Daftar Blog Saya

Senin, 17 Juli 2017

Akhir Perjalanan Gozo Yoshimasu


Cerpen Sori Siregar (Kompas, 16 Juli 2017)
Akhir Perjalanan Gozo Yoshimasu ilustrasi Emmy Go - Kompas
Akhir Perjalanan Gozo Yoshimasu ilustrasi Emmy Go/Kompas
Puluhan pemuda melangkah cepat sambil berteriak riuh menuju markas tentara Jepang di pojok jalan. Dengan bentangan tangannya, seseorang yang bertubuh besar menghentikan langkah para pemuda yang dibakar amarah itu. Lelaki bertubuh besar itu maju ke depan.
“Mana komandan kamu. Panggil dia. Kami datang untuk mengambil semua senjata yang kalian miliki,” katanya kepada para pengawal.
Gozo Yoshimasu, yang telah mendengar gemuruh teriakan ketika para pemuda itu semakin mendekati markas mereka, melangkah keluar sebelum pengawal memanggilnya. Ia berdiri tenang. Semua pemuda yang berada di depannya juga diam. Rasa takut belum meninggalkan wajah mereka. Susah rasanya melepaskan diri dari rasa takut, benci, dan amarah setelah lebih dari tiga tahun ditindas oleh tentara-tentara bermata sipit itu. Tentara Jepang dikenal kejam dan gemar menyiksa.
Gozo Yoshimasu yang bertugas sebagai komandan di markas tentara di kota Tebing Tinggi itu menatap mata lelaki bertubuh besar yang berada tidak jauh di depannya. Yoshimasu bukanlah tentara yang mudah lepas kendali. Di kalangan sesama perwira tentara Jepang, Yoshimasu yang berpangkat kapten itu dikenal lembut menghadapi siapa saja. Ia bukanlah prototipe tentara pendudukan yang terkenal garang dan tanpa belas kasihan.
“Boleh saya tahu mengapa kalian datang ke markas ini?” Ia bertanya tetap dengan tenang.
Tanpa harus menunggu lama, ia mendengar teriakan lelaki bertubuh besar yang berdiri di depannya.
“Kami datang untuk mengambil senjata yang kalian miliki. Sebagai bangsa yang kalah perang, tentara kalian tidak berhak memiliki senjata lagi. Serahkan senjata itu kepada kami dan kami tidak akan mengganggu tuan dan anak buah tuan.”
Peristiwa yang sedang dihadapi Yoshimasu bukan hanya sekali terjadi di negeri ini setelah Jepang menyatakan takluk kepada Tentara Sekutu dalam Perang Dunia II. Karena itu, Yoshimasu tidak terkejut. Ia diam dan berpikir. Para pemuda di depannya mulai tidak sabar dan kembali berteriak-teriak dengan amarah walaupun tetap dibarengi rasa takut.
“Senjata kami hanya akan dilucuti oleh Tentara Sekutu, bukan oleh pihak lain. Jika kami memberikan senjata-senjata yang kami miliki kepada kalian, kami dilarang keras untuk melakukan itu dan akan ditindak tegas oleh Tentara Sekutu.”
“Serahkan sekarang juga,” ujar lelaki bertubuh besar itu. “Jika tidak, kami akan menyerbu masuk dan korban akan berjatuhan di pihak tuan. Tuan lihat betapa banyaknya pemuda di belakang saya.”
Gozo Yoshimasu menatap mata lelaki bertubuh besar kemudian menatap semua pemuda di depannya. Kapten yang oleh rekan-rekannya dikenal lembut ini tampak berpikir untuk mengambil keputusan. Ia sadar betul bahwa para pemuda di depannya benar-benar membutuhkan senjata karena mereka ingin mempertahankan kemerdekaan yang baru mereka kumandangkan. Namun, jika ia memberikan senjata yang mereka miliki, Tentara Sekutu akan memberikan hukuman berat kepadanya. Ia akan dianggap membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentara Sekutu tidak menghendaki itu. Mereka memiliki rencana sendiri untuk bangsa ini.
Dalam keadaan kritis tersebut, Kapten Yoshimasu harus mengambil keputusan segera untuk menghindari pertumpahan darah. Keputusan yang ditunggu itu pun diambilnya dan ia siap untuk menanggung segala risiko untuk itu.
“Masuklah dan ambillah semua yang kalian inginkan,” ujar Yoshimasu dengan suara keras dan tegas.
Mendengar keputusan itu, semua pemuda menyerbu masuk dan merampas semua yang terdapat di dalam markas. Yoshimasu menyaksikan semua itu dengan perasaan tercabik. Namun, ia merasa keputusannya tersebut paling tidak akan dapat menyelamatkannya dan anak buahnya. Namun, kenyataan berkata lain. Salah seorang pemuda yang menyerbu ke markas menodongkan ujung bambu runcingnya ke leher Yoshimasu. Lelaki bertubuh besar merampas bambu runcing itu dari pemiliknya dan melemparkannya ke halaman markas. Ia tidak ingin Yoshimasu cedera.
Pemilik bambu runcing yang sedang diamuk amarah merampas senapan dari tangan temannya yang baru mengambil senjata itu dari markas. Ia mengarahkan senjatanya ke tubuh Yoshimasu yang tidak berdaya. Lelaki bertubuh besar berteriak mencegahnya. Dengan sekuat tenaga, pemuda pemilik bambu runcing itu menusukkan sangkur yang melekat di senapan itu ke dada Yoshimasu. Perwira Jepang itu bersimbah darah. Lelaki bertubuh besar itu mencoba menolong Yoshimasu. Tapi, saat itu juga sangkur yang masih merah dengan darah itu diarahkan sang pemuda ke dada lelaki bertubuh besar itu.
Jika salah bersikap, ia akan mengalami nasib seperti Yoshimasu. Setelah mengerang beberapa saat, tubuh Yoshimasu tidak lagi bergerak dan darah terus mengucur dari tubuhnya. Setelah itu lelaki bertubuh besar hanya dapat menyaksikan dengan rasa tidak percaya semua yang dilakukan para pemuda yang tadi dipimpinnya. Setelah semua anak buah Yoshimasu dilumpuhkan, mereka diseret ke tengah-tengah kota. Di sana mereka diberondong seorang demi seorang di depan penduduk yang datang menonton.
***
Kekejaman yang dilakukan para pemuda yang berada di belakang lelaki bertubuh besar itu tak pernah dapat diusirnya dari ingatannya. Dua puluh tahun kemudian, kekejaman yang serupa terjadi di negeri ini. Anak lelaki bertubuh besar juga gagal mencegah kekejaman teman-temannya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika para anggota ormas yang dipimpinnya membantai puluhan orang yang belum tentu bersalah akibat gejolak politik yang tidak diinginkan.
Ketika anak semata wayang itu mengutarakan perasaan bersalahnya karena tidak dapat mencegah kejadian yang memilukan itu, sang ayah, lelaki bertubuh besar itu, berupaya menenangkannya.
“Dua puluh tahun ayah juga merasa dikejar-kejar dosa karena tidak dapat menyelamatkan perwira Jepang itu dari kekejaman yang dilakukan para pemuda di Tebing Tinggi itu. Seandainya Yoshimasu bersikap keras dan melepaskan tembakan ke arah kami, ayahlah orang pertama akan tersungkur ke bumi. Tapi, Kapten Yoshimasu mengizinkan kami masuk ke markasnya dan mengambil semua senjata yang terdapat di sana. Ia hanya menyaksikan kami tanpa reaksi apa pun.”
“Lalu, mengapa teman-teman ayah itu harus membunuh Yoshimasu dan semua anak buahnya?”
Lelaki bertubuh besar itu menarik napas. Ia dapat membaca semua yang tersimpan dalam benak anaknya. Peristiwa yang membuat anaknya merasa berdosa itu baru berlalu satu tahun. Itu pun pastilah tidak seberat yang dirasakan ayahnya selama dua puluh tahun.
“Ketika itu kita memang terbelenggu oleh rasa cemas, takut, dan amarah sehingga kita tidak dapat berpikir jernih. Mereka telah takluk dalam perang dan apa yang dapat mereka perbuat sebagai pecundang terhadap kita? Mereka telah menyerah kepada nasib dan menunggu tindakan tentara sekutu. Hal yang sama juga kau alami. Apa yang dapat diperbuat kekuatan kiri itu setelah mereka dinyatakan terkubur di negeri ini. Mengapa teman-temanmu harus membunuh para petani, buruh dan para ibu yang belum tentu bersalah itu, sedangkan kaua tidak dapat menghentikannya. Mereka orang-orang sederhana yang diperalat oleh kekuatan politik durjana. Paling tidak kau telah berusaha menghentikan kebuasan itu, tetapi apalah artinya tenaga satu orang menghadapi kekuatan massa.
Anak lelaki bertubuh besar menatap ayahnya. Baginya, banyak orang merasa peristiwa sejarah di masa lampau tak perlu dikenang atau disesalkan. Semua itu harus diterima apa adanya. Mungkin itu benar buat orang yang tidak bersinggungan sedikit pun dengan peristiwa sejarah itu. Tapi tidak buat orang yang kehilangan sesuatu atau terbelenggu kejaran dosa karena peristiwa sejarah itu. Anak lelaki bertubuh besar itu mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Kemarin aku membaca feature menarik di koran Strait Times yang kubeli di sebuah toko buku di bandara. Seorang laki-laki yang mengaku dirinya cucu dari seorang perwira Jepang di Indonesia bernama Gozo Yoshimasu sedang mencari informasi tentang makam kakeknya dan bagaimana kakeknya terbunuh. Benarkah ia tertembak karena membangkang perintah Pasukan Sekutu? Aku rasa ayah dapat memberikan informasi yang benar kepadanya. Alamatnya jelas tertulis di akhir tulisan itu. Jelaskanlah, Tentara Sekutu sama sekali tidak ada urusannya dengan kematian Yoshimasu. Jelaskan juga bahwa ayah tidak tahu di mana jenazahnya dikuburkan atau dibuang bersama dengan mayat-mayat anak buahnya.”
Lelaki bertubuh besar itu membisu. Lama ia berpikir. Adakah manfaatnya jika ia menceritakan peristiwa sebenarnya kepada orang yang mengaku sebagai cucu Yoshimasu itu? Apakah tidak lebih baik aku membiarkannya berpikir bahwa Tentara Sekutulah yang membunuh kakeknya. Dengan begitu aku dapat menyelamatkan nama baik para pemuda yang menyerbu ke markas Yoshimasu, termasuk diriku.
Anak lelaki bertubuh besar seakan menyadari apa yang tersimpan dalam kepala ayahnya. Agar ayahnya tidak dikejar-kejar dosa sepanjang hidupnya, ia pun menyuarakan pendapatnya.
“Ayah sebaiknya menghubunginya dan menuturkan semua yang ayah ketahui. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kakeknya yang menjadi korban. Cobalah ayah baca artikel yang bagus dan mengharukan itu. Kalau sekadar ingin tahu nasib ayahnya sebenarnya cukup jika ia menulis surat pembaca. Tetapi, ia menulis artikel karena peristiwa di Tebing Tinggi itu selalu menjadi pembicaraan tentang Jepang yang kembali dari Sumatera. Nama kota itu ditulisnya berkali-kali dalam artikel itu. Dengan menceritakan semua yang terjadi pada Yoshimasu, percayalah, ayah, akan terbebas dari kejaran dosa yang tak berujung itu.
“Kau sendiri bagaimana?”
“Orang-orang yang menjadi korban temanku seorganisasi bukanlah orang-orang penting seperti Kapten Yoshimasu. Hingga saat ini pun aku tidak pernah mendengar ada orang yang mempersoalkan hal itu. Siapa mereka dan mengapa mereka dikorbankan. Hanya para pelaku kejahatan itu yang dapat menjawabnya. Atau mereka pun tidak tahu karena perbuatan tidak terpuji itu mereka lakukan secara membabi buta karena amarah yang mencapai puncak. Biarlah ayah aku terus menanggung dosa ini hingga suatu saat nanti aku dapat terbebas dari kejarannya. Siapa tahu dengan pengakuan ayah terhadap cucu Yoshimasu secara bertahap kejaran itu akan berhenti. Siapa tahu”.
Lelaki bertubuh besar masih membisu. Kemudian ia menghampiri anaknya dan memeluknya.
“Berikan alamatnya kepada ayah.”

