Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Dear Hanihyung,
Seorang tukang bangunan yang sudah
tua berniat untuk pensiun dari
profesi yang sudah ia geluti selama
puluhan tahun.
Ia ingin menikmati masa tua bersama
istri dan anak cucunya. Ia tahu ia
akan kehilangan penghasilan rutinnya
namun bagaimanapun tubuh tuanya butuh
istirahat. Ia pun menyampaikan
rencana tersebut kepada mandornya.
Sang Mandor merasa sedih, sebab ia
akan kehilangan salah satu tukang
kayu terbaiknya, ahli bangunan yang
handal yang ia miliki dalam timnya.
Namun ia juga tidak bisa memaksa.
Sebagai permintaan terakhir sebelum
tukang kayu tua ini berhenti, sang
mandor memintanya untuk sekali lagi
membangun sebuah rumah untuk terakhir
kalinya.
Dengan berat hati si tukang kayu
menyanggupi namun ia berkata karena
ia sudah berniat untuk pensiun maka
ia akan mengerjakannya tidak dengan
segenap hati.
Sang mandor hanya tersenyum dan
berkata, "Kerjakanlah dengan yang terbaik yang kamu bisa. Kamu bebas membangun dengan semua bahan terbaik yang ada."
Tukang kayu lalu memulai pekerjaan
terakhirnya. Ia begitu malas-malasan.
Ia asal-asalan membuat rangka
bangunan, ia malas mencari, maka ia
gunakan bahan-bahan berkualitas
rendah. Sayang sekali, ia memilih
cara yang buruk untuk mengakhiri
karirnya.
Saat rumah itu selesai. Sang mandor
datang untuk memeriksa. Saat sang
mandor memegang daun pintu depan, ia
berbalik dan berkata, "Ini adalah rumahmu, hadiah dariku untukmu!"
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Ia
sangat menyesal. Kalau saja sejak
awal ia tahu bahwa ia sedang
membangun rumahnya, ia akan
mengerjakannya dengan
sungguh-sungguh. Sekarang akibatnya,
ia harus tinggal di rumah yang ia
bangun dengan asal-asalan.
Inilah refleksi hidup kita!
Pikirkanlah kisah si tukang kayu ini.
Anggaplah rumah itu sama dengan
kehidupan Anda. Setiap kali Anda
memalu paku, memasang rangka,
memasang keramik, lakukanlah dengan
segenap hati dan bijaksana.
Sebab kehidupanmu saat ini adalah akibat dari pilihanmu di masa lalu. Masa depanmu adalalah hasil dari keputusanmu saat ini.
"Terus memendam amarah sama seperti menggenggam bara panas untuk dilontarkan kepada seseorang, Andalah yang akan terbakar"- Sidharta Gautama
Dear Hanihyung yang baik & sabar hatinya...
Dalam hidup memang wajar kalau ada
peristiwa-peristiwa yang membuat kita
marah dan kecewa. Tapi cepat
kendalikan emosi Anda kembali. Jangan
biarkan rasa amarah, dendam, iri,
kesal atau kecewa kepada pasangan,
teman, rekan kerja, atau atasan di kantor
bercokol lama di hati kita.
Kekesalan, amarah dan kekecewaan
hanya akan mengaktifkan hukum tarik
menarik, membuat Anda menerima apa yang Anda berikan.
Bila kesal pada pasangan atau ada
kawan yang mengingkari janji, lalu
Anda menyalahkan mereka atas
kekacauan semua itu, maka Anda akan
mendapatkan kembali keadaan
yang dipersalahkan itu.
Kembalinya keadaan itu tidak harus
selalu dari orang yang Anda salahkan,
tetapi sejatinya Anda akan mendapatkan
kembali keadaan yang Anda salahkan itu. Ikhlaskanlah, maafkanlah. Hati
akan terasa lebih lega dan ringan
dalam menjalani hidup, lebih fokus
terhadap tujuan hidup tanpa
terbebani penyakit-penyakit hati yang
hanya akan menghabiskan energi positif. "Jika saya mengikhlaskan diri saya, saya menjadi yang saya inginkan. Jika saya mengikhlaskan yang saya punya, saya akan menerima apa yang saya butuhkan" - Tao Te Ching Semoga Tuhan mengaruniai sabar
yang tak terbatas dan ikhlas yang
tak bertepi untuk kita semua, sehingga
apapun rintangan dan cobaan yang dilalui
akan terasa lebih ringan. :-)
Think & Succeed! ----------------------------------
"Sukses adalah sebuah proses, kualitas dari pikiran dan cara sikap, affirmasi kehidupan yang keluar" -
Alex Noble
Dear Hanihyung,
Penelitian-penelitian muktahir
menunjukan betapa hebatnya kekuatan
pikiran bawah sadar yang dibangun
melalui affirmasi kalimat positif
dalam pencapaian mimpi seseorang.
Salah satu orang besar yang
menerapkannya adalah Muhammad Ali.
Sebelum naik ring dan bertarung
dengan lawannya, dalam sebuah
wawancara televisi, Ali mengaku ia selalu melakukan affirmasi.
"Aku petinju hebat. Apa pun yang terjadi , aku tetap petinju yang hebat. Akulah petinju terbaik di dunia ini" begitu katanya dalam hati.
Ketika wartawan menanyakan alasannya,
Ali menjawab, "Kalimat itu memberiku rasa percaya diri, menguatkan keinginanku dan membulatkan konsentrasiku pada target yang ingin aku capai. Jika akhirnya aku gagal, aku akan belajar dari kegagalan dan berlatih lebih giat lagi hingga berhasil."
Ali juga menambahkan,"Pikiran sangat berpengaruh, pikiran bisa menjadi penyebab kegagalan dan bisa pula menjadi pendukung keberhasilan. Pikiran adalah sumber percaya diri."
Ali pun menjadi juara tinju dunia
legendaris sepanjang masa.
Kepercayaan diri besar pengaruhnya
terhadap kesuksesan karir dan
kehidupan. Maka dari itu, tanamkan percaya diri yang besar dalam diri Hanihyung, jika Hanihyung ingin berhasil dan sukses dalam hal apapun.
Cernak Yuditeha (Suara Merdeka, 11 Juni 2017) Duta Perdamaian ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Namaku Yuan. Aku suka bercerita tentang ayah. Ayah pendiam tapi kalau
marah bisa menusuk hati, perih. Ayah marah bila aku tidak mau makan
atau malas mandi. Tapi banyak orang bilang ayah sabar. Aku jadi
berpikir, mungkin sabar bukan tidak pernah marah. Sabar mungkin semacam
ketegasan rasa tulus.
Ayah juga sering meminta maaf padaku, apalagi jika ayah tidak bisa
menuruti keinginanku. Aku berpikir, maaf mungkin bukan hanya rasa sesal,
tapi dapat berarti kasih. Bisa jadi maaf adalah lima puluh persennya
cinta.
Sekarang aku kelas VI SD. Kata ayah belajar tidak hanya berhitung dan
membaca, tapi semua hal. Ayah tak pernah tanya, aku ingin jadi apa.
Tapi malam itu tanpa ditanya, aku bilang ingin menjadi sastrawan.
“Jalan hidup seringkali tak seperti yang kita mau,” kata ayah.
Ayah masih terus bicara, tapi aku mulai mengantuk lalu tertidur.
Meski, aku masih sempat merasakan saat ayah membopongku ke kamar.
***
Entah kenapa hari itu aku berangkat sekolah sendiri, dan di hari ini
aku mengumpulkan karanganku kisah nyata di keluarga dan itu tentang
ayah. Dua pekan kemudian, Kepala Sekolah memanggilku.
“Ada kabar baik untukmu. Pertama, karanganmu dapat juara pertama
tingkat Nasional dan kedua, ayahmu terpilih jadi Duta Perdamaian.” Aku
terkejut.
“Dari tulisanmu yang juara itulah Tim Pemerintah Pusat memilih ayahmu,” sambung Kepala Sekolah.
“Hanya dari karanganku, Pak?” tanyaku.
“Itu wewenang tim dan yang penting kisahmu itu benar. Kamu akan ke
Jakarta menerima hadiah, bersam ayahmu juga ke sana untuk penganugerahan
itu. Ini suratnya dan semua telah diterangkan di situ,” jelas Kepala
Sekolah.
“Apakah mereka tahu kalau ayahku tukang cukur, Pak?” tanyaku.
“Bukankah sudah kamu ceritakan di tulisanmu?” Kepala Sekolah balik bertanya.
Aku tersenyum lalu menerima surat itu dan permisi tanpa sempat
mengucapkan terima kasih kepada Kepala Sekolah. Mungkin karena
gembiranya jadi lupa.
Tiba di rumah, ayah sibuk mencukur pelanggan, aku tak ingin
mengganggu. Kutunda memberikan surat dari Kepala Sekolah. Selesai
berganti baju dan makan, aku melamun tentang surat itu, hingga tak
terasa aku terlelap saat kurebahkan badanku di kasur.
***
Aku terbangun karena ada tangisan anak kecil. Kulihat jam dinding
pukul 08.15. Waktu yang langsung membuatku resah dan sanksi dengan hari.
Cepat kucari dua surat itu, tapi tak kutemukan. Lalu aku ke luar kamar.
Samar kudengar suara ibu.
“Eee Yuan sudah bangun.”
Sapaan ibu tak kuhiraukan. Aku berlari ke kios, ayah sedang mencukur pelangganannya. Perasaanku semakin tidak menentu.
“Yuan, kau sudah bangun?” tanya Ayah ketika aku melongok.
Aku mendekati ayah, “Ini hari apa, Yah?” tanyaku kemudian.
“Minggu,” jawab Ayah singkat.
“Ini pagi atau sore, Yah?” tanyaku lagi.
“Pagi. Memangnya kenapa?” Ayah seperti heran.
“Kok tidak ke gereja?” tanyaku.
“Kita kan sudah sepakat, minggu ini ikut jadwal sore,” jawab Ayah.
“Ayah mengambil surat di kamarku?” tanyaku lagi.
“Iya, kan kamu yang bilang surat itu untuk ayah,” jawab Ayah.
“Apa iya, Yah?” tanyaku heran.
“Kemarin pas kamu pulang sekolah bilang, ada surat untuk ayah.”
“Lalu?”
“Ayah belum sempat memberi tahu isi surat itu padamu.”
Aku tak ingin menangis, tapi air mataku tak kuasa kubendung. Aku
masuk dan terisak di kamar. Ibu sibuk memberesi barangku. Melihatku
menangis, ibu bingung. Sebelum keluar kamar ibu membujukku mandi, tapi
aku tidak mau.
“Ayah minta maaf, ayah belum mengatakan isi surat itu. Kemarin Yuan
kelihatan capai dan mengantuk, bahkan kamu tak sempat berdoa.”
Ayah terus berbicara seiring air mataku juga terus keluar.
“Isi surat itu hanya mengingatkan batas pengumpulan karangan hari
Senin besok. Ayah tahu, kamu sudah membuatnya. Jadi, besok jangan lupa
dibawa. Oh ya hari ini kamu aneh. Dan mengapa menangis?” tanya Ayah
kemudian.
Aku menggeleng lemas.
“Ya sudah, itu masih ada yang mau cukur, setelah Yuan mandi dan makan kita mengobrol lagi.”
Ayah keluar setelah menepuk bahuku, tapi seketika masuk lagi.
“Seringkali jalan hidup tidak seperti yang kita mau,” sambung Ayah sambil tersenyum.
“Kok, Ayah tahu?” tanyaku spontan.
“Ayah telah beberapa kali mengalami,” jawab Ayah dari jauh.
Kukejar Ayah lalu kupeluk. Air mataku kini sudah seperti sungai,
mengalir dan terus mengalir. Tak kuat lagi haruku kusimpan sendiri dan
ingin kubagi pada Ayah.
“Aku tetap bangga pada Ayah walau Ayah hanya tukang cukur,” tangisku menjadi-jadi.
“Ayah juga bangga punya kamu,” kata Ayah tersendat-sendat. Kulihat mata Ayah basah bukan seperti sungai tapi seperti danau.
“Tapi, Yah,” sahutku. Kubisikan sesuatu di telinga Ayah, “Bagiku, ayah tetap pantas jadi Duta Perdamaian.”
