Daftar Blog Saya

Selasa, 05 September 2017

Rahasia Restoran Tuan Owen

Cermin Iliana Loelianto (Suara Merdeka, 03 September 2017)
Rahasia Restoran Tuan Owen ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka
Rahasia Restoran Tuan Owen ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Tuan Edgard duduk termenung di restorannya. Sudah dua bulan ini hanya ada beberapa orang yang makan di restorannya. Sementara restoran Tuan Owen yang ada di ujung jalan tampak sangat ramai.
“Huh! Mengapa mereka lebih senang makan di restoran Tuan Owen daripada di restoranku, ya?” keluhnya.
Padahal, selama ini restoran Tuan Edgard selalu menjadi restoran terbaik dan terlaris di Negeri Olio. Selain cita rasanya yang enak, harganya juga sangat terjangkau. Itu sebabnya, Tuan Edgard yakin Tuan Owen menyimpan rahasia di balik keberhasilan restorannya itu.
Pasti Tuan Owen memasukkan bumbu ajaib ke dalam masakannya. Atau, Tuan Owen menggunakan mantra sakti agar restorannya selalu laris manis.
“Aku harus segera mencari tahu apa rahasia Tuan Owen,” gumamnya tak sabar.
Tuan Edgard menutup restorannya lebih cepat hari ini. Ia mengikuti Tuan Owen pergi ke pasar. Ia berpura-pura sedang belanja bahan untuk keperluan dapur. Kemudian, Tuan Edgard menyapa Tuan Owen yang sedang memilih tomat segar.
“Hai, Tuan Owen. Kulihat restoranmu selalu laris manis. Maukah kau membagikan sedikit rahasianya padaku?”
“Aku tak punya rahasia apa-apa, Tuan Edgard,” jawab Tuan Owen.
Tetapi, Tuan Edgard tak mau percaya begitu saja. Ia yakin Tuan Owen tak ingin memberitahukan rahasianya karena takut tersaingi. Tetapi, bukan Tuan Edgard namanya jika tidak mencari tahu.
***
Dari balik jendela dapur, Tuan Edgard mengintip kegiatan Tuan Owen di dapur. Ia mengamati gerakan lincah tangan Tuan Owen saat meracik bumbu masakannya. Ia juga memperhatikan bagaimana Tuan Owen menyajikan makanannya.
Ketika Tuan Owen mengantar pesanan, Tuan Edgard pun beraksi. Ia menyelinap masuk ke dapur Tuan Owen lewat pintu belakang yang tak terkunci.
Tuan Edgard mendekati rak kayu yang berisi bumbu-bumbu dalam toples. Satu per satu diperiksanya dengan teliti. Termasuk perkakas dapur yang sering digunakan Tuan Owen untuk memasak.
Tuan Edgard mendesah kecewa. Tak ada tanda-tanda adanya bumbu ajaib atau mantra sakti di dapur Tuan Owen. Kemudian, pandangannya menyusuri setiap sisi dapur.
Senyum di wajahnya tiba-tiba mengembang. Di bagian atas rak kayu tempat perkakas makan ada sebuah gulungan kertas. Tuan Edgard yakin pasti ada petunjuk di sana. Dengan penuh semangat, ia memanjati rak kayu itu.
Alangkah terkejutnya Tuan Edgard ketika rak kayu yang menjadi pijakannya tiba-tiba ambruk. Suara berdebum terdengar. Tuan Edgard terjatuh. Setengah berlari Tuan Owen kembali ke dapurnya.
“Oh, Tuan Edgard! Apa yang kau lakukan di dapurku?” tanya Tuan Owen sambil membantu Tuan Edgard berdiri.
“Maafkan aku, Tuan Owen,” ucapnya penuh penyesalan.
Lalu, Tuan Edgard menceritakan tujuannya masuk ke dapur Tuan Owen sambil mengangkat kembali semua perkakas makan yang terjatuh. Tuan Owen terkekeh saat Tuan Edgard mengira gulungan kertas itu adalah kertas mantra. Ia mengambil gulungan kertas yang dimaksud lalu membukanya.
