Daftar Blog Saya

Selasa, 21 November 2017

5 Manfaat Luar Biasa dari Mendongeng untuk Anak

1. Memperkenalkan kosakata baru pada anak

Masa kanak-kanak adalah masa terbaik untuk mempelajari bahasa. Inilah saat yang tepat untuk mengajarkan anak pada kosakata yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya. Saat mendongeng pastinya terdapat kata-kata baru yang belum mereka pahami. Saat mendongeng kita akan mendapatkan banyak pertanyaan seperti, “Kastil itu apa? Bijaksana itu apa?” Melalui pertanyaan-pertanyaan itulah, saatnya orang tua mengajarkan pada anak tentang arti dari sebuah kata.

2. Meningkatkan kemampuan mendengarkan anak

Mendengarkan ternyata bukan hal yang mudah. Anak-anak cenderung lebih senang berbicara dari pada mendengarkan. Saat di sekolah, anak-anak senang berbicara dari A sampai Z, bahkan ketika guru sedang menjelaskan di depan kelas mereka tak henti berbicara dengan teman-teman di sebelahnya. Begitu pula saat di rumah, anak-anak juga tak henti berbicara bahkan ketika orang tuanya sedang memberi nasihat. Dengan mendongeng, orang tua mengajarkan anak-anak mereka untuk diam dan mendengarkan saat orang lain berbicara. Mendongeng mengajarkan anak-anak untuk menjadi pendengar yang baik. Jika anak terbiasa mendengarkan dongeng, mereka akan terbiasa untuk menghormati ketika ada orang lain berbicara, dan kebiasaan ini akan terbawa baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun masyarakat.

3. Meningkatkan pemahaman anak tentang sejarah dan budaya

Dongeng biasanya bercerita tentang sejarah, mitos, fabel dan legenda. Melalui mendongeng, anak-anak diperkenalkan pada cerita sejarah ataupun budaya Indonesia. Contohnya dongeng Roro Jonggrang, melalui cerita Roro Jonggrang anak diajarkan tentang sejarah Roro Jonggrang yang ada di Candi Prambanan. Kita juga bisa tambahkan pengetahuan tentang lokasi dan hal-hal yang berkaitan tentang candi Roro Jonggrang. Dengan begitu, mendongeng tak hanya sekedar mendongeng, namun sarana untuk meningkatkan pemahamanan tentang sejarah dan budaya Indonesia.

4. Mengajarkan nilai moral pada anak

Cerita yang baik adalah cerita yang mengandung pesan di dalamnya. Dalam bercerita jangan lupa untuk memilih sebuah cerita yang dapat diambil nilai kebaikan di dalamnya. Tak hanya nilai moral saja, namun banyak nilai-nilai kebaikan lainnya yang dapat kita ajarkan pada anak melalui sebuah cerita. Contohnya ketika mendongengkan cerita tentang ‘Bawang Merah dan Bawang Putih’, ajarkan pada anak tentang pesan yang tersirat di dalam cerita tersebut bahwa siapa yang berbuat baik dan tulus akan mendapatkan balasan yang baik pula.

5. Sarana belajar yang menyenangkan

Salah satu cara belajar yang mengasyikan bagi anak adalah melalui mendengarkan dongeng. Dengan mendengarkan dongeng anak akan belajar banyak hal, mereka belajar bahasa, belajar budaya, belajar memahami cerita, serta belajar menemukan pesan moral dalam cerita. Bagaimana caranya agar anak belajar sambil mendengarkan cerita? Itulah tugas penting untuk si pendongeng agar membuat cerita yang menarik dan membuat anak penasaran untuk bertanya. Jika disampaikan dengan cara yang tidak menarik, anak akan kehilangan  minat untuk mendengarkan dan bertanya. Di tengah-tengah mendongeng, kita juga bisa menyelipkan pertanyaan-pertanyaan kepada anak untuk mengetahui seberapa jauh anak memahami cerita. Seorang ahli bahkan menyarankan agar anak didorong untuk membuat cerita pendek dengan karakter-karakter yang telah diceritakan.

Pada Suatu Hari Minggu

Cerpen Fadjriah Nurdiarsih (Pikiran Rakyat, 19 November 2017)

