Daftar Blog Saya

Rabu, 05 Juli 2017

Anne Ahira Newsletter

Think & Succeed!
----------------------------------

Dear Hanihyung,
Seorang tukang bangunan yang sudah
tua berniat untuk pensiun dari
profesi yang sudah ia geluti selama
puluhan tahun.
Ia ingin menikmati masa tua bersama
istri dan anak cucunya. Ia tahu ia
akan kehilangan penghasilan rutinnya
namun bagaimanapun tubuh tuanya butuh
istirahat. Ia pun menyampaikan
rencana tersebut kepada mandornya.
Sang Mandor merasa sedih, sebab ia
akan kehilangan salah satu tukang
kayu terbaiknya, ahli bangunan yang
handal yang ia miliki dalam timnya.
Namun ia juga tidak bisa memaksa.
Sebagai permintaan terakhir sebelum
tukang kayu tua ini berhenti, sang
mandor memintanya untuk sekali lagi
membangun sebuah rumah untuk terakhir
kalinya.
Dengan berat hati si tukang kayu
menyanggupi namun ia berkata karena
ia sudah berniat untuk pensiun maka
ia akan mengerjakannya tidak dengan
segenap hati.
Sang mandor hanya tersenyum dan
berkata, "Kerjakanlah dengan yang
terbaik yang kamu bisa. Kamu bebas
membangun dengan semua bahan terbaik
yang ada."
Tukang kayu lalu memulai pekerjaan
terakhirnya. Ia begitu malas-malasan.
Ia asal-asalan membuat rangka
bangunan, ia malas mencari, maka ia
gunakan bahan-bahan berkualitas
rendah. Sayang sekali, ia memilih
cara yang buruk untuk mengakhiri
karirnya.
Saat rumah itu selesai. Sang mandor
datang untuk memeriksa. Saat sang
mandor memegang daun pintu depan, ia
berbalik dan berkata, "Ini adalah
rumahmu, hadiah dariku untukmu!"
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Ia
sangat menyesal. Kalau saja sejak
awal ia tahu bahwa ia sedang
membangun rumahnya, ia akan
mengerjakannya dengan
sungguh-sungguh. Sekarang akibatnya,
ia harus tinggal di rumah yang ia
bangun dengan asal-asalan.
Inilah refleksi hidup kita!

Pikirkanlah kisah si tukang kayu ini.
Anggaplah rumah itu sama dengan
kehidupan Anda. Setiap kali Anda
memalu paku, memasang rangka,
memasang keramik, lakukanlah dengan
segenap hati dan bijaksana.
Sebab kehidupanmu saat ini adalah
akibat dari pilihanmu di masa lalu.
Masa depanmu adalalah hasil dari
keputusanmu saat ini.

Anne Ahira Newsletter

Think & Succeed!
----------------------------------

"Terus memendam amarah sama seperti
menggenggam bara panas untuk
dilontarkan kepada seseorang, Andalah
yang akan terbakar"-  Sidharta Gautama

Dear Hanihyung yang baik & sabar hatinya...
Dalam hidup memang wajar kalau ada
peristiwa-peristiwa yang membuat kita
marah dan kecewa. Tapi cepat
kendalikan emosi Anda kembali. Jangan
biarkan rasa amarah, dendam, iri,
kesal atau kecewa kepada pasangan,
teman, rekan kerja, atau atasan di kantor
bercokol lama di hati kita.  
Kekesalan, amarah dan kekecewaan
hanya akan mengaktifkan hukum tarik
menarik, membuat Anda menerima apa
yang Anda berikan.
Bila kesal pada pasangan atau ada
kawan yang mengingkari janji, lalu
Anda menyalahkan mereka atas
kekacauan semua itu, maka Anda akan
mendapatkan kembali keadaan
yang dipersalahkan itu.
Kembalinya keadaan itu tidak harus
selalu dari orang yang Anda salahkan,
tetapi sejatinya Anda akan mendapatkan
kembali keadaan yang Anda salahkan itu.
Ikhlaskanlah, maafkanlah. Hati
akan terasa lebih lega dan ringan
dalam menjalani hidup, lebih fokus
terhadap tujuan hidup tanpa
terbebani penyakit-penyakit hati yang
hanya akan menghabiskan energi
positif.
"Jika saya mengikhlaskan diri saya,
saya menjadi yang saya inginkan. Jika
saya mengikhlaskan yang saya punya,
saya akan menerima apa yang saya
butuhkan" -  Tao Te Ching
Semoga Tuhan mengaruniai sabar
yang tak terbatas dan ikhlas yang
tak bertepi untuk kita semua, sehingga
apapun rintangan dan cobaan yang dilalui
akan terasa lebih ringan.
:-)

Anne Ahira Newsletter

Think & Succeed!
----------------------------------

"Sukses adalah sebuah proses, kualitas

dari pikiran dan cara sikap,
affirmasi kehidupan yang keluar" -
Alex Noble
Dear Hanihyung
Penelitian-penelitian muktahir
menunjukan betapa hebatnya kekuatan
pikiran bawah sadar yang dibangun
melalui affirmasi kalimat positif
dalam pencapaian mimpi seseorang.
Salah satu orang besar yang
menerapkannya adalah Muhammad Ali.
Sebelum naik ring dan bertarung
dengan lawannya, dalam sebuah
wawancara televisi, Ali mengaku ia
selalu melakukan affirmasi.
"Aku petinju hebat. Apa pun yang
terjadi , aku tetap petinju yang
hebat. Akulah petinju terbaik di
dunia ini" begitu katanya dalam hati.
Ketika wartawan menanyakan alasannya,
Ali menjawab, "Kalimat itu memberiku
rasa percaya diri, menguatkan
keinginanku dan membulatkan
konsentrasiku pada target yang ingin
aku capai. Jika akhirnya aku gagal,
aku akan belajar dari kegagalan dan
berlatih lebih giat lagi hingga
berhasil."
Ali juga menambahkan,"Pikiran sangat
berpengaruh, pikiran bisa menjadi
penyebab kegagalan dan bisa pula
menjadi pendukung keberhasilan.
Pikiran adalah sumber percaya diri."
Ali pun menjadi juara tinju dunia
legendaris sepanjang masa.   
Kepercayaan diri besar pengaruhnya
terhadap kesuksesan karir dan
kehidupan. Maka dari itu, tanamkan
percaya diri yang besar dalam diri
Hanihyung, jika Hanihyung ingin berhasil dan
sukses dalam hal apapun.

Duta Perdamaian

Cernak Yuditeha (Suara Merdeka, 11 Juni 2017)
Duta Perdamaian ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka
Duta Perdamaian ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Namaku Yuan. Aku suka bercerita tentang ayah. Ayah pendiam tapi kalau marah bisa menusuk hati, perih. Ayah marah bila aku tidak mau makan atau malas mandi. Tapi banyak orang bilang ayah sabar. Aku jadi berpikir, mungkin sabar bukan tidak pernah marah. Sabar mungkin semacam ketegasan rasa tulus.
Ayah juga sering meminta maaf padaku, apalagi jika ayah tidak bisa menuruti keinginanku. Aku berpikir, maaf mungkin bukan hanya rasa sesal, tapi dapat berarti kasih. Bisa jadi maaf adalah lima puluh persennya cinta.
Sekarang aku kelas VI SD. Kata ayah belajar tidak hanya berhitung dan membaca, tapi semua hal. Ayah tak pernah tanya, aku ingin jadi apa. Tapi malam itu tanpa ditanya, aku bilang ingin menjadi sastrawan.
“Jalan hidup seringkali tak seperti yang kita mau,” kata ayah.
Ayah masih terus bicara, tapi aku mulai mengantuk lalu tertidur. Meski, aku masih sempat merasakan saat ayah membopongku ke kamar.
***
Entah kenapa hari itu aku berangkat sekolah sendiri, dan di hari ini aku mengumpulkan karanganku kisah nyata di keluarga dan itu tentang ayah. Dua pekan kemudian, Kepala Sekolah memanggilku.
“Ada kabar baik untukmu. Pertama, karanganmu dapat juara pertama tingkat Nasional dan kedua, ayahmu terpilih jadi Duta Perdamaian.” Aku terkejut.
“Dari tulisanmu yang juara itulah Tim Pemerintah Pusat memilih ayahmu,” sambung Kepala Sekolah.
“Hanya dari karanganku, Pak?” tanyaku.
“Itu wewenang tim dan yang penting kisahmu itu benar. Kamu akan ke Jakarta menerima hadiah, bersam ayahmu juga ke sana untuk penganugerahan itu. Ini suratnya dan semua telah diterangkan di situ,” jelas Kepala Sekolah.
“Apakah mereka tahu kalau ayahku tukang cukur, Pak?” tanyaku.
“Bukankah sudah kamu ceritakan di tulisanmu?” Kepala Sekolah balik bertanya.
Aku tersenyum lalu menerima surat itu dan permisi tanpa sempat mengucapkan terima kasih kepada Kepala Sekolah. Mungkin karena gembiranya jadi lupa.
Tiba di rumah, ayah sibuk mencukur pelanggan, aku tak ingin mengganggu. Kutunda memberikan surat dari Kepala Sekolah. Selesai berganti baju dan makan, aku melamun tentang surat itu, hingga tak terasa aku terlelap saat kurebahkan badanku di kasur.
***
Aku terbangun karena ada tangisan anak kecil. Kulihat jam dinding pukul 08.15. Waktu yang langsung membuatku resah dan sanksi dengan hari. Cepat kucari dua surat itu, tapi tak kutemukan. Lalu aku ke luar kamar. Samar kudengar suara ibu.
“Eee Yuan sudah bangun.”
Sapaan ibu tak kuhiraukan. Aku berlari ke kios, ayah sedang mencukur pelangganannya. Perasaanku semakin tidak menentu.
“Yuan, kau sudah bangun?” tanya Ayah ketika aku melongok.
Aku mendekati ayah, “Ini hari apa, Yah?” tanyaku kemudian.
“Minggu,” jawab Ayah singkat.
“Ini pagi atau sore, Yah?” tanyaku lagi.
“Pagi. Memangnya kenapa?” Ayah seperti heran.
“Kok tidak ke gereja?” tanyaku.
“Kita kan sudah sepakat, minggu ini ikut jadwal sore,” jawab Ayah.
“Ayah mengambil surat di kamarku?” tanyaku lagi.
“Iya, kan kamu yang bilang surat itu untuk ayah,” jawab Ayah.
“Apa iya, Yah?” tanyaku heran.
“Kemarin pas kamu pulang sekolah bilang, ada surat untuk ayah.”
“Lalu?”
“Ayah belum sempat memberi tahu isi surat itu padamu.”
Aku tak ingin menangis, tapi air mataku tak kuasa kubendung. Aku masuk dan terisak di kamar. Ibu sibuk memberesi barangku. Melihatku menangis, ibu bingung. Sebelum keluar kamar ibu membujukku mandi, tapi aku tidak mau.
“Ayah minta maaf, ayah belum mengatakan isi surat itu. Kemarin Yuan kelihatan capai dan mengantuk, bahkan kamu tak sempat berdoa.”
Ayah terus berbicara seiring air mataku juga terus keluar.
“Isi surat itu hanya mengingatkan batas pengumpulan karangan hari Senin besok. Ayah tahu, kamu sudah membuatnya. Jadi, besok jangan lupa dibawa. Oh ya hari ini kamu aneh. Dan mengapa menangis?” tanya Ayah kemudian.
Aku menggeleng lemas.
“Ya sudah, itu masih ada yang mau cukur, setelah Yuan mandi dan makan kita mengobrol lagi.”
Ayah keluar setelah menepuk bahuku, tapi seketika masuk lagi.
“Seringkali jalan hidup tidak seperti yang kita mau,” sambung Ayah sambil tersenyum.
“Kok, Ayah tahu?” tanyaku spontan.
“Ayah telah beberapa kali mengalami,” jawab Ayah dari jauh.
Kukejar Ayah lalu kupeluk. Air mataku kini sudah seperti sungai, mengalir dan terus mengalir. Tak kuat lagi haruku kusimpan sendiri dan ingin kubagi pada Ayah.
“Aku tetap bangga pada Ayah walau Ayah hanya tukang cukur,” tangisku menjadi-jadi.
“Ayah juga bangga punya kamu,” kata Ayah tersendat-sendat. Kulihat mata Ayah basah bukan seperti sungai tapi seperti danau.
“Tapi, Yah,” sahutku. Kubisikan sesuatu di telinga Ayah, “Bagiku, ayah tetap pantas jadi Duta Perdamaian.”
“Hah…” sahut Ayah yang tak lama kemudian tersenyum. (58)

