Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Masa
kanak-kanak adalah masa terbaik untuk mempelajari bahasa. Inilah saat
yang tepat untuk mengajarkan anak pada kosakata yang belum pernah mereka
jumpai sebelumnya. Saat mendongeng pastinya terdapat kata-kata baru
yang belum mereka pahami. Saat mendongeng kita akan mendapatkan banyak
pertanyaan seperti, “Kastil itu apa? Bijaksana itu apa?” Melalui
pertanyaan-pertanyaan itulah, saatnya orang tua mengajarkan pada anak
tentang arti dari sebuah kata.
2. Meningkatkan kemampuan mendengarkan anak
Mendengarkan
ternyata bukan hal yang mudah. Anak-anak cenderung lebih senang
berbicara dari pada mendengarkan. Saat di sekolah, anak-anak senang
berbicara dari A sampai Z, bahkan ketika guru sedang menjelaskan di
depan kelas mereka tak henti berbicara dengan teman-teman di sebelahnya.
Begitu pula saat di rumah, anak-anak juga tak henti berbicara bahkan
ketika orang tuanya sedang memberi nasihat. Dengan mendongeng, orang tua
mengajarkan anak-anak mereka untuk diam dan mendengarkan saat orang
lain berbicara. Mendongeng mengajarkan anak-anak untuk menjadi pendengar
yang baik. Jika anak terbiasa mendengarkan dongeng, mereka akan
terbiasa untuk menghormati ketika ada orang lain berbicara, dan
kebiasaan ini akan terbawa baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun
masyarakat.
3. Meningkatkan pemahaman anak tentang sejarah dan budaya
Dongeng
biasanya bercerita tentang sejarah, mitos, fabel dan legenda. Melalui
mendongeng, anak-anak diperkenalkan pada cerita sejarah ataupun budaya
Indonesia. Contohnya dongeng Roro Jonggrang, melalui cerita Roro
Jonggrang anak diajarkan tentang sejarah Roro Jonggrang yang ada di
Candi Prambanan. Kita juga bisa tambahkan pengetahuan tentang lokasi dan
hal-hal yang berkaitan tentang candi Roro Jonggrang. Dengan begitu,
mendongeng tak hanya sekedar mendongeng, namun sarana untuk meningkatkan
pemahamanan tentang sejarah dan budaya Indonesia.
4. Mengajarkan nilai moral pada anak
Cerita
yang baik adalah cerita yang mengandung pesan di dalamnya. Dalam
bercerita jangan lupa untuk memilih sebuah cerita yang dapat diambil
nilai kebaikan di dalamnya. Tak hanya nilai moral saja, namun banyak
nilai-nilai kebaikan lainnya yang dapat kita ajarkan pada anak melalui
sebuah cerita. Contohnya ketika mendongengkan cerita tentang ‘Bawang
Merah dan Bawang Putih’, ajarkan pada anak tentang pesan yang tersirat
di dalam cerita tersebut bahwa siapa yang berbuat baik dan tulus akan
mendapatkan balasan yang baik pula.
5. Sarana belajar yang menyenangkan
Salah
satu cara belajar yang mengasyikan bagi anak adalah melalui
mendengarkan dongeng. Dengan mendengarkan dongeng anak akan belajar
banyak hal, mereka belajar bahasa, belajar budaya, belajar memahami
cerita, serta belajar menemukan pesan moral dalam cerita. Bagaimana
caranya agar anak belajar sambil mendengarkan cerita? Itulah tugas
penting untuk si pendongeng agar membuat cerita yang menarik dan membuat
anak penasaran untuk bertanya. Jika disampaikan dengan cara yang tidak
menarik, anak akan kehilangan minat untuk mendengarkan dan bertanya. Di
tengah-tengah mendongeng, kita juga bisa menyelipkan
pertanyaan-pertanyaan kepada anak untuk mengetahui seberapa jauh anak
memahami cerita. Seorang ahli bahkan menyarankan agar anak didorong
untuk membuat cerita pendek dengan karakter-karakter yang telah
diceritakan.
Cerpen Fadjriah Nurdiarsih (Pikiran Rakyat, 19 November 2017)
Bertahan ilustrasi Maghdalena/Pikiran Rakyat
AKU ingin bercerita padamu tentang kisah pada hari Minggu di kota
kami yang cantik. Kota kami yang di setiap sudutnya diperindah dengan
patung-patung yang artistik berkat bupati kami yang nyentrik dan berjiwa
seni. Setiap Minggu pula di alun-alun, ramai orang berdatangan untuk
memainkan beragam permainan tradisional. Berkat arahan bapak bupati
pulalah jenis-jenis permainan semacam godak sodor, engrang, dan
sebagainya masih bisa kaulihat sampai dengan saat ini.
NAMUN, tokoh utama kita bukanlah sang bupati, melainkan seorang
perempuan bersuami yang telah yatim dan suaminya. Si istri, Sri, tinggal
bersama suaminya dan ibunya di belakang gedung mewah kantor partai yang
menjadi penyokong utama sang bupati. Mereka terpaksa pindah ke gubuk
reyot itu karena suatu sebab menyedihkan yang akan kuceritakan kemudian.
Awal mula ceritanya sendiri sudah lewat beberapa tahun yang lalu
ketika di kota kami belum banyak berdiri patung-patung dan sang bupati
belum gemar melantik kepala desa malam-malam di tengah sungai. Keluarga
itu tinggal di sebuah desa yang dipenuhi kebun karet dan jagung.
Sebagian besar penduduknya mencari nafkah sebagai penyadap nira,
sebagian lagi berkebun jagung dan ketela, sementara sisanya menjadi
buruh pabrik dan sopir angkot.
Meskipun rumah tinggal mereka sangat jauh darĂ kota, jangan kau
bayangkan mereka adalah orang-orang yang selalu ramah dan tulus membantu
seperti cerita lama di buku-buku dongeng. Aku mendengar kisah ini dari
ibuku yang berkunjung ke sana, yang merasa begitu heran dengan sifat
manusia pada masa sekarang. Tulislah, begitu ibuku berpesan kepadaku
setelah aku mendapatkan ceritanya.
Beginilah kisahnya. Si istri baru saja berumur 19 tahun ketika ia
bertemu laki- laki pujaannya. Si laki-laki berasal dari desa seberang.
Mereka berdua saling mencintai. Jika malam Minggu tiba, si laki-laki
akan menjemput kekasihnya, lalu mereka akan berboncengan naik motor
menuju pusat kota. Gedung bioskop dengan dua layar kecil menjadi tujuan
mereka.