Bertahan ilustrasi Maghdalena - Pikiran Rakyat.jpg
Bertahan ilustrasi Maghdalena/Pikiran Rakyat
AKU ingin bercerita padamu tentang kisah pada hari Minggu di kota kami yang cantik. Kota kami yang di setiap sudutnya diperindah dengan patung-patung yang artistik berkat bupati kami yang nyentrik dan berjiwa seni. Setiap Minggu pula di alun-alun, ramai orang berdatangan untuk memainkan beragam permainan tradisional. Berkat arahan bapak bupati pulalah jenis-jenis permainan semacam godak sodor, engrang, dan sebagainya masih bisa kaulihat sampai dengan saat ini.
NAMUN, tokoh utama kita bukanlah sang bupati, melainkan seorang perempuan bersuami yang telah yatim dan suaminya. Si istri, Sri, tinggal bersama suaminya dan ibunya di belakang gedung mewah kantor partai yang menjadi penyokong utama sang bupati. Mereka terpaksa pindah ke gubuk reyot itu karena suatu sebab menyedihkan yang akan kuceritakan kemudian.
Awal mula ceritanya sendiri sudah lewat beberapa tahun yang lalu ketika di kota kami belum banyak berdiri patung-patung dan sang bupati belum gemar melantik kepala desa malam-malam di tengah sungai. Keluarga itu tinggal di sebuah desa yang dipenuhi kebun karet dan jagung. Sebagian besar penduduknya mencari nafkah sebagai penyadap nira, sebagian lagi berkebun jagung dan ketela, sementara sisanya menjadi buruh pabrik dan sopir angkot.
Meskipun rumah tinggal mereka sangat jauh darĂ­ kota, jangan kau bayangkan mereka adalah orang-orang yang selalu ramah dan tulus membantu seperti cerita lama di buku-buku dongeng. Aku mendengar kisah ini dari ibuku yang berkunjung ke sana, yang merasa begitu heran dengan sifat manusia pada masa sekarang. Tulislah, begitu ibuku berpesan kepadaku setelah aku mendapatkan ceritanya.
Beginilah kisahnya. Si istri baru saja berumur 19 tahun ketika ia bertemu laki- laki pujaannya. Si laki-laki berasal dari desa seberang. Mereka berdua saling mencintai. Jika malam Minggu tiba, si laki-laki akan menjemput kekasihnya, lalu mereka akan berboncengan naik motor menuju pusat kota. Gedung bioskop dengan dua layar kecil menjadi tujuan mereka.
Sampai akhirnya bapak si gadis itu meminta sang laki-laki melamar putrinya. “Aku malu, tetangga membicarakan anak gadis Bapak yang dibawa ke mana-mana oleh laki-laki. Menikah sajalah kalian,” begitu pinta orangtua itu.
Si laki-laki itu menyetujui. Meski permintaan si Bapak terlalu cepat ia sudah punya uang 10 juta rupiah, ia kira uang itu cukup sebagai mahar. Ia tak pernah menyangka si bapak menyewa tenda yang besar dan menjamu makan daging saat lamaran. Keluarga si laki-laki yang hanya berdelapan orang kaget tatkala lebih dari dua puluh orang menerima mereka.
Namun, Sri begitu cantik. Maka ia hanya mengangguk ketika si Bapak menyebutkan ia masih berutang 2 juta rupiah untuk tenda dan membeli daging. “Akan kucarikan uangnya, Bapak tenang sajalah,” kata laki-laki ini gagah. Padahal, uang 10 juta miliknya sudah habis ia serahkan.
Laki-laki itu baru berumur 22 tahun. Tetapi ia sedang sangat berbahagia dan karena Sri sudah dilamarnya, maka ia berhak berbuat sesukanya kepada gadis itu. Di tengah hutan karet ia mencium gadis itu. Ia membelikan Sri pakaian yang bagus-bagus dan membawakan orangtuanya makanan yang enak-enak, sehingga mereka tak perlu lagi memasak.
Saat dirinya dan Sri berdiri di pelaminan, keduanya laksana dua orang yang paling berbahagia di dunia. Pesta semalaman suntuk dengan lakon wayang kulit dari dalang terkenal memeriahkan pesat itu. Ia bersyukur dengan banyaknya tamu yang datang dan malam harinya menyetubuhi istrinya dengan bersemangat.
Malangnya kebahagiaan pasangan itu tak berumur lama. Suatu hari di sore yang panas, tatkala si laki-laki baru saja kembali seusai bekerja di pabrik dan hendak menikmati singkong goreng buatan istrinya, bapak mertuanya memberikan kabar yang langsung membuat tidurnya tak nyenyak.
“Nak, ketika pestamu dulu dilangsungkan, aku berutang. Bukannya aku sengaja berutang, tapi kau harus tahu kebiasaan orang-orang di sini. Mereka saling membantu ketika ada yang hendak menggelar pesta. Pak haji di sana, kau tahu, kemarin membawakan aku beras sekuintal. Ibu yang di sana, kau tahu, membawakan aku telur dua peti. Sementara pada si mandor aku berutang 20 kilogram daging kerbau. Catatannya ada di sini dan semuanya harus dikembalikan begitu mereka ada perlu, entah untuk menyu nat atau menikahkan anaknya. Itu sistem gotong-royong yang berlaku di sini, Nak.”
Ila hanya memandang buku tulis berisi catatan bantuan dan pemberian hadiah saat pesta pernikahan yang diberikan mertuanya. Kepala mendadak terasa berat karena utangnya yang dua juta di kantor, yang diajukannya untuk membantu biaya jamuan lamaran, belum juga lunas dibayarkannya. Namun, berlawananan dengan kata hatinya, dengan tenang ia berkata, “Tidak apa-apa, Bapak, serahkan padaku.”
Dan benarlah beban itu kemudian jatuh seluruhnya ke pundaknya. Dua bulan kemudian sang Bapak wafat meninggalkan utang-utangnya. Semuanya masih mampu ia bayarkan, hingga saatnya Sri melahirkan seorang anak perempuan. Tetangga- tetangganya kembali datang membawakan berbagai macam hadiah. Karena ia beroleh seorang putri, maka tak terhitung banyaknya cincin, gelang, dan kalung yang diterimanya sebagai utangan.
“Kenapa tak kau tolak saja, Sri, kalau memang mereka tak ikhlas memberi. Kalau itu pemberian, kenapa pula kita harus mengembalikannya,” ujarnya tak terima.
“Ah, kau ini, Mas. Memang seperti ini kebiasaan yang berlaku di sini. Tidakkah kau lihat putri kita cantik sekali memakai perhiasan seperti ini. Anak perempuan memang seharusnya dihadiahi emas,” kata Sri.
Begitulah. Betapa tradisi desa yang katanya untuk membantu sesama telah mencekik lehernya sedemikian rupa. Ia terimpit dari segala sisi untuk membayar utang-utangnya karena hampir setiap minggu berdatangan orang-orang yang meminta bantuan mereka dikembalikan.
Dan kini anaknya meminta susu! Entah karena apa sebulan setelah melahirkan tetek Sri tak lagi mengeluarkan air. Iba melihat cucunya terus-menerus menangis lantaran tak kenyang, ibu mertuanya meminta anaknya dibelikan susu sapi kalengan. “Harus merek ini supaya nanti ia jadi pandai,” begitu pesannya sebelum ia pergi ke kantor pagi itu.
Ketika ia mencoba berkeluh kesah pada teman-temannya sesama lelaki di pabrik, semua menertawakannya. “Seperti orang kaya saja kau memberi anakmu susu kalengan. Sudah, beri saja ia air tajin dan pisang supaya kenyang dan tak menangis lagi,” ujar seorang kawannya.
Yang lebih penting lagi tentulah rencana aksi. Pemilik pabrik telah lama mengotori desa. Sekian lama mereka bisa membohongi penduduk dengan menyumpal kepala desa yang mata duitan itu. Tetapi sudah ratusan warga tumbang dan berobat ke rumah sakit.
Bayangkan, sebuah aksi, betapa gagahnya. Mereka baru saja membentuk serikat pekerja dan akan menuntut pemilik pabrik meningkatkan gaji dan memberikan jaminan kesehatan bagi keluarga buruh. Ia tersenyum membayangkan bisa melunasi utang-utang persalinan dan hadiah bayinya.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Begitulah kira-kira peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kemalangan keluarga itu. Utang tak terlunasi, ia pun dipecat dari pekerjaan lantaran dianggap membangkang setelah menggelar demonstrasi.
Maka, apa yang dapat diperbuat keluarga kecil malang itu ketika sekelompok orang menyita rumah mereka lantaran tak mampu melunasi utang?
Mereka pun pindah ke kontrakan kecil di belakang kantor pusat partai penyokong sang bupati. Sri minta izin bekerja untuk membantu suaminya yang menganggur. Tak ada jalan lain sebab emas hadiah putri mereka sudah lama dijual. Ia berhenti tiga bulan kemudian tatkala sang suami yang cemburu mendatanginya ke pabrik dan melabrak laki-laki yang membonceng istrinya pulang dengan sepeda motor.
“Keterlaluan kau itu, Sri. Kuberi izin bekerja malah melacur!”
Pertengkaran demi pertengkaran pun terjadi sampai akhirnya sang suami ke luar dari rumah. Tak ada yang tahu ke mana ia pergi karena ia tak memegang telepon seluler sebagai alat komunikasi. Sri dan ibunya memburuh jadi penjahit bulu mata palsu. Setiap selesai menjahit satu pasang, mereka mendapatkan upah Rp 750. Dengan upah sekecil itu, anaknya berhenti minum susu apa pun.
Semuanya membicarakan Sri setelah suaminya pergi, kata ibuku.
Apa katanya, tanyaku.
Kasihan, Sri. Badannya sampai jadi kurus dan mukanya kuyu. Padahal dulu ia cantik sekali.
Lalu hari Minggu itu, Sri ditemukan mati di kamarnya. Bersama anaknya. Bersama ibunya. Tepat saat Bupati hendak merayakan hari ulang tahun partai yang kedua puluh. Mereka yang mencium bau tak sedap menyelidik ke rumah reyot di belakang gedung mentereng itu. Sri, ibunya, dan anaknya tidur berjejer di atas kasur. Dan ada surat yang menjelaskan semuanya. Mereka bunuh diri minum racun, kata ibuku.
Ya, Tuhan. Dan suaminya?
Suaminya pulang dua hari kemudian.
Sri, ibunya, dan anaknya sudah dimakamkan.
Ke mana dia?
Jadi sopir di Lampung. Kasihan, padahal dia pulang untuk mengajak istrinya pindah karena sudah dapat pekerjaan.
Otakku limbung mendengar cerita ibuku. Seperti kau pikirkan, aku tahu kisah ini sepertinya tidak nyata. Tak mungkin ada yang bernasib seburuk ini. Tetapi apa boleh buat, seperti diceritakan ibuku, ini nyata senyata-nyatanya. Ibu bilang suaminya sekarang jadi giia. ***