Jakarta, 16 Maret 2017
(Diilhami oleh buku The Dawn of Sumatra karya Takao Fusayama, diedarkan oleh Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area (PRIMA) dan Lina Computer Press—tanpa tahun penerbitan).

Sori Siregar. Menulis cerpen sukar dihentikannya. Karena ia menulis terus, akhirnya ia bingung sendiri mau ke mana cerpen-cerpen itu dikirimkan. Media memang banyak, tetapi untuk mengikuti semua media itu tentu memerlukan kerja ekstra. Karena itu, cerpen-cerpen tersebut disimpannya sendiri. Kompas adalah tempat utama ia menyalurkan cerpen-cerpennya.

Catatan Seorang Teroris


Cerpen Beni Setia (Kedaulatan Rakyat, 16 Juli 2017)
Catatan Seorang Teroris ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Catatan Seorang Teroris ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
SEBAGAI serang jurnalis, yang juga menulis fiksi, saya dipanggil Dinas Intelijen Negara (DIN), bersama beberapa penulis lain. Mereka menyerahkan sejumlah catatan pribadi dari tersangka teroris, dan berharap bisa mengubah itu jadi skenario dokudrama—dokumen yang didra-matisasi—, buat menggambarkan upaya radikalisasi, dan sekaligus penangkal deradikalisasinya, dengan mengacu pada rekonstruksi kesadaran dari orang yang terus kalah dan dipinggirkan secara sosial-budaya. Dengan kata lain, dengan pendekatan psikologik.
Dan inilah kasus yang aku pelajari—lebih tepatnya sebuah konklusi pracipta, per fragmen, sebelum skenario ditulis, dan yang harus dirahasiakan sebelum tayangan TV-nya terpublikasi.
1
MALIN KUNDANG pergi mengembara dengan restu Ibu, serta berbekal harta rahasia keluarga. Ia jadi terkutuk karena mengabaikan tunjungan harta keluarga, sebongkah emas, dan tak mau mengakui Ibunya sebagai sumber asal-usul dan modal kapital berbisnisnya. Tapi apakah semua Malin Kundang memiliki keberuntungan punya harta keluarga?
2
AKU sendirian—tulis Malin Suargi—hanya yang bertemankan Allah SWT, dan Ia juga jauh transenden menghuni ufuk langit nun di sana.
3
DAN itu bermakna: Malin Suargi tidak seberuntung si Malin Kundang. Terutama karena ia hidup tak punya Ibu dan (sekaligus) harta keluarga, dan ia memang sejak awal dipaksa untuk hidup tersisih, terlunta. Dan karenanya ini merupakan ihwal ketakberdayaan manusia yang selalu ditakdirkan perih-pedih tersisih dan disisihkan.
4
‘Apa tak ingin kuliah?,’ tanya Ayah Angkatnya, kepadanya—yang sebenarnya lebih harus dibaca sebagai tak ada biaya untuk ia kuliah dan karenanya jangan ngotot ingin kuliah. Ya! Karena itu ia harus mulai mau bersyukur ada yang membesarkan dan membiayai sekolah sampai selesai SMA. Ya! Dan ia tahu itu pertanyaan wajar, terutama kalau dikaitkan dengan fakta kalau sejak kecil ia hidup sebagai si diadopsi—karena itu tak boleh meminta terlalu banyak dan mengharapkan dukungan terlalu serius. Seharus tahu diri, ia telah dibiayai untuk hidup, padahal biaya itu merupakan ekstra yang sebenarnya lebih berhak dinikmati saudara-saudara angkatnya. Ya!
Menyakitkan sekali, tapi itu harus mulai disadarinya.
5
ANAK piatu itu harus selalu peka, harus segera tahu diri dan membiasakan diri untuk menahan diri—catat Maling Suargi, dalam diary.
6
NAMA adalah siapa yang memberi nama itu dan bagaimana pemberian nama itu dipertanggungjawabkan oleh yang memberi nama—yakni orangtua dan bukan sekadar kakak angkat. Karena nama itu semacam doa, harapan agar hidup lebih baik dan bahagia, dan bukan asal-asalan mengikuti trend nama yang saat itu popular cq penyanyi, bintang film, atau apa.
7
AKU sepi, aku sendirian dan selalu sendiri—tulis Malin Suargi—, dan hanya merasa berteman dengan Allah SWT, yang transenden nun jauh di langit sana.
8
SURAT Akte Kelahiran adalah pengakuan Negara atas sebuah kelahiran—dan identitas nama dan keluarga—,pengakuan eksistensi. Dan Malin Suargi tak pernah tahu siapa yang melahirkannya—ia ditemukan dalam kardus di depan Pasar Sayur—, selain ia yang mengurusnya. Ya! Ayahnya entah siapa, Ibunya entah siapa dan di mana—tak mungkin memiliki harta keluarga—, sehingga ia besar di Panti sebelum kemudian diadopsi. Sehingga hari kelahirannya merupakan pengulangan trauma kehilangan yang terus menghantui—dan terkadang jadi si ketersisihan pembuangan, bahkan itu sampai saat ini, saat sedetik sebelum tubuh meletus jadi semacam serpihan.
Tapi haruskah itu dipikirkan?
9
MALIN Suargi bukan keparat, ia itu si penghayat melodrama, yang berjalan setengah bermimpi dalam tragika meniti jalan sunyi ketakberdayaan dan ketersisihan, yang selalu dipaksa untuk selalu menahan diri dan tahu diri, dan karenanya tidak bisa mengharapkan bantuan dari siapa pun—dalam hal apa pun. Ia terkucil. Yatim piatu—tersisih atau disisihkan.
10
SELALU sendiri—tulis Malin Suargi—, serta hanya berteman Allah yang selalu menahan diri—tak memihak dan melulu objektif ingin berlaku adil di dalam alam transenden nun di ufuk langit. Nun. Nun. Nun.
11
RUMIT sekali karena itu berkenaan dengan orang yang disisihkan, dan tak pernah punya teman—bahkan buat sekadar curhat. Karena itu, pada dasarnya, radikalisme agamawi yang mencari mati itu berkaitan dengan situasi psikologis yang asosial. Panggillah itu ekses dari masyarakat yang egoistik, hedonistik, dan mengamalkan individualisme–yang menghasilkan masyarakat dengan manusia-manusia yang tercecer dan disisihkan. Terasing.
12
‘IKUTI dan telusuri jalan lurus yang langsung menuju Allah SWT,’ kata Abu Jihad, berulang-ulang, dan kemudian, ‘Ajarkan pada semua manusia bahwa mereka terlalu egois, terlalu individualistik sehingga mengabaikan kesepian dan kesunyian orang lain yang tersisih.’ q – g

*) Beni Setia, pengarang. Tinggal di Caruban.