Sampai akhirnya bapak si gadis itu meminta sang laki-laki melamar
putrinya. “Aku malu, tetangga membicarakan anak gadis Bapak yang dibawa
ke mana-mana oleh laki-laki. Menikah sajalah kalian,” begitu pinta
orangtua itu.
Si laki-laki itu menyetujui. Meski permintaan si Bapak terlalu cepat
ia sudah punya uang 10 juta rupiah, ia kira uang itu cukup sebagai
mahar. Ia tak pernah menyangka si bapak menyewa tenda yang besar dan
menjamu makan daging saat lamaran. Keluarga si laki-laki yang hanya
berdelapan orang kaget tatkala lebih dari dua puluh orang menerima
mereka.
Namun, Sri begitu cantik. Maka ia hanya mengangguk ketika si Bapak
menyebutkan ia masih berutang 2 juta rupiah untuk tenda dan membeli
daging. “Akan kucarikan uangnya, Bapak tenang sajalah,” kata laki-laki
ini gagah. Padahal, uang 10 juta miliknya sudah habis ia serahkan.
Laki-laki itu baru berumur 22 tahun. Tetapi ia sedang sangat
berbahagia dan karena Sri sudah dilamarnya, maka ia berhak berbuat
sesukanya kepada gadis itu. Di tengah hutan karet ia mencium gadis itu.
Ia membelikan Sri pakaian yang bagus-bagus dan membawakan orangtuanya
makanan yang enak-enak, sehingga mereka tak perlu lagi memasak.
Saat dirinya dan Sri berdiri di pelaminan, keduanya laksana dua orang
yang paling berbahagia di dunia. Pesta semalaman suntuk dengan lakon
wayang kulit dari dalang terkenal memeriahkan pesat itu. Ia bersyukur
dengan banyaknya tamu yang datang dan malam harinya menyetubuhi istrinya
dengan bersemangat.
Malangnya kebahagiaan pasangan itu tak berumur lama. Suatu hari di
sore yang panas, tatkala si laki-laki baru saja kembali seusai bekerja
di pabrik dan hendak menikmati singkong goreng buatan istrinya, bapak
mertuanya memberikan kabar yang langsung membuat tidurnya tak nyenyak.
“Nak, ketika pestamu dulu dilangsungkan, aku berutang. Bukannya aku
sengaja berutang, tapi kau harus tahu kebiasaan orang-orang di sini.
Mereka saling membantu ketika ada yang hendak menggelar pesta. Pak haji
di sana, kau tahu, kemarin membawakan aku beras sekuintal. Ibu yang di
sana, kau tahu, membawakan aku telur dua peti. Sementara pada si mandor
aku berutang 20 kilogram daging kerbau. Catatannya ada di sini dan
semuanya harus dikembalikan begitu mereka ada perlu, entah untuk menyu
nat atau menikahkan anaknya. Itu sistem gotong-royong yang berlaku di
sini, Nak.”
Ila hanya memandang buku tulis berisi catatan bantuan dan pemberian
hadiah saat pesta pernikahan yang diberikan mertuanya. Kepala mendadak
terasa berat karena utangnya yang dua juta di kantor, yang diajukannya
untuk membantu biaya jamuan lamaran, belum juga lunas dibayarkannya.
Namun, berlawananan dengan kata hatinya, dengan tenang ia berkata,
“Tidak apa-apa, Bapak, serahkan padaku.”
Dan benarlah beban itu kemudian jatuh seluruhnya ke pundaknya. Dua
bulan kemudian sang Bapak wafat meninggalkan utang-utangnya. Semuanya
masih mampu ia bayarkan, hingga saatnya Sri melahirkan seorang anak
perempuan. Tetangga- tetangganya kembali datang membawakan berbagai
macam hadiah. Karena ia beroleh seorang putri, maka tak terhitung
banyaknya cincin, gelang, dan kalung yang diterimanya sebagai utangan.
“Kenapa tak kau tolak saja, Sri, kalau memang mereka tak ikhlas
memberi. Kalau itu pemberian, kenapa pula kita harus mengembalikannya,”
ujarnya tak terima.
“Ah, kau ini, Mas. Memang seperti ini kebiasaan yang berlaku di sini.
Tidakkah kau lihat putri kita cantik sekali memakai perhiasan seperti
ini. Anak perempuan memang seharusnya dihadiahi emas,” kata Sri.
Begitulah. Betapa tradisi desa yang katanya untuk membantu sesama
telah mencekik lehernya sedemikian rupa. Ia terimpit dari segala sisi
untuk membayar utang-utangnya karena hampir setiap minggu berdatangan
orang-orang yang meminta bantuan mereka dikembalikan.
Dan kini anaknya meminta susu! Entah karena apa sebulan setelah
melahirkan tetek Sri tak lagi mengeluarkan air. Iba melihat cucunya
terus-menerus menangis lantaran tak kenyang, ibu mertuanya meminta
anaknya dibelikan susu sapi kalengan. “Harus merek ini supaya nanti ia
jadi pandai,” begitu pesannya sebelum ia pergi ke kantor pagi itu.
Ketika ia mencoba berkeluh kesah pada teman-temannya sesama lelaki di
pabrik, semua menertawakannya. “Seperti orang kaya saja kau memberi
anakmu susu kalengan. Sudah, beri saja ia air tajin dan pisang supaya
kenyang dan tak menangis lagi,” ujar seorang kawannya.
Yang lebih penting lagi tentulah rencana aksi. Pemilik pabrik telah
lama mengotori desa. Sekian lama mereka bisa membohongi penduduk dengan
menyumpal kepala desa yang mata duitan itu. Tetapi sudah ratusan warga
tumbang dan berobat ke rumah sakit.
Bayangkan, sebuah aksi, betapa gagahnya. Mereka baru saja membentuk
serikat pekerja dan akan menuntut pemilik pabrik meningkatkan gaji dan
memberikan jaminan kesehatan bagi keluarga buruh. Ia tersenyum
membayangkan bisa melunasi utang-utang persalinan dan hadiah bayinya.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Begitulah
kira-kira peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kemalangan keluarga
itu. Utang tak terlunasi, ia pun dipecat dari pekerjaan lantaran
dianggap membangkang setelah menggelar demonstrasi.
Maka, apa yang dapat diperbuat keluarga kecil malang itu ketika
sekelompok orang menyita rumah mereka lantaran tak mampu melunasi utang?
Mereka pun pindah ke kontrakan kecil di belakang kantor pusat partai
penyokong sang bupati. Sri minta izin bekerja untuk membantu suaminya
yang menganggur. Tak ada jalan lain sebab emas hadiah putri mereka sudah
lama dijual. Ia berhenti tiga bulan kemudian tatkala sang suami yang
cemburu mendatanginya ke pabrik dan melabrak laki-laki yang membonceng
istrinya pulang dengan sepeda motor.