Kera yang Banyak Akal

Fabel Arrum Lestari (Suara Merdeka, 18 Juni 2017)
Kera yang Banyak Akal ilustrasi Suara Merdeka
Kera yang Banyak Akal ilustrasi Suara Merdeka
Musim hujan sudah datang seminggu terakhir. Kera-kera yang tinggal di lereng gunung sedang bimbang. Mereka bingung, haruskan mencari tempat lain yang aman? Atau mengungsi ke rumah-rumah warga kampung di bawah lereng? Mereka tahu, tanah di lereng gunung telah gundul dan kera-kera cerdik itu merasa sebentar lagi akan longsor karena hujan.
Di hutan dalam lereng gunung tempat tinggal kera-kera itu, hiduplah seekor ular piton besar. Ular piton adalah pemangsa yang hebat. Ia membuat sarang di bekas pohon yang ditebang. Ular piton hidup menyendiri, sepi, dan menunggu sesuatu untuk dimangsa. Saat lapar tiba, ular piton berwarna cokelat motif batik itu keluar dari sarang.
“Mendung!” gumam si piton. “Mulai gerimis! Sebentar lagi hujan pasti lebat. Aku suka sekali. Saat seperti ini banyak sesuatu yang bisa kumangsa.”
Ular itu tahu setiap hujan turun binatang-binatang penghuni hutan di lereng gunung hanya bisa berteduh, kadang di bawah pohon, kadang di goa-goa kecil tempat persembunyian mereka. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan selain berteduh menunggu hujan reda.
Si piton segera melata, mengendus aroma daging calon mangsanya. Lidahnya menjulur-julur lucu. Saat berjalan santai di bawah hujan, si piton pun melihat seekor kera mungil yang sedang berteduh di bawah pohon aren. Kera itu menggigil.
“Ah, santap siang yang enak ini,” gumam Piton. Ia sudah membayangkan kelezatan setiap inci tubuh kera yang renyah. Pasti gurih! batinnya. Andai saja semua itu bisa dilakukannya dengan mudah. Kemudian ia mencari-cari strategi untuk segera menyergap si kera agar tepat sasaran.
Sesampainya di dekat kera mungil itu, si piton mendengar si kera sedang merintih, seperti kesakitan. Si piton tiba-tiba berubah pikiran. Ah, sakit apa dia? Tanya Piton dalam hati.
Piton kembali melata mendekati kera yang menggigil dan merintih sendirian.
“Hei, Kera? Kau menggigil? Kau merintih? Kau sakit? Demam?” tanya Piton setelah menampakkan diri di depan kera mungil itu.
“Piton? Kau membuatku kaget. Mau ke mana kau, hujan-hujan begini?”
“A-aku. Aku mau lewat saja. Aku suka hujan-hujanan. Karena aku bisa bermain air. Kau belum jawab pertanyaanku, Kawan?” kata Piton lagi.
“Hmm, ya, kakiku memang sedang sakit. Seseorang tadi membuat jebakan di ujung hutan. Aku sempat terjepit jebakan besi. Aku dikira tikus apa, ya? Dijebak dengan benda mirip jebakan tikus. Lihat ini, kakiku luka. Untung aku bisa melepaskan diri,” rintih Kera.
“Aih, lukamu lumayan parah, Kawan. Darah masih mengucur, tuh! Kalau kau tak bersihkan bisa membusuk kakimu.”
“Benar juga. Akan ada banyak kuman sepertinya. Dan sekarang aku sudah merasakan ada kuman-kuman menjalar di tubuhku. Ah, jangan-jangan sebentar lagi aku mati membusuk, berbelatung. Bagaimana ini, Piton? Ah, kenapa kau tak makan aku saja? Cepatlah!” kata Kera memelas.
Piton sedikit bimbang. Ia merasakan dilema, perutnya memang lapar, tetapi ia jijik membayangkan kera itu sudah dipenuhi kuman yang sebentar lagi membusuk.
“Ah, tidak, tidak. Aku tak tega, Kawan. Kau sedang teraniaya. Tak boleh memangsa lawan yang sedang teraniaya.”
Padahal dalam hati, Piton takut kalau kuman dalam kera itu akan berpindah ke tubuhnya. Selera makan Piton hilang seketika.
“Oh, begitukah, Kawan?”
“Ya, tentu saja!’
“Baiklah, kalau begitu aku akan mencari air di sungai untuk membersihkan lukaku ini. Boleh aku pamit?”
“Baiklah. Kau tenang saja, Kawan. Lain kali aku tak akan memburumu. Meskipun kau sudah sehat kembali.”
“Kau janji, Piton?”
“Iya. Aku janji. Sana, pergilah. Sembuhkan lukamu dulu. Aku pun mau melanjutkan perjalananku. Aku mau cari tupai saja. Sebenarnya aku sedang lapar,” ujar Piton.
“Hmm, baiklah. Selamat berburu, Kawan! Semoga kau dapat tupai yang gemuk.”
“Terima kasih, Kera.”
Ular piton itu melata lebih dulu, meninggalkan kera mungil yang banyak akal. Si Kera kini terbengong-bengong. Dalam hati ia tertawa sambil berkelakar, “Begitu mudah menyelamatkan diri dari ancaman ular. Tak kusangka, meski tampilannya menyeramkan kadang ia baik juga. Pantas, sekarang ular-ular seperti piton itu sering diburu manusia, dijadikan binatang peliharaan. Ya, ternyata mereka memang lucu dan sedikit dungu. Mungkin karena itulah mereka mudah dijinakkan. Ah, terserah saja lah.” [58]

Ritual Satu Syawal

Oleh Setta SS (Antologi Ramadhan Tiba, Erlangga, 2008)
Ritual Satu Syawal ilustrasi www.flickr.com
Ritual Satu Syawal ilustrasi http://www.flickr.com
“Amal perbuatan adalah bagaikan gambar yang mati, dan ruhnya ialah adanya rahasia keikhlasan di dalamnya.” (Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari)
***
APA aktivitas saya saat tanggal 1 Syawal itu tiba setelah sebulan penuh berpuasa?
Saat masih usia praremaja hingga menjelang kelulusan SMA, di kampung nenek-kakek saya di ujung barat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jika malam ‘Idul Fitri cerah dan ada rombongan takbir keliling lewat, saya dan teman-teman sebaya akan ikut rombongan itu berkeliling ke kampung-kampung tetangga dengan berjalan kaki. Membawa obor dari bambu yang diisi minyak tanah. Dan tak ketinggalan membawa bedug berdiameter seukuran drum yang dibawa di atas gerobak untuk ditabuh. Bersahutan dengan suara takbir, menambah keceriaan suasana malam takbir keliling saat itu.
Tidur di masjid dan baru pulang selepas shalat Shubuh adalah aktivitas berikutnya sepulang dari takbir keliling. Di kampung nenek saya sudah menjadi tradisi, setiap malam ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha selalu diisi dengan takbir semalam penuh di masjid-masjid.
Selepas shalat ‘Id di lapangan dan berganti pakaian, dengan wajah cerah berhias senyuman dan hati penuh suka cita, saya akan ikut berkeliling kampung bersilaturahim ke setiap rumah—dan mau tak mau harus mencicipi hidangan yang disediakan di setiap rumah yang saya masuki. Begitulah rutinitas saya seperti yang sudah menjadi tradisi di negeri ini saat hari Fitri itu tiba.
Namun selepas meninggalkan dunia kampus, saya belajar untuk memaknainya secara lebih dalam dan dewasa. Selepas shalat Maghrib berjama’ah di masjid di hari terakhir Ramadhan di kampung nenek-kakek saya, saat anak-anak sudah mulai ramai berebut pengeras suara untuk mengumandangkan takbir atau mereka yang berebut untuk memukul bedug; saya masih terpekur cukup lama di dalam masjid. Mencoba menghitung tentang seberapa banyak amal yang telah saya perbuat selama Ramadhan yang baru saja berlalu sambil bertanya-tanya pada diri sendiri.
Puasa tingkatan manakah yang sudah saya jalankan sebulan penuh ini—khawashul khawash, khawash, atau baru sebatas tingkatan puasa awam?
Apakah saya termasuk dari golongan orang-orang yang mendapatkan keutamaan malam seribu bulan dan berhak atas pengampunan dosa-dosa yang terdahulu?
Cukup layakkah diri ini menyandang predikat takwa saat mentari menyinari bumi esok hari? Sudah ikhlaskah ibadah yang saya lakukan sepanjang Ramadhan ini semata hanya karena-Nya? Masih adakah kesempatan untuk kembali bersua denganmu, Ramadhanku, di tahun yang akan datang?
Tak terasa, air mata saya akan mengalir tanpa saya mampu membendungnya saat-saat terpekur di penghujung Ramadhan seperti itu.
If one star falls every time we make mistake, I bet the sky is dark already now. So let’s lighten it up again by forgiving each other.
Jauh selepas shalat Isya, saya akan beranjak ke masjid untuk bertakbir bersama sambil mencoba menghayati setiap maknanya dengan sepenuh hati. Bahwa takbir itu tidak sebatas terlantun di bibir saja. Tapi hakikat takbir itu adalah kemenangan yang hakiki.
Keesokan harinya, sepulang dari shalat ‘Id di lapangan, saya tidak ikut berkeliling ke setiap rumah seperti saat saya masih kecil dulu. Selain karena hampir semua sahabat karib dan kerabat dekat sekampung sudah bertemu, masih ada kesempatan di sore hari atau hari-hari berikutnya untuk berkunjung ke rumah mereka.
Untuk setiap kesungguhan kita menyapa Ramadhan, taqabbalallahu minnii wa minkum, shiyaa-manaa wa shiyaa-makum. Semoga selalu ada ruang maaf dalam silaturahim kita. Selamat ‘Idul Fitri! (*)

Yogyakarta, 24 Juni 2008 08:20

Catatan:
Imam Ghazali dalam Ihya membagi bobot puasa menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
[1] Puasa awam, yakni menahan makan, minum dan syahwat pada lawan jenis di siang hari di bulan Ramadhan;
[2] Puasa khawash, yaitu puasa anggota badan; menahan mata dan tangan dari yang haram, menahan langkah kaki dari jalan menuju maksiat, manahan telinga dari mendengarkan yang tidak ada manfaatnya, dan menahan lidah dari ghibah (membicarakan orang lain);
[3] Puasa khawashul khawash, yaitu mengikat hati dengan kecintaan pada Allah Swt., tidak memperhitungkan selain-Nya, membenci perilaku maksiat kepada-Nya, dan hanya menyibukkan hati dengan ketaatan dan dzikir kepada-Nya.