Memilih Cara Mati


Cerpen Syafaati Suryo (Media Indonesia, 09 Juli 2017)
Memilih Cara Mati ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia
Memilih Cara Mati ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
RUANGAN empat kali empat meter di tepi lampu merah itu tak ubahnya bilik sauna yang memeras keringat akibat pendingin udara yang sedang rusak. Dua pemuda berseragam cokelat duduk di dalamnya sembari menyesap kopi dan mengunyah bakwan hangat. Handy talky yang digenggam salah satu pemuda sesekali berbunyi menyampaikan pesan atau kelakar-kelakar ringan. Dua pemuda itu membicarakan kematian.
“Aku rindu kampung halaman,” ujar Hendro tiba-tiba setelah meletakkan handy talky di atas meja.
“Ambil cuti dan pulanglah,” sahut Gofur.
“Ya, mungkin usai Lebaran nanti. Entahlah, tiba-tiba aku ingin sekali mengunjungi makam ibuku di kampung.”
Hendro, lelaki 26 tahun itu, kembali termangu. Mengingat peristiwa setahun lalu saat menemukan ibunya tak sadarkan diri di kamar mandi rumahnya di kampung. Darah segar mengucur dari kepala ibunya. Ibunya terjatuh setelah mendadak sakit kepala hebat ketika berjalan menuju kamar mandi. Ibunya terpeleset hingga membentur bak mandi.
“Oh, iya, kau sudah takziah ke rumah si Syarif belum?” tanya Hendro kemudian.
“Sudah malam tadi. Kasihan istrinya, lagi hamil muda.”
Gofur lantas menyandarkan punggung dan melipat kedua tangan di dada. Matanya menerawang memancarkan rasa empati pada kawan satu angkatannya yang tewas kala baku tembak dengan perampok. Salah apa Syarif? Begitu batinnya kerap bertanya.
“Begitulah risiko pekerjaan kita. Maut mengintai di mana-mana. Mau tak mau, kau harus siap jika esok hari ususmu terburai atau kepalamu pecah ditembak orang tak dikenal,” ucap Hendro. Ia lalu meneguk kopinya yang telah dingin dan nyaris tandas.
“Apa pun profesi kita, di mana pun kita berada, meski kau membangun benteng setinggi Burj Khalifa sekalipun, meski kau sedang bersantai di ruang tengah rumahmu, jika memang sudah waktunya, mati juga kau,” papar Gofur.
“Hmm, ngomong-ngomong, kalau seandainya bisa memilih, kau ingin mati dengan cara seperti apa, Fur?”
“Kau ini, siang hari berbicara soal kematian. Mengapa tidak membahas Liverpool yang sukses masuk Liga Champions usai melibas Middlesbrough saja? Atau Raisa yang kabarnya akan segera dipinang.”
“Hahaha. Entahlah… Aku hanya sedang membayangkan ingin mati di tempat tidur yang empuk. Di senja hari yang damai. Di sisi istriku. Dikelilingi anak-anak dan cucuku kelak,” Hendro memandangi jalanan dengan tatapan kosong. Lalu ia melirik ke sisi trotoar. Ada seorang pria berbalut jas abu-abu melangkah tergesa-gesa. Ada dua wanita muda asyik mengobrol sambil berjalan dan menggenggam es kopi. Ada dua rekannya sesama polisi tengah mengatur jalan.
“Kau sedang ketakutan, ya? Tenanglah kawan. Kematian adalah sukacita. Kau bisa berjumpa dengan Ibumu di sana. Surga menanti orang-orang ikhlas dalam bekerja dan mengabdi pada masyarakat sepertimu.”
“Ah, kau, bisa saja. Jadi kapan kau akan melamar guru TK itu?”
Wajah Gofur lantas memerah. Bibirnya merekah. Dua biji matanya berbinar-binar. “Nanti malam aku akan ke rumahnya untuk mengutarakan niat baikku. Doakan ya, Bro!”
Dan bulir-bulir keringat luruh di balik seragam cokelat keduanya. Enam tahun lalu, setamat pendidikan di Jawa Tengah, mereka mulai mengenakan seragam itu. Setiap hari semenjak hari itu, kembang kebanggaan tiada pernah layu di sekujur kalbu.
Sebab apa yang paling membanggakan selain cita-cita semenjak kecil yang kemudian nyata saat dewasa? Mimpi yang sederhana bagi sebagian orang, namun menurut keduanya lebih berharga dari memperoleh segenggam berlian. Betapa menyenangkan dapat bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan. Itulah kebahagiaan yang tak direka-reka. Apa adanya. Puas dengan hal-hal yang biasa-biasa saja. Bahkan mereka yang berlimpah harta pun belum tentu benar-benar bahagia.
Separuh rekan seprofesinya kerap mencibir. Menyematkan predikat sok idealis dan terlampau naif. Lantaran bersetia pada etika dan norma. Segala rupa suap enggan diterima. Meski harus rela membawa pulang gaji yang tiada besar setiap bulan.
Mereka pun manusia biasa. Kadang mengeluh juga. Pekerjaan mereka bukan tanpa risiko. Letih sudah barang tentu. Berjibaku di bawah panas terik atau derai hujan setiap waktu. Tekanan dari atasan maupun senior sudah jadi makanan baku.
Tapi setiap kali ingin mengeluh lebih jauh dan merasa lelah, mereka selalu ingat bahwa setiap tetes keringat adalah pahala dan harus menjadi berkah. Pun membanding-bandingkan hidup dengan orang lain adalah tindakan yang salah.
Mereka tak peduli pada dagelan politik di negerinya. Mereka hanya fokus mengatur lalu lintas, menangkap penjahat, menjaga segala aksi unjuk rasa atau membantu nenek-nenek menyeberang jalan. Mereka juga tak peduli pada berbagai aliran agama ataupun percekcokan yang membawa-bawa agama.
Azan zuhur pun mulai berkumandang. Seorang rekan mereka masuk ke dalam ruangan itu. Hendak menggantikan Hendro dan Gofur yang pamit pergi ke musola di belakang pusat perbelanjaan.
Keduanya pun mulai melangkah melintasi pintu. Sementara seorang laki-laki di seberang sana tak henti-hentinya mengamati mereka.
***
Enam jam sebelumnya, Gofur berdiri berhadap-hadapan dengan ibunya di selasar rumah. Lengan kirinya menggenggam sesuatu yang telah disimpannya sejak seminggu terakhir dengan amat waspada sebagaimana ia menjaga dirinya sendiri.
“Bu, doakan aku. Cincin ini akan aku persembahkan pada Siti malam nanti,” katanya memohon restu. Ia menunjukkan sebongkah cincin emas yang diletakkan pada kotak merah mungil itu kepada ibunya.
“Gadis seperti Siti pasti akan menerima pemuda sepertimu sebagai suaminya. Ibu saja bangga punya kamu,” tutur ibunya sambil tersenyum. Diusapnya pipi anak kesayangannya itu dengan cinta yang melimpah.
“Ah, ibu. Gofur kan cuma lulusan Bintara. Bukan calon Jenderal. Gofur bukan orang kaya, Siti anak orang berada. Gofur yatim sejak kecil, tak tampan dan tak punya apa-apa,” ucap Gofur memancarkan wajah lesu.
“Hush, yang diharuskan itu rendah hati, bukan rendah diri! Perempuan baik tidak silau pada hal-hal duniawi. Ibu percaya, Siti bukan perempuan yang menilai laki-laki dari rupa dan harta. Malah Ibu lihat, Siti sudah kesengsem tuh sama anak Ibu,” tutur ibunya yang selalu pandai membangkitkan kepercayaan dirinya. Menggelorakan api semangatnya.
“Percayalah, doa ibu selalu menyertaimu.”
Gofur merangkul tubuh wanita ringkih itu dengan erat. Gofur merasakan ada rembesan air yang terasa hangat mengalir di saku bajunya. Ibunya tak pernah mengalami gejolak haru sesentimental pagi itu. Sementara enam jam sebelumnya di rumah Hendro, seperti biasa, istrinya yang cantik menghidangkan segelas susu cokelat dan setangkup roti tawar. Hari itu istrinya memilih selai kacang sebagai olesan. Hendro pun menikmati menu sarapannya seraya menyimak berita korupsi di televisi.
Saat layar televisi tengah menayangkan iklan sabun mandi, maka dengan penuh hati-hati, istrinya memulai percakapan. “Mas, kemarin Pak Dodo datang kemari.”
Gerakan mulut Hendro pun sontak melambat. Nafsu makannya seketika lenyap.
“Ya, aku usahakan lunas pekan depan,” sahut Hendro.
“Mengapa tak kita jual saja cincin pernikahan kita? Harta berharga kita satu-satunya,” tanya istrinya.
“Jangan. Jangan pernah kau jual cincin pernikahan kita jika tidak betul-betul mendesak. Uang lima juta rupiah masih bisa aku cari.”
“Baiklah,” istrinya lalu tersenyum, menampakkan dua buah lesung pipinya. “Ya sudah, kau jangan sampai stres memikirkan hal ini ya. Habiskan rotinya,” lanjut istrinya. Lalu dibelainya wajah Hendro dengan lembut. Keduanya bersitatap. Saling melempar pesan yang entah apa dalam diam, laksana telepati. Satu ciuman mendarat di bibir Hendro.
Sebelum keluar rumah, Hendro meraih anak satu-satunya yang masih berusia delapan bulan dari ranjang di kamarnya. Dalam dekapannya, ia mengecup pipi anak yang amat dicintainya itu. Bayi yang tampan dan menggemaskan. Satu bulan lalu, anak itu baru saja menjalani operasi kelainan jantung.
“Semoga kelak kau bisa jadi Jenderal,” bisik Hendro di telinga anaknya.
***
Lelaki berkaus hitam di seberang pos kian mendekat. Gofur meniliknya. Sekonyong-konyong, tengkuknya merinding. Telapak tangannya dingin. Perasaan apa ini? Begitu kata hatinya.
Hendro melempar pandangan ke arah trotoar. Ia tak sengaja melihat seorang wanita renta yang rasa-rasanya tak asing bagi Hendro. Ya, Hendro amat mengenali wajah itu.
“Ibu?” ucap Hendro lirih.
Waktu pun terasa begitu cepat berlalu. Semua menjadi kabur. Benar kata Hendro, bisa saja usus Gofur terburai. Seperti saat itu, di jalanan aspal siang itu. Sementara salah satu kaki Hendro terpisah dari tubuhnya.
Asap hitam pekat membubung di udara. Api menjilat-jilat bangunan pos polisi itu. Bunyi sirine menggema. Darah di mana-mana. Daging manusia serupa daging sapi di pasar yang telah terpotong-potong. Berserakan. Manusia berteriak dan berlarian. Tangis memecah langit. Semua mengutuk siapa pun pelaku dan apa pun motif teror hari itu.
Keesokan harinya, pangkat mereka dinaikkan satu tingkat dari Brigadir Polisi Satu menjadi Brigadir Polisi Anumerta. Gubernur menjanjikan beasiswa pada anak Hendo agar kelak bisa jadi Jenderal. Siti menangis tersengal-sengal.