“Ini adalah angket kepuasan pelanggan, Tuan Edgard. Dengan angket ini para pelanggan bisa memberikan skor untuk pelayanan dan kebersihan di restoranku. Jika skor mereka tinggi berarti mereka puas dan aku merasa senang. Jika mereka kurang puas, aku akan memperbaikinya. Para pelanggan juga diperbolehkan untuk menuliskan saran dan kritik bila ada.”
Tuan Owen juga menjelaskan bahwa dengan adanya angket itu, dirinya sangat terbantu. Ia jadi tahu bagaimana selera makanan tiap pelanggannya. Seperti Nyonya Rumi yang tidak suka makanan pedas, Tuan Patrick yang sangat menyukai makanan manis, juga Nyonya Eli yang suka makanan asam.
Seorang pelanggan berjalan menghampiri Tuan Owen. Ia merogoh saku untuk mengambil dompet. Setelah membayar, Tuan Owen memintanya mengisi angket. Selesai mengisi angket, pelanggan itu tersenyum sambil mengacungkan kedua jempolnya.
“Terima kasih. Selamat datang kembali,” ucap Tuan Owen dengan riang gembira.
Tuan Edgard memperhatikan semua itu. Ia tersadar kalau selama ini ia selalu menganggap restorannya adalah yang terbaik. Tanpa pernah memikirkan apakah pelanggannya merasa puas atau tidak. Tuan Edgard tertunduk sedih. Dalam hatinya ia berjanji akan lebih memperhatikan pelayanan di restorannya.
Tak lupa ia juga meminta maaf kepada Tuan Owen, karena telah berprasangka buruk. Ternyata, Tuan Owen adalah orang yang baik dan jujur. (58)

Kambing-Kambing Peninggalan Ibrahim

Cerpen Junaidi Khab (Suara Merdeka, 03 September 2017)
Kambing-Kambing Peninggalan Ibrahim ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Kambing-Kambing Peninggalan Ibrahim ilustrasi Suara Merdeka
Malam yang begitu gelap mengantarkan jamaah masjid ke obrolan setengah formal. Beberapa duduk bersila menyimak paparan Karim, takmir masjid. Pertemuan itu digelar untuk rembuk kurban pada Hari Raya Kurban. Meskipun pertemuan itu sedikit lebih formal, masih tampak keakraban di antara mereka dengan canda tawa yang menghiasi.
Penentuan hewan kurban pun mereka sepakati atas usul Karim dan beberapa anggota jamaah lain. Selain mengajukan proposal, ada banyak warga akan berkurban. Begitu juga jamaah yang ikut rapat. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan bulat untuk membentuk panitia kurban.
Setelah beberapa pihak yang akan berkurban dimintai konfirmasi, Masjid Kiyamuna memiliki 200 ekor hewan kurban. Ada 50 ekor sapi dan 150 ekor kambing. Warga yang berkurban terbanyak hanya Haji Salman. Dia menyumbangkan kambing kurban 24 ekor dan seekor sapi. Katanya, biar genap seperti para rasul yang berjumlah 25 dan nabi terakhir adalah Muhammad. Haji Salman berlogika seperti itu sesuai dengan perhitungan spiritual.
***
Tak banyak warga menyimpan curiga atas kemurahan hati Haji Salman. Dia memang bergelar haji, tetapi memiliki latar belakang maling. Dulu sebelum berangkat haji, kebiasaan dia begitu. Namun saat hewan-hewan itu akan disembelih usai salat id, sebagian warga mengobrolkan soal hewan kurban Haji Salman.
“Eh, aku kok menaruh curiga ya pada hewan-hewan kurban Haji Salman,” kata Amri yang mulai menyiapkan pisau.
Emang kenapa, Ri?” tanya Hasan yang sedang mengasah sebilah pisau besar.
“Kita kan tahu sebelumnya dia mantan maling.”
“La, jangan berburuk sangka, Ri.”
“Bukan…,” omongan Amri terputus.
Dari belakang, Haji Salman sudah menyimak dengan baik percakapan Amri dan Hasan. Mereka berdua seperti mati kutu. Tak ada pembicaraan lagi. Hasan memelankan mengasah sebilah pisau. Dia menunggu saat Haji Salman bicara.