“Hah…” sahut Ayah yang tak lama kemudian tersenyum. (58)
Fabel Arrum Lestari (Suara Merdeka, 18 Juni 2017) Kera yang Banyak Akal ilustrasi Suara Merdeka
Musim hujan sudah datang seminggu terakhir. Kera-kera yang tinggal di
lereng gunung sedang bimbang. Mereka bingung, haruskan mencari tempat
lain yang aman? Atau mengungsi ke rumah-rumah warga kampung di bawah
lereng? Mereka tahu, tanah di lereng gunung telah gundul dan kera-kera
cerdik itu merasa sebentar lagi akan longsor karena hujan.
Di hutan dalam lereng gunung tempat tinggal kera-kera itu, hiduplah
seekor ular piton besar. Ular piton adalah pemangsa yang hebat. Ia
membuat sarang di bekas pohon yang ditebang. Ular piton hidup
menyendiri, sepi, dan menunggu sesuatu untuk dimangsa. Saat lapar tiba,
ular piton berwarna cokelat motif batik itu keluar dari sarang.
“Mendung!” gumam si piton. “Mulai gerimis! Sebentar lagi hujan pasti
lebat. Aku suka sekali. Saat seperti ini banyak sesuatu yang bisa
kumangsa.”
Ular itu tahu setiap hujan turun binatang-binatang penghuni hutan di
lereng gunung hanya bisa berteduh, kadang di bawah pohon, kadang di
goa-goa kecil tempat persembunyian mereka. Tidak banyak yang bisa mereka
lakukan selain berteduh menunggu hujan reda.
Si piton segera melata, mengendus aroma daging calon mangsanya.
Lidahnya menjulur-julur lucu. Saat berjalan santai di bawah hujan, si
piton pun melihat seekor kera mungil yang sedang berteduh di bawah pohon
aren. Kera itu menggigil.
“Ah, santap siang yang enak ini,” gumam Piton. Ia sudah membayangkan
kelezatan setiap inci tubuh kera yang renyah. Pasti gurih! batinnya.
Andai saja semua itu bisa dilakukannya dengan mudah. Kemudian ia
mencari-cari strategi untuk segera menyergap si kera agar tepat sasaran.
Sesampainya di dekat kera mungil itu, si piton mendengar si kera
sedang merintih, seperti kesakitan. Si piton tiba-tiba berubah pikiran.
Ah, sakit apa dia? Tanya Piton dalam hati.
Piton kembali melata mendekati kera yang menggigil dan merintih sendirian.
“Hei, Kera? Kau menggigil? Kau merintih? Kau sakit? Demam?” tanya Piton setelah menampakkan diri di depan kera mungil itu.
“Piton? Kau membuatku kaget. Mau ke mana kau, hujan-hujan begini?”
“A-aku. Aku mau lewat saja. Aku suka hujan-hujanan. Karena aku bisa
bermain air. Kau belum jawab pertanyaanku, Kawan?” kata Piton lagi.
“Hmm, ya, kakiku memang sedang sakit. Seseorang tadi membuat jebakan
di ujung hutan. Aku sempat terjepit jebakan besi. Aku dikira tikus apa,
ya? Dijebak dengan benda mirip jebakan tikus. Lihat ini, kakiku luka.
Untung aku bisa melepaskan diri,” rintih Kera.
“Aih, lukamu lumayan parah, Kawan. Darah masih mengucur, tuh! Kalau kau tak bersihkan bisa membusuk kakimu.”
“Benar juga. Akan ada banyak kuman sepertinya. Dan sekarang aku sudah
merasakan ada kuman-kuman menjalar di tubuhku. Ah, jangan-jangan
sebentar lagi aku mati membusuk, berbelatung. Bagaimana ini, Piton? Ah,
kenapa kau tak makan aku saja? Cepatlah!” kata Kera memelas.
Piton sedikit bimbang. Ia merasakan dilema, perutnya memang lapar,
tetapi ia jijik membayangkan kera itu sudah dipenuhi kuman yang sebentar
lagi membusuk.
“Ah, tidak, tidak. Aku tak tega, Kawan. Kau sedang teraniaya. Tak boleh memangsa lawan yang sedang teraniaya.”
Padahal dalam hati, Piton takut kalau kuman dalam kera itu akan berpindah ke tubuhnya. Selera makan Piton hilang seketika.
“Oh, begitukah, Kawan?”
“Ya, tentu saja!’
“Baiklah, kalau begitu aku akan mencari air di sungai untuk membersihkan lukaku ini. Boleh aku pamit?”
“Baiklah. Kau tenang saja, Kawan. Lain kali aku tak akan memburumu. Meskipun kau sudah sehat kembali.”
“Kau janji, Piton?”
“Iya. Aku janji. Sana, pergilah. Sembuhkan lukamu dulu. Aku pun mau
melanjutkan perjalananku. Aku mau cari tupai saja. Sebenarnya aku sedang
lapar,” ujar Piton.
“Hmm, baiklah. Selamat berburu, Kawan! Semoga kau dapat tupai yang gemuk.”
“Terima kasih, Kera.”
Ular piton itu melata lebih dulu, meninggalkan kera mungil yang
banyak akal. Si Kera kini terbengong-bengong. Dalam hati ia tertawa
sambil berkelakar, “Begitu mudah menyelamatkan diri dari ancaman ular.
Tak kusangka, meski tampilannya menyeramkan kadang ia baik juga. Pantas,
sekarang ular-ular seperti piton itu sering diburu manusia, dijadikan
binatang peliharaan. Ya, ternyata mereka memang lucu dan sedikit dungu.
Mungkin karena itulah mereka mudah dijinakkan. Ah, terserah saja lah.”
[58]
Oleh Setta SS (Antologi Ramadhan Tiba, Erlangga, 2008) Ritual Satu Syawal ilustrasi http://www.flickr.com
“Amal perbuatan adalah bagaikan gambar yang mati, dan ruhnya ialah
adanya rahasia keikhlasan di dalamnya.” (Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari)
***
APA aktivitas saya saat tanggal 1 Syawal itu tiba setelah sebulan penuh berpuasa?
Saat masih usia praremaja hingga menjelang kelulusan SMA, di kampung
nenek-kakek saya di ujung barat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jika
malam ‘Idul Fitri cerah dan ada rombongan takbir keliling lewat, saya
dan teman-teman sebaya akan ikut rombongan itu berkeliling ke
kampung-kampung tetangga dengan berjalan kaki. Membawa obor dari bambu
yang diisi minyak tanah. Dan tak ketinggalan membawa bedug berdiameter
seukuran drum yang dibawa di atas gerobak untuk ditabuh. Bersahutan
dengan suara takbir, menambah keceriaan suasana malam takbir keliling
saat itu.
Tidur di masjid dan baru pulang selepas shalat Shubuh adalah
aktivitas berikutnya sepulang dari takbir keliling. Di kampung nenek
saya sudah menjadi tradisi, setiap malam ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha
selalu diisi dengan takbir semalam penuh di masjid-masjid.
Selepas shalat ‘Id di lapangan dan berganti pakaian, dengan wajah
cerah berhias senyuman dan hati penuh suka cita, saya akan ikut
berkeliling kampung bersilaturahim ke setiap rumah—dan mau tak mau harus
mencicipi hidangan yang disediakan di setiap rumah yang saya masuki.
Begitulah rutinitas saya seperti yang sudah menjadi tradisi di negeri
ini saat hari Fitri itu tiba.
Namun selepas meninggalkan dunia kampus, saya belajar untuk
memaknainya secara lebih dalam dan dewasa. Selepas shalat Maghrib
berjama’ah di masjid di hari terakhir Ramadhan di kampung nenek-kakek
saya, saat anak-anak sudah mulai ramai berebut pengeras suara untuk
mengumandangkan takbir atau mereka yang berebut untuk memukul bedug;
saya masih terpekur cukup lama di dalam masjid. Mencoba menghitung
tentang seberapa banyak amal yang telah saya perbuat selama Ramadhan
yang baru saja berlalu sambil bertanya-tanya pada diri sendiri.
Puasa tingkatan manakah yang sudah saya jalankan sebulan penuh ini—khawashul khawash, khawash, atau baru sebatas tingkatan puasa awam?
Apakah saya termasuk dari golongan orang-orang yang mendapatkan
keutamaan malam seribu bulan dan berhak atas pengampunan dosa-dosa yang
terdahulu?
Cukup layakkah diri ini menyandang predikat takwa saat mentari
menyinari bumi esok hari? Sudah ikhlaskah ibadah yang saya lakukan
sepanjang Ramadhan ini semata hanya karena-Nya? Masih adakah kesempatan
untuk kembali bersua denganmu, Ramadhanku, di tahun yang akan datang?
Tak terasa, air mata saya akan mengalir tanpa saya mampu membendungnya saat-saat terpekur di penghujung Ramadhan seperti itu. If one star falls every time we make mistake, I bet the sky is
dark already now. So let’s lighten it up again by forgiving each other.
Jauh selepas shalat Isya, saya akan beranjak ke masjid untuk
bertakbir bersama sambil mencoba menghayati setiap maknanya dengan
sepenuh hati. Bahwa takbir itu tidak sebatas terlantun di bibir saja.
Tapi hakikat takbir itu adalah kemenangan yang hakiki.
Keesokan harinya, sepulang dari shalat ‘Id di lapangan, saya tidak
ikut berkeliling ke setiap rumah seperti saat saya masih kecil dulu.
Selain karena hampir semua sahabat karib dan kerabat dekat sekampung
sudah bertemu, masih ada kesempatan di sore hari atau hari-hari
berikutnya untuk berkunjung ke rumah mereka. Untuk setiap kesungguhan kita menyapa Ramadhan, taqabbalallahu
minnii wa minkum, shiyaa-manaa wa shiyaa-makum. Semoga selalu ada ruang
maaf dalam silaturahim kita. Selamat ‘Idul Fitri! (*)
Yogyakarta, 24 Juni 2008 08:20
Catatan:
Imam Ghazali dalam Ihya membagi bobot puasa menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
[1] Puasa awam, yakni menahan makan, minum dan syahwat pada lawan jenis di siang hari di bulan Ramadhan;
[2] Puasa khawash, yaitu puasa anggota badan; menahan mata
dan tangan dari yang haram, menahan langkah kaki dari jalan menuju
maksiat, manahan telinga dari mendengarkan yang tidak ada manfaatnya,
dan menahan lidah dari ghibah (membicarakan orang lain);
[3] Puasa khawashul khawash, yaitu mengikat hati dengan
kecintaan pada Allah Swt., tidak memperhitungkan selain-Nya, membenci
perilaku maksiat kepada-Nya, dan hanya menyibukkan hati dengan ketaatan
dan dzikir kepada-Nya.
Cerpen Mustofa W Hasyim (Kedaulatan Rakyat, 18 Juni 2017) Sungkem ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan RakyatKARENA tiga tahun berturut-turut gagal mudik,
padahal Pardi sudah mengirim kabar ke desa, untuk tahun ini dia kapok
memberi kabar ke desa. Ia trauma. Dan tidak ingin mengecewakan keluarga.
Mereka pasti menganggapnya sebagai anak kurang berbakti. Sungkem
setahun sekali saja tidak mau. Begitu prasangka mereka. Soalnya memang
bukan mau atau tidak mau, tetapi tidak mampu mudik. Kalau tidak ada uang
dan sedang menunggu anggota keluarga di rumah sakit, apa dipaksakan
pulang?
Sejak pertengahan tahun lalu, Pardi dan isteri berhemat betul.
Menabung. Penghasilan isteri dari membuka warung es jus memang lumayan.
Tetapi dana untuk membeli buah juga banyak, apalagi untuk membeli gula,
membayar listrik. Dan lagi semua anaknya, gara-gara ibunya menjual es
jus, setiap hari minta jatah segelas, kadang dua gelas es jus. Tentu ini
mengurangi keuntungan.
Pardi lalu melarang anaknya minta jatah es jus ibunya. Kalau mau
minum es jus harus membeli, membayar seperti orang lain. Uangnya, toh
dari ayah. Kecuali anak sulung yang di kampus dipercaya menjadi koperasi
mahasiswa sudah punya uang saku sendiri. Dua adiknya, belum punya
penghasilan. Pardi dengan cerdik mengatur pemberian uang saku anaknya.
“Kalau kita tidak ketat, mana mungkin kita bisa sungkem Lebaran nanti,” bisik Pardi.
Dan benar, seminggu setelah bulan puasa berlangsung, Pardi dan
isterinya membuka tabungan. Ditambah THR dari pabrik tempat Pardi
bekerja, jumlahnya lebih dari cukup kalau untuk biaya membeli tiket
kereta api dan membeli oleh-oleh.