Kesehariannya Syafaati Suryo merupakan jurnalis di salah satu televisi swasta. Sejumlah cerpennya sudah diterbitkan di media massa.

Kasandra


Cerpen Dinar Rahayu (Koran Tempo, 15-16 Juli 2017)
Kasandra ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.png
Kasandra ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Cerita ini sudah sering diungkapkan. Homeros barangkali termasuk yang pertama mengisahkannya walau ia hanya menyebut dua kali dalam kitab tentang peperangan itu. Untuk seterusnya buih ludah dan anggur dan berbagai kepentingan si pencerita akhirnya membuat cerita beranak cucu.
Ini adalah salah satu versi, yang penuh kepentingan si penulis.
Perlu diketahui bahwa semesta tidaklah tunggal melainkan seperti serbuk sari ditiup angin-berasal dari tempat yang sama dan bertualang sendiri-sendiri sesuai dengan nasibnya.
Ini cerita tentang sesudah perang itu, ketika seorang perempuan dibawa ke tanah jauh sebagai seorang budak. Seorang perempuan yang disangka gila karena pada dirinya karunia berubah menjadi kutuk: ia dapat meramalkan masa depan secara tepat tapi tak seorangpun mempercayai ramalan itu. Apalagi yang lebih tepat istilahnya selain: gila.
O, adakah nasib yang lebih buruk dari itu? Tentu ada, yaitu menceritakan kisah tersebut dan tak seorangpun mau mendengarkannya. Karena itu pula aku duduk di sini bercerita padamu tentang kisah ini.

Tanpa melihat ke luar jendela, Priam tahu bahwa Troya sedang terbakar dan hidupnya tinggal sejenak lagi. Ia menengok ke arah pojokan kamarnya yang remang. Tertutup selubung kain, sesosok tubuh berdiri mematung. Lengan dan kakinya terlihat. Sebab, selubung itu tidak menutup sempurna sehingga menunjukkan kulit yang halus, tapi tak sepenuhnya kulit manusia. Terlalu mulus.
Priam, Raja Troya, melepaskan kalung yang melingkari lehernya, kemudian melepaskan liontin dari kalung itu. Ia menggenggam erat liontin sambil mendekati sosok di pojokan dan menarik selubung yang membungkus sosok tersebut. Selubung kain melorot perlahan menyapu seluruh permukaan sosok tersebut sebelum bertumpuk di bawah.
Sosok itu berbentuk perempuan yang dipahat sesuai imaji ideal bentuk tubuh perempuan. Priam mendekati, meraba sosok tersebut dan menekan bagian pusarnya. Terdengar bunyi desir halus, sebuah kotak pipih menonjol. Rupanya pusar sosok tersebut semacam tombol yang merupakan bagian dari kotak.
Priam membuka liontinnya. Di dalamnya ada sebuah batu berbentuk prisma. Tanpa memegang, ia menjatuhkan batu itu ke bagian dalam kotak yang berupa pasangan bentuk batu prisma dan ia mendorong kembali pusar perempuan itu sampai ke tempatnya semula. Tak lama kemudian terdengar bunyi mendesing halus. Tangan Priam yang masih meraba bagian pusar perempuan tersebut perlahan merasakan sosok tersebut menghangat. Tidak lagi sedingin patung-patung pualam penghias kebun dan ruangan-ruangan di istananya.
Sejurus terdengar suara jeritan dan dobrakan logam beradu di ruangan bawah. Priam memperhatikan dada sosok di depannya turun naik mengembang dan mengempis. Sosok itu bernapas dan tubuhnya sehangat tubuh manusia.
Bukanlah kehidupan sesungguhnya yang ia berikan, melainkan sekadar tampak hidup. Napas. Kehangatan tubuh. Sedikit tenaga yang berasal dari batu di dalam liontinnya. Batu Vulkan, demikian orang menamai batu tersebut.
Batuan tersebut menghasilkan panas dan tenaga, tetapi sudah banyak yang mati karena menambangnya. Juga karena menggenggamnya. Tapi Priam tahu tidak semua tenaga dari batu yang terpancarkan menembus semua bahan. Bila menabrak suatu logam lain maka tenaga batu itu hilang. Sejenis logam kelabu yang berat dan kusam. Timbal namanya. Priam membungkus Batu Vulkan itu dalam kotak liontin yang terbentuk dari timbal.
“Kasandra,” bisik Priam ketika kedua mata sosok itu terbuka.
“Kasandra,” sosok tersebut mengulangi apa yang dikatakan Priam. Suaranya menggerodak campuran suara mesin yang asing. “Kasandra,” ia mengulangi. Kali ini suaranya lebih halus.
Sejenak keduanya terdiam. Priam bisa mendengar dengus napas Kasandra yang sedikit lebih keras daripada manusia pada umumnya. Napas yang berasal dari putaran roda-roda mesin dan gerakan tuas di dalam tubuhnya. Seperti napas orang yang sedang sakit tenggorokan, tapi tidak terlalu mengganggu.
Priam memegang dada Kasandra yang turun-naik. Halus dan seperti gerakan dada manusia yang bernapas. Kasandra ciptaannya, jika ciptaan adalah menyusun dan merangkai. Di kamarnya perkamen-perkamen berisikan rancangan mesin-mesin dan berbagai perhitungan bertebaran. Bejana yang saling berhubungan, wadah gelas bertumpuk-tumpuk. Cairan tampak menggelegak di satu bejana dan menetes-netes di bejana lain.
Priam mengambil perkamen-perkamen dan segala catatannya dan melemparkan ke tungku pemanas. Terdengar bunyi berkeletak dan perkamen yang menciut, menguning, dan kemudian terbakar dalam api.
Ia mematikan api di bawah bejana tembaga dan kaca membuat cairan yang terkumpul berhenti menetes. Ia kemudian mengambil pedangnya dan menyabet wadah kaca, membentur bejana tembaga dan menumpahkan isinya. Serpihan kaca berterbangan. Bunyi bejana tembaga mengenai pualam mendentam berat.
“Kasandra, kau tahu apa yang harus kau lakukan?” tanya Priam.
“Ya, Tuanku,” jawab Kasandra. Makhluk itu—jika bisa dikatakan bahwa susunan mesin dan selaput pembungkusnya itu adalah makhluk ciptaan Priam—turun dari tempatnya. Ia melangkah dengan gemulai.
“Kini kau keluarlah, sambut mereka,” kata Priam sambil melemparkan sebatang kayu dari tungku ke tirai. Api segera melahap tirai itu dengan rakus.
Priam, raja tua itu, mati bunuh diri dengan cara membakar dirinya sendiri, demikianlah cerita bergulir. Sebenarnya ia sudah mati sejak dulu ketika dari balik jendela ia harus melihat anaknya mati di medan perang. Jiwanya sudah mati duluan dan kini tubuhnya ikut mati karena tak punya lagi tujuan hidup.
Di dunia lain, makhluk seperti Kasandra dinamakan robot dengan kecerdasan buatan, tetapi makhluk jadi-jadian ini dengan jasad terdiri dari logam, karet, dan minyak mesin ini tak memiliki nama kecuali nama pemberian tuanya—itu pun bukan benar-benar namanya melainkan nama anak perempuan Priam yang sudah lama mati.
Kasandra, begitulah ia dikenal, bergerak seperti manusia tetapi tidak terlalu cerdas. Para pemenang perang yang menemukan Kasandra berdiri di depan pintu kamar Priam yang terbakar.
“Namaku Kasandra, aku anak perempuan Priam,” begitu sosok itu mengenalkan diri kepada Para Pemenang Perang. Tak ayal mereka menyeret Kasandra ke kapal mereka.
Di atas kapal mereka sadar anak perempuan ini tidaklah terlalu cemerlang, tetapi kemudian mafhum barangkali dulu kala permaisuri sedang ingin iseng dengan tukang kebun di taman dan Priam sedang pergi entah ke mana. Akibat perselingkuhan ini maka keturunannya pun tidaklah sempurna. Tetapi setidaknya budak Troya ini cantik, begitulah pikiran Para Pemenang Perang.
Setidaknya, walaupun berbicara aneh, bernapas seperti sedang berusaha menelan kulit kerang, sebagai budak Kasandra dapat menyajikan anggur. Semenjak di kapal pun, Sang Raja Pemenang sebagai kapten kapal dan awaknya suka membawa Kasandra ke pojok yang gelap.
Mereka tertawa-tawa dan mengatakan bahwa perempuan Troya itu bersuara dan bertingkah aneh, tetapi tidak mengapa. Tidak sepenuhnya manusia dan mereka menganggap itulah hasil perkosaan dewa atas manusia. Atau Priam sedang tidak berkonsentrasi ketika meniduri permaisurinya. Atau barangkali anak Priam dengan dayang-dayang atau dengan perempuan udik yang kurang waras. Mereka tertawa-tawa…

Di dunia ini nama penyakit tersebut adalah sifilis, tetapi di dunia itu mereka menyebutnya sebagai kutukan Dewa Tanah Jauh. Seperti wabah, penyakit itu hampir menghabiskan separuh penduduk kerajaan pemenang. Penyakit itu dibawa oleh budak bodoh dari Troya yang kini menghilang.
Walau sudah banyak persembahan di altar, penyakit itu tak kunjung habis. Sampai pada suatu malam sang permaisuri Raja Pemenang yang cerdas, atau barangkali mendengar suara Dewi Kesembuhan, mengambil obor dan membunuh semua laki-laki dan perempuan yang terkena penyakit itu, lalu membakarnya. Ia yang juga terkena kemudian mencemplungkan dirinya ke api unggun raksasa itu.
Orang-orang bilang sang permaisuri dirasuki setan atau mendengarkan bisikan dewa palsu dan malu sendiri. Ada juga yang bilang permaisuri Raja Pemenang membakar suami dan seluruh orang di istana dibantu oleh selingkuhannya dan para tentara. Mereka disuap dan dijanjikan emas permata hasil jarahan Tanah Jauh jika mau membantu melakukan kudeta. Namun kemudian si selingkuhan malah memperdaya Sri Ratu dengan melemparkannya ke dalam api dan ia lari dengan para tentara dan harta kerajaan.
Seperti wabah, gunjing berkembang biak dengan cepat. Merambat di udara dan berpecah seperti serbuk sari ditiup angin. Masing-masing dengan cerita sendiri-sendiri. Dan orang-orang pun melupakan budak bodoh yang dibawa dari Tanah Jauh. Yang kabur menghilang membawa penyakit itu.
Tetapi di dalam gua dekat hutan, tak jauh dari Kerajaan Para Pemenang, di dalam ceruk yang gelap, ia tinggal di sana. Dalam kegelapan dan dingin. Denyut napasnya berkurang, hangat tubuhnya berkurang, tetapi ia masih hidup. Berada dalam keadaan tidur panjang tanpa mimpi untuk seribu tahun ke depan, dengan botol-botol kecil di dalam dirinya berisikan wabah-wabah yang diciptakan Priam. Orang mengenalnya dengan sampar, sifilis, gonorea, ebola, zika, hanta.
Berbeda dengan Pandora yang juga membawa sepercik harapan dalam kotaknya, maka makhluk ini hanya membawa pesan dari tuannya.