Padang Beton

Cerpen Artie Ahmad (Kedaulatan Rakyat, 19 November 2017)
Padang Beton ilustrasi Joko Santoso - Pikiran Rakyat
Padang Beton ilustrasi Joko Santoso/Pikiran Rakyat
DARI tempatnya duduk, mata Ratman memandang ke bawah. Jauh dari pinggiran jalan besar di lereng bukit ini, dusun tempatnya tinggal tampak kecil. “Dusun ini sudah berubah,” gumam Ratman dengan tatapan mata yang nanar.
Zaman telah menggerus dusun yang udik itu menjadi hamparan surga bagi pelakon ekonomi. Hamparan sawah dan perkebunan palawija, telah bersalin rupa menjadi pabrik-pabrik.
Tanah yang dulu subur saat mangsa rendeng, dan kerap tandus saat mangsa ketiga itu kini telah digantikan beton-beton yang mengukuhkan bangunan pabrik. Hamparan hijau persawahan dan ladang telah berganti menjadi ladang beton yang terhampar luas. Beton yang kelabu. Ditambah cerobong asap yang menjulang memuntahkan asap pembakaran setiap hari.
Awalnya Ratman tak pernah menduga, dusun tempatnya dilahirkan akan berubah sedemikian cepatnya. Dusun yang dahulu seolah terisolasi dari hiruk-pikuknya kota. Tanah air kecil bagi Ratman dan warga dusun lainnya. Sampai suatu hari, seorang pengembang berusaha membebaskan lahan warga. Sebuah pabrik sepatu dan sandal akan didirikan di sana. Warga yang menjual lahannya, bisa bekerja menjadi buruh tetap di pabrik baru nanti. Serangkaian jaminan hidup dan tunjangan-tunjangan menggiurkan dijanjikan kepada warga. Sedikit demi sedikit lahan warga dibeli. Satu pabrik didirikan, selanjutnya pabrik lain menyusul berdiri.
Ratman bukannya tak mau bekerja di pabrik. Beberapa waktu lalu, ketika ladang tempatnya memburuh milik Wak Haji dibeli pengembang, sesegera mungkin Ratman mendaftar ke salah satu pabrik yang sudah beroperasi. Namun lamarannya mendapat penolakan. Ijazah SD miliknya tak memenuhi syarat untuk menjadi buruh pabrik.
Ratman pulang ke rumah dengan perasaan hampa. Janji-janji manis pemilik pabrik dulu ternyata hanya pepesan kosong belaka. Buktinya Ratman ditolak bahkan sebelum masuk ke dalam pabrik. Nyatanya Ratman tak sendiri. Banyak warga dusun dengan lulusan pendidikan rendah yang ditolak pabrik. Kebanyakan pekerja pabrik-pabrik yang berdiri di dusun itu malahan orang-orang dari luar dusun. Petak-petak kamar mes dibangun di seputaran pabrik untuk tempat tinggal pekerja dari luar dusun itu.
Dari tempatnya duduk di pinggiran jalan besar menuju kota, Ratman memandang dusunnya yang kecil dengan perasaan sedih yang mendera. Di rumahnya yang menyempil di antara rumah warga dusun lainnya, dia membayangkan apa yang dilakukan Suciati. Mungkin sekarang istrinya sedang menidurkan Nurmala, anak pertama buah perkawinan mereka berdua. Atau mungkin Suciati sedang menangis di dapur seperti sebelum-sebelumnya ketika dia gelisah sembari mengelus-elus perutnya yang semakin membuncit. Suciati sedang hamil anak kedua.
Lamunan Ratman buyar, tatkala angkutan desa berhenti di dekatnya. Dengan angkutan itu Ratman akan pergi ke kota. Mencari peruntungan lain, desanya yang kini menjadi padang beton itu tak ramah lagi kepadanya. Ratman bertarung nasib di kota, menapaki jalan-jalan sunyi peradaban. q – g

Salatiga, November 2017.
*) Artie Ahmad, lahir dan besar di Salatiga, 21 November 1994. Menulis cerita pendek dan novel.