Selama seminggu ini anak sulung kalau malam diminta dosennya untuk
menyusun laporan sebuah penelitian. Tebal juga halaman penelitian itu.
Ketika laporan itu selesai, dia mendapat honor yang lumayan besar.
“Saya mau beli motor, bisa untuk mudik,” kata anak sulung, sore menjelang berbuka puasa..
Pardi dan isterinya terkejut.
“Beli motor? Pulang mudik naik motor? Terus ayah, ibu dan adik-adikmu bagaimana?”
“Ya, sekalian beli motor. Kalau hanya untuk membayar uang muka dua
motor uangku cukup. Kan asyik. Aku memboncengkan Amri. Dan ayah
membonceng ibu dengan Maryam,” katanya.
Pardi memandang isterinya. Mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah kalau begitu,” kata Pardi.
Jadilah keluarga Pardi mudik dengan naik dua motor. Dengan dua motor
cukup ruang untuk membawa tas oleh-oleh, pakaian, jaket dan plastik
tebal untuk istirahat. Mereka juga membawa termos almunium berisi
minuman panas, kue-kue, nasi, lauk kering.
Mereka berangkat setelah hampir seluruh penghuni kampung perantau itu
pulang kampung. Masih cukup waktu, pikir Pardi. Mereka mengendarai
motor dengan hati-hati.
Pada hari ketiga pulang mudik, mereka sudah memasuki jalan pegunungan
menuju desa. Pardi dan keluarganya merasa tubuhnya makin segar. Segala
keletihan di sepanjang perjalanan lenyap. Mereka mendaki jalan
pegunungan, sampai di atas, ada persimpangan. Mereka akan membelok ke
kanan sebelum menempuh satu jam lagi sampai desanya.
Simpang empat sepi. Dan ketika Pardi memelankan motor. Ia ingin
istirahat sebentar. Tapi tiba-tiba dari balik deretan pohon muncul empat
orang memakai tutup muka.
“Berhenti! Lepaskan motor kalian atau kalian bergelimpangan di tempat
ini!” bentak satu seorang di antaranya menggerak-gerakkan senjata
pedangnya.
Bulan tanggal tua masih bertengger di langit. Dingin dan sepi. Anak
sulung Pardi juga menghentikan motor. Ada ada saja gangguan menuju
sungkem, gerutu Pardi dalam hati.
Pardi mengurai sabuk kulit dari perutnya. Sabuk itu panjang dan
kepala sabuknya dari logam berat. Anak sulung Pardi juga berbuat sama.
Pardi berbisik kepada isterinya agar menjaga dua anaknya. Amri dan
Maryam yang untungnya tidak rewel. Isteri Pardi yang orang Sunda dan
sebenarnya pandai pencak silat itu diam. Dia percaya pada suami yang
dulu di desa asal perempuan itu pernah memenangkan sayembara pencak
silat untuk mendapatkan dirinya sebagai isteri. Dia memeluk dua anaknya,
tetapi matanya tetap waspada.
“Mas, kami ini mau sungkem. Tolong kami jangan diganggu,” kata Pardi mantap.
Empat orang itu tertawa. Semua memegang pedang.
“Tadi mendengar suara motormu, kami tahu motormu ini masih baru.
Kalian tidak akan kami ganggu kalau mau menyerahkan dua motor ini.”
Pardi memegang ikat pinggangnya dari ujung ke ujung.
“Kalian pasti bukan orang desa ini dan belum mengenal aku dan anakku.”
“Siapa kau dan anakmu?”
“Aku Pardi Kentos! Dan ini anakku yang kudidik dengan pencak aliran Mbah Wongso desa Tunggak Jati.”
Mereka berempat kaget. Agak gentar. Nama-nama yang disebut Pardi
cukup dikenal di daerah itu. Untuk menutupi kegentaran hati ada yang
mencoba mengertak.
“Kami tidak peduli kau Pardi Kentos atau Pardi Mrongos. Aku Joko Timblis. Jagoan dari desa timur sana.”
Tanpa berkomentar lagi Pardi langsung menyerang lebih dahulu. Ia tahu
siapa Joko Timblis. Dulu memang ditakuti anak-anak muda sebaya. Pardi
melecutkan ikat pinggang berkepala besi ke dua arah dengan gerak sendal
pancing. Keduanya mengarah ke pergelangan tangan lawan. Anak Pardi juga
langsung menyerang dengan menggunakan jurus sendal pancing pula.
Terdengar tiga teriakan dan sebuah makian. Dalam sekali gebrak
pergelangan tiga anak buah JokoTimblis sudah kena hajar kepala ikat
pinggang itu. Pedang mereka terlepas dan pergelangan tangan luka tidak
bisa dipergunakan lagi untuk memegang pedang. Joko Timblis berhasil
menangkis serangan Pardi. Ia mencoba membalas menyerang tetapi dengan
cepat Pardi meliukkan tubuh lalu kembali menyerang dengan jurus sendal
pancing ke arah siku dan lutut Joko bergantian. Joko sempat menghindari
serang pada siku tetapi sesaat kemudian lututnya kena hajar besi kepala
ikat pinggang itu. Ia memaki Pardi. Tidak bisa menggerakkan lutut
kanannya lagi.
“Joko, kamu masih ingin mengganggu kami?” teriak Pardi.
Melihat kelompoknya sudah terluka, Joko menggeleng. Ia tidak berani
melempar pedang menyerang Pardi, sebab ia tahu betul kalau dengan sekali
pukul kepala ikat pinggang, pedang itu kontan bisa berbalik arah
menyerang pemiliknya sendiri.
“Hei, jawab. Kalian masih mau mengganggu atau membiarkan kami lewat?”
“Silakan lewat, Mas,” kata Joko terbata-bata.
Pardi dan anak sulung menghidupkan motor. Melaju menuju desa
kelahiran. Waktu itu dari arah masjid desa terdengar suara adzan awal
menandakan dimulainya makan sahur.
Orangtua Pardi dan saudaranya yang sudah mudik duluan kaget melihat
Pardi dan anak-anaknya mudik naik motor. Mereka bersalaman dan
berpelukan.
“Aman to Le neng ndalan?” tanya ayah Pardi.
“Alhamdulillah, aman Pak,” jawab Pardi.
“Baik ayo-ayo semua segera sekalian makan sahur. Ayo-cucuku semua,” ajak ibu Pardi.
Anak sulung Pardi makan sahurnya banyak sekali. Demikian juga anak
kedua dan ketiga, Pardi dan isterinya. Sayur lodeh pegunungan yang
terkenal pedas sudah tiga tahun mereka rindukan. Apalagi tempe gorengnya
kering, agak asin, bisa mengurangi rasa pedas itu.
“Hari Raya masih beberapa hari lagi. Jadi sungkemnya jangan sekarang
ya,” kata ayah Pardi melucu, “Uang jajan untuk cucu juga tidak
sekarang.” Pardi tersenyum isterinya juga tersenyum.
Cerpen Daruz Armedian (Kedaulatan Rakyat, 11 Juni 2017) Tarian Ruh ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan RakyatSORE ini, dalam keadaan telentang, Parman melihat
ruhnya menari-nari. Tepat di dadanyalah ruh itu berpijak, kadang
menjinjit, kadang melompat. Tangan dan tubuhnya meliuk-liuk seperti
karet. Begitu lentur, begitu luhur. Dada Parman serupa panggung yang
luas. Sehingga ruh itu dapat menari dengan bebas.
Sebagai lelaki yang suka menyawer, memberi uang kepada sinden sambil
menari, Parman ingin sekali mengikuti tarian ruh itu. Tetapi, ia merasa
tangannya kaku, tubuhnya kaku, kakinya juga kaku, seperti kena kutukan
menjadi batu.
“Sialan! Apa yang terjadi dengan tubuhku?” ia memaki-maki, entah
ditujukan pada siapa, tak ada yang tahu. Mungkin pada dirinya sendiri.
Sedangkan ruh itu, tariannya makin menjadi-jadi. Jingkrak-jingkrak
tanpa dosa. Namun tak seberapa lama kemudian, ia berhenti. Terdiam.
Terbengong. Matanya memandang tubuh Parman yang kaku seperti tugu. Lalu,
ada beberapa patah kata keluar dari mulutnya, seperti menyepah tebu
yang manisnya sudah tak ada.
“Kenapa bisa begitu, Parman? Kenapa kau tak bisa berbuat apa-apa?
Mana kemahiranmu menari bersama sinden-sinden ayu yang kau
agung-agungkan itu? Mana tanganmu yang pandai meliuk-liuk itu?”
Sesungguhnya, Parman ingin sekali membalas perkataan ruhnya, dengan
dicampur maki-makian, tentu saja. Atau bahkan tanpa perlu membalas
perkataan, ia langsung meloncat dan menari sebagaimana biasanya, untuk
membuktikan kalau dirinyalah yang pantas menari. Tetapi, ia sadar,
sungguh-sungguh sadar, sambil mengumpat, bahwa dirinya tidak bisa
apa-apa untuk saat ini.
“Keparat. Tubuhku hari ini lebih buruk dari sekadar bangkai.” Itu
adalah perkataan Parman dalam hati. Dan tentu saja tak akan pernah
keluar menjadi suara yang kemudian meluncur ke telinga ruhnya.
Masa bodoh. Akhirnya, ruh itu kembali menari, tanpa lawan, tanpa
kawan. Ia sendirian, merasa bahagia, bebas dari segala. Telanjang dan
tanpa apa pun yang mengekang.
“Aku bebas dari penjara!” teriaknya.
***
Padma melangkahkan kakinya yang mungil ke arah pintu rumahnya. Bocah
perempuan itu baru saja pulang dari bermain. Ia masuk rumah dan tidak
menemui siapa-siapa di ruang tamu. Ia memanggil-manggil bapaknya.
Tetapi, tidak seperti biasa, panggilan bocah itu tak ada balasannya.
Ia mencari-cari di dapur, barangkali bapaknya tengah menyeduh kopi.
Ya, semenjak istrinya pergi, bapak bocah itu sering di dapur. Memasak
apa saja yang bisa dimasak. Termasuk memasak air, membuat susu untuk
anaknya, membuat kopi untuk dirinya sendiri. Juga, bapak bocah itu
jarang sekali ke luar rumah kalau malam tiba. Tidak seperti dulu ketika
istrinya masih ada. Terutama, masih ada di sisinya.
Dan betapa kagetnya bocah itu ketika melihat bapaknya terbelalak
matanya, tubuhnya seperti dirantai, tidak bisa bergerak sama sekali.
Seseorang yang menginjak-injak tubuh bapaknya itu segera pergi. Meskipun
ia tahu, bocah itu tidak mungkin bisa melihatnya.
“Bapaaaaak!” jerit bocah itu. Tetapi, siapa yang merespons jeritnya?
Tidak ada. Rumahnya jauh dari perkampungan. Jauh dari tetangga. Mungkin,
mungkin saja, cicak, kecoak, laba-laba, tikus, dan hewan lain-lainnya,
sebenarnya merespons. Cuma, bahasa mereka kan tidak sama. Jadi,
seolah-olah jerit itu tidak ada tanggapan sama sekali.
Bocah perempuan itu menghambur ke arah bapaknya. Tangannya mengguncang-guncangkan tubuh lelaki itu.
“Bapaaaaak!” jeritnya lagi. Kemudian ia menangis. Ah, bocah kecil
tidak akan pernah tahu bahwa menangis tidak akan pernah menyelesaikan
masalah.
***
Patmi masih terus menari. Tangannya meliuk-liuk mengikuti irama
gamelan. Suaranya, kian malam kian melengking, seperti suara anjing yang
kesepian. Para lelaki ikut menari, sambil sesekali minum tuak. Tuak
yang sudah seperti air biasa. Dan memang, di kota itu, tuak adalah
minuman sehari-hari.
Ini adalah malam pertamanya menjadi sinden. Tentu, hal ini ia lakukan
karena sebuah dendam. Betapa suaminya menjadi lelaki yang tidak berguna
semenjak tahu bahwa dada perempuan lain lebih menggoda. Terutama dada
sinden yang menari, meliuk-liuk.
Sebagai sinden yang baru di Tuban, Patmi melayani siapa pun yang ikut
menari. Terlebih bagi mereka yang kaya raya. Sebab, itu adalah hal
paling penting bagi kehidupannya.