Sungkem

Cerpen Mustofa W Hasyim (Kedaulatan Rakyat, 18 Juni 2017)
Sungkem ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Sungkem ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
KARENA tiga tahun berturut-turut gagal mudik, padahal Pardi sudah mengirim kabar ke desa, untuk tahun ini dia kapok memberi kabar ke desa. Ia trauma. Dan tidak ingin mengecewakan keluarga. Mereka pasti menganggapnya sebagai anak kurang berbakti. Sungkem setahun sekali saja tidak mau. Begitu prasangka mereka. Soalnya memang bukan mau atau tidak mau, tetapi tidak mampu mudik. Kalau tidak ada uang dan sedang menunggu anggota keluarga di rumah sakit, apa dipaksakan pulang?
Sejak pertengahan tahun lalu, Pardi dan isteri berhemat betul. Menabung. Penghasilan isteri dari membuka warung es jus memang lumayan. Tetapi dana untuk membeli buah juga banyak, apalagi untuk membeli gula, membayar listrik. Dan lagi semua anaknya, gara-gara ibunya menjual es jus, setiap hari minta jatah segelas, kadang dua gelas es jus. Tentu ini mengurangi keuntungan.
Pardi lalu melarang anaknya minta jatah es jus ibunya. Kalau mau minum es jus harus membeli, membayar seperti orang lain. Uangnya, toh dari ayah. Kecuali anak sulung yang di kampus dipercaya menjadi koperasi mahasiswa sudah punya uang saku sendiri. Dua adiknya, belum punya penghasilan. Pardi dengan cerdik mengatur pemberian uang saku anaknya.
“Kalau kita tidak ketat, mana mungkin kita bisa sungkem Lebaran nanti,” bisik Pardi.
Dan benar, seminggu setelah bulan puasa berlangsung, Pardi dan isterinya membuka tabungan. Ditambah THR dari pabrik tempat Pardi bekerja, jumlahnya lebih dari cukup kalau untuk biaya membeli tiket kereta api dan membeli oleh-oleh.
Selama seminggu ini anak sulung kalau malam diminta dosennya untuk menyusun laporan sebuah penelitian. Tebal juga halaman penelitian itu. Ketika laporan itu selesai, dia mendapat honor yang lumayan besar.
“Saya mau beli motor, bisa untuk mudik,” kata anak sulung, sore menjelang berbuka puasa..
Pardi dan isterinya terkejut.
“Beli motor? Pulang mudik naik motor? Terus ayah, ibu dan adik-adikmu bagaimana?”
“Ya, sekalian beli motor. Kalau hanya untuk membayar uang muka dua motor uangku cukup. Kan asyik. Aku memboncengkan Amri. Dan ayah membonceng ibu dengan Maryam,” katanya.
Pardi memandang isterinya. Mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah kalau begitu,” kata Pardi.
Jadilah keluarga Pardi mudik dengan naik dua motor. Dengan dua motor cukup ruang untuk membawa tas oleh-oleh, pakaian, jaket dan plastik tebal untuk istirahat. Mereka juga membawa termos almunium berisi minuman panas, kue-kue, nasi, lauk kering.
Mereka berangkat setelah hampir seluruh penghuni kampung perantau itu pulang kampung. Masih cukup waktu, pikir Pardi. Mereka mengendarai motor dengan hati-hati.
Pada hari ketiga pulang mudik, mereka sudah memasuki jalan pegunungan menuju desa. Pardi dan keluarganya merasa tubuhnya makin segar. Segala keletihan di sepanjang perjalanan lenyap. Mereka mendaki jalan pegunungan, sampai di atas, ada persimpangan. Mereka akan membelok ke kanan sebelum menempuh satu jam lagi sampai desanya.
Simpang empat sepi. Dan ketika Pardi memelankan motor. Ia ingin istirahat sebentar. Tapi tiba-tiba dari balik deretan pohon muncul empat orang memakai tutup muka.
“Berhenti! Lepaskan motor kalian atau kalian bergelimpangan di tempat ini!” bentak satu seorang di antaranya menggerak-gerakkan senjata pedangnya.
Bulan tanggal tua masih bertengger di langit. Dingin dan sepi. Anak sulung Pardi juga menghentikan motor. Ada ada saja gangguan menuju sungkem, gerutu Pardi dalam hati.
Pardi mengurai sabuk kulit dari perutnya. Sabuk itu panjang dan kepala sabuknya dari logam berat. Anak sulung Pardi juga berbuat sama. Pardi berbisik kepada isterinya agar menjaga dua anaknya. Amri dan Maryam yang untungnya tidak rewel. Isteri Pardi yang orang Sunda dan sebenarnya pandai pencak silat itu diam. Dia percaya pada suami yang dulu di desa asal perempuan itu pernah memenangkan sayembara pencak silat untuk mendapatkan dirinya sebagai isteri. Dia memeluk dua anaknya, tetapi matanya tetap waspada.
“Mas, kami ini mau sungkem. Tolong kami jangan diganggu,” kata Pardi mantap.
Empat orang itu tertawa. Semua memegang pedang.
“Tadi mendengar suara motormu, kami tahu motormu ini masih baru. Kalian tidak akan kami ganggu kalau mau menyerahkan dua motor ini.”
Pardi memegang ikat pinggangnya dari ujung ke ujung.
“Kalian pasti bukan orang desa ini dan belum mengenal aku dan anakku.”
“Siapa kau dan anakmu?”
“Aku Pardi Kentos! Dan ini anakku yang kudidik dengan pencak aliran Mbah Wongso desa Tunggak Jati.”
Mereka berempat kaget. Agak gentar. Nama-nama yang disebut Pardi cukup dikenal di daerah itu. Untuk menutupi kegentaran hati ada yang mencoba mengertak.
“Kami tidak peduli kau Pardi Kentos atau Pardi Mrongos. Aku Joko Timblis. Jagoan dari desa timur sana.”
Tanpa berkomentar lagi Pardi langsung menyerang lebih dahulu. Ia tahu siapa Joko Timblis. Dulu memang ditakuti anak-anak muda sebaya. Pardi melecutkan ikat pinggang berkepala besi ke dua arah dengan gerak sendal pancing. Keduanya mengarah ke pergelangan tangan lawan. Anak Pardi juga langsung menyerang dengan menggunakan jurus sendal pancing pula. Terdengar tiga teriakan dan sebuah makian. Dalam sekali gebrak pergelangan tiga anak buah JokoTimblis sudah kena hajar kepala ikat pinggang itu. Pedang mereka terlepas dan pergelangan tangan luka tidak bisa dipergunakan lagi untuk memegang pedang. Joko Timblis berhasil menangkis serangan Pardi. Ia mencoba membalas menyerang tetapi dengan cepat Pardi meliukkan tubuh lalu kembali menyerang dengan jurus sendal pancing ke arah siku dan lutut Joko bergantian. Joko sempat menghindari serang pada siku tetapi sesaat kemudian lututnya kena hajar besi kepala ikat pinggang itu. Ia memaki Pardi. Tidak bisa menggerakkan lutut kanannya lagi.
“Joko, kamu masih ingin mengganggu kami?” teriak Pardi.
Melihat kelompoknya sudah terluka, Joko menggeleng. Ia tidak berani melempar pedang menyerang Pardi, sebab ia tahu betul kalau dengan sekali pukul kepala ikat pinggang, pedang itu kontan bisa berbalik arah menyerang pemiliknya sendiri.
“Hei, jawab. Kalian masih mau mengganggu atau membiarkan kami lewat?”
“Silakan lewat, Mas,” kata Joko terbata-bata.
Pardi dan anak sulung menghidupkan motor. Melaju menuju desa kelahiran. Waktu itu dari arah masjid desa terdengar suara adzan awal menandakan dimulainya makan sahur.
Orangtua Pardi dan saudaranya yang sudah mudik duluan kaget melihat Pardi dan anak-anaknya mudik naik motor. Mereka bersalaman dan berpelukan.
“Aman to Le neng ndalan?” tanya ayah Pardi.
“Alhamdulillah, aman Pak,” jawab Pardi.
“Baik ayo-ayo semua segera sekalian makan sahur. Ayo-cucuku semua,” ajak ibu Pardi.
Anak sulung Pardi makan sahurnya banyak sekali. Demikian juga anak kedua dan ketiga, Pardi dan isterinya. Sayur lodeh pegunungan yang terkenal pedas sudah tiga tahun mereka rindukan. Apalagi tempe gorengnya kering, agak asin, bisa mengurangi rasa pedas itu.
“Hari Raya masih beberapa hari lagi. Jadi sungkemnya jangan sekarang ya,” kata ayah Pardi melucu, “Uang jajan untuk cucu juga tidak sekarang.” Pardi tersenyum isterinya juga tersenyum.

Yogyaakrta 2017

Tarian Ruh


Cerpen Daruz Armedian (Kedaulatan Rakyat, 11 Juni 2017)
Tarian Ruh ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Tarian Ruh ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
SORE ini, dalam keadaan telentang, Parman melihat ruhnya menari-nari. Tepat di dadanyalah ruh itu berpijak, kadang menjinjit, kadang melompat. Tangan dan tubuhnya meliuk-liuk seperti karet. Begitu lentur, begitu luhur. Dada Parman serupa panggung yang luas. Sehingga ruh itu dapat menari dengan bebas.
Sebagai lelaki yang suka menyawer, memberi uang kepada sinden sambil menari, Parman ingin sekali mengikuti tarian ruh itu. Tetapi, ia merasa tangannya kaku, tubuhnya kaku, kakinya juga kaku, seperti kena kutukan menjadi batu.
“Sialan! Apa yang terjadi dengan tubuhku?” ia memaki-maki, entah ditujukan pada siapa, tak ada yang tahu. Mungkin pada dirinya sendiri.
Sedangkan ruh itu, tariannya makin menjadi-jadi. Jingkrak-jingkrak tanpa dosa. Namun tak seberapa lama kemudian, ia berhenti. Terdiam. Terbengong. Matanya memandang tubuh Parman yang kaku seperti tugu. Lalu, ada beberapa patah kata keluar dari mulutnya, seperti menyepah tebu yang manisnya sudah tak ada.
“Kenapa bisa begitu, Parman? Kenapa kau tak bisa berbuat apa-apa? Mana kemahiranmu menari bersama sinden-sinden ayu yang kau agung-agungkan itu? Mana tanganmu yang pandai meliuk-liuk itu?”
Sesungguhnya, Parman ingin sekali membalas perkataan ruhnya, dengan dicampur maki-makian, tentu saja. Atau bahkan tanpa perlu membalas perkataan, ia langsung meloncat dan menari sebagaimana biasanya, untuk membuktikan kalau dirinyalah yang pantas menari. Tetapi, ia sadar, sungguh-sungguh sadar, sambil mengumpat, bahwa dirinya tidak bisa apa-apa untuk saat ini.
“Keparat. Tubuhku hari ini lebih buruk dari sekadar bangkai.” Itu adalah perkataan Parman dalam hati. Dan tentu saja tak akan pernah keluar menjadi suara yang kemudian meluncur ke telinga ruhnya.
Masa bodoh. Akhirnya, ruh itu kembali menari, tanpa lawan, tanpa kawan. Ia sendirian, merasa bahagia, bebas dari segala. Telanjang dan tanpa apa pun yang mengekang.
“Aku bebas dari penjara!” teriaknya.
***
Padma melangkahkan kakinya yang mungil ke arah pintu rumahnya. Bocah perempuan itu baru saja pulang dari bermain. Ia masuk rumah dan tidak menemui siapa-siapa di ruang tamu. Ia memanggil-manggil bapaknya. Tetapi, tidak seperti biasa, panggilan bocah itu tak ada balasannya.
Ia mencari-cari di dapur, barangkali bapaknya tengah menyeduh kopi. Ya, semenjak istrinya pergi, bapak bocah itu sering di dapur. Memasak apa saja yang bisa dimasak. Termasuk memasak air, membuat susu untuk anaknya, membuat kopi untuk dirinya sendiri. Juga, bapak bocah itu jarang sekali ke luar rumah kalau malam tiba. Tidak seperti dulu ketika istrinya masih ada. Terutama, masih ada di sisinya.
Dan betapa kagetnya bocah itu ketika melihat bapaknya terbelalak matanya, tubuhnya seperti dirantai, tidak bisa bergerak sama sekali. Seseorang yang menginjak-injak tubuh bapaknya itu segera pergi. Meskipun ia tahu, bocah itu tidak mungkin bisa melihatnya.
“Bapaaaaak!” jerit bocah itu. Tetapi, siapa yang merespons jeritnya? Tidak ada. Rumahnya jauh dari perkampungan. Jauh dari tetangga. Mungkin, mungkin saja, cicak, kecoak, laba-laba, tikus, dan hewan lain-lainnya, sebenarnya merespons. Cuma, bahasa mereka kan tidak sama. Jadi, seolah-olah jerit itu tidak ada tanggapan sama sekali.
Bocah perempuan itu menghambur ke arah bapaknya. Tangannya mengguncang-guncangkan tubuh lelaki itu.
“Bapaaaaak!” jeritnya lagi. Kemudian ia menangis. Ah, bocah kecil tidak akan pernah tahu bahwa menangis tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
***
Patmi masih terus menari. Tangannya meliuk-liuk mengikuti irama gamelan. Suaranya, kian malam kian melengking, seperti suara anjing yang kesepian. Para lelaki ikut menari, sambil sesekali minum tuak. Tuak yang sudah seperti air biasa. Dan memang, di kota itu, tuak adalah minuman sehari-hari.
Ini adalah malam pertamanya menjadi sinden. Tentu, hal ini ia lakukan karena sebuah dendam. Betapa suaminya menjadi lelaki yang tidak berguna semenjak tahu bahwa dada perempuan lain lebih menggoda. Terutama dada sinden yang menari, meliuk-liuk.
Sebagai sinden yang baru di Tuban, Patmi melayani siapa pun yang ikut menari. Terlebih bagi mereka yang kaya raya. Sebab, itu adalah hal paling penting bagi kehidupannya.
Kini, ketika malam mulai larut, dan mata Patmi sudah semakin ngantuk, tiba-tiba seorang lelaki berkumis tebal naik ke atas panggung yang tidak terlalu tinggi itu. Tentu saja, lelaki itu pasti ingin menyawer. Sebab, di tangannya sudah tergenggam uang yang entah berapa jumlahnya, tidak ada yang tahu.
Dan memang benar, lelaki itu menyawer. Menyelipkan beberapa uang ke dada Patmi. Patmi, yang ngantuk itu, bersyukur sekali. Sebab, uang yang diselipkan lebih banyak dari biasanya. Tetapi, lama-kelamaan ia menyadari. Ada sesuatu yang aneh, pikirnya.
Patmi merasa bahwa senyum lelaki itu mirip dengan senyum suaminya. Gaya mengedipkan matanya juga sama, terlebih ketika batuk sambil berdehem, dan terlebih lagi ketika lelaki itu meliukkan tangannya.
Di tengah-tengah alunan gamelan, Patmi merasa perlu mendekatkan mulutnya ke telinga lelaki itu untuk melemparkan sebuah pertanyaan:
“Siapa kau?”
Lelaki itu tersenyum. Tetapi lama-lama menyeringai. Giginya bertaring seperti drakula.
“Yang jelas aku bukan suamimu.” Kata lelaki itu sambil dengan cepat menggigit leher Patmi.
Patmi berteriak kesakitan. Darah mengucur. Tak lama kemudian, ruh Patmi terbang sambil berteriak “Aku bebas!”. Kemudian menari. Seperti ruh-ruh yang lain menari merayakan kebebasannya. Bebas dari belenggu jasad yang kotor dan jahat. q-e