“Keterlaluan kau itu, Sri. Kuberi izin bekerja malah melacur!”
Pertengkaran demi pertengkaran pun terjadi sampai akhirnya sang suami
ke luar dari rumah. Tak ada yang tahu ke mana ia pergi karena ia tak
memegang telepon seluler sebagai alat komunikasi. Sri dan ibunya
memburuh jadi penjahit bulu mata palsu. Setiap selesai menjahit satu
pasang, mereka mendapatkan upah Rp 750. Dengan upah sekecil itu, anaknya
berhenti minum susu apa pun.
Semuanya membicarakan Sri setelah suaminya pergi, kata ibuku.
Apa katanya, tanyaku.
Kasihan, Sri. Badannya sampai jadi kurus dan mukanya kuyu. Padahal dulu ia cantik sekali.
Lalu hari Minggu itu, Sri ditemukan mati di kamarnya. Bersama
anaknya. Bersama ibunya. Tepat saat Bupati hendak merayakan hari ulang
tahun partai yang kedua puluh. Mereka yang mencium bau tak sedap
menyelidik ke rumah reyot di belakang gedung mentereng itu. Sri, ibunya,
dan anaknya tidur berjejer di atas kasur. Dan ada surat yang
menjelaskan semuanya. Mereka bunuh diri minum racun, kata ibuku.
Ya, Tuhan. Dan suaminya?
Suaminya pulang dua hari kemudian.
Sri, ibunya, dan anaknya sudah dimakamkan.
Ke mana dia?
Jadi sopir di Lampung. Kasihan, padahal dia pulang untuk mengajak istrinya pindah karena sudah dapat pekerjaan.
Otakku limbung mendengar cerita ibuku. Seperti kau pikirkan, aku tahu
kisah ini sepertinya tidak nyata. Tak mungkin ada yang bernasib seburuk
ini. Tetapi apa boleh buat, seperti diceritakan ibuku, ini nyata
senyata-nyatanya. Ibu bilang suaminya sekarang jadi giia. ***
Cerpen Artie Ahmad (Kedaulatan Rakyat, 19 November 2017) Padang Beton ilustrasi Joko Santoso/Pikiran RakyatDARI tempatnya duduk, mata Ratman memandang ke
bawah. Jauh dari pinggiran jalan besar di lereng bukit ini, dusun
tempatnya tinggal tampak kecil. “Dusun ini sudah berubah,” gumam Ratman
dengan tatapan mata yang nanar.
Zaman telah menggerus dusun yang udik itu menjadi hamparan surga bagi
pelakon ekonomi. Hamparan sawah dan perkebunan palawija, telah bersalin
rupa menjadi pabrik-pabrik.
Tanah yang dulu subur saat mangsa rendeng, dan kerap tandus saat
mangsa ketiga itu kini telah digantikan beton-beton yang mengukuhkan
bangunan pabrik. Hamparan hijau persawahan dan ladang telah berganti
menjadi ladang beton yang terhampar luas. Beton yang kelabu. Ditambah
cerobong asap yang menjulang memuntahkan asap pembakaran setiap hari.
Awalnya Ratman tak pernah menduga, dusun tempatnya dilahirkan akan
berubah sedemikian cepatnya. Dusun yang dahulu seolah terisolasi dari
hiruk-pikuknya kota. Tanah air kecil bagi Ratman dan warga dusun
lainnya. Sampai suatu hari, seorang pengembang berusaha membebaskan
lahan warga. Sebuah pabrik sepatu dan sandal akan didirikan di sana.
Warga yang menjual lahannya, bisa bekerja menjadi buruh tetap di pabrik
baru nanti. Serangkaian jaminan hidup dan tunjangan-tunjangan
menggiurkan dijanjikan kepada warga. Sedikit demi sedikit lahan warga
dibeli. Satu pabrik didirikan, selanjutnya pabrik lain menyusul berdiri.
Ratman bukannya tak mau bekerja di pabrik. Beberapa waktu lalu,
ketika ladang tempatnya memburuh milik Wak Haji dibeli pengembang,
sesegera mungkin Ratman mendaftar ke salah satu pabrik yang sudah
beroperasi. Namun lamarannya mendapat penolakan. Ijazah SD miliknya tak
memenuhi syarat untuk menjadi buruh pabrik.
Ratman pulang ke rumah dengan perasaan hampa. Janji-janji manis
pemilik pabrik dulu ternyata hanya pepesan kosong belaka. Buktinya
Ratman ditolak bahkan sebelum masuk ke dalam pabrik. Nyatanya Ratman tak
sendiri. Banyak warga dusun dengan lulusan pendidikan rendah yang
ditolak pabrik. Kebanyakan pekerja pabrik-pabrik yang berdiri di dusun
itu malahan orang-orang dari luar dusun. Petak-petak kamar mes dibangun
di seputaran pabrik untuk tempat tinggal pekerja dari luar dusun itu.
Dari tempatnya duduk di pinggiran jalan besar menuju kota, Ratman
memandang dusunnya yang kecil dengan perasaan sedih yang mendera. Di
rumahnya yang menyempil di antara rumah warga dusun lainnya, dia
membayangkan apa yang dilakukan Suciati. Mungkin sekarang istrinya
sedang menidurkan Nurmala, anak pertama buah perkawinan mereka berdua.
Atau mungkin Suciati sedang menangis di dapur seperti sebelum-sebelumnya
ketika dia gelisah sembari mengelus-elus perutnya yang semakin
membuncit. Suciati sedang hamil anak kedua.
Lamunan Ratman buyar, tatkala angkutan desa berhenti di dekatnya.
Dengan angkutan itu Ratman akan pergi ke kota. Mencari peruntungan lain,
desanya yang kini menjadi padang beton itu tak ramah lagi kepadanya.
Ratman bertarung nasib di kota, menapaki jalan-jalan sunyi peradaban. q – g
Salatiga, November 2017.
*) Artie Ahmad, lahir dan besar di Salatiga, 21 November 1994. Menulis cerita pendek dan novel.
Cerpen Wawan Kurniawan (Bali Post, 19 November 2017) Pengakuan Lelaki Penjual Parfum ilustrasi Bali Post
“Kau tak boleh membuka tutup botol parfum ini. Hanya dia yang mesti
mencium aroma pertamanya” Lelaki yang menerima pesan itu bertubuh gempal
dengan hidung pesek yang agak sedikit melebar. Pesan itu ia terima
sejak sebulan kemarin dari tuannya, seorang lelaki kurus yang telah
meracik aroma parfumnya sedemikian rupa. Setelah berhasil memadukan
aroma jasmine dan mawar, ia menemukan racikan lain yang kemungkinan akan
disukai oleh banyak orang. Parfum yang nantinya akan dijual di tokonya.