Pengakuan Lelaki Penjual Parfum

Cerpen Wawan Kurniawan (Bali Post, 19 November 2017)
Pengakuan Lelaki Penjual Parfum ilustrasi Bali Post.jpg
Pengakuan Lelaki Penjual Parfum ilustrasi Bali Post
“Kau tak boleh membuka tutup botol parfum ini. Hanya dia yang mesti mencium aroma pertamanya” Lelaki yang menerima pesan itu bertubuh gempal dengan hidung pesek yang agak sedikit melebar. Pesan itu ia terima sejak sebulan kemarin dari tuannya, seorang lelaki kurus yang telah meracik aroma parfumnya sedemikian rupa. Setelah berhasil memadukan aroma jasmine dan mawar, ia menemukan racikan lain yang kemungkinan akan disukai oleh banyak orang. Parfum yang nantinya akan dijual di tokonya. Tapi racikan pertama itu hendak ia hadiahkan pada seseorang terlebih dahulu. Aroma ketumbar dan merica ia kombinasikan dengan buah jeruk mandarin dan jeruk citrus ditambah dengan aroma jasmine membuatnya yakin jika itu akan memberikan kesegaran yang luar biasa. Semula ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa kelak akan membuat parfum istimewa untuk orang yang sangat ia cintai.
Sayangnya, orang yang ingin diberikan parfum istimewa itu meninggal dan membuat lelaki hidung pesek harus berbohong kepada tuannya jikalau parfum yang ia bawa telah diterima dengan penuh rasa haru dan bahagia. Ia membayangkan tuannya tersenyum sendiri tiap kali ia membayangkan ekspresi si penerima kala menghirup dan memakai parfum itu. Sebab lelaki pesek itu paham betul akan perasaan tuannya, sebisa mungkin ia berdusta demi membuat perasaan tuannya tetap berbahagia. Terlebih jika ia kembali mengingat bahwa proses pembuatan parfum itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Lelaki itu benar-benar berbohong sesukanya. Tapi ia berbahagia dengan kebohongan yang ia ciptakan sendiri.
Jika mengingat perjalanannya, ia merasa pantas untuk berbohong. Jarak tempat si penerima parfum sangatlah jauh dari tempat lelaki hidung pesek dan tuannya itu berada. Lelaki hidung pesek itu mesti menempuh empat sampai lima jam perjalan dengan menggunakan bus, hingga tiba di pelabuhan, ia harus menyeberangi pulau dengan kapal feri selama kurang lebih dua jam untuk tiba di Kepulauan Selayar. Selanjutnya, ia harus menempuh perjalanan sejauh 60 KM, menuju desa Appatanah, desa tempat si penerima itu berada. Di desa Appatanah, tak ada sinyal handphone sama sekali bahkan listrik pun belum terpasang, pak pos sendiri jarang membawa kiriman di tempat itu. Sebab itu, demi memastikan hadiah itu diterima dengan baik, secara khusus lelaki kurus itu meminta bantuan lelaki hidung pesek, yang memang setia dan telah bekerja selama dua tahun dengannya. Demi misi khusus itu, lelaki kurus itu memberikan jatah liburan yang cukup panjang untuknya serta bonus gaji yang cukup digunakan untuk bersenang-senang.
Akhirnya, sepulang dari menjalankan misi itu, ia menikmati waktu liburannya nikmati waktu liburan itu untuk bermalas-malasan di dalam kamarnya. Ia hanya mengirimkan pesan singkat pada tuannya bahwa ia telah tiba dan berhasil menjalankan misi khususnya. Dan seperti yang ia harapkan, tuannya tersenyum sembari membayangkan parfum racikannya menebar aroma yang damai dan membuat si penerima merasakan kebanggaan yang tak terkira. Sehari menjelang masa liburnya berakhir, di dalam kamar, lelaki pesek itu memikirkan tentang si penerima parfum dan juga aroma yang ada di dalam botol parfum istimewa itu. Ia sama sekali tak berani bertanya tentang alasan mengapa orang itu mendapatkan hadiah parfum dan perlakuan istimewa dari tuannya. Ia sendiri tak tahu, apakah penerima itu adalah seorang lelaki atau perempuan. Tapi ia seakan-akan sangat yakin, jika orang itu adalah kekasihnya yang dulu berpisah beberapa tahun yang lalu dengan tuannya.
Ia sangat ingin melihat wajah penerima itu, tetapi, yang ia temui di alamat yang diberikan tuannya hanyalah rumah panggung yang pintu dan jendelanya tertutup rapat. Serta pesan dari seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Anak itu dengan bahasa daerah khas menjelaskan jikalau pemilik rumah itu telah meninggal tiga tahun yang lalu. Lelaki pesek itu beruntung punya teman yang sering menggunakan bahasa yang serupa sehingga ia tak kesulitan menerjemahkan pesan anak kecil itu. Saat mendengar kabar itu, ia tak tahu harus berbuat apa. Kala itu, ia berencana meninggalkan botol parfum di depan pintu begitu saja. Tapi tiba-tiba, ia mendengar suaraku yang serak disertai batuk yang tertahan di dada. “Bawa saja parfum itu… (aku terbatuk cukup lama) dan katakan jika aku telah menerimanya dengan bahagia!” Saat itu ia terdiam dan tanpa sepatah kata pun, ia berbalik menuju jalan pulang ke kota. Sepanjang perjalanan, aku membantunya untuk menyusun rencana agar tuannya tetap bahagia.
Aku tak bisa menjelaskan dengan baik antara mengapa dan bagaimana ia bisa dengan jelas mendengarku, tapi sebelum ia tiba, kulihat ia tertidur di atas kapal yang tengah di serang gelombang tinggi dan dikelilingi kabut yang menghalangi jarak pandang awak kapal. Walhasil, kapal yang ia tumpangi tenggelam, dan tanpa sadar ia pun ikut tenggelam beserta ratusan penumpang lainnya. Saat ia terbangun, ia temukan dirinya berdiri di pelabuhan dan berjalan menuju arah mobil yang hendak menuju desaku. Di dalam mobil, aku berbincang dengannya dan ia sempat menawarkan beberapa merek parfum ternama. Aku juga sempat bercerita jikalau dulu, aku sempat ingin membuka toko parfum bersama kekasihku, tetapi ia berencana menikah dan aku memilih pergi ke desa Appatanah. Saat aku menyebut nama desaku, lelaki pesek itu memperlihatkan alamat yang diberikan tuannya. Aku mengantarnya hingga tiba di halaman rumahku sendiri, setelah itu kubiarkan ia naik ke tangga, mengetuk pintu, dan terus mengucapkan salam di depan pintu. Berselang beberapa menit, aku meminta seorang anak kecil untuk menyampaikan pesan yang sebenarnya. Dulu, anak kecil itu meninggal karena keracunan makanan.
Baru setelah itu, aku bersembunyi dan menyampaikan pesan serta sejumlah cara agar ia tenang dan tetap merasa berhasil menjalankan perintah dari tuannya. Saat ia pulang ke rumahnya, dengan mudah aku menemukan alamatnya, dan kulihat pintu dan jendela rumahnya tertutup rapat. Tapi aku terus memanggilnya, sebab aku ingin sekali mencium aroma parfum itu. Lalu akan kuceritakan yang sebenarnya pada lelaki pesek itu, bahwa aku juga pernah menjual parfum, dan juga aku adalah kekasih dari tuan yang membunuhnya dan yang juga membunuhku. Tapi, lelaki pesek itu benar-benar menikmati liburannya dengan bermalas-malasan di kamar (sembari memikirkan aroma parfum istimewa itu).