Daruz Armedian, lahir di Tuban. Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, alumni kampus fiksi 20.

Gerombolan Kupu-Kupu

Cerpen Dody Wardy Manalu (Republika, 18 Juni 2017)
Gerombolan Kupu-Kupu ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Gerombolan Kupu-Kupu ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Mardi duduk termangu di kursi makan, menatap lurus ke tudung saji di hadapannya. Ia menerka-nerka makanan apa yang dimasak istrinya pagi ini. Tangannya mengangkat tudung saji dan menemukan sepiring tempe tanpa sambal dan sayur daun ubi rebus. Mardi mengembuskan napas kuat. Raut wajahnya menunjukkan rasa tidak suka pada hidangan di atas meja.
Menu itu lagi. Hampir sepekan menu tidak pernah ganti. Lidahnya sudah bosan dengan rasa tempe bau tengik dan daun ubi yang terasa pahit. Namun, ia memaksa diri menyantap sarapan seadanya itu. Ia harus punya cukup tenaga untuk bekerja satu hari penuh di kebun Pak Liam. Bersyukur pemilik kebun sawit terluas di kampung meminta dirinya ikut bekerja mengambil buah dan pelepah.
“Aku tahu kamu bosan makan menu yang itu-itu saja.”
Kendari, istrinya, muncul di mulut pintu dapur tengah menyusui salah seorang bayi kembar mereka. Wajahnya tampak letih. Kantong mata dilingkari noda hitam. Urat-urat lehernya menonjol. Memberi asi untuk kedua bayi sekaligus membuat ia kurus kering seperti induk serigala kelaparan.
“Tempe makanan kesukaanku.”
Mardi menyuapkan nasi ke mulut beberapa kali, seakan ia makan dengan lahap. Tak seharusnya ia pilih-pilih makanan. Mardi bukan pemuda lajang lagi yang bisa bermanja-manja. Ia juga bukan sedang di rumah orang tuanya yang dipenuhi berbagai jenis makanan.
Ibu dan kakak perempuannya sangat pintar memasak.
“Kamu ingin sekali makan bubur kacang ijo, bukan?”
Mardi menghentikan makannya, menatap Kendari yang masih berdiri di mulut pintu. Dari mana istrinya tahu hal itu?
“Tadi malam kamu mengigau menyebutkan bubur kacang ijo. Ingin sekali memasaknya untukmu. Tapi uang kita sudah habis membayar utang di kedai Pak Matondang.”
Seketika pipi Kendari berbalur air mata. Buru-buru Mardi menghampiri dan menarik tubuh Kendari dalam dekapan.
“Jangan menangis, ini bukan salahmu. Memberiku dua buah hati sekaligus telah membuatku menjadi ayah paling bahagia sedunia.”
Mardi mengusap rambut istrinya. Tanpa sadar ia juga menangis. Andai menuruti perkataan orang tuanya, mungkin hidupnya tidak seburuk ini. Dulu, kedua orang tuanya mati-matian membujuk Mardi agar sekolah. Namun, kupingnya seakan tuli dan hati mengeras bagai batu. Satu pun perkataan orang tuanya tidak ia dengar. Judi dan minuman keras lebih memikat hatinya. Kini, sesal hadir saat merasa kesusahan mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
***
Mardi mengajak Kendari duduk di kursi makan, berharap bisa melupakan beban hidup yang tengah mengimpit.
“Kamu belum sarapan, kan?”
Mardi menyendok nasi, sayur, dan dua potong tempe ke dalam piring, lalu menggesernya ke hadapan Kendari. Akhirnya, mereka sarapan bersama.
“Aku tidak ingat kalau tadi malam mengigau tentang bubur kacang ijo. Justru aku teringat pada mimpiku yang lain.”
“Mimpi apa?”
“Mungkin ini mimpi buruk. Aku bermimpi menjelma menjadi segerombol kupu-kupu.” Mardi meneruskan makannya.
“Menurutku itu bukan mimpi buruk. Aku sangat suka melihat kupu-kupu.”
Kendari sudah lupa kalau beberapa menit lalu baru saja menangis.
“Jika aku berubah menjadi kupu-kupu, itu artinya kita tidak bisa lagi hidup bersama. Mana ada perempuan bersuamikan kupu-kupu.” Mardi cemberut. Kendari tersenyum manja.
“Kata orang, bermimpi menjelma jadi kupu-kupu bertanda panjang umur,” hibur Kendari. Ia hanya bicara asal.
“Aku tidak mau menjadi kupu-kupu. Aku ingin selalu bersama si kembar dan kamu.” Mata Mardi mengisyaratkan ketakutan, seakan mimpi itu benar akan menjadi kenyataan.
“Jangan memandangku seperti itu. Mimpi hanya bunga tidur. Tidak akan terjadi. Percayalah!”
Kendari menyadari raut ketakutan di wajah suaminya. Ia bangkit mengambil topi kerja yang tergantung di dinding dapur. Topi itu dipakaikan ke kepala Mardi. Juga tas kerja yang berisi kotak nasi untuk bekal makan siang. Kendari telah menyiapkan semuanya. Setelah Mardi selesai sarapan, Kendari mengantarnya ke pintu depan.
“Cepatlah pulang, aku akan memasak bubur kacang ijo buatmu.”
Mardi urung memakai sepatu botnya.
“Kamu bilang uang kita sudah habis.”
Kendari gugup tak tahu harus berkata apa.
“Jangan meminta uang dari ibu lagi hanya karena semangkok bubur. Itu akan merendahkan harga diri suamimu ini. Walau aku anaknya, tapi kehidupan kita sudah berbeda,” lanjut Mardi.
“Aku lupa, ternyata kita masih punya uang yang kuselipkan di lipatan kain. Aku rasa cukup untuk membeli kacang ijo, beras pulut, gula, dan kelapa.”
“Aku pergi dulu.” Mardi mencium kening anaknya yang berada dalam gendongan. Begitu Mardi sudah jauh di ujung jalan, cepat-cepat Kendari masuk rumah. Dibuka lemari pakaian. Kain jarik yang masih baru ditarik dari antara lipatan. Kain jarik itu hadiah dari ibunya ketika ia dan Mardi menikah setahun lalu.
***
Kacang ijo, beras pulut, gula aren, daun pandan, dan kelapa tergeletak di atas meja. Kendari memandanginya dengan mata berkaca-kaca. Ia telah berbohong. Mereka tak punya uang sepeser pun. Untuk mewujudkan makanan kesukaan Mardi, terpaksa menjual kain jarik pemberian ibunya.
Kedua anaknya telah terlelap beberapa menit lalu. Ia mulai sibuk melakukan pekerjaan di dapur. Setelah kacang direbus, ia memarut kelapa dan mengiris gula aren. Terbayang bagaimana reaksi Mardi saat pulang nanti menemukan semangkok bubur kacang ijo di meja makan beraroma daun pandan.
Kendari sangat menyukai bola mata Mardi. Bola matanya akan mengerjap-ngerjap bila sedang gembira. Tatapan yang memancarkan ketulusan membuat Kendari ingin selalu memeluk tubuh suaminya. Kendari tersenyum mengingat tingkah lucu Mardi. Dua bulan lalu, Kendari masak kolak. Rasa letih hilang seketika saat Mardi disuguhi sepiring kolak sehabis kerja. Mulut Mardi menggelembung dipenuhi kolak, sesekali menyodorkan satu sendok buat Kendari. Mereka tertawa-tawa. Ruang dapur menjadi hangat oleh cinta.
Di waktu yang sama di tempat berbeda, Mardi bareng temannya sedang memanen sawit dan mengambil pelepah yang telah masak. Pohon sawit yang menjulang tinggi mengharuskan para pekerja menggunakan egrek bertangkai panjang untuk mengambil buah dan pelepah.
Walau Mardi bertubuh kecil, ia sangat lihai memainkan egrek. Dalam sekejap buah yang berukuran besar jatuh menghantam bumi. Mardi menggantungkan nasib pada setiap buah yang ia panen. Gaji hari ini akan ia gunakan membeli susu buat kedua bayinya. Kasihan Kendari, asi miliknya tidak cukup untuk kedua bayi mereka.
“Mari istirahat sebentar, nanti kita lanjutkan kembali,” teriak teman sekerjanya.
“Aku akan menyusul setelah mengambil buah sawit di pinggir jalan itu,”
sahut Mardi sembari memikul egrek yang tangkainya meliuk-liuk di atas bahu.
***
Bubur kacang ijo telah masak. Kendari menyendoknya ke dalam tiga mangkok. Mangkok pertama buat Mardi. Mangkok kedua untuk dirinya sendiri. Sedangkan mangkok ketiga buat mertuanya. Bubur itu akan ia antar ke rumah mertua yang jaraknya tidak terlalu jauh. Kendari berdiri menghadap meja makan. Ia tersenyum puas memandangi ketiga mangkok berisi bubur. Tugasnya telah selesai. Tinggal menunggu Mardi pulang dan bagaimana reaksinya ketika melihat bubur itu.
“Tolong buka pintunya…,” sebuah teriakan disusul ketukan keras membuat Kendari terhenyak. Ia beranjak menuju pintu depan, terkejut melihat wajah panik seseorang begitu pintu dibuka.
“Ada perlu apa?”
“Mardi suaminya ibu…,” ucapnya tersendat. Wajahnya panik.
“Ada apa dengan suamiku?”
“Ia tersengat arus listrik. Egrek miliknya jatuh mengenai kabel.”
“Jangan bercanda. Ini sungguh tidak lucu.”
Hal-hal buruk langsung berkelebat di kepala Kendari.
“Aku tidak bercanda. Ini serius.”
Dunia seketika menyempit dan Kendari merasa terimpit di tengah-tengah. Ia langsung menghambur ke halaman, berlari sekuat tenaga menuju kebun sawit di mana suaminya bekerja. Orang-orang memadati tempat kejadian. Kabar itu begitu cepat tersebar ke seluruh warga. Kendari menerobos keramaian. Tangisnya meledak begitu melihat suaminya terkulai tak berdaya. Mardi dimasukkan ke dalam lumpur untuk menghilangkan arus listrik dari tubuhnya. Kendari berteriak memanggil nama suaminya seperti orang kesurupan. Beberapa warga berusaha menenangkannya.
“Tenangkan hatimu. Suamimu hanya pingsan.”
Kendari tidak percaya. Semua itu hanya kata-kata penghiburan. Ia melihat sendiri bagaimana keadaan Mardi. Bibirnya telah pucat. Tubuhnya tak bergerak sedikit pun. Tiba-tiba seekor kupu-kupu terbang di atas kepalanya. Kendari teringat akan mimpi itu.
“Aku tidak ingin melihatmu menjadi kupu-kupu…”
Kendari terdiam bagai patung, tak sanggup membayangkan bila esok akan menjalani hari tanpa suami.
***
Tubuh Mardi telah dimandikan. Ia terbujur kaku di atas tempat tidur. Sanak famili berkeliling menangisi jasadnya. Kendari menghampiri, tangannya memegang sebuah mangkok.
“Aku telah memasak bubur kacang ijo kesukaanmu. Bangun, mari kita cicipi bersama.”
Kendari menangis di samping tubuh suaminya. Bubur dalam mangkok telah dingin.
Sedingin perasaannya. Kendari harus belajar ikhlas menerima kenyataan. Mulai besok, tak ada lagi sosok yang membuat meja makan menjadi ramai.
“Bangun. Mari kita makan buburnya,” ujar Kendari sekali lagi.
Seekor kupu-kupu masuk melalui jendela, terbang di atas kepala Kendari. Kupu-kupu lain menerobos masuk hingga berjumlah ratusan ekor. Kupu-kupu itu terbang bergerombol membentuk bulatan di udara. Tak disangka-sangka, kupu-kupu itu hinggap di pinggir mangkok berisi bubur yang ada di hadapan Kendari. Seorang kerabat hendak mengusir kupu-kupu itu. Kendari melarang.
“Jangan diusir. Kupu-kupu itu adalah Mardi. Ia sangat menyukai bubur kacang ijo.” Orang yang datang melayat mengira Kendari telah gila.

