Daftar Blog Saya

Minggu, 08 Oktober 2017

Tato Titi

Cerpen Eko Setyawan (Koran Tempo, 30 September 2017-01 Oktober 2017)
Tato Titi ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo.jpg
Tato Titi ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
DI sekujur tubuh Titi penuh dengan tato yang beraneka ragam. Ada berbagai gambar hewan, bunga, serta gambar-gambar lain yang hampir tidak bisa dikenali lagi karena banyaknya tato yang berjubel di sana. Titi sendiri bahagia dengan tato-tato itu. Sebab, dalam setiap tato yang digambarkan selalu memiliki kenangan yang selalu ia ingat, meskipun ia tidak bisa melihat beberapa tato seperti yang berada di tengkuk, bahu, pinggul, juga tato-tato yang ada di bagian yang tak terjangkau oleh matanya.
Sejak kecil Titi sudah akrab dengan tato, ia mengingat-ingat benar kapan pertama kali di tubuhnya digambari dengan alat pembuat tato itu, ditetak perlahan dan ia menjerit kesakitan hingga pingsan. Tato pertama Titi dibuat ketika ibunya mati. Ayahnya yang memaksa Titi untuk membuat tato itu dengan alasan agar bisa mengingat dan tidak merasakan kehilangan seorang ibu ketika melihat tato di tubuh Titi. Di dada kirinya digambar dengan kelopak bunga mawar yang masih kuncup. Ayah berpesan bahwa mawar itu tak boleh mekar sebelum waktunya. Dan mawar yang masih kuncup itu melambangkan kelahiran ibunya yang telah mati.
“Kenapa ayah ingin tubuhku ditato?” tanya Titi pada ayahnya ketika pertama kali mendengar keinginan aneh itu.
“Agar kau selalu merasa sedang dipeluk ibumu, serta ayah bisa melihat ibumu sewaktu-waktu,” jawab ayah dengan begitu meyakinkan.

TATO bergambar kelelawar di perutnya adalah tato yang paling disukai Titi. Tato itu digambar oleh seseorang yang pertama muncul dalam mimpinya. Sebelumnya ia tak pernah bermimpi. Dan mimpi itu adalah untuk yang pertama kalinya didapat. Bermula dari kekaguman Titi pada kelelawar yang terpengkur di langit-langit rumah ketika siang hari, tetapi tiba-tiba menghilang berkelebat pada suatu petang. Ia memimpikan bertemu seseorang yang bisa menato wujud kelelawar serupa dengan apa yang ia lihat di langit-langit rumahnya. Lengkap dengan ornamen genting, kayu, juga tembok yang menopang. Ia mencari-cari orang yang muncul dalam mimpinya hingga ke segala penjuru. Mulai dari terminal bus, pasar, penjara, hingga tempat-tempat orang-orang berandalan berkumpul. Semuanya sia-sia belaka.
Segala hal untuk menemukan orang dalam mimpinya terus dilakukan. Hingga suatu ketika ia merasa beruntung karena orang yang dicarinya selama ini menghampirinya. Tanpa tanda-tanda apa pun. Tiba-tiba bertemu. Titi kaget bukan kepalang, sekaligus bahagia yang tak tertahankan.
Laki-laki itu berambut gondrong, bertampang garang, dan sedikit lebih tua dari umurnya. Di tangan kirinya ada tato ular yang melilit dahan, ada tato mirip film kartun Donald Bebek, ada daun-daun yang rimbun, juga ada tato tulisan nama seseorang tetapi sudah nampak pudar, atau mungkin memang sengaja dihilangkan. Di lehernya ada tato rantai, sayap burung, serta gambar tangan yang mencengkeram. Nampaknya ia juga menyukai tato, serupa Titi.
“Kukira aku tak akan salah orang lagi,” laki-laki itu memulai pembicaraan dengan Titi.
“Ya, kau benar kali ini,” Titi meyakinkan diri.
“Aku beberapa kali menemuimu dalam mimpiku, kurasa kau pun begitu jika kulihat dari ekspresimu yang tak kaget sedikit pun dengan ucapanku.”
“Tentu, kita telah bertemu dalam mimpi kita masing-masing, dengan cara yang sama, dengan percakapan yang sama.”
Mereka tahu bahwa pertemuan mereka adalah untuk menggambarkan tato di tubuh Titi. Laki-laki itu tukang tato, berasal dari pedalaman pulau terbesar di Indonesia. Kemampuannya tentu tidak perlu diragukan lagi, dan Titi percaya akan hal itu. Bahwa kelelawar yang ia lihat setiap hari di langit-langit rumah itu harus segera digambarkan. Ia ingin mengingat ayahnya yang hilang di tahun-tahun pembantaian. Titi ingin mengingat ayahnya, dan dengan biasanya, ia akan mengabadikannya dalam tubuh.
Titi kehilangan ayahnya pada tahun-tahun pembantaian orang-orang yang dilakukan secara acak. Tanpa putusan dari pengadilan, diadili dengan cara sadis dan setelahnya tidak bisa ditemui. Ayahnya terlibat dalam kelompok yang dicap pemberontak itu. Ayah titi seorang pelukis, melukis hal apa pun yang ia sukai. Melukis apa pun yang disukai oleh Titi. Tapi sial, ketika bergabung dengan para pemain ludruk dan melukis mereka, ada kerumunan orang yang sudah jauh-jauh hari mengincar para pemain ludruk itu. Katanya ludruk telah dilarang, orang-orangnya harus ditumpas sesegera mungkin. Di Ibu Kota, beberapa hari yang lalu, jenderal-jenderal dibunuh dengan keji, dan pembunuhnya adalah atasan organisasi orang-orang ludruk. Sehingga para pemain ludruk terseret dalam ombak itu. Ayah titi tidak kembali lagi setelah peristiwa itu.
Tak perlu waktu lama untuk membuat tato kelelawar di tubuh Titi. Laki-laki itu sudah pengalaman, dan Titi sudah kebal dengan rasa sakit dalam membuat tato. Kelelawar lengkap dengan langit-langit rumah. Titi merasa bahwa ayahnya masih bersamanya, menjelma kelelawar dalam perutnya. Kelelawar dengan kepala terbalik. Karena Titi merasa bahwa ayahnya tidak salah apalagi terlibat, hanya menjadi korban dalam tahun-tahun pembantaian itu.

