Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cermin Iliana Loelianto (Suara Merdeka, 03 September 2017) Rahasia Restoran Tuan Owen ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Tuan Edgard duduk termenung di restorannya. Sudah dua bulan ini hanya
ada beberapa orang yang makan di restorannya. Sementara restoran Tuan
Owen yang ada di ujung jalan tampak sangat ramai.
“Huh! Mengapa mereka lebih senang makan di restoran Tuan Owen daripada di restoranku, ya?” keluhnya.
Padahal, selama ini restoran Tuan Edgard selalu menjadi restoran
terbaik dan terlaris di Negeri Olio. Selain cita rasanya yang enak,
harganya juga sangat terjangkau. Itu sebabnya, Tuan Edgard yakin Tuan
Owen menyimpan rahasia di balik keberhasilan restorannya itu.
Pasti Tuan Owen memasukkan bumbu ajaib ke dalam masakannya. Atau,
Tuan Owen menggunakan mantra sakti agar restorannya selalu laris manis.
“Aku harus segera mencari tahu apa rahasia Tuan Owen,” gumamnya tak sabar.
Tuan Edgard menutup restorannya lebih cepat hari ini. Ia mengikuti
Tuan Owen pergi ke pasar. Ia berpura-pura sedang belanja bahan untuk
keperluan dapur. Kemudian, Tuan Edgard menyapa Tuan Owen yang sedang
memilih tomat segar.
“Hai, Tuan Owen. Kulihat restoranmu selalu laris manis. Maukah kau membagikan sedikit rahasianya padaku?”
“Aku tak punya rahasia apa-apa, Tuan Edgard,” jawab Tuan Owen.
Tetapi, Tuan Edgard tak mau percaya begitu saja. Ia yakin Tuan Owen
tak ingin memberitahukan rahasianya karena takut tersaingi. Tetapi,
bukan Tuan Edgard namanya jika tidak mencari tahu.
***
Dari balik jendela dapur, Tuan Edgard mengintip kegiatan Tuan Owen di
dapur. Ia mengamati gerakan lincah tangan Tuan Owen saat meracik bumbu
masakannya. Ia juga memperhatikan bagaimana Tuan Owen menyajikan
makanannya.
Ketika Tuan Owen mengantar pesanan, Tuan Edgard pun beraksi. Ia
menyelinap masuk ke dapur Tuan Owen lewat pintu belakang yang tak
terkunci.
Tuan Edgard mendekati rak kayu yang berisi bumbu-bumbu dalam toples.
Satu per satu diperiksanya dengan teliti. Termasuk perkakas dapur yang
sering digunakan Tuan Owen untuk memasak.
Tuan Edgard mendesah kecewa. Tak ada tanda-tanda adanya bumbu ajaib
atau mantra sakti di dapur Tuan Owen. Kemudian, pandangannya menyusuri
setiap sisi dapur.
Senyum di wajahnya tiba-tiba mengembang. Di bagian atas rak kayu
tempat perkakas makan ada sebuah gulungan kertas. Tuan Edgard yakin
pasti ada petunjuk di sana. Dengan penuh semangat, ia memanjati rak kayu
itu.
Alangkah terkejutnya Tuan Edgard ketika rak kayu yang menjadi
pijakannya tiba-tiba ambruk. Suara berdebum terdengar. Tuan Edgard
terjatuh. Setengah berlari Tuan Owen kembali ke dapurnya.
“Oh, Tuan Edgard! Apa yang kau lakukan di dapurku?” tanya Tuan Owen sambil membantu Tuan Edgard berdiri.
“Maafkan aku, Tuan Owen,” ucapnya penuh penyesalan.
Lalu, Tuan Edgard menceritakan tujuannya masuk ke dapur Tuan Owen
sambil mengangkat kembali semua perkakas makan yang terjatuh. Tuan Owen
terkekeh saat Tuan Edgard mengira gulungan kertas itu adalah kertas
mantra. Ia mengambil gulungan kertas yang dimaksud lalu membukanya.