Tapi racikan pertama itu hendak ia hadiahkan pada seseorang terlebih
dahulu. Aroma ketumbar dan merica ia kombinasikan dengan buah jeruk
mandarin dan jeruk citrus ditambah dengan aroma jasmine membuatnya yakin
jika itu akan memberikan kesegaran yang luar biasa. Semula ia telah
berjanji pada dirinya sendiri bahwa kelak akan membuat parfum istimewa
untuk orang yang sangat ia cintai.
Sayangnya, orang yang ingin diberikan parfum istimewa itu meninggal
dan membuat lelaki hidung pesek harus berbohong kepada tuannya jikalau
parfum yang ia bawa telah diterima dengan penuh rasa haru dan bahagia.
Ia membayangkan tuannya tersenyum sendiri tiap kali ia membayangkan
ekspresi si penerima kala menghirup dan memakai parfum itu. Sebab lelaki
pesek itu paham betul akan perasaan tuannya, sebisa mungkin ia berdusta
demi membuat perasaan tuannya tetap berbahagia. Terlebih jika ia
kembali mengingat bahwa proses pembuatan parfum itu membutuhkan waktu
yang cukup lama. Lelaki itu benar-benar berbohong sesukanya. Tapi ia
berbahagia dengan kebohongan yang ia ciptakan sendiri.
Jika mengingat perjalanannya, ia merasa pantas untuk berbohong. Jarak
tempat si penerima parfum sangatlah jauh dari tempat lelaki hidung
pesek dan tuannya itu berada. Lelaki hidung pesek itu mesti menempuh
empat sampai lima jam perjalan dengan menggunakan bus, hingga tiba di
pelabuhan, ia harus menyeberangi pulau dengan kapal feri selama kurang
lebih dua jam untuk tiba di Kepulauan Selayar. Selanjutnya, ia harus
menempuh perjalanan sejauh 60 KM, menuju desa Appatanah, desa tempat si
penerima itu berada. Di desa Appatanah, tak ada sinyal handphone
sama sekali bahkan listrik pun belum terpasang, pak pos sendiri jarang
membawa kiriman di tempat itu. Sebab itu, demi memastikan hadiah itu
diterima dengan baik, secara khusus lelaki kurus itu meminta bantuan
lelaki hidung pesek, yang memang setia dan telah bekerja selama dua
tahun dengannya. Demi misi khusus itu, lelaki kurus itu memberikan jatah
liburan yang cukup panjang untuknya serta bonus gaji yang cukup
digunakan untuk bersenang-senang.
Akhirnya, sepulang dari menjalankan misi itu, ia menikmati waktu
liburannya nikmati waktu liburan itu untuk bermalas-malasan di dalam
kamarnya. Ia hanya mengirimkan pesan singkat pada tuannya bahwa ia telah
tiba dan berhasil menjalankan misi khususnya. Dan seperti yang ia
harapkan, tuannya tersenyum sembari membayangkan parfum racikannya
menebar aroma yang damai dan membuat si penerima merasakan kebanggaan
yang tak terkira. Sehari menjelang masa liburnya berakhir, di dalam
kamar, lelaki pesek itu memikirkan tentang si penerima parfum dan juga
aroma yang ada di dalam botol parfum istimewa itu. Ia sama sekali tak
berani bertanya tentang alasan mengapa orang itu mendapatkan hadiah
parfum dan perlakuan istimewa dari tuannya. Ia sendiri tak tahu, apakah
penerima itu adalah seorang lelaki atau perempuan. Tapi ia seakan-akan
sangat yakin, jika orang itu adalah kekasihnya yang dulu berpisah
beberapa tahun yang lalu dengan tuannya.
Ia sangat ingin melihat wajah penerima itu, tetapi, yang ia temui di
alamat yang diberikan tuannya hanyalah rumah panggung yang pintu dan
jendelanya tertutup rapat. Serta pesan dari seorang anak kecil berusia
sepuluh tahun. Anak itu dengan bahasa daerah khas menjelaskan jikalau
pemilik rumah itu telah meninggal tiga tahun yang lalu. Lelaki pesek itu
beruntung punya teman yang sering menggunakan bahasa yang serupa
sehingga ia tak kesulitan menerjemahkan pesan anak kecil itu. Saat
mendengar kabar itu, ia tak tahu harus berbuat apa. Kala itu, ia
berencana meninggalkan botol parfum di depan pintu begitu saja. Tapi
tiba-tiba, ia mendengar suaraku yang serak disertai batuk yang tertahan
di dada. “Bawa saja parfum itu… (aku terbatuk cukup lama) dan katakan
jika aku telah menerimanya dengan bahagia!” Saat itu ia terdiam dan
tanpa sepatah kata pun, ia berbalik menuju jalan pulang ke kota.
Sepanjang perjalanan, aku membantunya untuk menyusun rencana agar
tuannya tetap bahagia.
Aku tak bisa menjelaskan dengan baik antara mengapa dan bagaimana ia
bisa dengan jelas mendengarku, tapi sebelum ia tiba, kulihat ia tertidur
di atas kapal yang tengah di serang gelombang tinggi dan dikelilingi
kabut yang menghalangi jarak pandang awak kapal. Walhasil, kapal yang ia
tumpangi tenggelam, dan tanpa sadar ia pun ikut tenggelam beserta
ratusan penumpang lainnya. Saat ia terbangun, ia temukan dirinya berdiri
di pelabuhan dan berjalan menuju arah mobil yang hendak menuju desaku.
Di dalam mobil, aku berbincang dengannya dan ia sempat menawarkan
beberapa merek parfum ternama. Aku juga sempat bercerita jikalau dulu,
aku sempat ingin membuka toko parfum bersama kekasihku, tetapi ia
berencana menikah dan aku memilih pergi ke desa Appatanah. Saat aku
menyebut nama desaku, lelaki pesek itu memperlihatkan alamat yang
diberikan tuannya. Aku mengantarnya hingga tiba di halaman rumahku
sendiri, setelah itu kubiarkan ia naik ke tangga, mengetuk pintu, dan
terus mengucapkan salam di depan pintu. Berselang beberapa menit, aku
meminta seorang anak kecil untuk menyampaikan pesan yang sebenarnya.
Dulu, anak kecil itu meninggal karena keracunan makanan.