MEREKA berdua menikah. Tak butuh pemikiran yang sulit dalam menentukan pilihan itu. Mereka cocok, dan tak mungkin bisa mengelak. Laki-laki itu beberapa waktu yang lalu mengikuti ajang pencarian bakat di televisi nasional. Akan ada pemilihan artis yang akan mengisi acara ketoprak. Ia memiliki bakat dalam dunia peran, karena sebelumnya telah berkegiatan di seni teater dan berkumpul bersama beberapa seniman. Tapi tentu saja tidak terpilih, apalagi menang. Sebab, televisi nasional tidak akan menerima orang yang berambut gondrong, bertato, apalagi awut-awutan seperti tampangnya itu.
Titi mengerti, seandainya laki-laki itu tidak serupa berandalan, ia yakin pasti akan terpilih menjadi bintang ketoprak. Tapi Titi tidak bisa melarang, apalagi mencegah, sebab mereka berdua memiliki kesamaan. Mereka sama-sama menyukai tato.
Di kota, banyak orang-orang berandalan berserakan di pinggir jalan. Mati sia-sia. Di dadanya bersarang peluru. Ada serupa lubang pipa galian kecil yang tembus ke dalam tubuh. Sudah ratusan orang serupa preman terkapar, dibungkus karung serupa onggokan sampah, tangan dan kakinya diikat, mengambang di sungai, tergeletak di pasar, ada pula yang hilang serupa pada tahun-tahun pembantaian.
Apakah ada yang lebih dikhawatirkan dari seorang perempuan selain kehilangan seorang kekasih?
“Aku mencemaskanmu,” kata Titi pada kekasihnya. “Aku tak ingin kau mati sia-sia seperti mereka, apalagi sebentar lagi aku akan melahirkan anakmu. Kuminta kau jangan macam-macam. Aku tak ingin anakku tak melihat bapaknya ketika lahir.”
“Apa yang kau khawatirkan terlalu berlebihan, aku tidak serupa preman-preman itu. Kurasa aku tak akan mati di jalanan.”
“Tapi mereka semua yang mati berambut gondrong. Terlebih lagi kau, sudah gondrong, juga tato menyelimuti tubuhmu, kukira mereka akan mencabut nyawamu lebih cepat.”
“Tidak, aku bukan preman, apalagi berandalan seperti yang mereka pikirkan.”
“Tetapi mereka tak akan menanyaimu apakah kau ini preman atau bukan,” jawab Titi dengan nada kecewa dan khawatir pada kekasihnya.
Titi selalu khawatir ketika kekasihnya ke luar rumah, merinding ketakutan. Tetapi laki-laki itu masih tak peduli dengan kejadian-kejadian itu, ia masih saja berkeliaran dengan tenang. Padahal kematian sudah di depan matanya. Ketika ia berjalan mencari rokok pada malam hari, ada dua-tiga orang berpakaian serba hitam mengekorinya di kegelapan malam. Mereka membawa bedil laras panjang buatan Jerman. Harganya cukup murah, atau mungkin memang hasil hibah dari negara asalnya. Laki-laki itu tak merasakan hal apa pun ketika salah satu dari orang itu melontarkan isi bedil ke lehernya. Sayap burung di lehernya terkena mesiu antah berantah, sayap itu tercabik dan memuncratkan darah. Lelaki itu mati dan mayatnya tergeletak di pinggir jalan.

