Daftar Blog Saya

Kamis, 16 November 2017

Kutipan Posesif

Satu keputusan saja bisa mengubah seluruh jalan hidup kamu. (hlm. 254)

“Ya samalah kayak masalah hidup. Kadang kita merasa kewalahan dan kayak enggak ada jalan keluar. Padahal, kalau sabar pasti ketemu kuncinya. Bisa deh, selesai satu per satu.” (hlm. 79)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Di dunia sebesar ini kalau dua orang ketemu pasti ada aja kesamaannya. (hlm. 63)
  2. Saat lo berani, lo harus sadar risiko, teliti bikin rencana, dan tetap percaya diri melakukan hal yang awalnya lo takuti itu sambil siap menerima konsekuensi tindakan lo. (hlm. 85)
  3. Keberanian itu hasil kerja keras. (hlm. 90)
  4. Menjadi juara itu tanggung jawab. Enggak butuh saingan baru untuk bikin kamu semangat. (hlm. 108)
  5. Kekalahan kadang lebih mengajarkan banyak hal daripada kemenangan. (hlm. 108)
  6. Semua baik-baik saja selama kamu bahagia. (hlm. 147)
  7. Ketika kita lupa untuk memeriksa jam, dan terutama ponsel, itu berarti kita sedang merasa bebas dan gembira. (hlm. 167)
  8. Memutuskan untuk setia pada satu orang itu keputusan besar, (hlm. 247)
  9. Orang bilang rumah itu tidak selalu berupa sebuah alamat atau tempat, tapi bisa jadi adalah sebuah perasaan atau mungkin satu dua manusia. (hlm. 288)
  10. Tidak ada larangan untuk terus mencintai orang meski dia tidak mungkin bersama kita. (hlm. 330)
  11. Salah benar, sakit senang, menang kalah, itulah hidup. (hlm. 349)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Semakin bertambah usia, mengalahkan diri sendiri adalah hal sederhana sekaligus tersulit yang harus dilakukan. (hlm. 2)
  2. Peraturan ya peraturan. Kalau enggak sepaket, jangan masuk sini! (hlm. 15)
  3. Melanggar peraturan memang gampang. Tapi, siapa pun belum tentu siap menghadapi konsekuensinya. Dan konsekuensi terberat ternyata adalah malu. (hlm. 20)
  4. Romantis banget sih dihukum berdua. (hlm. 29)
  5. Yang hari ini kita anggap sebagai tragedi bisa jadi adalah bahan tertawaan bertahun-tahun yang akan datang. (hlm. 30)
  6. Lo kebanyakan latihan sih, hati lo beku. (hlm. 35)
  7. Kalau mau ngelanggar aturan jangan tanggung-tanggung. (hlm. 39)
  8. Melanggar aturan kan juga perlu insaf. (hlm. 39)
  9. Latihan fisik harus didukung asupan berkualitas. (hlm. 46)
  10. Tidak ada gunanya mengenang dalam kesedihan. (hlm. 59)
  11. Katanya cinta itu berkorban tanpa merasa menjadi korban. (hlm. 109)
  12. Lepas itu tidak selalu harus bebas. (hlm. 126)
  13. Sudah tahu aku bakal marah kenapa masih dilakuin? (hlm. 176)
  14. Orang bilang sebagian besar masalah di dunia ini sebenarnya tak perlu ada andai orang mau mengambil jeda tiap hari hanya untuk diam. (hlm. 283)
  15. Enggak semua hal bisa lo pecahin. (hlm. 294)
 

