Daftar Blog Saya

Minggu, 14 Januari 2018

Mawar di atas Bangkai

Cerpen Basuki Fitrianto (Lampung Post,  14 Januari 2018)
Mawar di atas Bangkai ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Mawar di atas Bangkai ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Banyak orang menganggap, bunga mawar adalah lambang cinta. Kelopak-kelopak berwarna merah merangsang jari-jemari untuk membelainya. Aroma yang keluar memancing hidung menghirupnya. Tapi bagaimana jika mawar yang menggoda itu ada di atas bangkai? Masih adakah yang ingin mengambil lalu menghirup aroma wanginya? Jika ada yang menginginkan lalu mencumbui wanginya, pastilah orang tidak waras.
Itulah wejangan Haji Dulah untuk anaknya, Kadir. Haji Dulah merasa perlu memberi wejangan untuk Kadir, sebab Kadir sudah pada titik mengkhawatirkan, menjerumuskannya pada kehancuran harga dirinya sebagai seorang Haji. Kadir bergaul dengan anak pelacur! Dan pergaulannya itu semakin erat menyebabkan cinta tumbuh di hati Kadir.
Belingsatan. Tentu saja itu yang dirasakan Haji Dulah. Orang tua mana yang sudi anaknya jatuh cinta dengan anak pelacur? Orang tua mana? Haji Dulah harus bergerak cepat menutup aliran cinta di lubang hati Kadir.
Dia harus menyumpal lubang itu dengan nasihat, wejangan-wejangan, dan jika sumpalan itu belum mampu menutupnya, rembesan-rembesan cinta masih keluar, maka Haji Dulah akan menambalnya dengan ancaman: tak mendengar nasihat ayahnya sama saja dengan anak durhaka. Lebih baik dia kehilangan anak daripada kehilangan harga diri.
Cinta kadang membuat hidup terasa aneh, itu dirasakan Kadir. Dia tak menyangka, sungguh tak menyangka jatuh cinta pada Gayatri. Sebelumnya Kadir tak tahu jika ibu Gayatri seorang pelacur. Dan setelah terang benderang Kadir mengetahui ibu Gayatri pelacur, Kadir sudah terjebak pada pusaran cinta dan tak mampu keluar dari pusaran itu.
Bermula dari seringnya Kadir bertemu Gayatri di tempat kursus bahasa Inggris. Saling pandang, saling senyum, berbasa-basi, dan akhirnya saling mengungkap hati. Ikrar pun disematkan: mereka menjadi sepasang kekasih sehidup-semati. Hanya binasa yang bisa memisahkan cinta mereka.
Tantangan besar yang harus dihadapi Kadir tentu saja ayahnya. Dia bagai benteng dilingkari ribuan tentara yang siap melepaskan peluru harga diri. Jalan terjal? Tentu saja. Apakah dia sanggup menghancurkan benteng angkuh itu? Kadir selalu memegang nasihat ayahnya, bekerja keraslah jika kau menginginkan sesuatu. Ya, Kadir akan bekerja keras memeluk cinta Gayatri dalam dekapannya.
***
Lagu berirama kasidah melatarbelakangi wajah muram Haji Dulah. Di hadapan Haji Dulah, Kadir duduk kepala tertunduk. Hampir setengah jam Kadir mendengar wejangan ayahnya.
Kali ini suara ayahnya terdengar lebih galak, itu disebabkan Kadir masih saja berhubungan dengan Gayatri. Sesekali sumpah serapah keluar dari mulut Haji Dulah. Anak durhaka! Anak tak tahu malu! Mau taruh di mana mukaku?!
Haji Dulah seakan lupa dengan nasihatnya dulu, bahwa semua ciptaan Tuhan sama di hadapan-Nya, yang membedakan hanya amal ibadahnya. Kadir mencoba mengingatkan nasihat itu pada ayahnya. Ayahnya makin murka dan menganggap Kadir lancang dan meremehkan dirinya.
Lagu berirama kasidah masih terdengar, ya Allah, ya Allah, ya Nabi, ya Nabi…
Kadir murung terkurung dalam tatap marah ayahnya. Cara apa yang bisa melunakkan batu keras di hati ayahnya? Ah, seandainya ibunya masih ada, pastilah dia akan membelanya.
Keakraban Kadir dengan Gayatri rupanya sudah didengar pula kakak lelakinya yang tak lagi serumah dengannya. Persis seperti ayahnya, kakaknya pun tak setuju dia berhubungan dengan Gayatri. Nasihat yang dia ujarkan pun hampir sama dengan ayahnya.
“Mawar memang indah dan harum baunya, tetapi jika mawar itu ada di atas bangkai, orang waras tak sudi mengambilnya. Carilah pasangan yang seiman dengan kita. Bobot, bibit, bebet, itu perlu jika ingin mencari istri.”
Kini dua benteng ada di depan Kadir dan kedua benteng itu sama angkuhnya.
Satu hal yang diinginkan Kadir saat ini adalah ingin bersanding dengan Gayatri. Bersamanya dia ingin memuntahkan keruwetan di hatinya. Bagi remaja cinta memang selalu rumit dan sepertinya dunia akan hancur bila dua cinta tak dapat menyatu.
Dan pada satu sore yang cerah, di bangku taman kota, Kadir dan Gayatri duduk bersanding dengan wajah dilipat. Tak ada senyum. Muram mengurung nasib mereka. Bahkan gadis manis berkerudung itu menitik air mata ketika Kadir menumpahkan segala keluh-kesahnya. Sepertinya tak ada jalan keluar lagi untuk menyatukan cinta mereka.
Gayatri menyesali kenapa dia keluar dari rahim seorang pelacur? Anak pelacur tetap anak pelacur, dia tak akan berbeda meski berhijab, rajin sembahyang. Orang-orang itu tak akan pernah tahu isi hatinya. Mereka hanya melihat dan menilai dirinya hanya dari luar tubuhnya. Anak pelacur tetap anak pelacur. Demikianlah, selalu mentok pada kenyataan itu.
***
Karena menganggap sudah tak bisa lagi meluluhkan hati ayahnya, Kadir merasa perlu menemui buliknya yang tinggal di luar kota. Satu jam perjalanan untuk sampai ke rumah buliknya. Siapa tahu buliknya mempunyai jalan keluar untuk keruwetan yang Kadir alami. Maka pagi hari sebelum matahari terbit, dengan sepeda motornya, Kadir menuju rumah buliknya.
Buliknya sedang menyapu halaman depan rumah ketika sepeda motor Kadir hendak masuk halaman. Bulik berhenti menyapu dan menatap bertanya, siapa gerangan yang datang? Kadir menaruh sepeda motornya di bawah pohon melinjo. Kadir membuka helm. Barulah bulik mengerti siapa yang datang.
Bulik menyandarkan sapu lidi pada dinding kayu teras depan. Kadir mendekati bulik, sungkem sambil berucap salam. Bukan kejadian biasa sepagi itu Kadir mengunjunginya, maka bulik mengajak Kadir masuk. Membuatkan kopi. Bertanya kabar ayahnya, kabar kakaknya, dan kabar Kadir sendiri. Setelah berbasa-basi, bulik bertanya tentang maksud Kadir mengunjunginya.
Berlinang air mata Kadir. Kadir seperti duduk di depan almarhumah ibunya. Tutur kata bulik, wajah bulik, bahkan saat bulik tersenyum pun sangat persis dengan mendiang ibunya. Maka keluarlah semua gumpalan masalah yang ada di hati Kadir. Seperti bendungan ambrol, semua keluar tanpa ada sisa masalah di hati Kadir.
Bulik mendengarkan setiap kalimat Kadir. Mencernanya agar tak keliru ketika memberi nasihat dan jalan keluar untuk masalah yang dihadapi Kadir. Bulik masih ingat pesan mendiang kakaknya, ibu Kadir, untuk ikut menjaga serta menasihati Kadir dan kakak Kadir.
***
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Kadir berkeyakinan akan mampu menaklukkan hati batu ayahnya setelah dia mendengar cerita bulik tentang riwayat ayah dan ibunya sebelum mereka hidup berumah tangga. Di hadapan ayahnya, Kadir akan membuka semua cerita yang dia dengar dari bulik.
Kadir melaju kencangkan sepeda motornya, menerobos gerimis tipis, ingin lekas menemui ayahnya.
***
Lagu berirama kasidah kesukaan ayahnya mengalun ketika Kadir berhadapan dengan ayahnya. Tak ada senyum di wajah ayahnya. Tubuh ayahnya bersender pada kursi goyang, diam meresapi alunan lagu kasidah. Ya Allah, ya Allah, ya Nabi, ya Nabi…
Melihat ketidakpedulian ayahnya, keyakinannya sepanjang perjalanan tadi yang sudah dia bungkus dalam hatinya sedikit memudar. Berkali Kadir sudah ingin bersuara menceritakan semua cerita buliknya, berkali pula suara itu berhenti di tenggorokan.
Ragu. Apakah cerita itu, riwayat ayah dan ibunya sebelum mereka menikah bisa menaklukkan hati batu ayahnya? Dia harus berani, dia harus bicara, dia harus ambil risiko. Maka Kadir pun berbicara, “Aku baru saja berkunjung ke rumah bulik dan bulik sudah cerita banyak tentang riwayat Ayah dan Ibu. Ketika masih bujang, ternyata ayah adalah bajingan, suka bikin onar, mencuri barang orang.” Haji Dulah berdiri dari kursi goyang. Berjalan mendekati Kadir dan menanyakan apa maksud Kadir berbicara seperti itu.
Dua telapak tangan Kadir saling peluk erat di atas meja. Menahan keraguan. Kadir kembali bercerita, “Ternyata Kadir tak jauh beda dengan Gayatri. Kadir juga mawar di atas bangkai. Ayah tak perlu berbicara soal harga diri. Tak perlu merendahkan ibu Gayatri, sebab, sebelum ibu menikah dengan Ayah, Ibu dulu juga pelacur.”
Mendengar itu, Haji Dulah gemetar. Bergemuruh dadanya. Tangannya mengepal menahan amarah. Sumpah serapah ketika masih jadi bajingan pun keluar dari mulut Haji Dulah.
“Bajingan! Anak setan!” Dan tangan Haji Dulah menggebrak meja. Braak!!! Haji Dulah tak terima dia direndahkan seperti itu. Dia lebih baik kehilangan anak daripada dipermalukan seperti itu. Dengan suara lantang, Haji Dulah mengusir Kadir dari rumahnya. “Minggat kau!”
Lagu berirama kasidah masih mengalun di antara ketidaktahuan Kadir tentang harga diri milik ayahnya. Ya Allah, ya Allah, ya Nabi, ya Nabi…

Solo, Rumah Mimpi 2017.