“Ini adalah angket kepuasan pelanggan, Tuan Edgard. Dengan angket ini
para pelanggan bisa memberikan skor untuk pelayanan dan kebersihan di
restoranku. Jika skor mereka tinggi berarti mereka puas dan aku merasa
senang. Jika mereka kurang puas, aku akan memperbaikinya. Para pelanggan
juga diperbolehkan untuk menuliskan saran dan kritik bila ada.”
Tuan Owen juga menjelaskan bahwa dengan adanya angket itu, dirinya
sangat terbantu. Ia jadi tahu bagaimana selera makanan tiap
pelanggannya. Seperti Nyonya Rumi yang tidak suka makanan pedas, Tuan
Patrick yang sangat menyukai makanan manis, juga Nyonya Eli yang suka
makanan asam.
Seorang pelanggan berjalan menghampiri Tuan Owen. Ia merogoh saku
untuk mengambil dompet. Setelah membayar, Tuan Owen memintanya mengisi
angket. Selesai mengisi angket, pelanggan itu tersenyum sambil
mengacungkan kedua jempolnya.
“Terima kasih. Selamat datang kembali,” ucap Tuan Owen dengan riang gembira.
Tuan Edgard memperhatikan semua itu. Ia tersadar kalau selama ini ia
selalu menganggap restorannya adalah yang terbaik. Tanpa pernah
memikirkan apakah pelanggannya merasa puas atau tidak. Tuan Edgard
tertunduk sedih. Dalam hatinya ia berjanji akan lebih memperhatikan
pelayanan di restorannya.
Tak lupa ia juga meminta maaf kepada Tuan Owen, karena telah
berprasangka buruk. Ternyata, Tuan Owen adalah orang yang baik dan
jujur. (58)
Cerpen Junaidi Khab (Suara Merdeka, 03 September 2017) Kambing-Kambing Peninggalan Ibrahim ilustrasi Suara Merdeka
Malam yang begitu gelap mengantarkan jamaah masjid ke obrolan
setengah formal. Beberapa duduk bersila menyimak paparan Karim, takmir
masjid. Pertemuan itu digelar untuk rembuk kurban pada Hari Raya Kurban.
Meskipun pertemuan itu sedikit lebih formal, masih tampak keakraban di
antara mereka dengan canda tawa yang menghiasi.
Penentuan hewan kurban pun mereka sepakati atas usul Karim dan
beberapa anggota jamaah lain. Selain mengajukan proposal, ada banyak
warga akan berkurban. Begitu juga jamaah yang ikut rapat. Pertemuan itu
berakhir dengan kesepakatan bulat untuk membentuk panitia kurban.
Setelah beberapa pihak yang akan berkurban dimintai konfirmasi,
Masjid Kiyamuna memiliki 200 ekor hewan kurban. Ada 50 ekor sapi dan 150
ekor kambing. Warga yang berkurban terbanyak hanya Haji Salman. Dia
menyumbangkan kambing kurban 24 ekor dan seekor sapi. Katanya, biar
genap seperti para rasul yang berjumlah 25 dan nabi terakhir adalah
Muhammad. Haji Salman berlogika seperti itu sesuai dengan perhitungan
spiritual.
***
Tak banyak warga menyimpan curiga atas kemurahan hati Haji Salman.
Dia memang bergelar haji, tetapi memiliki latar belakang maling. Dulu
sebelum berangkat haji, kebiasaan dia begitu. Namun saat hewan-hewan itu
akan disembelih usai salat id, sebagian warga mengobrolkan soal hewan
kurban Haji Salman.
“Eh, aku kok menaruh curiga ya pada hewan-hewan kurban Haji Salman,” kata Amri yang mulai menyiapkan pisau.
“Emang kenapa, Ri?” tanya Hasan yang sedang mengasah sebilah pisau besar.
“Kita kan tahu sebelumnya dia mantan maling.”
“La, jangan berburuk sangka, Ri.”
“Bukan…,” omongan Amri terputus.
Dari belakang, Haji Salman sudah menyimak dengan baik percakapan Amri
dan Hasan. Mereka berdua seperti mati kutu. Tak ada pembicaraan lagi.
Hasan memelankan mengasah sebilah pisau. Dia menunggu saat Haji Salman
bicara.
