya, bertanya kepada Giska. “Ada apa?”
Bu Darti dengan ketatnya terus menatap tajam ke setiap sudut ruangan. Memandangi seluruh peserta ujian tanpa terlewat seorang pun. “Tidak ada yang melihat sontekan!” bentak Bu Darti.
Semua siswa yang tadinya fokus membaca soal masing-masing, kini memandang ke arah Bu Darti yang marah. Fadil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dibenaknya, terbayang wajah seorang teman yang akan dihukum oleh Bu Darti karena ketahuan melihat sontekan. Fadil menoleh ke sekeliling. Mencari sosok yang tertangkap basah menyontek hasil jawaban teman yang lain. Fadil bernapas dengan lega kembali. Ternyata bukan temannya yang tertangkap basah menyontek saat ujian semester. Giska memasukkan kembali kertas sontekannya ke dalam laci. Diurungkannya untuk melihat sontekan. Tangannya gemetar, barusan ia hanya bisa menjawab lima soal.
“Dil, tolongin aku dong,” bisik Giska.
Fadil hanya menggeleng, tidak mau mengambil risiko. Ia tidak mau jika harus mengikuti ujian ulang. Giska semakin cemas, dilihatnya beberapa teman yang lain sudah bisa bernapas lega. Sepertinya mereka sudah selesai. Sedangkan dirinya tak kunjung mendapatkan sontekan untuk menjawab soal-soal yang sulit. Dua puluh menit terakhir adalah waktu yang sangat singkat baginya. Tanpa pikir panjang, Giska mengambil secarik kertas yang berisi tentang materi ujian.
Lima menit berjalan dengan lancar. Ternyata kertas sontekan yang ia buat tidak sia-sia. Hanya dalam waktu lima menit, ia bisa menjawab separuh dari seluruh soal yang ada. Giska sedikit lega, Bu Darti juga tidak mengetahui bahwa dirinya telah melakukan kecurangan saat ini. Sejenak, Giska menatap punggung Fadil. Membayangkan bagaimana reaksi temannya itu ketika ia harus melihat sontekan. Namun, Giska segera membuang jauh-jauh rasa takutnya. Ia harus mendapat nilai tinggi supaya tidak dimarahi oleh kedua orang tuanya.
Beberapa siswa maju ke depan, membawa lembaran soal dan jawaban. Giska mencari jawaban soal tersulit yang tidak ia temukan kunci jawabannya di sontekan. Bu Darti semakin sibuk menerima dan merapikan lembaran soal serta jawaban yang telah dikumpulkan. Giska berusaha untuk bertanya kepada Fadil. Akan tetapi, Fadil tetap teguh pendirian. Tidak mau memberikan sontekan walaupun yang meminta sontekan adalah teman dekatnya sendiri. Sebab, baginya menyontek adalah perbuatan yang tidak baik. Bisa memberikan dampak malas kepada orang yang meminta contekan.
Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Giska mengisi dengan sembarang. Lalu mengumpulkan lembar jawaban dan soal miliknya. Dengan langkah penuh percaya diri, Giska menuju meja guru dengan membawa lembar soal dan jawaban. Dalam hati, ia percaya akan mendapat nilai bagus. Melebihi dari batas ketuntasan minimal yang telah ditetapkan oleh guru dan pihak sekolah.
“Giska ….,” panggil Bu Darti ketika Giska hendak meninggalkan meja guru.
Fadil yang sedang merapikan alat tulis dan tisu yang berserakan di mejanya langsung memandang ke arah sumber suara. Giska yang tadinya hendak melangkah menuju mejanya, kini membalikkan badan, menghadap ke arah Bu Darti. Siswa lain yang juga sibuk membereskan alat tulis mereka segera menghentikan apa yang sedang merekalakukan. Menatap ke meja guru. Menunggu apa yang akan terjadi dengan teman mereka yang satu itu. Giska memang sering mendapat masalah dengan Bu Darti.
“Silakan kamu mengikuti ujian ulang setelah pulang nanti,” Bu Darti melotot ke arah Giska.
Bagaikan suara petir yang terdengar di siang hari yang panas. Giska hanya bisa mematung. Tidak bisa berbuat apa pun. Sekadar mengucapkan kata “Iya” saja, ia tidak sanggup. Sejak kapan Bu Darti melihat dirinya menyontek. Bukankah sedari tadi Bu Darti hanya fokus dengan siswa yang berada di barisan depan.
“Tapi, Bu ….,” suara Giska tercekat.
Tenggorokannya terasa kering. Fadil hanya bisa diam, tidak bisa membela temannya. Ini adalah masalah yang memang tidak perlu dibela oleh Fadil. Meski seorang teman sekali pun, Fadil tidak bisa membela Giska karena kesalahannya melihat sontekan.
“Tidak ada alasan. Bukankah Ibu tadi sudah memperingatkan?” tegas Bu Darti.
Giska hanya menunduk, malu. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul rasa menyesal. Seharusnya, jauh-jauh hari ia mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian. Dengan belajar dan membahas materi yang akan diujikan. Namun sayang, nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan selalu datang di akhir. Dengan wajah lesu, Giska menuju bangkunya. Memilih melemparkan pantatnya di sana. Memandang nanar ke arah papan tulis. Tak berselang lama, Bu Darti pun pergi, menyisakan kesunyian di dalam kelas.
“Sudahlah, Ka. Tidak ada gunanya menyesal. Mulai sekarang, kamu harus lebih jujur lagi,” Fadil merangkul Giska, memberinya nasihat.
Giska hanya mengangguk. Memang begitulah teman yang baik. Ia akan mengingatkan jika teman yang lain melakukan hal tidak benar. Bukan malah mendukung temannya melakukan kecurangan. Giska sadar, Fadil adalah teman terbaik yang pernah ia temui. Dalam hati, ia berjanji tidak akan pernah melihat sontekan lagi. Ia akan belajar lebih giat untuk mendapatkan nilai bagus. Bukan dengan cara curang dengan melihat sontekan. (***)