Baru setelah itu, aku bersembunyi dan menyampaikan pesan serta
sejumlah cara agar ia tenang dan tetap merasa berhasil menjalankan
perintah dari tuannya. Saat ia pulang ke rumahnya, dengan mudah aku
menemukan alamatnya, dan kulihat pintu dan jendela rumahnya tertutup
rapat. Tapi aku terus memanggilnya, sebab aku ingin sekali mencium aroma
parfum itu. Lalu akan kuceritakan yang sebenarnya pada lelaki pesek
itu, bahwa aku juga pernah menjual parfum, dan juga aku adalah kekasih
dari tuan yang membunuhnya dan yang juga membunuhku. Tapi, lelaki pesek
itu benar-benar menikmati liburannya dengan bermalas-malasan di kamar
(sembari memikirkan aroma parfum istimewa itu).
Wawan Kurniawan, menulis puisi, cerpen, esai dan menerjemahkan. Buku puisinya yang sudah terbit antara lain Persinggahan Perangai Sepi (2013) dan Sajak Penghuni Surga (2017). Buku esai pertama, Sepi Manusia Topeng (2017). Saat ini masih menetap di Makassar.
Fabel Elisa D.S. (Padang Ekspres, 19 November 2017) Kisah Si Udang Bungkuk ilustrasi Google
Dahulu kala, hiduplah seekor udang di lautan luas bernama Dadang. Ia
mempunyai sapit yang lumayan besar dan kuat. Kelebihan tersebut membuat
Dadang disegani dan ditakuti oleh ikan-ikan kecil. SAYANG, lama kelamaan Dadang menjadi sombong. Setiap hari pekerjaannya hanya berjemur di atas karang besar sambil memamerkan sapitnya.
“Hei, Cumcum… minggir! Jangan di situ, nanti kau terkena sapitku, lho!”
Dadang berenang mendekati karang kesukaannya, kemudian naik dengan
pongah. Ia menggerakkan kedua sapitnya secara bergantian. “Coba lihat
sapitku. Besar, kan?” Cumcum si cumi-cumi mungil merengut kesal. Dasar
sombong, batinnya. Tanpa banyak bicara ia berenang menjauhi karang
tempat Dadang berjemur dan menuju karang yang lebih kecil. Di sana
Cumcum bertemu Raju rajungan yang juga merasa kesal melihat kesombongan Dadang.Tapi mereka diam saja, tak mau ribut dengan si udang pongah.
Dadang menikmati kesendiriannya berjemur di atas karang besar.
Tiba-tiba ia terkejut, langit yang semula cerah berubah gelap. Ternyata
bukan awan mendung penyebabnya, tetapi Cami si burung camar dengan
kawan-kawannya sedang menukik ke karang besar tempat Dadang berjemur.
“Minggir, Cami! Kau menutupi matahariku!” teriak Dadang sambil mengacung-acungkan sapitnya.
“Dadang, karang ini milik umum. Bukan punyamu saja. Aku dan teman-temanku juga mau berjemur di sini.”
“Kau ingin merasakan sapitku, ya?” Mata Dadang melotot karena marah.
Meskipun enggan, Cami dan sekawanan burung camar akhirnya terbang
menjauh dan pindah ke karang lain. Mereka bosan jika harus berdebat
dengan Dadang.
Begitulah kelakuan Dadang setiap hari. Ia merasa hanya dirinya
pemilik karang besar di tengah laut tersebut. Karena kepongahannya, satu
per satu binatang laut yang lain enggan bersahabat dengan Dadang. Hanya
satu yang masih setia menemaninya, yakni Tero si ikan teri.
“Tero, mainlah ke sini. Lihat, matahari sudah muncul dari balik awan!” ujar Dadang.
“Dang, jangan kayak gitu, dong. Kasihan Cami dan teman-temannya.
Mereka berjubel di karang kecil. Kalau di sini kan lumayan luas,” kata
Tero sambil berenang di sekitar karang besar.
“Biarin saja mereka di sana!” ucapnya.
“Nanti nggak ada yang mau main sama kamu, lho.”
“Aku nggak peduli.”
Tero sedih melihat sahabatnya seperti itu. Tapi ia tak mau meninggalkan Dadang sendirian tanpa teman.
Raju yang tak tahan lagi melihat kepongahan Dadang, akhirnya naik ke
atas karang besar. Perlahan ia mendekati si udang sombong tersebut.
“Hei, Dadang, ayo kita adu sapit. Siapa yang bisa bertahan, dialah pemenangnya,” tantang Raju.
“Oke. Siapa takut. Pasti kamu yang kalah,” ejek Dadang.
Adu sapit antara Dadang dan Raju pun dimulai. Cami dan kawanan camar,
Cumcum serta ikani-kan kecil memberikan semangat ke Raju. Mereka semua
berharap agar sang rajungan yang menjadi juara. Pertarungan berlangsung
sengit, keduanya sama-sama kuat. Setelah agak lama, tiba-tiba….
“Awaaas… ombak besar datang!” teriak Cami. Ia dan kawanan burung camar segera terbang ke atas untuk menyelamatkan diri.
Raju, Cumcum, Tero, dan ikan-ikan kecil segera berenang ke balik
karang besar. Dadang pun bergabung dengan mereka. Tapi terlambat, ombak
besar sudah menerjang. Ia terlempar dan punggungnya menabrak dinding
karang kecil yang berada tak jauh dari tempat adu sapit.
“Aduh… punggungku,” rintih Dadang sambil meringis kesakitan.
Punggungnya terasa seperti mau patah. Dengan tertatih ia pun bangun.
Betapa kagetnya Dadang karena benturan keras membuat punggungnya
bengkok. Berkali-kali ia mencoba untuk meluruskan tetapi gagal. Bahkan
rasa sakitnya bertambah parah.
“Dang, gimana kondisimu?” tanya Tero sambil mendekati Dadang.
Cumcum, Cami dan kawanannya serta Raju pun mengerubungi Dadang. Mereka ikut bersedih melihat Dadang kesakitan.
“Sakiiit….” suaranya mengerang.
Dadang benar-benar menyesal. Andai ia tak sombong, maka Raju tidak
akan menantangnya adu sapit, dan kecelakaan pun bisa dihindari. Sejak
saat itu, keturunan Dadang udang menjadi bungkuk semua hingga saat ini. (***)
Cerpen Vendo Olvalanda S (Padang Ekspres, 19 November 2017) Baju Dinas Ibu Cindy ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Suatu siang di sebuah rumah, di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera
Barat, hiduplah seorang guru bernama Bu Cindy. Bu Cindy merupakan guru
di sebuah SD di daerah Ampang Pulai. Setiap pagi, Bu Cindy harus naik
angkutan kota agar sampai ke SD tersebut. Bu Cindy sudah mengajar selama
dua puluh tahun lamanya. Namun sampai hari ini, Bu Cindy belum juga
menjadi seorang pegawai negeri. Akibatnya, Bu Cindy tidak mempunyai gaji
yang cukup untuk kehidupannya sehari-hari. WALAUPUN begitu, Bu Cindy tetap berusaha menjadi
guru profesional. Bu Cindy mengajari murid-muridnya sepenuh hati. Beliau
mendidik setiap murid sampai benar-benar pandai. Bu Cindy mempunyai
cita-cita mulia. Beliau tidak mau Indonesia menjadi negara yang
tertinggal karena orang-orang Indonesia kurang pintar. Setidaknya, Bu
Cindy ingin anak-anak yang ia didik menjadi anak-anak yang cerdas.