“Mohon maaf ya,” kata Haji Salman sedikit ramah. “Itu kambing-kambing
yang saya kurbankan murni hasil usaha saya. Itu kambing-kambing
peninggalan Nabi Ibrahim.” Dia berujar tanpa merasa tersinggung oleh
obrolan Amri dan Hasan.
Amri dan Hasan tak berkutik. Setelah Haji Salman menjauh dan melihat
hewan-hewan yang akan dipotong, mereka beringsut tanpa suara ke tempat
penyembelihan. Di dekat warga dan jamaah masjid, Haji Salman
menceritakan kehidupan Nabi Ibrahim saat menyembelih kambing sebagai
pengganti sang anak, Ismail. Warga memang tampak memperhatikan
ceritanya, meski kurang yakin atas cerita mulia itu. Itu seperti bualan.
Bukan karena kisahnya tak inspiratif, melainkan karena yang bercerita
Haji Salman yang di mata mereka masih tampak sebagai raja maling yang
berlaku baik di lingkungan sosial.
“Sudahlah, ayo kita lanjut menyembelih,” kata Amri dan Hasan setelah
Haji Salman menjauh. Mereka bersama jamaah dan warga serempak
menyembelih hewan kurban satu per satu. Penyembelihan berjalan lancar
hingga pada pembagian untuk setiap warga: dari yang miskin, yatim-piatu,
dan warga biasa lain dengan jumlah berbeda tentu.
***
Setelah Hari Raya berlalu, daging kurban yang sudah menyatu dengan
daging manusia itu juga lenyap menjadi aktivitas sehari-hari. Sebuah
kabar angin beredar dari beberapa desa. Ada sebagian warga kehilangan
kambing sebelum Hari Raya tiba. Tepatnya, seminggu sebelumnya.
Dugaan Amri bersambut. Dia makin yakin atas kecurigaannya pada Haji
Salman. Lalu dia menemui Hasan dan Karim, takmir masjid penyelenggara
kurban.
“Mas, kamu sudah dengar kabar gak?” tanya Amri yang datang bersama Hasan.
“Kabar apa, Mas?” tanya Karim.
“Di desa sebelah ada beberapa warga kehilangan sapi sebelum Hari
Raya. Tapi kabarnya baru tersebar sejak kemarin,” kata Amri sedikit
menceritakan kabar yang menyeruak pelan.
“Lalu kita hendak menuduh Haji Salman yang menjadi dalang?” tanya Karim setengah resah.
“Bisa saja begitu,” kata Hasan. “Sebagian di antara mereka menyebut
begitu. Karena sebelum kehilangan kambing, mereka melihat Haji Salman
berkeliling desa bersama beberapa orang.”
Karim merasa agak resah jika daging halal itu bercampur daging haram
dari kambing dan sapi Haji Salman yang diduga curian. Perbincangan
mereka makin mendalam. Mereka berusaha bersikap tenang. Di sana memang
lumrah diketahui, meski Haji Salman tampak baik secara sosial, di
belakang suka mencuri dan bertindak kriminal lain. Mereka tak ingin
menjadi korban Haji Salman. Persoalannya, jika obrolan itu diketahui
Haji Salman akan menjadi ancaman bagi mereka.
“Di desa sebelah, warga yang kehilangan kambing menemukan bekas sandal Haji Salman,” kata Hasan.
“Kok bisa langsung bekas sandal itu milik Haji Salman?” tanya Karim
dengan dahi mengernyit. “Kan ada banyak sandal bermodel sama?”
“Siapa tak kenal bekas sandal mahal milik Haji Salman?” tanya Amri
pada diri sendiri. “Sandalnya mahal. Hanya dia yang memiliki. Itu pun
dia beli saat berhaji ke Makkah.”
“Apa kita harus melapor polisi saja?” tanya Karim semangat.
“Aku tak berani mengusulkan itu,” kata Amri. “Kalau ketahuan kita
yang memiliki inisiatif itu, kita akan menjadi incaran orang-orang Haji
Salman.”
Mereka duduk bersila dengan termangu. Obrolan terhenti begitu saja
tanpa solusi. Rasa bersalah dan berdosa meliputi hati dan pikiran
mereka. Mereka yakin itu daging hasil curian. Pada mulanya jamaah dan
warga tak membicarakan soal hewan kurban Haji Salman. Mereka berpikir
positif saja. Namun setelah ada kabar warga kehilangan hewan ternaknya,
rasa berdosa menjadi duri yang terus menusuk-nusuk naluri.