Lepas

Cerpen Ketut Sugiartha (Bali Post, 10 Desember 2017)
Lepas ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post
Lepas ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post
Perasaan bersalah tak henti menganiaya, membuat kedua kakinya seperti dikendalikan mesin otomatis, bergerak ke sana kemari dalam gelisah yang berat. Ia mondar-mandir tak tentu arah. Kadang ke pojok ruangan, kadang ke dekat jendela. Ia tak bisa istirahat walau begitu penat. Tak ada yang mampu menenteramkan hatinya. Teramat kalut pikirannya.
Ia telah melakukan perbuatan tak senonoh kepada orang tua yang sepatutnya dihormati. Ia menyesali sikap kekanak-kanakan yang telah menyeret dirinya bersekutu dengan bangkai binatang, melakukan pelecehan kepada orang suci yang sedang tenggelam dalam keheningan tapa.
Betapa besar dosaku, keluhnya. Dosa seorang penguasa yang telah melakukan perbuatan busuk, sebusuk bangkai ular. Ini kesalahan yang tak layak diampuni. Aku harus bertanggung jawab. Aku telah menorehkan warna kelam pada sejarah Wangsa Kuru yang agung. Aku telah membuat rapuh pilar sebuah dinasti. Seluruh penghuni jagatraya kelak akan mengenangku sebagai penista peradaban yang telah dengan susah payah dibangun leluhurku.
Lebih dari itu, akan kutaruh di mana muka ini jika sang Avatar tiba-tiba muncul dan mempertanyakannya? Mungkin ia sedih dan menyesal telah menyelamatkanku dari kematian dini akibat serangan senjata sakti Aswatama. Ketika itu aku masih dalam kandungan ibuku. Ia melakukan itu tentu karena berharap kelak aku akan jadi manusia bertabiat mulia, menjadi panutan bagi seluruh rakyat dan menjadi penerus trah Wangsa Kuru. Namun aku telah mengoyak lembaran takdirku dengan tindakan tak terkendali.
Ia tak habis pikir bagaimana ia bisa berperilaku sekeji itu. Kepada orang suci pula. Ingatan pada Krisna membuatnya makin merasa tak nyaman. Sang Avatar pernah memberitahu bahwa ia bukanlah manusia biasa. Jika manusia biasa, pasti ia tidak bisa mengingat peristiwa penting tatkala ia masih dalam kandungan ibunya. Ya, ia tak pernah lupa bagaimana ia dicekam perasaan takut yang amat sangat ketika masih ada dalam rahim ibunya. Ia merasa akan binasa dalam sekejap. Dan secepat ia berpikir demikian itu benar terjadi. Ia melesat keluar dari tubuh ibunya yang terkulai. Orang-orang yang ada di sekitar dilihatnya pada berduka. Meratapi tubuh ibunya yang terbujur kaku tanpa nyawa. Dirinya yang meringkuk di dalamnya juga kehilangan denyut. Entah kenapa tak lama kemudian ia ingin masuk kembali ke dalam tubuh itu. Ia merasa nyaman setelah cahaya gemilang tampak berpendar di sekitarnya. Cahaya itu kemudian menjelma wajah berwibawa dengan senyum kekanakan. Wajah yang dikelilingi aura teduh menenteramkan. Wajah yang kemudian selalu dirindukannya setelah lahir ke dunia ini.
Setiap ada acara pertemuan di istana, ia selalu minta turun dari gendongan ibunya dan lantas merangkak ke sana kemari, mengamati wajah setiap orang yang hadir. Sampai kemudian ia menemukan wajah yang dirindukannya, wajah yang dikelilingi halo cemerlang. Dengan senyum khasnya pemilik wajah itu lantas mengangkat dan menggendongnya. Karena ia selalu melakukan pariksha, memeriksa wajah setiap orang yang ditemui, maka ia diberi nama Pariksit.