Suatu hari, Bu Cindy tidak datang ke sekolah. Tidak ada yang tahu
kabar Bu Cindy. Hal tersebut terjadi berhari-hari lamanya. Sudah hampir
seminggu Bu Cindy tidak mengajar. Murid-muridnya benar-benar merindukan
Bu Cindy. Bahkan ada beberapa murid yang tidak mau belajar karena tidak
diajari langsung oleh Bu Cindy.
”Pak Olva, Bu Cindy mana? Kok gak ngajar kami?,” tanya Sancy, salah seorang murid Bu Cindy kepada guru yang menggantikan Bu Cindy.
Sembari melepaskan senyum, Pak Olva menjawab, “Bu Cindy masih ada urusan, Nak. Insya Allah setelah urusannya selesai, Bu Cindy akan mengajar lagi.”
”Tapi kan Bu Cindy sudah lama gak masuk, Pak,” sela Uva, murid lainnya kepada Pak Olva.
Menjawab pertanyaan muridnya, Pak Olva balik mengajukan pertanyaan, “Ayooo. Masih ingat kan pesan bapak tentang sifat sabar?”
Sontak, hal tersebut membuat murid-murid serempak bereaksi.
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan
pahala mereka tanpa batas,” jawab murid-murid penuh semangat
menyampaikan penggalan terjemahan surat Az-Zumar ayat ke-10.
Akhirnya, sekolah dan murid-murid berinisiatif menjenguk Bu Cindy ke
rumahnya. Mereka semua kaget saat menjumpai Bu Cindy tengah mengajari
beberapa murid di rumahnya.
“Ibu tidak sayang kami lagi, ya? Kok ibu malah mengajari murid-murid lain?” ucap salah seorang murid kepada Bu Cindy.
“Wah, ada guru-guru dan anak-anak ibu dari Ampang Pulai ternyata! Ayo semua masuk,” sahut Bu Cindy sambil tersenyum.
“Jawab dulu pertanyaan kami, Bu!” ujar salah seorang murid lagi kepada Bu Cindy.
Tanpa menghiraukan pertanyaan dari murid-muridnya dari Ampang Pulai,
Bu Cindy menunjukkan sebuah baju yang ia ambil dari kamarnya kepada
murid-muridnya tersebut.
“Ini jawabannya, Nak,” ucap Bu Cindy menunjukkan baju dinasnya yang sudah usang dan robek.
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Beberapa murid Bu Cindy dari Ampang
Pulai pun menangis dan bergegas memeluk Bu Cindy. Tiba-tiba mereka
serempak berujar.
“Ibuuu, maafkan kami ya, bu. Kami sudah berburuk sangka kepada Bu Cindy.”
Sembari tersenyum manis, Bu Cindy berkata, “Sudah, Sayang. Kalian
tidak salah apa-apa. Bu Cindy yang salah karena tidak mengabari kalian.”
Ternyata alasan Bu Cindy seminggu ini tidak datang ke sekolah karena
baju dinasnya sudah rusak. Bu Cindy tidak mau mengajar tanpa menggunakan
baju dinas. Karena ia ingat sekali pernah berpesan kepada
murid-muridnya agar selalu memakai baju seragam yang lengkap saat
sekolah.
Tanpa melepas pelukan muridnya dari Ampang Pulai Bu Cindy berujar,
“Eh, iya. Ini kenalkan, teman-teman kalian. Mereka murid-murid ibu juga
sama seperti anak-anak ibu.”
Sedangkan murid yang tengah diajar Bu Cindy merupakan murid- murid
yang ingin belajar tambahan dengan Bu Cindy. Dari sanalah Bu Cindy
mengumpulkan uang berharap dapat membeli baju dinas baru nantinya.
Setelah mengetahui keadaan Bu Cindy yang sebenarnya. Murid-murid SD Ampang Pulai pun berpamitan.
Beberapa hari kemudian. Anak-anak SD Ampang Pulai kembali mengunjungi
Bu Cindy ke rumah beliau. Agar Bu Cindy bisa kembali mengajar,
siswa-siswi Bu Cindy di SD Ampang Pulai pun berinisiatif membelikan guru
kesayangan mereka tersebut beberapa stel baju dinas baru.
“Bu, ini ada titipan dari sekolah untuk ibu,” ucap Kamal selaku
perwakilan teman-temannya menyerahkan sebuah bingkisan kepada Bu Cindy.
“Apa ini, Nak? tanya Bu Cindy bingung.”
“Kami tidak tahu, Bu. Sudah dulu ya, bu. Kami izin pulang,” jawab Kamal pura-pura tidak tahu.
Murid-murid pun beranjak meninggalkan Bu Cindy dan baju dinas
barunya. Mereka melenggang pulang dengan hati gembira. Mereka berharap
dengan usaha mereka tersebut dapat membuat Bu Cindy senang.
Keesokan harinya, Bu Cindy akhirnya kembali mengajar dengan penuh
semangat. Anak-anak sangat senang atas kehadiran guru kesayangan mereka
itu. Mereka pun dapat belajar dengan ceria seperti sedia kala.
Setahun kemudian, pemerintah pun mengangkat Bu Cindy menjadi pegawai
negeri karena prestasi dan kerja kerasnya. Juga agar Bu Cindy bisa hidup
layak sebagai seorang guru profesional. (***)
Cerpen Guntur Alam (Padang Ekspres, 19 November 2017) Percakapan di Meja Makan dan Rahasia Kecil yang tak Bisa Diceritakan pada Siapa pun selain Kamu ilustrasi Orta/Padang EkspresTANGANMU sedikit gemetar saat menggenggam jemarinya,
mata kalian bertemu. Kau berusaha tersenyum, terasa kaku. Kau memang
pembohong yang payah. Dulu, saat kalian masih pacaran, dia sudah
berkali-kali mengatakan itu; kau sangat payah dalam bersandiwara! Pun
sekarang, semua masih terasa sama, hanya saja waktu tak bisa ditipu.