Penjaga Tanah

Cerpen Risma Dewa Purwita (Banjarmasin Post, 12 November 2017)
Penjaga Tanah ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post Group.jpg
Penjaga Tanah ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
“Seharusnya aku yang mati, bukan Mateus!” teriakku dalam hati, setelah menyaksikan jasad Mateus yang lidak bernyawa lagi.
Baju kausku basah karena titik air mata yang jatuh tak terbendung. Hampir semua orang yang berada di tepi waduk itu menangis histeris, terlebih ibu Mateus yang tak henti memanggil-manggil anak semata wayangnya.
Tiga hari yang lalu, pukul 14.00, sepulang dari mencari kayu di hutan, kami berenam mandi di waduk setengah jadi. Di seberang sana ada beberapa perempuan yang sedang bermain rangkuk alu [1]. Niat yang sebenarnya mandi di waduk itu adalah sekadar mencari perhatian perempuan-perempuan di sana. Benar saja, seketika itu kami berenam mendapat perhatian dari mereka. Mereka tersenyum kepada kami, tetapi kami terus bertingkah seolah-olah kami seperti lumba-lumba yang sedang beratraksi di depan penonton.
Memang waduk itu akan dijadikan sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di kabupaten kami. Namun entah karena persoalan apa, pihak pengelola membiarkannya begitu saja tanpa ada kepastian selanjutnya. Kami asik berenang seiring matahari berarak ke arah barat. Sekitar tiga puluh menit pertama, Lazarus berteriak katanya ada yang menarik kedua kakinya ke bawah. Kami terkejut. Lalu menolongnya. Setelah Lazarus berhasil kami tolong, tiba-tiba gelang tangan pemberian Pater Philip dari Roma, terlepas.
Masih di tempat yang sama. Aku melihat gelang itu terlepas dari tanganku, kemudian aku langsung mengambilnya. Namun saat aku mengambil gelang tersebut, tiba-tiba air waduk berubah menjadi keruh dan air itu menarik tanganku. Tubuhku disedot oleh air hingga ke dasar. Detak jantungku berdebar tak karuan. Di sana, di dasar waduk, lumpur setinggi pinggangku. Aku benar-benar takut. Aku berusaha keluar dari lumpur itu, namun gagal. Beberapa menit kemudian, aku kehabisan napas, aku berusaha bertahan. Tetapi air sudah masuk ke dalam hidungku, aku tersedak. Mataku juga perih, aku pasrah.
Belum ada lima detik, seseorang menepuk pundakku. Dia menarik tanganku keluar dari lumpur. Mateus dan Antonins menolongku. Aku berhasil keluar dari lumpur maut itu. Penglihatanku kabur, namun di atas permukaan air, aku masih bisa melihat Lazarus. Albertus, dan Gilbertus. Tetapi, teriakan Lazarus memanggil Mateus dan Antonius mengejutkanku.
“Mateus! Antonius!”
Lazarus menyuruh Albertus untuk cepat membawaku ke daratan. Sedangkan dia dan Gilbertus menolong Mateus dan Antonius yang tenggelam, tepat di tempat aku tenggelam tadi. Setelah sampai di daratan, aku meminta Albertus untuk mencari pertolongan. Siapa saja yang bisa menolong. Namun. Albertus terkesan keberatan karena melihat aku terkapar lemah, tak berdaya.
Gelang! [2] Ngo! [3]” kataku.
Kemudian Albertus pergi berlari menuju perkampungan. Setelah itu aku tak tahu, lebih tepatnya lagi, ketika aku membuka mata yang kudapati adalah orang-orang sedang mengerumuniku. Tak lama, aku dibawa ke Puskesmas.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00. Setelah dikabari, bahwa aku berada di Puskesmas, kedua orang tuaku langsung mendatangiku di Puskesmas. Aku tahu mereka khawatir.
“Mah, asa [4] Mateus agu [5] Antonius?” tanyaku.
Mamahku tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya menitikkan air mata. Perasaanku tidak enak, kemudian aku bangkit dari tidur, lalu berlari keluar dari ruangan yang bau obat-obatan, menuju waduk.
“Edward!” panggil Mamah, “Ngo nia, hau?” artinya: mau ke mana, kamu? Pertanyaan tidak aku hiraukan. Aku berlari, dan terus berlari.
Sesampainya di waduk.
Ada banyak orang di sana, termasuk tim SAR dan PMI. Aku mendekati Lazarus. Albertus, dan Gilbertus di dekat mobil PMI.
“Mateus agu Antonius nia [6]?” tanyaku.
Namun pertanyaan itu belum sempat dijawabnya, beberapa rombongan membawa kentongan, datang. Mereka memukul-mukul kentongan tadi sambil memanggil nama Mateus dan Antonius.
“Mereka dari Mbaru Gendang Wela,” kata Gilbertus kepadaku.
Mbaru Gendang adalah rumah adat khas Manggarai berbentuk kerucut. Rumah ini disebut sebagai simbol sekaligus pusat seluruh kehidupan orang Manggarai. Mbaru Gendang juga biasanya dijadikan sebagal tempat upacara-upacara adat.
Di Mbaru Gendang, mereka mengadakan ritual, semacam memberi sesajen kepada leluhur, agar anak yang hilang segera ditemukan. Tentu saja ritual tersebut dipimpin oleh tua golo [7] di sana.
Dua jam berlalu. Perenang profesional didatangkan untuk membantu pencarian. Antonius ditemukan. Beruntung Antonius masih dapat diselamatkan. Namun Mateus belum ditemukan.
***
Hari ini adalah hari ketiga kedua temanku tenggelam.
Tuang [8], apa mungkin waduk ini tidak termasuk ke wilayah Mbaru Gendang Wela?” begitu kata pastor paroki kepada tua adat.
Kemudian tua adat bertanya kepada warga perihal daerah kekuasaan rumah gendang Wela.
Tuang, mungkin waduk ini masuknya ke rumah gendang Nai,” Dangdur menerka.
Kemudian tua adat memperhatikan daerah sekitar waduk. Tanpa basa-basi tua adat itu langsung pergi bersama rombongannya, termasuk orang tua kedua temanku ke rumah gendang Nai yang ada di seberang kampung. Saat itu juga dibuatlah ritual. Setelah ritual selesai, dilakukan kembali hal yang sama: memukul-mukul kentongan dan memanggil nama Mateus.
Pukul 14.00.
Tim SAR berhasil menemukan jasad Mateus. Dia sudah meninggal. Jasadnya terdapat luka-luka kecil, diyakini bekas gigitan ikan. Tetapi kenapa perutnya lidak kembung? ***