Ingin rasanya ia kembali ke pertapaan untuk mengaku dosa dan agar dihukum sepadan dengan kesalahannya. Namun ia tahu itu tak mungkin. Brahmana tak akan menghukum. Jika ada cara yang dapat dilakukan untuk memurnikan kembali dirinya, akan dilakukannya dengan tulus. Tanpa syarat.
Ia berdiri tegang ketika tiba-tiba seorang pengawal istana muncul di pintu. Pengawal itu berdiri dengan kedua telapak tangan terkatup di depan dada.
“Ada apa?” burunya.
“Ada utusan ingin bertemu Yang Mulia. Ia murid Bagawan Samiti.”
Bagawan Samiti? Ia berdebar, tiba-tiba mengalami perasaan takut yang asing. Sebelumnya ia tak pernah merasa seperti ini. Seberapa hebat pun seorang musuh ia tak pernah gentar menghadapi. Kapan pun ia siap mempertaruhkan nyawa untuk membela negara dan rakyatnya. Ia memberi isyarat agar pengawal mendekat.
“Bagaimana kesanmu tentang orang itu?” tanyanya lirih.
“Yang Mulia, petapa muda itu sangat ramah. Sedikit pun tak ada tanda-tanda yang mencurigakan,” jawab pengawal.
Ia menarik napas panjang. “Kau bilang apa padanya?”
“Hamba bilang Yang Mulia sedang istirahat. Hamba minta ia menunggu, tapi ia mendesak agar dibiarkan bertemu Yang Mulia secepatnya. Ia bilang ada hal penting yang harus disampaikan.”
Pariksit setengah berlari menuju gerbang penjagaan tanpa alas kaki. Begitu sampai di depan seorang anak muda yang mengenakan jubah putih, ia memberi salam dengan telapak tangan terkatup di depan dada. Petapa muda itu kemudian dibawanya ke dalam dan dipersilakan duduk di kursi sementara ia sendiri bersimpuh di lantai. Ia tahu sikap ganjilnya ini membuat petapa muda jadi rikuh, namun ia tak peduli. Ia minta segera diberitahu mengenai maksud kedatangannya.
“Yang Mulia,” ujar anak muda yang berwajah jernih itu. “Guru saya, Bagawan Samiti, menyampaikan berkat khusus kepada Yang Mulia. Beliau mengutus saya untuk menyampaikan hal penting kepada Yang Mulia.”
Tiba-tiba petapa muda menangis. Pariksit bingung dan mendesak, “Cepat katakan, saya siap mengorbankan hidup saya demi kewajiban. Apakah negara ini dalam bahaya? Saya siap mengorbankan apa saja demi rakyat.”
“Yang Mulia, rakyat dalam keadaan aman. Justru Yang Mulia yang sedang terancam bahaya.”
Pariksit tersenyum mendengar ucapannya. Ada perasaan lega merayapi hatinya.
“Saya diberkati,” tanggapnya. “Jika negara dan rakyat dalam keadaan baik, tak ada yang patut dirisaukan. Saya tidak peduli apa yang akan terjadi pada diri saya. Tugas saya adalah memberikan kesejahteraaan bagi rakyat. Sekarang, katakan pesan apa yang engkau bawa?”
“Yang Mulia, Guru sangat prihatin atas kesalahan menyedihkan yang dilakukan putra beliau.”
“Kesalahan apa yang engkau bicarakan?”
“Yang Mulia, Guru punya seorang putra. Walau masih bocah, ia memiliki pengetahuan setara orang dewasa yang cerdas. Ia menghormati ayahnya seperti dewa.”
