Daftar Blog Saya

Minggu, 25 Februari 2018

Kabar dari Semar

Cerpen Daruz Armedian (Banjarmasin Post, 18 Februari 2018)
Kabar dari Semar  ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post.jpg
Kabar dari Semar ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group 
“Raden, saya benar-benar tidak tahu siapa yang menaruh pistol itu di meja ruang tamu rumah saya.”
Semar berkata seperti itu pada suatu ketika tuannya, Raden Said, bertanya muasal pistol dengan peluru yang tinggal tiga itu. Mendengar ucapan Semar sambil memelas, Raden Said cuma manggut-manggut, sesekali meneguk kopinya yang masih hangat. Lalu mencomot pisang goreng yang ada di nampan.
“Menurutmu, siapa?” kata Raden Said sambil menyalakan korek api yang kemudian digunakan membakar ujung rokoknya.
Semar hanya menggeleng. Menggeleng sambil menunduk. Sepasang matanya tidak berani sama sekali menatap tuannya.
Sebenarnya, ia juga ingin menyeruput kopi sambil makan gorengan. Terlebih lagi ketika membaui asap tembakau yang dilinting dengan klobotan, daun jagung kering. Akan tetapi, ia merasa hal itu tidak sopan. Maka, ia hanya menatap perutnya, yang walaupun besar seperti perut orang hamil, tetapi menanggung lapar yang amat sangat. Ia berharap si tuan menawarkan. Tetapi, belum tuntas ia berharap, harapan itu terkabul.
“Jangan takut begitu. Ini, makan dulu gorengannya.”
Raden Said berseloroh sambil menahan geli melihat Semar malu-malu tapi mau.
Dan sejurus kemudian, Raden Said merenung kembali. Ia bingung dan bertanya-tanya, siapa yang berani-beraninya membawa alat modern di zaman yang masih kuno? Perlu diketahui, di dunia, waktu itu, belum ada sama sekali yang namanya pistol. Tentara-tentara, bala perang, masih menggunakan tombak, pedang, panah, dan lain-lain. Lenin, Stallin, Hitler, Mao Zedong, Saddam Hussen, Bush, Osama Bin Laden, Imam Samudra, belum lahir.
“Raden, apa di pikiran Raden, saya yang sengaja menyembunyikan pistol itu?”
Semar memberanikan bicara lagi. Ia takut tertuduh. Takut sekali. Pasalnya, ketika bangun tidur dan beranjak dari kamar, tiba-tlba ia menemukan sebuah pistol teronggok di atas mejanya. Pistol itu masih hangat, seperti baru saja digunakan menembak.
Sebenarnya, kalau cuma pistol teronggok di meja begitu saja, tidak akan serumit itu. Masalahnya, bersamaan dengan pistol tergeletak di meja, ada kabar bahwa telah ditemukan: orang mati dengan kepala yang luka ditembus peluru.
Orang itu diketahul bernama Sengat Ibrahim. Rambutnya panjang, ia pintar dalam hal strategi peperangan. Tetapi, ia sangat miskin. Rumah pun tak punya. Makan di mana saja. Dan, hanya satu yang baik darinya: ia selalu membantu rakyat-rakyat miskin. Seperti namanya, kata-katanya selalu menyengat para penguasa, yang dalam hal ini, para raja.
“Aku tidak menuduhmu apa-apa. Aku hanya bingung, siapa pemilik benda berbahaya ini.” Raden Said angkat bicara lagi.
“Oh, baiklah kalau begitu, Raden!” Semar lega.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba mata Raden Said nanar. Ia dapat ide.
“Mari kita cari sama-sama siapa pemiliknya.” Dengan cepat ia menggenggam tangan Semar. Mereka meluncur ke masa depan. Ke dunia modern. Sebab, Raden tahu betul, pistol hanya ada di dunia modern.
Hanya sekejapan mata mereka sampai pada tempat tujuan.
“Di mana ini, Raden?” Semar mengatakan seperti itu karena terkejut.
Bagaimanapun, ia tidak pernah melihat hal-hal seperti ini: cuaca panas, udara abu-abu seperti berdebu, besi-besi berjalan dengan suara bising, besi-besi terbang bak burung, orang-orang lalu lalang tanpa menyapa sesamanya, dan lain-lain.
Entah bagaimana caranya, Raden Said bisa tahu di mana pistol itu dibuat. Ia langsung menuju ke sebuah tempat yang asing sama sekali bagi Semar. Pabrik pistol. Di sana, Raden Said langsung menemui pemilik pabrik itu. Seorang lelaki tua dengan uban di kepala, dengan penjaga di kanan dan kirinya. Setelah perbincangan agak lama, si pemilik pabrik memberi jawaban pasti mengenai pistol itu.
“Ini buatan tahun enam puluhan. Yang memesan adalah jendral bintang lima. Ya, aku masih sangat ingat hal itu. Tetapi sayang sekali, beliau sekarang sudah mati. Jadi kamu nggak mungkin mewawancarainya, kan?”
“Katanya, beliau butuh pistol yang bisa menembus masa lalu. Sebab, di masa itu ada orang bernama Ibrahim, yang dari keturunannya, akan menggagalkan semua rencana-rencana beliau. Beliau ingin jadi presiden.”
Mendengar penjelasan itu, Raden Said langsung paham. Ia berpikir: Jahat sekali orang yang mengirimkan pistol ini. Bahkan orang yang ada di masa lalu pun mesti dibunuh. Jabatan memang telah banyak membuat manusia jadi gila.
Di samping itu, Semar hanya melongo. Tidak mengerti maksud apa pun. Ia bingung dengan dunia masa lalu dan masa depan yang memang membingungkan itu. Akhirnya, yang ia pikirkan saat itu hanya pulang ke tempat yang teduh. Ngopi dan ngerokok. Ia tidak mau memikirkan kabar apa pun mengenai pistol itu, yang walaupun ia sendiri yang mengabarkannya pertama kali. ***

Daruz Armedian, lahir di Tuban, Jawa Timur. Penggiat Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta ini tercatat sebagai mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga. Penulis tetap di tubanjogja.org ini tinggal di Yogyakarta.