Pesawat Baru Karim

Cernak Wardie Pena (Lampung Post, 14 Januari 2018)
Pesawat Baru Karim ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Pesawat Baru Karim ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Setelah cukup lama menanti, Karim akhirnya punya pesawat mainan atau aero modeling yang diidam-idamkannya sejak dulu. Di rumahnya memang banyak pesawat mainan jenis itu. Bahkan, bangkai-bangkainya sudah menggunung hampir di setiap sudut ruangan rumah. Namun, tidak ada satu pun di antara mereka yang dirancang untuk bocah seusianya. Semuanya hanya untuk orang dewasa.
“Kamu tahu, Rim, pesawatmu ini namanya model TNI AU Indonesia,” kata Bapak.
Karim memanggutkan kepala sambil tersenyum riang. Ia sudah tidak sabaran ingin segera menerbangkan pesawat yang khusus dirancang untuknya itu. Secara tidak sadar, tangannya pun meraba-raba bodi pesawat yang terbuat dari bahan tripleks itu.
Penutup bagian depan yang benar-benar menyerupai pesawat tempur, kedua sayapnya yang terlihat begitu seimbang, tak luput dari elusan tangan Karim. Pesawat itu memang mirip dengan pesawat betulan.
“Bagaimana Karim bisa nerbangin pesawat ini, Pak?” tanyanya kemudian.
“Pesawat ini namanya jenis radio kontrol, Rim. Jadi, untuk menerbangkannya harus pakai controller atau remote kontrol. Dan itu pun ndak sembarangan,” terang Bapak sambil tangannya meraih bagian mesin pesawat yang Karim sendiri tak mengerti.
Entah apa yang akan dilakukan Bapak, ia tak mengerti. Setahunya, Bapak memang jago merancang pesawat mainan. Dan itu beliau tekuni sejak pensiun mengajar di sebuah SD negeri tahun lalu.
Karim hanya bisa membulatkan mulutnya mendengar penjelasan Bapak. Maklum saja, di pikirannya hanya ada bagaimana supaya benda bersayap itu bisa dimainkan. Ia tentu sering melihat Bapak menguji kemampuan terbang pesawat yang baru selesai dibuatnya. Namun, selama ini perhatiannya tak pernah betul-betul tertuju pada cara mengoperasikannya.
“Nah, sudah kelar, Rim. Sekarang, sebelum kamu nerbangin pesawat ini di lapangan, kamu harus latihan dulu melalui simulator aero modelling di komputer Bapak.”
Karim mengiyakan perkataan Bapak dengan membuntuti langkahnya ke arah meja komputer. Ia meraih remote yang terlihat seperti sebuah radio dan memiliki beberapa stick pendek sebagai pengontrol.
Dengan perlahan Karim mulai menggerakkan stick itu. Tak menunggu lama, tubuhnya secara tak sadar ikut miring ke kiri-kanan mengikuti gerakan pesawat di dalam komputer tersebut. Karim sudah lumayan piawai.
“Tapi, bagaimanapun juga, kamu harus tetap sering-sering latihan. Karena menerbangkan yang asli dengan di simulator agak berbeda.” Bapak mengingatkan.
Esok harinya, pas hari libur, Karim membawa pesawatnya ke lapangan desa yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Tanpa sepengetahuan Bapak, ia ingin memamerkan pesawat barunya kepada teman-teman seusianya yang sedang bermain di sana. Karim tahu, bahwa tak ada satu pun di antara mereka yang punya mainan pesawat mewah sepertinya. Jadi, mereka pasti terkagum-kagum melihat pesawatku, kata Karim dalam hati.
“Waaah, pesawat Karim bagus sekali,” teriak Saeful melihat kedatangan Karim. Teman-teman lainnya juga terperanjat, seakan tak percaya dengan penglihatannya.
“Ini pesawat baruku. Kalian tahu, kata Bapakku biaya buatnya jutaan rupiah,” jelas Karim sambil menjaga jarak dengan teman-temannya. Ia takut kalau-kalau tangan mereka usil meraih bodi pesawatnya yang masih mengkilat.
“Hebaaat…tapi pesawat ini bisa terbang kan, Rim?” sergah Sukini, satu-satunya anak perempuan yang bermain di tempat itu.
Mendengar perkataan teman satu kelasnya, bocah kelas V SD itu merasa diremehkan. Karim kesal sehingga ia segera meletakkan roda pesawatnya di permukaan tanah, lalu menghidupkan remote-nya. Pesawat itu pun segera berdesing dan mendesau siap tinggal landas layaknya waktu Karim latihan di komputer. Kemudian, ia melaju dengan kecepatan cukup kencang seperti mobil yang memiliki CC tinggi. Namun, setelah sampai sekian meter, peawat itu tak bisa mengudara. Ia hanya bisa menguing-nguing di tempat.
Semua teman Karim bersorak-sorai menertawakan keadaan itu. Sebagian mulai meledek dan mematahkan kesombongan Karim, “Masak sih pesawat baru enggak bisa terbang?” sambar Bimo, adik kelas Karim di sekolah yang masih berusia delapan tahun.
Karim semakin geram. Ia mengambil pesawatnya yang sudah bergerak puluhan meter dari tempat dia dan teman-teman berdiri. Ia lantas memulai ulang tinggal landas. Setelah berdesing-desing sekian detik di tempat, pesawat itu pun meluncur dengan posisi menjulang, bagian kepala di atas. Akan tetapi, itu tak bertahan lama setelah akhirnya benda bersayap itu berputar-putar di udara, lalu menjunamkan diri ke permukaan tanah, serupa burung bangau mematuk ikan. Akibatnya, bagian kepala pesawat itu remuk. Kedua sayap dan elevatornya patah. Hanya mesinnya yang masih bisa diselamatkan.
Mulut Karim menganga. Mengendalikan pesawat di simulator ternyata tak sama dengan yang sungguhan, gumamnya. Wajahnya memucat. Ia lalu memungut pesawatnya yang tergolek tanpa daya di atas permukaan tanah, lalu pulang dengan langkah gontai.

Jokpin dan Universalitas Makna dalam Berpuisi

Oleh Junaidi Khab (Lampung Post, 14 Januari 2018)
Jokpin dan Universalitas Makna dalam Berpuisi ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Jokpin dan Universalitas Makna dalam Berpuisi ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Puisi merupakan karya sastra yang secara gamblang sangat mudah pembuatannya. Namun, jika ingin menghasilkan makna yang tajam dan penuh arti bagi kehidupan manusia, hal itu yang sangat sulit dan rumit untuk dilakukan. Kita memerlukan permenungan yang cukup mendalam untuk menghasilkan puisi yang bisa memberikan makna luar biasa. Bukan hanya penyusunan diksi, tetapi sebuah rasa yang diselipkan memerlukan kesucian jiwa untuk melahirkan puisi yang bernas.
Dalam hal ini, Joko Pinurbo (Jokpin) sebagai penyair telah mampu melahirkan puisi-puisi renyah dan ringan tetapi penuh makna. Salah satunya diterbitkan oleh penerbit Basabasi Yogyakarta berjudul Telepon Genggam (2017). Dengan gaya bahasa yang sederhana, Jokpin menghadirkan Telepon Genggam sebagai eksistensi kehidupan manusia.
Telepon genggam menjadi teman hidup manusia dalam berbagai dimensi. Kadang menghadirkan kegembiraan, kesedihan, kegilaan, dan bahkan permusuhan selain memang bisa menjadi sarana komunikasi antar kawan. Dari telepon genggam juga, manusia menggantungkan segala harapannya dalam menghadapi jalan hidup sehari-hari.
Jika diibaratkan dengan kopi, puisi-puisi Jokpin merupakan kopi dengan kadar gula yang pas: tidak manis dan tidak pahit. Memang, kita tak dapat memungkiri, bahasa puisi ada yang sangat gurih, bahkan pekat dalam rangkaian kata-kata dan diksinya. Tetapi, pesan-pesannya tak jauh berbeda: moral dan sosial meski kadang terselip tentang percintaan. Begitu juga dengan karya puisi-puisi Jokpin yang tampak sederhana dan apa adanya. Tetapi, nilai estetis dan kandungan moralnya tak bisa diremehkan.

Kualitas dan Identitas

Sebuah karya sastra, termasuk puisi yang lahir dari seorang penulis atau penyair akan menjadi cermin dan jati diri penulisnya. Penulis atau penyair melalui karya-karyanya telah mengenalkan identitas diri pada publik dan pembaca. Sebuah karakter yang terpancar dari sebuah karya akan dinilai oleh pembaca untuk mengenal jati diri penulis. Sehingga, dengan demikian, penulis atau penyair telah membentuk karakter, jati diri, dan identitasnya melalui karya-karyanya yang kemudian dinilai dan diformulasi oleh pembaca.
Berbeda dengan konsep identitas sebelumnya, khususnya identitas penyair. Dalam pandangan umum, penyair selalu berambut gondrong dan berpenampilan kumal. Kita bisa melihatnya seperti tokoh Arya Dwi Pangga dalam film serial Tutur Tinular. Dia seorang penyair dengan penampilan kumal. Hal ini yang juga memantik para penyair di Indonesia kadang berpenampilan kumal untuk membentuk identitasnya.
Namun hal itu sudah tidak berlaku lagi untuk saat ini. Identitas penulis atau penyair bisa kita lihat dari karya-karya yang dilahirkan atas hasil olah pikiran dan jiwanya. Kita tidak cukup melihat penampilan secara fisik saja untuk mengetahui tentang seorang penulis atau penyair, tetapi bisa melalui dengan membaca karya-karyanya.
Tugas penyair adalah terus menulis puisi. Meskipun dia pada tataran dan kesempatan tertentu berupaya mengenali dan membangun identitasnya. Kekuatan paling besar dalam mengonstruksi identitas penyair justru terletak pada pengamat, kritikus, dan pembaca puisi yang menikmati, menggali, dan menilai makna yang terkandung di dalam puisi (Yusri Fajar, 2017:141).
Dengan kata lain, dari puisi-puisi yang dilahirkan oleh Jokpin, masyarakat pembaca dan kritikus harus mampu menyerap makna puisi-puisi Jokpin yang kemudian dilekatkan pada diri Jokpin itu sendiri. Begitu juga dengan para penulis dan penyair lainnya secara umum. Sehingga, Jokpin dalam tataran karakter kesusasteraan identik atau dikenal sebagai penyair yang penuh dengan kejenakaan.
Hal itu bermula dari karya puisinya yang berjudul Celana (1999). Karya tersebut memantik makna yang cukup mendalam dan universal meski gaya bahasanya cukup sederhana dan penuh humor yang memekarkan segala gelak-tawa pembaca.
Tulisan ini bukan menganggap bahwa puisi selain karya Jokpin tidak memiliki kualitas makna sama sekali. Bukan itu yang dimaksud. Puisi Jokpin yang tergolong sederhana telah membawa pesan moral dan sosial yang cukup universal jika dilihat dari berbagai sudut pandang. Kejenakaan-kejenakaannya mampu meretas segala kekakuan dalam kehidupan manusia.
Sementara itu, kejenakaan dalam puisi Jokpin bukan serta-merta sebagai guyonan belaka. Namun kejenakaan yang dilahirkan oleh Jokpin sebagai upaya untuk membuat hidup manusia agar lebih ringan dalam menghadapi segala problem hidup yang kadang sangat pelik.
Kita juga bisa membaca karya Jokpin yang juga diterbitkan oleh Basabasi dengan judul Tahilalat (2017). Karya tersebut mampu menggambarkan tentang kehidupan seorang ibu dengan berjuta kasih sayang terpancar dari segala usianya. Memang, puisi tersebut tidak begitu menampakkan kelucuan secara keseluruhan. Namun karya tersebut menyimpan sifat lugu tentang penggambaran seorang ibu yang tak pernah redup kasih sayangnya bagi anak-anak yang lahir dari rahimnya.
Bahasa yang digunakan oleh Jokpin dalam puisi-puisinya memang tampak sederhana. Pembaca seakan kecanduan atas bahasa yang dibangun oleh Jokpin meski karyanya secara sepintas tak memiliki nilai kesusasteraaan.
Seperti dikatakan oleh Azwar (2016:150), bahwa salah satu hal yang membuat orang kecanduan membaca karya sastra yaitu karena bahasa yang ada di dalamnya. Setiap bahasa memiliki rasa yang bisa dinikmati oleh pembaca dan hanya pembaca yang bisa mengetahui rasa bahasa sebuah karya sastra itu nikmat atau justru menyakitkan.
Salah satu alasan Jokpin memiliki posisi di tengah-tengah kesusasteraan di Indonesia yaitu karena bahasa dalam karya-karyanya yang dibangun menjadi candu bagi pembaca: reflektif, sederhana, simpel, dan renyah dinikmati. Masyarakat pembaca bisa menimbang sendiri mengenai bahan bacaan yang sesuai selera bacaannya: efektif dan tidak begitu rumit. Seandainya makanan, harganya murah, tetapi memiliki rasa yang tidak ada bandingnya, sehingga menjadi bahan candu yang sulit ditinggalkan.
Begitu kira-kira karya Jokpin yang tertuang dalam puisi-puisinya. Karya-karya Jokpin bukan sebatas mengenyangkan, tetapi menyenangkan bagi pembaca yang benar-benar menikmatinya, selain memang menyimpulkan pesan-pesan moral yang universal.

