Daftar Blog Saya

Minggu, 09 Juli 2017

Perihal Tanda-tanda

Cerpen Wisnu Sumarwan (Kompas, 02 Juli 2017)
Perihal Tanda-tanda ilustrasi Ledek Sukadi - Kompas
Perihal Tanda-tanda ilustrasi Ledek Sukadi/Kompas
Aku selalu penasaran bagaimana nenekku bisa selalu benar tatkala menduga bahwa kematian akan datang pada suatu malam, pagi, siang, petang atau dini hari.
Pertama kali aku mengetahui bakat semacam itu adalah saat nenek berkata bahwa seorang yang dekat tapi jauh akan pergi bersama orang-orang asing yang tak diketahui selain nama mereka. Pamanku yang termuda mengatakan bahwa seluruh orang dekat kami berkumpul dekat-dekat saja, tiada yang jauh, jadi tidak akan ada orang mati. Empat bulan kemudian paman termuda itu mati saat kapal laut yang ditumpanginya menuju perairan Filipina lenyap ditelan badai. Ia baru bekerja sebagai seorang mualim kapal ikan. Kami semua sudah lupa bahwa nenek pernah mengatakan tentang itu sebelumnya.
Berikutnya, enam bulan sebelum kakek meninggal, nenek berkata bahwa akan ada pergantian kapten kapal karena kapten yang lama harus segera berpindah kapal, burung-burung akan mengiringinya. Lagi-lagi, tiada satu pun anggota keluarga kami yang bekerja di kapal selain paman termuda yang telah meninggal lebih dulu dan dia bukan kapten. Ternyata, benar terjadi pergantian kapten dalam bentuk seumpama. Saat lebaran, kapal besar keluarga kami tak lagi berkumpul di rumah kakekku sebagai tetua yang tertua dan ganti berkumpul di rumah adiknya yang sejak itu jadi orang tertua di keluarga sepeninggal kakek. Lagi-lagi, kakek meninggal saat kami sudah lupa bahwa nenek pernah berkata sesuatu tentang itu. Kakek meninggal ketika membeli makanan burung di seberang pasar. Kami bilang ia meninggal dalam damai, yang lain bilang kalau kakek meninggal begitu saja tanpa tanda-tanda.
“Kehidupan adalah menanak nasi,” ucap nenek saat upacara kematian ibuku sedang berlangsung, “tak tercium wanginya sampai sesaat menjelang harus diangkat, bau kematian adalah nasi yang hampir tanak.”
Kematian di sini memang selalu wangi, penuh bunga-bunga dan cacahan daun pandan yang ditebarkan dalam peti atau keranda. Mungkin, untuk menutupi bau mayat yang bisa mengungkit kesedihan. Atau, supaya kematian tidak cuma berwarna hitam.
Aku berusaha mengingat kata-kata nenek seperti kamus mengingat lema, namun tetap saja di saat-saat terakhir selalu saja terlupa sampai ada seorang kerabat yang meninggal. Mungkin, karena otak tak sudi mengingat-ingat kematian. Lalu aku ingat bahwa nasi yang sedang dimasak sudah mulai tanak, baunya bisa tercium, terasa segar dan baru. Seperti inikah bau kematian? Nenek hanya mengernyitkan bibirnya sambil mengangkat dandang dari atas tungku kayu kemudian memindahkan nasi setengah matang ke dalam kukusan bambu untuk sekali lagi dimasak dengan cara diuapkan di atas air panas yang menggelegak. Wanginya menyebar.
“Sudah, nenek tak usahlah repot di dapur,” ujar seorang kerabat, “biar kami saja yang mengurus makanan.”
Namun nenek berkeras untuk tetap berada di pawon dengan alasan: inilah kali terakhir ia bisa memasak untuk putrinya tercinta—ibuku. Tak ada sedikit juga raut kesedihan di matanya, mungkin karena ia sudah lebih dulu tahu perihal kematian itu. Ia juga pasti sadar kalau nasi yang ia masak pada kenyataannya takkan pernah dimakan oleh putrinya, melainkan masuk ke perut orang-orang yang cuma melayat mayatnya, banyaknya bukan orang yang akrab. Tapi, bukan itu masalahnya. Nenek tetap menganggap bahwa kerepotannya ini (yang ia anggap tidak merepotkan) adalah untuk putrinya sebagaimana sebelumnya ia telah memasak nasi untuk suami dan putra bungsunya saat mereka meninggal.
Memasak nasi adalah mengolah kehidupan. Mungkin, pikir nenek hingga tak berhenti memasak nasi meski sedang berdiri di hadapan kematian suami atau anaknya.
Sebaliknya, aku takut pada saat-saat begini. Nenek akan mulai meracau tentang tanda-tanda kematian seseorang yang tak diketahui, lalu berikutnya aku lupa.
Aku takut kalau aku lupa bahwa ia pernah berwasiat tentang tanda-tanda. Aku tak takut jadi tua, tapi aku takut jadi tua dan pikun hingga melupakan perihal tanda-tanda. Apakah saudara-saudaraku takut jadi pikun juga? Sepertinya tidak. Mereka lebih takut pada kematian dibanding kepikunan. Menurutku, kepikunan bisa lebih berbahaya dari kematian. Manusia disebut sebagai manusia karena kelahiran dan ingatan-ingatannya. Tanpa ingatan, manusia takkan mengetahui apa-apa tentang siapa dirinya. Manusia yang tak punya kenangan atas dirinya, masihkah bisa disebut manusia? Atau mayat hidup saja layaknya.
Kerabat-kerabat—walau iba pada nenek yang bekerja keras memasak saat ada saudara meninggal, juga enggan untuk berada dekat-dekat, sebisanya menjaga jarak. Rupanya mereka begitu khawatir pada racauan nenek perihal tanda-tanda yang hampir tak pernah meleset (aku tak ingat kapan racauannya pernah meleset). Mereka bersyakwasangka tentang siapa yang dimaksudkan dalam ucapan itu. Bisa ayah mereka, ibu, paman, adik, kakak, atau diri mereka sendiri. Sehingga, ketika hanya aku yang cukup berani dekat-dekat nenek dalam jangka waktu lebih lama, akulah yang jadi sasaran pertanyaan-pertanyaan mereka. Rahasia kematian selalu jadi sumber rasa penasaran, bagaimanapun ditolak kehadirannya.
“Nenek bilang apa? Siapa yang akan mati berikutnya?”
“Nenek takbilang apa-apa,” jawabku, “lagi pula, mana pernah dia menyebut nama.”
“Iya, tapi tak mungkin ia tak bilang apa-apa. Pasti kau yang tak peka terhadap ucapannya,” balas sepupuku.
“Sungguh. Nenek memang tak mengucapkan apa-apa. Paling tidak, belum.”
“Kau menutup-nutupi saja karena kau sebenarnya tahu dan tak mau kami khawatir.”
“Tidak.”
“Ayolah, ceritakan.”
“Tidak ada yang bisa diceritakan. Kalau kalian mau dengar ucapannya, kenapa tak dekat-dekat nenek saja?”
Baru mereka semua diam dan aku kembali ke pawon menemani nenek bekerja.
Rapal doa-doa adalah suara lebah dalam sarang yang berdengung-dengung. Lalu nenek meracau lagi.
“Sebenarnya, beras sudah jadi nasi, tinggal dihidangkan. Perjalanan sudah selesai. Kita mulai makan, kemudian yang kita ingat berikutnya rasa nasi saja. Beras yang sudah jadi nasi kemudian keluar dari perut, jadi tai yang dimakan lele. Kehidupan tak berhenti pada kematian, melainkan jadi kehidupan yang lain. Saat waktunya tiba, kita lupa pada nasi yang baru saja kita makan, atau beras.”
Benarkah nenek bisa lupa pada kematian orang-orang yang dicintainya? Aku tak bisa membayangkan apa rasanya jadi nenek yang terus menua sambil menyaksikan suami dan anak turunannya mati satu per satu. Usianya sudah lebih dari sembilan puluh tahun—nyaris seratus, kurasa—dan nasinya tak tanak juga, sementara nasi yang lain sudah selesai dihidangkan. Apa rasanya jadi dia? Aku tak mengerti.
“Menyedihkan rasanya,” ucap nenek, “seperti melahirkan kematian. Dan lebih menyedihkan lagi ketika semua itu tak bisa ditolak. Pasrah saja kita bisanya.”
Untuk banyak hal, ingatan nenek masih tajam, namun saat ia berbicara kematian ia seperti lupa bahwa orang yang dia bicarakan adalah kerabatnya sendiri yang kerap terhubung darah sangat dekat. Seperti saat kami mendengar ia berkata tentang meninggalnya seorang keponakan.
“Bunga bisa gugur sebelum mekar, tapi tetap saja bunga,” ucapnya waktu itu, “kalau sudah gugur, biarkan saja. Nanti akan ada kuncup baru.”
Baru delapan bulan kemudian keponakan itu meninggal bahkan sebelum lahir. Sepupuku keguguran di bulan keenam kehamilannya. Nenek sudah meramalkan kematian sebelum ada kelahiran, bahkan sebelum sepupuku itu menikah. Ketika ia mengatakan itu, kami semua tahu bahwa akan ada kematian lagi, namun lagi-lagi kami lupa sampai kematian itu benar-benar terjadi. Buatku ini mengerikan, namun aku juga tidak bisa mengingat untuk bersiap-siap atau paling tidak mengingatkan seseorang agar bersiap-siap menunda kematian. Ini yang paling masuk akal buatku. Bahwa, segala ucapan nenek adalah peringatan agar sesuatu bisa dibendung kedatangannya. Tapi, bisakah kematian dibendung?
“Nek, bagaimana nenek bisa tahu akan ada kematian?” tanyaku untuk menutup rasa penasaran.
“Nenek tidak tahu,” jawabnya.
“Tapi, nenek selalu mengucapkan sesuatu sebelum ada orang meninggal.”
“Mengucapkan apa?”
“Macam-macam.”
“Tidak. Nenek tidak pernah berucap apa-apa,” sanggahnya lagi.
Lalu aku menceritakan kejadian-kejadian yang lalu. Nenekku lagi-lagi cuma mengernyitkan bibirnya sambil menggeleng-geleng dan berkata, “Tidak. Nenek tak pernah mengucapkan itu semua.”
Aku diam. Apakah nenek sudah pikun?
“Nenek tidak sadar bahwa dia sudah mengucapkan itu semua,” bisikku pada sepupu-sepupu.
“Maksudmu, nenek kesurupan?”
“Hus! Jangan sembarangan!”
“Apakah kau ingat, apakah nenek pernah berkata sesuatu tentang kematian ibumu?”
Aku diam lagi, mencoba mengingat-ingat. Aku lupa. Aku tak ingat apa-apa. Lalu, sepupu terkecil berkata, “Nenek pernah bilang: ‘Maling bekerja dini hari, saat semua orang tertidur. Yang diambil adalah perhiasan keluarga paling berharga’. Diucapkan padamu.”
“Kau ingat?” tanyaku.
“Tiba-tiba saja ingat, Kak.”
Ibuku meninggal dini hari, dan dia perhiasan keluargaku. Aku mengingatnya dengan jelas. Membayangkan bahwa aku melupakan betapa berharganya sesuatu, sungguh bukan bayangan yang menyenangkan. Lagi-lagi aku teringat pada nenek yang gemar menanak nasi, menikmati harumnya sambil melupakan tanda-tanda yang diucapkannya sendiri.
Udara dari pawon menembus ke ruang makan. Aku mencium bau nasi hampir tanak. Aku sangat ingin mengaduk nasi setengah matang lalu menuangkannya ke dalam kukusan. Tapi, ternyata semua nasi sudah diangkat. Mungkin, sisa-sisa bau saja, karena dari jauh kulihat nenek sudah duduk tenang di teras belakang.
“Apa kau bilang?” sepupuku bertanya.
“Aku tidak bilang apa-apa.”
“Kau baru saja bilang: ‘Akhirnya, nasi yang ditanak nyaris seratus tahun matang juga’. Nasi apa yang ditanak seratus tahun?”
Aku diam sambil berjalan ke teras di belakang dapur dan duduk di samping nenekku.
“Kau mau menanak nasi?” tanya nenek dengan suara pelan, “kalau sudah matang, jangan lupa diangkat. Waktunya selalu tepat.”
Aku menggeleng. Aku tak mau menggantikan nenek menanak nasi. Aku tak mau tua, pikun lalu lupa perihal tanda-tanda.