Kini, ketika malam mulai larut, dan mata Patmi sudah semakin ngantuk,
tiba-tiba seorang lelaki berkumis tebal naik ke atas panggung yang
tidak terlalu tinggi itu. Tentu saja, lelaki itu pasti ingin menyawer.
Sebab, di tangannya sudah tergenggam uang yang entah berapa jumlahnya,
tidak ada yang tahu.
Dan memang benar, lelaki itu menyawer. Menyelipkan beberapa uang ke
dada Patmi. Patmi, yang ngantuk itu, bersyukur sekali. Sebab, uang yang
diselipkan lebih banyak dari biasanya. Tetapi, lama-kelamaan ia
menyadari. Ada sesuatu yang aneh, pikirnya.
Patmi merasa bahwa senyum lelaki itu mirip dengan senyum suaminya.
Gaya mengedipkan matanya juga sama, terlebih ketika batuk sambil
berdehem, dan terlebih lagi ketika lelaki itu meliukkan tangannya.
Di tengah-tengah alunan gamelan, Patmi merasa perlu mendekatkan
mulutnya ke telinga lelaki itu untuk melemparkan sebuah pertanyaan:
“Siapa kau?”
Lelaki itu tersenyum. Tetapi lama-lama menyeringai. Giginya bertaring seperti drakula.
“Yang jelas aku bukan suamimu.” Kata lelaki itu sambil dengan cepat menggigit leher Patmi.
Patmi berteriak kesakitan. Darah mengucur. Tak lama kemudian, ruh
Patmi terbang sambil berteriak “Aku bebas!”. Kemudian menari. Seperti
ruh-ruh yang lain menari merayakan kebebasannya. Bebas dari belenggu
jasad yang kotor dan jahat. q-e
Daruz Armedian, lahir di Tuban. Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, alumni kampus fiksi 20.
Cerpen Dody Wardy Manalu (Republika, 18 Juni 2017) Gerombolan Kupu-Kupu ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Mardi duduk termangu di kursi makan, menatap lurus ke tudung saji di
hadapannya. Ia menerka-nerka makanan apa yang dimasak istrinya pagi ini.
Tangannya mengangkat tudung saji dan menemukan sepiring tempe tanpa
sambal dan sayur daun ubi rebus. Mardi mengembuskan napas kuat. Raut
wajahnya menunjukkan rasa tidak suka pada hidangan di atas meja.
Menu itu lagi. Hampir sepekan menu tidak pernah ganti. Lidahnya sudah
bosan dengan rasa tempe bau tengik dan daun ubi yang terasa pahit.
Namun, ia memaksa diri menyantap sarapan seadanya itu. Ia harus punya
cukup tenaga untuk bekerja satu hari penuh di kebun Pak Liam. Bersyukur
pemilik kebun sawit terluas di kampung meminta dirinya ikut bekerja
mengambil buah dan pelepah.
“Aku tahu kamu bosan makan menu yang itu-itu saja.”
Kendari, istrinya, muncul di mulut pintu dapur tengah menyusui salah
seorang bayi kembar mereka. Wajahnya tampak letih. Kantong mata
dilingkari noda hitam. Urat-urat lehernya menonjol. Memberi asi untuk
kedua bayi sekaligus membuat ia kurus kering seperti induk serigala
kelaparan.
“Tempe makanan kesukaanku.”
Mardi menyuapkan nasi ke mulut beberapa kali, seakan ia makan dengan
lahap. Tak seharusnya ia pilih-pilih makanan. Mardi bukan pemuda lajang
lagi yang bisa bermanja-manja. Ia juga bukan sedang di rumah orang
tuanya yang dipenuhi berbagai jenis makanan.
Ibu dan kakak perempuannya sangat pintar memasak.
“Kamu ingin sekali makan bubur kacang ijo, bukan?”
Mardi menghentikan makannya, menatap Kendari yang masih berdiri di mulut pintu. Dari mana istrinya tahu hal itu?
“Tadi malam kamu mengigau menyebutkan bubur kacang ijo. Ingin sekali
memasaknya untukmu. Tapi uang kita sudah habis membayar utang di kedai
Pak Matondang.”
Seketika pipi Kendari berbalur air mata. Buru-buru Mardi menghampiri dan menarik tubuh Kendari dalam dekapan.
“Jangan menangis, ini bukan salahmu. Memberiku dua buah hati sekaligus telah membuatku menjadi ayah paling bahagia sedunia.”
Mardi mengusap rambut istrinya. Tanpa sadar ia juga menangis. Andai
menuruti perkataan orang tuanya, mungkin hidupnya tidak seburuk ini.
Dulu, kedua orang tuanya mati-matian membujuk Mardi agar sekolah. Namun,
kupingnya seakan tuli dan hati mengeras bagai batu. Satu pun perkataan
orang tuanya tidak ia dengar. Judi dan minuman keras lebih memikat
hatinya. Kini, sesal hadir saat merasa kesusahan mencukupi kebutuhan
rumah tangganya.
***
Mardi mengajak Kendari duduk di kursi makan, berharap bisa melupakan beban hidup yang tengah mengimpit.
“Kamu belum sarapan, kan?”
Mardi menyendok nasi, sayur, dan dua potong tempe ke dalam piring,
lalu menggesernya ke hadapan Kendari. Akhirnya, mereka sarapan bersama.
“Aku tidak ingat kalau tadi malam mengigau tentang bubur kacang ijo. Justru aku teringat pada mimpiku yang lain.”
“Mimpi apa?”
“Mungkin ini mimpi buruk. Aku bermimpi menjelma menjadi segerombol kupu-kupu.” Mardi meneruskan makannya.
“Menurutku itu bukan mimpi buruk. Aku sangat suka melihat kupu-kupu.”
Kendari sudah lupa kalau beberapa menit lalu baru saja menangis.
“Jika aku berubah menjadi kupu-kupu, itu artinya kita tidak bisa lagi
hidup bersama. Mana ada perempuan bersuamikan kupu-kupu.” Mardi
cemberut. Kendari tersenyum manja.
“Kata orang, bermimpi menjelma jadi kupu-kupu bertanda panjang umur,” hibur Kendari. Ia hanya bicara asal.
“Aku tidak mau menjadi kupu-kupu. Aku ingin selalu bersama si kembar
dan kamu.” Mata Mardi mengisyaratkan ketakutan, seakan mimpi itu benar
akan menjadi kenyataan.
“Jangan memandangku seperti itu. Mimpi hanya bunga tidur. Tidak akan terjadi. Percayalah!”
Kendari menyadari raut ketakutan di wajah suaminya. Ia bangkit
mengambil topi kerja yang tergantung di dinding dapur. Topi itu
dipakaikan ke kepala Mardi. Juga tas kerja yang berisi kotak nasi untuk
bekal makan siang. Kendari telah menyiapkan semuanya. Setelah Mardi
selesai sarapan, Kendari mengantarnya ke pintu depan.
“Cepatlah pulang, aku akan memasak bubur kacang ijo buatmu.”
Mardi urung memakai sepatu botnya.
“Kamu bilang uang kita sudah habis.”
Kendari gugup tak tahu harus berkata apa.
“Jangan meminta uang dari ibu lagi hanya karena semangkok bubur. Itu
akan merendahkan harga diri suamimu ini. Walau aku anaknya, tapi
kehidupan kita sudah berbeda,” lanjut Mardi.
“Aku lupa, ternyata kita masih punya uang yang kuselipkan di lipatan
kain. Aku rasa cukup untuk membeli kacang ijo, beras pulut, gula, dan
kelapa.”
“Aku pergi dulu.” Mardi mencium kening anaknya yang berada dalam
gendongan. Begitu Mardi sudah jauh di ujung jalan, cepat-cepat Kendari
masuk rumah. Dibuka lemari pakaian. Kain jarik yang masih baru ditarik
dari antara lipatan. Kain jarik itu hadiah dari ibunya ketika ia dan
Mardi menikah setahun lalu.
***
Kacang ijo, beras pulut, gula aren, daun pandan, dan kelapa
tergeletak di atas meja. Kendari memandanginya dengan mata berkaca-kaca.
Ia telah berbohong. Mereka tak punya uang sepeser pun. Untuk mewujudkan
makanan kesukaan Mardi, terpaksa menjual kain jarik pemberian ibunya.
Kedua anaknya telah terlelap beberapa menit lalu. Ia mulai sibuk
melakukan pekerjaan di dapur. Setelah kacang direbus, ia memarut kelapa
dan mengiris gula aren. Terbayang bagaimana reaksi Mardi saat pulang
nanti menemukan semangkok bubur kacang ijo di meja makan beraroma daun
pandan.
Kendari sangat menyukai bola mata Mardi. Bola matanya akan
mengerjap-ngerjap bila sedang gembira. Tatapan yang memancarkan
ketulusan membuat Kendari ingin selalu memeluk tubuh suaminya. Kendari
tersenyum mengingat tingkah lucu Mardi. Dua bulan lalu, Kendari masak
kolak. Rasa letih hilang seketika saat Mardi disuguhi sepiring kolak
sehabis kerja. Mulut Mardi menggelembung dipenuhi kolak, sesekali
menyodorkan satu sendok buat Kendari. Mereka tertawa-tawa. Ruang dapur
menjadi hangat oleh cinta.
Di waktu yang sama di tempat berbeda, Mardi bareng temannya sedang
memanen sawit dan mengambil pelepah yang telah masak. Pohon sawit yang
menjulang tinggi mengharuskan para pekerja menggunakan egrek bertangkai
panjang untuk mengambil buah dan pelepah.
Walau Mardi bertubuh kecil, ia sangat lihai memainkan egrek. Dalam
sekejap buah yang berukuran besar jatuh menghantam bumi. Mardi
menggantungkan nasib pada setiap buah yang ia panen. Gaji hari ini akan
ia gunakan membeli susu buat kedua bayinya. Kasihan Kendari, asi
miliknya tidak cukup untuk kedua bayi mereka.
“Mari istirahat sebentar, nanti kita lanjutkan kembali,” teriak teman sekerjanya.
“Aku akan menyusul setelah mengambil buah sawit di pinggir jalan itu,”
sahut Mardi sembari memikul egrek yang tangkainya meliuk-liuk di atas bahu.
***
Bubur kacang ijo telah masak. Kendari menyendoknya ke dalam tiga
mangkok. Mangkok pertama buat Mardi. Mangkok kedua untuk dirinya
sendiri. Sedangkan mangkok ketiga buat mertuanya. Bubur itu akan ia
antar ke rumah mertua yang jaraknya tidak terlalu jauh. Kendari berdiri
menghadap meja makan. Ia tersenyum puas memandangi ketiga mangkok berisi
bubur. Tugasnya telah selesai. Tinggal menunggu Mardi pulang dan
bagaimana reaksinya ketika melihat bubur itu.
“Tolong buka pintunya…,” sebuah teriakan disusul ketukan keras
membuat Kendari terhenyak. Ia beranjak menuju pintu depan, terkejut
melihat wajah panik seseorang begitu pintu dibuka.
“Ada perlu apa?”
“Mardi suaminya ibu…,” ucapnya tersendat. Wajahnya panik.
“Ada apa dengan suamiku?”
“Ia tersengat arus listrik. Egrek miliknya jatuh mengenai kabel.”
“Jangan bercanda. Ini sungguh tidak lucu.”
Hal-hal buruk langsung berkelebat di kepala Kendari.
“Aku tidak bercanda. Ini serius.”
Dunia seketika menyempit dan Kendari merasa terimpit di
tengah-tengah. Ia langsung menghambur ke halaman, berlari sekuat tenaga
menuju kebun sawit di mana suaminya bekerja. Orang-orang memadati tempat
kejadian. Kabar itu begitu cepat tersebar ke seluruh warga. Kendari
menerobos keramaian. Tangisnya meledak begitu melihat suaminya terkulai
tak berdaya. Mardi dimasukkan ke dalam lumpur untuk menghilangkan arus
listrik dari tubuhnya. Kendari berteriak memanggil nama suaminya seperti
orang kesurupan. Beberapa warga berusaha menenangkannya.
“Tenangkan hatimu. Suamimu hanya pingsan.”
Kendari tidak percaya. Semua itu hanya kata-kata penghiburan. Ia
melihat sendiri bagaimana keadaan Mardi. Bibirnya telah pucat. Tubuhnya
tak bergerak sedikit pun. Tiba-tiba seekor kupu-kupu terbang di atas
kepalanya. Kendari teringat akan mimpi itu.