Junaidi Khab. Akademisi asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya.

Titik dan Koma

Oleh Bandung Mawardi (Lampung Post, 07 Januari 2018)
Titik dan Koma ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post
Titik dan Koma ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Cerita tanda baca membuat kita terpana. Cerita itu mungkin mustahil dan lelucon peradaban aksara. Cerita telanjur diwariskan selama ribuan tahun, bersebaran ke pelbagai negeri tanpa sangkalan atau fitnah menghasilkan dosa-dosa pengetahuan atau kekuasaan. Cerita itu bermula di Yunani, negeri para filsuf menabur benih-benih pikiran di dunia. Kita turut menerima cerita meski sudah mulai jarang disampaikan ke bocah-bocah pemilik ketakjuban pada bahasa dan dunia.
Ribuan tahun silam, Pehriad menghirup udara pemikiran di Yunani. Ia diceritakan penemu dan pengguna awal tanda baca paling berjasa dalam peradaban aksara: titik (.) dan koma (,). Dua tanda itu digunakan dalam tulisan. Sejak mula, titik dan koma berfaedah bagi orang saat membaca tulisan.
Dua tanda untuk berhenti dan bernapas bagi pembaca saat menekuni kalimat-kalimat. Dua tanda itu memberi berkah bagi gairah menulis dan membaca tanpa menimbulkan letih dan kematian mendadak akibat gangguan pernapasan.
Pehriad memiliki ahli waris bernama Apullus. Keramaian ide dan penemuan di Yunani ditinggalkan Apullus. Pada masa berbeda, ia memilih tinggal di Roma. Jasa sang bapak mendapat pengakuan dari penguasa di Roma. Apullus berhak menjadi penerima keuntungan dan mewarisi hak cipta.
JCT Simorangkir di buku berjudul Hak Tjipta Atas Semua Hasil Tjiptaan (1961) mengisahkan: “Hak tjipta daripada Apullus sebagai ahli waris daripada bapanja diakui, didaftarkan, dan diberi penghargaan.” Konsekuensi dari pengakuan oleh penguasa dan hukum: “Maka untuk tiap perbanjakan, untuk tiap pemakaian, untuk tiap pengumuman daripada titik dan koma itu, Apullus mendapatkan honorarium sebagai akibat daripada pengakuan hak tjiptanja.”
Kita terpana dan menganggap cerita itu kemustahilan dari ribuan tahun silam. Titik dan koma menghasilkan kemonceran dan duit berkelimpahan. Semua bersumber ke pengakuan hak cipta. Penemuan dua tanda baca saja sudah mengubah tata kehidupan di dunia dan menempatkan tokoh di kehormatan tertinggi. Bermula dari Yunani dan Roma, kemustahilan itu mendapat pembenaran rasional.
Apullus tak termasuk rakus duit. Ia memutuskan mengadakan balas budi. Pendapatan dari honorarium titik diterima, tetapi honorarium untuk koma diberikan pada pemerintah di Roma. Cerita itu pernah diadakan dan tersebar selama ribuan demi penguatan hak cipta.
Kita tak ingin berpusing dengan hak cipta. Urusan titik dan koma tak melulu duit. Di kalangan pengarang, titik dan koma adalah tanda baca mustahil dihindari dalam kebahasaan modern. Tulisan-tulisan selalu bertitik dan berkoma dengan maksud gampang mendapatkan kepahaman dari pembaca.
Titik dan koma pun permainan makna di tulisan jika diselenggarakan oleh pujangga. Penulisan dan penempatan titik dan koma berhak membelok dari pembakuan tata bahasa atau kepatutan dalam ilmu tulisan modern. Titik dan koma adalah penglihatan, estetika, ideologi, nalar, dan keisengan.
Dulu, titik ingin diwajibkan adalah tanda baca. Di Kitab Arti Logat Melajoe (1914) susunan D Iken dan E Harahap, titik mendapatkan imbuhan pengertian. Titik berarti noktah. Bertitik adalah bertitis. Sekian ungkapan mengandung titik dimunculkan ke pembaca. Titik emboen berarti emboen bertitis. Titik lidah mengandung arti perkataan jang baik dan beroentoeng dari orang besar. Titik selera adalah air jang keloear dari moeloet sambil melihat (mentjioem) makanan jang disoekai. Kitab itu tak pernah mencantumkan penjelasan bahwa titik itu tanda baca ditaruh di akhir kalimat.
Pada abad XX, titik dan koma malah mendapatkan godaan dalam permainan sastra oleh para pengarang ampuh. Di kesusastraan Amerika Latin, Gabriel Garcia Marquez mencipta kepusingan kolosal melalui novel berjudul Tumbangnya Seorang Diktator.
Novel itu berpesta koma ketimbang titik. Pembaca dipaksa letih dan terkejut. Napas pembaca digoda dengan kalimat unik dalam mempermainkan tanda baca: koma dan titik. Pada satu kalimat dicetak puluhan halaman, Gabriel Garcia Marquez sengaja menggunakan ratusan koma dan titik cuma satu. Pembaca dituntun melintasi koma demi koma sambil bernapas teratur menghindari mampus mendadak, sebelum sampai ke titik.
Ia menjadi raja koma. Penguasa koma membiarkan pembaca menabrak, melabrak, melompati, atau memeluk ratusan koma. Cerita ada di koma-koma, tak ingin mutlak bergantung pada titik.
Di Indonesia, novel Gabriel Garcia Marquez itu memiliki kemiripan dengan tata cara menulis Romo Mangun. Pengarang bekerja dengan koma dan titik, tak selalu sama jumlah. Ia termasuk pengarang paling boros koma dan menerima tuduhan pembuat kalimat beranak-cucu.
Novel demi novel digubah untuk disodorkan ke pembaca. Sodoran bergelimang koma ketimbang titik. Koma mengesahkan kepemilikan “anak-cucu” dalam mengadakan kalimat mengacu perasaan dan selebrasi imajinasi ketimbang mematuhi tata bahasa baku bahasa Indonesia dan ejaan disempurnakan. Tanda baca (titik dan koma) diloloskan dari pematuhan negara saat bernafsu mengurusi bahasa dan tanda baca untuk penciptaan seribu muslihat demi kekuasaan.
Di Indonesia, koma tak selalu berkencan dengan titik untuk menghasilkan kalimat-kalimat apik. Dua tanda baca itu kadang saling ejek atau diganggu kemesraan oleh para pujangga saat bertaruh pada larik dan bait. Puisi agak terhindar dari pemaksaan penggunaan secara baik dan benar untuk titik dan koma. Pembaca pun diharapkan maklum. Di luar tata bahasa baku dan puisi, koma adalah teater dan kesanggupan menghadapi penguasa. Kita mengenali Koma adalah kelompok teater, bukan pemuja tanda baca koma dalam pembuatan kalimat-kalimat tertib.
Kita diajak berkoma mengandung maksud hidup, bergerak, dan bergairah. Kita menunda, memperlambat, atau enggan ke titik berdalih estetika, iman, politik, adat, dan industri. Koma melanda dan titik menanti mendapatkan pemuja. Bermula dari Yunani, titik dan koma pada abad XXI masih ada meski memiliki perbedaan jumlah jemaah dan pemberian makna berlatar kebahasaan dan teknologi komunikasi mutakhir. Titik dan koma menolak sirna meski sempat menjadi cerita kemustahilan, ribuan tahun silam. Begitu. n

Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi.

Ingin Melepasmu, Matahari Berdiam di Mataku, Kota Asing, dan Lainnya

Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS (Lampung Post, 07 Januari 2018)
Kota Asing ilustrasi Google
Ingin Melepasmu, Matahari Berdiam di Mataku, Kota Asing, dan Lainnya ilustrasi Google

Ingin Melepasmu


aku ingin melepasmu sejauh-jauhnya
atau setinggi-tinggi langit
dan tak kurindu lagi agar tak kucari
atau menanti pulangmu
seperti asap rokok ini
setelah kuhempas ke udara
tak kuingin kembali
untuk kunikmati nikotinnya
aku selalu lupa
setiap sudah kulepas

KA, 5 Sept 2017

Matahari Berdiam di Mataku


saat terbangun, matahari
sudah berdiam di mataku:
tak ada kopi hangat di meja
aku begitu rindu
tak ada kicau murai
aku sangat berharap

fajar lesap cepat

tamu-tamu sudah pergi
di dapur kuhidupkan api
merebus kopi:
untuk kita
pahit?
kecup bibir gelas itu
sisa manisku kekal

10 September 2017

Kota Asing


aku asing di kota ini
tak tahu situasi apa-apa
karena aku belum pernah
pesiar, kecuali merasakan
kabut luruh di jendela
maka aku hanya diam
ketika kau berdendang
tentang keriangan
sepasang angsa
di kolam

11-13 Setember 2017

Esok, Aku akan Jemputmu


aku datang
malam lengang
dan jika kau bimbang
kubawakan kidung
lelaplah lelap
sebelum kau pejam
mari kita jalan-jalan
mengantongi kota
demi kota kenangan
di kedai segelas minuman
esok, aku akan jemputmu
kuletakkan bunga
yang basah
oleh embun
karena ciuman

2017

Jalan Buntu


jalanmu sudah buntu, katamu
lalu tak ada lagikah perjalanan
menuju rumahmu? aku tak
pernah kehilangan alamat,
arah, ataupun tanda—bahkan
di kota asing yang tengah
dihantam gigil, salju luruh
di kepalaku. kanal ramai
air, dan orang-orang berjaket
tebal ke stasiun, pasar,
atau kampus—maka aku
jauh dari tersasar; berputar
di kota tak kukenal ini
sebelumnya. sebuah kota
dalam mimpi pun belum
pernah
kini aku mencari alamat
rumahmu, dalam kartu nama,
brosur pariwisata, dan menu
di kafe berasap mariyuana; aku
hampir mabuk ya mabuk
hanya pada rumah dan dirimu
yang begitu senyap demikian
tak terkata-kata
wajah yang suci
tubuh yang lancip

14-16 September 2017

Ini Kopi Seduhlah


sekiranya kau sendu
ini kopi seduhlah
sambil memandangi
sisa embun luruh
dari daun di taman
kenanglah perjumpaan
dan pelan-pelan cinta
akan kembali tiba
untuk mengucap:
“adakah yang hilang
dari ini perjalanan?”

13.09.2017

Aku Ingin Kabarkan


aku ingin kabarkan padamu
tentang pagi tanpa embun di sini
juga segelas kopi tiada gula;
kunikmati pahit hidupku, cinta
yang runtuh di halaman rumah
matahari yang dulu biru
kini serasa warna darah ada yang
dibantai, pisau di tangannya itu
lalu hilang di balik punggung

pagi tanpa gorengan, kopi tak lagi
pakai gula. kunikmati pahit hidup
kota-kota hanya mengirimkan kemilau
jalan-jalan padat sepagi ini, kata kawanku
lewat pesan pendek. ia tak bergerak
selama 45 menit, panjang kemacetan
lebih dari 5 kilometer menuju pusat kota
beginilah. setiap pagi ingin kukabarkan
tentang hidup—saling mengisap—yang
tak bisa kutulis sebagai catatan harian

20 September 2017


Isbedy Stiawan ZS, Sastrawan, pengampu Lamban Sastra dan aktif di Komunitas Gedung Meneng (KGM).