“Mohon maaf ya,” kata Haji Salman sedikit ramah. “Itu kambing-kambing yang saya kurbankan murni hasil usaha saya. Itu kambing-kambing peninggalan Nabi Ibrahim.” Dia berujar tanpa merasa tersinggung oleh obrolan Amri dan Hasan.
Amri dan Hasan tak berkutik. Setelah Haji Salman menjauh dan melihat hewan-hewan yang akan dipotong, mereka beringsut tanpa suara ke tempat penyembelihan. Di dekat warga dan jamaah masjid, Haji Salman menceritakan kehidupan Nabi Ibrahim saat menyembelih kambing sebagai pengganti sang anak, Ismail. Warga memang tampak memperhatikan ceritanya, meski kurang yakin atas cerita mulia itu. Itu seperti bualan. Bukan karena kisahnya tak inspiratif, melainkan karena yang bercerita Haji Salman yang di mata mereka masih tampak sebagai raja maling yang berlaku baik di lingkungan sosial.
“Sudahlah, ayo kita lanjut menyembelih,” kata Amri dan Hasan setelah Haji Salman menjauh. Mereka bersama jamaah dan warga serempak menyembelih hewan kurban satu per satu. Penyembelihan berjalan lancar hingga pada pembagian untuk setiap warga: dari yang miskin, yatim-piatu, dan warga biasa lain dengan jumlah berbeda tentu.
***
Setelah Hari Raya berlalu, daging kurban yang sudah menyatu dengan daging manusia itu juga lenyap menjadi aktivitas sehari-hari. Sebuah kabar angin beredar dari beberapa desa. Ada sebagian warga kehilangan kambing sebelum Hari Raya tiba. Tepatnya, seminggu sebelumnya.
Dugaan Amri bersambut. Dia makin yakin atas kecurigaannya pada Haji Salman. Lalu dia menemui Hasan dan Karim, takmir masjid penyelenggara kurban.
“Mas, kamu sudah dengar kabar gak?” tanya Amri yang datang bersama Hasan.
“Kabar apa, Mas?” tanya Karim.
“Di desa sebelah ada beberapa warga kehilangan sapi sebelum Hari Raya. Tapi kabarnya baru tersebar sejak kemarin,” kata Amri sedikit menceritakan kabar yang menyeruak pelan.
“Lalu kita hendak menuduh Haji Salman yang menjadi dalang?” tanya Karim setengah resah.
“Bisa saja begitu,” kata Hasan. “Sebagian di antara mereka menyebut begitu. Karena sebelum kehilangan kambing, mereka melihat Haji Salman berkeliling desa bersama beberapa orang.”
Karim merasa agak resah jika daging halal itu bercampur daging haram dari kambing dan sapi Haji Salman yang diduga curian. Perbincangan mereka makin mendalam. Mereka berusaha bersikap tenang. Di sana memang lumrah diketahui, meski Haji Salman tampak baik secara sosial, di belakang suka mencuri dan bertindak kriminal lain. Mereka tak ingin menjadi korban Haji Salman. Persoalannya, jika obrolan itu diketahui Haji Salman akan menjadi ancaman bagi mereka.
“Di desa sebelah, warga yang kehilangan kambing menemukan bekas sandal Haji Salman,” kata Hasan.
“Kok bisa langsung bekas sandal itu milik Haji Salman?” tanya Karim dengan dahi mengernyit. “Kan ada banyak sandal bermodel sama?”
“Siapa tak kenal bekas sandal mahal milik Haji Salman?” tanya Amri pada diri sendiri. “Sandalnya mahal. Hanya dia yang memiliki. Itu pun dia beli saat berhaji ke Makkah.”
“Apa kita harus melapor polisi saja?” tanya Karim semangat.
“Aku tak berani mengusulkan itu,” kata Amri. “Kalau ketahuan kita yang memiliki inisiatif itu, kita akan menjadi incaran orang-orang Haji Salman.”