Keterangan:
[1] permainan tradisional yang menggunakan bambu sebagai alat permainannya. Sekarang menjadi salah satu tarian tradisional daerah Manggarai-Flores, NTT.
[2] cepat
[3] pergi
[4] bagaimana
[5] dan/dengan
[6] kemana
[7] penjaga tanah
[8] bapak, tuan, atau raja

Risma Dewi Purwita. Kelahiran Punwaita, September 1990. Karya puisi dan cerpen mahasiswa STK1P St. Paulus Ruleng ini dimuat. a.l. di Minggu Pagi Jogja dan Flores Pos, serta dua antologi bersama. Novelnya “Rafaelo” terbit 2017 dan segera terbit “Lihardo”. Sekarang tinggal di Ruteng-Manggarai-NTT.

Lapar

Cerpen Rafii Syihab (Radar Banjarmasin, 12 November 2017)
Lapar ilustrasi Radar Banjarmasin.jpg
Lapar ilustrasi Radar Banjarmasin
AYU duduk di dekat tungku dengan tangan lemas. Mata wanita muda beranak satu itu tiba-tiba saja buram oleh tetesan air yang mengaliri pipi. Memang, rasanya tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu selain mendengar anaknya terus saja mengeluh kelaparan. Tidak ada alasan tepat untuk dijejalkan kepada anak berusia enam tahun itu agar ikut memahami kondisi keluarga mereka. Sudah berkali-kali dijelaskan kalau keuangan keluarga sedang minus, bahkan untuk sekadar membeli beras dan telur pun tak mampu. Tapi tetap saja anak kecil itu merengek kelaparan sejak tadi sembari mengelus perutnya yang kempes.
Sudah dua hari ini Ayu dan Anto menahan lapar, mereka hanya minum air putih. Sedang Bayu, anak semata wayang mereka terakhir makan kemarin sore, itu pun hanya dengan segenggam nasi bekas yang mereka dapatkan di pembuangan sampah. Miris dan mungkin terlihat seperti dilebih-lebihkan. Tapi inilah kabut suram yang sedang membayangi kehidupan mereka sekarang.
Anto adalah lelaki yang kerjanya serabutan; terkadang berada di toko untuk mengangkut barang milik orang, atau jadi tukang pijat jalanan yang dibayar seadanya, atau jadi tukang cat, tukang bangunan, gali sumur, dan sebagainya. Anto bisa menjadi siapa saja, tergantung pekerjaan apa yang tersedia. Masalahnya adalah, seminggu lebih belakangan ini semua pekerjaan yang biasa Anto kerjakan sudah tidak ada lagi. Bukan sepenuhnya tidak ada, hanya saja Anto tidak mendapatkannya.
“Bukan rezeki kita,” ucap Anto siang tadi mengomentari istrinya yang mengeluh karena toko di seberang rumah mereka baru saja mengangkut barang, tetapi mereka justru menggunakan jasa orang lain.
“Bukankah biasanya mereka minta tolong kita?” kata Ayu merajuk.
“Sudah. Sudah! Ndak baik kebanyakan ngeluh. Dosa!” sahut Anto menimpali.
Sedangkan sang istri yang kesehariannya hanya tukang setrika panggilan. Juga tak dapat berbuat banyak karena ia sendiri pun sedang krisis pelanggan dalam beberapa hari belakangan. Sebagian ada yang memutuskan untuk menyetrika sendiri demi berhemat, sebagian lain memutuskan mempekerjakan orang lain sebagai pembantu rumah tangga.
“Padahal aku pun mau jika mereka memintaku. Akh, kenapa harus orang lain?” Ayu merasa kesal.
“Maaa….lapar..!” jerit sang anak untuk kesekian kaiinya.