DODY WARDY MANALU Tinggal di Kecamatan Sosorgadong, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.

Jantung yang Mengikuti

Cerpen Ida Fitri (Republika, 11 Juni 2017)

Jantung yang Mengikut ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Jantung yang Mengikut ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Semenjak daging sekepal tangan kiri mengikuti Putroe Bunsu, ia merasa tidak bebas seperti dulu lagi. Ia menjadi sangat malas pergi mandi ke perigi yang jaraknya hanya empat meter dari dapur, sebagaimana rumah lain di kampung yang masih memisahkan sumur dengan bagian utama rumah. Belakangan Putroe Bunsu juga mulai malas menanak nasi. Benda sebesar gumpalan tangan kiri itu selalu berdenyut seperti ingin mengatakan sesuatu. Sayangnya tidak ditakdirkan memiliki mulut. Tak dipedulikannya lagi kemarahan Lah Banta yang kelaparan saat pulang dari ladang.
Pernah sekali waktu, Putroe Bunsu menceritakan perihal jantung yang mengikutinya pada sang suami. Ia malah diajak ke orang pintar bersurban putih untuk diobati dengan mencipratkan air jeruk dan wewangiyan tujuh rupa ke kepalanya. Menurut pria bersurban itu, Putroe Bunsu telah kena kutuk raja selatan dari Gunung Geurudong. Ia harus mandi di tujuh perigi berbeda. Setelah melakukan ritual aneh dengan menumpang mandi pada tujuh rumah tetangga si orang pintar, Putroe Bunsu pulang bersama Lah Banta dengan perasaan gembira.
Begitu membuka pintu rumah, benda segumpal tangan kiri itu sudah menantinya. Detak benda tersebut semakin cepat dan seperti ingin pecah saja. Kali ini Lah Banta juga bisa melihat benda tersebut. Ia mundur beberapa langkah, mengambil sebatang tukai yang diletakkan di samping rumah. Kayu bulat sebesar pergelangan kaki dengan panjang satu meter lebih yang ujung bawahnya diruncingkan itu siap ia pukul ke benda merah yang terus berdetak.
Tukai itu berhenti begitu saja di udara. Lah Banta merasakan seribu jarum kesedihan menusuk hati. Tukai yang biasanya digunakan untuk melubangi tanah saat menabur benih palawija ia letakkan begitu saja di depan pintu.
Putroe Bunsu menatap heran kepada suaminya yang terduduk lemah di depan sebuah jantung yang menyambut mereka di balik pintu.
“Ada apa gerangan, Suamiku?”
“Tiba-tiba aku teringat Kamal, putra kita,” air mata jatuh berlinang di wajah lelaki berkumis itu.
Jarum yang sama kembali menusuk ulu hati Putroe Bunsu. Sudah setahun Kamal menghilang tidak diketahui rimbanya. Terakhir kali ia melihat anaknya saat matahari sore kemerah-merahan. Ia sempat memarahi anak itu karena belum memasukkan kambing ke kandang. Kamal pergi untuk mengambil kambing yang digembalakan pada tanah kosong tidak jauh dari rumah mereka. Karena hari sudah magrib dan Kamal tidak kunjung membawa pulang kambing-kambing mereka, Putroe Bunsu menyusulnya sambil memaki-maki. Tapi di sana hanya ada kambing-kambing yang mulai menangis karena tak kunjung dikandangi dan diberi minum. Sambil memaki-maki juga, Putroe Bunsu membawa pulang kambing-kambing itu. Ia berpikir sang anak telah mengkhianatinya dengan pergi bermain bola ke lapangan di samping sekolah SD yang ada di kampung mereka.
Setelah semalaman Kamal tak kunjung pulang, kecemasan mulai menggelayuti rumah itu. Menurut Lem Seuhak, yang rumahnya berdampingan dengan tanah kosong tempat Kamal mengembalikan kambing, seorang lelaki bersepatu mengilap menaikkan bocah itu ke dalam mobil berkaca gelap yang diparkir di jalan dekat tanah kosong. Keberadaan lelaki itu menjadi misteri yang tak terpecahkan, bahkan setelah kasus tersebut dilaporkan ke kantor polisi.
Kamal tak pernah pulang seperti lenyap dibawa pergi warna merah yang merona di sore hari. Senja telah menculik Kamal, seperti senja yang kerap mengganggu bayi- bayi dan ibu hamil. Menurut orang tua, putra jin sangat suka berkeliaran mencari mangsa di sore hari. Sebagian dari orang kampung mulai menganggap lelaki bersepatu mengilap itu merupakan putra jin yang iseng menampakkan diri pada Lem Seuhak.
Kita lupakan sejenak Kamal dan penculiknya, kita kembali ke depan pintu rumah Putroe Bunsu. Jantung itu bewarna merah, meletup-letup semakin cepat. Sebuah suara yang sangat jauh keluar dari benda tersebut.
“Mak, tolong aku. Ayah, tolong anakmu ini.”
Lah Banta dan Putroe Bunsu saling bersitatap, kecemasan terpahat jelas di wajah keduanya. Suara itu sangat mereka kenal.
“Kamal, Anakku. Di mana kau berada? Beri kami petunjuk, Anakku,” Putroe Bunsu mulai menangis.
Hening tak ada jawaban. Kemudian terdengar suara tertawaan dari jauh. Itu suara Kamal anak mereka. Jika ia bisa sebahagia itu, mengapa tadi meminta tolong?
“Cukup! Persetan dengan semua ini. Aku harus bekerja, kita butuh makan.”
Bentakan Lah Banta membuat keadaan menjadi hening. Lelaki itu berbalik meninggalkan sang istri yang masih menangis. Ia mengambil motor yang tadi diletakkan di samping rumah. Keanehan istrinya dan perihal sebongkah daging merah yang menunggunya di pintu telah membuatnya cukup pusing.
Ia membawa motornya melewati lahan kosong, rumah Lem Seuhak, dan terus melewati beberapa rumah panggung, tanah pekuburan, dan sekolah dasar. Ia menghentikan motor tuanya di depan warung kopi. Beberapa lelaki sedang berbincang sambil menikmati kopi. Yang lainnya mengembuskan asap rokok dari bibir hitam mereka.
“Jadi benar kiranya kabar itu? Ada sindikat penculik anak yang beroperasi di desa-desa?” seorang lelaki paruh baya mempertanyakan apa yang baru diceritakan pria yang lebih muda yang duduk di depannya sambil menaikkan kaki ke kursi yang terbuat dari kayu.
Sementara di meja kayu yang berada di depan mereka hanya terdapat gelas-gelas kopi, sebuah asbak, dan sepiring sirih.
“Sepertinya kita harus mulai mengantar-jemput anak-anak kita ke sekolah,”
ujar lelaki lain yang berada di sebelahnya. Lah Banta mengambil-menarik kursi kosong yang berada di samping lelaki itu untuk duduk.
“Kudengar, seorang pemuda mencurigakan sudah ditangkap warga di desa tetangga,” sambung lelaki yang pertama kali membuka pembicaraan perihal penculikan anak-anak
“Bagaimana kabar anakmu, Lah Banta?” Suara lelaki yang berada di seberang meja membuat lelaki itu menurunkan lengannya yang hendak memanggil penjaga warung untuk memesan secangkir kopi pahit.
“Entahlah,” jawabnya singkat terkesan tak bersemangat. “Kopi satu,” ujarnya pada penjaga warung kemudian.
***
Tetesan bening luruh sudah di ujung mata Putroe Bunsu. Suaminya sudah tak mau peduli perihal jantung yang terus saja mengikutinya. Ia ingat Kamal putra mereka, Kamal yang hilang tak tahu rimbanya. Anehnya jantung yang berdenyut itu semakin sering mengeluarkan suara tertawa yang riang gembira. Seakan menertawakan kesialan nasib Puroe Bunsu yang kehilangan anak itu.
Pada suatu sore, kala senja hendak menjelang, jantung itu seperti memerintahkan Putroe Bunsu untuk mengikutinya masuk ke kamar Kamal. Buku-buku pelajaran anak itu tersusun rapi di atas meja kayu yang diletakkan di sudut kiri. Putroe Bunsu menghempaskan pantatnya di atas tempat tidur. Dan sebuah pintu terbuka di dalam kepalanya.
“Bu, kepala bandeng itu untukku, ya.”
“Jangan. Kepala ikan milik bapakmu.” Anak-anak tidak boleh makan ikan banyak-banyak, bisa cacingan.” Kamal menarik kembali tangan kanannya yang tadi sudah terjulur di udara untuk mengambil kepala ikan masak merah di tengah meja.
Putroe Bunsu merasakan ujung hatinya tersayat ….
“Dasar anak tak tahu diuntung. Disuruh cuci piring saja tak becus. Kau pecahkan gelas minum bapakmu,” ujar Putroe Bunsu seraya memukul betis anaknya dengan rotan berbelah delapan.
“Ampun, Bu. Aku tak sengaja,” Kamal berusaha membela diri, tapi rotan terus saja menghajar betis kecil yang memelas itu.
Bagian lain dari hati Putroe Bunsu seperti disayat sembilu ….
“Apa? Kau menghilangkan kambing jantan berbulu putih itu?” Putroe Bunsu yang waktu itu sedang memegang pelepah bunga kelapa langsung memukul Kamal dengan benda tersebut. Sebentar lagi Touke Mat Nasit akan mengambil kambing itu.
Anak kecil itu menangis memohon ampun. Lagi bagian lain dari hati Putroe Bunsu seperti diiris-iris pisau dapur ….
Suara tertawaan sebongkah jantung yang kini tepat berada di depannya menyadarkan perempuan itu dari lamunan masa lalunya. “Ibu puas sekarang? Sebuah suara yang begitu ia kenal keluar dari dalam jantung.” Putroe Bunsu terkejut bukan kepalang. Ia begitu mengenal suara itu.
“Kamal, Anakku? Katakan, Nak. Di mana kau berada saat ini.”
Lagi, terdengar suara tertawaan. “Kau tidak perlu mencariku lagi, Bu.”
“Jangan bilang begitu, Anakku. Maafkan ibu. Katakan siapa yang menculikmu.” Seorang lelaki bersepatu mengilap melintas di kepala perempuan itu.
“Dulu kupikir seseorang telah menculikku, Ibu. Dan …, ternyata aku salah.” Hening, hanya isakan Putroe Bunsu semakin lirih.
“Tidak ada yang menculikku, Ibu. Aku sendiri yang menculik diriku,” lanjut suara itu pelan.
Putroe Bunsu terkejut, memandang jantung yang detaknya semakin lemah itu dengan seribu sesal dalam dada. Denyut benda itu semakin lemah, kemudian berhenti sama sekali. Dan benda sekepal genggaman tangan kiri itu pun jatuh menghantam lantai kamar.