Keterangan:
Pawon: dapur.

Wisnu Sumarwan, bernama lengkap Wisnu Suryaning Adji Sumarwan. Lulusan Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta. Pernah jadi direktur program sebuah radio dan usahawan kuliner. Pemenang 1 Lomba Cerpen Nasional #MyCupOfStory 2016 Nulisbuku.com dan Giordano Indonesia. Peserta Workshop Cerpen Kompas 2016 dengan mentor Agus Noor, Linda Christanty, dan Putu Fajar Arcana. Cerpennya termuat dalam antologi cerpen Kelas Cerpen Kompas 2016 Cerita Para Perambah.

Sepasang Mata yang Menyala

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka (Republika, 02 Juli 2017)
Sepasang Mata yang Menyala ilustrasi Da'an Yahya - Republika
Sepasang Mata yang Menyala ilustrasi Da’an Yahya/Republika
Untuk ketiga kalinya Bongkot melihat sepasang mata itu. Sepasang mata yang memancarkan cahaya dengan indahnya.Sepasang mata dengan tatapan yang memesona. Sepasang mata yang penuh misteri, dan karena itu, menurut Bongkot, memiliki daya tarik luar biasa.
Pertama kali Bongkot melihatnya di pelataran Masjid Nabawi. Di saat ia melaksanakan ibadah umrah. Sepasang mata itu melintas dan berpapasan dengannya. Sepasang mata itu sempat melirik dan memandang kepadanya. Ketika tatapan sepasang mata itu tepat membidik kedua matanya, tiba-tiba Bongkot seperti tersihir. Sungguh!
Bongkot merasa tidak sekadar melihat bola mata yang berbinar-binar mengilaukan cahaya, tapi di lingkaran hitam bola mata itu ada semacam lorong yang melingkar-lingkar jauh, dan di ujungnya terlihat sebuah taman yang indah. Begitu indah. Sebuah pemandangan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.Ya!
Maka kemudian Bongkot merindukan kembali untuk dapat menatap sepasang mata itu. Dan ternyata, doa dan harapannya dikabulkan Tuhan. Bongkot kembali melihat sepasang mata itu melintas di pelataran Masjid al-Haram. Saat itu usai shalat Maghrib. Di antara rembang malam, sepasang mata itu memancarkan cahaya lebih terang dan berkilau-kilau. Bongkot terpukau menatapnya.
Tersebab dari lingkaran bola mata itu kembali ia melihat semacam lorong yang melingkar-lingkar jauh, dan di ujungnya terlihat sebuah taman yang indah. Begitu indah. Bongkot mencoba mendekatinya. Sayang, sepasang mata itu lesap di antara kerumunan orang-orang. Hingga beberapa waktu Bongkot mencari-cari sepasang mata itu. Namun tak ia temukan.
Sampai Bongkot pulang umrah dan kembali ke kotanya. Hasrat kembali bertemu dengan sepasang mata itu semakin menggebu-gebu. Dalam setiap doa selalu ia bermohon kepada Tuhan agar dipertemukan lagi dengan sepasang mata itu. “Ya, Tuhan. Engkau Maha Mengetahui segalanya. Maka berilah hamba kesem patan dan pengetahuan untuk kembali bertemu dengan sepasang mata yang menyala penuh misteri itu, amin….”
Jauh di dalam relung hatinya Bongkot sesungguhnya merasa heran; mengapa kini ia begitu terpesona dan mengagumi sepasang mata itu. Padahal sebelum melaksanakan umrah sepasang mata itu adalah hal yang biasa saja buatnya. Bahkan ia sungkan memandangnya. Dan jika harus berkata jujur maka kalimat inilah yang akan keluar dari mulutnya: Aku tidak suka dengan sepasang mata itu!
Ya! Setiap kali ia melaksanakan shalat lima waktu berjamaah di masjid di kotanya, ia kerap menjumpai sepasang mata itu. Dan Bongkot selalu berpaling dari tatapannya. Menurutnya tidak ada yang istimewa dari sepasang mata yang terlihat dari seorang wanita yang wajahnya ditutupi cadar dan seluruh tubuhnya dibalut busana Muslimah.
“Keindahan apa yang bisa kita nikmati, Bung!” protes Bongkot.
“Gila kali kau ini. Kau catat, ya! Ia hidup bukan untuk kita. Ia menjalani kehidupan untuk suaminya, kalau ia sudah bersuami, dan untuk Tuhannya. Kenapa pula kau yang repot!” ujar seorang kawan yang diajak Bongkot berbicara.
“Aii…, sudahlah! Cuma aku tak habis pikir, hari gini, dengan kehidupan yang serba modern ada wanita seperti itu. Apa yang ada di pikirannya?!”
“Kau tanya sendiri pada wanita itu. Setelah kau dengar jawabannya, habis perkara! Jangan pula kau panjang-panjang kan cerita, bisa botak kepalamu, hahaha….”
“Hahaha….” Bongkot tertawa lepas mengiringi tawa kawannya. Tak sedikit pun terlintas rasa kagum dalam dirinya terhadap sepasang mata itu. Bahkan walau sekadar untuk menghargai. Tapi mengapa sekarang berbeda?
Bongkot merasakan bahwa kini ia sungguh-sungguh merindukan sepasang mata itu. Sepasang mata yang terlihat dari seorang wanita yang wajahnya ditutupi cadar dan seluruh tubuhnya dibalut busana Muslimah. Sepasang mata yang memancarkan cahaya dengan indahnya. Sepasang mata dengan tatapan yang memesona. Sepasang mata yang penuh misteri, dan karena itu memiliki daya tarik luar biasa.
Apa yang tengah terjadi dengan diriku?
Bongkot bertanya-tanya dalam hati. Berhari-hari. Berpekan-pekan. Berbulan- bulan. Waktu berlalu. Hingga lebih enam bulan setelah Bongkot berada di kotanya. Di suatu malam, ketika ia pulang dari masjid, ia diperkenankan Tuhan bertemu lagi dengan sepasang mata itu. Ya!
***
Pada kali yang ketiga ini, sepasang mata itu seakan sengaja menghadang langkah Bongkot. Sepasang mata itu bergeming di depannya. Kegelapan malam yang kental membuat sepasang mata itu seperti mengambang di udara. Antara rasa kaget, tidak percaya, dan terpesona, Bongkot memandang lekat-lekat sepasang mata itu. Bertambah lekat, dan semakin lekat.
Belum sempat Bongkot menyapa, sepasang mata itu tiba-tiba memancarkan sinar yang berkilau-kilauan. Sinar itu melingkar- lingkar bagai spiral memasuki mata Bongkot. Tubuh Bongkot bergetar. Tak lama kemudian Bongkot merasakan ada satu kekuatan yang begitu dahsyat membetot dirinya masuk ke dalam bola mata yang berkilau-kilauan itu.