Eustasius

Cerpen Maywin Dwi-Asmara (Koran Tempo, 23-24 Februari 2018)
Eustasius ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Eustasius ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Lenin mendengar suara berdebum. Ia bergegas keluar dan menemukan dirinya sendiri terkapar di atas rumput-rumput yang belum sempat dibersihkan. Diamatinya sosok itu, bagian-bagian yang tertelungkup di atas rumput tinggi yang menyemak karena telah lama tak dihiraukan. Sosok dirinya yang seperti baru saja terjatuh itu merasakan kakinya dingin, pipinya gatal seperti menyentuh ujung-ujung bunga digitaria; aromanya terhirup lembut. Ia merasa seekor serangga merangkak dari dalam tanah ke lubang telinganya, suara langkah serangga itu menggema di gendang telinganya. Ia bangun terperanjat, menemukan dirinya masih di dalam kamar…
Lenin duduk memiringkan kepalanya dan mulai mengorek-ngorek lubang telinga mencari serangga yang kini sudah terasa menapaki saluran eustasius-nya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana rupa saluran eustasius yang sesungguhnya. Ia berharap serangga dalam telinganya kini menikmati perjalanan di dalam sana dan keluar membawa cerita yang mungkin menginspirasi Lenin untuk menjelajahi saluran eustasius orang lain.
Semenjak mendapat gagasan untuk menulis dengan cara yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, Lenin mulai mendengar suara-suara khayalan-seakan suara itu keluar dari otaknya dan masuk lagi melalui lubang telinga, merambat menghantarkan getar lewat eustasius, memukul gendang telinganya dan kembali masuk ke dalam sumber di mana suara itu berasal. Ia sedikit terkejut karena ternyata tak hanya mendengar suara khayalan. Ia pun mampu melihat wujud khayalannya. Saat itu ia sedang asyik menghitung rumus-rumus fisika dasar yang berhubungan dengan jatuhnya sesuatu yang dipengaruhi oleh gaya tarik bumi. Di pangkuannya ada modul perihal Hukum Newton dengan tinta warna hitam tebal, angka-angka yang hampir tak terbaca, formulasi rumus berjajar membentuk kerumitan tanpa garis, tanpa kalimat yang bisa dieja untuk mengerti dari mana datangnya angka 200 dari akar 400. Sebelum suara itu terdengar, ia sampai pada pengamatan tentang gerak suatu dimensi. Di bagian itu ia tertarik pada prinsip gerak jatuh tanpa hambatan. Prinsip itu menjelaskan, jika sebuah benda jatuh dari ketinggian tertentu dengan besar kecepatan 0, maka seutuhnya benda itu akan tertarik oleh gaya gravitasi bumi.
Lenin mulai menduga seberapa tinggi gedung apartemen tempat Veronica tinggal. Saat ia masuk ke dalam apartemen wanita itu, ia melihat angka terbesar pada lift berhenti pada 15 dengan menghilangkan angka 13-ia yakin bahwa siapa saja yang merancang atau membuat gedung itu pastilah seorang penderita triskaidekafobia-jadi ada 14 tingkat secara keseluruhan. Jika masing-masing tingkat dari apartemen itu memiliki ketinggian 2,5 m, maka tinggi keseluruhan bangunan itu adalah 35 m. Kemudian ia bayangkan menempatkan dirinya di atap gedung itu dan membiarkan dirinya ditarik gravitasi seperti apel yang jatuh di hadapan Newton. Ia mulai menghitung berapa lama waktu yang diperlukan hingga tubuhnya terhempas di atas permukaan tanah; t =  dengan kecepatan gravitasi sebesar 10 m/s2, ia hanya membutuhkan waktu kurang dari 3 detik untuk terhempas ke permukaan tanah. 3 detik cukupkah untuk mengingat semua kehidupan yang pernah dijalaninya? Hanya 3 detik dan kematian yang dirindukan akan datang menghampiri? Sesingkat itukah memanggil kematian? Telinganya berdenging mendengar suara dentuman keras melalui lubang telinga, merambat menghantarkan getar lewat eustasius dan memukul gendang telinganya. Lenin terperanjat mendengar betapa nyatanya suara itu. Ia berlari keluar dan menyaksikan tubuhnya sendiri terlungkup di atas rerumputan..
Beberapa malam sebelum Lenin mulai mempelajari rumus-rumus yang berhubungan dengan gravitasi, gerak, dimensi, kejatuhan atau apa pun itu, ia telah terlebih dahulu jatuh cinta pada Veronica. Wanita ini mampu membuat Lenin memikirkan hal-hal yang tak pernah dipikirkan; termasuk memikirkan wanita itu hampir setiap saat meski pada awalnya ia tak pernah memikirkannya sebelumnya, tepatnya tak pernah sekeras itu. Lenin mengeja nama wanita itu bagaikan membaca sebaris ayat suci; dengan lembut dan penuh rasa haru. Pada malam-malam ketika ia tak bisa tidur karena apa pun, bayangan Veronica menjadi selimut lembut menyelubungi dan membuatnya nyaman. Saat dalam kebimbangan dan kesulitannya menemukan pembenaran, Lenin seringkali menemukan perkataan Veronica menjadi fakta yang absolut. Lenin akan selalu terpesona pada apa pun yang dilakukan Veronica; akan selalu mendengarkan perkataan Veronica dengan antusiasme yang terkadang berlebihan. Ia akan selalu mengamati setiap detail pada wajah dan tubuh wanita itu, memeriksa kembali detail-detail yang luput dari perhatiannya sebelum melepas wanita itu dengan pelukan hangat.