Banyak hal sudah tergilas, termasuk otot-otot yang dulu begitu kencang
di tubuh kalian, juga warna rambut yang legam.
“Kau ingat,” ucapmu saat menyendokkan sup untuknya. “Kau pernah
mengidam sup buntut Babah Aci di simpang lima saat hamil anak sulung
kita.” Lalu kau terkekeh, lucu sendiri akan kenangan yang tiba-tiba
hinggap.
“Aku mengayuh sepeda malam-malam. Hampir tengah malam. Hujan tak
menyurutkanku.” Kau menghela napas, seakan mendorong sesuatu yang berat
di dada. “Aku beruntung, masih ada sisa seporsi. Mungkin karena hujan,
biasanya sebelum pukul sembilan, sup buntut itu sudah ludes.”
Matamu berkaca-kaca, pun matanya.
“Sayangnya kau hanya memakannya sesendok. Alasanmu mendadak tidak
kepengin lagi.” Kau terkekeh lagi. “Aku sangat kesal malam itu. Sudah
susah payah mencarinya, hujan-hujanan, tapi ternyata hanya kau makan
sesendok. Namun marahku hanya sebentar, langsung luluh karena senyum dan
godaanmu.”
Dia berusaha tersenyum, stroke membuat senyumnya tak
secantik dulu. Namun kau terus meyakinkannya, jika senyumnya tetap
jelita, seperti waktu pertama kalian bertemu. Lalu jatuh cinta dan
memutuskan menikah. Senyum itu tetap cantik. Tak berubah oleh apa pun,
“termasuk waktu,” katamu.
“Kamu jangan egois, Bang!” terdengar teriakan dari ruang tengah.
Kau menoleh, dia yang duduk di kursi roda pun berusaha memutar
lehernya, tapi sia-sia. Dia tak bisa melihat apa yang terjadi di balik
tirai merah marun itu. Namun kau justru bersyukur dia tak bisa melihat
apa yang ada di sana. Jika bisa, kau pun ingin menyumpal lubang
telinganya, juga telingamu.
“Pokoknya aku nggak bisa. Sori. Keputusanku sudah bulat,” terdengar
suara laki-laki menjawab. Lalu suara sesuatu dihantam. Mungkin permukaan
meja. Mungkin.
“Kau gila, Bang!” suara perempuan lagi. “Kau anak laki-laki. Anak
sulung. Sudah kewajibanmu mengurus mereka. Dan juga hampir seluruh
warisan Papa jatuh padamu. Jadi, nggak salah kalau kami menuntut kau
yang mengurus mereka!”
“Albar juga anak laki-laki Papa. Bukan aku sendiri dong,” suara laki-laki pertama tadi kembali terdengar.
“Hei, Papa dan Mama gak pernah betah tinggal bersamaku. Manado
terlalu jauh, kata mereka. Jadi jangan salahkan aku.” Seorang laki-laki
menimpali, mungkin dia bernama Albar, yang disebut laki-laki pertama.
“Tapi belum pernah dicoba, kan? Coba sekali-kali dibawa ke Manado.
Mungkin saja mereka betah.” Suara perempuan kembali terdengar, lebih
berapi-api.
“Kalau mereka cuma betah seminggu, bagaimana? Aku harus cuti lagi? Ke
Jakarta lagi? Jangan berharap banyak pada istriku, dia juga sibuk di
kantor. Sama saja dengan Mbak Ira.”
Hening. Tak ada suara lagi.
Kau kembali berusaha tersenyum padanya. Perlahan kau suapkan sup
–yang telah dingin itu—ke mulutnya, dia menggeleng. Matanya telah basah.
“Biasa,” kau berbisik, mesra. “Anak-anak. Memang suka begitu, kan?”
kau meletakkan kembali sendok ke dalam mangkuk sup. Mengusap air mata di
pipinya, lalu kau kecup satu per satu kelopak matanya. Dia memejam. Kau
jadi teringat hari-hari awal penikahan kalian, begitu hangat, begitu
menyenangkan, seolah-olah kalian akan abadi di sana. Tak menua.
“Tedi dan Albar sering berkelahi gara-gara rebutan mobil-mobilan. Ira
suka ngambek kalau kau lupa membelikannya martabak Carlie kesukaannya.”
Kau menggenggam jemarinya. Mulutnya bergerak-gerak, seolah akan
mengucapkan sesuatu, tapi stroke telah membuatnya demikian sulit bicara.
“Ohya, aku jadi ingat pertama kali mengganti popok Tedi, setelah kita
pulang dari rumah bersalin.” Kau tiba-tiba terkekeh, matamu sampai
berair karena tertawa.
“Lucu sekali. Aku muntah-muntah karena nggak tahan baunya. Kau meledekku saat itu. Kau bilang apa ya? Aku lupa.”
Kalian saling tatap, mulutnya seperti hendak berkata, tetapi demikian sulit.
“Oh ya, aku ingat. Kau bilang aku ayah yang payah.”
Dan kau tergelak, tak mampu menahan tawa, tak peduli pada keributan di balik tirai merah marun yang memisahkan kalian.
“Setelah aku susah payah membersihkan pantatnya, saat aku hendak
memakaikannya popok lagi, Tedi mengencingiku. Pistolnya tepat mengenai
wajahku. Aku bahkan yakin sekali terminum air kencing itu,” kau
terpingkal-pingkal, tubuhmu terguncang-guncang, geli sekali. “Anak
sulung kita itu tertawa melihatku kelabakan dan meludah sembari mengusap
mulut. Kau juga tertawa geli. Kalian berdua seperti dua orang yang
berkonspirasi mengerjaiku.”
Tawamu reda. Itu kenangan lucu sekali. Ingatan yang acap kali membuat
kalian tertawa dan merasa begitu bahagia, begitu sempurna sebagai
orangtua. Dulu, saat kau sibuk bekerja di kantor, saat kau suntuk dan
penat di antara banyaknya pekerjaan, kau kerap mengingat-ingat senyum
anak-anakmu di rumah. Tingkah laku mereka yang nakal sekaligus polos,
juga senyum istrimu. Bila sudah demikian, keletihan yang menderamu
perlahan sirna, seakan-akan ingatan tentang mereka adalah obat mujarab
untuk capek.
“Hei, kau ingat tidak saat Ira berak di sofa barunya Bu Joko?” kau
tersenyum lebar. “Aku masih bisa merekam dengan jelas saat Bu Joko
ngamuk di rumah kita. Dia terus mengoceh tentang sofanya yang baru
berumur seminggu itu. Tentang betapa mahalnya dia membeli sofa itu.