Kebekuan itu kembali mencair setelah Karim mengusulkan untuk menemui
warga yang kehilangan hewan ternak sebelum Hari Raya. Mereka akan
menanyakan perihal itu. Semacam investigasi kecil-kecilan untuk mencari
kebenaran cerita itu. Mulai dari soal bukti-bukti bekas pencuri hingga
kecurigaan mereka atas sang pencuri.
Di sana, mereka bercakap-cakap dengan sebagian warga yang kehilangan
hewan ternak dan beberapa warga lain. Benar, mereka memiliki dugaan
sama: Haji Salman dalangnya. Namun mereka tak berani menyuarakan
kecurigaan itu. Untuk melapor ke polisi tentu menghabiskan uang yang tak
seberapa dibanding dengan harga hewan ternak yang hilang. Selain itu,
mereka akan merasa terancam jika ketahuan menjadi pelapor.
Kebejatan Haji Salman mereka biarkan begitu saja. Mereka hanya akan
berani melapor jika melihat langsung sang pencuri. Memang, bukti bekas
sandal sudah mereka kantongi. Namun mereka rasa masih belum kuat. Mereka
lebih memilih diam daripada membahayakan jiwa sendiri dan orang-orang
terdekat. (44)
Yogyakarta, 22 Agustus 2017
– Junaidi Khab, asal
Sumenep, lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan
Ampel Surabaya. Kini, dia bergiat di Komunitas Rudal Yogyakarta.
Cerpen Kristin Fourina (Media Indonesia, 03 September 2017) Gadis Embun ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
SELEPAS subuh, berjalanlah dengan pelan ketika kau melewati Jembatan
Bantar, jembatan yang menghubungkan Bantul dengan Kulonprogo. Kau akan
menemukan seorang perempuan tua yang duduk di pinggir jembatan dengan
gusar. Ketika matahari berhenti di pelepah pohon pisang, kau akan
melihat perempuan tua itu pergi meninggalkan jembatan dengan gelisah.
Wajahnya pucat sebab saat itu sudah tak ada sisa setetes embun pun yang
mampu menyejukkan hatinya.
Orang-orang sudah menganggapnya gila setelah tak ada kabar berita
tentang anak gadisnya. Perempuan tua itu selalu memilih duduk di pinggir
Jembatan Bantar selepas subuh hanya untuk merasakan sejuknya embun yang
menyentuh tangannya. Sungguh, ia hanya ingin merasakan sejuknya embun
sambil sesekali berharap bahwa anak gadisnya akan muncul bersama
tetesan-tetesan embun di pinggir Jembatan Bantar.
Perempuan tua itu sesekali tampak gembira bisa merasakan sejuknya
embun seperti ia sedang berjumpa dengan anak gadisnya yang sedari dulu
ingin menjelma tetesan embun.
“Seperti embun, Ibu. Ya, setetes embun sehabis itu menguap dan
lenyap. Mestinya Tuhan menciptakanku sebagai setetes embun, bukan
sebagai seorang anak gadis yang tak diharapkan oleh seorang lelaki pun
di dunia ini.”
“Kau menyesal telah terlahir dariku, Nak?”
“Justru aku adalah hadiah terburuk yang diberikan Tuhan untuk ibu.”
“Kau adalah anakku satu-satunya yang kupunyai, Nak. Kenapa anakku satu-satunya justru mengatakan padaku hal yang menyesakkan?”
“Justru karena aku adalah anak gadis ibu satu-satunya, maka aku merasa menjadi patung yang tak berguna.”
“Suatu hari kau akan tahu betapa beruntungnya ibu memilikimu, Nak.”
“Aku hanyalah seorang gadis yang serupa pasir, Ibu. Aku ingin menjelma setetes embun yang sejuk.”
Sedangkan ibunya masih saja tidak mengerti mengapa anak gadisnya
selalu merasa menjadi perempuan yang paling tidak berharga hanya karena
ia terlahir tanpa rahim. Tapi hujatan orang-orang di sekelilingnya
memang terlalu mengganggu. Seolah parang yang menancap di hati, membuat
anak gadisnya selalu membenci diri.