Beberapa malam lalu mereka bertemu di “sarang” mereka-Lenin menyebutnya begitu. Veronica telah menyiapkan makan malam dan mereka duduk berhadap-hadapan. Tak ada hujan hari itu. Lenin juga tak bisa melihat bulan karena jendela di belakang Veronica mengarah ke kegelapan. Lenin merasa hatinya penuh.
“Betapa menyenangkan melihat kau menikmati makananmu.”
“Benarkah?” Veronica mengangkat tatapannya ke wajah Lenin, matanya yang coklat bagaikan memancarkan hangat matahari ke dalam hati Lenin.
“Sungguh, aku selalu menyukainya.”
“Kadang aku merasa sedikit aneh jika kau perhatikan seperti itu, kau seolah-olah sedang melihat sekuntum bunga purba yang sedang mekar.”
“Kau benar,” Lenin tersenyum dan melihat Veronica benar-benar menjadi sekuntum bunga purba yang begitu rapuh dan indah dengan semua kenangan yang terkatup dalam kelopak-kelopaknya. Rambutnya menjuntai bagai benang sari yang mengikat nasib para bayi yang belum menemukan pintu masuk ke dunia ini.
“Kau benar. Kau seperti sekuntum bunga purbakala yang sedang mekar dan selamanya akan mekar karena kau tak tersentuh waktu.”
Mereka tersenyum dan kembali menikmati makanan tanpa suara atau percakapan, itu membuat Lenin semakin jatuh cinta padanya; ketenangannya yang lambat seperti ketika langit jingga senja hari berubah gelap. Lenin bersyukur karena mampu menikmati ketenangan itu dari wajah Veronica. Saat acara makan malam yang khidmat itu selesai, mereka akan memulai percakapan perihal apa saja, apa saja bagi Lenin berarti Veronica dan semua hal tentang dirinya. Jadi ia selalu berharap Veronica menceritakan sesuatu tentang buku-buku yang dibacanya, tentang burung yang hinggap pada tali temali yang ia lihat entah di mana, tentang arwah nenek moyang yang menginjak kakinya, tentang seorang laki-laki yang baru kembali dari rantauan dan lupa mengeja nama desanya, tentang sejarah seekor belatung atau nama mahoni, tentang film yang telah ditontonnya malam lalu, tentang seorang sutradara dan aktor serta aktris favoritnya, tentang musik dan keinginannya mengumpulkan semua album yang dimiliki oleh semua musisi yang dikenalnya, tentang seseorang yang memberinya vodka saat udara begitu dingin menusuk hidungnya yang manis. Apa saja berarti kemungkinan yang selalu menggairahkan.
Begitulah, malam itu Veronica bercerita tentang buku yang ia baca, buku itu menyita perhatiannya. Veronica adalah seorang penulis. Jadi, apa pun yang ia katakan tentang buku, cerita, atau puisi akan terdengar begitu hidup dan nyata. Ia mulai bersemangat menceritakan tentang cerita yang sedang ditulisnya. Cerita itu berkisah tentang upaya bunuh diri seorang wanita dengan cara melompat dari jembatan. Dalam cerita itu ia menuliskan bahwa tokoh yang ingin bunuh diri itu berusaha menghindari tatapan orang lain agar tak ada siapa pun yang melihatnya. Secara tidak terduga ia menemukan hal serupa dari buku yang dibacanya malam sebelumnya. Buku itu juga berkisah perihal seorang yang melakukan tindakan bunuh diri dengan melompat dari jembatan. Bedanya, karakter dalam cerita Veronica tidak berhasil melompat karena ada seorang ibu baik hati yang berusaha menolongnya, sedangkan karakter dalam buku itu berhasil melompat dan berusaha mati. Karena Lenin sangat ingin menjadi bagian dari apapun yang Veronica pikirkan, ia mulai berpikir untuk menulis cerita tentang seseorang yang ingin bunuh diri dengan cara melompat dari jembatan.
Pertemuan terakhir dengan Veronica itu terus mengganggu Lenin hingga ia memutuskan menulis cerita tentang dirinya sendiri.
“Lenin Endrou duduk termenung menatap dahan pohon yang berayun. Di dalam kepalanya keinginan untuk bunuh diri begitu kuat. Ia pernah menyaksikan orang-orang yang begitu putus asa hingga memutuskan untuk bunuh diri, ia memikirkan hal itu hingga tertidur dan ia bermimpi dirinya jatuh dari tempat yang sangat tinggi. Ia menyadari dirinya jatuh tepat seperti adegan dalam film garapan Federico Fellini di mana tokohnya diikat dengan tali seperti layangan, terbang di atas hamparan laut di bawah langit abu-abu, kemudian jatuh karena orang yang memegang tali itu menarik-nariknya, memaksanya turun. Ia merasa terhempas di atas digitaria dan seekor semut masuk ke dalam telinganya.”
Saat mengetik tanda titik, Lenin tahu ia belum sempat menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan tubuhnya untuk menyentuh tanah, ia juga belum menetapkan di mana tempat karakter-dirinya itu harus melompat; karena jembatan-jembatan telah digunakan oleh Veronica dan seorang pengarang besar yang bukunya telah dibaca Veronica. Hal lain yang membuatnya beralih dari angka-angka dan hitungan adalah alasan apa yang kira-kira masuk akal bagi karakter-dirinya itu untuk melakukan upaya bunuh diri?
I Still Can’t Sleep dari Bernard Herrmann mengalun dari pemutar musik terpantul pada dinding-dinding kamar yang menjaga imajinasinya. Lenin baru ingat ia telah memutar lagu itu berulang-ulang semenjak tadi. Tepat sebelum adegan Robert De Niro mulai bercerita tentang bagaimana buruknya kesepian dan masalah susah tidurnya, Lenin menutup mata. Ia mulai melihat dirinya berada di puncak sebuah apartemen. Angin dingin menggoyangkan tubuhnya sebelum ia terjatuh begitu dalam.