Tentang alasan dia membelinya karena akan ada tamu dari jauh. Dan kita
berdua terpaksa mencuci sofa itu berdua, menggosoknya berkali-kali,
memastikan baunya tak menempel. Kau menjemurnya hampir seminggu. Kalau
ingat itu, aku nggak menyangka anak perempuan kita bisa tumbuh begitu
cantik dan pintar.”
Kau menerawang, seakan-akan bertanya pada langit-langit ruang makan.
Lampu gantung di atas meja makan bergeming. Entahlah, apa yang memaku
matamu pada plafon itu. Mungkin kau ingin mencari jawaban di sana;
kenapa akhir drama kalian seperti ini? Setelah masa muda yang begitu
hangat dan manis, kenapa bisa akhir ceritanya seperti ini. Sayangnya,
tak ada jawaban di sana. Tak ada apa-apa selain seekor cicak yang
mengejar kehampaan.
***
“KALIAN yang egois. Papa dan Mama hampir enam bulan
di rumahku. Dan gara-gara itu, Mbak kalian hampir menuntut cerai
lantaran tak tahan dengan tingkah laku mereka.”
“Istrimu saja yang egois!” perempuan di balik tirai merah marun kembali menjawab.
“Lah, kau sendiri baru tiga bulan sudah gak tahan dengan mereka.
Berak sembarangan, kencing di sofa. Harus dimandikan. Kau pikir kau
tahan?!” suara laki-laki pertama kembali berdengung. “Kau bahkan
menelponku yang sedang meeting dengan klien penting gara-gara
Mama berak di sofa. Kau menjerit histeris karena katamu itu sofa mahal.
Asli dari Jepara. Baru seminggu datang. Apa-apaan itu!”
“Siapa juga yang gak histeris pas pulang kerja lihat taik di sofanya?
Dan nggak ada satu pun pembantu yang mau membersihkannya. Semua muntah!
Gara-gara Papa dan Mama aku sudah tiga kali ganti pembantu. Bayangkan
saja, dalam tiga bulan tiga kali ganti pembantu!”
“Lebay!” Albar menyahut.
“Lebay taikmu!”
“Sudah! Kepalaku mau pecah dengar ocehan kalian,” suara laki-laki
pertama terdengar lagi. “Kalau begini terus, kita nggak akan
selesai-selesai berdebat. Kerjaanku masih banyak, bukan ngurusin Papa
dan Mama saja.”
“Kau pikir cuma dirimu yang sibuk?” suara perempuan itu terdengar sinis. “Aku juga.”
“Intinya Papa dan Mama akan tinggal di mana?” si laki-laki pertama
tak ingin menggubris lagi, dia sepertinya sadar, mereka akan berdebat
terus sepanjang malam tanpa penyelesaian. “Nggak mungkin kan Papa dan
Mama tinggal berdua di rumah ini? Nggak ada lagi yang mau jadi pembantu
di sini, suster yang terakhir kita bayar sudah berhenti sebulan lalu.”
“Aku nggak bisa kalau di rumahku. Anak-anakku juga gak mau.” Perempuan itu menyahut cepat.
“Seperti kataku tadi, Manado terlalu jauh,” Tedi menyambar.
“Hah?” laki-laki pertama melongo, “edan!” dengusnya.
“Kalian mau aku bercerai gara-gara Papa dan Mama bikin kekacauan di rumahku?”
“Pertanyaan yang sama untukmu, Bang,” serangan yang telak. Laki-laki
itu terdiam mendengar ucapan adik perempuannya. Di antara kesunyian yang
tiba-tiba menyergap, mereka mendengar tawa tergelak dari dapur.
Ketiganya saling pandang, adik perempuannya mengangkat sedikit pundak.
“Intinya apa?” dia bersedekap, menumpuh kaki kanannya di atas lutut
kiri, rambut hitamnya tergerai. Matanya lurus memandang kakak sulungnya,
sesekali dia melirik adik laki-lakinya yang segera melengos saat sadar
dipandang.
“Bagaimana kalau Papa dan Mama kita titipkan di panti jompo saja?”
laki-laki pertama mengajukan pertanyaan, kedua adiknya langsung
tersenyum, semringah.
***
KAU dapat mendengar segala percakapan, pertengkaran
dan mufakat yang ada di balik tirai merah marun itu. Sesekali kau
tersenyum, mengerjap, mendinginkan mata yang acapkali menghangat
tiba-tiba.
“Aku tahu, kau tak ingin pergi dari sini. Juga tak ingin merepotkan
anak-anak lagi,” kau menggenggam tangannya erat sekali. “Seperti janji
kita dulu. Kita akan tetap bersama sampai kapan pun. Mencintai di saat
sakit atau pun sehat.”
Mulutnya bergerak-gerak lagi seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Ya, ya, ya… kau benar, sebaiknya kita memang tak merepotkan
anak-anak lagi. Mereka sudah besar dan sudah punya keluarga
masing-masing. Tentu saja sangat menyulitkan jika ditambah kita. Kau
benar. Kau benar,” kau mengusap-usap telapak tangan itu.
Perlahan kau mengangkat gelas minum itu, kau dekatkan ke bibirnya.
Dia meneguk perlahan. Kau terus menuangnya. Hampir setengah gelas.
Aku menahan napas, air matamu turun perlahan. Di ruang depan,
anak-anakmu masih saja berdebat tentang siapa yang bertanggung jawab
mengurus kalian berdua. Sesekali suara mereka meninggi, berlomba satu
sama lain. Seakan tak ingin kalah. Sungguh, aku tak tahan mendengar
suara-suara bising itu, juga tawa getirmu dan lelehan air mata istrimu.
Aku melompat di hadapan kalian. Kau tak terperanjat, justru
tersenyum, “kau malaikat maut, bukan?” kau bertanya. Aku menelan ludah,
kuanggukan kepala. Senyummu semakin lebar, tanpa berkata, aku menarik
jempol kaki kalian berdua.
“Tolong katakan pada-Nya, ini bukan dosa anak-anak kami. Kami yang tak bisa mendidik mereka. Kumohon…”
Aku tak tahu harus menjawab apa atas permintaannya. Sementara di
ruang depan, yang hanya terpisah sehelai tirai berwarna merah marun yang
telah digerus musim, ketiga kakak-adik itu masih bermufakat atas biaya
panti jompo untuk kalian yang tengah menghadapi maut di samping meja
makan. Aku tahu, inilah keinginan kalian berdua. Akhir cerita yang
membahagiakan, setidaknya untuk anak-anak kalian. []
Pali, Teras Coffe, 2017.
Guntur Alam, buku kumpulan cerita pendeknya yang bertema gotik Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2015.