“Bukankah terlahir tanpa memiliki rahim itu bukan karena kesalahanku, Ibu?”
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Apakah terlahir tanpa memiliki rahim adalah sebuah dosa, Ibu?”
“Kau menanyakan hal yang tidak perlu ibu jawab.”
“Sebaiknya aku menjelma setetes embun hingga tak ada seorang pun yang
menghiraukan keberadaanku. Tak akan ada yang melihatku. Lalu aku akan
menguap sehabis itu lenyap.”
“Sebab kau tak memiliki rahim, kau seharusnya tak perlu merasa menjadi gadis yang paling hina, Nak.”
“Aku ingin jalanku tak sunyi, Ibu. Tapi tanpa rahim, berarti tak ada
seorang lelaki pun yang ingin memilikiku. Begitu banyak lelaki yang
mendekatiku, namun sebanyak itu pula mereka kemudian pergi
meninggalkanku. Mereka menginginkan gadis yang utuh. Juga keturunan yang
sungguh. Bukankah aku juga tak berharap terlahir sebagai gadis yang
tanpa rahim, Ibu?”
Dan ibu mana yang mampu membendung aliran sungai yang membanjir deras
di pelupuk mata demi mendengar keluh kesah anak gadis satu-satunya. Ia
memeluk anak gadisnya dengan kegetiran yang merasuk dalam dada.
“Sebaiknya aku menjelma setetes embun,” desah gadis itu dalam pelukan ibu.
***
Dan ketika subuh baru saja berlalu, seolah sunyi telah terusir
berganti kegaduhan yang menggelincir. Rupanya selepas sembahyang subuh,
orang-orang dari surau dikejutkan oleh terjunnya seorang gadis dari atas
Jembatan Bantar. Gadis itu seolah menjelma setetes embun yang terjun
melebur menjadi satu dengan aliran Sungai Progo. Selepas subuh,
orang-orang diliputi kegelisahan. Mereka tak berdaya melihat gadis itu
terjun dengan anggun dan kemudian hilang seperti setetes embun yang
lenyap.
Satu dua orang menjerit dan beberapa lainnya memutuskan untuk
mendekati sungai. Arus sungai yang tenang serupa rajutan benang yang
menenggelamkan. Tubuh para lelaki bergetar oleh dinginnya angin pagi dan
sebab kalut dan takut.
“Saya terjun saja,” kata seorang pemuda yang memang bisa berenang, “Mungkin gadis itu masih bisa diselamatkan.”
Baru lima belas menit, pemuda itu sudah muncul lagi dengan kepayahan.
“Hanya ada air. Saya kira gadis itu sudah hanyut,” ucap pemuda gemetar.
“Iya, bisa jadi,” jawab yang lain.
“Gadis itu seperti anak gadis Mak Wasi,” gumam seorang lelaki.
Tiba-tiba pagi itu langit berselimut hujan. Kelompok lelaki bubar.
Mereka masing-masing sudah tahu apa yang mesti mereka lakukan. Mereka
merasa iba dengan nasib anak gadis Mak Wasi yang sebelumnya selalu
menjadi gunjingan. Lalu beberapa orang melapor ke polisi, beberapa orang
melapor ke perangkat desa, beberapa orang berniat memberi tahu Mak
Wasi, sedang beberapa orang lagi diharuskan menunggu di pinggir sungai
jika saja anak gadis Mak Wasi terlihat mengambang atau tersangkut kayu
dan bebatuan.
Saat itu Mak Wasi sedang kebingungan mencari anak gadisnya di
sekeliling rumah. Dan tiba-tiba ia dikejutkan oleh kabar bahwa anak
gadisnya memilih terjun ke Sungai Progo secara mengenaskan.
***
Warga di pinggir Sungai Progo masih terkenang dengan anak gadis Mak
Wasi yang terjun ke sungai. Bila saja anak gadisnya ditemukan dalam
keadaan selamat, tentu saat ini Mak Wasi sudah berhenti menangis.
“Ke mana sebenarnya anak gadisku itu pergi?” tanya Mak Wasi berulang
kali, “Adakah ia benar-benar terjun ke sungai? Aku tak melihat dengan
mataku sendiri. Bahkan jika pun mati, jasadnya pun tak ditemukan.