Maywin Dwi-Asmara, penulis cerpen dan peneliti. Tahun 2014 mendapat research fellow dari salah satu universitas di Bologna, Italia. Pada Oktober 2016 diundang Dewan Kesenian Jakarta sebagai pemateri dalam Dua Forum Teater Riset. Ia berkhidmat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Catatan
I Still Can’t Sleep adalah soundtrack untuk film Taxi Driver besutan Martin Scorsese (1976).

Kutipan Go Where Your Heart Takes You

“Jika dipandang dari luar, kehidupan banyak orang tampak tidak bercela, tidak masuk akal, bahkan gila. Jika kita memandang permukaannya saja, mudah untuk salah memahami orang-orang dan hubungan mereka. Hanya dengan memandang ke bawah permukaan, dengan menjalani kehidupan mereka selama tiga bulan, barulah kita bisa berharap memahami motif mereka, alasan mereka, apa yang membuat mereka bertindak dengan satu cara alih-alih lain cara.” (hlm. 211)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Yang membebani kita bukanlah ketidakhadiran mereka yang sudah tiada, melainkan kata-kata yang tak terucap di antara kita dan mereka. (hlm. 12)
  2. Mimpi adalah cara menyusun strategi untuk kelangsungan hidup. (hlm. 19)
  3. Kau perlu mempersenjatai dirimu dengan semua kebajikan, jika ingin menempuhnya hingga akhir. (hlm. 58)
  4. Lakukan jika kau punya kesempatan. Lupakan segala prasangkamu dan amati saja. (hlm. 75)
  5. Takdir punya lebih banyak imajinasi daripada kita: tepat ketika kau merasa tidak ada jalan keluar dari situasi tertentu, ketika kau tealh mencapai dasar keputusanmu, secepat embusan angin segalanya akan berubah. (hlm. 161)
  6. Pemahaman berasal dari kerendahan hati, bukan dari keangkuhan pengetahuan. (hlm. 211)
  7. Jika kehidupan adalah perjalanan, maka perjalanan itu menanjak sepanjang waktu. (hlm. 214)
  8. Satu-satunya guru, satu-satunya guru yang sejati dan bisa dipercaya, adalah hati nurani. (hlm. 215)
  9. Di bawah pohon ek, jadilah pohon ek, alih-alih dirimu; di dalam hutan, jadilah hutan; di atas rumput, jadilah rumput; diantara orang-orang, jadilah seseorang. (hlm. 224)
  10. Diamlah dan dengarkan kata hatimu dalam keheningan. Ketika hati sudah bicara, bangkitlah dan ikuti. (hlm. 245)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Ketika penyakit menyerang seseorang yang belum pernah tahu bagaimana rasanya jatuh sakit, maka penyakit itu akan menyerang dengan sangat keji dan mendadak. (hlm. 6)
  2. Selama tubuh kita berfungsi dengan baik, kita tidak menyadari betapa tubuh bisa menjadi musuh mengerikan. Namun, jika meruntuhkan pertahanan sedetik saja, kita akan kalah. (hlm. 9)
  3. Jika hendak meningkatkan dan memperluas lingkungan, kau harus meninggalkan lingkungan mencekik tempatmu dibesarkan. (hlm. 23)
  4. Belum tahukah bahwa seleksi alam adalah prinsip yang mengatur dunia? (hlm. 24)
  5. Adakah cara membebaskan diri dari takdir yang didiktekan oleh lingkungan masa kecil atau diwariskan? (hlm. 41)
  6. Penampilan adalah segalanya; semua hal lain tidak menarik. (hlm. 45)
  7. Ketidakbahagiaan biasanya diwariskan lewat garis keturunan pihak perempuan. (hlm. 51)
  8. Kita terbiasa menganggap masa kecil sebagai periode kebutaan, ketidaklengkapan, alih-alih sebagai masa kekayaan besar. (hlm. 75)
  9. Jangan menganggap menyingkirkan kepribadian dan menerima karakter palsu itu mudah. (hlm. 83)
  10. Karakter dan kepribadian, bertentangan dengan apa yang mungkin kau yakini, bukanlah hal yang sama, bahwa sesungguhnya yang satu mengecualikan yang lain dalam banyak kasus. (hlm. 83)
  11. Pemberontakan bukanlah bagian dari pembawaan. (hlm. 155)
  12. Ketika kau tidak sedang jatuh cinta kepada siapa pun, ketika hatimu sedang bebas dan matamu tidak mencari mata orang lain, maka dari semua lelaki yang mungkin kau anggap menarik, tak seorang pun tertarik kepadamu. (hlm. 182)
  13. Begitu kau direbut oleh seseorang dan orang lain tidak berarti sedikit pun bagimu, kaum lelaki mulai mengejarmu, membisikkan kata-kata manis kosong dan merayumu. (hlm. 182)
  14. Seseorang tidak melakukan apa-apa. Iman itu datang. Kau sudah memilikinya, tetapi keangkuhan mencegahmu untuk mengakuinya. (hlm. 223)