Mereka duduk bersila dengan termangu. Obrolan terhenti begitu saja tanpa solusi. Rasa bersalah dan berdosa meliputi hati dan pikiran mereka. Mereka yakin itu daging hasil curian. Pada mulanya jamaah dan warga tak membicarakan soal hewan kurban Haji Salman. Mereka berpikir positif saja. Namun setelah ada kabar warga kehilangan hewan ternaknya, rasa berdosa menjadi duri yang terus menusuk-nusuk naluri.
Kebekuan itu kembali mencair setelah Karim mengusulkan untuk menemui warga yang kehilangan hewan ternak sebelum Hari Raya. Mereka akan menanyakan perihal itu. Semacam investigasi kecil-kecilan untuk mencari kebenaran cerita itu. Mulai dari soal bukti-bukti bekas pencuri hingga kecurigaan mereka atas sang pencuri.
Di sana, mereka bercakap-cakap dengan sebagian warga yang kehilangan hewan ternak dan beberapa warga lain. Benar, mereka memiliki dugaan sama: Haji Salman dalangnya. Namun mereka tak berani menyuarakan kecurigaan itu. Untuk melapor ke polisi tentu menghabiskan uang yang tak seberapa dibanding dengan harga hewan ternak yang hilang. Selain itu, mereka akan merasa terancam jika ketahuan menjadi pelapor.
Kebejatan Haji Salman mereka biarkan begitu saja. Mereka hanya akan berani melapor jika melihat langsung sang pencuri. Memang, bukti bekas sandal sudah mereka kantongi. Namun mereka rasa masih belum kuat. Mereka lebih memilih diam daripada membahayakan jiwa sendiri dan orang-orang terdekat. (44)

Yogyakarta, 22 Agustus 2017
Junaidi Khab, asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. Kini, dia bergiat di Komunitas Rudal Yogyakarta.

Gadis Embun

Cerpen Kristin Fourina (Media Indonesia, 03 September 2017)
Gadis Embun ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia
Gadis Embun ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
SELEPAS subuh, berjalanlah dengan pelan ketika kau melewati Jembatan Bantar, jembatan yang menghubungkan Bantul dengan Kulonprogo. Kau akan menemukan seorang perempuan tua yang duduk di pinggir jembatan dengan gusar. Ketika matahari berhenti di pelepah pohon pisang, kau akan melihat perempuan tua itu pergi meninggalkan jembatan dengan gelisah. Wajahnya pucat sebab saat itu sudah tak ada sisa setetes embun pun yang mampu menyejukkan hatinya.
Orang-orang sudah menganggapnya gila setelah tak ada kabar berita tentang anak gadisnya. Perempuan tua itu selalu memilih duduk di pinggir Jembatan Bantar selepas subuh hanya untuk merasakan sejuknya embun yang menyentuh tangannya. Sungguh, ia hanya ingin merasakan sejuknya embun sambil sesekali berharap bahwa anak gadisnya akan muncul bersama tetesan-tetesan embun di pinggir Jembatan Bantar.
Perempuan tua itu sesekali tampak gembira bisa merasakan sejuknya embun seperti ia sedang berjumpa dengan anak gadisnya yang sedari dulu ingin menjelma tetesan embun.
“Seperti embun, Ibu. Ya, setetes embun sehabis itu menguap dan lenyap. Mestinya Tuhan menciptakanku sebagai setetes embun, bukan sebagai seorang anak gadis yang tak diharapkan oleh seorang lelaki pun di dunia ini.”
“Kau menyesal telah terlahir dariku, Nak?”
“Justru aku adalah hadiah terburuk yang diberikan Tuhan untuk ibu.”
“Kau adalah anakku satu-satunya yang kupunyai, Nak. Kenapa anakku satu-satunya justru mengatakan padaku hal yang menyesakkan?”
“Justru karena aku adalah anak gadis ibu satu-satunya, maka aku merasa menjadi patung yang tak berguna.”
“Suatu hari kau akan tahu betapa beruntungnya ibu memilikimu, Nak.”
“Aku hanyalah seorang gadis yang serupa pasir, Ibu. Aku ingin menjelma setetes embun yang sejuk.”