Lalu saat sinar yang berkilau-kilauan dan melingkar-lingkar membetot dirinya berhenti, Bongkot mendapati dirinya tidak lagi berada di jalanan dekat rumahnya, melainkan di sebuah taman yang indah. Begitu indah. Ya!
Bongkot memperhatikan sekeliling taman itu. Pepohonan dan bunga-bunga yang ada tumbuh dengan harmonisasi warna yang begitu memesona.
Ada pohon yang berwarna hijau tua dengan daun-daun berwarna hijau muda. Ada yang berwarna merah berpadu kuning dan jingga. Ada yang berwarna biru bersanding nila dan ungu. Bunga-bunga bermekaran di sana-sini. Bergoyang mengangguk- angguk dibelai hembusan angin semilir. Dan desir angin yang lembut itu menebar wewangian tiada terperi. Seakan menguap dari putik sari bunga-bunga.
Pohon-pohon dan bunga-bunga itu berseri disepuh cahaya yang berkilau- kilauan. Cahaya yang datang entah dari mana. Karena setinggi mata memandang cakrawala, tak ada matahari di sana. Cahaya itu seakan muncul dari berbagai arah. Menyemburat dari langit. Menyeleret dari bukit. Keluar dari lapisan bumi. Cahaya yang berwarna pelangi. Cahaya yang teduh dan menyejukkan.
Di taman itu mengalir sebuah sungai kecil dengan air berwarna putih serupa air susu. Bukan! Bukan hanya serupa, tapi air yang mengalir di sungai kecil itu betul-betul air susu. Subhanallah! spontan Bongkot berucap, “Di manakah hamba kini berada?”
“Inilah Taman Karomah.”
Tiba-tiba suara yang begitu syahdu menjawabnya dari arah belakang. Bongkot sungguh-sungguh terkejut. Ia berbalik menghadap ke arah datangnya suara. Dan Bongkot semakin dibuat terkejut. Di hadapannya berdiri seorang gadis berparas jelita dan memesona.
Bagai bidadari dalam cerita-cerita negeri kayangan, begitu sempurna. Anatomi tubuhnya sangat proporsional. Rambutnya tergerai hingga ke rerumputan, hitam segar mengilaukan cahaya dengan mahkota kecil di kepala. Busananya mewah bertabur berlian yang berkerlap-kerlip bagai bin ang kejora serta indah menawan.
“Siapa kau??!” spontan Bongkot bertanya melepas keingintahuannya.
“Akulah sepasang mata itu,” jawab Sang Gadis dengan suara merdu.
“Kau…??!”
“Ya, aku!”
“Bagaimana mungkin?!”
“Jika kau percaya qada dan qadar segalanya menjadi mungkin,” tutur Sang Gadis.
“Jika Tuhan berfirman “Kun” (terjadi), maka “Fayakun” (terjadilah),” tambah Sang Gadis.
“Maaf, aku sungguh tidak mengerti!?”
“Tidak semua hal harus dimengerti. Itulah hukum kehidupan dunia yang fana. Sebab tidak semua peristiwa yang terjadi melibatkan kau di dalamnya. Banyak hal terjadi dengan atau tanpa dirimu. Jadi kau tidak perlu khawatir dengan ketidak-mengertianmu. Kau paham?”
“Tidak….”
“Baiklah. Aku bertanya padamu: kenapa kau terobsesi dengan sepasang mata yang kini menjelma sebagai diriku?”
Bongkot diam. Ia merasa tidak dapat segera menjawab. Hingga beberapa saat kemudian, kesedihan merona di wajahnya. Dan tak lama ia mulai terisak. Bongkot menangis. Ya!
“Duhai! Siapa pun kau adanya; dengarlah ratapan penyesalanku.”
“Kau menyesal?”
“Sungguh!”
“Mengapa?”
Karena aku punya pikir, tapi pikirku tak bermata. Karena aku punya hati, tapi hatiku tak bermata. Karena aku punya cinta, tapi cintaku tak bermata. Karena aku punya mata, tapi mataku tak ber-Ca haya.” [1]
“Kau termasuk orang yang tidak bersyukur.”
“Begitulah, Jelita. Dan kini, lihatlah butiran air mataku. Butiran air mata dari seorang lelaki pendosa. Lelaki yang telah menistakan dirinya sendiri dengan kegelapan matanya. Jelata hina dina yang menatap kefanaan penuh jumawa. Lelaki dhuafa yang sekarang mengemis-ngemis kemurahan Tuhannya. Bisakah aku datang pada-Nya dengan jiwa yang compang-camping ini?”
“Tuhan Maha Mengetahui.”
“O, Jelita! Lihatlah butiran air mataku. Ia terus mengalir, tak akan berhenti. Tak bakal berhenti. Sampai seluruh hasrat dan nafsuku tenggelam. Hingga jiwaku bening berkilau. Sebab hanya dalam air mata ini bebanku menjadi ringan. Dan aku merasa akan dapat bertemu Tuhan.”
Tuhan menerima taubat orang yang Dia kehendaki, Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [2]
“O, Jelita! Perkataanmu membuatku tenang. Aku merasa terlahir kembali. Mataku kini menjadi terang benderang. Aku dapat memandang semesta dengan penuh kasih sayang.Tuhan, di mana Engkau?!”
“Dia lebih dekat daripada urat lehermu!”
“O, Jelita! Tiada lagi yang kurindukan kini selain cinta-Nya. Cinta yang tumbuh dan berkembang di setiap jiwa makhluk dan benda-benda.  Cinta tak berperi. Cinta yang menjadikan aku kekasih-Nya.”
“Maka berbahagialah engkau.”
Belum sempat Bongkot kembali berkata, Sang Gadis tiba-tiba raib, lalu muncul pancaran sinar yang berkilau-kilauan. Sinar itu melingkar-lingkar bagai spiral memasuki mata Bongkot. Tubuh Bongkot bergetar. Tak lama kemudian Bongkot merasakan ada satu kekuatan yang begitu dahsyat membetot dirinya masuk ke dalam sinar yang berkilau-kilauan itu. Bongkot melayang. Melayang-layang. Berputar. Berputar-putar. Hanyut mengikuti lekukan lorong yang melingkar-lingkar bagai spiral. Terus melayang. Melayang-layang. Terus berputar. Berputar- putar. Melayang-layang dan berputar-putar.
Lalu saat sinar yang berkilau-kilauan dan melingkar-lingkar membetot dirinya berhenti, Bongkot mendapati dirinya kembali berada di jalanan dekat rumahnya. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi. Ia teringat akan sepasang mata itu.
Sepasang mata yang menyala dari seorang wanita yang wajahnya ditutupi cadar dan seluruh tubuhnya dibalut busana Muslimah. Sepasang mata yang memancarkan cahaya dengan indahnya. Sepasang mata dengan tatapan yang memesona. Sepa sang mata yang penuh misteri, dan karena itu memiliki daya tarik luar biasa. Bongkot membatin, “Betapa ingin aku menanamkan sepasang mata itu di wajah putriku tersayang.” Untuk Syana Salsabila Nanpermai.