Kalah

Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 25 Februari 2018)
Kalah ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Kalah ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
PAKDE ELVIS yang masih kerabat jauh Bu Pao berkunjung. Ia curhat mengatakan dirinya kalah. “Aku ini pecundang yang mati separo, Pao!”
Lalu bertanya: “Apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengurangi rasa kalah ini, Pao?”
Ia tak mengatakan, kalah apa. Pao pun merasa kurang sopan kalau menanyakan kalah apa.
“Ya, legawa saja, terima kekalahan itu, Pakde. Nanti Pakde perlahan-lahan akan menang.”
“Sudah, aku sudah menerimanya, bahkan 200 prosen, tapi mengapa aku tetap saja kalah?”
“Ya, itu berarti, maaf, Pakde belum cukup legawa, maksud saya masih belum cespleng tuntas rela ikhlas menerima kekalahannya. Jadi, sekali lagi maaf, tanpa mengecilkan upaya Pakde, tekad mengakui kekalahannya masih belum sungguh-sungguh tokcer afdol!”
“Jadi maksudnya aku harus menikmati kekalahan itu?”
“Betul. Persis! Kira-kira lebih kurangnya begitu.” Tiba-tiba saja Pakde marah. Ia berdiri sambil berkata ketus.
“Kau enak saja ngomong begitu, Pao! Coba kau sendiri yang mengalaminya, kalau kagak modiar, baru tahu rasa, nyahok bagaimana sakitnya kalah! Remuk hancur luluh sudah jadi bubur perasaanku, Pao! Tai kucing! Bangsat!”
Ia masih sempat memotong roti gambang yang dibawanya untuk oleh-oleh dan memakannya sebelum kemudian kembali menggebrak meja: “Tai kebo! Tikus celurut! Najis! Bangsat!” Dan pergi. Pao bingung. Hatinya ngedumel, “Aku kok merasa sudah mencoba menjawab sesuatu yang tak jelas, dengan ikhlas, kok malah disumpahi?” Bu Pao muncul bawa kopi.
“Lho, ke mana Pakde?”
“Bagaimana menjawab kalau kita tidak tahu apa kekalahannya? Dalam keadaan bagaimana, salahnya berapa fatal, kenapa, di mana, dan mengapa?”
“Ada apa sih kok berkicau?”
“Jangan-jangan sebenarnya Pakdemu itu tidak kalah, hanya merasa kalah atau mengalah. Jangan-jangan pula sebetulnya beliau bukan kalah, tapi menang. Hanya merasa kurang menang. Kekalahan itu kan seribu wajah! Karenanya Pakde patut dicurigai, jangan-jangan hanya mendramatisir. Dia lupa aku ini kan mantan pemain jenong. Ha-ha-ha!”
Bu Pao tersinggung. “Nggak lucu! Maka dari itu, Bapak jangan asal cuap saja! Tanya dulu abc-nya sebelum kasih solusi. Kalau perlu jangan dijawab. Tunggu! Jangan-jangan orang sebenarnya tidak sungguh-sungguh bertanya.”
“Ya, kalau tidak ada yang mau ditanyakan kenapa mesti bertanya? Mau menguji? Kenapa aku harus diuji? Yang bener saja!”
“Tidak ada yang mau menguji Bapak. Jangan suka menuduh begitu. Keluargaku memang orang miskin tapi tahu adat semua! Tidak ada yang tidak sopan. Pakde pasti hanya ingin beramah-tamah. Silaturahmi, begitu!”
“Silaturahmi dengan cara mengeluh?”
“Ya, Pakde pasti hanya ingin didengarkan saja. Karena tidak tahu percakapan apa yang bisa nyambung, jadi asal omong saja. Kalau itu ditanggapi dengan jawaban nyelenehmu yang terinspirasi oleh gaya Srimulat itu, Pak Pao, jelas Pakdeku itu akan tersinggung. Bahkan nampaknya sudah mutung!”
“Lho, Ibu jangan linglung. Ini bagaimana? Bapak kan minta dukungan, kok malah disemprot baygon?!”
“Habis Bapak tidak pernah nyimak apa kepentingan orang lain, selalu ngukur dari perasaan Bapak sendiri. Itu namanya egosentris! Makin tua harusnya makin bijak, jangan makin terjebak, Bro. Nanti…”
“Sudah, cukup, aku tidak perlu siraman rohani. Sekarang aku perlu dukungan, karena malam Minggu tenangku sudah dizalimi!”
Pao duduk memandangi malam. “Lebih baik aku rembugan dengan malam yang selalu mengerti apa arti hati yang kelam! Bukan begitu, Ratu Malam?”
Lolong anjing di kejauhan langsung menjawab. “Nah, itu dengar. Hanya malam teman setia setiap lelaki yang hatinya gundah karena kalah!”
Bu Pao tersenyum, bisiknya dalam hati: “Biar dia tahu bagaimana kesalnya hati orang yang kalah.”
Lalu ia bersenandung, “Yen ing tawang ono lintang cah ayu”, sambil nyeruput kopi susu yang dibawanya dan mengambil roti gambang yang dibawa Pakdenya.
“Roti gambang dan kopi susu di malam Minggu paling enak. Susu murninya nanti menyusul.”
Pao terkejut. “Lho, Ibu lupa ya? Bukannya mantri sudah melarangmu minum kopi?”
“Sekali, sekali, tak apa. Apalagi ada gambangnya!”
“Jangan dulu ngopi, kata mantri.”