Kutipan The Grand Sophy

“Kita selalu melihat betapa anak perempuan seringkali begitu mirip dengan ibu mereka. Bukan pada wajah, tapi pembawaannya. Kau tentu sudah memperhatikannya.” (hlm. 179)

Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Kita memang mudah sekali lupa. (hlm. 6)
  2. Kita hidup pada masa yang ganjil. (hlm. 18)
  3. Jangan menipu dirimu sendiri. (hlm. 37)
  4. Orang-orang dari strata kita tidak menikah hanya untuk menyenangkan diri sendiri. (hlm. 40)
  5. Sangatlah keji untuk memaksakan seorang gadis menikah di luar keinginannya. (hlm. 93)
  6. Apakah kau tidak punya kehalusan pikiran? (hlm. 109)
  7. Sangat tidak pantas kau membicarakan persoalan keluarga di tempat orang lain bisa menguping. (hlm. 171)
  8. Sungguh jahat berusaha memaksakannya menjalani pernikahan lain, dan amat keji jika kau berupaya melakukannya. (hlm. 175)
  9. Berusaha untuk berbincang dengan seseorang pada saat semestinya kau memperhatikan orang itu adalah tindakan yang selalu fatal, percayalah! (hlm. 263)
  10. Jangan terlihat begitu patah semangat. (hlm. 435)

Pekan-pekan Terbetik Mati Terasing

Puisi Bresman Marpaung (Koran Tempo, 13-14 Januari 2018)
Pekan-pekan Terbetik Mati Terasing ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Pekan-pekan Terbetik Mati Terasing ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

Pekan-pekan Terbetik Mati Terasing

: Onan na Marpatik [1]

tiga parsinggungan, onan parsaoran
antaran na bidang, lobuan na godang
pardomuan ni raja, parsaoran ni akka dongan [2]

aku mengais tanda-tanda kisah lama
dari sepuhan masa ini
yang terlukis sempat tabah
dan pernah membubung niat bulat raja-raja

kuusik sebiji asam jungga
tak kukira masih menyimpan asam-pahit petaka
kumat dari mati suri, memercik nyeri
di lahir anak-anak raja terkucil

di pekan-pekan, kisah tua bertuah
sejak dikebiri
kini dihayati hanya tersisa
satu hari yang setia
tersiksa menampung hiruk-pikuk
dalam kerumunan simpang-siur harga

patik tak lagi marka ditohok menjorok
sedalam jari-jemari beringin
tak ada sumpah yang kepingin tumbuh bercagak
merelakan urat menjuntai berurai dari tungkai
martir menopang patik tiga [3]
ikatan mata seksama hari lepas ari

penyerbu ganjil menumpang di celah sakal
telah menang bertaji akal

ikatan gigih temali jerami
terkikis dipantik jemari pengusik
bersama singgasana raja
sungguh hangus dilucuti bara

muncul penyaru hitam dari debu kematian
senyap keliling sebagai cara berganti faham
berlagak bertaruh sekukuh pengaruh baginda
cuma disepuh sembarang datu
duduk tak setenung raja meramu rambu dari bambu

tapi saudagar-saudagar lekas mengira
bisik-bisik separuh diam tanda tenang pemenang
yang pantas memetik upeti
upah perang yang damai
makhluk terutus dimenangkan bermain patuk api

ada pula nasehat tuan Padri ikut menyudahi,
“segara niat ramai
mesti dicuci di bejana suci
dicicil di satu per satu hari terpuji

walau menalak hantu derita
dipantang di onan bercanang perjamuan
sebab segala bekal bukan umpan berkah
mendinginkan amarah hari membara
jika berkurung jampi-jampi”

maka sekumpulan penunggu
yang sesungguhnya tak bernafsu pengganggu
lintang pukang dari seluas rindang hariara [4]
sebab tengah menjulang dirongrong
dipaksa kurban dijatuhkan doa bersekutu

bersama ruh pengasuh
yang tertuding mengasah dosa-dosa
lekas menggelinding dari sanubari onan
meninggalkan irama derap gaduh
tanda mati tak sudi
dicaci-caci di hari suci

warisan pelik perih dan ricuh peluh
dipicu mendidih
setumpah hawa nafsu di hari ketujuh
di luar batasan tanpa palungan keluh

beringin berhati dingin
kini hanya berakar di makam-makam tua
berangan mempertahankan setia
meninggikan harkat paduka
empat yang terjengkang dari pekan
sejak hilang singgasana

Balige 2017

Keterangan:
[1] Onan na Marpatik adalah salah satu dari dua jenis pekan di tanah Batak yang merupakan pusat perdagangan dan hubungan lain di antara sesama orang yang tergabung di daerah cakupannya.
[2] Adalah salah ungkapan Batak Toba terkait dengan onan (pekan).
[3] Patik tiga adalah peraturan pasar (Rule of the market).
[4] Hariara adalah sejenis pohon yang menjadi ciri khas dalam budaya Batak. Sebelum masuknya agama samawi di Tanah Batak, masyarakat mempercayai pohon ini sebagai penentu kehidupan dan pengambil keputusan.


Bresman Marpaung dilahirkan di Pematang Siantar pada 15 April 1968. Puisinya dipublikasikan di berbagai media massa dan antologi bersama. Ia bergiat di Komunitas Omong-Omong Sastra Medan.

Papan Tulis Tak Berwarna

Cerpen Afrizal Malna (Koran Tempo, 13-14 Januari 2018)
Papan Tulis Tak Berwarna ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Papan Tulis Tak Berwarna ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Bangkai ayam yang pernah diciptakan Sutardji Calzoum Bachri, dalam sebuah cerpennya, masih teronggok, abadi, dalam ruang rapat Dewan Kesenian Jakarta. Ruang itu usianya hampir 50 tahun, usang, memanjang, muram. Lembaga kesenian yang selangkah lagi masuk ke dalam tragiknya sendiri, bangkrut.
Sejak sore hari, sejumlah seniman sedang rapat di ruang itu, dengan bangkai ayam abadi teronggok di meja rapat yang memanjang. Sudah berantakan di antara gelas-gelas kopi, kertas, laptop, proyektor, HP, dan makanan kecil. 75% kegiatan kesenian masa kini adalah sejumlah rapat. Para seniman seperti sedang beralih peran menjadi manager-manager perusahaan; 25% lagi estetika. Istilah yang rasanya terdengar kian aneh di tengah teknologi penggandaan supercepat media digital.
Hari sudah menjelang pukul 11 malam. Hujan sebentar lagi akan turun. Aku menghembuskan asap rokok, berdiri di jendela ruang rapat. Menatap whiteboard: ruwet dalam alur agenda kesenian yang sedang disusun. Beberapa cahaya bintang masih tampak di balik awan tebal. Bangunan Institut Kesenian Jakarta, yang mirip sebuah kapal terdampar, masih hidup oleh beberapa mahasiswa yang masih beraktivitas.Terlihat dari jendela ruang rapat, di antara pohon tua yang rimbun dan purba.
Beberapa seniman peserta rapat, tampak sudah lelah. Beberapa tatapan gundah: bayangan menempuh jalan panjang untuk bisa mewujudkan program. Bau bangkai ayam menyelusup ke dalam angka-angka anggaran: “Seni dan ekonomi kreatif,” kata generasi masa kini. Setiap kami berhadapan dengan angka-angka, rasanya selalu berbau busuk.
“Beri aku parfum untuk anggaran kesenian dan bau busuk,” kataku memancing opini di sekitar politik anggaran untuk kesenian.
“Aku tidak rela negara mengeluarkan dana hampir 1 miliar untuk karya-karya sampah,” kata salah seorang peserta rapat dengan wajah gelisah, mulai terpancing.
“Itu sebuah tema,” kata yang lain. “Sebuah tema: Sampah dan Negara,” ulangnya. “Kita bawa program ini ke dalam tema itu,” lanjutnya serius.
Rasanya bau busuk bangkai ayam abadi itu kian keras tercium. Sebuah masalah sudah selesai di ujung rapat menjelang berakhir: Sampah dan Negara.
Hujan turun. Lembut. Malam yang berair.
Hari sudah menjelang jam 12 malam ketika aku sudah berada dalam taksi. Aku ingin tidur, istirahat dari kesenian. Tapi supir taksi terus bercerita mengenai dirinya.
“Nama saya ‘Aman’. Tapi hidup saya tidak aman,” kata supir taksi dalam ceritanya. “Beberapa kali usaha saya bangkrut. Pindah-pindah kerja, akhirnya hidup sebagai supir taksi. Padahal bapak saya memberi nama ‘Aman’ kepada saya, agar hidup saya aman. Ternyata tidak aman.”
Sisa-sisa rintik hujan masih menetes pada kaca jendela taksi. Supir taksi terus bercerita, seolah-olah aku adalah tamu yang dipesan untuk mendengar kisah-kisahnya yang berbau bangkai busuk. Mungkin bau bangkai ayam itu juga yang telah merancang dan menyusun hingga pertemuan dalam taksi ini terjadi.
Di perempatan Blok M menuju Jalan Fatmawati, langit seperti disayat-sayat oleh bangunan jalan layang untuk kereta yang hampir selesai. Lampu merah. Taksi berhenti. Beton-beton jalan, melayang di udara, mengubah garis kota.
Hari masih siang. Saya baru saja menghabiskan waktu tiga jam membawa taksi. Tapi tiba-tiba saya memutuskan untuk pulang ke rumah, walau seharusnya saya masih bekerja sampai jam 12 malam sebagai supir taksi. Hari itu, hati saya merasa tidak enak.
Sampai di rumah, suasana sepi. Pintu pagar tidak terkunci. Anak-anak sekolah. Istri masih di kantor. Rampok? Hati saya waswas.
Saya membuka pintu rumah yang juga tidak terkunci, dan terkejut. Di ruang tamu, saya melihat istri saya sedang bersetubuh dengan pacar lamanya. Saya panik. Segera menutup pintu, menguncinya dari luar. Saya tergopoh-gopoh meninggalkan rumah dengan hati gusar, melapor ke pak RT. Semuanya seperti sedang runtuh, diri saya juga sedang runtuh. Pak RT dan beberapa warga kemudian datang menyerbu rumah saya. Memukuli lelaki yang menyelingkuhi istri saya.Rumah berantakan. Benda apa saja yang ada di ruang tamu, digunakan warga untuk memukuli lelaki itu. Kaca jendela pecah. Pikiran saya juga pecah dan runtuh. Gelap. Getir. Tidak mengerti.
Stop.
Kami akhirnya bercerai. Anak-anak mengancam ibunya, mereka akan memutus tali kekeluargaan kalau ibunya menikah lagi.
Sejak peristiwa itu, rumah celaka itu saya jual. Saya tidak bisa menanggung ruang yang telah merekam tubuh istri saya bersama lelaki lain. Saya tidak menikah lagi, bekas istri saya juga tidak menikah lagi. Saya kemudian berinisiatif untuk rujuk kembali dengan istri saya demi kepentingan masa depan anak-anak kami. Tapi sejak peristiwa kekerasan itu, istri saya yang sudah kembali ke rumah orang tuanya, tidak pernah bicara sedikit pun. Bisu. Seseorang telah pergi meninggalkan bahasa. Seolah-olah, setiap kata hanya akan kembali melukai dirinya. Dia telah jadi bagian dari massa diam yang personal, internal, masuk ke lorong gelap dirinya sendiri.
Pak Aman, sang supir taksi, mengakhiri ceritanya. Aku tidak mengerti, kenapa harus menerima cerita seperti ini dalam sebuah taksi. Terperangkap dalam sebuah cerita yang tidak aku pesan.
Papan Tulis Tak Berwarna—begitu judul cerpen ini.
Kisah muram itu, secara sewenang-wenang, tanpa minta izin kepada supir taksi, aku pindahkan ke dalam cerpen ini. “Apa hakku mengambil kisah orang lain, dan menjadikannya sebagai konsumsi publik? Tetapi aku juga tidak pernah memesan kisah muram itu kepada supir taksi. Aku hanya memesan mengantarku untuk pulang.”
Kami menghirup red whine manis dalam sebuah makan malam para sahabat di rumah seorang sahabat, Hanafi. Merayakan awal tahun baru. Ge’eng, Utuy, Acep, Adinda, Heru, dan Hanafi bergantian menyanyikan berbagai lagu dangdut koplo, sekali-kali memainkan lagu beberapa band indie, Payung Teduh, Efek Rumah Kaca, bahkan Doel Sumbang, di antara celotehan untuk saling menghibur.
“Apakah keluarga supir taksi itu merupakan korban dari praktik ruang sejarah yang tunggal?” kataku, melempar kisah ini kepada mereka. Aku berharap mereka bisa memberikan opini.
“Lihat,” kata Heru, serius. “Dari sudut pandangan sang suami: sang istri hanyalah seorang istri, tidak ada sub-subyek yang lain. Begitu pula dari sudut pandangan anak-anak mereka: sang ibu hanyalah seorang ibu, tidak ada sub-subyek yang lain. Gila! Lihat itu. Kita tidak pernah tunggal. Keluarga, negara, lembaga apa pun tidak punya hak untuk membuat kita semata sebagai individu tunggal yang terkunci dalam peran yang tunggal.”
“Ya, jelas, dong, itu produk pandangan sejarah yang tunggal. Mari kita tinggalkan sejarah yang gelap,” celetuk Ge’eng dengan ekspresinya yang lucu. “Jangan lihat sejarahnya, dong, tapi lihat, siapa yang telah menciptakan sejarah itu.” Ge’eng kemudian menyanyikan sebuah lagu Sunda klasik: Bubuy Bulan. Kami semua bernyanyi, menikmati syairnya yang indah: bulan … laut … dan air yang telah kering dalam panci mendidih.
21 Januari 2018, Nurjana, nama istri sang supir taksi, akan merayakan ulang tahun ke-37. Pak Aman sudah menunggu hari ini. Dia menyiapkan pakaian pengantin yang pernah dikenakan istrinya pada pesta pernikahan mereka, 17 tahun yang lalu.
Dengan langkah pasti, Pak Aman memasuki rumah bekas mertuanya untuk bertemu dengan bekas istrinya. Nurjana tampak masih cantik, seolah-olah tidak ada masa lalu yang pernah melukainya. Pak Aman memberikan bekas pakaian pengantin itu sebagai kado ulang tahun. Kado itu diterimanya, Nurjana membuka isinya. Namun perempuan itu tetap bisu, masuk ke dalam kamar dengan pakaian bekas pengantin yang dipeluk ke dadanya. Tampak Nurjana berusaha menahan emosinya, meredam desakan gelap dan padat yang hampir meledak dalam dirinya.
Dengan gundah, Pak Aman menunggu Nurjana keluar dari kamarnya. Dia tidak bisa menduga-duga, apa yang akan terjadi selanjutnya. Nurjana kini seperti berada dalam sebuah alam yang tidak bisa dijangkaunya, bahkan tidak ada kendaraan yang bisa membawanya kembali untuk bertemu dengan bekas istrinya … air yang telah kering dalam panci mendidih.
Tidak beberapa lama, Nurjana keluar dengan pakaian pengantin yang sudah kembali membungkus tubuhnya. Sang pengantin. 17 Tahun telah berlalu. “Orang seperti aku, rasanya tidak pantas untuk berpikir tentang arti waktu,” pikir Pak Aman. Istrinya, yang kini telah berdiri dengan pakaian pengantin 17 tahun yang lalu, bukanlah waktu, pikirnya. Tidak ada bekas waktu pada tubuh istrinya.
“Maafkan aku, Nurjana,” kata Aman memandangi istrinya. “Waktu tidak akan pernah bisa menyentuh kecantikanmu,” katanya. Dia tak mengerti, bagaimana tiba-tiba dia bisa memiliki kalimat seperti ini. Kalimat indah yang menyembunyikan tragedi dalam keindahannya.
Tiba-tiba Nurjana berbicara dalam bahasa Minang kepada bekas suaminya. Bahasa yang tidak dimengerti oleh Pak Aman. Nurjana merasa nyaman, kembali berada dalam pelukan bahasa ibunya. Bahasa yang hanya diciptakan untuk para perempuan.
Aku menghabiskan sisa red whine. Acep, entah mengapa, tiba-tiba menyanyikan lagu Kepada Paduka Yang Mulia. Sebuah lagu politik yang indah, pernah dinyanyikan Lilis Suryani, untuk Manipol Usdek yang menggelegar dalam pidato Sukarno. Merayakan Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1959. Apakah artinya waktu? 59 tahun telah berlalu.