***
Bagawan Samiti duduk hening dalam sikap siddhasana. Sudah berjam-jam ia tenggelam dalam meditasi yang dalam. Lambat-lambat tampak jemari tangannya bergerak diikuti kedua kelopak matanya yang terbuka perlahan. Ia tidak kaget mendapati seekor ular mati melingkar di lehernya, juga tidak ada letupan emosi tergurat di wajahnya walau ada tanda tanya terpancang di benaknya. Saat mengamati bangkai ular, sayup terdengar sedu-sedan dari arah belakang.
“Srenggi?” gumam sang Bagawan heran.
“Ada apa, Nak? Kenapa menangis?” tanyanya lembut.
Srenggi mendekat dan mulai bercerita tentang orang yang telah mengalungkan bangkai ular di leher ayahnya.
“Jahat sekali! Ia telah menghina Ayah,” tanggapnya dengan air mata berurai. “Maafkan kelalaianku.”
Bagawan tersenyum arif mendengar penuturan putranya.
“Kasihan,” ujarnya dengan suara teduh. “Ia tak tahu apa yang ia lakukan. Kau tak perlu marah, Nak. Pujian atau hinaan tak memengaruhiku. Ingatlah, orang yang telah mencapai keseimbangan tidak bangga bila dipuji dan tidak berkecil hati bila dihina. Lelucon konyol ini tak perlu dimasukkan ke hati.”
“Ini bukan lelucon, Ayah. Ini kelakuan seorang penguasa.”
“Apa?” tanggap Bagawan tak percaya. “Jangan mengada-ada. Raja tak akan berbuat begitu.”
Teman-teman Srenggi yang berkerumun di belakang mulai bicara.
“Guru, kami melihatnya keluar dari sini. Kami yakin dia pelakunya. Srenggi marah ketika kami beritahu. Ia berlari ke sungai lalu menciduk air dan mengutuk orang itu agar mati digigit ular tujuh hari sejak hari ini.”
Bagawan terhenyak.
“Betul engkau lakukan itu?” tanya Bagawan pada anaknya. “Aduh, kenapa petapa berperilaku seperti itu? Kau telah melontarkan kutukan dahsyat untuk kesalahan yang sepele. Ternyata kau tak cukup tabah menghadapi hinaan sekecil itu. Petapa tak punya hak untuk menghukum. Petapa yang mengutuk tak pantas disebut petapa.”
Srenggi menelungkup di lantai dan menyentuh kaki Bagawan.
“Ampuni aku, Ayah. Aku berbuat begitu karena orang itu tak punya tata krama. Bukankah seorang raja tak pantas berperilaku demikian? Kalau ini didiamkan, akan bisa jadi contoh yang tidak baik. Rakyat akan meniru apa yang dilakukan panutannya. Negeri ini bisa kacau karena tak akan ada lagi ketaatan pada aturan.”
Bagawan Samiti minta Srenggi duduk di sebelahnya. Diam-diam ia bangga dengan putranya yang baru berusia dua belas tahun sudah menguasai pengetahuan yang jauh melampaui teman-teman seusianya. Tak diragukan ia pasti telah melahap isi pustaka jauh lebih banyak daripada temantemannya.
“Nak,” ujarnya dengan nada pelan. “Kau benar. Tapi ingat, orang bisa kehilangan akal budi karena keadaan. Raja adalah penguasa dan tak ada yang meragukan kebaikannya. Ia terbiasa dilayani banyak abdi. Bila bepergian, ia diiringi banyak pengawal. Mereka selalu siap melayani untuk hal yang paling remeh sekalipun. Begitu ia berkunjung ke suatu daerah, penguasa daerah memberikan sambutan dan berusaha menyenangkan hatinya dengan persembahan yang terbaik. Orang yang terbiasa dengan hal seperti itu, dalam keadaan lelah, lapar dan haus, pasti sangat kecewa ketika tidak mendapat sambutan di tempat ini. Ia berbuat tak patut karena keadaan yang menekan. Tentu saja itu salah, tapi reaksimu berlebihan.”