Dinar Rahayu lahir di Bandung 9 Oktober 1971. Kumpulan cerpennya berjudul Lacrimosa (2009). Ia juga menulis novel bertajuk Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch (2002).

Sindikat Pemalsu Kenangan


Cerpen Agus Noor (Jawa Pos, 02 Juli 2017)
Sindikat Pemalsu Kenangan ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Sindikat Pemalsu Kenangan ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
ADA yang diam-diam mencuri kenanganku, dan memberikannya pada orang lain.
Semula kusangka hanya kesalahpahaman karena pelayan kafe lupa mencatat, hingga meja yang kupesan sudah ada yang menempati. Penjelasan pelayan itu tak banyak membantu, dan membuatku semakin sebal, sementara perempuan itu bersi keras bahwa ia juga sudah jauh hari reservasi.
“Aku hanya ingin sejenak menikmati kenangan di meja ini. Semoga kau tak keberatan.”
Wajahnya yang murung seolah mengharapkan agar semua orang memahami kesedihannya. Caranya menatap membuat aku menjadi tak ingin mendebatnya. Mengenakan gaun hitam seperti orang yang sedang berduka, sepasang alisnya yang tebal terlihat seperti sayap burung yang murung. Rambut ikal panjangnya dibiarkan luruh menyentuh bahunya yang seakan tak lagi kuat menahan kesedihan yang ingin dilupakan. Kesedihan memang membuat kita ingin selalu dipahami.
Aku menerka, usianya mungkin lebih muda beberapa tahun dariku, tetapi tubuhnya yang lebih kurus membuatnya terlihat lebih tua. Ah, kesedihan memang tak mengenal usia.
“Aku hanya ingin menikmati kenangan.” Ia menatapku. “Duduklah, bila kau mau. Mungkin kita bisa berbincang. Lagi pula, meja ini cukup untuk kita berdua.”
Kemudian dengan suara pelan perempuan itu menceritakan perasaan kehilangan dan kerinduannya. “Kau tahu, hanya dengan kenangan kita bisa menikmati kembali kebahagiaan yang telah hilang. Karena itulah kita perlu merayakan kenangan. Lima tahun lalu lelaki yang kucintai melamarku di meja ini.” Ia memperlihatkan cincin di jarinya.
Saat itulah aku merasa ada yang aneh dan membuatnya curiga. Mendengar perempuan itu menceritakan kenangannya, aku seperti melihat kenanganku sendiri. Kenangan itu muncul kembali dihantar lagu lembut—lagu yang kudengar lima tahun lalu ketika Bram memberikan cincin melamarku. Juga pemandangan di jendela itu, langit sore yang bersih dibasuh hujan, hamparan pohon pinus basah dengan sungai kecil membelah lembah, segalanya tak berubah. Kenangan membuat segalanya abadi.
Perempuan itu memejamkan mata menikmati semua romansa yang diceritakannya, dan aku merasa berada dalam kenangan yang sama. Tapi, mungkinkah ada orang lain yang memiliki kenangan yang sama persis dengan kenangan kita? Tanpa sadar aku menyembunyikan tangan ke balik tas baguette di pangkuanku, ketika yakin cincin di jari perempuan itu sama persis dengan cincin yang kukenakan. Bisa saja orang memiliki cincin yang sama. Tapi bagaimana mungkin ia bisa memiliki kenangan yang sama persis dengan kenanganku? Bisa saja orang memiliki kenangan yang sama, tetapi tak mungkin hidup dalam kenangan yang sama! Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku.
“Maaf, kalau boleh tahu, siapa nama suamimu?”
“Bram.”
Lalu ia menceritakan tentang suami yang begitu ia cintai itu. Suaminya meninggal ketika perkawinan mereka baru saja melewati tahun ketiga. Pagi itu dia mengeluh dadanya sesak, sempat minum segelas air putih, dan tiba-tiba jatuh bersandar ke dinding dan meninggal dalam pelukan perempuan itu ketika menuju rumah sakit.
“Kepalanya bersandar ke bahuku yang menyetir mobil sambil menangis,” katanya, sembari sekilas melirik. “Aku yakin, kau datang ke sini juga ingin menikmati kenanganmu, bukan? Kita selalu ingin menikmati kenangan, karena kita sebenarnya tak pernah siap menghadapi kehilangan. Kau bisa menceritakan kenanganmu, bila tak keberatan.”
Ini benar-benar gila! Kenapa semua begitu sama? Aku memandang keluar jendela, ke arah yang juga tengah diperhatikan perempuan itu. Rasanya, dibanding menghadapi kehilangan, kita lebih tak siap menghadapi pengkhianatan.
***
Vika tersenyum ketika aku menceritakan peristiwa itu.
“Barangkali selama ini kau memang keliru, Ren,” katanya.
Terus terang, sebenarnya yang kubutuhkan sedikit penghiburan, bukan pernyataan terus terang. Aku tak pernah sekali pun membayangkan Bram menyembunyikan perselingkuhan. Selama ini aku percaya, cinta bisa bertahan bukan hanya dengan perasaan, tetapi juga kesetiaan.
“Bagaimana kalau yang diceritakan perempuan itu adalah Bram yang lain? Banyak sekali laki-laki yang bernama Bram.”
“Semua yang diceritakan tentang suaminya, wajahnya, kegemaran dan kebiasaan-kebiasaan kecilnya, juga caranya bicara, sama persis dengan Bram suamiku. Bahkan caranya mengenang Bram persis seperti aku mengenang semua kebahagiaanku bersama Bram.”
“Lalu, kamu menduga, selama ini sebenarnya Bram menjalin hubungan dengan perempuan yang tak sengaja kau temui itu?”
“Mungkin selama ini aku terlalu memercayai Bram.”
“Itulah kekeliruan terbesarmu.” Vika tajam menatapku.
“Kamu bisa menganggap perselingkuhan adalah musuh terbesar perkawinan. Tapi percayalah, seperti banyak dibuktikan dalam sejarah, bagi kebanyakan lelaki perselingkuhan hanyalah sedikit kesenangan bagi mereka. Dan Tuhan tidak akan menyalahkan lelaki yang memberikan sedikit kesenangan untuk dirinya sendiri seperti itu.”
“Preeett!!”
“Itu pun aku hanya mengutip omongan seorang lelaki.” Vika tertawa.
“Kau harus bisa belajar menerima kenyataan, Ren. Kenangan hanyalah cermin dari kesepianmu.”
Ya, bila kenangan serupa cermin, pastilah ia cermin yang bisa menipu. Kenangan bisa saja menipu.
“Begini, bila kau memang penasaran, kenapa tak kau cari tahu saja kebenarannya? Siapa perempuan itu? Sejak kapan ia mengenal Bram, dan seterusnya…”
“Untuk apa?”
Mungkin selama ini aku memang keliru menganggap saat-saat bersama Bram adalah hal paling membahagiakan dalam hidup. Pada kenyataannya, kebahagiaan memang disediakan hanya untuk sedikit orang yang beruntung.
“Oke, kalau kau tak mau, biar aku yang mencari tahu.”
Aku hanya diam. Kupikir kebenaran tak bisa menyembuhkan perasaan sakit karena dikhianati.
***
Aku sebenarnya sudah tak tertalu memedulikan, ketika dua bulan kemudian Vika memberi tahu hal yang sama sekali tak pernah kuduga. Tak terlalu sulit Vika mengorek nomor telepon perempuan itu dari pelayan kafe, kemudian beberapa kali menghubungi dengan berpura-pura salah sambung, lalu pelan-pelan mulai mendekati hingga mendatangi langsung dengan alasan mendengar kalau rumah perempuan itu mau dijual.
“Dia sama sekali tak mengenal Bram!” Vika meneleponku.
“Suaminya pekerja tambang, mati karena ledakan gas. Tubuhnya melepuh dan gosong hingga ia tak berani melihatnya. Ia ingin mengenang suaminya tidak dengan bayangan yang mengerikan seperti itu. Lalu seseorang datang memberinya kenangan…”
“Maksudmu?”
“Sepertinya ada yang meng-copy kenanganmu, kemudian memberikannya pada perempuan itu.”
Vika seperti sengaja mengambil jeda. Aku bisa membayangkan, pastilah dia menyadari kebingunganku. Lalu suaranya kembali muncul di telepon genggamku.
“Aku juga tak percaya ketika ia menceritakan ini semua. Ia mendapatkan kenanganmu dari seseorang yang katanya kasihan karena melihatnya begitu menderita. Ia akhirnya membiasakan diri dengan kenangan itu—yang tak lain adalah kenanganmu—karena bisa membuatnya merasa bahagia. Kenangan itu baginya seperti obat penenang.”
Vika memintaku untuk bertemu di kafe di mana aku berjumpa dengan perempuan itu. “Semua cerita perempuan itu membuatku penasaran,” katanya. “Kupikir ia membutuhkan kenanganmu agar bisa berbahagia, Ren.”
Aku membayangkan orang-orang yang hidupnya sedih, begitu sedih, teramat sedih, hingga mereka menganggap tak ada kesedihan yang begitu menyedihkan selain kesedihan yang terus-menerus mereka rasakan, kemudian perlahan-lahan mulai memercayai, betapa satu-satunya cara untuk membebaskan diri dari kesedihan itu ialah dengan memiliki kenangan yang membahagiakan.
Sementara perasaanku telah berbeda saat duduk menatap langit yang basah dengan lanskap hutan pinus, dua cangkir kopi di meja, Vika justru begitu antusias memperhatikan ruangan kafe; mencermati foto-foto lama, lukisan abstrak, meraba kayu meja, seakan ingin meyakinkan bahwa semua yang dilihatnya bukanlah sekadar kenangan. Ia seperti detektif penasaran dengan kasus yang membingungkannya.
“Setidaknya kau bisa sedikit tenang, karena Bram tak pernah berselingkuh dengan perempuan itu. Bram setia denganmu.” Vika menelan ludah, aku menatapnya lama. “Maksudku, kau mestinya harus bersimpati pada apa yang dialami perempuan itu, Ren.”