“Aku tidak ingin melihatmu menjadi kupu-kupu…”
Kendari terdiam bagai patung, tak sanggup membayangkan bila esok akan menjalani hari tanpa suami.
***
Tubuh Mardi telah dimandikan. Ia terbujur kaku di atas tempat tidur.
Sanak famili berkeliling menangisi jasadnya. Kendari menghampiri,
tangannya memegang sebuah mangkok.
“Aku telah memasak bubur kacang ijo kesukaanmu. Bangun, mari kita cicipi bersama.”
Kendari menangis di samping tubuh suaminya. Bubur dalam mangkok telah dingin.
Sedingin perasaannya. Kendari harus belajar ikhlas menerima kenyataan.
Mulai besok, tak ada lagi sosok yang membuat meja makan menjadi ramai.
“Bangun. Mari kita makan buburnya,” ujar Kendari sekali lagi.
Seekor kupu-kupu masuk melalui jendela, terbang di atas kepala
Kendari. Kupu-kupu lain menerobos masuk hingga berjumlah ratusan ekor.
Kupu-kupu itu terbang bergerombol membentuk bulatan di udara. Tak
disangka-sangka, kupu-kupu itu hinggap di pinggir mangkok berisi bubur
yang ada di hadapan Kendari. Seorang kerabat hendak mengusir kupu-kupu
itu. Kendari melarang.
“Jangan diusir. Kupu-kupu itu adalah Mardi. Ia sangat menyukai bubur
kacang ijo.” Orang yang datang melayat mengira Kendari telah gila.
DODY WARDY MANALU Tinggal di Kecamatan Sosorgadong, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.
Jantung yang Mengikut ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Semenjak daging sekepal tangan kiri mengikuti Putroe Bunsu, ia merasa
tidak bebas seperti dulu lagi. Ia menjadi sangat malas pergi mandi ke
perigi yang jaraknya hanya empat meter dari dapur, sebagaimana rumah
lain di kampung yang masih memisahkan sumur dengan bagian utama
rumah. Belakangan Putroe Bunsu juga mulai malas menanak nasi. Benda
sebesar gumpalan tangan kiri itu selalu berdenyut seperti ingin
mengatakan sesuatu. Sayangnya tidak ditakdirkan memiliki mulut. Tak
dipedulikannya lagi kemarahan Lah Banta yang kelaparan saat pulang dari
ladang.
Pernah sekali waktu, Putroe Bunsu menceritakan perihal jantung yang
mengikutinya pada sang suami. Ia malah diajak ke orang pintar bersurban
putih untuk diobati dengan mencipratkan air jeruk dan wewangiyan tujuh
rupa ke kepalanya. Menurut pria bersurban itu, Putroe Bunsu telah kena
kutuk raja selatan dari Gunung Geurudong. Ia harus mandi di tujuh perigi
berbeda. Setelah melakukan ritual aneh dengan menumpang mandi pada
tujuh rumah tetangga si orang pintar, Putroe Bunsu pulang bersama Lah
Banta dengan perasaan gembira.
Begitu membuka pintu rumah, benda segumpal tangan kiri itu sudah
menantinya. Detak benda tersebut semakin cepat dan seperti ingin pecah
saja. Kali ini Lah Banta juga bisa melihat benda tersebut. Ia mundur
beberapa langkah, mengambil sebatang tukai yang diletakkan di samping
rumah. Kayu bulat sebesar pergelangan kaki dengan panjang satu meter
lebih yang ujung bawahnya diruncingkan itu siap ia pukul ke benda merah
yang terus berdetak.
Tukai itu berhenti begitu saja di udara. Lah Banta merasakan seribu
jarum kesedihan menusuk hati. Tukai yang biasanya digunakan untuk
melubangi tanah saat menabur benih palawija ia letakkan begitu saja di
depan pintu.
Putroe Bunsu menatap heran kepada suaminya yang terduduk lemah di depan sebuah jantung yang menyambut mereka di balik pintu.
“Ada apa gerangan, Suamiku?”
“Tiba-tiba aku teringat Kamal, putra kita,” air mata jatuh berlinang di wajah lelaki berkumis itu.
Jarum yang sama kembali menusuk ulu hati Putroe Bunsu. Sudah setahun
Kamal menghilang tidak diketahui rimbanya. Terakhir kali ia melihat
anaknya saat matahari sore kemerah-merahan. Ia sempat memarahi anak itu
karena belum memasukkan kambing ke kandang. Kamal pergi untuk mengambil
kambing yang digembalakan pada tanah kosong tidak jauh dari rumah
mereka. Karena hari sudah magrib dan Kamal tidak kunjung membawa pulang
kambing-kambing mereka, Putroe Bunsu menyusulnya sambil
memaki-maki. Tapi di sana hanya ada kambing-kambing yang mulai menangis
karena tak kunjung dikandangi dan diberi minum. Sambil memaki-maki juga,
Putroe Bunsu membawa pulang kambing-kambing itu. Ia berpikir sang anak
telah mengkhianatinya dengan pergi bermain bola ke lapangan di samping
sekolah SD yang ada di kampung mereka.
Setelah semalaman Kamal tak kunjung pulang, kecemasan mulai
menggelayuti rumah itu. Menurut Lem Seuhak, yang rumahnya berdampingan
dengan tanah kosong tempat Kamal mengembalikan kambing, seorang lelaki
bersepatu mengilap menaikkan bocah itu ke dalam mobil berkaca gelap yang
diparkir di jalan dekat tanah kosong. Keberadaan lelaki itu menjadi
misteri yang tak terpecahkan, bahkan setelah kasus tersebut dilaporkan
ke kantor polisi.
Kamal tak pernah pulang seperti lenyap dibawa pergi warna merah yang
merona di sore hari. Senja telah menculik Kamal, seperti senja yang
kerap mengganggu bayi- bayi dan ibu hamil. Menurut orang tua, putra jin
sangat suka berkeliaran mencari mangsa di sore hari. Sebagian dari orang
kampung mulai menganggap lelaki bersepatu mengilap itu merupakan putra
jin yang iseng menampakkan diri pada Lem Seuhak.
Kita lupakan sejenak Kamal dan penculiknya, kita kembali ke depan
pintu rumah Putroe Bunsu. Jantung itu bewarna merah, meletup-letup
semakin cepat. Sebuah suara yang sangat jauh keluar dari benda tersebut.
“Mak, tolong aku. Ayah, tolong anakmu ini.”
Lah Banta dan Putroe Bunsu saling bersitatap, kecemasan terpahat jelas di wajah keduanya. Suara itu sangat mereka kenal.
“Kamal, Anakku. Di mana kau berada? Beri kami petunjuk, Anakku,” Putroe Bunsu mulai menangis.
Hening tak ada jawaban. Kemudian terdengar suara tertawaan dari jauh.
Itu suara Kamal anak mereka. Jika ia bisa sebahagia itu, mengapa tadi
meminta tolong?
“Cukup! Persetan dengan semua ini. Aku harus bekerja, kita butuh makan.”
Bentakan Lah Banta membuat keadaan menjadi hening. Lelaki itu
berbalik meninggalkan sang istri yang masih menangis. Ia mengambil motor
yang tadi diletakkan di samping rumah. Keanehan istrinya dan perihal
sebongkah daging merah yang menunggunya di pintu telah membuatnya cukup
pusing.
Ia membawa motornya melewati lahan kosong, rumah Lem Seuhak, dan
terus melewati beberapa rumah panggung, tanah pekuburan, dan sekolah
dasar. Ia menghentikan motor tuanya di depan warung kopi. Beberapa
lelaki sedang berbincang sambil menikmati kopi. Yang lainnya
mengembuskan asap rokok dari bibir hitam mereka.
“Jadi benar kiranya kabar itu? Ada sindikat penculik anak yang
beroperasi di desa-desa?” seorang lelaki paruh baya mempertanyakan apa
yang baru diceritakan pria yang lebih muda yang duduk di depannya sambil
menaikkan kaki ke kursi yang terbuat dari kayu.
Sementara di meja kayu yang berada di depan mereka hanya terdapat gelas-gelas kopi, sebuah asbak, dan sepiring sirih.
“Sepertinya kita harus mulai mengantar-jemput anak-anak kita ke sekolah,”
ujar lelaki lain yang berada di sebelahnya. Lah Banta mengambil-menarik
kursi kosong yang berada di samping lelaki itu untuk duduk.
“Kudengar, seorang pemuda mencurigakan sudah ditangkap warga di desa
tetangga,” sambung lelaki yang pertama kali membuka pembicaraan perihal
penculikan anak-anak
“Bagaimana kabar anakmu, Lah Banta?” Suara lelaki yang berada di
seberang meja membuat lelaki itu menurunkan lengannya yang hendak
memanggil penjaga warung untuk memesan secangkir kopi pahit.
“Entahlah,” jawabnya singkat terkesan tak bersemangat. “Kopi satu,” ujarnya pada penjaga warung kemudian.
***
Tetesan bening luruh sudah di ujung mata Putroe Bunsu. Suaminya sudah
tak mau peduli perihal jantung yang terus saja mengikutinya. Ia ingat
Kamal putra mereka, Kamal yang hilang tak tahu rimbanya. Anehnya jantung
yang berdenyut itu semakin sering mengeluarkan suara tertawa yang riang
gembira. Seakan menertawakan kesialan nasib Puroe Bunsu yang kehilangan
anak itu.
Pada suatu sore, kala senja hendak menjelang, jantung itu seperti
memerintahkan Putroe Bunsu untuk mengikutinya masuk ke kamar
Kamal. Buku-buku pelajaran anak itu tersusun rapi di atas meja kayu yang
diletakkan di sudut kiri. Putroe Bunsu menghempaskan pantatnya di atas
tempat tidur. Dan sebuah pintu terbuka di dalam kepalanya.
“Bu, kepala bandeng itu untukku, ya.”
“Jangan. Kepala ikan milik bapakmu.” Anak-anak tidak boleh makan ikan
banyak-banyak, bisa cacingan.” Kamal menarik kembali tangan kanannya
yang tadi sudah terjulur di udara untuk mengambil kepala ikan masak
merah di tengah meja.
Putroe Bunsu merasakan ujung hatinya tersayat ….
“Dasar anak tak tahu diuntung. Disuruh cuci piring saja tak
becus. Kau pecahkan gelas minum bapakmu,” ujar Putroe Bunsu seraya
memukul betis anaknya dengan rotan berbelah delapan.
“Ampun, Bu. Aku tak sengaja,” Kamal berusaha membela diri, tapi rotan terus saja menghajar betis kecil yang memelas itu.
Bagian lain dari hati Putroe Bunsu seperti disayat sembilu ….
“Apa? Kau menghilangkan kambing jantan berbulu putih itu?” Putroe
Bunsu yang waktu itu sedang memegang pelepah bunga kelapa langsung
memukul Kamal dengan benda tersebut. Sebentar lagi Touke Mat Nasit akan
mengambil kambing itu.
Anak kecil itu menangis memohon ampun. Lagi bagian lain dari hati Putroe Bunsu seperti diiris-iris pisau dapur ….
Suara tertawaan sebongkah jantung yang kini tepat berada di depannya
menyadarkan perempuan itu dari lamunan masa lalunya. “Ibu puas sekarang?
Sebuah suara yang begitu ia kenal keluar dari dalam jantung.” Putroe
Bunsu terkejut bukan kepalang. Ia begitu mengenal suara itu.
“Kamal, Anakku? Katakan, Nak. Di mana kau berada saat ini.”
Lagi, terdengar suara tertawaan. “Kau tidak perlu mencariku lagi, Bu.”
“Jangan bilang begitu, Anakku. Maafkan ibu. Katakan siapa yang
menculikmu.” Seorang lelaki bersepatu mengilap melintas di kepala
perempuan itu.
“Dulu kupikir seseorang telah menculikku, Ibu. Dan …, ternyata aku salah.” Hening, hanya isakan Putroe Bunsu semakin lirih.
“Tidak ada yang menculikku, Ibu. Aku sendiri yang menculik diriku,” lanjut suara itu pelan.
Putroe Bunsu terkejut, memandang jantung yang detaknya semakin lemah
itu dengan seribu sesal dalam dada. Denyut benda itu semakin lemah,
kemudian berhenti sama sekali. Dan benda sekepal genggaman tangan kiri
itu pun jatuh menghantam lantai kamar.
IDA FITRI lahir di Bireuen 25 Agustus.