Bagawan menarik napas panjang dan memejamkan mata. Ia berpikir keras bagaimana caranya menyelamatkan Raja. “Hyang Bhatara,” ucapnya lirih. “Anak yang belum dewasa ini telah melakukan kesalahan yang akan mencelakakan pengayom rakyat. Ampunilah dia dan selamatkanlah Yang Mulia Raja.”
Ketika membuka mata, Bagawan mendapati banyak petapa duduk di hadapannya. Siap menerima pencerahan sore itu.
“Kalian tahu, apa yang telah dilakukan Srenggi?” ucap Bagawan kepada mereka. “Bukankah tidak benar seorang petapa mencelakakan Raja?”
Tak ada yang menjawab. Suasana hening. Bagawan meneruskan, “Aku mohon kalian berdoa agar Raja tidak tertimpa bencana.”
Seorang petapa lanjut usia kemudian berkata, “Yang Mulia Bagawan, seharusnya Anda tak perlu khawatir. Anda pasti dapat melakukan sesuatu dengan kemampuan yang Anda miliki. Anda dapat membuat kutukan itu tak berpengaruh apa-apa bagi Raja.”
“Benar! Benar! Maafkan Srenggi dan datangkan kesejahteraan bagi Raja,” sambut yang lain antusias.
Bagawan merenungkan kata-kata para petapa lalu pelan-pelan kembali memejamkan mata. Yang lain serentak mengikuti. Sunyi merajai pertapaan. Semuanya larut dalam semadi. Begitu membuka mata, ia memanggil salah seorang muridnya.
“Berangkatlah ke Hastinapura,” pintanya setelah murid itu duduk di depannya.
“Siap, Guru. Mohon katakan, apa yang harus saya lakukan di sana?”
Bagawan kemudian mengatakan hal yang harus disampaikannya kepada Raja.
***
Pariksit tersenyum mendengar penuturan petapa muda di depannya.
“Anak muda, ular itu akan menggigit saya tujuh hari lagi. Bagi saya ini bukan kutukan tapi anugerah. Ini berkah yang diucapkan putra Guru. Selama ini saya begitu tenggelam dalam urusan duniawi dan melalaikan urusan rohani. Saya yakin, Hyang Bhatara yang menggerakkan lidah putra Guru untuk melontarkan kutukan. Hyang Bhatara telah menganugerahi saya waktu tujuh hari. Bukankah ini menakjubkan? Hyang Bhatara pasti menghendaki saya memanfaatkan setiap saat dalam tujuh hari ini untuk merenung. Maka mulai sekarang, akan saya serahkan seluruh waktu dan hidup saya di kaki Hyang Bhatara tanpa jeda. Anak muda, katakan apa lagi pesan Guru?”
“Guru sangat menyayangkan kenapa ini harus terjadi. Beliau telah berusaha mencari cara untuk menghindarkan akibat kutukan itu. Namun, begitu beliau tahu Yang Mulia memang ditakdirkan mangkat digigit ular, beliau tak bisa berbuat apa-apa. Sekarang tugas saya sudah selesai. Saya mohon pamit.”
Kembali Parikesit mengatupkan telapak tangan di depan dada. Ia minta pada petapa agar salam hormatnya disampaikan kepada Bagawan Samiti dan putranya. Perasaan lega membanjiri dirinya dan ia berjanji akan segera menyerahkan tahta pada Janamejaya. Walau ia tahu bocah itu belum mengerti ihwal pemerintahan, ia tak ingin menundanya. Ia pikir inilah saat yang tepat untuk melepaskan diri dari segala ikatan duniawi.***