“Kenapa?”
“Ia hanya ingin menghapus kenangan buruk dalam hidupnya. Tak ada yang lebih mengerikan dari kenangan buruk. Karena kenangan buruk akan menjadi hantu yang selalu mencemaskanmu. Begitu pun dengan perempuan itu. Makanya ia ingin memiliki kenangan yang indah. Bagaimanapun kita semua ingin kenangan yang menyenangkan, bukan?!”
Barangkali Vika benar, kita memang butuh kenangan yang menyenangkan untuk sekadar bisa merasa bahagia.
***
Karena penasaran, ditenami Vika, aku menemui perempuan itu. Mendengarnya bercerita membuatku bisa memahami kenapa seseorang memilih hidup dalam kenangan palsu seperti itu.
“Kupikir ia tukang foto keliling, karena ia menjinjing kotak hitam yang mirip kamera,” kata perempuan itu.
“Ia bilang bisa menghapus kenangan burukku, dan menggantinya dengan kenangan yang indah. Semula aku tak percaya, tetapi orang dengan jubah kelabu itu meyakinkan bahwa ia juga telah melakukan hal serupa pada banyak orang yang membutuhkan kenangan. Ia menyuruhku memejam, bernapas tenang, dan segalanya perlahan menjadi begitu hening. Rasanya seperti sebuah papan tulis yang pelan-pelan dihapus. Mula-mula terasa kelabu, kemudian menjadi bersih dan terang. Ketika membuka mata, tak lagi kulihat hal-hal buruk itu. Aku masih takjub dengan kenangan baru yang kumiliki, ketika kulihat orang itu berjalan menjauh, menghilang di ujung gang dengan bayangan yang terasa seperti gema panjang.’’
Semua itu mungkin hanya omong kosong agar tak terlalu merasa bersalah, karena aku mendatanginya seperti orang yang ingin menggambil kembali barang yang telah dicurinya.
“Pasti kau meragukan ceritaku.” Perempuan itu memandang dengan tatapan agar aku mau memahaminya. “Tapi aku tak sendiri. Aku kenal seorang ibu yang anaknya diculik, dan sampai kini mayatnya tak pernah ditemukan. Kabarnya, anaknya yang aktivis itu mati mengenaskan karena berhari-hari dibaringkan telanjang di atas balok es. Kau pasti bisa merasakan betapa menderitanya hidup dengan ingatan seperti itu. Ibu itu ingin mengenang anaknya dengan cara yang membahagiakan. Lalu orang berjubah kelabu itu muncul, memberinya kenangan seorang anak berwajah ceria yang selalu datang setiap sore ke rumahnya. Sampai saat ini ibu itu hidup dengan kenangan seperti itu. Merasa bahagia melihat anaknya pulang dalam kenangannya. Aku bisa menceritakan yang lainnya, bila kalian mau.”
Aku dan Vika hanya saling pandang. Perempuan itu menyebut perkumpulan orang-orang yang hidup dengan kenangan yang telah dipalsukan seperti dirinya. “Pada waktu-waktu tertentu kami bertemu, sekadar untuk saling meyakinkan betapa kami tetap bisa merasa bahagia meski hidup dengan kenangan palsu.”
Ia kemudian menyebut seorang ibu yang anak gadisnya diperkosa ramai-ramai di depan matanya. “Bisa kau bayangkan, betapa tersiksanya setiap kali mengingat kejadian itu. Wajah dingin para pemerkosa itu tak bisa dilupakan dan membuatnya selalu dihantui kecemasan sewaktu-waktu mereka akan muncul kembali. Lalu, bisakah kamu hidup dengan ingatan darah yang menggenangi lantai dari leher anakmu yang digorok oleh perampok? Aku juga mengenal seorang ibu yang nyaris gila, umurnya sudah 70 tahun, tetapi ia tak bisa melupakan kejadian mengerikan ketika suaminya diciduk tentara karena dianggap terlibat gerakan yang ingin menggulingkan negara.”
Perempuan itu terisak. Aku bisa memahami apa yang di rasakannya, karena aku pun pasti tak ingin hidup dengan setumpuk kenangan buruk. Begitu banyak yang ingin menghapus kenangan buruk seperti itu atau menggantinya dengan kenangan yang membahagiakan. Tuhan menciptakan kenangan, tetapi tak pernah memberi tahu kita bagaimana cara menghapusnya. Lalu pemalsu kenangan itu muncul seperti malaikat penolong: menawari kenangan yang membahagiakan.
Mengingat begitu banyak orang yang membutuhkan kenangan membahagiakan dalam hidupnya, pastilah pemalsu kenangan itu tak sendirian. Mungkin mereka adalah gerombolan, atau sindikat pemalsu kenangan, yang berjalan keliling mendatangi siapa pun yang ingin mengganti kenangan buruk dalam hidupnya. Istri yang bertahun-tahun hidup disiksa suaminya yang pemarah, seorang anak yang tak bisa melupakan ayahnya yang mati disiksa dalam penjara hanya karena mencuri sebatang kayu jati, seorang ibu yang menyaksikan bayinya mati kelaparan dalam pelukannya, atau kekasih yang ingin merasakan kembali ciuman kekasihnya yang hilang ketika terjadi kerusuhan.
Para pemalsu kenangan itu mungkin sudah ada sejak dahulu kala. Mereka seperti serombongan penjaja keliling yang mendatangi rumah-rumah, mendatangi orang-orang yang hidup dengan kesedihan yang tak tertanggungkan. Selama ini kita tak pernah menyadari keberadaan sindikat pemalsu kenangan itu karena mereka terorganisir rapi, nyaris tak akan terkenali, seperti persaudaraan Illuminati yang ingin menghapus semua kenangan buruk manusia, dan hanya mendatangi orang-orang yang membutuhkan.
Mungkin suatu hari mereka pernah melintas di depan rumahmu, ketika kau merasa sedih, dan ia tersenyum kepadamu sebelum akhirnya menghilang begitu saja. Mungkin ia pernah menyaru sebagai seseorang yang duduk di sampingmu ketika suatu senja kau menikmati kopi di sebuah kedai yang sepi. Entah bagaimana cara mereka bekerja memalsukan kenangan. Mungkin mereka menyadap atau menyalin kenangan, diam-diam merekam kenanganmu ketika kau tertidur, kemudian meng-copy-nya untuk diberikan pada orang lain yang membutuhkan.
Aku membayangkan sindikat pemalsu kenangan itu, yang setiap saat terus berkeliling menjajakan kenangan, tak peduli hujan badai atau kemarau panjang, dalam situasi apa pun, tak pernah lelah membagikan kenangan. Dunia yang penuh penderitaan ini memang membutuhkan mereka. Barangkali mereka datang dari Negeri Kenangan. Barangkali juga di dunia ini ada mesin raksasa yang diam-diam merekam semua kenangan manusia.
***
KUPIKIR, beruntunglah mereka yang bisa bertemu dengan pemalsu kenangan. Setidaknya mereka punya kesempatan untuk mengganti kenangan buruknya dengan kenangan yang lebih menyenangkan. Kupikir, hidup dengan kenangan palsu setidaknya lebih menyenangkan daripada terus-menerus disiksa kenangan buruk. Bila dikalkukasi, jumlah kenangan buruk di dunia ini pastilah jauh lebih banyak daripada jumlah kematian. Orang hanya mati sekali, tapi bisa memiliki kenangan buruk berkali-kali. Semakin banyak orang yang hidupnya tak bahagia, akan semakin banyak yang membutuhkan kenangan. Sungguh, dunia ini membutuhkan banyak kenangan yang membahagiakan. Bagaimanapun kita ingin bahagia, bukan? Dan kebahagiaan, serapuh apa pun, tetap menyenangkan dalam kenangan.
Betapa ingin aku bertemu dengan salah satu dari sindikat pemalsu kenangan itu. Kuharap suatu hari ada pemalsu kenangan mengetuk pintu rumah, atau menyapaku ketika aku sendirian di kedai kopi dan ia menawariku botol-botol kecil berisi kenangan yang bisa kupilih sendiri.
Ya, andai kita bisa memilih kenangan kita sendiri. Aku memang telah cukup bahagia dengan banyaknya kenangan indah yang kumiliki bersama Bram. Bila Vika berkunjung ke rumahku, setelah kematian Bram, aku akan memperlihatkan hadiah-hadiah yang pernah diberikan Bram untukku: jam tangan keemasan untuk ulang tahunku yang ke-32, lukisan bunga matahari dari bulu yang dibeli saat bulan madu, patung kuda dari porselin, dan pernak-pernik yang tersimpan rapi dalam buffet kaca; atau menceritakan bagaimana Bram selalu melimpahiku dengan perhatian dan ciuman-ciuman kecil yang membahagiakan, membangunkanku setiap pagi dengan usapan lembut, atau menanggapi obrolan yang paling tak penting sekali pun dengan senyum sabar.
Aku punya banyak kenangan yang membahagiakan dengan Bram, yang tak pernah bosan aku ceritakan pada Vika. Yang tak pernah kuungkapkan adalah perasaan sedih setiap kali mengenang itu semua. Selalu ada kesedihan yang tersembunyi dalam kenangan. Selalu ada yang tak bisa diceritakan di balik kebahagiaan. Aku berharap suatu hari ada sindikat pemalsu kenangan yang menemuiku.
Setiap orang memang punya kenangan sedih yang ingin disembunyikan. Betapa aku ingin menghapus dan mengganti kenangan buruk yang tak pernah berani aku ceritakan pada Vika, yang membuatku selalu harus pura-pura bahagia dengan perkawinanku karena juga tak ingin membuat Vika bersedih. Bagaimana pun ia sahabat terbaik yang kumiliki. Tak pernah aku punya keberanian menceritakan ini pada Vika, betapa suatu malam aku memergoki Bram seranjang dengan seorang lelaki.
Dan, lelaki itu suami Vika.