Afrizal Malna menulis puisi, cerita pendek, novel, kritik sastra dan teater, skenario dan naskah teater, di samping menyunting sejumlah buku. Kini ia tinggal dan bekerja di Yogyakarta.

Selusin Catatan Sang Pejalan

Oleh Bandung Mawardi (Koran Tempo, 13-14 Januari 2018)
Catatan Pinggir 11 dan 12 ilustrasi Koran Tempo.png
Catatan Pinggir 11 dan 12 ilustrasi Koran Tempo
Pada 1982, buku perdana Catatan Pinggir terbit. Isinya kumpulan esai-esai Goenawan Mohamad yang tersaji rutin di majalah Tempo. Kini, 35 tahun sesudah kelahirannya, keluarga buku kumpulan tulisan itu telah genap selusin dengan kehadiran Catatan Pinggir 11 dan Catatan Pinggir 12. Si penulis menua, tapi tulisan-tulisannya terus dipersembahkan kepada pembaca Tempo. Pada 2017, tulisan-tulisan Goenawan sudah melebihi seribu.
Th Sumartana menulis pengantar dalam edisi perdana yang berjudul “Sebuah Refleksi, Dengan Jarak”. Dia mengatakan, Goenawan, melalui kolom Catatan Pinggir di majalah Tempo, sengaja mengadakan refleksi bersama pembaca. Adapun penerbitnya menyebutkan Goenawan berusaha menulis refleksi tentang kemanusiaan, kemasyarakatan, politik, sejarah, masa depan, dan lain-lain. Harga buku setebal 628 halaman itu ditetapkan Rp 7.500.
Sebelum diterbitkan dalam bentuk buku oleh Grafitipers, banyak pembaca yang mengumpulkan kolom Catatan Pinggir dari majalah Tempo, lalu dijual. Lucunya, penawaran penjualan bundel Catatan Pinggir ada yang ditampilkan di rubrik Surat, majalah Tempo. Misalnya, pengumuman Danurdono asal Solo pada edisi 24 Maret 1979. Tertulis: “Tersedia bundel Catatan Pinggir, Tempo. Diketik rapi, bersampul tebal, dilapisi plastik kaca. Tiap bundel 20 Catatan Pinggir. Harga tiap bundel Rp 1.250 termasuk ongkos kirim.”
Puluhan tahun berlalu, pada 2017 terbitlah Catatan Pinggir 11 dan Catatan Pinggir 12. Tiap jilid dihargai Rp 100 ribu. Dua buku tebal itu adalah sebuah penegasan bahwa Goenawan belum lelah menulis. Dia boleh semakin tua, tapi keranjingannya mempersembahkan esai tak jua surut.
Intan Paramaditha memberi pengantar berjudul “Catatan Si Pejalan”. Ia mengartikan catatan pinggir sebagai perjalanan menelusuri rekaman sejarah. Esai-esai Goenawan, kata Intan, membawa kita turut serta dalam penjelajahannya sebagai seorang pejalan yang mengunjungi serta merenungi beragam pengalaman dan wacana.
Pejalan itu mungkin memiliki sekoper bahasa dan tema, tak lelah dan habis dituliskan menjadi Catatan Pinggir, menempuh tahun demi tahun. Coba lihat tulisan berjudul “Koper” dalam Catatan Pinggir 11. Goenawan menceritakan dan menafsir ulang novel Jejak Langkah dan Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Pilihan jatuh pada adegan Minke membawa koper tua saat ditahan polisi dan kembali dari pengasingan. Adegan mengacu pada buku Situated Testimonies garapan Laurie Sears. Polisi mengira Minke bakal memiliki bawaan selain koper. Minke menjawab singkat: “Semua sudah kubawa dalam kepalaku.” Si polisi kolonial tak usah membantu untuk membawa “milik” Minke.
Pada Catatan Pinggir 12, Hamid Basyaib memberi pengantar yang dimulai dengan usul agar Catatan Pinggir mendapat Guinness World Records. Tumpukan pujian disajikan Hamid, mengacu pada ketekunan Goenawan selama 40 tahun menulis Catatan Pinggir.
“Ia terutama menyumbang besar dalam bentuk presentasi ide dengan warna sastra yang kuat, dan menjadikan pemaparan gagasan dalam bahasa Indonesia terasa modern, cerdas, dan memenuhi persyaratan kompleksitas yang selayaknya ada pada pemaparan ide yang berkualitas,” katanya. Pujian itu terasa “sah” jika pembaca sempat mengamati foto Goenawan Mohamad di sampul belakang: lelaki berwajah tua mengenakan kacamata dan jam tangan. Ia tampak bijak di sana.
Kita simak saja tulisan berjudul “Nostalgia” dalam Catatan Pinggir 12. Pada pembuka tulisan yang diambil dari majalah Tempo edisi 14 Februari 2016 itu, Goenawan membuat pengakuan: “Pada umur 75, masa depan saya jauh makin sedikit ketimbang masa lalu saya. Pada umur ini orang lazimnya akan gugup dengan masa kini, karena di abad ke-21 masa kini kian didera masa depan.”
Kalimat-kalimat yang mengandung resah, tapi Goenawan tetap pemilik masa lalu dan masa depan. Ia pun seperti mengutuk pembaca untuk merampungkan selusin buku yang berasal dari masa lalu sampai sekarang.

Catatan Pinggir 11 dan 12
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : Pusat Data dan Analisa Tempo
Cetakan : I, 2017
Tebal : 442 halaman dan 438 halaman


Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi.