Medinah-Bandarlampung,11/5-11/12. 2016

Catatan:
[1] petikan sajak Buku Harian Seorang Serdadu di Medan Perang (sit, 1991)
[2] Terjemah QS at-Taubah [9]: 27

SYAIFUL IRBA TANPAKA Lahir di Telukbetung, Bandar Lampung, 9 Desember 1961. Menggeluti dunia sastra sejak 1981.Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, cernak, esai, opini, dan artikel lainnya pernah diterbitkan di media nasional dan daerah.

Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive

Cerpen Aris Rahman (Koran Tempo, 01-02 Juli 2017)

Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.png
Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
(1)
Saat Dum masuk ke sebuah kafe sambil menodongkan sebuah pistol, para pengunjung di sana sebetulnya sedang dalam keadaan santai menikmati suasana malam Minggu yang syahdu. Di Meja 1 misalnya, kita bisa melihat di sana ada seorang pria bau tanah dengan kulit yang kisut dan telah mengendur di beberapa bagian, sedang duduk dengan seorang gadis seksi berpakaian serba minim yang usianya dapat kita perkirakan sekitar 21 tahun. Apa yang mungkin dapat kita pikirkan dari deskripsi semacam itu mengenai hubungan mereka? Tak perlu rasanya diperpanjang bahasan mengenai hal tersebut karena kita sekarang bisa melihat Dum telah berjalan menuju meja kasir sambil terus menodongkan pistol ke setiap orang yang dilihatnya. Seorang lelaki di Meja 2—yang berperawakan agak besar dengan luka codet di pelipisnya—berdiri dan sontak membuat Dum agak panik. Dum mengarahkan moncong pistolnya di hidung si lelaki sambil memegangi gagangnya dengan agak gemetaran.
“Kau sedang apa? Cepat duduk Bajingan!”
“Ada ide?”
“Ide apa, cepet duduk Anjing!”
“Aku sudah selesai makan, dan seperti selayaknya pengunjung yang baik, setelah selesai makan harus membayarnya. Atau kamu mau membayarnya?”
Dum melangkah lebih dekat, kali ini ia benar-benar telah mengarahkan moncong pistolnya tepat di dahi si lelaki dan bukan di hidung. Si lelaki, meski menyadari bahwa nyawanya sedang terancam, tampak sama sekali tak gemetar. Ia dapat menguasai dirinya dengan baik dan dalam waktu sepersekian detik, si lelaki menyambar pistol yang dipegang Dum. Ia kemudian melakukan sebuah gerakan menekuk pergelangan tangan Dum dan dengan tenaga yang sangat minimal, ia bisa membanting Dum hingga terjerembab ke meja. Kini si lelakilah yang menodongkan pistol ke batok kepala Dum.
Lelaki itu bisa kita sebut dengan nama Rak.
Rak meraih badan Dum dan menendang bagian belakang lutut sehingga kini Dum dalam posisi setengah duduk dengan lutut sebagai penyangga. Dum sedikit menangis, asal kalian tahu, ini adalah pengalaman pertama Dum melakukan suatu perampokan dan sialnya, ia langsung mendapati situasi yang mengenaskan di pengalamannya yang pertama ini.
“Kau tadi bilang apa? Bajingan ya kalau tidak salah?”
Tubuh Dum bergetar hebat. Rasa-rasanya sekarang ia ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya sambil pipis di celana jinsnya sebebas-bebasnya. Tapi dia menahan rasa kebelet itu sekuat tenaga sambil dengan agak merintih ia memohon ampun kepada Rak. Rak adalah seorang lelaki yang memiliki harga diri tinggi. Ia sudah berulang kali keluar-masuk penjara dan pada saat ini ia sedang ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa keberanian yang ada pada dirinya sama sekali tak berkurang sedikit pun. Rak, tanpa rasa ragu sedikit pun, menembak batok kepala Dum dan membuat lantai kafe penuh dengan cipratan darah.
Merasa tak cukup sampai di situ, si Rak, yang memang sedari tadi sangat terganggu dengan pemandangan yang dilihatnya di Meja 1, segera melangkah menuju ke meja tersebut dan lagi-lagi melesatkan sebutir peluru ke kepala seorang pria bau tanah yang dapat kita sebut dengan nama Hem. Hem seketika menggelepar dengan batok kepala bolong tertembus peluru. Si wanita menjerit. Rak tak peduli. Ia lekas melangkah keluar dari kafe dan menaruh selembar uang di atas mejanya.
Dum, berusia 21 tahun, seorang mahasiswa, tewas. Hem, 54 tahun, seorang pengusaha, tewas.
(2)
Rak menghentikan langkahnya setelah sekitar 600 meter berjalan meninggalkan kafe yang baru didatanginya. Ia kencing sebentar di pelataran sebuah rumah yang dijaga oleh seekor anjing penjaga. Si anjing langsung menyalaki Rak habis-habisan, tapi si Rak tampak makin bersemangat untuk menggoda anjing tersebut. Ia mengarahkan kencingnya tepat di muka si anjing dan itu membuat si anjing naik pitam. Dengan mengerahkan segenap tenaganya, si anjing bisa melepaskan diri dari tali kekang, melewati celah pagar yang kebetulan sedikit longgar, dan dengan ketangkasan yang luar biasa segera menggigit penis Rak. Rak, yang meski adalah seorang lelaki pemberani tulen dan berkali-kali telah mendekam di penjara karena mencari masalah dengan orang-orang yang sering dianggapnya biadab, seketika berteriak sekencang-kencangnya menyadari harta paling berharganya kini telah raib dari tempat yang seharusnya. Rak berguling-guling di jalanan sambil terus berteriak kesakitan dan pistol yang ada di sakunya jatuh ke jalan dan lekas diambil oleh si anjing dengan cara menggigit gagangnya.
Si anjing bisa kita sebut dengan nama Rem.
Rem membawa pistol itu ke dalam rumah. Rak berguling-guling sambil berteriak-teriak dan segera memancing masyarakat yang tinggal di sekitar keluar dari rumah mereka sambil membawa tongkat bisbol.
Sekarang pukul 1 dini hari dan siapapun yang mengganggu di jam-jam tidur ini, mesti diberi pelajaran.