Ketut Sugiartha tinggal di Belayu, Tabanan. Menulis esai, cernak, cerpen dan novel. Telah menerbitkan 1 kumpulan cernak, 2 kumpulan cerpen dan 4 novel. Salah satu cerpennya dimuat dalam antologi cerpen Indonesia dalam bahasa Inggris: OUR HERITAGE, 16 Modern Indonesian Stories (1993).

Kalung dan Ular di Mata Triman

Cerpen Irul S Budianto (Banjarmasin Post, 10 Desember 2017)
Kalung dan Ular di Mata Triman ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post Group.jpg
Kalung dan Ular di Mata Triman ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
Sudah beberapa hari ini kepala Triman terasa berat. Memikirkan Peni, istrinya yang tiba-tiba minta dibelikan kalung emas. Untuk memenuhi keinginan Peni jelas bukan perkara mudah. Harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit menurut ukuran Triman.
Sebagai buruh serabutan yang hasilnya tak menentu, hasil yang didapatkan sudah amat disyukuri jika bisa digunakan untuk makan bersama anak dan istrinya dalam setiap harinya. Tapi jika sekarang harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membelikan kalung emas, mau tidak mau membuat Triman harus berpikir seribu kali.
“Cepat dibelikan ya, Mas.” Permintaan Peni yang terlontar siang tadi kembali terngiang di telinga Triman. Permintaan seperti itu mungkin biasa bagi keluarga yang berkecukupan, tapi tidak dengan Triman. Permintaan itu dirasakan seperti hantaman keras yang mengenai kepalanya.
Terbawa beban pikiran seperti itu membuat mata Triman malam ini sulit dipejamkan. Meski telah dicoba berulang kali tetap saja tak bisa tidur. Triman pun kemudian bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur. Sesekali menarik napas panjang sambil menatap Peni yang tengah tidur pulas. Sesaat kemudian ia berdiri dan berjalan pelan keluar kamar.
Di teras rumah, Triman duduk di kursi kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Matanya menerabas kegelapan malam. Dengan cara itu siapa tahu beban pikirannya jadi lepas. Tapi tidak, permintaan Peni yang ingin dibelikan kalung emas menghiasi kepalanya.
Tapi di balik kegundahannya itu Triman pun menyadari selama tiga tahun menikah memang belum pernah membelikan sesuatu yang berharga kepada istri yang dicintainya itu. Dalam ingatan Triman ketika Peni dinikahi dulu sebenarnya membawa perhiasan yang cukup. Tapi perhiasan seperti kalung, gelang dan cincin itu akhirnya ludes dijual untuk biaya periksa kandungan sampai melahirkan anaknya.
Di tengah kecamuk pikirannya itu tiba-tlba Triman dikejutkan suara petir yang menggelegar amat keras. Tak lama kemudian disusul hujan yang cukup deras disertai angin kencang. Tak hanya itu, dari dalam rumah juga terdengar suara tangis anaknya yang baru berusia dua tahun.
“Kenapa Tito menangis?” ucap Triman kepada Peni setelah masuk kamar.
“Mungkin kaget mendengar petir itu tadi,” kata Peni sambil membenahi selimut dan meninabobokan anaknya agar tidur kembali.
***
Sebelum matahari terbit. Triman menuju kandang kambing miliknya. Di antara empat ekor kambing yang ada, Triman menuntun seekor kambing yang paling besar dan kemudian dibawa ke pasar yang tak jauh dari rumahnya. Setelah tawar-menawar yang cukup alot dengan calon pembeli, kambing miliknya akhirnya dilepas dengan harga Rp. 2.850.000.
Dengan membawa uang itu, entah mengapa tiba-tiba hati Triman menjadi berbunga-bunga sendiri. Keinginannya untuk membelikan kalung Peni akan segera terwujud. Peni tentu akan sangat bahagia, pikirnya.
