Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Puisi-puisi Edy A. Effendi (Jawa Pos, 11 Februari 2018) Jejak Malam ilustrasi Google
Jejak Malam
Jejak malam. Malam berjejak. Aku luruh dalam auman lukamu. Auman cinta
yang tak bertepi, tak berperi. Cinta yang kau tanam di gang sempit itu, tumbuh
subur jadi hama hidupku. Aku dan kamu, hanyalah bingkai-bingkai kecil yang
tak pernah tertata rapi. Tak pernah selesai dibangun oleh jiwamu dan jiwaku.
Di gang sempit itu, kau membisu, beku dan kelu. Bibirmu terpasung
kata. Sunyi adalah pilahan. Sunyi adalah pilihan. Pilahan dan pilihan itu,
mengusung jarak batas antarkita. Batas jasadku dan jasadmu yang tak
pernah berujung pada dipan panjang, tempat kita menabur benih cinta.
Di sini, di gang sempit, aku merindu lenguhmu. Merindu keluhmu. Merindu
desah napasmu ketika tubuhmu terbujur kaku tanpa busana di perjalanan
malam. Aku tetap mengenangmu dari jauh, di antara kepingan puzzle,
kepingan lego, yang tak pernah berhenti mencari batas kesempurnaan.
Percakapan Rahim 2
Larut di sela sujudku
Rambah kedalaman rahimmu
Rindu jalari tubuhmu, dekap tubuhku
Rambutmu luruh ketika airmatamu
jatuh satu per satu di atas sajadah.
Kau bicara soal sujud yang tertunda
dan malam yang tak lagi bercahaya.
Wajahmu kusam ketika hutan-hutan
terbakar di telingamu. Akar-akar
rumput dan warna tanah menangis.
Percakapan Rahim 4
sore hari, debu di Karbala dan Najaf,
seperti jejak kaki yang tak lagi tersisa
oleh mimpi-mimpimu. Jari-jemarimu abadi
ketika hujan tumbuh di lenganmu
aku menyelam di kedalaman rahimmu
menanam benih dari sudut-sudut kota
yang tak lagi alirkan gelombang laut.
bersama rumput-rumput laut,
ketika hujan jatuh di jalanan Kota Pompei
aku arungi rahimmu di bawah cemara yang patah
memeriksa tubuh yang makin memerah
hinggap di akar-akar laut
menuju pembaringan tidurmu.
Risalah Doa
Kepingan rohku, kepingan jasadku,
kepingan lukaku, adalah risalah doa
yang tak bertepi. Terbujur kaku di atas
sajadah panjang tanpa suara. Tanpa
bisik angin yang menyelinap dari
rongga hidupku. Aku menemukan
hening tanpa bening dalam
risalah doa-doa malamku.
Januari 2018
Edy A. Effendi, selain menulis puisi, juga seorang jurnalis. Kini mengelola sebuah portal online dan mengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Cerpen M. Giffari Arief (Rakyat Sumbar, 10-11 Februari 2018) Nyawa Bapak Ada di Radio ilustrasi Rakyat SumbarAPA itu yang namanya prihatin? Apa bisa
mengembalikan keadaan Bapak seperti sediakala? Jutaan kali telinga ini
dihujani lantunan rasa prihatin orang-orang yang mendengar cerita
tentang Bapak sekaligus mereka berdoa dengan sungguh-sungguh untuk
diriku agar cepat sembuh. Aku sakit? Mereka gila! Lain lagi jika mereka
tidak mendengar cerita tentang Bapak. Mereka akan lalu begitu saja
seperti melihat sampah. Dalam kehidupan yang katanya modern pada masa
sekarang ini, aku melihat orang-orang begitu ketakutan dengan sampah dan
berusaha melenyapkannya. Jika memang begitu arti modern, sunguh, itu
sangat primitif! Ribuan tahun lalu orang sudah lebih maju. Mereka
mendaur ulang sampah, bukan melenyapkannya! Aku hanya bisa menganga
melihat semua ini dan berdoa untuk kesembuhan Bapak. Bapak harus sembuh.