IDA FITRI lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang bekerja di Aceh Timur. Karyanya terbit di media nasional dan daerah. Buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul Air Mata Shakespeare. Salah satu kontributor Antologi Kopi 1.550 mdpl.

Hikayat Rumah Lanting

Cerpen Sandi Firly (Kompas, 18 Juni 2017)
Hikayat Rumah Lanting ilustrasi Reza Akil - Kompas
Hikayat Rumah Lanting ilustrasi Reza Akil/Kompas
“Kelak, apa yang aku kisahkan ini tinggal menjadi hikayat. Hikayat rumah lanting. Maka catatlah baik-baik setiap perkataan dan kisahku sebelum akhirnya nanti aku menutup mata, dan tak pernah lagi kulihat cahaya matahari pagi atau senja mengapung di sungai dari jendela ini.”
Kai Badar, yang usianya telah melampaui abad, mulai bercerita sembari berbaring di kasur lepek usang di samping jendela. Di luar, senja kuning mulai luruh. Aku menyiapkan buku catatan, dan meletakkan sebuah tape recorder di samping bahunya yang telanjang, kering, dan kurus. Meski sesekali diselingi batuk-batuk yang seolah keluar dari rongga dadanya yang tipis—sesungguhnya lebih mirip derit pintu yang engselnya tak pernah diberi minyak pelumas, ia bercerita cukup lancar, terkadang seolah memojokkanku walau kutahu ia tak bermaksud begitu. Entah karena batuk yang terasa menyayat, atau karena ia terharu, bulir bening mengembun di ujung matanya yang telah rabun.
Tak ada yang bisa aku lakukan untuk lelaki tua ini, selain hanya mendengarkan tutur dari mulutnya yang kosong tanpa gigi hingga menyerupai sebuah liang hitam—aku membayangkan suara-suara itu bukan berasal dari mulutnya, tapi lubuk jiwanya. Ia berkisah dengan seluruh semangat hidupnya yang masih tersisa, walau mungkin hanya tersisa sekecil nyala lilin yang bergeletar diembus angin. Ada nada marah, juga kecewa.
***
Sehari sebelumnya, Walikota Kota Air meninjau pembangunan siring beton yang telah berlangsung hampir tiga bulan. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang, bertopi koboi, berkacamata hitam, dan didampingi beberapa anak buahnya.
Dari sini, tempat kami berdiri yang juga sebagian tepi sungainya telah disiring, ia memandang ke seberang, persisnya ke sebuah rumah lanting yang tampak menyolok karena satu-satunya bangunan kayu yang masih tersisa. Sementara deretan kiri kanannya yang dulu berdiri beberapa rumah lanting dan bangunan tua peninggalan zaman Belanda berbahan kayu, semuanya telah digantikan beton berpagar etnik Kalimantan; ukiran buah nanas lambang kesuburan.
Jelas sekali mata Walikota terganggu dengan rumah lanting satu-satunya itu. Sambil berkacak pinggang dan mengembuskan asap rokok ia berucap, “Mengapa rumah lanting itu masih berdiri di sana?”
Kepala Satpol PP, anak buahnya yang ditanya, lelaki berbadan besar dan berkumis tebal itu seketika terlihat menciut—sejak itu aku tahu lelaki yang tampak perkasa ketika ciut ia seperti balon yang mendadak kempis kehabisan angin. “Maaf, Pak Wali, pemiliknya tetap ngotot mempertahankan rumah lantingnya, walau sudah kita bujuk berkali-kali,” jawabnya gugup sembari membungkuk dan merapatkan kedua tangan di antara kedua pahanya yang juga dirapatkan.
“Ah…,” desah Walikota. “Begitu saja kalian tidak bisa mengatasi. Kan sudah aku bilang tawarkan ganti rugi tinggi, kalau perlu dua kali lipat dari nilai rumah reyot itu.” Walikota mengembuskan asap rokoknya keras-keras, yang kemudian dibawa terbang angin tepi sungai yang berembus semilir. Jelas sekali Walikota tidak senang mendengar laporan anak buahnya tadi.
Masih terbata-bata Kepala Satpol PP yang kumis tebalnya mendadak seperti layu itu menjawab, “Sudah Pak Wali. Malah kai tua pemilik rumah lanting itu tidak mau dibayar berapa pun.”
“Halahhh…. Mana ada orang yang menolak kalau dikasih uang banyak-banyak. Berapa sih dia mau? Setengah miliar, satu miliar? Kasihkan saja!”
“Benar Pak Wali. Kai itu bilang, berapa miliar pun ia tidak mau terima.”
Walikota tercenung sejenak. Asap rokok berebutan keluar dari mulutnya. “Yang begini inilah seringkali menghambat pembangunan,” ucapnya pelan. “Tapi saya tidak mau tahu, rumah lanting itu tetap harus dibongkar. Bagaimana pun caranya,” tandasnya agak keras.
Walikota berbalik melengos, dan saat itulah ia seperti baru sadar kalau sejumlah wartawan sejak tadi mendengarkan pembicaraannya dari belakang.
“Oya, kalian wartawan, pembicaraan tadi tidak untuk diekspos, off the record ya…,” katanya tersenyum ramah. Juga kepadaku.
“Terus bagaimana Pak kalau kai itu tetap tidak mau pindah?” tanya seorang wartawan televisi, kamera yang dibawa temannya menyorot wajah Walikota.
Dengan memasang wajah manis dan seakan-akan bijak, Walikota berkata penuh wibawa. “Kita akan tetap melakukan pendekatan persuasif. Akan kita jelaskan bahwa pembangunan siring ini demi kemajuan dan keindahan kota kita juga, seperti kota-kota luar negeri yang pernah saya kunjungi, Venesia, Belanda, atau Shanghai,” jelasnya dengan nada bangga. “Namun yang jelas, rumah itu tetap harus dibongkar,” tandas Walikota, lantas memasuki mobil dinas hitamnya.
Sore hari itu juga, sebuah alat berat penghancur bangunan perlahan mendekati rumah lanting di tepi sungai. Orang-orang berdiri menyaksikan dari atas jembatan. Tak ada yang bersuara. Tegang. Sementara alat berat seperti kepiting raksasa berlengan satu itu perlahan berjalan siap meluluh-lantakkan.
Orang-orang mendadak menjerit tertahan ketika sekonyong-konyong keluar dari balik pintu rumah lanting itu seorang kai bertelanjang dada—hingga jelas terlihat tulang-tulang rusuknya berbalut kulit tipis, kering dan keriput. Ia berdiri persis di depan kepiting besi itu, hanya berjarak satu meter. “Kalau kalian tetap menghancurkan rumah ini tanpa berperikemanusiaan, maka kalian juga harus menguburkanku bersamanya!” teriak kai itu lantang, namun samar ditelan deru mesin alat berat dengan tangan panjang yang terulur siap mencengkeram atap rumah lanting yang terbuat dari daun rumbia.
“Teruskan…! Teruskan…!” Kepala Satpol PP berteriak kepada petugas di atas alat berat. Tampak sekali keraguan di wajah lelaki gemuk di belakang stir alat berat. Tangan kepiting raksasa itu tertahan di udara, hanya berjarak sejengkal dari atap rumah lanting itu. Suasana kian tegang.
“Waduh…, Pak. Ini tidak bisa diteruskan. Bisa-bisa saya malah membunuh kai itu!” sahutnya setengah berteriak. Keringat bercucuran membanjiri kepala dan wajahnya.
“Haaahhh…!” Kepala Satpol PP menggaruk-garuk kepalanya yang botak setelah melepaskan topi.
Akhirnya mesin alat berat dimatikan, dan lelaki gemuk itu turun, pergi menjauh sembari geleng-geleng kepala dan menghapus peluh di kepalanya yang plontos. Orang-orang bertepuk tangan serta bersorak seolah memberikan selamat kepada kai yang perlahan kemudian memasuki kembali rumah lantingnya. Sementara tangan alat berat masih menggantung di atasnya, begitu dekat.
Kerumunan di atas jembatan perlahan membubarkan diri, dengan senyum dan napas lega. Arus lalu lintas yang sempat macet di atas jembatan kembali lancar. Esok harinya, gambar seorang kai berdiri merentangkan kedua tangannya yang kurus di depan rumah lanting, berhadap-hadapan dengan alat berat yang terkesan seperti raksasa kelaparan, menghiasi halaman-halaman depan koran di Kota Air. Tak terkecuali juga koran tempatku bekerja.
Sebab itulah aku diminta mewawancarai kai itu untuk menanyakan lebih jauh mengapa ia begitu gigih mempertahankan rumah lantingnya di tengah pengerjaan proyek siring di tepi sungai yang membelah kota.
***
“Orang-orang muda sekarang tidak pandai menghargai sejarah. Seolah sejarah adalah masa lalu yang harus dilupakan karena kuno, usang, dan tidak menarik. Seperti rumah lanting ini, yang tersisa satu-satunya di sungai ini pun ingin dihancurkan, ditenggelamkan, dimusnahkan.
“Kalian tidak pernah membaca. Tidak pernah mempelajari orang-orang tua dahulu.”
“Kalian menganggap sebuah kota yang indah adalah bangunan-bangunan beton yang tinggi, baliho-baliho yang menutupi langit, tiang-tiang antena yang menembus awan, dan rumah-rumah seperti istana raja. Lalu makanan-makanan mewah yang disajikan di piring-piring kaca berukir, minuman-minuman sari buah di cangkir-cangkir bening, serta barang-barang luar negeri. Semuanya kalian nikmati sembari menyaksikan tayangan-tayangan televisi yang menyajikan wajah-wajah cantik yang melenakan. Kalian juga menghibur diri di ruang-ruang yang bergemuruh dan penuh lampu warna-warni, bernyanyi keras-keras di kamar sempit dengan diapit wanita-wanita yang juga berpakaian sempit. Kalian dengarkan ceramah motivator-motivator untuk memperkaya diri.”
“Sementara itu, kalian mulai menyingkirkan peninggalan-peninggalan orang tua dahulu. Kalian hanya memahami arti kekayaan dan keindahan materi saja. Tapi tidak pernah memahami keindahan jiwa, kehalusan budi pekerti. Semuanya hanya kalian nilai dengan uang, uang, dan uang.”
“Tahukah kalian, mengapa orang-orang zaman dulu membangun rumah-rumah lanting ini? Membangun rumah di sungai, di tepian? Karena sungai inilah nadi hidup, ia bisa mengarus lambat, namun juga suatu waktu menderas, deras, bergejolak, melimpah menggenangi jalan-jalan hingga banjir di mana-mana. Tapi kami orang-orang dulu tidak pernah mengalami banjir itu meski air meluap setinggi apa pun. Rumah lanting kami bersahabat dengan sungai, sungai meninggi rumah kami tetap di atas tak pernah tertelan air, kami berjalan di atas air dengan jukung-jukung dan kelotok, kami bertukar bahan makanan di atas sungai. Kami hidup bersama sungai.”
“Kini kalian mencoba membendung sungai dengan beton-beton. Lalu rumah lanting kalian lenyapkan atas nama pembangunan, berdalih demi keindahan kota. Sementara itu kalian korbankan sejarah, kalian lenyapkan kearifan orang-orang tua dulu.”
“Tidak bisakah kalian membangun tanpa harus mengusir kami dari tepian sungai tempat hidup kami? Sebegitu sulitkah yang kalian sebut modernisasi berdampingan dengan tradisi-tradisi lama, seperti rumah lanting ini?”
Dengan perasaan malu aku meninggalkan rumah lanting Kai Badar senja itu. Dan entah mengapa aku merasa telah gagal mewawancarainya, kecuali hanya mendengarkan keluh kesah bahkan mungkin serapah dari seorang tua yang kecewa dan putus asa.
***
Senja ini seperti senja terakhir yang dilihat Kai Badar ketika aku ke rumah lantingnya kemarin. Dari atas jembatan samping Pasar Lama Kota Air, aku menatap rumah lanting Kai Badar yang hening, sesekali terayun-ayun dihela ombak kelotok yang membelah sungai.
Kai Badar telah dikuburkan sebelum ashar tadi. Dari para pelayat dan pengantar jenazah yang mendengar cerita dari Galuh, cucunya, semalam batuk Kai Badar nyaris tak henti, tubuhnya yang terguncang tak saja menggetarkan ranjang kayunya, tapi juga seolah melenggangkan rumah lantingnya. Usai salat subuh, ia kembali berbaring. Setelah itu tak terdengar lagi suara batuk. Dan pagi ketika Galuh telah menyiapkan nasi kuning untuk sarapan, Kai Badar telah wafat—mulutnya yang kosong setengah terbuka, dan mata terpejam rapat.
Setelah kepergian Kai Badar, aku tahu tak ada lagi yang bisa menghalangi penghancuran rumah lanting itu. Sebuah alat berat, entah sejak kapan, terlihat telah parkir tak jauh dari sana—mungkin malam nanti akan digerakkan, dan serupa hantu akan melumat satu-satunya rumah lanting yang tersisa itu. Seketika terlintas ucapan Kai Badar, “Kelak, apa yang aku kisahkan ini tinggal menjadi hikayat. Hikayat rumah lanting….”
Aku berjalan gontai sambil menggulung koran yang memuat kisah Kai Badar dan rumah lantingnya. Aku merasa telah gagal membantunya mempertahankan rumah lanting itu, kecuali hanya sebuah hikayat.
***
“Itukah rumah lanting yang dulu pernah kamu ceritakan kepadaku?”
Aku tersenyum nanar. “Bukan. Itu Restoran Terapung milik pemerintah,” jawabku kepada Jeanny, teman dari Jakarta yang kukenal lewat jejaring sosial internet sejak setahun lalu. “Rumah lanting kini hanya menjadi hikayat,” ucapku lagi, pelan.
Jeanny sekilas menatap ke arahku, agak bingung, lalu kembali mengarahkan perhatiannya ke bangunan yang mirip rumah, agak panjang, berdiri di atas sebuah kapal besi tongkang karatan—bukan batang-batang kayu bulat tempat dulu rumah lanting Kai Badar mengapung persis di situ.