Sekarang bekerja di Aceh Timur. Karyanya terbit di media nasional dan
daerah. Buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul Air Mata Shakespeare. Salah satu kontributor Antologi Kopi 1.550 mdpl.
Cerpen Sandi Firly (Kompas, 18 Juni 2017) Hikayat Rumah Lanting ilustrasi Reza Akil/Kompas
“Kelak, apa yang aku kisahkan ini tinggal menjadi hikayat. Hikayat
rumah lanting. Maka catatlah baik-baik setiap perkataan dan kisahku
sebelum akhirnya nanti aku menutup mata, dan tak pernah lagi kulihat
cahaya matahari pagi atau senja mengapung di sungai dari jendela ini.”
Kai Badar, yang usianya telah melampaui abad, mulai bercerita sembari
berbaring di kasur lepek usang di samping jendela. Di luar, senja
kuning mulai luruh. Aku menyiapkan buku catatan, dan meletakkan sebuah tape recorder
di samping bahunya yang telanjang, kering, dan kurus. Meski sesekali
diselingi batuk-batuk yang seolah keluar dari rongga dadanya yang
tipis—sesungguhnya lebih mirip derit pintu yang engselnya tak pernah
diberi minyak pelumas, ia bercerita cukup lancar, terkadang seolah
memojokkanku walau kutahu ia tak bermaksud begitu. Entah karena batuk
yang terasa menyayat, atau karena ia terharu, bulir bening mengembun di
ujung matanya yang telah rabun.
Tak ada yang bisa aku lakukan untuk lelaki tua ini, selain hanya
mendengarkan tutur dari mulutnya yang kosong tanpa gigi hingga
menyerupai sebuah liang hitam—aku membayangkan suara-suara itu bukan
berasal dari mulutnya, tapi lubuk jiwanya. Ia berkisah dengan seluruh
semangat hidupnya yang masih tersisa, walau mungkin hanya tersisa
sekecil nyala lilin yang bergeletar diembus angin. Ada nada marah, juga
kecewa.
***
Sehari sebelumnya, Walikota Kota Air meninjau pembangunan siring
beton yang telah berlangsung hampir tiga bulan. Ia mengenakan kemeja
putih lengan panjang, bertopi koboi, berkacamata hitam, dan didampingi
beberapa anak buahnya.
Dari sini, tempat kami berdiri yang juga sebagian tepi sungainya
telah disiring, ia memandang ke seberang, persisnya ke sebuah rumah
lanting yang tampak menyolok karena satu-satunya bangunan kayu yang
masih tersisa. Sementara deretan kiri kanannya yang dulu berdiri
beberapa rumah lanting dan bangunan tua peninggalan zaman Belanda
berbahan kayu, semuanya telah digantikan beton berpagar etnik
Kalimantan; ukiran buah nanas lambang kesuburan.
Jelas sekali mata Walikota terganggu dengan rumah lanting
satu-satunya itu. Sambil berkacak pinggang dan mengembuskan asap rokok
ia berucap, “Mengapa rumah lanting itu masih berdiri di sana?”
Kepala Satpol PP, anak buahnya yang ditanya, lelaki berbadan besar
dan berkumis tebal itu seketika terlihat menciut—sejak itu aku tahu
lelaki yang tampak perkasa ketika ciut ia seperti balon yang mendadak
kempis kehabisan angin. “Maaf, Pak Wali, pemiliknya tetap ngotot
mempertahankan rumah lantingnya, walau sudah kita bujuk berkali-kali,”
jawabnya gugup sembari membungkuk dan merapatkan kedua tangan di antara
kedua pahanya yang juga dirapatkan.
“Ah…,” desah Walikota. “Begitu saja kalian tidak bisa mengatasi. Kan
sudah aku bilang tawarkan ganti rugi tinggi, kalau perlu dua kali lipat
dari nilai rumah reyot itu.” Walikota mengembuskan asap rokoknya
keras-keras, yang kemudian dibawa terbang angin tepi sungai yang
berembus semilir. Jelas sekali Walikota tidak senang mendengar laporan
anak buahnya tadi.
Masih terbata-bata Kepala Satpol PP yang kumis tebalnya mendadak
seperti layu itu menjawab, “Sudah Pak Wali. Malah kai tua pemilik rumah
lanting itu tidak mau dibayar berapa pun.”
“Halahhh…. Mana ada orang yang menolak kalau dikasih uang
banyak-banyak. Berapa sih dia mau? Setengah miliar, satu miliar?
Kasihkan saja!”
“Benar Pak Wali. Kai itu bilang, berapa miliar pun ia tidak mau terima.”
Walikota tercenung sejenak. Asap rokok berebutan keluar dari
mulutnya. “Yang begini inilah seringkali menghambat pembangunan,”
ucapnya pelan. “Tapi saya tidak mau tahu, rumah lanting itu tetap harus
dibongkar. Bagaimana pun caranya,” tandasnya agak keras.
Walikota berbalik melengos, dan saat itulah ia seperti baru sadar
kalau sejumlah wartawan sejak tadi mendengarkan pembicaraannya dari
belakang.
“Oya, kalian wartawan, pembicaraan tadi tidak untuk diekspos, off the record ya…,” katanya tersenyum ramah. Juga kepadaku.
“Terus bagaimana Pak kalau kai itu tetap tidak mau pindah?” tanya
seorang wartawan televisi, kamera yang dibawa temannya menyorot wajah
Walikota.
Dengan memasang wajah manis dan seakan-akan bijak, Walikota berkata
penuh wibawa. “Kita akan tetap melakukan pendekatan persuasif. Akan kita
jelaskan bahwa pembangunan siring ini demi kemajuan dan keindahan kota
kita juga, seperti kota-kota luar negeri yang pernah saya kunjungi,
Venesia, Belanda, atau Shanghai,” jelasnya dengan nada bangga. “Namun
yang jelas, rumah itu tetap harus dibongkar,” tandas Walikota, lantas
memasuki mobil dinas hitamnya.
Sore hari itu juga, sebuah alat berat penghancur bangunan perlahan
mendekati rumah lanting di tepi sungai. Orang-orang berdiri menyaksikan
dari atas jembatan. Tak ada yang bersuara. Tegang. Sementara alat berat
seperti kepiting raksasa berlengan satu itu perlahan berjalan siap
meluluh-lantakkan.
Orang-orang mendadak menjerit tertahan ketika sekonyong-konyong
keluar dari balik pintu rumah lanting itu seorang kai bertelanjang
dada—hingga jelas terlihat tulang-tulang rusuknya berbalut kulit tipis,
kering dan keriput. Ia berdiri persis di depan kepiting besi itu, hanya
berjarak satu meter. “Kalau kalian tetap menghancurkan rumah ini tanpa
berperikemanusiaan, maka kalian juga harus menguburkanku bersamanya!”
teriak kai itu lantang, namun samar ditelan deru mesin alat berat dengan
tangan panjang yang terulur siap mencengkeram atap rumah lanting yang
terbuat dari daun rumbia.
“Teruskan…! Teruskan…!” Kepala Satpol PP berteriak kepada petugas di
atas alat berat. Tampak sekali keraguan di wajah lelaki gemuk di
belakang stir alat berat. Tangan kepiting raksasa itu tertahan di udara,
hanya berjarak sejengkal dari atap rumah lanting itu. Suasana kian
tegang.
“Waduh…, Pak. Ini tidak bisa diteruskan. Bisa-bisa saya malah
membunuh kai itu!” sahutnya setengah berteriak. Keringat bercucuran
membanjiri kepala dan wajahnya.
“Haaahhh…!” Kepala Satpol PP menggaruk-garuk kepalanya yang botak setelah melepaskan topi.
Akhirnya mesin alat berat dimatikan, dan lelaki gemuk itu turun,
pergi menjauh sembari geleng-geleng kepala dan menghapus peluh di
kepalanya yang plontos. Orang-orang bertepuk tangan serta bersorak
seolah memberikan selamat kepada kai yang perlahan kemudian memasuki
kembali rumah lantingnya. Sementara tangan alat berat masih menggantung
di atasnya, begitu dekat.
Kerumunan di atas jembatan perlahan membubarkan diri, dengan senyum
dan napas lega. Arus lalu lintas yang sempat macet di atas jembatan
kembali lancar. Esok harinya, gambar seorang kai berdiri merentangkan
kedua tangannya yang kurus di depan rumah lanting, berhadap-hadapan
dengan alat berat yang terkesan seperti raksasa kelaparan, menghiasi
halaman-halaman depan koran di Kota Air. Tak terkecuali juga koran
tempatku bekerja.
Sebab itulah aku diminta mewawancarai kai itu untuk menanyakan lebih
jauh mengapa ia begitu gigih mempertahankan rumah lantingnya di tengah
pengerjaan proyek siring di tepi sungai yang membelah kota.
***
“Orang-orang muda sekarang tidak pandai menghargai sejarah. Seolah
sejarah adalah masa lalu yang harus dilupakan karena kuno, usang, dan
tidak menarik. Seperti rumah lanting ini, yang tersisa satu-satunya di
sungai ini pun ingin dihancurkan, ditenggelamkan, dimusnahkan.
“Kalian tidak pernah membaca. Tidak pernah mempelajari orang-orang tua dahulu.”
“Kalian menganggap sebuah kota yang indah adalah bangunan-bangunan
beton yang tinggi, baliho-baliho yang menutupi langit, tiang-tiang
antena yang menembus awan, dan rumah-rumah seperti istana raja. Lalu
makanan-makanan mewah yang disajikan di piring-piring kaca berukir,
minuman-minuman sari buah di cangkir-cangkir bening, serta barang-barang
luar negeri. Semuanya kalian nikmati sembari menyaksikan
tayangan-tayangan televisi yang menyajikan wajah-wajah cantik yang
melenakan. Kalian juga menghibur diri di ruang-ruang yang bergemuruh dan
penuh lampu warna-warni, bernyanyi keras-keras di kamar sempit dengan
diapit wanita-wanita yang juga berpakaian sempit. Kalian dengarkan
ceramah motivator-motivator untuk memperkaya diri.”
“Sementara itu, kalian mulai menyingkirkan peninggalan-peninggalan
orang tua dahulu. Kalian hanya memahami arti kekayaan dan keindahan
materi saja. Tapi tidak pernah memahami keindahan jiwa, kehalusan budi
pekerti. Semuanya hanya kalian nilai dengan uang, uang, dan uang.”
“Tahukah kalian, mengapa orang-orang zaman dulu membangun rumah-rumah
lanting ini? Membangun rumah di sungai, di tepian? Karena sungai inilah
nadi hidup, ia bisa mengarus lambat, namun juga suatu waktu menderas,
deras, bergejolak, melimpah menggenangi jalan-jalan hingga banjir di
mana-mana. Tapi kami orang-orang dulu tidak pernah mengalami banjir itu
meski air meluap setinggi apa pun. Rumah lanting kami bersahabat dengan
sungai, sungai meninggi rumah kami tetap di atas tak pernah tertelan
air, kami berjalan di atas air dengan jukung-jukung dan kelotok, kami
bertukar bahan makanan di atas sungai. Kami hidup bersama sungai.”
“Kini kalian mencoba membendung sungai dengan beton-beton. Lalu rumah
lanting kalian lenyapkan atas nama pembangunan, berdalih demi keindahan
kota. Sementara itu kalian korbankan sejarah, kalian lenyapkan kearifan
orang-orang tua dulu.”
“Tidak bisakah kalian membangun tanpa harus mengusir kami dari tepian
sungai tempat hidup kami? Sebegitu sulitkah yang kalian sebut
modernisasi berdampingan dengan tradisi-tradisi lama, seperti rumah
lanting ini?”
Dengan perasaan malu aku meninggalkan rumah lanting Kai Badar senja
itu. Dan entah mengapa aku merasa telah gagal mewawancarainya, kecuali
hanya mendengarkan keluh kesah bahkan mungkin serapah dari seorang tua
yang kecewa dan putus asa.
***
Senja ini seperti senja terakhir yang dilihat Kai Badar ketika aku ke
rumah lantingnya kemarin. Dari atas jembatan samping Pasar Lama Kota
Air, aku menatap rumah lanting Kai Badar yang hening, sesekali
terayun-ayun dihela ombak kelotok yang membelah sungai.