Rak, 24 tahun, menderita luka lebam dan kehilangan harta yang paling penting dalam hidupnya.
(3)
Rem menaruh pistol itu di dalam keranjang mainan. Ia rebahan di atas sebuah karpet beludru berwarna merah, tepat di sebelah kasur anak majikannya yang usianya masih balita. Sekitar beberapa menit setelahnya, si anak balita bangun dan berjalan menuju keranjang mainan. Si anak balita melihat Rem telah terlelap, ia berniat mengerjai Rem dengan salah satu mainannya. Mainan apa ya yang cocok? Kurang lebih begitu barangkali apa yang tengah dipikirkan oleh si anak balita.
Ia lantas memutuskan untuk mengambil tiga benda; mobil-mobilan, robot-robotan dan pistol. Si anak balita terdiam sejenak, menimbang-nimbang manakah mainan yang mesti ia gunakan untuk mengerjai Rem. Tapi dalam beberapa detik kemudian ia merasa sudah mantap memilih pistol sebagai pilihan terbaiknya.
Pistol itu terasa agak berat, lebih berat ketimbang yang biasa ia gunakan untuk bermain. Bahkan untuk menarik pelatuknya saja, ia mesti menggunakan dua jarinya dengan susah payah sampai berhasil. Meski terasa berbeda, ia tetap saja sudah terlatih menggunakan pistol karena ia sudah memiliki pengalaman cukup banyak untuk bermain pistol-pistolan dengan pistol mainan yang memang dibuat semirip mungkin dengan yang asli.
Selanjutnya, seperti yang dapat kita terka, si anak balita mengarahkan moncong pistol ke badan Rem. Melesatlah sebutir peluru menembus anjing berbadan ceking dengan bulu-bulu putihnya yang lembut itu. Si anak balita amat terkejut melihat apa yang baru saja terjadi. Ia bengong lama, dan setelah itu berteriak sambil merengek dengan suara keras dan membuat papa dan mamanya tergesa-gesa menghampirinya.
“Apa yang terjadi ini, Ma?”
“Ya, mana tahu, Pa. Coba tanya saja sendiri sama anak kita.”
“Kamu gila, Ma?”
“Kamu yang gila, Pa. Makanya, anak itu ya diperhatikan dengan baik.”
“Maksudmu apa? Kamu kan mamanya! Ya harusnya kamu yang ngurus, kok bisa-bisanya nyalahin aku.”
“Kamu pikir aku gak capek, Pa, kerja dari pagi sampai malam? Jadi suami yang pengertian sedikit dong. Lagian yang beli rumah ini aku, yang beli perabotan aku. Kamu lupa, Pa? Kerjaanmu gak cukup untuk biaya hidup kalau aku juga gak kerja.”
Si papa naik pitam. Ia menyambar pistol yang masih digenggam anaknya dan menembak si mama dan anaknya dengan gelap mata.
Dor. Dor.
Si papa—yang memiliki nama asli Wiw—lalu mengarahkan moncong pistol ke mulutnya dan dengan perasaan kalut, segera menarik pelatuk. Sayangnya, peluru sudah habis. Ia gagal membunuh dirinya sendiri.
Di depan jasad anak dan istrinya, ia menangis sekencang-kencangnya.
Meh, 4 bulan, seorang anak yang masih polos, meninggal. Tek, 23 tahun, seorang wanita pegawai dinas perpajakan, meninggal.
(4)
Tetangga Wiw menelpon polisi setelah mendengar suara tembakan. Saat terjadi kegaduhan tersebut, si tetangga ini sedang pulas-pulasnya tidur bersama selingkuhannya, sampai akhirnya suara tembakan membangunkan mereka berdua. Karena rasa kesal itulah, ia memutuskan langsung menelpon polisi tanpa merasa perlu mengecek lebih dahulu apa yang terjadi sesungguhnya di sana.
Sekitar setengah jam setelahnya, terdengar suara sirene mobil polisi datang. Tetangga Wiw yang merasa lega segera melanjutkan kegiatan mencumbu selingkuhannya lagi.
Ternyata hanya ada satu polisi yang datang ke kediaman Wiw. Si polisi ini—yang memiliki rambut cepak dan dengan badan yang proporsional—lekas turun dari mobil dan menerobos masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak terkunci. Di pelataran rumah ia bisa melihat dengan jelas ada bekas darah dan sepotong penis tergeletak begitu saja seperti sepotong sosis goreng dengan saus tomat.
Ini adalah pertanda yang tidak baik, pikirnya.
Dengan keberanian sebagai seorang penegak keadilan ia dengan tangkas masuk ke rumah dan mulai menyiapkan sebuah pistol untuk mengantisipasi hal-hal yang tak terduga. Ia sadar sedang berhadapan dengan seorang pembunuh sadis sekaligus psikopat berdarah dingin dan ia tak boleh melakukan kesalahan ataupun lengah sedetik pun. Selama di akademi, ia sering dilatih untuk menangani situasi semacam ini dan ini adalah pertama kalinya ia berkesempatan untuk mempraktikannya sendiri, dengan tanpa teriakan atau sumpah serapah dari pelatihnya.
Pertama yang harus dilakukan adalah berada dalam kondisi siaga. Ia mengacungkan pistol dan melangkahkan kakinya dengan hati-hati juga tak lupa memasang kuda-kuda yang sempurna. Ia mulai membuka pintu dengan tangan kanan sambil tangan kirinya tetap memegang pistol. Saat pintu telah sedikit terbuka, si polisi begitu terkejut melihat Wiw yang sedang berdiri di depan pintu sambil menodongkan pistol ke arahnya. Secara refleks, si polisi melesatkan peluru ke jantung Wiw karena merasa nyawanya sedang terancam.
Ini tindakan yang tepat batinnya.
Membunuh seorang psikopat akan membuat karirnya naik dan ini berarti ia akan berpeluang mendapat kenaikan pangkat. Kekasihnya pasti senang sekali mendengar kabar semacam ini.
Wiw, 25 tahun, seorang penulis, meninggal dengan segenap kehormatannya sebagai seorang lelaki yang terenggut.
(5)
“Apa-apaan kau? Mengapa kau di sini? Dan siapa lelaki ini?”
“Heh, jawab, Jalang!”
“Memangnya kenapa? Apa urusanmu?”
“Apa urusanku? Aku yang sebentar lagi melamarmu, Bajingan!”
“Hei, hei hei, sebentar, Kawan. Seorang lelaki sejati tak membentak-bentak wanita. Apa kau tidak malu dengan seragammu?”
“Bajingan!”

“Kalian berhenti tolong plis! Kalian plis berhentilah… tolong… berhenti…”
Dor. Dor. Dor.