“Ya, sudah, ini roti gambangnya saja!”
“Sudah kenyang.”
“Tapi ini dibawa Pakde tadi! Katanya oleh-oleh dari Jakarta roti gambang buatan Tan Ek Tjuan, enak, kok.”
“Aku sudah kenyang!”
“Jadi, tidak mau?!”
“Bukan tidak mau. Hanya masih kenyang!”
“Ya sudah kalau begitu dibuang saja!” Dengan marah Bu Pao mengangkat gelas kopi dan roti gambang mau dilemparkan ke halaman. Pao cepat mencegah.
“Sudah, sudah, nanti tak minum! Jangan ditendang nanti roti gambang tak ganyang meskipun masih kenyang!”
“Makanya jangan sok teu! Kalau disayang langsung ngelonjak. Kelakuan! Yang proporsional saja Pemuda Tua! Itu pernah Pakdeku. Meskipun orangnya rada nyentrik, tapi dia baik, hormati dia!”
“Siap!”
“Cepat minum kopinya nanti keburu dingin!” Pao langsung menenggak kopi itu meskipun panas.
“Gambangnya? Makan!”
Pao cepat memasukkan roti gambang ke mulutnya sampai megap-megap mengunyah.
“Begitu caranya membuat istrimu yang sudah banting tulang tiga dasawarsa ini tersenyum dan tertawa!”
Bu Pao tertawa lalu masuk ke rumah sambil ngedumel, “Rasakan sendiri dulu sakitnya kalah, sebelum menasihati Pakdeku menikmati kekalahannya karena istrinya yang jadi TKW di mancanegara sudah 5 tahun tidak ada kabar beritanya! Ngarti?!”
Pao terkejut. Berbisik dalam hati, “O, iya! Tiba-tiba aku baru ingat kisah Ester, istri Pakde. Lantas kontan aku bisa merasakan betapa sakitnya kalah. Dengan menyesal aku menggumam: Ya Tuhan, sekarang aku mengerti bagaimana sulitnya menerima kekalahan. Bagaimana tak mungkinnya menikmati kesakitan. Kecuali kalau kita bisa sedikit ngedhan.”
Tak terduga-duga, Pakde yang sudah ngeloyor pergi tanpa pamit itu, muncul lagi. Ia nampak bingung, seperti mencari-cari sesuatu yang ketinggalan.
Tanpa menyapa Pao, ia sibuk mencari. Pao jadi berdiri dan ikut mencari. Pakde menunduk, melihat-lihat ke seluruh sudut. Lalu jongkok dan merangkak menelusuri lantai.
“Cari apa, Pakde?”
“Tadi. Yang tadi!”
“Apa?”
“Yang aku buang tadi?!”
“Buang? Pakde tidak buang apa-apa, kok!”
“Masak? Masak kamu tidak lihat?”
“Lihat apa? Saya tidak lihat? Dompet?”
“Bukan!”
“Apa? Perhiasan? Cincin kawin? Atau semacam itu?”
“Bukan!”
“Terus apa?”
“Aku membuangnya dua kali!”
“Apa ya? Kalau tidak tahu apa yang dicari tak akan mungkin ketemu. Tak mungkin mencari yang tidak kita tahu, Pakde!”
“Kamu tidak akan mengerti?”
“Tapi apa? Apa?!”
Pakde menatap hampa ke atas lantai.
Pao menggumam dalam hati, “Ya Tuhan, baru kulihat betapa cekung mukanya. Betapa dahsyat sakit hatinya. Pasti ini kristal derita karena harus merawat dan membesarkan ketiga anak yang ditinggal ibunya. Mendadak aku ditendang perasaanku sendiri hancur. Pasti pikiran Pakde lagi kacau. Ia telah mengejar berita istrinya sampai ke negara jiran, tetapi Ester seperti air jatuh ke pasir. Tak ada arah yang bisa ditempuh Pakde untuk menguntit jejaknya. KBRI sudah dihubungi tapi hasilnya zero.”
“Sabar, Pakde.”
Pao mengusap pundak Pakde. Pakde bengong dan kecewa.
“Mestinya di sini, tidak ke mana-mana. Kenapa, ya?”
Pao memberanikan diri berbisik, “Sudahlah, Pakde, mungkin Ester sudah menikah dengan majikannya. Lupakan saja, anggap dia sudah mati. Sekarang konsentrasi pada anak-anak Pakde saja. Buktikan Pakde bisa tanpa dia!”
Pakde tersenyum pedih.
“Kamu tidak mengerti, Pao. Ini bukan soal Ester. Aku sudah ikhlas. Kalau tidak, aku sudah lama jadi tape.”
“Bagus begitu Pakde. Itu yang tadi saya bilang legawa. Syukurlah Pakde sudah bisa atasi semuanya. Ayo kita jalan-jalan, beli oleh-oleh untuk anak-anak Pakde.”
“Ya, nanti kalau sudah ketemu.”
“Oke, nanti kita cari lagi. Kita pelesir saja dulu. Biar istri saya yang cari, pasti ketemu. Perempuan lebih pintar cari barang hilang.”
Pakde terkejut. Kelihatan ketakutan. “Jangan! Istrimu tidak boleh tahu. Malu aku, makanya harus ketemu!”
“Harus?”
“Mutlak!”
“Tapi apa? Yang hilang itu apa?”
Pakde mendekatkan mulutnya ke telinga Pao, lalu berbisik: “Tadi aku sampai dua kali memaki bangsat, bangsat! Itu harus dibuang jauh-jauh sebelum ditemukan istrimu!”
Pao tercengang. Dari dalam terdengar langkah istrinya keluar. Dengan panik Pakde kembali mencari.
“Pakkk! Pakde diajak makan dulu, nanti perutnya gembung!”
Pao buru-buru membantu Pakde mencari. Bu Pao muncul. Terkejut. Cemas.
“Astaga! Apa, apa yang hilang?” Langsung merangkak ikut panik mencari sepenuh hati. ***