SETELAH lima tahun kematian kekasihnya, Titi telah melupakan ingatan tentang segala kejadian yang hampir saja membuatnya gila. Melupakan kematian ayahnya, juga kekasihnya, yang keduanya sama-sama mati dengan tragis. Ia bekerja di sebuah toko Pecinan di tengah kota. Titi bekerja untuk menyekolahkan anaknya juga untuk menyambung hidupnya. Tetapi masa-masa genting masih menyelimuti kota dan negara yang dirasanya begitu busuk. Harga-harga melonjak naik, dan kini toko yang dijaganya benar-benar sepi. Hanya satu-dua pembeli yang ia layani dalam beberapa hari terakhir.
Nahas, di kota ada demo besar-besaran dan merambat ke kotanya. Banyak mahasiswa dan warga menjarah dan membakar segala hal yang berkaitan dengan salah satu negara di Asia Timur. Titi bekerja di sana, ia tak dapat mengelak. Di jalanan semakin riuh dan kebakaran merembet dari satu toko ke toko lain hingga sampai pada toko tempat Titi menyambung hidupnya dari hari ke hari.
Titi tak sempat menutup toko setelah orang-orang telanjur masuk dan menjarah toko itu, ia berlari ketakutan. Ia bukan orang keturunan, ia warga negara yang sah. Tetapi ketakutannya menyebabkan segala hal memburuk. Hingga tiba saatnya ia terpaksa harus ikut ayah dan kekasihnya. Ketika ia berlari ke sebuah gang, ada besi berkarat kerangka jemuran yang melintang di depannya. Karena panik, Titi tak melihatnya. Ia berlari dan menabrak besi itu hingga mengenai tato kelopak bunga kuncup di dadanya hingga tembus ke punggungnya. Bunga mawar itu mekar, berwarna merah sempurna. ●

EKO SETYAWAN, lahir dan menetap di Karanganyar, Jawa Tengah. Beberapa karyanya termaktub dalam buku antologi puisi bersama dan kumpulan cerpen. Buku kumpulan puisinya berjudul Merindukan Kepulangan (Bebuku, 2017). Dia bernaung di Komunitas Sastra Senjanara dan Komunitas Kamar Kata Karanganyar