“Sebentar, Mama menyalakan api duiu,” suara Ayu agak bergetar menjawab anaknya. “Sebentar lagi dagingnya akan masak, kamu yang sabar ya.”
Ayu berdiri perlahan meniup bara. Api meyala, tapi daging yang ada pada piring di tangan Ayu tersebut belum juga akan dimasak. Wanita itu masih ragu. Kemudian Anto datang dengan plastik hitam berlumur darah, ia elus pipi istrinya, mencium kening, dan menyapu air mata yang membanjiri pipi Ayu.
“Cepat masak, aku dan Bayu sudah lapar,” ucap sang suami tersenyum sambil mengarahkan pandangannya pada anak mereka.
***
Sore tadi, dalam keadaan kacau, wanita itu sempat ingin marah kepada suaminya saat melihatnya datang dengan tangan hampa. Perut anak istrinya sudah keroncongan dari tadi, harusnya dia tahu itu, pikir Ayu. Hingga kemudian Ayu melihat wajah pucat suaminya yang juga tertunduk lesu. Ayu terenyuh, seketika itu juga ia tahu bahwa suaminya pun datang dalam keadaan kacau.
“Tidak dapat kerja lagi?” ucap Ayu dengan suara yang dilembut-lembutkan. Anto hanya mengangguk lesu, dan segera mencium kening Bayu yang sedang tidur. Sementara itu, Ayu segera ke dapur mengambilkan air putih untuk suaminya.
“Aku lapar, mas,” ucap Ayu sambil meletakkan gelas ke atas meja.
“Aku juga.”
“Bayu bagaimana ya, mas? Sepanjang siang ini dia kelaparan, aku kasihan padanya. Ia terus menjerit-jerit meminta makan, aku tak tahan kalau lebih lama membiarkannya dalam keadaan seperti itu.”
“Malam ini kita pasti makan kok, rezeki pasti ada. Tenang saja,” ucap Anto yang kemudian merebahkan diri. “Aku mau istirahat dulu, mau tidur, capek kakiku habis mondar-mandir cari pelanggan yang mau dipijat,” lanjutnya.
Ayu hanya terdiam. Ia sendiri takkan bisa tidur dengan keadaan seperti ini, bukan karena kelaparan, melainkan karena memikirkan Bayu, anaknya. Ia dan keluarganya harus makan malam ini.
Ibu muda itu menarik nafas panjang. Dalam benaknya, ia sempat terpikir untuk meminta suaminya meminjam uang kepada tetangga. Tapi pada siapa? Ayu masih ingat dengan penolakan-penolakan yang sering ia terima ketika berusaha untuk meminjam uang. Seperti beberapa hari yang telah lewat. Ayu masih ingat, bahwa hari itu ia mendapat penolakan yang sangat tidak enak. Ia dan suaminya bertubi-tubi menerima makian dan hinaan. Miskin, tidak tahu diri, dan beberapa sumpah serapah yang memekakan telinga. Ia ingat betul, bahwa pada hari itu mereka ditolak meminjam uang karena mereka miskin, justru karena kami miskinlah yang menyebabkan kami mau minjam uang! Ayu membatin. Tapi itu tidak terucap, ia sendiri sadar betul bahwa cap miskin membuat orang-orang akhirnya tidak bisa memercayakan uang mereka dipinjam.
Sebenarnya ada satu orang yang senantiasa percaya pada mereka, namanya Samin, si pemilik toko di seberang rumah mereka itu, dan di sanalah mereka biasa meminjam uang. Namun, apa mau dikata, hutang mereka sudah terlalu menumpuk pada satu orang itu. Ayu dan suaminya memutuskan untuk tidak lagi meminjam uang padanya; mereka malu.