Wawan Kurniawan, menulis puisi, cerpen, esai dan menerjemahkan. Buku puisinya yang sudah terbit antara lain Persinggahan Perangai Sepi (2013) dan Sajak Penghuni Surga (2017). Buku esai pertama, Sepi Manusia Topeng (2017). Saat ini masih menetap di Makassar.

Kisah Si Udang Bungkuk

Fabel Elisa D.S. (Padang Ekspres, 19 November 2017)
Kisah Si Udang Bungkuk ilustrasi Google
Kisah Si Udang Bungkuk ilustrasi Google
Dahulu kala, hiduplah seekor udang di lautan luas bernama Dadang. Ia mempunyai sapit yang lumayan besar dan kuat. Kelebihan tersebut membuat Dadang disegani dan ditakuti oleh ikan-ikan kecil.
SAYANG, lama kelamaan Dadang menjadi sombong. Setiap hari pekerjaannya hanya berjemur di atas karang besar sambil memamerkan sapitnya.
“Hei, Cumcum… minggir! Jangan di situ, nanti kau terkena sapitku, lho!” Dadang berenang mendekati karang kesukaannya, kemudian naik dengan pongah. Ia menggerakkan kedua sapitnya secara bergantian. “Coba lihat sapitku. Besar, kan?” Cumcum si cumi-cumi mungil merengut kesal. Dasar sombong, batinnya. Tanpa banyak bicara ia berenang menjauhi karang tempat Dadang berjemur dan menuju karang yang lebih kecil. Di sana Cumcum bertemu Raju rajungan yang juga merasa kesal melihat kesombongan Dadang.Tapi mereka diam saja, tak mau ribut dengan si udang pongah.
Dadang menikmati kesendiriannya berjemur di atas karang besar. Tiba-tiba ia terkejut, langit yang semula cerah berubah gelap. Ternyata bukan awan mendung penyebabnya, tetapi Cami si burung camar dengan kawan-kawannya sedang menukik ke karang besar tempat Dadang berjemur.
“Minggir, Cami! Kau menutupi matahariku!” teriak Dadang sambil mengacung-acungkan sapitnya.
“Dadang, karang ini milik umum. Bukan punyamu saja. Aku dan teman-temanku juga mau berjemur di sini.”
“Kau ingin merasakan sapitku, ya?” Mata Dadang melotot karena marah.
Meskipun enggan, Cami dan sekawanan burung camar akhirnya terbang menjauh dan pindah ke karang lain. Mereka bosan jika harus berdebat dengan Dadang.
Begitulah kelakuan Dadang setiap hari. Ia merasa hanya dirinya pemilik karang besar di tengah laut tersebut. Karena kepongahannya, satu per satu binatang laut yang lain enggan bersahabat dengan Dadang. Hanya satu yang masih setia menemaninya, yakni Tero si ikan teri.
“Tero, mainlah ke sini. Lihat, matahari sudah muncul dari balik awan!” ujar Dadang.
“Dang, jangan kayak gitu, dong. Kasihan Cami dan teman-temannya. Mereka berjubel di karang kecil. Kalau di sini kan lumayan luas,” kata Tero sambil berenang di sekitar karang besar.
“Biarin saja mereka di sana!” ucapnya.
“Nanti nggak ada yang mau main sama kamu, lho.
“Aku nggak peduli.”
Tero sedih melihat sahabatnya seperti itu. Tapi ia tak mau meninggalkan Dadang sendirian tanpa teman.
Raju yang tak tahan lagi melihat kepongahan Dadang, akhirnya naik ke atas karang besar. Perlahan ia mendekati si udang sombong tersebut.
“Hei, Dadang, ayo kita adu sapit. Siapa yang bisa bertahan, dialah pemenangnya,” tantang Raju.
“Oke. Siapa takut. Pasti kamu yang kalah,” ejek Dadang.
Adu sapit antara Dadang dan Raju pun dimulai. Cami dan kawanan camar, Cumcum serta ikani-kan kecil memberikan semangat ke Raju. Mereka semua berharap agar sang rajungan yang menjadi juara. Pertarungan berlangsung sengit, keduanya sama-sama kuat. Setelah agak lama, tiba-tiba….
“Awaaas… ombak besar datang!” teriak Cami. Ia dan kawanan burung camar segera terbang ke atas untuk menyelamatkan diri.
Raju, Cumcum, Tero, dan ikan-ikan kecil segera berenang ke balik karang besar. Dadang pun bergabung dengan mereka. Tapi terlambat, ombak besar sudah menerjang. Ia terlempar dan punggungnya menabrak dinding karang kecil yang berada tak jauh dari tempat adu sapit.
“Aduh… punggungku,” rintih Dadang sambil meringis kesakitan. Punggungnya terasa seperti mau patah. Dengan tertatih ia pun bangun.
Betapa kagetnya Dadang karena benturan keras membuat punggungnya bengkok. Berkali-kali ia mencoba untuk meluruskan tetapi gagal. Bahkan rasa sakitnya bertambah parah.
“Dang, gimana kondisimu?” tanya Tero sambil mendekati Dadang.
Cumcum, Cami dan kawanannya serta Raju pun mengerubungi Dadang. Mereka ikut bersedih melihat Dadang kesakitan.
“Sakiiit….” suaranya mengerang.
Dadang benar-benar menyesal. Andai ia tak sombong, maka Raju tidak akan menantangnya adu sapit, dan kecelakaan pun bisa dihindari. Sejak saat itu, keturunan Dadang udang menjadi bungkuk semua hingga saat ini. (***)