Sebuah Taman, Sebuah Pertemuan

Cerpen Mashdar Zainal (Suara Merdeka, 14 Januari 2018)
Sebuah Taman, Sebuah Pertemuan ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Sebuah Taman, Sebuah Pertemuan ilustrasi Suara Merdeka
JADI, sudah berapa tahun kita tidak bertemu?”
Mereka berjalan pelan. Menyusuri taman. Seperti sepasang kupu-kupu yang terbang hati-hati mencari tempat teduh.
“Maksudmu, sudah berapa tahun kita berpisah?”
“Sama saja.”
Mereka tahu, hari-hari yang telah lewat seperti bui yang tidak tampak. Jiwa mereka terkurung. Satu sama lain.
“Aku lupa, mungkin hampir sepuluh tahun.”
“Cukup lama juga ternyata.”
Sekarang, sesaat, mereka merasa bebas. Menikmati cahaya senja yang tumpah di rerumputan.
“Apa kau merasa tidak enak kita bertemu di sini?”
“Tidak juga.”
Di antara langkah kaki itu, mereka mendapati sesuatu yang masih utuh, sesuatu yang menyala-nyala. Mereka heran dan hati mereka berdebar-debar.
“Apa suamimu tak akan marah?”
“Ia sudah tahu. Aku sudah bilang, sepulang kerja aku akan bertemu seseorang, teman lama.”
“Apa kau bilang teman lamamu itu laki-laki?”
“Ya.”
“Dia tidak marah?”
“Dia bukan tipe lelaki seperti itu, yang mudah curiga atau cemburu.”
“Apa kau yakin, ia mencintaimu?”
Ada sebuah pertanyaan yang rasanya keliru dan tidak pantas dilontarkan, tapi bibir itu tak mampu menahan getar hingga limbung dan ada yang terpeleset keluar dari liang ucap. Pertanyaan itu.
“Pertanyaan macam apa itu?”
“Maaf. Lupakan saja.”
“Tidak apa-apa. Lagipula mencintai atau tidak mencintai bukanlah masalah bagi kami. Prioritas kami sekarang anak-anak, bukan cinta. Mungkin kami cukup bahagia.”
Mungkin kami cukup bahagia. Kata-kata itu mendedas isi kepala. Namun langkah mereka masih terus terayun. Meski pelan sekali. Ada percik serupa kembang api yang mencubit perasaan mereka. Entah apa.
“Jadi, apa alasanmu datang ke kota ini lagi?”
Ketika mereka melewati serumpun mawar yang berbunga setinggi pinggul, perempuan itu menghentikan langkah, dan memetik sekuntum. Lantas dia cium mawar itu penuh hasrat. Mereka berjalan lagi. Masih pelan sekali.
“Cuma urusan pekerjaan yang sebaiknya tidak kuceritakan. Aku yakin, kau akan bosan mendengarnya.”
“Kau benar. Aku tak tertarik sama sekali pada pekerjaanmu. Aku lebih tertarik mengetahui bagaimana kabar rumah tanggamu.”
Laki-laki itu menunduk, mengamati langkah sepatunya yang saling mendahului. Lantas ia mengangkat wajah dan menatap ke depan. “Rumah tanggaku? Baik-baik saja.”
“Istrimu?”
“Istriku juga baik-baik saja. Dia wanita karier yang sibuk.”
Perempuan itu memutar-mutar tangkai mawar yang ia pegang, tanpa sadar sehelai kelopak merah pekat terlepas.
“Jadi, berapa anakmu sekarang?”
“Istriku belum mau kami punya momongan.”
“Mungkin istrimu punya alasan.”
“Mungkin. Kau… bagaimana kabar anak-anak?”
“Anak-anakku? Mereka anak-anak yang menyenangkan.”
“Ya, anak-anak selalu menyenangkan, tak seperti orang dewasa.”
“Begitulah.”
“Sepertinya kehidupan rumah tanggamu baik-baik saja, bahkan menyenangkan.”
“Ya, mungkin itu patut disyukuri.”
“Apa kau tidak ingin duduk?”
“Boleh.”
Dua anak manusia yang lupa usia itu menghentikan langkah, dan duduk hampir bersamaan di sebuah bangku beton di pusat taman. Angin semilir. Menghanyutkan.
“Taman ini masih seramai dulu ya?”
“Dulu kapan maksudmu?”
“Seingatku, sewaktu kita masih kuliah, kita sering sekali mengunjungi taman ini.”
“Kau masih ingat rupanya.”
“Ingatanku cukup bagus.”
“Coba kaulihat gadis itu.”
“Gadis itu siapa?” Menoleh kiri kanan.
“Itu! Yang duduk sendirian dan membawa novel The Orange Girl Jostein Gaarder.”
“Gadis di bawah pohon mimosa itu maksudmu?”
“Ya. Dia.”
“Apa kau mengenalnya?”
“Tidak. Hanya gadis itu mengingatkanku pada puluhan tahun lalu ketika aku masih belia, mungkin seusia dia.”
“Memang ada apa dengan gadis itu?”
“Tidakkah kaulihat ia tampak begitu gelisah menunggu seseorang. Lihatlah buku yang dia bawa itu, cuma dia bolak-balik, dia tutup lagi, dia buka lagi. Buku itu sekadar teman untuk mengalihkan kejenuhan menunggu seseorang.”
“Aku yakin, dulu kau pernah melakukan hal yang sama.”
“Gila! Apa kau lupa, kau selalu datang terlambat.”
“Benar. Aku sudah lupa.”
Mereka tertawa ringan dan sama-sama diam beberapa saat. Cahaya senja tumpah di wajah mereka. Berkilap-kilap.
“Baiklah, kau belum menceritakan bagaimana kehidupanmu sekarang.”
“Bukankah tadi sudah kuceritakan. Kehidupanku baik-baik saja, dan istriku wanita karier yang sibuk.”
“Apa kau mencintainya?”
Pertanyaan semacam itu lagi. Sebuah pertanyaan yang rawan.
“Aku tak tahu.”
“Lalu apa prioritasmu hidup dengannya? Oke, kita tidak membahas siapa mencintai siapa. Tapi, dalam hidup, setidaknya kau harus punya prioritas. Dan anak-anak terkadang menjadi prioritas paling tepat untuk tetap hidup dengan seseorang yang mungkin tak kaucintai.”
Obrolan makin rawan dan kedunya tampak makin menikmati. Nyala api yang timbul-tenggelam itu.
“Entahlah.”
“Hei, lihat gadis itu. Tampaknya kekasihnya tengah menelepon dan memohon maaf karena datang terlambat.”
“Mungkin kekasihnya tak akan datang.”
“Kalau aku jadi dia, aku sudah enyah dari taman ini.”
“Mengapa dulu kau tak melakukannya?”
“Aku kasihan padamu.”
“Aku yakin alasanmu bukan itu.”
“Terserah.”
“Lihatlah, gadis itu sekarang menangis.”
“Benarkah?”
“Pasti kekasihnya tak jadi datang.”
“Belum tentu.”
“Buktinya ia masih tergugu di situ.”
“Mungkin gadis itu memang bodoh.”
“Hus, tak baik membodoh-bodohkan orang.”
“Setidaknya jika masih ingin menunggu, ia tak perlu menangis.”
“Kupikir yang dimiliki perempuan memang cuma tangisan.”
“Dan yang dimiliki laki-laki cuma pengkhianatan.”
“Tidak semua. Buktinya, dulu, kau mengkhianatiku.”
“Jika kau berada di posisiku, mungkin kau akan melakukan hal yang sama.”
“Mungkin.”
“Jadi yang kulakukan bukan pengkhianatan. Hanya sebuah pilihan.”
“Aku senang kau mengambil pilihan yang tepat.”
“Iya. Aku juga lega melihat ayahku bisa pergi dengan tenang.”
“Kupikir, dulu, ayahmu cuma menggertakmu dengan penyakitnya itu.”
“Aku tahu. Tapi, bagaimanapun, ayah tetaplah ayah.”
“Aku maklum, meski rasa sakit itu terkadang masih kerap datang.”
“Itu sudah puluhan tahun berlalu.”
“Celakanya, ada beberapa hal di dunia ini yang tak bisa dihapus oleh waktu.”
“Hmm…. Sebaiknya kita membicarakan hal lain saja.”
“Ya.”
Mereka terdiam. Saling menyelami kedalaman pikiran masing-masing. Namun, di sebuah tempat yang tak mereka yakini keberadaannya, sesuatu itu masih berdenyar dan menyala-nyala. Hingga seolah mereka tak sanggup lagi berkata-kata.
“Kau bekerja, suamimu bekerja. Anak-anak?”
“Ada seorang asisten rumah tangga di rumah.”
“Pukul berapa biasanya suamimu pulang kerja?”
“Mungkin sekarang ia sudah sampai di rumah.”
“Apa tidak sebaiknya kita pulang saja?”
“Mengapa terburu-buru?”
“Aku tak enak pada suamimu.”
“Sudah kubilang, suamiku bukan tipe-tipe lelaki pencemburu. Lagipula aku sudah bilang akan pulang telat.”
“Kalau aku jadi suamimu, pasti aku sudah membunuhmu.”
“Dan kau…. Kira-kira apa yang akan istrimu lakukan jika ia tahu diam-diam kau menemui seorang wanita dengan dalih dinas keluar kota.”
“Sudah kubilang, istriku wanita karier yang sibuk. Ia tak akan punya waktu memikirkan itu.”
“Kalau aku jadi istrimu, pasti aku sudah membunuhmu.”
Mereka tertawa bersamaan. Ada sesuatu yang tiba-tiba mencair. Mereka lekas menyadari sesuatu; selama ini mereka tak pernah sebahagia itu.
“Lihat, kekasih gadis itu akhirnya datang juga. Ia membawa bunga sebagai ungkapan maaf. Tampaknya ia perayu yang baik.”
“Mana?”
“Kalau boleh menebak, pasti gadis itu perempuan simpanan. Lihatlah, lelaki itu tampak jauh lebih tua. Meski ia memang masih tampan.”
“Lelaki itu?”
“Ia masih mengenakan pakaian kantor. Berani taruhan, dia pasti sudah punya istri.”
“Dia?”
“Kenapa? Apa kau mengenalnya?”
“Oh, tidak. Aku tidak mengenalnya.”
“Sebentar, sebentar, tapi sepertinya aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya? Hei, kenapa kau menangis?”
“Mataku kelilipan. Entahlah. Sebaiknya kita segera pergi dari sini.”
“Hei, ada apa? Mengapa tiba-tiba kau….”
“Lelaki itu… kau memang pernah melihatnya… dan aku bohong kalau aku tak mengenali ayah anakku.”
Mereka membatu memperhatikan dua sejoli yang berpeluk dan berjalan pelan, meninggalkan taman. Sepi. Senja seolah redam. Lampu-lampu taman menyala. Ada yang tertahan. Sesungguhnya mereka ingin berpelukan. Tapi mereka hanya diam. Menahan sesuatu yang kian berdenyar dan menyala-nyala. (44)

Malang, 2014
Mashdar Zainal, lahir di Madiun, Jawa Timur, 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa, kini bermukim di Malang.

Ada Apa dengan Mimo?

Oleh Miranda Seftiana (Suara Merdeka, 14 Januari 2018)
Ada Apa dengan Mimo ilustrasi Suara Merdeka
Ada Apa dengan Mimo ilustrasi Suara Merdeka 
Sore baru saja menjelang. Menggeliat, seorang anak laki-laki bertubuh gemuk bangun dari tempat tidur berbentuk mobil balap dengan warna biru muda. Mimo, nama anak lelaki itu. Usianya baru delapan tahun, sekarang uduk di kelas dua sekolah dasar.
“Mimo … ada Irham, Aldi, dan Dion menunggu di depan,” Bunda berteriak dari dapur.
“Iya, Bunda,” jawab Mimo seraya beranjak dari tempat tidurnya.
Namun, langkah Mimo terhenti. Perutnya mendadak sakit seperti melilit-lilit. Segera Mimo menuju ke kamar mandi.
Di kamar mandi, perut Mimo tak juga kunjung berhenti terasa melilit. Padahal sudah tiga kali Mimo bolak-balik ke kamar mandi. Sebelum keluar, Mimo teringat kejadian saat disekolah tadi. “Aduuuuhhhh … kok perut Mimo sakit sekali ya?” rintih Mimo sambil memegangi perutnya.
Baru saja Mimo duduk di samping tempat tidurnya, tiba-tiba perutnya merasa ingin ke belakang lagi. Mimo setengah berlari menuju kamar mandi untuk kali keempat.
Mimo meringis saat di kamar mandi. Ia teringat saat di sekolah jajan banyak sekali.
Mulai dari siomay, gorengan, dan es sirup kesukaannya. Bahkan, Mimo menjadi lupa dengan bekal dari Bunda akibat makan jajanan tersebut.
***
“Mimo, ada Irham, Aldi, dan Dion. Mereka sudah menunggu lama di bawah. Katanya mau mengajak Mimo main bola di lapangan,” ucap Bunda saat memasuki kamar Mimo.
“Mimo tidak bisa ikut main, Bunda,” jawab Mimo seraya meringis menahan sakit perutnya.
“Lo, kenapa Mimo? Kamu sakit?”
Mimo mengangguk sembari memegangi perutnya yang melilit-lilit.
“Mimo tadi makan apa? Bekal yang Bunda bawakan juga tidak habis.”
“Hikss … hiks … Mimo jajan es sirup, siomay, dan gorengan, Bunda,” kata Mimo lirih sambil terisak.
“Maafkan Mimo, Bunda. Mimo janji tidak akan jajan sembarangan lagi.”
Bunda tersenyum. Dirangkul Bunda tubuh gembul Mimo, seraya berkata, “Ya sudah tidak apa-apa, Mimo. Sesekali boleh saja jajan di luar, asal jangan terlalu sering. Bukankah lebih baik makan bekal yang dibawa dari rumah? Selain sehat juga hemat. Uang jajan Mimo kan bisa ditabung untuk membeli barang lain?”
“Hiks … Hiks… Iya Bunda, mulai sekarang Mimo janji untuk lebih sering makan bekal dari Bunda dan tidak jajan sembarangan lagi,” ucap Mimo menyesal.
“Bagus! Itu baru anak yang hebat,” puji Bunda.
“Kalau begitu, Bunda ke luar dulu mau kasih tahu ke Irham, Aldi, dan Dion kalau Mimo tidak bisa ikut main hari ini. Sekalian Bunda ambilkan obat untuk Mimo.”
“Terima kasih, Bunda,” ujar Mimo sembari menghapus air matanya.
***
Keesokan harinya, bel istirahat berbunyi. Mimo memilih untuk tetap tinggal di kelas. Irham yang duduk satu meja dengan Mimo menatap bingung sebelum menyusul Aldi dan Dion yang sudah lebih dulu keluar kelas.
“Kamu kenapa tidak jajan, Mo?”
Mimo menggeleng, lalu membuka bekal makanan dari Bunda.
“Wah lucu ya Mo, nasi kamu jadi kayak beruang,” seru Irham dengan mata berbinar.
“Kata Bunda ini namanya bento. Nasi dan lauknya sengaja dibuat mirip beruang biar aku semangat makan,” kata Mimo bangga. Irham yang melihat bekal Mimo jadi tergoda dan ingin ikut menyantapnya.
“Besok aku mau bilang Mama ah biar dibikinin bekal kayak kamu, lucu dan enak sepertinya,” kata Irham kepada Mimo. Mimo pun tersenyum dan di dalam hatinya berterima kasih kepada Bunda. Bunda memang hebat. (58)