Seorang lelaki masuk ke dalam sebuah rumah. Di sana ia melihat ada tiga jasad teronggok begitu saja di lantai. Ia tak ambil pusing dengan jasad itu, ia bahkan tak peduli dengan penyebab mengapa ketiga orang itu mati sedemikian rupa. Si lelaki hanya berjalan dengan mantap menuju jasad seorang lelaki berseragam polisi dan mengambil sebuah pistol yang jatuh di dekat tubuh si polisi itu.
Si lelaki itu, seperti yang kita tahu, kelak akan membawa pistol itu ke sebuah kafe, dan kita juga tahu bahwa ia memiliki nama yang agak aneh, yakni Dum. *
Aris Rahman, lahir di Sidoarjo, 12 Juli 1995. Mahasiswa Universitas Airlangga Jurusan Antropologi. Cerpennya, berjudul Seekor Kuda Melesat di Angkasa dan Rekaman-Rekaman yang Diselamatkan oleh Tuhan, terpilih masuk cerpen pilihan UNSA 2015 dan Kampus Fiksi Emas 2017.

Lima Kisah Mimpi Kanak-kanak

Cerpen Gus tf Sakai (Koran Tempo, 08-09 Juli 2017)
Lima Kisah Mimpi Kanak ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo
Lima Kisah Mimpi Kanak ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Satu, tentang Hoja
Jauh di kedalaman tidur, mimpi kanak-kanakmu melekap, melekat, tak mau berpisah dari kisah-kisah masa lalu yang kelak enggan kau ingat. Maka, mimpi kanak-kanak itu pun berpegang bergelantungan pada lengan Hoja, memaksa lelaki dari Akshehir itu tak balik pulang ke dunia nyata.
Tetapi Hoja, yang di dunia nyata memang kau kenal sebagai tukang cerita, seperti biasa, lugu berkata, “Lalu eh, bila selamanya aku berada dalam mimpimu, bagaimana aku bisa dikenal sebagai Nasruddin?”
Kau pun tertegun, terdiam, tak bisa membantah Hoja. Maka, dengan perasaan kesal luar biasa, engkau, engkau kanak-kanak itu, memutuskan untuk memilih hanya seratus dari lebih seribu kisah. Pekerjaan tak mudah. Berbulan-bulan, bertahun-tahun, “si seratus” akhirnya terpilih; dan engkau pun remaja.
Saat kembali membaca “si seratus”, tak mudah bagi engkau remaja untuk menerima keseratus kisah itu dan memutuskan untuk memilih hanya sepuluh. Pekerjaan yang tambah tak mudah. Berbulan-bulan, bertahun-tahun, “si sepuluh” akhirnya terpilih; dan engkau pun dewasa.
Saat kembali membaca “si sepuluh”, tak mudah bagi kau dewasa untuk menerima kesepuluh kisah itu, dan memutuskan untuk memilih satu. Pekerjaan yang tambah-tambah tak mudah. Berbulan-bulan, bertahun-tahun, “si satu” belum juga terpilih. Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, “si satu” masih tetap belum terpilih.
Dan kau tiba-tiba sadar: telah tua. Dan, tak kalah kesal dibanding ketika kau kanak-kanak dulu, engkau tua pun tak peduli. Dan lalu melupakan. Ditulis atau tidak, dikisahkan atau tidak, terserah Hoja.
Dua, tentang Gravitasi
Empat belas tahun setelah Einstein meninggal, partikel subatomik ternyata masih bisa dibagi menjadi Kuark dan Gluon. Dalam mimpi kanak-kanakmu, kau melihat Einstein kecil duduk menunggang Gluon, menggesek biola dengan kompas kantung diikatkan tergantung di leher biola.
Senarnya, tali gravitasi itu, bergetar, menggema halus ke lorong telinga. Gluon terus berputar mengelilingi Kuark. Di lapis luar, Elektron terus berputar mengelilingi Kuark dan Gluon. Semua berputar, semakin besar. Gravitasi menjulur, semakin lebar.
Dalam mimpi kanak-kanakmu itu engkau tertidur. Dan lalu terbangun dalam skema ini: Engkau, bersama Einstein, duduk menunggangi “sesuatu” berputar mengelilingi Bumi. Terus berputar. Di lapis luar, “sesuatu” bersama Bumi terus berputar mengililingi Matahari. Terus berputar.
Di lapis luarnya lagi, “sesuatu” dan Matahari terus berputar mengelilingi Bimasakti. Terus berputar. Di lapis luar-luarnya lagi, “sesuatu” dan Bimasakti terus berputar mengelilingi gugus galaksi. Terus berputar. Di lapis luar-luar-luarnya lagi, “sesuatu” dan gugus galaksi terus berputar mengelilingi … ah, tali gravitasi itu, getar yang semula halus mengelus telinga, perlahan meninggi, terus meninggi, dan lalu menghentak, nyaring, lengking, memekak bagai memecah gendang telinga. Semua gemetar.
Dengan mata kepala sendiri, engkau melihat jarum kompas kantung yang tergantung di leher biola Einstein seperti menggigil, lalu bergerak kacau tak tentu arah. Di satu titik, kompas itu meledak, hancur, bersama Einstein, bersama dirimu-bersama semesta, bersama mimpimu, dan lalu terbangun dalam mimpi kanak-kanak itu. Mimpi kanak-kanak yang, saat kau terbangun, kembali melihat Einstein kecil menggesek biola menunggang Gluon.
Tiga, tentang Kotak Mainan
Pada malam orang bernama Ibnu Rusyd itu pertama masuk ke mimpi kanak-kanakmu, siangnya ada dua pertanyaan yang dimasukkan Ibu ke kotak mainan. Pertanyaan pertama: Bagaimana kau bisa percaya kepada orang yang mempercayai kebenaran, tanpa orang itu pernah mencarinya? Pertanyaan kedua: Kau gunakan ukuran-ukuran sendiri untuk hidupmu, tidakkah itu juga berarti ada ukuran-ukuran lain untuk kehidupan lain?
Maka begitulah, semua mulai tampak jelas. Semua kini, setelah kau jadi seorang kadi sama seperti orang berjenggot-berjambang dalam mimpi kanak-kanak itu, satu demi satu, lapis demi lapis, mulai terkelupas. Kupas pertama: bentuk tidak sama dengan isi. Kupas kedua: isi tidak serta-merta menunjukkan inti. Kupas ketiga: inti tidak muncul berupa wujud, melainkan maujud. Kupas keempat: tersebab maujud, semua adalah gerak. Kupas kelima: gerak adalah kadim. Kupas keenam … ah jangan, cukup dulu.
