Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Aku seperti kunci hilang yang tak lagi dicari, sudah ada yang
mengganti. Lalu suatu waktu kamu tak sengaja menemukan aku lagi dan
sadar bahwa aku pernah kamu cari dan pernah dibutuhkan. (hlm. 39)
Cerpen Zainul Muttaqin (Koran Tempo, 16-17 Desember 2017) Perempuan Tua dan Seekor Anjing ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Perempuan tua itu melipat keningnya sampai membentuk garis
terombang-ambing melihat seekor anjing terluka sekujur tubuhnya. Segera
mungkin ia membawa langkahnya yang pendek bagai jantung melemah untuk
memungut anjing itu di bawah pohon trembesi. Jika dilihat dari bentuk
tubuhnya yang kecil dan cenderung berbentuk kotak, pastilah ia jenis
anjing ras beagle.
Perempuan tua itu pun tahu kutukan para tetangga yang akan
dilontarkan kepadanya jika sampai ia membawa binatang najis itu. Tapi
perempuan tua itu tak lagi memikirkan mulut kecubung para tetangga yang
akan mengata-ngatainya. Dalam tempurung kepala perempuan tua itu
hanyalah bagaimana anjing itu tetap bisa bernapas, melanjutkan hidup
seperti sediakala.
Perempuan tua itu melangkah masuk ke dalam rumahnya, menutup daun
pintu pelan-pelan hingga tak ada sedikit pun bunyi yang terdengar. Ia
meracik ramuan pagar. Mengelus-elus anjing itu bagai belaian seorang
anak pada ibunya. Telanjur sembap oleh air mata, wajah anjing itu
melihat perlakuan perempuan tua yang sedemikian besar mencurahkan
seluruh perhatiannya kepada si anjing. Gonggongan anjing itu seakan
mengucap terima kasih.
Anjing itu meringkuk dalam pelukan perempuan tua. Keduanya
berpelukan. Pintu rumah diketuk tiba-tiba oleh seseorang. Ia memanggil
nama perempuan tua itu berkali-kali. Khawatir perempuan tua itu dicibir,
tiba-tiba saja anjing itu menghindar tanpa diminta. Perempuan tua itu
tersenyum melihat anjingnya bersembunyi di balik tembok.
Nima, tetangga sebelah yang biasa berkunjung, mengantar makanan pada
perempuan tua itu. Ia memang sesekali datang menengok perempuan tua yang
hidup sebatang kara di rumah berupa gubuk itu. Karena memang sudah
biasa berkunjung ke rumah perempuan tua, Nima masuk ke dalam tanpa harus
dipersilakan oleh si tuan rumah. Perempuan tua itu pun menganggap Nima
layaknya cucunya sendiri.
Telinga Nima dikejutkan dengan suara gonggongan seekor anjing.
Diperhatikannya dengan saksama, di mana suara anjing itu berasal. Tidak
mungkin perempuan tua itu memelihara anjing. Nima tahu, tak seorang pun
berani memelihara binatang najis itu di kampung ini. Terlebih lagi, kata
Nima dalam batinnya, perempuan tua itu tidak boleh memelihara anjing
karena ajaran agama. Degup jantung perempuan tua itu tak normal melihat
gelagat Nima, cemas menggunung dalam dada ringkihnya.
Tak lama kemudian, Nima berteriak lantang dari belakang rumah ketika
perempuan tua itu sedang menjerang air. Wajah perempuan tua itu berubah
seperti selembar kain kafan. Pastilah Nima menemukan anjing itu,
pikirnya, sambil lalu ia menyeret langkahnya menemui Nima di ruang
belakang. Teriakan Nima semakin kencang, semakin cepat pula perempuan
tua itu membawa langkahnya, terpiuh-piuh ia berjalan mengenakan sandal
jepit.
Wajah Nima meradang. Anjing itu bersimpuh di kakinya. Perempuan tua
itu menceritakan saja yang sebenarnya. Kebencian Nima pada seekor anjing
tak lagi tertakar. Ia meludahi anjing itu. Perempuan tua itu mengambil
anjing kecil itu ke dalam gendongannya. Nima mengangkat kedua bahunya.
Kasar langkah Nima meninggalkan rumah perempuan tua itu.
Sejak itu, Nima tidak pernah berkunjung ke rumah perempuan tua itu
lagi. Empat hari kemudian, para tetangga pun tahu ada seekor anjing di
dalam rumah perempuan tua. Kabar ini tersebar melalui mulut kecubung
Nima. Warga kampung memandang rumah perempuan tua itu penuh selidik.
Selalu setiap hari mata mereka mengintai rumah berupa gubuk di bawah
kaki bukit itu.
Perempuan tua itu ke luar rumah jam tujuh lewat. Gerak kakinya
terpiuh-piuh untuk sampai ke pasar. Seseorang menghentikan langkah
perempuan tua itu. Wajah perempuan tua itu jatuh ke tanah. Ia beroleh
pertanyaan perihal anjing yang dipelihara di rumahnya. Perempuan tua itu
menganggukkan kepala, pertanda bahwa ia memang memelihara seekor anjing
ras beagle. Hal itu semata-mata dilakukan demi menyelamatkan hidup si
anjing. Perempuan tua itu menuturkannya dengan nada bergetar disusul
derai batuk mengguncang dada ringkihnya.
“Anjing itu tak boleh kau pelihara. Anjing itu najis. Haram
memelihara anjing. Haram artinya berdosa. Berdosa sama artinya neraka.
Apa kamu mau masuk neraka?”