“Ini uang dari jualan kambing. Kamu bisa membeli kalung hari ini. Jika masih kurang, kamu bisa cari pinjaman tetangga, tapi jangan banyak-banyak,” ucap Triman sambil menyerahkan uang.
Peni tersenyum. Uang di tangannya dihitung sebentar. “Enggak perlu cari pinjaman. Uang ini sudah cukup untuk beli kalung.” Peni lalu masuk ke kamar untuk berganti baju. Sesaat kemudian Peni sudah keluar lagi dan bergegas ke pasar hendak membeli kalung emas.
***
Sudah satu minggu Peni memakai kalung emas hasil dari jualan kambing. Berbeda dengan sebelumnya, setelah memakai kalung emas itu wajah Peni terlihat berbinar. Seperti merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
Tapi tidak demikian dengan Triman. Setelah Peni memakai kalung emas itu Triman seperti merasakan keanehan pada matanya. Tak hanya sekali dua kali, setiap kali memandang kalung emas yang melingkar di leher Peni, kalung emas itu kadang-kadang terlihat seperti ularyang hendak mematuk.
Masalah penglihatannya yang dirasakan cukup aneh, untuk sementara waktu sengaja dipendam di dalam hatinya sendiri. Triman tak menceritakan kepada siapa saja, termasuk kepada Peni. Tapi karena makin lama makin mengganggu pikirannya, akhirnya suatu malam Triman mengutarakan masalah penglihatannya kepada Peni.
“Jujur saja aku merasakan keanehan pada mataku setiap kali melihat kalung yang kaupakai itu,” ucap Triman pelan.
“Ada apa dengan kalung yang kupakai?” Peni agak terkejut dengan perkataan  yang baru saja keluar dari mulut Triman.
“Seringkali aku melihat kalung yang kaupakai itu seperti berubah menjadi ular yang hendak mematuk lehermu.”
“Hah! Apa?! Berarti kamu tak ikhlas membelikan kalung ini?! Tak perlu pakai alasan seperti itu. Kalau memang tak ikhlas, kalung ini dijual saja.” Peni tiba-tiba berkata dengan nada tinggi. Kemarahannya seperti meledak.
“Sabar dulu, jangan salah paham. Aku hanya ingin mengatakan soal penglihatanku. Jangan-jangan mataku memang tidak beres.”
“Tak perlu alasan ini itu!”
“Jangan marah. Maksudku, sore ini kamu akan kuajak ke dokter spesialis mata untuk memeriksakan mataku. Jangan-jangan mataku tidak beres.”
Mendengar perkataan Triman seperti itu, kemarahan Peni pun menjadi reda. Triman yang berada di dekatnya kemudian ditatap lekat-lekat. Sesaat kemudian Triman dan Peni pun pergi ke tempat dokter spesialis mata yang ada di kota.
“Mata Pak Triman normal.” kata dokter setelah melakukan pemeriksaan.
“Tapi, Dok, telah berulang kali mata saya ini jika melihat kalung yang dipakal istri saya kadang berubah wujudnya seperti ular,” sergah Triman yang di dalam hatinya belum percaya dengan hasil pemeriksaan dokter.
Dokter spesialis mata itu tersenyum. “Secara medis, mata Pak Triman memang normal. Tak ada penyakit atau gangguan pada mata Pak Triman.”
Sebenarnya Triman masih ingin berdebat panjang dengan dokter yang telah memeriksa matanya. Tapi karena tiba-tiba anaknya menangis terus dan Peni mengajak pulang, keinginan Triman itu terpaksa diurungkan.
Sesampai di rumah, Triman masih memikirkan perkara penglihatannya yang dirasakan tidak beres. Tapi tak lama kemudian tiba-tiba terdengar jeritan Peni yang cukup keras dari dalam kamar. Triman pun tersentak kaget begitu melihat kalung peni sudah tergeletak di lantai, putus setelah ditarik anaknya. (*)