Jakarta, 21 Juni 2015 – 2 September 2017
PUTU WIJAYA, Sastrawan dan teaterawan, yang Rabu (21/2) menerima gelar doktor honoris causa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta.

Yang Terpenjara Waktu

Cerpen Zhizhi Shiregar (Republika, 25 Februari 2018)
Yang Terpenjara Waktu ilustrasi Da'an Yahya - Republika.jpg
Yang Terpenjara Waktu ilustrasi Da’an Yahya/Republika
“Sini, Nak,” senandungku. “Duduk di pangkuan. Ayo kita bercengkerama tentang hal-hal manis, seperti gula-gula, sejumput awan dan senyum ayahmu. Cerita-cerita yang akan membuat harimu lebih renyah. Ayo, buka matamu, bangkit dari tempat tidur.”
Kutatap Limara yang belum membuka mata. Memang bagaimanapun juga hari masih terlalu pagi. Baiklah, kumulai saja ceritanya, kita tak ada waktu seharian. Dan apa yang lebih penting untuk diceritakan pada seorang anak, selain asal muasal namanya?
Sedari pertama bertemu, aku sudah tahu ia langit. Tapi kalau benar ia langit dan aku bumi, sungguh tak mengapa sesekali bertemu di lautan, tempat langit dan bumi sesekali berpelukan. Lautanku bernama bumi Sulawesi.
Mereka sebut ia Dewakinnara. Tapi kita harus beri nama samaran yang sama heroiknya. Anggap saja nama terbaik yang pernah kau dengar dalam hidup ditambah satu juta poin lagi, maka kita akan sebut dia itu. Atau sebut saja dia A. Huruf pertama, tanpa akhiran. Karena tak semua yang berawal harus memiliki akhir. Atau itu pikiran gilaku saja yang baru kenal namanya awalan tanpa sudi diberi akhiran.
Tapi apa istimewanya seorang Dewakinnara? Ah. Salah. Seharusnya kau tanyakan apa yang tidak istimewa dari orang itu. Ia tak lebih dan tak kurang adalah pemujaku, dan aku tak lebih dan tak kurang dari pemuja setianya.
Aku bertemu Dewakinnara kala kami berkelana dalam satu kelompok yang mendapat kehormatan menyaksikan upacara Rambu Solo’, tradisi pemakaman, di Toraja. Aku mencari inspirasi untuk masakan khas Indonesia di restoran berbintang-bintang di Dubai sana, ia mencari objek foto untuk dunia internasional saksikan mengenai Indonesia.
Tak sulit untuk jatuh cinta padanya, bagaimanapun juga ia pribadi yang unik dengan isi kepala penuh dengan letupan ide. Tapi aku bersimpuh sepenuhnya karena namanya. Ya, jangan terbahak, ia pernah cerita bahwa namanya diambil dari dewa penguasa segala nyanyian dan tarian. Entah benar atau hanya bagian dari rayuan mautnya, tapi aku berani sumpah, ia memang terlahir untuk menjadi seorang Dewakinnara.
Tepat lima puluh bulan setelah pertemuan pertama, kami bergandengan di pelosok Sulawesi, kini berdua saja. Dengan lengan mengepit kamera dan tas-tas yang sesak oleh lensa, ia mengembara serupa layang-layang yang lupa pulang. Aku genggam lengannya sebagai pengingat. Agar ia tak seketika menghilang. Kami berjalan bersisian menapaki bumi Sulawesi. Tanah lengket diam-diam bercengkerama dengan sepatu kami yang sudah menjejak pedalaman Papua dan Kalimantan sejak bertahun-tahun sebelumnya.
“Mau diberi nama siapa, pemberontak kecil kita?” tanya Dewakinnara sambil merunduk-runduk mengambil gambar bumi Sulawesi yang megahnya luar biasa: kadang indah, kadang mengerikan mengancam jiwa. Tapi tak ada hal yang hebat yang bisa diperoleh tanpa perjuangan.
Aku menghela napas sekali lagi, terlalu gengsi untuk mengakui bahwa aku hanya manusia biasa. Berat ternyata jalan-jalan membawa perut sebesar ini, meski hanya ke sisi hutan yang paling datar sambil menyusuri tapaknya perlahan sekalipun. Entahlah. Aku berani ikut ke sini semata-mata karena belum nampak tanda-tanda ia berkenan untuk keluar. Padahal dunia sudah terentang sedemikian luasnya untuk kami jelajahi bertiga. Sang pemberontak, kata Dewakinnara. Seolah ia tak ingin diberi tahu kapan harus keluar.
Dewakinnara sudah berkali-kali ditawari beasiswa ke luar negeri, berkali-kali pula ia tolak dengan santun. Aku ingin membagikan indahnya bumi Indonesia, aku tak tertarik melirik bumi lainnya, ujarnya dengan dada terbusung bangga. Ucapannya diamini oleh berbagai fotografer internasional lainnya yang kerap kami temui berkali-kali di pedalaman Indonesia.
Aku terantuk. Ketubanku pecah juga. Dewakinnara seperti orang gila, setengah tertawa, setengah panik histeris. Tertawa semata-mata lega, akhirnya dewi yang kami tunggu-tunggu hadir juga. Panik karena kami menjelang malam di tengah hutan yang jaraknya berkilo-kilo jauhnya dari desa terdekat.
“Berminggu-minggu sudah kita tunggu dia di dalam rumah yang nyaman, malah memilih ingin keluar sekarang,” Dewakinnara berdecak kagum. Detik pertama ia mulai tergila-gila pada anaknya sendiri. Entah kekuatan dari mana, setelah memasukkan kamera ke dalam tas punggung, Dewakinnara menggendongku sambil berlari menempuh kilo demi kilo hutan yang menggelap.
“Aku takut,” dalam pelukannya, mataku menjelajah pohon-pohon tinggi di langit. Pohon-pohon menjulang yang semakin seram seiring dengan malam yang tanpa ampun mengejar kami.
“Marendeng marampa’ kadadianku,
Dio padang digente’ Toraya Lebukan Sulawesi,
Mellombok membuntu mentanetena,
Nakabu’ uma sia pa’lak na sakkai Salu Sa’dan.”
Dewakinnara nyanyikan Marendeng Marampa, lagu yang sama-sama kami pelajari di Tanah Toraja. Aku tahu ia bersenandung agar aku tidak takut. Sempat-sempatnya ia bernyanyi di sela napas yang tersengal.
“Kamu rindu Toraja kah?” tanyaku begitu kami di desa dan aku selesai berperang melawan maut.
“Teramat sangat,” ia seka keringat dari dahiku sambil menggendong sang bayi.
“Nanti kita ke sana bawa Limara ya?”
Dewakinnara terbahak. “Mau kau namai Limara?”
“Limara. Nama pohon eboni yang terus mengiringi lari-lari kecilmu sepanjang hutan tadi.”
“Limara,” ulang Dewakinnara dengan mata berbinar takjub.
Seolah mengiyakan, bayi di pelukannya tertawa girang.
***
“Ah, kau yang kepala batu ini pasti masih pula bertanya apa yang lalu terjadi,” aku terkekeh, kembali ke masa kini. Baik, kulanjutkan ceritanya, meski mata Limara masih terpejam.