Buih emas tidak akan mampu memecah ombak lumpur. Orang-orang hanya
memandang aneh padaku dan juga Bapakku. Tentu tidak bisa anggapan mereka
dibantah. Sementara ini, aku hanya bisa fokus terhadap kesembuhan
Bapak. Ia sedang diambang kematiannya.
Pasti orang-orang senang dengan kematian Bapak. Sebab terlebih dahulu
mereka akan menggelar gelak tawa teramat ketika mengetahui bahwa nyawa
Bapak ada di radio, semua radio di Negeri ini! Jika radio musnah dan
punah di Negeri ini, maka Bapak akan segera wafat. Jadi bisa dikatakan,
Bapak ini adalah penghulu dari semua radio di Negeri ini. Ia hidup
karena keberadaan radio-radio di seluruh Negeri.
Tidak ada yang perlu diganjilkan dan dibuat menjadi aneh. Wajar-wajar
saja nyawa Bapak ada di radio. Selama hidup, tidak jarang aku melihat
orang-orang yang memiliki Bapak yang nyawanya tidak bersatu dengan
badannya. Contoh saja Walikota di Kota yang sekarang aku tinggal di
dalamnya. Nyawa Bapaknya ada di dalam tindak korupsi. Tidak heran,
seminggu yang lalu ia diciduk oleh pihak berwenang karena terlalu sayang
dengan Bapaknya sehingga seluruh perintahnya dikerjakan dan seluruh
larangannya ditinggalkan. Tentu saja, agar Bapaknya terus hidup.
Beruntung sekali—dan sejujurnya mungkin aku merasa sial—nasibku tidak
sama dengan Walikota tersebut. Bapak tidak pernah menyuruhku
menyengsarakan masyarakat luas secara massa, seperti tindak korupsi yang
dilakukan oleh Walikota itu. Justru Bapak banyak berjasa besar dalam
sejarah negeri ini. Tahu? Proklamasi kemerdekaan negeri ini bisa bergema
sampai seluruh dunia tertegun kagum dengan perjuangan bangsaku, tidak
lain karena radio yang tidak lain adalah nyawanya Bapak! Radio-radio
tersebut berjasa besar menjadi perantara untuk menggemakan kemerdekaan
negeri ini!
Kenyataan menyajikan hal yang pahit sekarang ini. Sungguh, banyak
orang yang tidak tahu budi. Mereka memandang kecil Bapak dan mulai
mencoba membunuh Bapak. Zaman modern sekarang ini, orang-orang sudah
tidak lagi sering menggunakan radio. Padahal Bapak hidup dari situ!
Sedikitnya radio yang dipergunakan menandakan napas Bapak yang semakin
sedikit pula, dan apabila sudah tidak ada satu pun yang menggunakan
radio, maka secara resmi Bapak akan berpulang ke alam kemudian.
Orang-orang yang katanya semakin modern semakin berperikemanusiaan
nyatanya cuma diam. Mereka hanya bisa menonton kala bertahun-tahun atas
nama kemajuan peradaban, Bapak semakin hari semakin tersiksa karena
nyawanya semakin sedikit. Tidak ada yang sungguh-sungguh membantuku. Aku
hanya jadi tempat penampungan bagi manusia-manusia modern untuk
memamerkan molek indah rasa kemanusiaan mereka.
Begitupula kau, sama saja meski sedikit lembut dalam bertindak dan
memberikan harapan padaku. Keras kau berusaha dalam merayuku agar dapat
kuberi restu untuk terlibat dalam usaha penyembuhan Bapak. Sungguh,
tidak ada yang bisa! Kau hanya ingin pamer pada dunia bahwa kau punya
rasa kemanusiaan. Tapi baiklah, aku mengalah dan sebagaimana biasanya
dan sudah kukatakan sebelumnya: Aku hanya jadi tempat penampungan bagi
manusia-manusia modern untuk memamerkan molek indah rasa kemanusiaan
mereka!
“Kau punya radio di rumah?”
“Punya.”
“Punya gawai? Benda yang katanya bisa mengakses dunia maya dengan kecepatan sangat tinggi itu?”
“Tentu. Itu kebutuhan masa kini.”
“Buang gawaimu dan utamakan penggunaan radio yang kau miliki. Bapakku bisa terus hidup karena itu.”