Bagaimana kau bisa sampai kepada kadim, pada saat kau hanya seorang kadi? Maka kau lalu surut ke kupas keempat dan, saat kali kedua orang berjenggot-berjambang itu masuk ke mimpi kanak-kanakmu, engkau melihat dirimu yang bocah dalam pemandangan ini: setiap ditatah dituntun Ibu mengajar cara berjalan, engkau merenggut menarik melepaskan tangan kembali tengkurap menghela perut-bergerak melata seperti ular.
Pikirmu, toh engkau telah bergerak. Riangmu, toh engkau telah beranjak. Gerak yang tak kalah cepat, dan bahkan sangat cepat, jauh lebih cepat dibandingkan gerak manusia yang berdiri berlari dengan kedua kaki. Begitulah engkau terus bergerak. Begitulah engkau menyangka terus beranjak.
Dan sialnya, si orang berjenggot-berjambang dalam mimpi kanak-kanakmu itu, di matamu, juga tampak bergerak seperti ular. Ular besar. Ular sangat besar yang, seperti kelak siapa pun tahu, memagut membelit dunia-menghubungkan Yunani dengan Eropa.
Tetapi untunglah ada makhluk itu, makhluk yang seumur-umur tak pernah berjenggot-berjambang; makhluk yang suka memasukkan pertanyaan-pertanyaan rumit ke kotak mainanmu; makhluk yang selalu menjagamu bahkan pada saat kau sedang tidur dan, tentu saja, tahu bahwa kau tengah terjebak terperangkap dalam mimpi kanak-kanak yang buruk.
Dan ia pun lalu membangunkanmu: menjulurkan tangan, tak bosan, mengajak belajar berjalan. Dan engkau lalu jadi ingat, pada malam orang bernama Ibnu Rusyd itu kali kedua masuk ke mimpi kanak-kanakmu, siangnya ada salah satu dari pertanyaan itu kembali dimasukkan Ibu ke kotak mainan. Pertanyaan itu: Kaugunakan ukuran-ukuran sendiri untuk hidupmu, tidakkah itu juga berarti ada ukuran-ukuran lain untuk kehidupan lain?
Empat, tentang Jalan Utama
Tak ada satu perasaan pun yang benar-benar bisa engkau rasakan dalam semua mimpi kanak-kanakmu. Riang hanya semacam getaran, sedih seolah hanya denyutan, dan cemas tak lebih cuma letupan. Tetapi, untuk mimpi kanak-kanak yang satu itu, apa yang kau rasakan tak pernah bisa engkau lupakan. Tak getar, tak denyut, dan jauh dari letupan, engkau bagai tenggelam bagai megap-megap dalam genangan.
“Genangan duka,” begitu orang itu berkata; orang yang seperti tak pergi-pergi. Atau yang seolah pergi tetapi selalu dan selalu kembali di sela-sela. Atau di antara mimpi-mimpi kanak-kanak lain yang bahkan mimpi tentang apa atau tengah bertemu dengan siapa pun kau tak lagi ingat sama sekali.
Orang itu, si “genangan duka” itu, di luar mimpi kau kenal sebagai seorang pangeran. Tetapi yang dalam mimpi kanak-kanakmu tak lain ialah seorang miskin, seorang jelata, seorang papa, yang menggigil dan jatuh demam hanya karena “empat penampakan”.
Empat penampakan itu, di luar mimpi kanak-kanakmu, dalam dunia nyata, adalah sesuatu yang sungguh sangat biasa: seorang tua, orang sakit, sesosok mayat, dan orang suci. Tetapi, dalam mimpi kanak-kanakmu itu, entah kenapa pula, engkau lalu menangis, meraung-raung, terbangun, tidur dan mimpi lagi, menangis lagi, meraung-raung lagi, tidur lagi, mimpi lagi, menangis lagi meraung-raung lagi …
Bahkan terus menangis, terus meraung-raung, pada mimpi di mana orang itu menjelma jadi sosok entah siapa yang bukan dirinya. Bahkan terus menangis meraung-raung pada mimpi di mana orang itu menjelma jadi sosok entah siapa yang diciptakan orang-orang ribuan tahun lalu. Sosok yang menguasai daratan, menguasai lautan, yang memisahkan bumi dari sorga; sosok teragung, adi-insani, yang menjaga kesuburan, kehidupan kekal, menguasai dunia orang mati, penyelamat segala mara segala bahaya, penyembuh segala yang sakit.
Engkau tetap tahu dan bisa mengenali sosok itu seperti apa pun ia beralih rupa, tak lain, karena batu tapakan di kedua kakinya. Batu tapakan itu selalu ada, tak lain pula, karena bila kakinya langsung menjejak mencecah sesuatu, maka segala atau setiap apa pun yang dijejak dicecah itu akan hancur-menjelma jadi debu.
Dan di suatu mimpi kanak-kanak lain, seperti orang itu, kau pun jatuh demam. Bukan karena “empat penampakan”, melainkan karena apa yang disebut orang itu sebagai “jalan utama berunsur delapan”.
Tetapi begitulah, setelah kau masuk ke jalan itu, sebuah jalan tua yang sudah terbentang sejak ribuan tahun lalu; setelah kau mengenal delapan unsur itu, unsur yang jauh lebih tua dari segala unsur kimia dan segenap turunannya di sekolah remajamu, engkau pun lalu sembuh. Dan bukan hanya sembuh. Karena, setelahnya pula, kau tak menangis lagi. Tak menangis lagi tak meraung-raung lagi.
Lima, tentang Godaan
Di luar semua hal aneh dan mengherankan, apakah yang paling tak masuk akal dari mimpi kanak-kanakmu? Sebelum mengabaikan atau tergoda untuk tak memberikan jawaban, engkau berkata: masuklah ke dalam mimpiku, maka pertanyaan itu akan hilang dari kepalamu. Atau: berdirilah kau di sini, di tempatku berdiri, karena pertanyaan itu lahir di sana, di tempat engkau berada.
Dan begitulah semua tak bisa dilihat dari masuk akal atau tidak. Apa yang ada di dunia nyata, bisa menjelma jadi tak ada, atau sebaliknya. Apa yang kau sebut mimpi kanak-kanak, bisa jadi adalah mimpi dewasa, atau, jangan-jangan, sebenarnya, adalah mimpi tanpa usia.
Maka begitulah, dalam suatu mimpi kanak-kanakmu, kau lihat orang yang bernama Hawking itu, dengan wajah sangat polos seperti kanak-kanak, ataukah sebenarnya sangat serius seperti orang dewasa, enteng berkata, “Kita, akhirnya, menemukan sesuatu yang tidak memiliki penyebab karena tak ada waktu untuk suatu penyebab berada di dalamnya.”
Kita, akhirnya, menemukan sesuatu yang tak masuk akal karena tidak ada waktu untuk sesuatu yang masuk akal berada di dalamnya. Sangat sederhana.