Kai Badar telah dikuburkan sebelum ashar tadi. Dari para pelayat dan
pengantar jenazah yang mendengar cerita dari Galuh, cucunya, semalam
batuk Kai Badar nyaris tak henti, tubuhnya yang terguncang tak saja
menggetarkan ranjang kayunya, tapi juga seolah melenggangkan rumah
lantingnya. Usai salat subuh, ia kembali berbaring. Setelah itu tak
terdengar lagi suara batuk. Dan pagi ketika Galuh telah menyiapkan nasi
kuning untuk sarapan, Kai Badar telah wafat—mulutnya yang kosong
setengah terbuka, dan mata terpejam rapat.
Setelah kepergian Kai Badar, aku tahu tak ada lagi yang bisa
menghalangi penghancuran rumah lanting itu. Sebuah alat berat, entah
sejak kapan, terlihat telah parkir tak jauh dari sana—mungkin malam
nanti akan digerakkan, dan serupa hantu akan melumat satu-satunya rumah
lanting yang tersisa itu. Seketika terlintas ucapan Kai Badar, “Kelak,
apa yang aku kisahkan ini tinggal menjadi hikayat. Hikayat rumah
lanting….”
Aku berjalan gontai sambil menggulung koran yang memuat kisah Kai
Badar dan rumah lantingnya. Aku merasa telah gagal membantunya
mempertahankan rumah lanting itu, kecuali hanya sebuah hikayat.
***
“Itukah rumah lanting yang dulu pernah kamu ceritakan kepadaku?”
Aku tersenyum nanar. “Bukan. Itu Restoran Terapung milik pemerintah,”
jawabku kepada Jeanny, teman dari Jakarta yang kukenal lewat jejaring
sosial internet sejak setahun lalu. “Rumah lanting kini hanya menjadi
hikayat,” ucapku lagi, pelan.
Jeanny sekilas menatap ke arahku, agak bingung, lalu kembali
mengarahkan perhatiannya ke bangunan yang mirip rumah, agak panjang,
berdiri di atas sebuah kapal besi tongkang karatan—bukan batang-batang
kayu bulat tempat dulu rumah lanting Kai Badar mengapung persis di situ.
Catatan:
Kai = Kakek
Jukung = Sampan
Kelotok = Kapal kecil bermesin
Sandi Firly, lahir 16 Oktober 1975 di Kuala
Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Seusai studi di
FISIP-Komunikasi Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Banjarmasin,
Kalimatan Selatan, pada 1999, bekerja sebagai wartawan.
Cerpen Toni Lesmana (Kompas, 11 Juni 2017) Tamasya Kota Pernia ilustrasi Komang Marna/Kompas
Aku sebenarnya tidak ingin membawamu setiap hari tamasya ke dunia
ini. Tapi ke mana lagi. Tak ada tempat lain bagiku. Dongeng-dongeng
indah yang menawan sudah habis dan kau menolak variasi apa pun, apalagi
pengulangan. Ingatanmu kuat, hingga tak bisa kusiasati. Sejak tamat
riwayat cerita-cerita, kau selalu saja mengajak bermain ke tempat-tempat
baru. Kamar dan rumah tak pernah bisa membuatmu betah.
Setiap pagi, usai kau mandi, berpakaian, dan makan. Usai ibumu
berdandan dan berangkat ke kantornya. Kau tahu, ibumu seorang pekerja
keras dan pantang menyerah. Mirip denganmu, yang setiap pagi selalu
punya cara untuk membujukku bermain ke tempat yang kau inginkan.
Mula-mula kau akan menarik-narik ujung celanaku, lalu mendaki kakiku,
bernyanyi-nyanyi di pangkuanku, lancang menjambak rambut sambil
memanjat ke pundak.
“Main lagi, main lagi. Orang-orang berkepala ayah! Orang-orang berkepala ayah!” bisikmu dengan irama yang jenaka.
“Tapi jangan bilang-bilang ibu.” Selalu begitu pintaku sebelum
meluluskan permohonanmu. Kau akan mengangguk lucu, kau tahu anggukanmu
itu adalah kunci untuk membuka pintu rahasia yang terletak di samping
kepalaku.
Kau tetap di pundakku saat aku menunduk memasuki pintu, dan berjalan
bebek sepanjang lorong. Dulu, pertama kuajak kau tamasya ke sini,
tanganmu erat menjambak rambut. Tegang. Bisa kurasakan dari jepitan
pahamu di leher serta gerak tumitmu yang menghantam-hantam dada.
Lorong ini tidak benar-benar panjang, hanya saja remang berliku dan
menurun. Lantas meluncur. Nah, saat meluncur inilah keteganganmu
mencair. Kau memekik riang. Tubuhmu mengentak-entak gembira. Pendar
cahaya jamur yang bertebaran seperti sarang kunang-kunang mungkin
membuatmu senang.
“Ayah, kita mau ke mana?” teriakmu saat itu.
“Tamasya.” Balasku ikut gembira.
“Ke mana?”
“Dunia bawah tanah.”
“Bukan tanah dongeng, kan?”
“Bukan!”
“Terus tanah mana, dong?”
“Tanah di dalam kepala ayah.”
Kau tertawa tergelak. Manis. Bernyanyi-nyanyi. Sementara aku meluncur
semakin cepat, kemudian mendarat tepat di tengah sebuah kota. Aku
memanggilnya Kota Pernia. Rumah-rumahnya bergoyang seperti ada per yang
ditanam di fondasi-fondasinya. Begitu pula pohon-pohonnya, seakan-akan
akarnya melingkar serupa pegas. Segalanya bergoyang seperti hendak
berhamburan begitu saja. Jalanan, rumah-rumah, pohon, dan langit.
“Kenapa ada langit, Ayah? Lucu, langitnya seperti menari!” Kau
bergulingan di atas jalanan yang bergerak seperti gelombang. Bulat
matamu seperti meloncat saat terbaring memandang ke langit ungu.
“Apa saja ada di sini. Dan tak pernah sama dengan dunia di atas.”
Jawabku sambil ikut terbaring. Bergulingan. Aku dan kamu terus bergerak
dan bergoyang seperti juga Kota Pernia yang terus bergoyang dan
bergerak. Hidup.
Kau begitu riang. Matamu takjub menatap setiap lekuk kota yang bergoyang. Berlari dan melompat-lompat. Menari berputar-putar.
“Kenapa kota ini terus menari, Ayah?” tawamu bertebaran. Kau berlari
lagi mengejar tawa dan kata-kata yang beterbangan seperti capung,
kupu-kupu, burung. Warna-warni. Di kota ini memang segala suara yang
keluar dari mulut akan mewujud dan hidup.
“Karena ada lagu yang tak terdengar dan tak terlihat di sini. Seperti
denyut jantung di tubuhmu.” Jawabku sambil menggenggam tanganmu. Dan
mengajakmu berjalan sepanjang jalan yang bergoyang. Rumah-rumah yang
hidup.
Tak pernah kulihat kegembiraan yang begitu indah dan memesona di
rautmu. Wajahmu yang mirip wajah ibumu itu, memancarkan cahaya. Tatapmu
bersinar di hadapan keajaiban.
“Ayah sejak kapan suka ke sini?”
“Sejak seusiamu.”
“Diajak kakek?”
“Tidak, sayang. Ayah berjalan sendiri.”
“Kok bisa?”
“Kan, ada dalam kepala ayah.”
“Ibu pernah diajak ke sini?”
“Tidak.”
“Kapan-kapan mesti diajak. Asyik. Ini ajaib.”
“Ssst, jangan pernah bilang ke ibu?”
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan.”
Kau terkikik digelitik kata-kata yang berseliweran, menyambar nakal
dan centil. Kata dan tawa beterbangan, sebagian melesat memasuki pintu
dan jendela yang terbuka, sebagian hinggap di pohon-pohon.
“Mereka bikin sarang!” Kau melonjak di hadapan liuk sebuah pohon
sambil menunjuk kata-kata yang memungut daun dan menyusunnya di atas
dahan.
Aku menarik lembut tubuhmu, bersembunyi ke belakang pohon. Berbisik
agar kau melihat ke arah jalan dan rumah-rumah yang terus bergoyang.
Kata-kata, tawa, dan nyanyian masih beterbangan. Meliuk-liuk di udara.
“Lihat!” ucapku memberi aba-aba.
Kau tiba-tiba melotot dan membekap mulut sendiri. Terkejut dan
takjub. Kakimu mengentak-entak riang. Seperti menemukan sesuatu yang tak
pernah terbayangkan.
Kau terus melotot ke arah pintu-pintu dan jendela, di mana muncul
orang-orang yang berjalan melompat-lompat. Orang-orang berhamburan dari
setiap rumah, mengejar kata-kata yang terus mengepak nakal seperti ingin
ditangkap. Orang-orang aneh. Sebagian lehernya begitu kecil dan
panjang, hingga mirip benang, dan kepalanya mirip balon, melayang ringan
di udara. Sebagian lagi menenteng kepalanya masing-masing, seperti
menenteng kantong untuk tempat menyimpan hasil tangkapan.
Hewan-hewan berdatangan dari berbagai arah. Hewan-hewan dengan posisi
kepala yang juga aneh. Kepala mereka bentuknya sama. Hewan apa pun
kepalanya sama.
“Mereka menari, mereka menari!” kau memekik, lantas menangkap kembali
kata-kata yang hendak terbang, digenggam dan dielus. Disembunyikan ke
dalam kantong celananya. Seakan sayang jika mereka tertangkap
orang-orang yang memenuhi dan menari di jalanan.
Kau menunduk dan mengajakku mengendap. Mendekati mereka.
“Kau takut?” tanyaku.
Kau menggeleng, “Mereka lucu! Apakah mereka jahat?”
“Tidak. Mereka hanya sunyi!”
“Apa itu?”
“Ya itu, tuh. Menari tanpa musik.”
Kau lagi-lagi tersenyum. Diam-diam meniru gerak mereka yang bergoyang
dengan irama yang berbeda-beda. Ada yang lambat, ada pula yang cepat.
Seakan-akan mereka mengikuti sebuah alunan musik, padahal di Kota Pernia
yang ada hanya sunyi. Tak ada suara-suara terdengar.
Semakin dekat. Berlindung di sebuah tembok sebuah rumah. Kau
menjulurkan kepala agar lebih jelas memandang. Kau tiba-tiba berbalik
dan menoleh ke arahku. Aku khawatir aku akan menjerit, panik, dan
histeris. Tapi kau, kau malah tergelak. Terpingkal-pingkal. Sampai
terbungkuk-bungkuk.
Tawa berhamburan.
“Ada banyak Ayah di sana. Mereka semua adalah Ayah. Ini kota Ayah.
Semuanya Ayah. Hewan-hewan juga berkepala Ayah.” Kau bersorak. Melompat
ke arah pelukanku. Memeluk dan menciumi. Kemudian dengan penuh semangat
menyeretku untuk berjalan ke arah mereka yang terus berburu kata.
Kupikir kau akan lekas mengajak pulang. Namun ternyata kau malah
asyik menari-nari dengan mereka keliling kota. Sesekali kau sengaja
bernyanyi, hingga nyanyian marak beterbangan di udara. Warna-warni.
Sengaja agar mereka yang kepalanya persis dengan kepalaku itu berlarian
mengejar dan memburu.
“Kenapa mereka tak bicara, Ayah?”
“Mereka tak punya kata-kata.”
“Oh, akan kuberi mereka kata-kataaa!”
“Jangan banyak-banyak nanti mereka rebutan terus berkelahi.”
“Tidak, dong, mereka baik, kok. Lucu dan kocak.”
“Kocak?”
“Ya. Kocak mirip Ayah. Kenapa mereka semuanya mirip Ayah.”
“Mereka memang Ayah, kok!”
“Dasar tukang ngarang. Kata ibu, pengarang itu suka ngibul.”
“Tapi senang, kan, di sini?”
“Senaaaang. Ayah punya rumah tidak di sini?”
“Kenapa memang?”
“Nanti kita berlibur di sini. Aku akan mendongeng buat mereka. Kasihan sekali, mereka kurang piknik.”
Untuk menghindari antusiasmu aku mengajakmu berkunjung ke setiap
rumah. Rumah yang hidup, seperti mempunyai mata, hidung, mulut, dan
telinga. Rumah yang bentuknya juga mirip kepalaku. Kau bermain dengan
mereka tak puas-puas. Kau mendongeng berkeliling. Kata-kata tak
habis-habis dari mulut mungilmu. Hingga selalu mesti kupaksa untuk
pulang. Tentu saja, aku tak ingin kau masuk terperosok ke dalam
lorong-lorong yang tersembunyi di banyak tempat di Kota Pernia. Lorong
yang akan membawamu ke gua-gua paling kelam. Tempat-tempat yang
kurahasiakan darimu. Selamanya.