“Lebih berdosa jika saya membiarkan anjing itu mati sia-sia. Biarlah
saya masuk neraka karena menyelamatkan hidup seekor anjing.” Perempuan
itu kembali melanjutkan perjalanannya. Ia meninggalkan orang tadi begitu
saja, tanpa peduli seperti apa raut muka orang tersebut.
Hampir satu minggu ini pembicaraan warga kampung kerap bermuara pada
perkara mengapa perempuan tua itu mau memelihara seekor anjing. Mereka
harus bertindak. Tak boleh seorang pun memelihara anjing di kampung ini.
Perempuan tua itu harus membuang jauh anjing itu ke luar kampung.
Orang-orang saling pandang, menganggukkan kepala setelah menentukan hari
untuk mendatangi rumah perempuan tua itu.
Menjelang sore hari, gerimis tipis serupa helai rambut liris dari
langit petang yang abu-abu. Langkah gusar warga kampung menuju rumah
perempuan tua itu ditingkahi angin. Perempuan tua itu membuka pintu
setelah seseorang menggedor berulang-ulang. Tampak gugup suara perempuan
tua menyaksikan dengan mata lamurnya sendiri orang-orang yang seakan
menelan tubuhnya dengan api kebencian.
“Di mana anjing itu?” Laki-laki berwajah berewok memandang tajam wajah perempuan tua itu.
“Untuk apa mencari anjing saya?” Perempuan tua itu balik bertanya, lirih suaranya.
“Anjing itu harus dibuang atau dibunuh. Anjing itu najis. Tak boleh dipelihara. Apa kamu tidak takut berdosa?”
“Tuhan yang lebih tahu soal dosa saya.”
Tiba-tiba saja anjing itu keluar, bersimpuh di ujung kaki perempuan
tua itu. Anjing itu mendongakkan wajahnya pada perempuan tua itu. Warga
kampung menarik langkahnya ke belakang, khawatir terkena tubuh si
anjing. Terkena liur anjing itu sama artinya tubuh warga kampung
dilumuri najis. Tidak hanya itu, najisnya anjing adalah najis tertinggi,
najis mugholladhoh.
Melihat rupa seekor anjing menjijikkan itu membuat warga kampung kian
berhasrat untuk mengusir binatang bertubuh kecil itu. Kebencian
orang-orang pada anjing piaraan si perempuan tua itu tak lagi tertakar.
Dengan gerakan cepat mereka melemparinya dengan batu. Anjing
menggonggong kesakitan. Tubuhnya terluka.
Karena teramat mencintai anjing itu, diambillah binatang itu ke dalam
pelukan perempuan tua itu. Perempuan tua itu berharap kemarahan
orang-orang akan reda. Tak mungkin mereka melempari anjing yang kini
berada dalam pelukannya. Akan tetapi, sore yang kian gelap tidak punya
cara lembut untuk memperlakukan perempuan tua itu. Teriakan-teriakan
mereka kian keras. Mereka tetap menghujani anjing itu dengan batu,
kerikil, dan benda apa pun dilemparkan supaya anjing itu pergi jauh atau
mati secara sia-sia di tempat itu.
Saat itulah kepala perempuan tua itu terkena hantaman batu yang
terus-menerus dilemparkan warga kampung pada anjing dalam pelukannya
tersebut. Tersungkur ke lantai perempuan tua itu. Darah mengucur. Anjing
itu mengelus wajah perempuan tua itu. Ia menggonggong terus-menerus.
Mendengar gonggongan mengerikan itu, teriakan warga kampung senyap.
Wajah mereka ketakutan.
Perempuan tua menatap orang-orang itu. Tatapan seorang perempuan yang
teraniaya. Tarikan napas perempuan tua itu semakin lambat dan goyah.
Warga kampung tak dapat berkata apa-apa. Wajah mereka berubah seperti
selembar kain kafan. Seseorang berusaha mendekati tubuh perempuan tua
itu, tetapi anjing itu tak membiarkan siapa pun mendekati perempuan tua
yang telah mengasuhnya selama ini.
“Anjing itu memang najis, tapi kita masih bisa membasuhnya dengan air
tujuh kali dan salah satunya diberi pasir atau debu. Menganggap anjing
itu najis, apa berarti kalian merasa lebih suci? Bagaimana jika hati
kalian yang najis? Bagaimana cara membasuhnya?” Perempuan tua
melontarkan kalimat itu menjelang napasnya berakhir. Sesaat kemudian,
perempuan tua memejamkan matanya.
Malam harinya, anjing itu menghilang setelah jasad perempuan tua itu
dimasukkan ke liang lahat. Berada dalam dunia kematian, perempuan tua
itu diseret oleh tubuh-tubuh serupa bayangan, tinggi besar menuju telaga
api. Perempuan tua berusaha melepas diri dari cengkeraman itu, tetapi
sia-sia yang dilakukannya.
Berdiri di tepi telaga api, perempuan tua itu siap dilempar ke dalam
kubangan api yang terus menyala. Panasnya mampu mengelupas kulit dalam
sekejap. Perempuan itu memohon pertolongan. Mendadak seekor anjing
muncul di depan matanya. Anjing itu mempersilakannya naik ke atas
punggungnya. Anjing itu mengantar perempuan tua itu ke surga. Mata
perempuan tua itu mengamati tubuh anjing kecil, berbentuk kotak yang
membebaskannya dari ancaman api neraka. Perempuan itu sangat yakin
pastilah ia anjing ras beagle piaraannya.
Pulau Garam, Desember 2017
Zainul Muttaqin lahir di Garincang,
Batang-batang Laok, Sumenep, Madura, 18 November 1991. Cerpen-cerpennya
dimuat di pelbagai media nasional dan lokal. Tinggal di Sumenep.