Sulit untuk tidak jatuh cinta pada Toraja. Alamnya, budayanya, keramahan penduduknya, namun yang sering terlupakan karena butuh waktu untuk memahaminya: filosofi hidup mereka. Ada satu hal yang lebih menarik selain filosofi hidup mereka: filosofi kematian yang mereka junjung.
Sementara seluruh dunia bertarung dan mengunci pintu rapat-rapat dengan ide kematian, orang Toraja justru memeluk erat kematian dengan penuh keakraban. Kematian bukanlah akhir, hanya satu tahap dari proses panjang. Bukan pula perpisahan yang perlu ditangisi.
Kini, Toraja sudah menjadi bagian dari kami, dan kami pun sudah jadi bagian dari Toraja. Kemanapun kami mengembara, pulangnya pasti ke tanah yang sama pula.
Tapi tahun demi tahun melahap bumi Sulawesi dengan tak ramah. Limara, eboni hitam yang mendunia, telah membutakan mata banyak orang. Kami bertiga berjalan dalam diam, masing-masing menjinjing sendu. Tak ada lagi cuitan burung yang bersahut-sahutan. Semakin dalam kami masuk, bekas-bekas penebangan semakin nyata terlihat. Limara meneteskan airmata untuk pepohonan yang namanya disandang pula olehnya.
Krekkk!
Dewakinnara bergegas menutup mulut Limara dan menariknya ke balik semak-semak. Dadaku sesak oleh gemuruh hingga tak terdengar dan tak terpikir apa-apa lagi. Tanganku gemetar, namun tetap kupeluk erat-erat Limara dalam lindunganku.
“Kamu tetap di sini,” bisik Dewakinnara. Ia mengganti lensa kameranya menjadi lensa jarak jauh. Perjalanan singkat ke hutan ini seharusnya sekedar bertemu burung-burung unik untuk foto Dewakinnara dan bahan makanan untuk menu baru restoran Indonesiaku. Tapi sialnya kami bertemu dengan para pembalak yang sudah pasti liar, karena ini hutan lindung. Kalau masih ragu, senapan-senapan yang mereka sampirkan di dada tentu bisa memberi penegasan sendiri.
Dewakinnara mendekat hingga jarak yang ia tentukan aman. Ia ambil foto sebanyak-banyaknya sebagai bukti sebelum kemudian berlari ke arah kami.
“Kita ketahuan!”
Aku tersandung-sandung menarik Limara yang ketakutan. Dewakinnara bergegas menariknya dan seketika itu juga menggendongnya sambil terus berlari begitu cepat.
“Tidak bisa. Mereka akan mengejar kita.”
Tembakan demi tembakan berdesing sedemikian dekatnya di telinga kami. Ini pasti bercanda, ya Tuhan, ini pasti bercanda. Siapa yang bisa membunuh manusia lainnya demi kayu! Aku berpikir histeris.
Dewakinnara berbelok mendadak. Ditariknya aku ikut ke dalam sungai. Ia beri isyarat pada Limara untuk menarik napas. Berbarengan, kami celupkan kepala ke dalam sungai sambil menarik semak-semak menutupi kami. Seekor ular sungai lewat. Aku berdoa pada Tuhan, pada Dewa Bumi, Dewa Sungai, penguasa alam semesta siapa pun itu, beri kami kesempatan hidup. Jejak-jejak mereka berderap di tepian sungai. Orang-orang itu melewati kami!
Sesampainya di desa, Dewakinnara segera berlindung di rumah kepala adat. Masih terengah-engah, ia bercerita tentang apa yang ia temui dan keluarkan kamera dari tas anti-airnya. Ditunjukkannya foto-foto yang membuatku paham mengapa kami diserang sedemikian ganasnya: seorang petinggi negara terkemuka tengah berdiri di atas jeep.
Sementara Dewakinnara berbincang dengan kepala adat, mataku menangkap seorang anak yang tergesa lewat membawa baki berisi makanan. Limara mengajaknya bermain. Anak itu menggeleng sambil memberi isyarat, aku harus taruh ini dulu di kamar Ibu, sambil berjalan menuju loteng. Lamira yang sudah paham pun mengangguk. Istri sang kepala adat memang sudah lama berpulang karena sakit dan tengah menunggu prosesi pemakaman.
Percaya atau tidak, butuh waktu bertahun-tahun untuk kemudian menjebloskan petinggi itu dan membersihkan mereka hingga akar-akarnya. Seperti bola salju, sekian nama yang tak terduga ikut pula terseret. Tapi kami sudah tak lagi di sana untuk merayakan keberhasilan itu. Kami terpaksa mengungsi dari bumi Sulawesi, jauh ke negeri lain, jarak terjauh dari nusantara yang dibenci Dewakinnara. Semata-mata untuk melindungi diri dari ancaman dan teror yang menghantui.
***
Sebuah ketukan di pintu mengganggu ceritaku. Disusul dengan ketukan-ketukan lain yang semakin lama semakin keras. Hari sudah petang. Ada apa pula orang bertamu. Kulongokkan kepala, Limara tak kunjung membuka pintu depan. Begitu pula dengan Dewakinnara. Aku mendesah lelah. Aku rapikan piring-piring makan siang mereka dulu sebelum kubuka pintu.
“Selamat siang, Madam,” sepasang polisi membuka topi mereka sebagai tanda hormat. “Kami mendapat laporan dari para tetangga. Boleh kami masuk?”
Tanganku gemetar. Aku menggeleng. Yang kutahu, menggeleng adalah selemah-lemahnya perlawanan. Kulihat selusin manusia telah berkumpul di lorong apartemen. Aku  menelan ludah susah payah ketika para polisi tersebut merangsek masuk. Sesosok perempuan separuh baya yang kutahu berkewarganegaraan Indonesia juga menghampiri, memelukku erat.
“Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Polisi sudah bilang itu karena racun, bukan karena dirimu,” gumam Maya sambil terus menenangkanku.
Para polisi mendobrak pintu demi pintu kamar, menghiraukan tangisanku yang mulai pecah. Tiba di pintu kamarku, semua orang seketika menutup hidung. Tak apa kalau mereka tak mengerti. Tak ada satupun dari mereka yang bisa mengerti kenapa aku melakukan ini.
Maya sungguh tak paham bahwa tak ada yang bisa disalahkan selain kelengahanku yang membiarkan mereka berdua memesan pizza sambil menunggu aku selesai menutup restoran. Andai waktu itu aku memilih memasak di rumah saja, takkan sempat para kronco petinggi itu membalas dendam melalui racun yang mereka tabur di pizza. Takkan tertinggal sendiri aku di alam ini, sementara mereka telah melanjutkan perjalanan ke alam sana. Dua ciptaan Tuhan yang paling kupuja.
“Kami sungguh menghormatimu sebagai tetua di sini, Madam,” ujar salah satu anak muda. “Tapi Madam tidak lagi tinggal di Toraja. Anda bahkan bukan orang Toraja. Ini negeri yang sama sekali berbeda. Tidak boleh menyimpan mayat di dalam rumah.”

Zhizhi Siregar aktif membuat karya tulis yang dimuat di berbagai media massa. Dia sudah belajar menulis sastra sejak kecil.