Baju Dinas Bu Cindy

Cerpen Vendo Olvalanda S (Padang Ekspres, 19 November 2017)
Baju Dinas Ibu Cindy ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Baju Dinas Ibu Cindy ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Suatu siang di sebuah rumah, di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, hiduplah seorang guru bernama Bu Cindy. Bu Cindy merupakan guru di sebuah SD di daerah Ampang Pulai. Setiap pagi, Bu Cindy harus naik angkutan kota agar sampai ke SD tersebut. Bu Cindy sudah mengajar selama dua puluh tahun lamanya. Namun sampai hari ini, Bu Cindy belum juga menjadi seorang pegawai negeri. Akibatnya, Bu Cindy tidak mempunyai gaji yang cukup untuk kehidupannya sehari-hari.
WALAUPUN begitu, Bu Cindy tetap berusaha menjadi guru profesional. Bu Cindy mengajari murid-muridnya sepenuh hati. Beliau mendidik setiap murid sampai benar-benar pandai. Bu Cindy mempunyai cita-cita mulia. Beliau tidak mau Indonesia menjadi negara yang tertinggal karena orang-orang Indonesia kurang pintar. Setidaknya, Bu Cindy ingin anak-anak yang ia didik menjadi anak-anak yang cerdas.
Suatu hari, Bu Cindy tidak datang ke sekolah. Tidak ada yang tahu kabar Bu Cindy. Hal tersebut terjadi berhari-hari lamanya. Sudah hampir seminggu Bu Cindy tidak mengajar. Murid-muridnya benar-benar merindukan Bu Cindy. Bahkan ada beberapa murid yang tidak mau belajar karena tidak diajari langsung oleh Bu Cindy.
”Pak Olva, Bu Cindy mana? Kok gak ngajar kami?,” tanya Sancy, salah seorang murid Bu Cindy kepada guru yang menggantikan Bu Cindy.
Sembari melepaskan senyum, Pak Olva menjawab, “Bu Cindy masih ada urusan, Nak. Insya Allah setelah urusannya selesai, Bu Cindy akan mengajar lagi.”
”Tapi kan Bu Cindy sudah lama gak masuk, Pak,” sela Uva, murid lainnya kepada Pak Olva.
Menjawab pertanyaan muridnya, Pak Olva balik mengajukan pertanyaan, “Ayooo. Masih ingat kan pesan bapak tentang sifat sabar?”
Sontak, hal tersebut membuat murid-murid serempak bereaksi.
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas,” jawab murid-murid penuh semangat menyampaikan penggalan terjemahan surat Az-Zumar ayat ke-10.
Akhirnya, sekolah dan murid-murid berinisiatif menjenguk Bu Cindy ke rumahnya. Mereka semua kaget saat menjumpai Bu Cindy tengah mengajari beberapa murid di rumahnya.
“Ibu tidak sayang kami lagi, ya? Kok ibu malah mengajari murid-murid lain?” ucap salah seorang murid kepada Bu Cindy.
“Wah, ada guru-guru dan anak-anak ibu dari Ampang Pulai ternyata! Ayo semua masuk,” sahut Bu Cindy sambil tersenyum.
“Jawab dulu pertanyaan kami, Bu!” ujar salah seorang murid lagi kepada Bu Cindy.
Tanpa menghiraukan pertanyaan dari murid-muridnya dari Ampang Pulai, Bu Cindy menunjukkan sebuah baju yang ia ambil dari kamarnya kepada murid-muridnya tersebut.
“Ini jawabannya, Nak,” ucap Bu Cindy menunjukkan baju dinasnya yang sudah usang dan robek.
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Beberapa murid Bu Cindy dari Ampang Pulai pun menangis dan bergegas memeluk Bu Cindy. Tiba-tiba mereka serempak berujar.
“Ibuuu, maafkan kami ya, bu. Kami sudah berburuk sangka kepada Bu Cindy.”
Sembari tersenyum manis, Bu Cindy berkata, “Sudah, Sayang. Kalian tidak salah apa-apa. Bu Cindy yang salah karena tidak mengabari kalian.”
Ternyata alasan Bu Cindy seminggu ini tidak datang ke sekolah karena baju dinasnya sudah rusak. Bu Cindy tidak mau mengajar tanpa menggunakan baju dinas. Karena ia ingat sekali pernah berpesan kepada murid-muridnya agar selalu memakai baju seragam yang lengkap saat sekolah.
Tanpa melepas pelukan muridnya dari Ampang Pulai Bu Cindy berujar, “Eh, iya. Ini kenalkan, teman-teman kalian. Mereka murid-murid ibu juga sama seperti anak-anak ibu.”
Sedangkan murid yang tengah diajar Bu Cindy merupakan murid- murid yang ingin belajar tambahan dengan Bu Cindy. Dari sanalah Bu Cindy mengumpulkan uang berharap dapat membeli baju dinas baru nantinya.
Setelah mengetahui keadaan Bu Cindy yang sebenarnya. Murid-murid SD Ampang Pulai pun berpamitan.
Beberapa hari kemudian. Anak-anak SD Ampang Pulai kembali mengunjungi Bu Cindy ke rumah beliau. Agar Bu Cindy bisa kembali mengajar, siswa-siswi Bu Cindy di SD Ampang Pulai pun berinisiatif membelikan guru kesayangan mereka tersebut beberapa stel baju dinas baru.
“Bu, ini ada titipan dari sekolah untuk ibu,” ucap Kamal selaku perwakilan teman-temannya menyerahkan sebuah bingkisan kepada Bu Cindy.
“Apa ini, Nak? tanya Bu Cindy bingung.”
“Kami tidak tahu, Bu. Sudah dulu ya, bu. Kami izin pulang,” jawab Kamal pura-pura tidak tahu.
Murid-murid pun beranjak meninggalkan Bu Cindy dan baju dinas barunya. Mereka melenggang pulang dengan hati gembira. Mereka berharap dengan usaha mereka tersebut dapat membuat Bu Cindy senang.
Keesokan harinya, Bu Cindy akhirnya kembali mengajar dengan penuh semangat. Anak-anak sangat senang atas kehadiran guru kesayangan mereka itu. Mereka pun dapat belajar dengan ceria seperti sedia kala.
Setahun kemudian, pemerintah pun mengangkat Bu Cindy menjadi pegawai negeri karena prestasi dan kerja kerasnya. Juga agar Bu Cindy bisa hidup layak sebagai seorang guru profesional. (***)

Percakapan di Meja Makan dan Rahasia Kecil yang tak Bisa Diceritakan pada Siapa pun selain Kamu