Tentang Api, Anjing, dan Nabi

Cerpen Ken Hanggara (Koran Tempo, 07-08 Oktober 2017)
Tentang Api, Anjing, dan Nabi ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Tentang Api, Anjing, dan Nabi ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo 
Seandainya aku Nabi Ibrahim, pastilah tubuhku tidak matang dilahap api. Aku dan api kawin di bawah perjanjian abadi. Kulit, daging, tulang belulang, dan api menyatu. Dalam suatu hukuman, aku bersenang-senang, namun pura-pura mati. Begitulah. Aku segar tapi bergetar. Aku girang tapi mengerang. Bisakah?
Dari sana, dari tubuh manusiaku, darah memancar memandikan bumi orang suci. Seakan lidahku menggeliat—padahal pisau belum kering menebas indera perasa—kata-kata sumbar berserakan: Bakar, bakar, bakar!
Aku tidak takut-seandainya aku nabi dan kondisi seburuk itu datang: orang-orang menggotong kayu buat membakarku. Aku tidak takut sebagaimana dulu saat Ayah mengancam mengikatku semalam di bawah pohon nangka karena kedapatan merokok.
Karena Ibu sering membawaku ke kamar di masa hukuman, suatu pagi kesabaran Ayah habis. Aku bocah di bak mandi, yang basah kuyup setelah ditendangi, ditelanjangi, diludahi, digerojok bensin. Bau tajam khas. Menyengat dan mengancam. Betapa lekat di kepala, juga suara-suara yang di masa depan berdengung dan mengganggu tidur: “Biar matang dan jadi santapan anjing!”
Wahai, manusia suci, adakah di antara kalian yang peduli?

DI masa berbeda aku memelihara anjing. Dua ekor. Satu jantan, satu betina. Anjing penjaga setia yang sewaktu-waktu sedia merobek daging lawan-lawanku. Ini bukan main-main. Keduanya terbukti ampuh kupajang di halaman, juga sesekali buat bahan cerita model pria gila hormat. Sudah empat musuh dan satu maling amatir kena gasak taring-taring tajam. Dua mati, sedang sisanya tak tahu. Barangkali cacat seumur hidup.
Suatu ketika, saat tidak satu pun teman sambang walau aku nyaris tewas dikeroyok, kubilang pada kedua anjingku, “Dulu aku ini kalian. Maksudku, aku anjing. Tapi bukan dari jenismu. Aku jenis terbaru dan modern karena otakku dilengkapi elemen penting serupa pada otak manusia: akal. Aku juga dirantai, dikandangkan, diberi kalung dengan simbol ‘S’—kalau kalian ‘W’ dan ‘W’, sebab bukan Sarjikun nama kalian, ‘kan?”
Anjing-anjing diam—tentu saja. Mereka tiada stop menjulur-julurkan lidah sebab tak berakal. Tapi mereka berguna. Gagasan ini muncul—maksudku soal memelihara dua anjing—setelah masalah demi masalah menggoyah ketenanganku. Sekarang, dengan adanya mereka, semua aman-aman saja.
Namun, jelas aku tidak sekejam Ayah yang barangkali—jika posisi kami tertukar—pada bulan keenam, dua ekor anjing tanpa akal itu, yang bisa dan sedia diapakan saja oleh tuannya, telah tiada. Rumah kecolongan dan Ayah tidak lagi punya satpam dengan moncong dan taring.
Ayahku gampang emosi. Sedikit kesenggol, langsung meledak-ledak. Sebagaimana kayu bakar digerojoki bensin, kena percik api sedikit, seketika berkobar. Dan, lihatlah bila api itu lahir: si anjing tak bisa kabur karena dirantai. Lalu, tongkat baseball diayun ke depan, ke belakang, belasan kali, kuat, bertubi-tubi. Hingga moncong berdarah-darah, gigi geligi rontok—paling tidak sempal, dan, pada akhirnya rahang pun melenceng dari posisi awal. Pada saat itu, api siap melahap.
Kuakui, hanya karena ada Ibu, aku tidak kunjung matang dan dipotong-potong lalu disajikan ke kandang anjing tetangga sebelah, sebab tungku api Ayah tidak pernah berfungsi—tepatnya selalu gagal. Mobil tetangga membawaku ke klinik dan di sana, orang-orang mengelus dada sambil mengucap nama Tuhan.
Waktu itu aku tidak terlalu percaya Tuhan, tapi seru juga dengar guru ngajiku cerita soal Nabi Ibrahim. Orang suci kesayangan Tuhan yang seakan-akan kawin dengan api. Dipeluk api tidak mati. Dilamun api tidak gosong. Bagaimana, ya, rasanya jadi seorang nabi?