Ia duduk di teras rumah, dilihatnya sekeliling warna-warni lampu menerangi rumah para tetangga. Rumah keluarga kecil Anto sendiri berada di belakang rumah sakit, di kiri-kanannya terdapat rumah-rumah megah kokoh berdiri. Berpagar besi dan punya bel. Keren, kata Bayu suatu ketika kepada sang ibu saat melihat rumah tetangganya.
Pikiran Ayu terus saja berkecamuk memikirkan perut keluarganya yang tak jua diisi makanan. Terlebih ketika aroma daging panggang begitu wangi tercium oleh hidungnya. Ia menikmati aroma itu. Dihirupnya dalam sembari mengkhayal daging itu akan melewati tenggorokannya.
Tiba-tiba dari dalam suara anaknya membuyarkan pikirannya. “Ma, mama masak apa? Enak banget aromanya.”
“Tidak, Nak. Bukan mama. Mama tidak masak, Itu masakan tetangga.”
“Terus mama masak apa malam ini? Bayu lapar. Terakhir kita makan kemarin sore kan? Mama sama bapak ndak lapar?”
Pertanyaan-pertanyaan itu menghunus hatinya. Dan pada matanya mulai berjatuhan bulir-bulir keputusasaan.
“Tanya bapakmu sana!”
Hening.
Ayah dan anak di dalam rumah itu sedang berdiskusi kecil-kecilan berharap bisa melupakan rasa lapar.
Sesaat kemudian Bayu keluar menggendong kucing kesukaannya. Ia lantas duduk di sebelah Ayu.
“Ma. Maaf ya.”
Ayu mengangguk.
“Bapak bilang mama lagi sakit, makanya ndak bisa masak malam ini. Maaf ya, Ma. Bayu sering ngerepotin.”
Ayu sesegukan berusaha sebisa mungkin menahan tangis. Ia lepas kucing dari gendongan Bayu, kemudian memeluk anak kesayangannya tersebut erat sekali.
“Iya. Mama juga minta maaf, ya,” bisik sang ibu. “Sana masuk, kejar kucingnya.”
Bayu masuk ke dalam rumah sambil bersuara menirukan suara kucing dan memanggil-manggil namanya. “Anis, Anis…,” Begitu biasa ia memanggil kucing berwarna putih kesukaannya tersebut.
“Malam ini kita harus makan!” Suara suaminya tiba-tiba saja mengagetkan Ayu. Ia keluar membawa sebilah pisau.
“Makan apa?”
“Ayam!” jawab suaminya pelan.
“Ayam?”
“Baru saja kulihat di belakang rumah kita seekor ayam jantan sedang tidur. Kita sembelih saja ayam itu.”
“Tidak! Gila kau, mau mengajari anak kita jadi maling?”
“Makan ayam tetangga atau membiarkan anak kita mati kelaparan?!”
“Pokoknya tidak! Aku tidak akan membiarkan anakku makan sesuatu yang bukan miliknya.”
“Tapi Bayu, Ma! Bayu!”
“Pokoknya tidak!”
Sang suami tertunduk, dan si isteri mengaruk-garuk kepala yang ndak gatal. Dari dalam rumah suara anak mereka terdengar, “Pa… laparrr…”
“Iya sebentar, bapak sedang menangkap ayam, Nak.”
“Mas!” Cegah Ayu ketika suaminya mencoba bangkit. “Biarpun kita miskin, aku tidak mau kita makan hasil curian!”
“Lantas bagaimana? Kita harus makan malam ini! Harus..!”
“Tapi tidak dengan ayam itu, Mas!”
Anto tak menggubris perkataan terakhir isterinya, ia lantas bangkit dan menuju belakang rumah.
Ayu cepat menyusul suaminya.