Catatan:
Kai = Kakek
Jukung = Sampan
Kelotok = Kapal kecil bermesin

Sandi Firly, lahir 16 Oktober 1975 di Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Seusai studi di FISIP-Komunikasi Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Banjarmasin, Kalimatan Selatan, pada 1999, bekerja sebagai wartawan.

Tamasya Kota Pernia

Cerpen Toni Lesmana (Kompas, 11 Juni 2017)
Tamasya Kota Pernia ilustrasi Komang Marna - Kompas
Tamasya Kota Pernia ilustrasi Komang Marna/Kompas
Aku sebenarnya tidak ingin membawamu setiap hari tamasya ke dunia ini. Tapi ke mana lagi. Tak ada tempat lain bagiku. Dongeng-dongeng indah yang menawan sudah habis dan kau menolak variasi apa pun, apalagi pengulangan. Ingatanmu kuat, hingga tak bisa kusiasati. Sejak tamat riwayat cerita-cerita, kau selalu saja mengajak bermain ke tempat-tempat baru. Kamar dan rumah tak pernah bisa membuatmu betah.
Setiap pagi, usai kau mandi, berpakaian, dan makan. Usai ibumu berdandan dan berangkat ke kantornya. Kau tahu, ibumu seorang pekerja keras dan pantang menyerah. Mirip denganmu, yang setiap pagi selalu punya cara untuk membujukku bermain ke tempat yang kau inginkan.
Mula-mula kau akan menarik-narik ujung celanaku, lalu mendaki kakiku, bernyanyi-nyanyi di pangkuanku, lancang menjambak rambut sambil memanjat ke pundak.
“Main lagi, main lagi. Orang-orang berkepala ayah! Orang-orang berkepala ayah!” bisikmu dengan irama yang jenaka.
“Tapi jangan bilang-bilang ibu.” Selalu begitu pintaku sebelum meluluskan permohonanmu. Kau akan mengangguk lucu, kau tahu anggukanmu itu adalah kunci untuk membuka pintu rahasia yang terletak di samping kepalaku.
Kau tetap di pundakku saat aku menunduk memasuki pintu, dan berjalan bebek sepanjang lorong. Dulu, pertama kuajak kau tamasya ke sini, tanganmu erat menjambak rambut. Tegang. Bisa kurasakan dari jepitan pahamu di leher serta gerak tumitmu yang menghantam-hantam dada.
Lorong ini tidak benar-benar panjang, hanya saja remang berliku dan menurun. Lantas meluncur. Nah, saat meluncur inilah keteganganmu mencair. Kau memekik riang. Tubuhmu mengentak-entak gembira. Pendar cahaya jamur yang bertebaran seperti sarang kunang-kunang mungkin membuatmu senang.
“Ayah, kita mau ke mana?” teriakmu saat itu.
“Tamasya.” Balasku ikut gembira.
“Ke mana?”
“Dunia bawah tanah.”
“Bukan tanah dongeng, kan?”
“Bukan!”
“Terus tanah mana, dong?”
“Tanah di dalam kepala ayah.”
Kau tertawa tergelak. Manis. Bernyanyi-nyanyi. Sementara aku meluncur semakin cepat, kemudian mendarat tepat di tengah sebuah kota. Aku memanggilnya Kota Pernia. Rumah-rumahnya bergoyang seperti ada per yang ditanam di fondasi-fondasinya. Begitu pula pohon-pohonnya, seakan-akan akarnya melingkar serupa pegas. Segalanya bergoyang seperti hendak berhamburan begitu saja. Jalanan, rumah-rumah, pohon, dan langit.
“Kenapa ada langit, Ayah? Lucu, langitnya seperti menari!” Kau bergulingan di atas jalanan yang bergerak seperti gelombang. Bulat matamu seperti meloncat saat terbaring memandang ke langit ungu.
“Apa saja ada di sini. Dan tak pernah sama dengan dunia di atas.” Jawabku sambil ikut terbaring. Bergulingan. Aku dan kamu terus bergerak dan bergoyang seperti juga Kota Pernia yang terus bergoyang dan bergerak. Hidup.
Kau begitu riang. Matamu takjub menatap setiap lekuk kota yang bergoyang. Berlari dan melompat-lompat. Menari berputar-putar.
“Kenapa kota ini terus menari, Ayah?” tawamu bertebaran. Kau berlari lagi mengejar tawa dan kata-kata yang beterbangan seperti capung, kupu-kupu, burung. Warna-warni. Di kota ini memang segala suara yang keluar dari mulut akan mewujud dan hidup.
“Karena ada lagu yang tak terdengar dan tak terlihat di sini. Seperti denyut jantung di tubuhmu.” Jawabku sambil menggenggam tanganmu. Dan mengajakmu berjalan sepanjang jalan yang bergoyang. Rumah-rumah yang hidup.
Tak pernah kulihat kegembiraan yang begitu indah dan memesona di rautmu. Wajahmu yang mirip wajah ibumu itu, memancarkan cahaya. Tatapmu bersinar di hadapan keajaiban.
“Ayah sejak kapan suka ke sini?”
“Sejak seusiamu.”
“Diajak kakek?”
“Tidak, sayang. Ayah berjalan sendiri.”
“Kok bisa?”
“Kan, ada dalam kepala ayah.”
“Ibu pernah diajak ke sini?”
“Tidak.”
“Kapan-kapan mesti diajak. Asyik. Ini ajaib.”
“Ssst, jangan pernah bilang ke ibu?”
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan.”
Kau terkikik digelitik kata-kata yang berseliweran, menyambar nakal dan centil. Kata dan tawa beterbangan, sebagian melesat memasuki pintu dan jendela yang terbuka, sebagian hinggap di pohon-pohon.
“Mereka bikin sarang!” Kau melonjak di hadapan liuk sebuah pohon sambil menunjuk kata-kata yang memungut daun dan menyusunnya di atas dahan.
Aku menarik lembut tubuhmu, bersembunyi ke belakang pohon. Berbisik agar kau melihat ke arah jalan dan rumah-rumah yang terus bergoyang.
Kata-kata, tawa, dan nyanyian masih beterbangan. Meliuk-liuk di udara.
“Lihat!” ucapku memberi aba-aba.
Kau tiba-tiba melotot dan membekap mulut sendiri. Terkejut dan takjub. Kakimu mengentak-entak riang. Seperti menemukan sesuatu yang tak pernah terbayangkan.
Kau terus melotot ke arah pintu-pintu dan jendela, di mana muncul orang-orang yang berjalan melompat-lompat. Orang-orang berhamburan dari setiap rumah, mengejar kata-kata yang terus mengepak nakal seperti ingin ditangkap. Orang-orang aneh. Sebagian lehernya begitu kecil dan panjang, hingga mirip benang, dan kepalanya mirip balon, melayang ringan di udara. Sebagian lagi menenteng kepalanya masing-masing, seperti menenteng kantong untuk tempat menyimpan hasil tangkapan.
Hewan-hewan berdatangan dari berbagai arah. Hewan-hewan dengan posisi kepala yang juga aneh. Kepala mereka bentuknya sama. Hewan apa pun kepalanya sama.
“Mereka menari, mereka menari!” kau memekik, lantas menangkap kembali kata-kata yang hendak terbang, digenggam dan dielus. Disembunyikan ke dalam kantong celananya. Seakan sayang jika mereka tertangkap orang-orang yang memenuhi dan menari di jalanan.
Kau menunduk dan mengajakku mengendap. Mendekati mereka.
“Kau takut?” tanyaku.
Kau menggeleng, “Mereka lucu! Apakah mereka jahat?”
“Tidak. Mereka hanya sunyi!”
“Apa itu?”
“Ya itu, tuh. Menari tanpa musik.”
Kau lagi-lagi tersenyum. Diam-diam meniru gerak mereka yang bergoyang dengan irama yang berbeda-beda. Ada yang lambat, ada pula yang cepat. Seakan-akan mereka mengikuti sebuah alunan musik, padahal di Kota Pernia yang ada hanya sunyi. Tak ada suara-suara terdengar.
Semakin dekat. Berlindung di sebuah tembok sebuah rumah. Kau menjulurkan kepala agar lebih jelas memandang. Kau tiba-tiba berbalik dan menoleh ke arahku. Aku khawatir aku akan menjerit, panik, dan histeris. Tapi kau, kau malah tergelak. Terpingkal-pingkal. Sampai terbungkuk-bungkuk.
Tawa berhamburan.
“Ada banyak Ayah di sana. Mereka semua adalah Ayah. Ini kota Ayah. Semuanya Ayah. Hewan-hewan juga berkepala Ayah.” Kau bersorak. Melompat ke arah pelukanku. Memeluk dan menciumi. Kemudian dengan penuh semangat menyeretku untuk berjalan ke arah mereka yang terus berburu kata.
Kupikir kau akan lekas mengajak pulang. Namun ternyata kau malah asyik menari-nari dengan mereka keliling kota. Sesekali kau sengaja bernyanyi, hingga nyanyian marak beterbangan di udara. Warna-warni. Sengaja agar mereka yang kepalanya persis dengan kepalaku itu berlarian mengejar dan memburu.
“Kenapa mereka tak bicara, Ayah?”
“Mereka tak punya kata-kata.”
“Oh, akan kuberi mereka kata-kataaa!”
“Jangan banyak-banyak nanti mereka rebutan terus berkelahi.”
“Tidak, dong, mereka baik, kok. Lucu dan kocak.”
“Kocak?”
“Ya. Kocak mirip Ayah. Kenapa mereka semuanya mirip Ayah.”
“Mereka memang Ayah, kok!”
“Dasar tukang ngarang. Kata ibu, pengarang itu suka ngibul.”
“Tapi senang, kan, di sini?”
“Senaaaang. Ayah punya rumah tidak di sini?”
“Kenapa memang?”
“Nanti kita berlibur di sini. Aku akan mendongeng buat mereka. Kasihan sekali, mereka kurang piknik.”
Untuk menghindari antusiasmu aku mengajakmu berkunjung ke setiap rumah. Rumah yang hidup, seperti mempunyai mata, hidung, mulut, dan telinga. Rumah yang bentuknya juga mirip kepalaku. Kau bermain dengan mereka tak puas-puas. Kau mendongeng berkeliling. Kata-kata tak habis-habis dari mulut mungilmu. Hingga selalu mesti kupaksa untuk pulang. Tentu saja, aku tak ingin kau masuk terperosok ke dalam lorong-lorong yang tersembunyi di banyak tempat di Kota Pernia. Lorong yang akan membawamu ke gua-gua paling kelam. Tempat-tempat yang kurahasiakan darimu. Selamanya.
Kau selalu terus berceloteh sepanjang perjalanan pulang yang cukup berat. Kau di atas pundakku. Merengek-rengek agar setiap pagi datang lagi dan lagi ke Kota Pernia. Kota yang segalanya bergoyang. Segalanya hidup.
Di mulut lorong tempat kita datang, sudah menunggu sulur-sulur yang meliuk. Aku memanjat seperti melayang, kau mengepak-kepak tangan seperti burung. Riang kau bernyanyi melebihi keriangan setelah kau bermain di alun-alun atau kolam renang atau taman bermain atau dongeng-dongeng.
Sampai kembali di kamarku. Kau tetap di pundak. Mengacak-acak rambut seperti mencari pintu rahasia. Sesekali mengetuk-ngetuk kepalaku.
“Kepala yang aneh tapi ajaib!” bisikmu sebelum turun ke pangkuan dan merosot ke kaki. Lantas kau akan mengambil buku-buku dan belajar membaca, seperti pesan dari ibumu, untuk belajar di rumah semenjak kau tak betah sekolah di taman kanak-kanak.
Siang hari kau ganti asyik dengan teman-temanmu yang datang mengajak bermain hingga ibumu pulang bekerja. “Main apa saja tadi pagi sama Ayah?” selalu begitu terdengar suara merdu ibumu.
“Kania belajar terus, Bu. Bentar lagi, kan, masuk SD. Ayah kerjanya cuma mengarang, tak mau mengajak bermain. Marah-marah kalau didekati.” Jawabmu dengan suara manja, sesekali sambil mengintip ke dalam kamarku.
Aku mengedipkan mata sambil berdebar dan bergetar menatap matamu yang menggoda. Jangan-jangan, suatu saat, kau akan bercerita tentang Kota Pernia pada ibumu. Kau menghilang dari pintu kamar. Barangkali masuk dalam peluk ibumu. Perempuan yang kita cintai. Selamanya.