SEANDAINYA aku Nabi Ibrahim, barangkali Ayah berpikir dua kali sebelum bilang, “Biar matang dan jadi santapan anjing!” Dan aku terpingkal-pingkal, sementara ia cuma bisa garuk-garuk kepala karena bingung mau bikin acara apa.
Panggang sate? Oh, tidak. Saya tidak mempan, Yah. Bocah (kambing) guling, kau! Oh, tidak juga. Kambing guling ‘kan dimasak pakai api juga! Maka, Ayah hanya akan bingung dan malu, lalu mungkin pergi meninggalkanku ke tempat jauh. Ke kutub utara kukira. Mestinya dia tahu. Lagi pula mana mungkin seekor anjing memakan sate daging sesama anjing, walau yang dibakar adalah aku?
Aku tidak tahu kenapa Ayah membenciku dan menganggap aku anjing busuk najis yang harus dihajar setiap hari, bila perlu sampai mati. Ibu membelaku; dia bilang aku anaknya, tetapi tidak kulihat wajah Ibu bermoncong. Barangkali, suatu hari, karena jatuh cinta, Ayah mengoperasi plastik wajah ibuku yang juga seekor anjing sehingga berubah secantik putri keraton. Saat kukatakan itu pada pembantu, sambil tolah-toleh, dia menyahut ketakutan, “Waduh, Tuan Muda, jangan ngomong gitu. Itu ndak benar!”
Tapi benar kok, kataku, Ayah sering bilang aku anjing yang layak dihukum. Dan dia diam. Pembantu itu sesungguhnya juga tahu masalah antara aku dan Ayah terjadi sejak lama. Tepatnya sejak aku diam-diam mencuri uang di dompet Ibu buat kupakai beli petasan, juga jajan, atau sesekali taruhan judi bola dengan teman-teman di kelas. Semua orang tahu dan mereka bungkam. Ayah benar-benar raja di atas raja pada saat itu.
Karena tidak ketahuan, aku ketagihan. Uang-uang terus kucolong. Ibu tahu uang pemberian Ayah sering hilang, tapi tidak tahu siapa yang nyuri. Aku, atas pengajaran temanku yang bajingan, mulai membeli kesenangan duniawi yang, kata teman ngajiku, tidak mungkin dilakukan seorang nabi sekeren Ibrahim: pergi ke tempat pelacuran dan melakukan apa yang dibenci orang suci.

AKU jelas bukan Ibrahim. Menyamakanku dengan beliau sama dengan kurang ajar. Aku bejat, bajingan, dan laknat, begitu kata Ayah. Dia mengata-ngataiku dengan kalimat buruk itu kira-kira seminggu setelah satu anjingku mati (aku tak tahu dari mana orang itu tahu alamatku). Dia lalu pulang begitu saja dan berjanji hukumanku belum selesai. Aku tak peduli. Aku hanya berpikir soal anjingku yang mati. Winnie yang kusayang, karena dia berdiri paling depan ketika lawan tandang ke rumah bikin perang. Anjing itu mati kena racun. Siapa pelakunya, aku tak tahu.
Tentu saja anjingku tidak kusate atau kupanggang seperti imajinasi Ayah padaku semasa dulu. Winnie kukubur dan kutaburi bunga di gundukannya. Aku juga menangis selama kira-kira satu jam. Tak ada siapa pun lagi di rumahku selain Winky, anjingku yang lain. Kepada teman yang masih setia, kuminta tolong, Butuh duit, kataku. Buat apa? Beli anjing lagi. Kata temanku itu, Ampun, hidupmu kok melulu seputar anjing!
Tapi toh aku dibantu. Suatu pagi SMS masuk dari temanku. Katanya ada operasi di lokasi biasa. Oke, clear, jawabku pendek. Asal ayahku pahami—kalau dia tahu masalah ini—tidak lagi ada yang bisa mengatur-aturku. Aku bocah yang sudah gede, sudah bisa mengurus diri. Tidak perlu diikat di pohon nangka, lalu diancam-ancam dengan seliter bensin. Tidak perlu tongkat baseball buat bikin wajahku lebih asimetris.
Ibu mati saat aku umur dua belas, karena stres anaknya jadi cacat seumur hidup. Sebelah tanganku pastilah kuat secara wajar bila Ayah tidak menginjak-injaknya dengan liar pada suatu malam agar aku tidak kabur. Masa hukuman belum habis, Njing. Ya, suara-suara itu juga sesekali berdengung.
Barangkali ibuku bosan tiap hari rumah ribut dan ribut, sedang para tetangga mulai menggunjing, bahwa ternyata di balik jubah suci Ayah sebagai ulama, tindakan kasarnya melahirkan aib di keluarga ini. Saya malu, itu kata Ibu pada pembantu kami. Kata-kata yang kucuri dengar dari bawah jemuran dekat septic tank. Saya malu hidup seperti ini. Lalu besoknya Ibu ditemukan di gudang. Gantung diri. Ayah mencariku karena katanya aku yang salah. Tapi sebaliknya, kuanggap Ayah bertanggung jawab atas itu.
Wahai orang suci, adakah kau benar-benar membakarku suatu hari nanti?