Cerpen Guntur Alam (Padang Ekspres, 19 November 2017)
Percakapan di Meja Makan dan... ilustrasi Orta - Padang Esspres
Percakapan di Meja Makan dan Rahasia Kecil yang tak Bisa Diceritakan pada Siapa pun selain Kamu ilustrasi Orta/Padang Ekspres
TANGANMU sedikit gemetar saat menggenggam jemarinya, mata kalian bertemu. Kau berusaha tersenyum, terasa kaku. Kau memang pembohong yang payah. Dulu, saat kalian masih pacaran, dia sudah berkali-kali mengatakan itu; kau sangat payah dalam bersandiwara! Pun sekarang, semua masih terasa sama, hanya saja waktu tak bisa ditipu. Banyak hal sudah tergilas, termasuk otot-otot yang dulu begitu kencang di tubuh kalian, juga warna rambut yang legam.
“Kau ingat,” ucapmu saat menyendokkan sup untuknya. “Kau pernah mengidam sup buntut Babah Aci di simpang lima saat hamil anak sulung kita.” Lalu kau terkekeh, lucu sendiri akan kenangan yang tiba-tiba hinggap.
“Aku mengayuh sepeda malam-malam. Hampir tengah malam. Hujan tak menyurutkanku.” Kau menghela napas, seakan mendorong sesuatu yang berat di dada. “Aku beruntung, masih ada sisa seporsi. Mungkin karena hujan, biasanya sebelum pukul sembilan, sup buntut itu sudah ludes.”
Matamu berkaca-kaca, pun matanya.
“Sayangnya kau hanya memakannya sesendok. Alasanmu mendadak tidak kepengin lagi.” Kau terkekeh lagi. “Aku sangat kesal malam itu. Sudah susah payah mencarinya, hujan-hujanan, tapi ternyata hanya kau makan sesendok. Namun marahku hanya sebentar, langsung luluh karena senyum dan godaanmu.”
Dia berusaha tersenyum, stroke membuat senyumnya tak secantik dulu. Namun kau terus meyakinkannya, jika senyumnya tetap jelita, seperti waktu pertama kalian bertemu. Lalu jatuh cinta dan memutuskan menikah. Senyum itu tetap cantik. Tak berubah oleh apa pun, “termasuk waktu,” katamu.
“Kamu jangan egois, Bang!” terdengar teriakan dari ruang tengah.
Kau menoleh, dia yang duduk di kursi roda pun berusaha memutar lehernya, tapi sia-sia. Dia tak bisa melihat apa yang terjadi di balik tirai merah marun itu. Namun kau justru bersyukur dia tak bisa melihat apa yang ada di sana. Jika bisa, kau pun ingin menyumpal lubang telinganya, juga telingamu.
“Pokoknya aku nggak bisa. Sori. Keputusanku sudah bulat,” terdengar suara laki-laki menjawab. Lalu suara sesuatu dihantam. Mungkin permukaan meja. Mungkin.
“Kau gila, Bang!” suara perempuan lagi. “Kau anak laki-laki. Anak sulung. Sudah kewajibanmu mengurus mereka. Dan juga hampir seluruh warisan Papa jatuh padamu. Jadi, nggak salah kalau kami menuntut kau yang mengurus mereka!”
“Albar juga anak laki-laki Papa. Bukan aku sendiri dong,” suara laki-laki pertama tadi kembali terdengar.
“Hei, Papa dan Mama gak pernah betah tinggal bersamaku. Manado terlalu jauh, kata mereka. Jadi jangan salahkan aku.” Seorang laki-laki menimpali, mungkin dia bernama Albar, yang disebut laki-laki pertama.
“Tapi belum pernah dicoba, kan? Coba sekali-kali dibawa ke Manado. Mungkin saja mereka betah.” Suara perempuan kembali terdengar, lebih berapi-api.
“Kalau mereka cuma betah seminggu, bagaimana? Aku harus cuti lagi? Ke Jakarta lagi? Jangan berharap banyak pada istriku, dia juga sibuk di kantor. Sama saja dengan Mbak Ira.”
Hening. Tak ada suara lagi.
Kau kembali berusaha tersenyum padanya. Perlahan kau suapkan sup –yang telah dingin itu—ke mulutnya, dia menggeleng. Matanya telah basah.
“Biasa,” kau berbisik, mesra. “Anak-anak. Memang suka begitu, kan?” kau meletakkan kembali sendok ke dalam mangkuk sup. Mengusap air mata di pipinya, lalu kau kecup satu per satu kelopak matanya. Dia memejam. Kau jadi teringat hari-hari awal penikahan kalian, begitu hangat, begitu menyenangkan, seolah-olah kalian akan abadi di sana. Tak menua.
“Tedi dan Albar sering berkelahi gara-gara rebutan mobil-mobilan. Ira suka ngambek kalau kau lupa membelikannya martabak Carlie kesukaannya.” Kau menggenggam jemarinya. Mulutnya bergerak-gerak, seolah akan mengucapkan sesuatu, tapi stroke telah membuatnya demikian sulit bicara.
“Ohya, aku jadi ingat pertama kali mengganti popok Tedi, setelah kita pulang dari rumah bersalin.” Kau tiba-tiba terkekeh, matamu sampai berair karena tertawa.
“Lucu sekali. Aku muntah-muntah karena nggak tahan baunya. Kau meledekku saat itu. Kau bilang apa ya? Aku lupa.”
Kalian saling tatap, mulutnya seperti hendak berkata, tetapi demikian sulit.
“Oh ya, aku ingat. Kau bilang aku ayah yang payah.”
Dan kau tergelak, tak mampu menahan tawa, tak peduli pada keributan di balik tirai merah marun yang memisahkan kalian.
“Setelah aku susah payah membersihkan pantatnya, saat aku hendak memakaikannya popok lagi, Tedi mengencingiku. Pistolnya tepat mengenai wajahku. Aku bahkan yakin sekali terminum air kencing itu,” kau terpingkal-pingkal, tubuhmu terguncang-guncang, geli sekali. “Anak sulung kita itu tertawa melihatku kelabakan dan meludah sembari mengusap mulut. Kau juga tertawa geli. Kalian berdua seperti dua orang yang berkonspirasi mengerjaiku.”
Tawamu reda. Itu kenangan lucu sekali. Ingatan yang acap kali membuat kalian tertawa dan merasa begitu bahagia, begitu sempurna sebagai orangtua. Dulu, saat kau sibuk bekerja di kantor, saat kau suntuk dan penat di antara banyaknya pekerjaan, kau kerap mengingat-ingat senyum anak-anakmu di rumah. Tingkah laku mereka yang nakal sekaligus polos, juga senyum istrimu. Bila sudah demikian, keletihan yang menderamu perlahan sirna, seakan-akan ingatan tentang mereka adalah obat mujarab untuk capek.