Setahuku ia hanya menghilang.”
Berkali-kali upaya pencarian tetap tak membuahkan hasil. Beberapa
orang tua menganjurkan Mak Wasi mengadakan doa bersama setelah tujuh
hari anak gadisnya tak ditemukan.
“Aku masih belum yakin anak gadisku sudah mati,” keluh Mak Wasi.
“Hanya doa bersama saja, Mak. Setidaknya agar hati Mak Wasi tenang.”
Tanpa sadar Mak Wasi menganggukkan kepala. Dalam hati ia mengatakan
pada dirinya sendiri bahwa doa bersama ini bukan doa untuk kematian
tetapi adalah doa untuk keselamatan. Selama doa bersama itu berlangsung,
jiwa Mak Wasi terasa melayang mencari anak gadisnya yang meloncat dari
jembatan.
“Kasihan, Mak Wasi…” ucap beberapa orang yang dulu mencibir anak gadisnya karena tak memiliki rahim.
***
Warga sudah putus asa melakukan pencarian. Waktu empat puluh hari
terasa hanya sekejap mata. Semua orang sudah menganggap anak gadis Mak
Wasi telah tiada. Mereka sudah yakin kalau anak gadis itu hanyut sampai
laut. Mak Wasi tak pernah lagi mau bicara dengan siapa pun sebab selalu
saja setiap orang menyuruhnya untuk mengikhlaskan. Semakin lama wajah
Mak Wasi terlihat semakin pucat. Kesedihan mengeram dalam hatinya yang
pekat.
Orang-orang bahkan sudah banyak yang melupakan gadis yang ingin
menjelma embun itu setelah setahun berlalu. Tapi tidak dengan Mak Wasi.
Ibarat berada dalam sebuah perahu, ingatan Mak Wasi selalu terhanyut
pada kenangan akan anak gadisnya. Perahu yang membawa ingatan Mak Wasi
terombang-ambing tak tentu arah. Gelombang kenangan telah mempermainkan
ingatannya hingga tak pernah ingkar untuk mengenang anak gadisnya yang
hilang.
Jika kau menyempatkan diri untuk sekadar melewati Jembatan Bantar
selepas subuh, kau pasti akan menemukan perempuan tua itu. Ia selalu
duduk di pinggir Jembatan Bantar sambil merasakan embun yang mengusap
kulitnya yang keriput. Kemudian kau akan mendengar ia bergumam lirih.
Dengarkanlah secara lebih dekat. Berulang kali ia mengatakan pada
tetesan embun yang diusap, “Aku tak yakin kau telah mati. Bukankah kau
hanya ingin menjelma embun, Nak. Aku tak yakin kau terjun ke sungai ini.
Mungkin saja orang-orang hanya tak percaya telah melihatmu menjelma
embun di tepian sungai ini. Jadi, mereka membohongiku dan mengatakan
padaku kalau kau menenggelamkan diri. Kembalilah, Nak. Kembalilah meski
hanya berupa tetesan embun.”
Ratusan subuh telah berulang kali terlewati. Kenangan akan anak gadis
Mak Wasi pun juga masih selalu berbekas dan berkesan bagiku. Namun
tetap saja ia hanya sebatas ingatan, hanya berbekas kenangan. Ia kini
tak tampak. Aku sudah terlambat menyadari bahwa sebenarnya mungkin saja
anak gadis Mak Wasi itu mengakhiri hidupnya hanya karena kesalahanku
yang sudah dengan keji mengatakan padanya bahwa di dunia ini ia hanya
menghabiskan sisa usia dengan sia-sia. Dan malam sebelum ia terjun ke
sungai, ia mengatakan padaku bahwa ia ingin menjadi setetes embun saja,
ia ingin meninggalkanku—kekasihnya yang terakhir—sudah itu lenyap?
Kulonprogo, 2017
Kristin Fourina, alumnus salah satu
universitas di Yogyakarta, kerap memenangi lomba cerpen. Beberapa
cerpennya dimuat di media massa dan masuk buku antologi bersama, salah
satunya Bayang-Bayang (2012).