TEMANKU menunggu di lokasi. Ada dua orang baru. Begitu ketemu, kami salaman dan tukar nama. Operasi dimulai pukul 23.00, kalau tidak salah ingat, karena kepalaku penuh bayang-bayang Ayah dan caraku membalas tindakannya di masa lalu dengan memelihara binatang najis yang dia benci.
Kematian Winnie mengingatkanku pada tiadanya Ibu. Keduanya mati dengan sia- sia. Kedunya setia melindungiku. Keduanya tanpa mengharap balas. Dan aku, anjing dari jenis terbaru dan modern ini, merasa tak berguna. Satu gagasan melintas usai Ayah tahu di mana aku tinggal sekarang, bahwa aku harus membalas dendam lama. Dua ekor anjing, cukuplah. Kata-kata pamungkas telah kucatat di buku agenda, “Biar matang dan jadi santapan anjing!” Tiada terkira nikmatnya membalas kata-kata itu pada sumbernya.
Maka aku butuh uang. Operasi ini seperti yang sering kulancarkan di masa muda: membobol toko emas. Aku eksekutor paling andal. Gerak cepat dan taktis meski dengan sebelah tangan. Dua orang lain mengekor dengan karung di pundak. Satu lagi jaga-jaga di pintu. Seandainya aku nabi—yang entah oleh alasan apa, lantas melakukan tindakan bajing ini—barangkali Tuhan menarik mukjizat dari tubuhku dan aku mati dengan cara memalukan.
Tapi, aku bukan nabi. Aku anjing, kata Ayah. Dan aku anak Ibu yang ingin balas dendam, kataku sendiri. Detik demi detik berlalu dan mendadak bumi orang suci getar. Azab menimpa para pendosa dan mereka kocar-kacir. Aku kocar-kacir, tapi aku paling dalam. Dua rekan baru berebut jalan keluar, sedangkan mobil telah jalan. Orang-orang mengepung di sana-sini. Aku sendiri. Aku merasa, mungkin, tidak ada seorang pun yang peduli.
Seandainya aku Nabi Ibrahim. Aku dan api kawin di bawah perjanjian abadi. Kulit, daging, tulang belulang, dan jiwa menyatu dengannya, sehingga panas api tak kurasa.
Tapi bukan itu yang terjadi. Aku bergetar dan mengerang, meski tak segar apalagi girang. Orang-orang membawa kayu dan menyiram bensin. Api berkobar secepat dosa memantik emosi Ayah. Begitulah, di bumi orang suci, aku yang bukan nabi, pastilah matang dilahap api.

Gempol, 2015-2017
KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya tersebar di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).