Bali, 2017
AGUS NOOR, kelahiran Tegal, 26 Juni 1968. Buku yang sedang dia siapkan, Barista tanpa Nama. Dia juga menyiapkan banyak pertunjukan tahun ini. Yang terdekat adalah Pesta Para Pencuri bersama Indonesia Kita.

Kelelawar Malam


Cerpen Bernando J. Sujibto (Jawa Pos, 09 Juli 2017)
Kelelawar Malam ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Kelelawar Malam ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
AKU terus memegang kedua telapak tangannya dengan erat, menatap lekat matanya yang berpijar, lalu memeluknya dengan hangat. Dua senjata api M4A1 dengan kantung peluru yang melingkar di tubuh kami, empat bom Molotov, dan dua pistol di selempang saku menjadi saksi bagi gelora yang berdebar di jiwa kami. Aku sangat mencintainya, dia pun tahu itu. Dari matanya, ketulusan itu kutangkap begitu dalam.
“Muaz, kamu harus kembali.”
Kalimat itu selalu terucapkan menjelang kita berpisah untuk tugas masing-masing. Di tengah tugas gerilya wajahnya selalu hadir setiap kali kutarik pelatuk senjata api dan lalu diikuti oleh rentetan tembakan balasan dari arah-arah yang sulit kutebak. Saat begitu, yang paling dekat dalam hidupku, selain senyum seorang ibu yang sudah berpulang dua tahun silam, adalah wajah perempuan bermata ela gözlü itu.
Setiap kali mendengar kalimat itu, aku membalasnya dengan senyum dan dua jari yang kuangkat ke atas, sembari meriakkan “her biji Kurdistan!”
Dia membalas dengan isyarat yang sama. Lalu diimbuhi senyum. Ya, senyum tulus yang selalu membuatku merasa ada di tengah-tengah perjuangan keras seperti ini.
Kali ini, di dalam bungker yang kami buat tepat di pintu keluar Kota _ırnak, untuk kali pertama kami berada dalam satu titik pertempuran. Serangkaian serangan sengit semalam telah membuat kami harus menyelamatkan diri ke tempat-tempat persembunyian di tengah kota. Kami tahu kapan harus bersembunyi dan kapan harus keluar bagai singa kelaparan dan menembak habis pasukan tentara Turki. Eyyup, Gizem, Murat, dan anggota lainnya dari pasukan kami juga telah menyelamatkan diri masing-masing. Dan aku—entah bagaimana takdir merencanakannya—bisa berdua dengan perempuan yang sudah lima tahun lebih kukenal ini. Selama itu, kebersamaan menyemaikan rasa cinta yang dalam. Cinta kami tumbuh subur di dalam gua di pegunungan tandus di kamp pelatihan perang.
Anda mungkin mengenali kami sebagai kelompok pemberontak Turki, atau apa pun istilahnya yang biasa diberitakan oleh media. Aku, lebih tepatnya kami, tidak pernah memedulikannya. Kami mempunyai cinta yang sama kepada tanah kelahiran yang harus dibela. Entah menurut Anda, tentu semuanya berbeda memaknai cinta kepadanya. Yang kami tahu makna cinta adalah cara bertaruh nyawa dan darah. Tanpa darah, cinta kepada tanah kelahiran adalah cerita fiksi. Cinta kami demi menyongsong keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan mengakhiri monopoli kelompok-kelompok persetan yang terus menginjak dan menggencet kami, rakyat jelata yang lahir di luar kelompok mereka. Di tanah ini cita-cita kemerdekaan tanpa penindasan akan segera terbit bersinar bersama matahari yang tak pernah ingkar seperti bendara kami.
Hari ini cinta itu bersatu di dada kami, hati dua pecinta yang berada dalam satu nasib dan pertaruhan. Aku menatap wajahnya yang tegas dan pemberani. Tak ada tanda menyerah atau keragu-raguan di sana. Dia sudah mengabdi menjadi martir lebih dari lima tahun untuk tanah Kurdistan.
Aku mengenal perempuan di depanku ini sebagai kelelawar pembunuh, karena kemampuannya melumpuhkan tentara Turki di malam hari. Sudah tak terhitung berapa tentara yang meregang nyawa di tangannya. Setiap kali pulang dari gerilya, dia tersenyum puas, “Lima biji zaitun sudah runtuh,” ujarnya. Kami paham, itu kode bahwa tangannya telah mengantarkan takdir kematian kepada lima tentara Turki.
Setiap kali mengingat titimangsa kebersamaan kami di kamp pelatihan, namanya tercatat sebagai pejuang perempuan paling mematikan. Kadangkala kami menyebutnya sebagai titisan Salahuddin Al-Ayyubi.
Keberanian tidak pernah memandang jenis kelamin. Kami sangat percaya itu. Pada suatu waktu, dia berada dalam kepungan di sebuah lubang gua di perbukitan. Berita pengepungan itu menyebar hingga ke telinga kami. Pada waktu yang sama aku menjalankan tugas di tempat berbeda. Tapi aku tidak pernah ragu atas kejeniusannya dalam bertahan.
Meski kabar dari komando kamp menyatakan bahwa gua itu tidak mempunyai jalur tunel untuk evakuasi, aku yakin dia akan menemukan cara untuk lolos dari penyergapan. Pengalaman kami bertahun-tahun hidup di gua, dari satu bukit ke bukit lain, telah mengajarkan menjadi singa liar, menjadi ular yang bisa bergerak meliuk licin di antara daun-daun dan batu-batu. Untuk itu, bagi perempuan yang ada di depanku ini, aku tidak pernah cemas.
Akhirnya, di suatu malam yang kacau, setelah satu minggu lebih kehilangan kontak, Berivan datang ke kamp kami. Saat itu kami kehilangan dua kamerad yang harus meregang nyawa. Berivan hanya berbisik kepada kami, “Aku diselamatkan oleh batu-batu.” Entah apa maksudnya. Mungkin itu sebuah keajaiban.
Tapi, apakah keajaiban itu akan hadir untuk kami yang tengah berada dalam kepungan mahasengit? Di luar sana bunyi peluru terus berdesing di antara gang-gang sempit dan batu-batu aspal di sekitar kami. Berivan menatapku dengan mata tajam. Kami paham ini adalah pertaruhan terakhir, antara hidup dan mati. Kami menghitung maut seperti merangkai kehangatan kebersamaan kami yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Tapi apakah maut tega memporak-porandakan hati seorang pecinta seperti kami?
Saat ini kami berada dalam deburan cinta dan gelora yang tak biasa. Biarlah bungker kecil ini menjadi saksi keabadian cinta dua martir yang bertahan demi tanah kelahirannya. Biarpun rentetan peluru bagai hujan deras terus menghantam, kami ingin mengatakan dengan lantang bahwa cinta kami telah menyatu.
“Apakah kita harus berpisah, Cane mın? Kamu ke arah timur lewat tembok di belakang pohon kayısı dan aku menyisiri tepi pagar beton hingga tiba di titik serang yang sama, tepat di bawah Markas Kedua?”
“Sebentar, Cana mın. Kita pastikan dulu dari mana bunyi tembakan itu berasal. Dari situ kita bisa bergerak ke arah mereka. Di sana bisa menjadi titik serang kita, menghabisi para keparat itu. Jika tidak mungkin, ada Markas Pertama ke arah kiri atau kita langsung ke Markas Abadi lewat terowongan di pinggir sungai.”
“Mereka memakai strategi perang menyebar sehingga sulit diidentifikasi posisinya.”
“Tapi setidaknya sumber suara tembakan mereka kita dengar.”
“Setiap menembak mereka bersamaan dari banyak arah.”
“Sebentar, aku akan menembak.”
Dengan isyarat kedipan matanya sebagai tanda setuju, aku melepaskan dua tembakan ke dinding besi di arah timur, dengan peredam suara. Serentak terdengar suara tembakan memberondong peluru dari segala penjuru.
“Ini bukan waktu yang tepat untuk keluar, Cane mın. Mereka menyebar di mana-mana. Sepertinya mereka juga menyiapkan sniper.”
Aku terdiam menyimak arahan perempuan yang baru pertama kali mengucapkan kalimat cane mın untukku itu. Entah dari mana kalimat itu muncul. Sebenarnya, meski tak ada kosa kata cane mın dalam bahasa kami, rasa cinta kami sudah melebihi semua muatan yang dipikul bahasa. Ia tanda bagi kata benda dan sekaligus kata kerja yang mengalir dalam darah kami. Senyum, tatapan mata, dan sapaan lembutnya di setiap pagi menjelang latihan ringan untuk kebugaran yang rutin dilakukan di kamp pelatihan adalah cinta itu sendiri, yang susah diterka dalam bahasa verbal. Cane mın adalah setitik tanda bagi samudera kebahagian yang mengalir deras di jiwa kami.
Atas pertimbangan berdua, kami memutuskan untuk tidak keluar dari bungker. Di sekitar kami sudah dipenuhi oleh hantu-hantu tentara Turki. Aku memastikan kepada kekasihku bahwa nyawa kita tidak boleh dijual murah di tengah posisi terkepung seperti ini. Sebagai pasukan terlatih, cara terbaik kita adalah bertahan untuk menyerang dan menghabisi lebih banyak tentara yang tak punya nurani itu.
Aku mengenal Berivan ketika kami sama-sama mengikuti latihan khusus di Gunung Kato, sejak lebih lima tahun silam. Di tahun yang sama kami mendaftar menjadi barisan pembela kemerdekaan Kurdistan. Saat itu usiaku baru 17 dan Berivan 16 tahun. Kami mempunyai kisah serupa, sama-sama putus sekolah dan berlari meninggalkan orang tua di kampung. Aku dan Berivan, juga para martir seangkatan di kamp pelatihan, sudah lebih lima tahun tidak bertemu keluarga.
Pada awal Berivan tiba di kamp aku melihat rasa cemas terpancar di wajahnya. Di sela-sela berlatih dan mendapatkan suntikan spirit tentang arti perjuangan, dia bercerita bahwa ibunya tidak mengizinkan dirinya menjadi pejuang PKK.
“Ibu ingin aku menjadi guru atau advokat dan melanjutkan sekolah hingga ke universitas.” Berivan menghirup napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.
“Pilihan hidup hadir dengan risiko masing-masing. Kamu sudah tiba di gunung, artinya jalan final menjadi martir kemerdekaan Kurdistan,” tuturku.
“Ya, aku paham. Kedatanganku ke sini bukan atas paksaan siapa-siapa. Aku mencari jalan untuk berjuang melawan penindasan yang puluhan tahun kita derita. Aku ingin menebus nyawa kakekku yang dibunuh tentara Turki dalam tragedi Dersim. Ayahku merasakan betul luka dan derita itu. Seandainya dia masih hidup, pilihan jalanku ini akan menjadi kebanggaan baginya, satu-satunya anak yang dilahirkan atas nama kebesarannya, Berivan Dersim.”
“Ayahmu juga dibunuh oleh tentara?”
Berivan mengangguk, lalu menunduk. Air matanya terantuk.
“Ayahmu akan bangga melihatmu berada di sini.” Setelah obrolan itu, Berivan berubah menjadi sosok yang tegar dengan langkah yang kokoh. Latihan fisik dan menembak dilakoni dengan penuh seluruh. Di luar jam latihan dia ke lapangan bawah untuk latihan menembak dan dilanjutkan dengan panjat tebing. Kelebihan lainnya dia ahli bermain pisau jarak jauh.
“Apakah malam ini kita akan keluar dari sini?” bisikan Berivan menyadarkan lamunanku. Aku langsung kembali memeluknya erat. Mengambil kedua tangannya yang sedari tadi memegang gagang senjata.
“Kita tenang di sini dulu, Cana mın. Sampai semuanya benar-benar aman.”
Aku mengambil bekal makanan dari tas dan menyiapkannya untuk makan malam. Ada roti, sucuk yang sudah matang, dan sebungkus buah zaitun. Dengan bekal makanan di tas, setidaknya kami bisa bertahan 2-3 hari ke depan. Kami menyantap makan malam tanpa cahaya yang cukup. Hanya ada celah-celah bungker yang bisa menerima kiriman cahaya dari lampu kota yang pucat. Sementara rakyat sipil di distrik ini harus berdiam dalam rumah karena sejak dua hari lalu diberlakukan soka_a çıkma yasak.
Setelah santap makan malam selesai, aku kembali memeluknya. “Berivan, aku akan menikahimu,” kalimat ini tiba-tiba keluar dari bibirku. Aku coba melihat sorot matanya di antara pendar cahaya yang masuk dari celah-celah bungker. Kedua tangannya lalu terbuka dan bergelayut ke leherku. Aku mencium aroma napasnya yang bergelora. Udara yang keluar dari hidungnya begitu hangat. Dia lalu mencium bibirku dengan pelan. Ini ciuman pertama dalam hidupku.
“Ya, kita menikah secepatnya. Merayakan pesta pernikahan di gunung, bersama saudara-saudara kita di kamp pelatihan.”
Suara Berivan terdengar seperti bergetar hebat, antara berbisik atau memantapkan kecupannya yang liar di pelipisku. Aku mendengar kalimat itu seperti wahyu yang turun di malam gelap.
Namun, seketika kami dihentikan oleh suara mobil patroli yang lewat di depan kami. Mata Berivan menebar pandang keluar dari sela-sela lubang intip. Setelah mobil itu melaju agak jauh ke barat, dia mengangkat M4A1. “Aku akan melumpuhkannya!” bisiknya sembari menempatkan posisi tembak.
Jedes! Jedes! Jedes!!!
Aku mendengar tiga tembakan. Berivan menarik pelatuk M4A1 dengan jitu. Tank itu meraung dan menghantam bangunan di luar sana. Seketika tembakan dan suara-suara berdesingan dari berbagai arah.
“Tiga buah zaitun lenyap,” bisiknya.
“Selamat,” ujarku.
Pagi dini hari setelah bunyi tembakan berhenti, kami sepakat untuk keluar. Tujuan kami terowongan tepi sungai menuju Markas Abadi. Kami harus berpisah karena ini bukan pasukan beregu yang bisa saling melindungi. Dengan cara berpisah, jalan hidup adalah pertaruhan; siapa yang selamat di antara kami adalah hadiah di tengah situasi mencekam seperti ini.
Di tengah misi menuju terowongan di tepi sungai itu, kami mulai mendengar tembakan silih berganti di sekitar. Satu per satu tentara yang menghalangi jalan kami lumpuhkan dengan tembakan peredam suara. Tapi jumlah mereka berlapis-lapis. Kami pun harus berjuang hingga tetes darah terakhir demi sampai ke terowongan di tepi sungai, demi kembali bertemu dan mewujudkan rencana pernikahan kami. Tapi, di tengah kepungan hebat itu, aku akhirnya terjungkal, jatuh tertembak di kepala.
Beruntung, aku mendengar Berivan selamat dan lolos dari penyergapan karena tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi kelelawar malam yang berkelebat cepat dan lenyap. Dialah yang akhirnya berhasil membawa cerita ini ke hadapan pembaca semua. ***