Sedangkan ibunya masih saja tidak mengerti mengapa anak gadisnya selalu merasa menjadi perempuan yang paling tidak berharga hanya karena ia terlahir tanpa rahim. Tapi hujatan orang-orang di sekelilingnya memang terlalu mengganggu. Seolah parang yang menancap di hati, membuat anak gadisnya selalu membenci diri.
“Bukankah terlahir tanpa memiliki rahim itu bukan karena kesalahanku, Ibu?”
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Apakah terlahir tanpa memiliki rahim adalah sebuah dosa, Ibu?”
“Kau menanyakan hal yang tidak perlu ibu jawab.”
“Sebaiknya aku menjelma setetes embun hingga tak ada seorang pun yang menghiraukan keberadaanku. Tak akan ada yang melihatku. Lalu aku akan menguap sehabis itu lenyap.”
“Sebab kau tak memiliki rahim, kau seharusnya tak perlu merasa menjadi gadis yang paling hina, Nak.”
“Aku ingin jalanku tak sunyi, Ibu. Tapi tanpa rahim, berarti tak ada seorang lelaki pun yang ingin memilikiku. Begitu banyak lelaki yang mendekatiku, namun sebanyak itu pula mereka kemudian pergi meninggalkanku. Mereka menginginkan gadis yang utuh. Juga keturunan yang sungguh. Bukankah aku juga tak berharap terlahir sebagai gadis yang tanpa rahim, Ibu?”
Dan ibu mana yang mampu membendung aliran sungai yang membanjir deras di pelupuk mata demi mendengar keluh kesah anak gadis satu-satunya. Ia memeluk anak gadisnya dengan kegetiran yang merasuk dalam dada.
“Sebaiknya aku menjelma setetes embun,” desah gadis itu dalam pelukan ibu.
***
Dan ketika subuh baru saja berlalu, seolah sunyi telah terusir berganti kegaduhan yang menggelincir. Rupanya selepas sembahyang subuh, orang-orang dari surau dikejutkan oleh terjunnya seorang gadis dari atas Jembatan Bantar. Gadis itu seolah menjelma setetes embun yang terjun melebur menjadi satu dengan aliran Sungai Progo. Selepas subuh, orang-orang diliputi kegelisahan. Mereka tak berdaya melihat gadis itu terjun dengan anggun dan kemudian hilang seperti setetes embun yang lenyap.
Satu dua orang menjerit dan beberapa lainnya memutuskan untuk mendekati sungai. Arus sungai yang tenang serupa rajutan benang yang menenggelamkan. Tubuh para lelaki bergetar oleh dinginnya angin pagi dan sebab kalut dan takut.
“Saya terjun saja,” kata seorang pemuda yang memang bisa berenang, “Mungkin gadis itu masih bisa diselamatkan.”
Baru lima belas menit, pemuda itu sudah muncul lagi dengan kepayahan.
“Hanya ada air. Saya kira gadis itu sudah hanyut,” ucap pemuda gemetar.
“Iya, bisa jadi,” jawab yang lain.
“Gadis itu seperti anak gadis Mak Wasi,” gumam seorang lelaki.
Tiba-tiba pagi itu langit berselimut hujan. Kelompok lelaki bubar. Mereka masing-masing sudah tahu apa yang mesti mereka lakukan. Mereka merasa iba dengan nasib anak gadis Mak Wasi yang sebelumnya selalu menjadi gunjingan. Lalu beberapa orang melapor ke polisi, beberapa orang melapor ke perangkat desa, beberapa orang berniat memberi tahu Mak Wasi, sedang beberapa orang lagi diharuskan menunggu di pinggir sungai jika saja anak gadis Mak Wasi terlihat mengambang atau tersangkut kayu dan bebatuan.
Saat itu Mak Wasi sedang kebingungan mencari anak gadisnya di sekeliling rumah. Dan tiba-tiba ia dikejutkan oleh kabar bahwa anak gadisnya memilih terjun ke Sungai Progo secara mengenaskan.
***
Warga di pinggir Sungai Progo masih terkenang dengan anak gadis Mak Wasi yang terjun ke sungai. Bila saja anak gadisnya ditemukan dalam keadaan selamat, tentu saat ini Mak Wasi sudah berhenti menangis.