Toni Lesmana, lahir di Sumedang. Menulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Salah satu cerpennya pernah masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas tahun 2011. Buku yang telah terbit Himpunan Cerpen Jam Malam Kota Merah (Amper Media, 2012), Kepala-kepala di Pekarangan (Gambang, 2015), Kumpulan Puisi Tamasya Cikaracak (Basabasi, 2016). Kini menetap di Ciamis, Jawa Barat.

Lelaki Itu Ingin Salat Id di Kampung Kelahiran

Cerpen Gunawan Budi Susanto (Suara Merdeka, 18 Juni 2017)
Lelaki Itu Ingin Salat Id di Kampung Kelahiran ilustrasi Suara Merdeka
Lelaki Itu Ingin Salat Id di Kampung Kelahiran ilustrasi Suara Merdeka
Perih! Itulah yang dia rasakan setiap kali menjelang lebaran. Sekarang, sudah dua puluh kali lebaran sejak dia menghilang. Dua puluh kali lebaran pula dia tak pernah pulang. Padahal, setiap kali lebaran menjelang, kerinduan selalu memberual.
Jauh dari kampung halaman, rasa sepi mengecambah, lalu pelan-pelan membelukar. Dan setiap kali lebaran, dia tersesat dalam belukar kesepian. Dia merasa tak berarti, merasa sia-sia.
“Pulanglah. Telah kelewat lama kau lari.”
Desakan ingin pulang makin hari kian kuat. Namun kenapa untuk meyakinkan diri pernah dan masih hidup mesti pulang ke tanah kelahiran?
“Kau pergi lantaran merasa tak mungkin hidup sebagaimana kauinginkan. Kini, setelah sekian lama menghilang, kau merasa bisa hidup sebagaimana kauinginkan. Orang pun mengenalmu sebagaimana kauinginkan. Namun kau justru merasa hampa, merasa tak berarti bukan?”
Dia merenungi perjalanan hidupnya, sekian lama jauh dari kehangatan keluarga, jauh dari canda tawa dan ledekan kerabat dan kawan. “Kenapa mesti pulang untuk meyakinkan diri aku ada? Kenapa aku berharap diterima saat pulang dan bisa hidup di kampung sebagai pribadi baru—yang mereka kenali berjejak jauh dari masa lalu?”
Dia tertunduk. Air matanya merebak. Dia menahan isak.
“Pulanglah. Kau butuh kepastian: hidupmu bukan kekeliruan. Kau butuh kesaksian dan pengakuan. Itu hanya bisa kau peroleh dari orang-orang terdekat, terutama Ibu dan Bapak. Jangan tunda lagi, sebelum terlambat dan kau bakal menyesal.”
Isaknya pecah. Dia menangis, tersengal-sengal. “Kenapa mereka tak mencariku? Apakah bagi mereka, lebih baik aku tak ada ketimbang ada tetapi tidak hidup sesuai harapan mereka?”
“Pulang dan kukuhkan: kau hidup sesuai dengan pilihanmu. Bukan berdasar kehendak orang lain, sekalipun mereka ibu dan bapakmu. Tak perlu ragu. Jika pulang, kau bakal tahu: mereka menerimamu apa adanya atau menganggapmu tak pernah ada.”
“Apa setelah itu aku bisa tetap hidup seperti sekarang? Atau harus mengubah diri seperti harapan mereka?”
“Pulanglah dan kau bakal tahu.”
***
Kini, di kamar hotel di kota kabupaten, dia mematut-matut diri di depan cermin. Pria tampan berbaju koko, bersarung palekat, dan berpeci hitam serbabaru itu tersenyum.
Lalu dia melepas peci, baju koko, sarung palekat dan menggantungnya di lemari. Dia ambil pakaian dari koper, memilih, dan berdandan. Di dasar koper tersisa mukena putih. Mukena lama, seusia masa pelariannya.
Dia letakkan mukena itu di kasur. Dia buka lipatan. Menguar bau kapur barus. Dia tempelkan mukena itu ke tubuh di depan cermin. “Cingkrang, kurang panjang, tapi masih bisa kupakai.”
Beberapa saat kemudian dia sudah mengarahkan mobil menuju kampung halaman. “Cuma 15 kilometer. Aku tak perlu tergesa-gesa.”
Memasuki jalanan desa, mobil memelan. Dadanya berdebar, hatinya berdenyar. Namun sekonyong-konyong kegugupan menyeruak. Dia menepikan mobil di jalan yang terapit hamparan sawah. Bulir-bulir padi kuning merunduk.
“Sebentar lagi panen,” gumam dia.
Turun dari mobil, dia berjongkok di tepi parit. “Bukan beras ketan.” Dia teringat, dulu saat bocah, ketika bulir padi merunduk, dia dan adik-adiknya acap ke sawah itu. Mereka mengambil setangkup, lalu memecah kulit padi, menggigit dan mencecap. Gurih!
Mereka juga membuat peluit dari dami, batang padi. Meniup berbarengan atau bergantian, unggul-mengungguli. Pemilik peluit bersuara paling keras dan panjang, boleh menggigit dan mengunyah bulir padi yang dikupas sang pecundang.
Dia seperti melihat kembali ketiga adiknya berseru-seru di ujung pematang. Menunjuk-nunjuk ke sesela rumpun padi. Dia turun ke lumpur. Adik-adiknya berseru riang.
“Itu, Mbak, itu di depanmu! Lagi, lagi…. Itu, Mbak, itu, di kiri!”
Matanya menerawang, jauh ke ujung jalan. Di sana, di pengujung jalan itulah rumah mereka. Di sana, di dapur rumah masa bocah itu, sepulang dari sawah mereka merebus keong sawah. Sedap!
Matanya berkaca-kaca. Dia gamang.
“Bangkitlah! Temui mereka!”
Dia bangkit, masuk ke mobil, memasuki desa. Jalanan teduh, terpayungi tajuk pohon besar trembesi di kiri-kanan. Menyegarkan.
Mobil memelan dan berhenti di depan balai desa. Beberapa lama dia masih terduduk. Sejenak ragu, tetapi akhirnya dia turun dan memasuki balai desa. Ah, dia baru ingat: ini Minggu. Pantas balai desa lengang. Cuma ada seseorang duduk di sana, membaca koran.
“Kula nuwun!
“Mangga!” sahut lelaki di balai desa itu sembari menurunkan koran.
Dia tersentak kaget. “Dwicipta?” desis dia seraya merandek.
“Mari, silakan masuk,” ujar lelaki itu berdiri, melipat dan meletakkan koran ke meja. “Maaf, Bapak siapa? Ada keperluan apa?”
Dia mendekat, mengulurkan tangan. “Saya Hendra. Kebetulan lewat desa ini, lalu teringat punya kawan SMA di sini. Memang sudah sangat lama, tapi siapa tahu bisa bertemu. Bapak…?”
“Dwicipta, kepala desa ini. Silakan duduk.”
“Oh!” Sembari menekan kegugupan, dia duduk. Sejenak dia tertunduk. “Dia tak mengenaliku!” batin dia.
“Kawan SMA? Siapa, Pak?”
“Reni. Dulu bapaknya lurah,” sahut dia. Dadanya berdegup kencang. Dia mengusap dahi yang membasah, berkeringat.
Lelaki di hadapannya terdiam. Menerawang ke kejauhan. Sejenak lelaki itu mendongak, menatap tajam, lalu berucap pelan, “Dia mbakyu saya. Kami tak tahu di mana dia sekarang. Sudah kami cari ke mana-mana. Dia menghilang. Tak pernah berkabar, tak pernah pulang.”
“Menghilang…?”
“Ya. Kini, Bapak dan Ibu sudah sepuh. Sebelum meninggal, mereka ingin bertemu. Namun….”
“Ah, maafkan saya. Saya pamit,” ujar dia tiba-tiba sambil bangkit. Sembari menahan gemuruh di dada, dia bersicepat melangkah, masuk mobil, dan melaju. Meninggalkan sang kepala desa yang terlongong.
Di kamar hotel, dia termangu di tepi pembaringan. “Mereka mencari-cari kamu kan? Apalagi yang kautunggu? Mau lari ke mana lagi!?”
Dia membaringkan diri, miring, menekuk lutut nyaris menyentuh dada. Mlungker. Matanya memejam. Segala kenangan berseliweran dalam benak. Silang-sengkarut, serupa gambar-gambar tumpang-tindih tak keruan.
“Berapa kali sudah kau diusir dari kos? Berapa kali lagi kau harus berurusan dengan polisi?” hardik sang ayah ketika dia pulang dengan wajah dan tubuh lebam. “Kaupikir dengan lagak jagoan, orang percaya kau lelaki jantan!? Copot celanamu, pakai rok! Kau kusekolahkan di kota bukan untuk jadi bergajulan macam itu. Melawan kodrat!”
Akhirnya, setelah terjadi berkali-ulang, dia tak lagi menggubris. Dia ganti pakaian, lalu kabur dengan motor protolan. Tak memedulikan tatapan sayu sang ibu yang menekan tangis. Berhari-hari dia tak pulang. Berbulan-bulan, bertahun-tahun. Dia menghilang, sampai sekarang.
***
Dia menekan perut yang melilit-lilit. Nyeri. Dia bangkit. Sambil menekan perut, dia terhoyong-hoyong masuk kamar mandi. Dan ah…, belum sempat mencopot celana, darah sudah membanjir.
Dia menggelosor di lantai bersandar dinding. “Kenapa Kau tak memberiku pilihan? Kenapa!?”
Sesaat kemudian dia keluar. “Halo! Mbak, bisa minta tolong room service membelikan pembalut?” ujar dia lewat saluran telepon internal.
“Bisa, Ibu. Nanti kami antar ke kamar.”
“Ya, Mbak, saya tunggu. Terima kasih.”
Dia naik ke pembaringan, bergelung telanjang di bawah selimut. Meringkuk, merutuki nasib. Kini, dia tak mungkin kembali ke tanah kelahiran untuk salat id saat lebaran. Jangankan dengan peci, sarung, dan baju koko serbabaru, salat dengan mukena lama pun musykil dia lakukan. (44)

Patemon, 14 Juni 2017: 04.30
Gunawan Budi Susanto berasal dari Blora, kini tinggal di Semarang. Buku cerpennya Nyanyian Penggali Kubur (2011, 2016) dan Penjagal Itu Telah Mati (2015). Kumpulan cerkak-nya, Cik Hwa, sedang dalam proses penerbitan.