Gus tf Sakai lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatera Barat. Buku kumpulan cerpennya antara lain Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (2004) meraih SEA Write Award dari Kerajaan Thailand dan Perantau (2007) meraih Khatulistiwa Literary Award. Ia juga dikenal sebagai penyair.

Sekuntum Melati Ibu

Cerpen Miranda Seftiana (Kompas, 09 Juli 2017)
Sekuntum Melati Ibu ilustrasi M Dwi Pradipta - Kompas.jpg
Sekuntum Melati Ibu ilustrasi M Dwi Pradipta/Kompas
Aku mengenal ibu sebagai perempuan yang ceria. Dia sering tertawa, meski aku tidak benar-benar mampu mengeja apakah karena gemar saja atau dia memang sedang bahagia. Satu hal yang pasti, banyak lelucon yang sedatar papan sekali pun mampu memantik gelaknya. Persis seperti bocah usia di bawah lima tahun yang menganggap anjing tercebur ke kubangan lumpur bukan sebagai masalah, melainkan ajang bermain air dan sabun. Pekerjaan menyebalkan bagi sebagian orang dewasa karena mesti mengulang aktivitas yang sama padahal bisa dilakukan sekali saja dalam seminggu.
Tapi aku suka ibu. Suka melihat sudut bibirnya yang tertarik nyaris mencapai tulang pipi. Suka melihat retinanya yang coklat mengembun seperti daun ketika pagi hari. Segalanya lebih menarik. Tentu. Daripada kau melihat sepasang bahu yang berguncang atau lima jari yang membekap mulut dengan rapat. Aku tidak suka itu dan mungkin ibu juga begitu.
“Kana, ambilkan arang dan sekam!” suara Ibu merambati udara. Beradu deru mesin alkon yang melewati sungai Pangambangan di belakang rumah kami.
Aku yang sedang memandangi buah-buah rambutan bergegas menuju teras. Di sudut tempat yang menjadi transisi antara pekarangan dan pintu rumah tergeletak sekarung kulit padi yang telah menghitam, juga beberapa bungkus arang yang biasa digunakan untuk membakar ayam atau ikan. Ibu meletakkan di sana, di tempat teduh oleh bayangan dahan belimbing wuluh. Sengaja katanya, agar tidak mengganggu estetika. Karena menurut kepercayaan ibu, sesuatu yang kotor mesti dirahasiakan sebagaimana yang dilakukan Tuhan terhadap kesalahan manusia.
Aku tidak berani membantah. Sepanjang hidup pun tak pernah menganggap ibu salah, terlebih jika sudah melibatkan Tuhan. Bapak juga begitu. Dia tidak suka mendebat ibu. Paling tidak, demikianlah yang kutahu sepanjang kebersamaan mereka sebagai orangtua. Meski dalam kesehariannya, lelaki dengan kumis melintang di antara hidung dan katup teratas bibir itu berbeda minat dengan ibu.
Bapak lebih suka tanaman yang bisa dimakan, terlepas dalam kondisi mentah atau setelah diolah. Oleh karena itu, di halaman ini kalian bisa melihat perbedaan keduanya yang kentara. Jika ibu memilih menanam sepasang bunga kertas, putih dan merah sebagai gerbang, maka bapak memilih menanam mangga di halaman depan. Bila ibu lebih suka menumbuhkan bunga sri gading untuk mengawetkan pupur basah—bedak berbahan tepung beras dan air—yang biasa dipakainya tatkala menjajakan kembang barenteng dengan jukung hawaian, maka bapak condong menanam sepohon belimbing wuluh di seberangnya.
Bapak suka menyantap ikan goreng, pepes, dan bakar dengan belimbing wuluh yang dicampur irisan cabai serta bawang merah. Lantaran demikian, hampir tak sekalipun buah bercitarasa asam sepat itu sempat menghujam tanah. Bapak akan lebih dulu memetiknya tak lama setelah bakal bunga menjelma buah. Ia akan menyusunnya ke dalam toples kaca, menyiram dengan larutan garam, lalu menyimpan di rak gantung sekitar dapur. Sepanjang tahun kalian bisa melihat deretan toples kaca berisi belimbing wuluh lunak dan berwarna kecoklatan. Bapak suka itu, ia tidak pernah bosan, tak mau digantikan. Kami menyebutnya jaruk balimbing tunjuk.
Selain belimbing wuluh, bapak juga menaruh perhatian istimewa pada pohon rambutannya. Sekali dalam seminggu ia akan memupuk akar rambutan yang menyembul ke permukaan dengan gula. Setiap pagi, sesuai menyesap teh panas buatan ibu, ia akan menyiramkan sisanya ke pokok rambutan itu. Kupikir tidak bisa benar-benar disebut sisa, sebab bapak seperti sengaja menyisihkan tehnya lebih banyak untuk akar rambutan. Pada masa berbunga, bapak akan lebih sering melakukannya.
Ibu tidak pernah keberatan gula sakarnya berkurang setengah kilo setiap minggu. Seperti bapak yang juga tidak pernah marah simpanan arang untuk membakar dan memepes ikan berkurang demi anggrek milik ibu. Sudah kukatakan, mereka nyaris alpa dari berbantahan.
***
Bapak tidak suka bunga. Aku tahu. Ibu tentu lebih tahu. Tapi bapak adalah lelaki manis seumpama rambutan jenis batukan yang tumbuh di pekarangan kami. Konon menurut cerita bapak, rambutan ini tidak bisa dipisahkan daging buah dan bijinya. Kalian hanya bisa menikmati dengan cara mengemut hingga rasa manisnya menyisakan hambar. Meski seperti tebu, rambutan ini tidak boleh terlalu banyak disantap karena bisa menyebabkan batuk. Bisa jadi inilah muasal nama batukan yang disematkan pada jenisnya.
Manisnya bapak bukan dengan kata cinta. Seumur kebersamaan dengan mereka, aku tidak pernah mendapati keduanya bertukar panggilan sayang, jelingan menggoda pun tidak. Ya, paling tidak, itulah yang kudapati dari teras hingga dapur. Selebihnya barangkali menjadi rahasia yang disimpan berdua oleh bapak dan ibu.
“Kenapa Ibu memanggil Bapak dengan sebutan Bapaknya Kana, bukan kanda atau sejenisnya?” usutku suatu waktu.
Ibu sedang merangkai kuntum melati dan kelopak mawar dengan sebuah jarum dan benang dari serat pelepah pisang ketika aku bertanya begitu. Maka dilepaskan segala kegiatan ke atas sebuah talam—nampan berbahan kuningan. Ibu menatapku lama, tersenyum sesamar benang serat pelepah pisang.
“Itu cara menyapa pasangan yang dicontohkan Penghulu Zaman,” ucap Ibu lalu kembali menusuk kuntum melati dengan jarum yang tajam. Aku meringis ngilu menyaksikannya, terlebih saat giliran kelopak mawar yang lubangnya kentara.
“Bu, ini kembang barenteng ya?”
Dia menggeleng kecil. “Ini kembang nagasari.”
“Bukankah kembang nagasari semestinya menggunakan melati yang masih kuncup?”
Tunjukku pada kuntum-kuntum semerbak yang telah mekar sempurna. “Kalau begini lebih mirip kembang barenteng untuk ziarah.”
Ibu tidak menyahut, ia hanya memandangiku dengan nanar. Aku balik menatap mata ibu, menelusuri kebohongan dari retina secoklat air rawa. Tidak ada dusta di sana. Hanya rahasia yang terlampau dalam untuk diselam.
***
Senampan ketan berhias nanas merah yang dibentuk bagai kepala merak telah tersaji di depan pelaminan yang berhias arguci. Di sekeliling ketan itu terselip daun pisang yang dilipat kerucut. Lalu di atas ketan putih yang dimasak dengan santan berderet-deret irisan telur dadar tipis membentuk gelombang. Kami menyebutnya lakatan hadap-hadap. Sajian wajib di hari pernikahan perempuan Banjar.
Pada kiri dan kanan pelaminan berdiri kambang sarai—hiasan kertas berwarna-warni yang dililit ke lidi—yang ditancap pada vas kuningan. Kuning, merah, dan hijau menjadi warna dominan. Kuning bermakna sakral, merah terselip makna kejujuran, sedangkan hijau berarti sejuk. Itu kata pahiasan—perias pengantin tradisional Banjar—yang kini sedang berusaha menyematkan kembang nagasari pada galung. Bunga ini istimewa, dikumpulkan oleh bapak dan dirangkai oleh ibu.
“Beruntungnya suamimu, jujuran sapambari tapi mendapat melati yang masih kuncup,” komentar pahiasan sembari mengangkat surai nagasari.
“Memang ada apa dengan melati yang masih kuncup?”
Perempuan jelmaan yang menuju senja itu menepuk kedua pundakku. Dia menunduk, kami bertatapan sesaat di pantulan cermin meja rias yang dihadiahkan calon suamiku sebagai tanda kesanggupannya memenuhi syarat antaran tikar kalambu; mengisi kamar mempelai wanita dari teras hingga langit-langitnya.
“Melati yang kuncup pertanda kau masih dara,” bisiknya membuat rambut halus di sekujur tengkukku meremang.
Mataku memicing tajam ke sudut dinding kamar. Di sana, foto pernikahan bapak dan ibu terpajang, belum dipindahkan ketika pahiasan meminta kamar mereka menjadi kamar pengantin. Sebab ukuran kamarku yang sempit untuk tukang rias dan perlengkapannya masuk. Mendadak anganku berterbangan.
Melati pada surai nagasari ibu yang telah mekar, akta kelahiranku yang hanya memuat satu nama orangtua, ibu yang lebih suka menyatukan kelopak bunga yang telah tercerabut dari kuntum, bapak yang sering mengumpulkan bunga ranggas tapi sejujurnya lebih suka menumbuhkan taman yang bisa ia makan. Aku sadar sekarang, mereka bukan selalu sepaham, melainkan hampir tak pernah bercakap kecuali perihal anak. Adakah seluruhnya kembang barenteng ibu; rangkaian bunga yang dibawa orang berduka pada pemakaman orang tercinta?

Miranda Seftiana, lahir di Hulu Sungai Selatan. Menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Buku tunggalnya berjudul Senandung Cinta untuk Bunda (Leutika Prio, 2011). Karyanya berjudul Sebatang Lengkeng yang Bercerita terhimpun dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2015.