Turki, 2016/2017

Catatan:
Cana mın                       : (Kurdi) panggilan kekasih untuk perempuan.
Cane mın                       : (Kurdi) panggilan kekasih untuk laki-laki.
Ela gözlü                        : (Turki) warna mata cokelat kehijau-hijauan.
Her biji Kurdistan          : (Kurdi) hidup Kurdistan.
PKK                               : Partai Pekerja Kurdistan, dinobatkan sebagai pasukan pemberontak di Turki.
Kayısı                             : (Turki) pohon berbuah, sejenis aberikos.
Sucuk                             : (Turki) serupa sosis dari campuran daging.
SokaÄŸa çıkma yasak      : (Turki) “Dilarang keluar ke jalan.” Kebijakan seperti ini berlaku ketika pasukan keamanan Turki sedang melakukan operasi untuk menumpas separatis. Biasanya kebijakan ini hanya diberlakukan di daerah-daerah yang rawan gerakan separatis di Turki Timur.

BERNANDO J. SUJIBTO, penyair dan dosen. Dia menempuh pendidikan master sosiologi di Selcuk University, Turki (2014).

Kutipan Dear Me

Ketika kalian sukses, rasa cemas mengenai kehiupan kalian akan menguap dan mereka menerima pilihan kalian. Untuk sekarang, kalian turuti saja kemauan orang tua, jika mereka tetap ngotot pada rencana mereka. Melangkahlah selangkah demi selangkah menuju impian kalian sehingga saat dewasa dan mereka masih ada, kalian bisa menghadiahkan kebahagiaan pada mereka. (hlm. 17)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Tidak ada siapa pun yang bisa menebak hari esok. (hlm. 18)
  2. Temukan passion dan bersungguh-sungguhlah. Tak ada yang sia-sia untuk tidak menyerah. Tuhan selalu memberi hadiah untuk setiap usaha. (hlm. 18)
  3. Cinta itu diperjuangkan. (hlm. 32)
  4. Jika kau tidak fokus pada impian sejak dini, kau hanya akan menjadi bintang di masa depan dan orang-orang si sekitar akan menjauh sendiri. Tapi, ketika kau menjadi emas di masa depan, orang-orang dari masa lalu atau baru akan lengket bak ditarik magnet. (hlm. 38)
  5. Apa pun yang kalian cita-citakan, jika kalian yakin bisa berhasil di bidang itu, perjuangkan dan buktikan pada diri sendiri kalau kalian mampu. (hlm. 135)
  6. Tuhan selalu memberi hadiah untuk yang tidak pernah menyerah. Akan selalu ada penghargaan Tuhan bagi hamba-Nya yang sungguh-sungguh. (hlm. 135)
  7. Jaga diri, hati-hati dan selalu ingat Tuhan. (hlm. 156)
  8. Perjuangkan cintamu sebagaimana kau berjuang untuk hidup dan diri sendiri. (hlm. 174)
Beberapa kalimat sindiran halus dalam buku ini:
  1. Hidup tidak sejalan dengan rencana indah. (hlm. 6)
  2. Ketika sendirian dan memiliki waktu luang, otak selalu nyasar ke masa yang telah lewat dan mencuatkan kata seandainya. (hlm. 9)
  3. Rasa suka memang menimbulkan keberanian bahkan untuk hal yang tidak disukai atau mustahil. (hlm. 33)
  4. Orang dewasa butuh meluangkan pandangan, tidak selalu mereka yang benar, kan? Bahkan kalau pelajaran didapatkan dari anak kecil pun orang dewasa harus menerima. (hlm. 48)
  5. Tidak boleh ada penyesalan di masa depan. Karena itu, kita melaju dengan nekat, bukan? (hlm. 80)