sebuah pintu di depan pintu, arsip kegelapan, (hamlet), dan lainnya

Puisi-puisi Afrizal Malna (Kompas, 13 Januari 2018)
Jaduh Legong Dancer Preparation ilustrasi Ngurah Darma - Kompas.jpg
Jaduh Legong Dancer Preparation ilustrasi Ngurah Darma/Kompas

seseorang yang mengapung di atas tubuhku


dia membuat sore dari sebuah rancangan busana
jahitan udara antara yang terbuka dan tertutup
guntingan pada bahu. kulit tropis di musim semi
buatlah aku dari air liur burung gereja
yang memberi minum anaknya, dan sebuah kamus yang
tak punya ancaman

jangan bercerita, ketika kupu-kupu terbang dalam suaramu
dan sebuah senja yang tak bisa dimasuki batas malam
tubuhnya mengapung di atas tubuhku
seperti laut pasang
bulan yang tergenang dalam cahayanya
buatlah aku kembali tidak mengerti apa itu takut
ketika menyusuri bibirmu, pelukan, yang meninggalkan senja
pada lampu jalan

sebuah kafe, belum tutup untuk seorang tamu
yang masih menyanyikan cinta. para pemusik
telah pergi meninggalkannya.
sebuah lagu elvis presley, fever,
link: https://youtu.be/dNsU5edolvk
seperti suara bibir dalam anggur merah

buatlah aku dari sebuah sudut malam
seolah-olah aku sedang menunggumu
di sebuah titik yang meledakkan garis pelarian
hingga aku tak tahu: sedang memeluk mayatku sendiri

sebuah pintu di depan pintu


aku seorang prajurit yang tidak mengenal
siapa komandanku
aku hanya menerima perintah
“rapat ke B rapat ke A. rapat.
kau adalah A atau B di antara C”

– sebuah ledakan di kampung melayu
– sebuah pameran evolusi busana
– pidato kebudayaan tentang bintang mati
– silsilah keluarga, bantu rumah sakit
– petemakan ayam untuk konsumsi kota

kau adalah A dengan wajah anti A
susunlah B dan C sebagai A dan tak tahu
mereka adalah A. ciptakan D sebagai lawan A
untuk menyaring seluruh anti A
targetnya: A adalah B

aku adalah A bukan B setelah C
intinya “ABC” tutup semua jendela. tutup
semua pintu. tutup hantu etimologi
topeng alfabet dalam viral riwayatmu

arsip kegelapan


dia meninggalkan kakinya di luar untuk berjalan ke dalam:
ginjal, empedu, jantung, sebuah ruang tamu dan seseorang
yang tak pernah ada. dia meninggalkan kepalanya di dalam
untuk berjalan ke luar: lemari, bantal dengan sisa rambut,
sabun mandi dan bau sperma dari tubuh yang tak pernah ada.
bagaimanakah ruang bekerja antara batas dan objek-objek, dan
sebuah badai yang mencari di mana arsip sinar matahari
tersimpan.

masuk dan keluar lagi, pintunya tertinggal di tempat tukang
servis radio, gelombangnya mencari lagu-lagu kenangan. aku-
lirik yang pingsan dalam sebuah buku kritik sastra tentang
seseorang yang tak pernah ada. kilometer-kilometer telah
berlalu, bangkai waktu dalam sebuah kecelakaan lalu-lintas.

para pencuri masuk ke dalam perpustakaan, mencuri arsip,
menggantinya dengan tisu. mereka menemukan aku-lirik yang
sekarat dalam perpustakaan:
”beri aku bahasa
beri aku bahasa
untuk bernafas.”
jari-jari tangan mereka tertinggal dalam mesin tik tua. tata
bahasa berlalu, lidahnya bengkak oleh huruf-huruf kapital yang
cerewet tentang kata-kata yang tak pernah ada

dia berjalan ke dalam melalui jalan ke luar:
ladang kuburan arsip dalam kegelapan

(hamlet)

buat Imas Darsih, sutradara Miss Tjitjih
setelah pertunjukan hamlet dalam bahasa Sunda

koper itu telah terbuka
bau perjalanan bersarang dalam handuk lembab
matahari jam 9 pagi, rima dari sinar hangat
(pagi)
bau ikan asin dari penggorengan
batas antara bibir dan hantu-hantu kenangan
jemari tanganku sudah tak merasakan lagi
– rokok masih menyala yang kuhisap
(lepas):
bagaimanakah
bagaimanakah
bagaimanakah? membedakan
tubuh kekasih dan tubuh seorang ibu. bau yang telanjang
rute yang tidak pernah sama untuk
memelukmu: tutorial tentang cinta dan rahasia
di tangan para penjaga malam yang malam

asap tembakau keluar dari dalam koper
mengurai merkuri dari racun kenangan
tentang homo habilis
mereka sedang menghisapnya:
–           KTP
–           paspor
–           kartu nikah
–           potongan pajak puisi
–           NPWF
–           ATM dan sikat gigi
–           (:))

koper beri aku visa, koper
(hutan telah terbakar di depan istana)
singgasana yang cerewet dalam bau darah
Adegan yang Disensor:
– hamlet keluar dari pintu belakang/
– tapi dia juga keluar dari pintu depan/
– dia masuk lagi ke dalam yang di luar/

beri aku visa
: untuk pulang ke dalam rumah sendiri

di jendela pesawat


telah lama aku menunggumu
terlalu lama
sebelum kamu datang
sebuah mobil terbakar menuju bandara
bau besi hangus

apakah kematianku juga tak ada gunanya

rasa perih pada betis. kaki menjelang berdiri
otot kehilangan berbaring
tubuhku telah berhenti sebelum kamu datang
dan kamu memang tak pernah datang
sebagai kamu yang tak pernah ada
matahari akan bersinar lagi besok pagi
cerah. hangat. angin tipis
awan putih dan langit biru

kembang api di malam tahun baru

link: https://youtu.be/-pMlDnrZCYw

sudah malam, kau tidak lelah?

buat Kedung Darma Romansha

ia bertanya kepada “siapakah”
yang telah mengarang tubuhnya di panggung ini
panjang rambutnya melebihi
batas kau bisa mengukur merunduknya padi
menjelang panen. seorang aku-lirik mabuk
dalam bau kematian yang membiusnya
dia mencari tubuh-puisi yang lain – dan dia pikir
– itu sejenis luka pada tanda baca. siapakah namamu?
(ayo, bos, sawernya mana)
tatapannya: membakar untuk setiap lelaki padam
dan setiap gesekan padang pemburuan
uang, kejantanan yang goyah, cinta yang liar
dalam mikrofon setelah panen

dia seorang utami. suaranya berongga
tempat kau bisa menghilang tanpa frekuensi
– (terima kasih. sawer lagi dong, bos)
sebuah tawaran politik di bawah tangan
setelah panen. dan jerami dalam kenangan hutang keluarga
dia seorang dewi, suaranya adalah:
kau akan gagal menatapku dengan kekuasaan
ia menggerakkan pinggulnya di atas ujung telapak kakinya
– (goyang dong), dan seekor kuda berlari
jejak-jejak keringat melekat di lehernya
menembus rahasia sebuah hutan
dia seorang penyanyi:

kau tawar-tawar
cinta (siapa) – rindu (siapa)
(link: https://youtu.be/oFJObnoTIug)

ada apa ini? lelaki saling mengejar, memukul
seperti kawanan hewan yang merobek rumah
ia memanggil lelaki seperti anak ayam untuk makan
ladang kecantikan seorang dewi di atas pantura yang demam
dan mereka menciumi tangannya. perempuan suci
nyai ronggeng dan cahaya malam dari tubuhnya
petani antara harga beras dan tanali
antara desa yang runtuh dalam spiker


Afrizal Malna kini kian tidak tahu batas-batas puisi. Merasa lebih bekerja sebagai seorang “bekas penyair”; membuat jejaring lain antara irisan-irisan imaji, tanda baca, dan bahasa sebagai elemen imaterial dalam ruang tipografi tata letak. Pada Batas Setiap Masa Kini (2017) adalah buku mutakhirnya.