Surga Pembangkang

Cerpen Ken Hanggara (Kompas, 08 Oktober 2017)
Surga Pembangkang ilustrasi Made Somadita - Kompas.jpg
Surga Pembangkang ilustrasi Made Somadita/Kompas
Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.
“Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar,” kata Herman padaku.
Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.
Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.
Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. “Kau jadi bagianku, aku bagianmu,” kataku.
Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajurit yang ia bawa turut bersembunyi dalam cangkangku.
Mereka buronan. Polisi masa depan mencari sebelas orang yang dianggap bajingan tengik, karena melanggar nilai moral di masyarakat. Aku percaya Herman tidak begitu. Ia laki-laki lurus pengangguran, yang sesekali pinjam motor teman untuk ngojek dengan upah seadanya, yang hampir selalu habis di malam harinya entah untuk apa.
Aku selalu percaya Herman, tetapi ibuku tidak.
“Minggat sana dan jadilah engkau cangkang raksasa yang kelak pecah dan berhamburan badanmu dilahap tsunami paling nyata!” Ibu berkata tegas padaku dengan mata melotot. Aku percaya Herman tidak berjudi, tidak juga ke tempat prostitusi. Aku percaya cinta Herman padaku putih seperti kapas. Dan ia tidak menodaiku dengan apa pun.
“Pernah dengar bocah SMA yang kabur, lalu mati kelindas kereta?” kata Ibu, waktu suatu hari kulawan pendapatnya, dan kami saling berbeda pandangan soal Herman. “Itu anaknya Haji Jafar. Bocah itu mati setelah dilecehkan pacarmu! Dulu belum pacarmu, tapi sekarang kamu mabuk lalu mau dipacari! Orang tidak punya masa depan!”
“Herman tidak begitu, Bu!”
Aku ingat betapa Ibu tidak sudi memasak selama hari-hari itu. Aku sendiri pergi ke pasar, lalu ke dapur, dari subuh hingga jam delapan pagi, demi menyiapkan makanan untuk orang serumah. Bapak sudah bodoh dan pikun, dan tidak bisa diharapkan, hingga ia pun seakan tidak tahu perselisihanku dengan Ibu.
Sesekali Ibu menyuruhku melihat Bapak. Kupandangi Bapak dengan seksama. Tak ada apa pun yang menarik di sana; hanya seonggok tulang bercampur kulit yang hitam dan bau hangus. Sekiranya orang yang tak tahu atau tak kenal Bapak, pasti menganggap beliau hantu. Ibu bilang, Bapak yang orang lurus saja tak becus memberikan hidup yang layak bagi kami. Ibu bilang, Bapak yang taat ibadah saja tak becus membuat kami lepas dari jerat masalah.
“Apalagi si Herman itu. Siapa lengkapnya? Herman Kampret?! Tidak ada orangtua ngasih nama anak sejelek itu. Orangtua mana rela disebut-sebut si kelelawar pengisap darah! Bapakmu yang selurus dan sesuci itu saja tidak becus, apalagi orang sebejat si Herman!”
Tapi, Herman punya banyak prajurit dan ia selalu pulang membawa kemenangan di perang-perang yang terjadi di jalanan, di pasar, di terminal, di mana-mana; aku bangga pada Herman. Sejak duduk di kelas sebelas, aku sudah tahu Herman tidak sekolah dan aku tidak tahu umurnya berapa. Ia berkumis dan bercambang, serta kalau ke mana-mana membawa seutas rantai berujung duri-duri. Herman bilang, itu bagus buat melindungi dari kekejaman para lawan. Memang benar. Aku ingat ketika Herman dibawa ke rumah sakit dengan luka parah di perut, tetapi cuma dia yang hidup. Semua yang terlibat dalam tawuran diambil Tuhan.
Itu satu alasan Ibu, yang belum bisa kuterima secara utuh. Aku diusir dari rumah dan menjadi cangkang raksasa setelah lebih memilih dipacari Herman dan diajak pergi ke luar kota cari pekerjaan, ketimbang melanjutkan sekolah bidan yang biayanya sudah Ibu usahakan ke mana-mana.
Begitulah. Maka aku bersama Herman dan melihatnya tumbuh menjadi pemimpin perkasa, penentang polisi masa depan yang ada di hampir semua tempat di kota kecil ini. Polisi masa depan berpangkat rahasia dan kebanyakan dari mereka hanya orang-orang sipil berpakaian bebas: penambal ban, muazin masjid Al-Fatah, tukang becak, pegawai bank, satpam, montir bengkel Haji Asnawi, dan sesekali penjual nasi kucing. Tidak ada profesi tertentu yang resmi dinobatkan sebagai polisi rahasia penentang tujuan masa depan pemuda seperti Herman; siapa pun bisa, asal memenuhi syarat: bermoral.