Sementara itu malam masih saja kejam bagi keluarga kecil Anto. Ribuan bintang berkilauan indah, namun barangkali akan lebih indah andai semua bintang itu jatuh lalu menjadi makanan siap saji bagi mereka. Di antara bintang-bintang kecil itu terdapat bulan yang bulat sempurna, seperti telor mata sapi yang selalu disukai Bayu sedap makan pagi. Ah, malam itu sungguh adalah malam yang kelam bagi keluarga kecil Anto, di mana segala sesuatu mereka harapkan dapat dimakan dan mengenyangkan.
“Maaaaa….!” Teriaknya.
“Kenapa, Yu?” tegur sang ayah.
“Laparrrr.”
Anto berjalan masuk. “Sabar, sebentar lagi kita makan kok sini kamu, bantu ayah membersihkan pisau.”
Bayu bangkit dan ikut membersihkan pisau. “Pisaunya kena darah ayam ya, Pak?” ucapnya.
“Iya, Nak. Sebentar lagi kita makan enak makan daging! Kamu mau ndak?”
“Mau, Pak, mau! Horeeeee…”
“Ya, sudah. Kamu yang sabar ya. Ibu sedang memasaknya untuk kita. Sebentar lagi pasti kamu makan enak.”
Bayu kegirangan bukan main. Dan malam kemudian berubah menjadi lebih bersahabat padanya. Meski perutnya masih lapar, tetapi sebilah pisau berlumur darah yang baru saja ia bersihkan adalah suatu kabar gembira. Ia meyakini; malam itu, pasti makan!
***
“Cepat masak, aku dan Bayu sudah lapar,” ulang suaminya meyakinkan istrinya yang masih ragu. Perlahan ia jejerkan daging-daging itu ke atas bara. Lebih enak dipanggang dari pada direbus, Ayu membatin.
Asap mengepul dari dapur, membuat rumah kecil mereka semakin sesak saja dibuatnya. Meski hanya dibaluri kecap, rasa lapar membuat mereka tak sabar menyantap potongan-potongan daging di hadapan mereka.
“Ayo, Nak, kita baca doa dulu,” ajak ayahnya.
Bayu mengangguk dan membaca doa sebelum akhirnya daging itu dengan tak sabar masuk ke mulutnya dengan rakus.
“Ayo, Pa, Ma. Kita makan.”
Kedua orangtuanya mengangguk dan mengambil daging tersebut. Ada rasa haru yang bercampur dengan bahagia ketika daging itu dimasukkan ke dalam mulut mereka.
“Enak ndak dagingnya, Yu?”
“Enak, Pak. Eeeenak banget.”
“O. Ya. Kok ceker ayamnya dan kepalanya ndak ada?”
Dengan gelagapan, Anto menjawab, “Wah bapak ndak tahu tuh kalau Bayu suka sama kepala dan ceker ayam.”
Anto segera meminta Bayu untuk menghabiskan makanan dan berharap anak satu-satunya itu tidak lagi bertanya tentang ceker dan kepala ayam.
Anto menatap istrinya yang kini tengah tertunduk layu. Dalam benak Anto, ada rasa sesal yang mendalam ketika di belakang rumah tadi membiarkan istrinya mengambil pisau dari genggamannya. Anto menyesali perbuatan istrinya itu karena menurutnya yang harus melakukan semua ini adalah dia, sang kepala keluarga, bukan sang istri!
“Anis di mana ya? Padahal kan kita lagi makan enak. Sayang dia ndak ada,” kata Bayu sembari menoleh kanan-kiri memanggil kucing kesayangannya.
“Nis, Aniiss….”
Ayu dan Anto saling berpandangan, keduanya bingung akan menjawab apa. Anto pun berusaha tersenyum dan memeluk anaknya. “Mungkin sedang mencari makan di rumah tetangga, Yu,” ucap Anto kepada anaknya.
Sementara itu Ayu tak lagi kuasa menahan tangis dan langsung berlari ke kamar.

Komunitas Tuart Putih, Banjarbaru, 8 November 2017