“Ke mana sebenarnya anak gadisku itu pergi?” tanya Mak Wasi berulang kali, “Adakah ia benar-benar terjun ke sungai? Aku tak melihat dengan mataku sendiri. Bahkan jika pun mati, jasadnya pun tak ditemukan. Setahuku ia hanya menghilang.”
Berkali-kali upaya pencarian tetap tak membuahkan hasil. Beberapa orang tua menganjurkan Mak Wasi mengadakan doa bersama setelah tujuh hari anak gadisnya tak ditemukan.
“Aku masih belum yakin anak gadisku sudah mati,” keluh Mak Wasi.
“Hanya doa bersama saja, Mak. Setidaknya agar hati Mak Wasi tenang.”
Tanpa sadar Mak Wasi menganggukkan kepala. Dalam hati ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa doa bersama ini bukan doa untuk kematian tetapi adalah doa untuk keselamatan. Selama doa bersama itu berlangsung, jiwa Mak Wasi terasa melayang mencari anak gadisnya yang meloncat dari jembatan.
“Kasihan, Mak Wasi…” ucap beberapa orang yang dulu mencibir anak gadisnya karena tak memiliki rahim.
***
Warga sudah putus asa melakukan pencarian. Waktu empat puluh hari terasa hanya sekejap mata. Semua orang sudah menganggap anak gadis Mak Wasi telah tiada. Mereka sudah yakin kalau anak gadis itu hanyut sampai laut. Mak Wasi tak pernah lagi mau bicara dengan siapa pun sebab selalu saja setiap orang menyuruhnya untuk mengikhlaskan. Semakin lama wajah Mak Wasi terlihat semakin pucat. Kesedihan mengeram dalam hatinya yang pekat.
Orang-orang bahkan sudah banyak yang melupakan gadis yang ingin menjelma embun itu setelah setahun berlalu. Tapi tidak dengan Mak Wasi. Ibarat berada dalam sebuah perahu, ingatan Mak Wasi selalu terhanyut pada kenangan akan anak gadisnya. Perahu yang membawa ingatan Mak Wasi terombang-ambing tak tentu arah. Gelombang kenangan telah mempermainkan ingatannya hingga tak pernah ingkar untuk mengenang anak gadisnya yang hilang.
Jika kau menyempatkan diri untuk sekadar melewati Jembatan Bantar selepas subuh, kau pasti akan menemukan perempuan tua itu. Ia selalu duduk di pinggir Jembatan Bantar sambil merasakan embun yang mengusap kulitnya yang keriput. Kemudian kau akan mendengar ia bergumam lirih. Dengarkanlah secara lebih dekat. Berulang kali ia mengatakan pada tetesan embun yang diusap, “Aku tak yakin kau telah mati. Bukankah kau hanya ingin menjelma embun, Nak. Aku tak yakin kau terjun ke sungai ini. Mungkin saja orang-orang hanya tak percaya telah melihatmu menjelma embun di tepian sungai ini. Jadi, mereka membohongiku dan mengatakan padaku kalau kau menenggelamkan diri. Kembalilah, Nak. Kembalilah meski hanya berupa tetesan embun.”
Ratusan subuh telah berulang kali terlewati. Kenangan akan anak gadis Mak Wasi pun juga masih selalu berbekas dan berkesan bagiku. Namun tetap saja ia hanya sebatas ingatan, hanya berbekas kenangan. Ia kini tak tampak. Aku sudah terlambat menyadari bahwa sebenarnya mungkin saja anak gadis Mak Wasi itu mengakhiri hidupnya hanya karena kesalahanku yang sudah dengan keji mengatakan padanya bahwa di dunia ini ia hanya menghabiskan sisa usia dengan sia-sia. Dan malam sebelum ia terjun ke sungai, ia mengatakan padaku bahwa ia ingin menjadi setetes embun saja, ia ingin meninggalkanku—kekasihnya yang terakhir—sudah itu lenyap?

Kulonprogo, 2017
Kristin Fourina, alumnus salah satu universitas di Yogyakarta, kerap memenangi lomba cerpen. Beberapa cerpennya dimuat di media massa dan masuk buku antologi bersama, salah satunya Bayang-Bayang (2012).