Surat untuk Anak Perempuanku

Cerpen Tenni Purwanti (Kompas, 14 Januari 2018)
Surat untuk Anak Perempuanku ilustrasi Nyoman Sani - Kompas.jpg
Surat untuk Anak Perempuanku ilustrasi Nyoman Sani/Kompas
Saat aku menulis surat ini, seorang istri di Bali sedang kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Alasannya, hanya karena cemburu. Seorang perempuan lain di Tangerang menanggung malu karena ditelanjangi, dipukuli, dan dibawa berkeliling oleh warga akibat dituduh berbuat mesum dengan pasangannya sendiri. Perempuan 14 tahaun di Kendari diperkosa bergilir oleh 14 laki-laki. Perempuan lain di Jakarta, dihujat karena keputusannya melepas jilbab. Tiba-tiba saja aku berpikir untuk menulis surat untukmu. Jika aku tak berumur panjang dan tak sempat melihatmu setelah kau lahir, setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kuceritakan, melalui surat ini.
Sebelumnya aku ingin menyampaikan bahwa aku bersyukur mengetahui bahwa bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan. Bertahun-tahun sebelum aku mengandungmu, teknologi sudah memungkinkan para orangtua mengetahui jenis kelamin anak mereka sebelum mereka lahir. Aku yang sejak dulu menginginkan anak perempuan, memanfaatkan teknologi ini untuk segera mengetahui jenis kelaminmu. Tapi di malam-malam menjelang kelahiranmu aku justru khawatir dengan masa depanmu. Apalagi, jika aku sampai tak sempat melihatmu sejak kau dilahirkan. Sebagai ibu, apa bekal yang bisa kuberikan untukmu menjalani kehidupan?
Aku tak akan menyebut diriku sendiri dengan ibu, mama, bunda, umi, atau apa pun sebutan yang mungkin akan kau sebutkan untukku. Kau boleh memanggilku dengan apa saja, selama kau menyayangi dan menghormatiku dari hatimu sendiri. Maka di surat ini aku lebih nyaman menyebut diriku dengan aku. Semoga kau nyaman dengan komunikasi kita ini. Dan aku akan memanggilmu dengan inisial dari nama yang telah kusiapkan untukmu. Kau bahkan boleh mengganti namamu jika kau mau.
R, seperti yang kusebutkan di awal surat, aku menulis surat ini sambil menanti kelahiranmu, di usiaku yang sudah 29 tahun. Usia yang rentan ditanya kapan menikah kalau aku melanjutkan hidup di Indonesia. Dan aku meminta ibuku untuk memberikan surat ini saat kau berusia 17 tahun, dengan harapan kau sudah beranjak dewasa (bukan sekadar tumbuh besar) dan bisa mengerti apa yang hendak kusampaikan. Mungkin kasus-kasus yang kusampaikan di awal surat sudah lewat 17 tahun, tetapi sangat mungkin terulang kepada perempuan lain.
Berdasarkan survei pengalaman hidup perempuan tahun 2016 yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun, atau sekitar 28 juta orang, pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Total jumlah kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2016 berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebanyak 259.150 kasus. Sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 provinsi. Dengan kecanggihan teknologi di zamanmu, kau pasti bisa menelusuri sendiri perkembangan kekerasan terhadap perempuan di negeri ini dan angkanya di tahun saat kau membaca surat ini. Kau juga bisa mencari arsip-arsip lama tentang kekerasan terhadap perempuan jika kau berminat.
Aku tak hendak menakutimu yang telanjur terlahir sebagai perempuan. Surat ini hanya ingin membuka matamu bahwa tidak mudah menjadi perempuan di negeri dengan riwayat kekerasan yang tinggi ini. Aku hanya ingin memberimu gambaran mengapa kekerasan bisa terjadi terjadi terhadap perempuan.
Salah satunya akibat patriarki. Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Dalam keluarga, patriarki menempatkan sosok ayah sebagai sosok yang memiliki otoritas terhadap istri, anak, dan harta benda. Aku lahir di keluarga yang kental dengan patriarki. Ayahku (kakekmu) adalah seorang yang mendominasi semua hal yang terjadi di dalam rumah. Anak perempuan sepertiku harus belajar mengurus rumah dan melayani ayah dan saudara-saudara laki-lakiku. Sementara anak laki-laki bisa terbebas dari hal-hal remeh seperti mencuci piring atau pakaian sendiri. Aku, anak perempuan satu-satunya di rumah itu yang harus mengurusi itu. Padahal menurutku anak lelaki pun harus bisa mengurus urusan domestik karena mereka juga kelak akan jadi suami dan ayah. Kalaupun tidak, mereka juga kelak akan hidup berpisah dari orangtua dan harus bisa mengurus diri sendiri, bukan?
Kau mungkin bingung bagaimana patriarki bisa melahirkan kekerasan? Aku dipukuli ayahku karena pulang setelah magrib dan tanpa izinnya. Ia menganggap anak perempuan harus berada di rumah sebelum magrib dan harus minta izin ke mana pun hendak pergi. Sementara saudara-saudara laki-lakiku bebas pergi ke mana saja hingga larut malam.
Dalam hal pendidikan, mereka anak-anak laki-laki didahulukan sebab mereka harus menjadi ‘orang’ di masa depan dan akan menafkahi istri serta anak-anak, sementara aku harus fokus mengurus dapur dan sumur, sebelum nanti melayani suamiku di kasur. Kau bisa melihat bagaimana patriarki bisa menciptakan ketidakdilan terhadap perempuan? Ini baru di sebuah keluarga kecil. Belum lagi kalau kita bicara negara. Kuota 30 persen di parlemen saja hingga surat ini kutulis, masih belum terpenuhi. Di beberapa kota di Indonesia, perempuan masih sulit menjadi pemimpin karena terganjal dominasi agama tertentu yang mengharamkan perempuan menjadi pemimpin.
Aku kabur dari rumah setelah menamatkan SMA. Tepatnya mendapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Aku katakan kabur karena ayahku tidak setuju aku ke luar negeri untuk sekolah (padahal ia tak perlu repot-repot membiayaiku). Ibuku (nenekmu) membantuku mengurus surat-surat penting yang harus kuurus untuk kepergianku ke negeri orang. Aku berhasil kabur dan tak pernah kembali lagi ke Indonesia. Aku menamatkan pendidikan S1 dan S2 di California, Amerika Serikat, dari beasiswa. Lalu aku menjadi dosen di almamaterku. Singkat cerita, aku bertemu dengan ayah biologismu dan kami berhubungan selama dua tahun sampai akhirnya aku hamil tanpa menikah. Hubungan kami masih baik-baik saja sampai suatu hari ia cemburu pada profesorku di kampus dan meninggalkanku yang hamil tua karena menuduh anak yang kukandung bukan anaknya.
Aku memutuskan untuk tetap melahirkanmu tanpa memberitahukan tentang kehamilanku kepada orangtuaku. Aku sudah tahu pasti aku yang akan disalahkan atas semua ini. Aku sudah membayangkan bagaimana kemarahan ayahku dan bagaimana tetangga-tetangga akan menilaiku yang dianggap bergaul bebas di negeri orang hingga hamil di luar nikah. Prestasiku yang lulus S2 karena beasiswa di California akan dilupakan begitu saja dan aku akan diingat sebagai perempuan tak bermoral. Tetapi menjelang kelahiranmu, aku akhirnya memberitahukan kehamilanku kepada ibuku dan memintanya menemaniku di rumah sakit. Entah bagaimana caranya ia bisa tiba di California. Ia sedang tertidur di sofa di kamarku saat aku menulis surat ini.
Semoga kau bisa mengerti apa yang telah kusampaikan ini. Kau mungkin akan mencari tahu siapa ayahmu, tapi mungkin juga tidak. Kau juga mungkin akan membenci laki-laki setelah menyimak ceritaku. Apalagi kau dibawa ibuku kembali ke Indonesia dan mungkin kau akan tinggal di rumahku bersama kakekmu, sang penganut patriarki sejati. Tapi perlu kukatakan kepadamu bahwa tidak semua laki-laki jahat. Perempuan juga bisa jahat kepada laki-laki. Kekerasan dalam rumah tangga juga bisa dilakukan perempuan kepada suaminya.
Perempuan juga bisa menyakiti sesama perempuan. Contohnya perempuan-perempuan yang menghujat pilihan seorang presenter perempuan yang memutuskan untuk melepas jilbabnya, yang sudah kusebutkan di awal tulisan ini. Sesama perempuan bisa saling menghujat hanya karena perbedaan pilihan hidup. Kubu ibu bekerja sering berseteru dengan ibu rumah tangga. Ada yang menganggap menjadi ibu rumah tangga lebih mulia ketimbang mengejar karier karena dianggap egois. Ibu yang memberi ASI eksklusif juga berseteru dengan ibu yang memberi susu formula kepada bayi mereka. Kau juga mungkin akan mendengar perempuan-perempuan tetangga yang menghujat namaku meski aku telah tiada.
Aku tak ingin kau menjadi korban kekerasan, juga tidak ingin kau menjadi pelakunya. Kekerasan bisa berbentuk fisik dan non fisik, R. Kekerasan fisik adalah kekerasan yang bisa dilihat kasatmata, seperti menampar, memukul, menendang, hingga menebas anggota tubuh, seperti yang dilakukan suami kepada istrinya (sudah kusebutkan di awal surat ini). Selain itu, ada pula kekerasan nonfisik, yang terbagi menjadi dua, yakni verbal dan psikologis. Kekerasan verbal bisa berupa memaki, membentak, menjuluki, menghina, memfitnah, menghujat. Seperti yang dialami presenter perempuan yang melepas jilbab dan dihujat atas pilihannya (yang juga kusebutkan di awal surat).
Sedangkan kekerasan psikologis bisa berupa mengucilkan, mengancam, mendiamkan, yang dilakukan melalui bahasa tubuh. Perempuan yang ditelanjangi dan dipukul warga karena ketahuan berbuat mesum dengan kekasihnya di Tangerang mengalami kekerasan fisik dan verbal sekaligus. Tetapi kau juga bisa membayangkan bagaimana kondisi psikologisnya setelah menerima penghinaan itu. Ia digerebek karena pilihannya melakukan hubungan seksual dengan kekasihnya sendiri, sementara di tempat lain orang membiarkan kekerasan fisik dan seksual terjadi di dalam rumah tangga karena merasa itu bukan urusan mereka. Laki-laki berhak melakukan apa pun atas tubuh perempuan karena dia suaminya sehingga tetangga tak perlu ikut campur.
Aku lebih tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi fisik dan psikologis korban pemerkosaan yang dilakukan 14 laki-laki sekaligus. Satu laki-laki saja bisa meninggalkan trauma seumur hidup. Bagaimana dengan 14?
Kau harus menjaga dirimu agar tidak menjadi korban kekerasan, juga sekaligus tidak menjadi pelakunya. Apa yang perlu kau lakukan? Kau harus menjaga keamananmu sekaligus menjaga keamanan orang lain. Belajarlah ilmu bela diri untuk menjaga dirimu sendiri, tetapi jangan gunakan untuk mengintimidasi orang lain. Kau juga harus ingat bahwa tubuhmu adalah otoritasmu. Kau boleh melakukan apa pun terhadap tubuhmu, jika kau mau. Tapi kau harus melakukan itu atas pertimbanganmu sendiri, mengerti konsekuensinya dan siap menerima risiko yang mengikutinya. Jangan biarkan orang lain menyentuh bagian tubuhmu tanpa izinmu. Kau juga tak boleh menyentuh bagian tubuh orang lain tanpa izin mereka.
Kau harus menjaga kenyamananmu sekaligus menjaga kenyamanan orang lain. Jika kau tak suka dihujat, maka jangan menghujat orang lain. Jika kau ingin pilihan hidupmu dihargai orang lain, maka kau harus menghargai pilihan hidup orang lain. Jika kau tak ingin disakiti, jangan menyakiti orang lain. Namun, jika kau sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menyakiti orang lain, tetapi malah kau disakiti orang lain, tempuhlah jalur yang benar untuk menghadapinya. Bunuh mereka dengan kebaikanmu, atau tempuh jalur hukum jika itu sudah melanggar hukum. Bisa saja kau pesimis dengan hukum di Indonesia, tetapi mencari keadilan dengan caramu sendiri juga belum tentu memecahkan masalah.
Pada akhirnya, yang bisa kulakukan adalah memberimu bekal untuk menjadi manusia yang menghargai kemanusiaan. Kita melawan dominasi laki-laki bukan untuk mengubahnya menjadi dominasi perempuan, tetapi untuk membuat lelaki dan perempuan di posisi setara sebagai sesama manusia. Baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun terhadap laki-laki dan perempuan lain. Aku yakin kau tumbuh menjadi anak yang cerdas dan mengerti apa yang kusampaikan.
Aku menyayangimu, R.

Tenni Purwanti, lahir 2 Mei 1986. Berprofesi sebagai wartawan sejak tahun 2011 hingga sekarang. Pernah menerbitkan kumpulan cerpen bertajuk Luka (2010) secara selfpublishing. Cerpennya pertama kali masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2014.
Nyoman Sani, perupa kelahiran Sanur, 10 Agustus 1975. Karya-karya alumnus ISI Denpasar ini banyak mengeksplorasi dunia perempuan berikut kondisi psikologis yang selalu membayangi kaum ini. Selalu ada upaya melawan dunia patriarki.