Mula-mula kau diam dengan ludah yang tenggelam begitu dalam di
kerongkongan. Raut wajahmu sangat mudah diterka: Berat untuk setuju.
Tapi, kembali aku menerka, pada akhirnya kau setuju setelah terlebih
dahulu diam selama delapan detik. Aku juga bisa menerka berapa lama
kesetujuanmu itu bertahan. Satu hari setelah pertemuan kita berlalu, dua
hari, satu minggu, tiga minggu, sebulan, lima bulan, setahun.
Maaf. Aku lupa. Kau begitu lembut dan halus dalam menyembunyikan
busuknya komitmen. Setahun berhasil kau lalui dan aku salut,
perjuanganmu begitu keras dalam berkampanye pada masyarakat luas agar
mereka sering-sering menggunakan radio ketimbang gawai. Setahun itu pula
dunia semakin bergerak maju dan masyarakat semakin kencang membunuh
Bapak. Lihat saja warga kota. Ketika mereka terjaga dari tidurnya,
mula-mula yang dilihat bukanlah isi rumah. Mereka tidak peduli isi rumah
berkurang atau bertambah. Gawai langsung diraih dan larut dengannya.
Kemudian mandi, melahap sarapan, melangkahkan kaki menuju tempat kerja
dan menyesaki pusat kota, gawai tidak lepas dari perhatian mereka.
Selain gawai, tentu banyak sekali perkakas-perkakas teknologi yang
begitu canggih dan warga kota begitu bergantung kepadanya. Sementara
radio? Semoga cepat lenyap, mungkin begitu kata mereka.
Aku justru sedih dengan apa yang menimpa dengan warga desa. Mereka
memang masih menggunakan radio. Namun, peradaban tidak memihak mereka.
Dari delapan penjuru, mereka dipaksa secara halus untuk beralih ke
sesuatu yang lebih modern, lebih instan, dan lebih beradab. Radio
ditinggalkan dan semoga tenang di alam kemudian.
Dua, tiga, empat, dan pada akhirnya lima tahun berlalu. Kau semakin
giat berusaha untuk menyelamatkan nyawa Bapak yang semakin sekarat.
Hari-hari berganti dan waktu semakin berubah begitu modern. Masyarakat
semakin keranjingan mencoba membunuh Bapak. Penggunaaan radio semakin
jarang dan perkakas teknologi semakin banyak ragamnya dan semakin
menenggelamkan radio untuk kemudian menjadikannya sebagai bangkai
peradaban. Jangan lupa: Walaupun lima tahun berlalu, aku tahu kau tidak
bersungguh-sungguh menyelamatkan Bapak! Kau membantu hanya untuk
telanjang memamerkan rasa kemanusiaanmu.
Pada akhirnya, di sinilah ujungnya. Ajal menjemput Bapak.
Perkampungan kumuh tempatku tidur untuk rehat dari aktivitas kriminal
ringan menjadi saksi bisu yang melihat wafatnya Bapak. Ia secara tenang
dikuburkan di sana. Apakah kau tahu? Tidak sama sekali. Begitu Bapak
mati, maka selesai sandiwara yang ada. Kematian Bapak adalah momen yang
tepat bagimu untuk mencari tempat baru untuk pamer rasa kemanusiaan. Kau
meninggalkanku sendirian dan tiba-tiba saja terdengar kau mencalonkan
diri sebagai Walikota di kota ini.
Terus terang, aku tidak heran bahkan bila kau jadi pemimpin Negeri
ini. Aku bisa menerka, setelah terpilih jadi Walikota kau akan korupsi
besar-besaran, segila-gilanya. Aku hampir lupa, Bapakmu itu adalah
Walikota korup beberapa tahun lalu ditangkap. Kau pasti sayang Kakekmu.
Kakekmu itu nyawanya ada di segala tindakan korupsi yang terjadi di
Negeri ini. Tentu itu adalah momen yang baik untuk memamerkan rasa
kemanusiaanmu pada Kakek, kan? Mana mungkin seorang cucu tega membunuh
kakeknya. (*)
Lubuk Buaya, 2018
MUHAMMAD GIFFARI ARIEF.
Lahir di Padang, 10 Juli 1998. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Aktif menulis cerpen, puisi,
dan esai di beberapa komunitas siber.