Kau selalu terus berceloteh sepanjang perjalanan pulang yang cukup
berat. Kau di atas pundakku. Merengek-rengek agar setiap pagi datang
lagi dan lagi ke Kota Pernia. Kota yang segalanya bergoyang. Segalanya
hidup.
Di mulut lorong tempat kita datang, sudah menunggu sulur-sulur yang
meliuk. Aku memanjat seperti melayang, kau mengepak-kepak tangan seperti
burung. Riang kau bernyanyi melebihi keriangan setelah kau bermain di
alun-alun atau kolam renang atau taman bermain atau dongeng-dongeng.
Sampai kembali di kamarku. Kau tetap di pundak. Mengacak-acak rambut
seperti mencari pintu rahasia. Sesekali mengetuk-ngetuk kepalaku.
“Kepala yang aneh tapi ajaib!” bisikmu sebelum turun ke pangkuan dan
merosot ke kaki. Lantas kau akan mengambil buku-buku dan belajar
membaca, seperti pesan dari ibumu, untuk belajar di rumah semenjak kau
tak betah sekolah di taman kanak-kanak.
Siang hari kau ganti asyik dengan teman-temanmu yang datang mengajak
bermain hingga ibumu pulang bekerja. “Main apa saja tadi pagi sama
Ayah?” selalu begitu terdengar suara merdu ibumu.
“Kania belajar terus, Bu. Bentar lagi, kan, masuk SD. Ayah kerjanya
cuma mengarang, tak mau mengajak bermain. Marah-marah kalau didekati.”
Jawabmu dengan suara manja, sesekali sambil mengintip ke dalam kamarku.
Aku mengedipkan mata sambil berdebar dan bergetar menatap matamu yang
menggoda. Jangan-jangan, suatu saat, kau akan bercerita tentang Kota
Pernia pada ibumu. Kau menghilang dari pintu kamar. Barangkali masuk
dalam peluk ibumu. Perempuan yang kita cintai. Selamanya.
Toni Lesmana, lahir di Sumedang. Menulis
dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Salah satu cerpennya pernah
masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas tahun 2011. Buku yang telah terbit Himpunan Cerpen Jam Malam Kota Merah (Amper Media, 2012), Kepala-kepala di Pekarangan (Gambang, 2015), Kumpulan Puisi Tamasya Cikaracak (Basabasi, 2016). Kini menetap di Ciamis, Jawa Barat.
Cerpen Gunawan Budi Susanto (Suara Merdeka, 18 Juni 2017) Lelaki Itu Ingin Salat Id di Kampung Kelahiran ilustrasi Suara Merdeka
Perih! Itulah yang dia rasakan setiap kali menjelang lebaran.
Sekarang, sudah dua puluh kali lebaran sejak dia menghilang. Dua puluh
kali lebaran pula dia tak pernah pulang. Padahal, setiap kali lebaran
menjelang, kerinduan selalu memberual.
Jauh dari kampung halaman, rasa sepi mengecambah, lalu pelan-pelan
membelukar. Dan setiap kali lebaran, dia tersesat dalam belukar
kesepian. Dia merasa tak berarti, merasa sia-sia.
“Pulanglah. Telah kelewat lama kau lari.”
Desakan ingin pulang makin hari kian kuat. Namun kenapa untuk
meyakinkan diri pernah dan masih hidup mesti pulang ke tanah kelahiran?
“Kau pergi lantaran merasa tak mungkin hidup sebagaimana kauinginkan.
Kini, setelah sekian lama menghilang, kau merasa bisa hidup sebagaimana
kauinginkan. Orang pun mengenalmu sebagaimana kauinginkan. Namun kau
justru merasa hampa, merasa tak berarti bukan?”
Dia merenungi perjalanan hidupnya, sekian lama jauh dari kehangatan
keluarga, jauh dari canda tawa dan ledekan kerabat dan kawan. “Kenapa
mesti pulang untuk meyakinkan diri aku ada? Kenapa aku berharap diterima
saat pulang dan bisa hidup di kampung sebagai pribadi baru—yang mereka
kenali berjejak jauh dari masa lalu?”
Dia tertunduk. Air matanya merebak. Dia menahan isak.
“Pulanglah. Kau butuh kepastian: hidupmu bukan kekeliruan. Kau butuh
kesaksian dan pengakuan. Itu hanya bisa kau peroleh dari orang-orang
terdekat, terutama Ibu dan Bapak. Jangan tunda lagi, sebelum terlambat
dan kau bakal menyesal.”
Isaknya pecah. Dia menangis, tersengal-sengal. “Kenapa mereka tak
mencariku? Apakah bagi mereka, lebih baik aku tak ada ketimbang ada
tetapi tidak hidup sesuai harapan mereka?”
“Pulang dan kukuhkan: kau hidup sesuai dengan pilihanmu. Bukan
berdasar kehendak orang lain, sekalipun mereka ibu dan bapakmu. Tak
perlu ragu. Jika pulang, kau bakal tahu: mereka menerimamu apa adanya
atau menganggapmu tak pernah ada.”
“Apa setelah itu aku bisa tetap hidup seperti sekarang? Atau harus mengubah diri seperti harapan mereka?”
“Pulanglah dan kau bakal tahu.”
***
Kini, di kamar hotel di kota kabupaten, dia mematut-matut diri di
depan cermin. Pria tampan berbaju koko, bersarung palekat, dan berpeci
hitam serbabaru itu tersenyum.
Lalu dia melepas peci, baju koko, sarung palekat dan menggantungnya
di lemari. Dia ambil pakaian dari koper, memilih, dan berdandan. Di
dasar koper tersisa mukena putih. Mukena lama, seusia masa pelariannya.
Dia letakkan mukena itu di kasur. Dia buka lipatan. Menguar bau kapur
barus. Dia tempelkan mukena itu ke tubuh di depan cermin. “Cingkrang, kurang panjang, tapi masih bisa kupakai.”
Beberapa saat kemudian dia sudah mengarahkan mobil menuju kampung halaman. “Cuma 15 kilometer. Aku tak perlu tergesa-gesa.”
Memasuki jalanan desa, mobil memelan. Dadanya berdebar, hatinya
berdenyar. Namun sekonyong-konyong kegugupan menyeruak. Dia menepikan
mobil di jalan yang terapit hamparan sawah. Bulir-bulir padi kuning
merunduk.
“Sebentar lagi panen,” gumam dia.
Turun dari mobil, dia berjongkok di tepi parit. “Bukan beras ketan.”
Dia teringat, dulu saat bocah, ketika bulir padi merunduk, dia dan
adik-adiknya acap ke sawah itu. Mereka mengambil setangkup, lalu memecah
kulit padi, menggigit dan mencecap. Gurih!
Mereka juga membuat peluit dari dami, batang padi. Meniup berbarengan
atau bergantian, unggul-mengungguli. Pemilik peluit bersuara paling
keras dan panjang, boleh menggigit dan mengunyah bulir padi yang dikupas
sang pecundang.
Dia seperti melihat kembali ketiga adiknya berseru-seru di ujung
pematang. Menunjuk-nunjuk ke sesela rumpun padi. Dia turun ke lumpur.
Adik-adiknya berseru riang.
“Itu, Mbak, itu di depanmu! Lagi, lagi…. Itu, Mbak, itu, di kiri!”
Matanya menerawang, jauh ke ujung jalan. Di sana, di pengujung jalan
itulah rumah mereka. Di sana, di dapur rumah masa bocah itu, sepulang
dari sawah mereka merebus keong sawah. Sedap!
Matanya berkaca-kaca. Dia gamang.
“Bangkitlah! Temui mereka!”
Dia bangkit, masuk ke mobil, memasuki desa. Jalanan teduh, terpayungi tajuk pohon besar trembesi di kiri-kanan. Menyegarkan.
Mobil memelan dan berhenti di depan balai desa. Beberapa lama dia
masih terduduk. Sejenak ragu, tetapi akhirnya dia turun dan memasuki
balai desa. Ah, dia baru ingat: ini Minggu. Pantas balai desa lengang.
Cuma ada seseorang duduk di sana, membaca koran. “Kula nuwun!” “Mangga!” sahut lelaki di balai desa itu sembari menurunkan koran.
Dia tersentak kaget. “Dwicipta?” desis dia seraya merandek.
“Mari, silakan masuk,” ujar lelaki itu berdiri, melipat dan meletakkan koran ke meja. “Maaf, Bapak siapa? Ada keperluan apa?”
Dia mendekat, mengulurkan tangan. “Saya Hendra. Kebetulan lewat desa
ini, lalu teringat punya kawan SMA di sini. Memang sudah sangat lama,
tapi siapa tahu bisa bertemu. Bapak…?”
“Dwicipta, kepala desa ini. Silakan duduk.”
“Oh!” Sembari menekan kegugupan, dia duduk. Sejenak dia tertunduk. “Dia tak mengenaliku!” batin dia.
“Kawan SMA? Siapa, Pak?”
“Reni. Dulu bapaknya lurah,” sahut dia. Dadanya berdegup kencang. Dia mengusap dahi yang membasah, berkeringat.
Lelaki di hadapannya terdiam. Menerawang ke kejauhan. Sejenak lelaki
itu mendongak, menatap tajam, lalu berucap pelan, “Dia mbakyu saya. Kami
tak tahu di mana dia sekarang. Sudah kami cari ke mana-mana. Dia
menghilang. Tak pernah berkabar, tak pernah pulang.”
“Menghilang…?”
“Ya. Kini, Bapak dan Ibu sudah sepuh. Sebelum meninggal, mereka ingin bertemu. Namun….”
“Ah, maafkan saya. Saya pamit,” ujar dia tiba-tiba sambil bangkit.
Sembari menahan gemuruh di dada, dia bersicepat melangkah, masuk mobil,
dan melaju. Meninggalkan sang kepala desa yang terlongong.
Di kamar hotel, dia termangu di tepi pembaringan. “Mereka
mencari-cari kamu kan? Apalagi yang kautunggu? Mau lari ke mana lagi!?”
Dia membaringkan diri, miring, menekuk lutut nyaris menyentuh dada. Mlungker. Matanya memejam. Segala kenangan berseliweran dalam benak. Silang-sengkarut, serupa gambar-gambar tumpang-tindih tak keruan.
“Berapa kali sudah kau diusir dari kos? Berapa kali lagi kau harus
berurusan dengan polisi?” hardik sang ayah ketika dia pulang dengan
wajah dan tubuh lebam. “Kaupikir dengan lagak jagoan, orang percaya kau
lelaki jantan!? Copot celanamu, pakai rok! Kau kusekolahkan di kota
bukan untuk jadi bergajulan macam itu. Melawan kodrat!”
Akhirnya, setelah terjadi berkali-ulang, dia tak lagi menggubris. Dia
ganti pakaian, lalu kabur dengan motor protolan. Tak memedulikan
tatapan sayu sang ibu yang menekan tangis. Berhari-hari dia tak pulang.
Berbulan-bulan, bertahun-tahun. Dia menghilang, sampai sekarang.
***
Dia menekan perut yang melilit-lilit. Nyeri. Dia bangkit. Sambil
menekan perut, dia terhoyong-hoyong masuk kamar mandi. Dan ah…, belum
sempat mencopot celana, darah sudah membanjir.
Dia menggelosor di lantai bersandar dinding. “Kenapa Kau tak memberiku pilihan? Kenapa!?”
Sesaat kemudian dia keluar. “Halo! Mbak, bisa minta tolong room service membelikan pembalut?” ujar dia lewat saluran telepon internal.
“Bisa, Ibu. Nanti kami antar ke kamar.”
“Ya, Mbak, saya tunggu. Terima kasih.”
Dia naik ke pembaringan, bergelung telanjang di bawah selimut.
Meringkuk, merutuki nasib. Kini, dia tak mungkin kembali ke tanah
kelahiran untuk salat id saat lebaran. Jangankan dengan peci, sarung,
dan baju koko serbabaru, salat dengan mukena lama pun musykil dia
lakukan. (44)
Patemon, 14 Juni 2017: 04.30
– Gunawan Budi Susanto berasal dari Blora, kini tinggal di Semarang. Buku cerpennya Nyanyian Penggali Kubur (2011, 2016) dan Penjagal Itu Telah Mati (2015). Kumpulan cerkak-nya, Cik Hwa, sedang dalam proses penerbitan.