Irul S Budianto, kelahiran Boyolali 22 Juli. Menulis cerpen, puisi serta esai sastra-budaya dan dimuat di sejumlah media. Kini tinggal di Desa Donohudan, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah.

Kutipan Cruel Crown

Tiada yang lebih mengenaskan daripada cerita yang tidak tersampaikan. (hlm. 4)

Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Anak perempuan baik-baik yang dimaksud adalah yang diam saja. (hlm. 10)
  2. Untuk apa menunda yang sudah niscaya? (hlm. 23)
  3. Balasa saja dia. Biar kena batunya. (hlm. 37)
  4. Jika dia menyerangmu, kau mesti balas menyerangnya. (hlm. 37)
  5. Kehidupan di istana ternyata tidak lebih baik ataupun lebih buruk ketimbang di griya kampung halaman. (hlm. 39)
  6. Kenapa main rahasia-rahasiaan? (hlm. 49)
  7. Kedok miskin untuk menyembunyikan wajah yang perkasa? (hlm. 53)
  8. Tidak ada aturan yang melarang hubungan asmara di dalam organisasi, asalkan pekerjaan beres. (hlm. 87)
  9. Punyakah kau minuman yang lebih keras daripada teh? (hlm. 175)

Inilah Penyebab Resolusi Tahun Baru Sering Gagal

Assalamu'akum wa rahmatullahi wa barakaatuh

Dalam hitungan hari, kita akan meninggalkan tahun 2017. Banyak orang yang memiliki sebuah kebiasaan yang disebut dengan Resolusi Tahun baru.

Resolusi Tahun baru biasanya sebuah janji agar tahun depan menjadi lebih baik lagi. Berbagai tekad dan keinginan ditetapkan.

Banyak yang melakukan ini dan banyak juga yang gagal.

Lalu bagaimana caranya?

Sudah, tidak usah membuat resolusi tahun baru saja. Serius.

Akan lebih baik, Anda memiliki mindset bertumbuh. Jika Anda memiliki mindset bertumbuh, maka Anda secara otomatis akan meningkatkan kualitas diri, semakin baik dari hari ke hari.

Dan jika Anda sudah memiliki kejelasan apa yang Anda inginkan dan Anda memiliki mindset bertumbuh, maka semakin hari akan semakin dekat Anda meraih keinginan Anda.

Meski keinginan Anda besar, tetapi karena kemampuan dan kualitas diri Anda meningkat secara terus menerus, maka Anda akan berubah menjadi pribadi yang mampu meraih keinginan Anda.

Bagaimana mindset bertumbuh itu?

1. Yakinlah Anda bahwa Anda bisa lebih baik lagi.
2. Tingkatkan kualitas mental Anda.
3. Belajarlah berkaitan hal-hal yang akan Anda lakukan
4. Lakukan dan bertindaklah secara maksimal setiap harinya.

Jika Anda melakukan 4 hal ini mulai sekarang, saya yakin setahun ke depan Anda akan menjadi orang yang berbeda. In syaa Allah.