“Hei, kau ingat tidak saat Ira berak di sofa barunya Bu Joko?” kau tersenyum lebar. “Aku masih bisa merekam dengan jelas saat Bu Joko ngamuk di rumah kita. Dia terus mengoceh tentang sofanya yang baru berumur seminggu itu. Tentang betapa mahalnya dia membeli sofa itu. Tentang alasan dia membelinya karena akan ada tamu dari jauh. Dan kita berdua terpaksa mencuci sofa itu berdua, menggosoknya berkali-kali, memastikan baunya tak menempel. Kau menjemurnya hampir seminggu. Kalau ingat itu, aku nggak menyangka anak perempuan kita bisa tumbuh begitu cantik dan pintar.”
Kau menerawang, seakan-akan bertanya pada langit-langit ruang makan. Lampu gantung di atas meja makan bergeming. Entahlah, apa yang memaku matamu pada plafon itu. Mungkin kau ingin mencari jawaban di sana; kenapa akhir drama kalian seperti ini? Setelah masa muda yang begitu hangat dan manis, kenapa bisa akhir ceritanya seperti ini. Sayangnya, tak ada jawaban di sana. Tak ada apa-apa selain seekor cicak yang mengejar kehampaan.
***
“KALIAN yang egois. Papa dan Mama hampir enam bulan di rumahku. Dan gara-gara itu, Mbak kalian hampir menuntut cerai lantaran tak tahan dengan tingkah laku mereka.”
“Istrimu saja yang egois!” perempuan di balik tirai merah marun kembali menjawab.
“Lah, kau sendiri baru tiga bulan sudah gak tahan dengan mereka. Berak sembarangan, kencing di sofa. Harus dimandikan. Kau pikir kau tahan?!” suara laki-laki pertama kembali berdengung. “Kau bahkan menelponku yang sedang meeting dengan klien penting gara-gara Mama berak di sofa. Kau menjerit histeris karena katamu itu sofa mahal. Asli dari Jepara. Baru seminggu datang. Apa-apaan itu!”
“Siapa juga yang gak histeris pas pulang kerja lihat taik di sofanya? Dan nggak ada satu pun pembantu yang mau membersihkannya. Semua muntah! Gara-gara Papa dan Mama aku sudah tiga kali ganti pembantu. Bayangkan saja, dalam tiga bulan tiga kali ganti pembantu!”
“Lebay!” Albar menyahut.
“Lebay taikmu!”
“Sudah! Kepalaku mau pecah dengar ocehan kalian,” suara laki-laki pertama terdengar lagi. “Kalau begini terus, kita nggak akan selesai-selesai berdebat. Kerjaanku masih banyak, bukan ngurusin Papa dan Mama saja.”
“Kau pikir cuma dirimu yang sibuk?” suara perempuan itu terdengar sinis. “Aku juga.”
“Intinya Papa dan Mama akan tinggal di mana?” si laki-laki pertama tak ingin menggubris lagi, dia sepertinya sadar, mereka akan berdebat terus sepanjang malam tanpa penyelesaian. “Nggak mungkin kan Papa dan Mama tinggal berdua di rumah ini? Nggak ada lagi yang mau jadi pembantu di sini, suster yang terakhir kita bayar sudah berhenti sebulan lalu.”
“Aku nggak bisa kalau di rumahku. Anak-anakku juga gak mau.” Perempuan itu menyahut cepat.
“Seperti kataku tadi, Manado terlalu jauh,” Tedi menyambar.
“Hah?” laki-laki pertama melongo, “edan!” dengusnya.
“Kalian mau aku bercerai gara-gara Papa dan Mama bikin kekacauan di rumahku?”
“Pertanyaan yang sama untukmu, Bang,” serangan yang telak. Laki-laki itu terdiam mendengar ucapan adik perempuannya. Di antara kesunyian yang tiba-tiba menyergap, mereka mendengar tawa tergelak dari dapur. Ketiganya saling pandang, adik perempuannya mengangkat sedikit pundak.
“Intinya apa?” dia bersedekap, menumpuh kaki kanannya di atas lutut kiri, rambut hitamnya tergerai. Matanya lurus memandang kakak sulungnya, sesekali dia melirik adik laki-lakinya yang segera melengos saat sadar dipandang.
“Bagaimana kalau Papa dan Mama kita titipkan di panti jompo saja?” laki-laki pertama mengajukan pertanyaan, kedua adiknya langsung tersenyum, semringah.
***
KAU dapat mendengar segala percakapan, pertengkaran dan mufakat yang ada di balik tirai merah marun itu. Sesekali kau tersenyum, mengerjap, mendinginkan mata yang acapkali menghangat tiba-tiba.
“Aku tahu, kau tak ingin pergi dari sini. Juga tak ingin merepotkan anak-anak lagi,” kau menggenggam tangannya erat sekali. “Seperti janji kita dulu. Kita akan tetap bersama sampai kapan pun. Mencintai di saat sakit atau pun sehat.”
Mulutnya bergerak-gerak lagi seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Ya, ya, ya… kau benar, sebaiknya kita memang tak merepotkan anak-anak lagi. Mereka sudah besar dan sudah punya keluarga masing-masing. Tentu saja sangat menyulitkan jika ditambah kita. Kau benar. Kau benar,” kau mengusap-usap telapak tangan itu.
Perlahan kau mengangkat gelas minum itu, kau dekatkan ke bibirnya. Dia meneguk perlahan. Kau terus menuangnya. Hampir setengah gelas.
Aku menahan napas, air matamu turun perlahan. Di ruang depan, anak-anakmu masih saja berdebat tentang siapa yang bertanggung jawab mengurus kalian berdua. Sesekali suara mereka meninggi, berlomba satu sama lain. Seakan tak ingin kalah. Sungguh, aku tak tahan mendengar suara-suara bising itu, juga tawa getirmu dan lelehan air mata istrimu.
Aku melompat di hadapan kalian. Kau tak terperanjat, justru tersenyum, “kau malaikat maut, bukan?” kau bertanya. Aku menelan ludah, kuanggukan kepala. Senyummu semakin lebar, tanpa berkata, aku menarik jempol kaki kalian berdua.
“Tolong katakan pada-Nya, ini bukan dosa anak-anak kami. Kami yang tak bisa mendidik mereka. Kumohon…”
Aku tak tahu harus menjawab apa atas permintaannya. Sementara di ruang depan, yang hanya terpisah sehelai tirai berwarna merah marun yang telah digerus musim, ketiga kakak-adik itu masih bermufakat atas biaya panti jompo untuk kalian yang tengah menghadapi maut di samping meja makan. Aku tahu, inilah keinginan kalian berdua. Akhir cerita yang membahagiakan, setidaknya untuk anak-anak kalian. []

Pali, Teras Coffe, 2017.
Guntur Alam, buku kumpulan cerita pendeknya yang bertema gotik Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2015.