Aku dan Herman jelas tak bermoral di mata orang-orang ini. Cangkangku tumbuh semakin besar dan Herman semakin kuat kepemimpinannya setelah mengalahkan satu geng yang paling ditakuti. Semua orang segan dan Ibu semakin jauh dariku.
Ibu masih datang dalam mimpi burukku sejak keminggatanku yang pertama demi Herman. Di mimpi pertama, Ibu datang dengan godam raksasa dan tubuhnya seukuran Goliath. Ibu menghantamku, menghantam cangkangku, hingga pecah. Walau raksasa, aku tetap cangkang yang punya batas daya tahan. Di mimpi lain Ibu kadang-kadang menangis dan aku tidak bisa menghentikan tangisnya. Ibu terus menangis sampai lahir sebuah tsunami yang menyeret dan membunuhku.
Itu terus terjadi dan aku selalu bertahan. Sampai Herman dan sepuluh prajuritnya yang tersisa jadi buronan, aku sendiri berhasil menyamar sebagai perempuan yang dulu seakan tidak brojol dari perut ibuku. Aku seakan perempuan lain dengan tampang yang menor dan nakal.
Herman suka. Ia bilang, “Kamu bidadariku. Penghuni surga boleh cemburu!”
Ia sesekali ke tempatku sendirian, atau mengajak dua orang temannya. Pernah juga Herman membawa empat orang, tetapi biasanya aku hanya menemani mereka di ruang tamu sambil merokok. Ketika suatu malam Herman datang membawa sepuluh orang prajurit, dan dia memintaku menyembunyikan kami di dalamku, aku berpikir apakah Herman sedang mabuk?
“Aku cinta kamu dan ini semua demi kamu. Maka, patuhilah.”
Aku tak membantah dan patuh. Herman beserta sepuluh prajurit yang ia bawa dari entah desa mana saja, memasukiku dan bermukim di sana sedemikian lama. Tubuh yang hangat dan basah, berjumlah sebelas, meringkuk di dalamku, dan aku merasa mual mau muntah. Herman memaksaku menahan muntahan. Ia tidak membiarkanku muntah, tidak peduli ia dan sepuluh prajuritnya pamit pergi di bulan kedua setelah polisi masa depan berhenti melakukan pencarian di kawasan sini.
“Kamu masih lelah?” tanyanya.
“Aku dan kamu satu. Bukankah bagus?”
“Memang bagus.”
“Kapan kamu kembali?”
Herman tampak berpikir. Ia menghitung uang di dompetnya, lalu membaginya dua dan memberikan setengah hasil pembagian tersebut kepadaku. Itu uang dari sepuluh prajurit yang diizinkan menginap di dalamku, di cangkangku, dan Herman berharap aku tak membuang apa pun yang sekarang tertinggal dari bekas tidur mereka bersebelas.
Kubilang, “Jangan khawatir, tapi uang ini kamu saja yang bawa.”
Herman memaksaku menerima uang tersebut, tetapi aku menolak lagi. Ia akhirnya tidak tahan dan menyelipkan uang yang menurutnya adalah hakku ke belahan dadaku. Herman mencium keningku dan pergi. Saat ia balik badan, kuhirup bau tengik yang mendadak membuatku terangsang. Herman bilang, jika rindu, aku tidak bisa telepon. Ia dan sepuluh prajurit masih jadi buron. Aku paham. Lalu kubertanya dengan cara apakah kami bisa berkomunikasi?
“Pada malam ketujuh di musim hujan yang penuh kodok, pada saat itulah aku akan datang menjengukmu.”
“Caranya?”
“Pandangi fotoku dan jadilah seorang bayi tanpa satu pun penutup, karena engkau sebenarnya telah suci sejak lahir. Jadilah bayi untukku, dan aku, di tempatku yang jauh entah di mana pun, juga akan menjadi bayi untukmu. Kupandangi juga fotomu dan kita menikah dengan cara yang hanya para setan yang tahu.”
“Dengan itu kita puaskan rasa rindu?”
“Dengan itu kita puaskan rasa rindu.”
“Sampai?”
“Sampai kelak ketika dunia berbalik dan moralitas di masyarakat tak lagi menjadi bahan perdebatan. Tapi, aku sendiri tidak tahu kapan itu terjadi.”
Aku juga tidak tahu, tapi Herman kubiarkan pergi.
Kami berpelukan dan mendesah selama beberapa saat, lalu ia benar-benar balik badan. Bau keringatnya lekat di tubuhku dan kuhirup itu sambil membayangkan Ibu. Entah bagaimana ibuku sekarang. Kuharap jauh lebih bahagia dari anaknya yang kini tinggal di surga ciptaannya sendiri.

Ken Hanggara, lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpennya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).