Daftar Blog Saya

Kamis, 11 Januari 2018

Menantu Idaman

Cerpen Mutia Nasution (Waspada, 07 Januari 2018)
Menantu Idaman ilustrasi Denny Adil - Waspada
Menantu Idaman ilustrasi Denny Adil/Waspada
MAMAK selalu berpesan agar Fadli mencari istri yang pandai memasak. Tidak perlu molek, asalkan pintar menggule. Tidak harus sesuku Batak, yang penting mahir menyeling menu. Tidak wajib berkarir tinggi, tetapi jago memuaskan lidah suami.
Amanat yang terdengar sederhana itu rupanya belum mampu ia tunaikan. Calon pendampingnya bukan sekadar tak paham cara mengolah, melainkan nyaris tak kenal segala rempah.
Kabar baik bagi Fadli dan bakal istrinya, Mamak sudi memberi restu. Beliau menyukai pribadi Muti yang bersahaja. Apalagi, gadis pilihan anak kesayangannya tersebut semanis pewara kuis di televisi. Mamak siap melatih menantunya kelak supaya terampil berkawan dengan api.
Dalam hitungan bulan, Muti resmi menyandang status sebagai Nyonya Briptu Fadli. Mereka tinggal seatap bersama Mamak usai mereguk candra madu di salah satu kota kecil nan tenang di Padangsidimpuan.
Bulan pertama, Mamak masih maklum prioritas Muti yang berseberangan. Jika Mamak lengket dengan kompor, Muti mesra dengan komputer. Kala Mamak sibuk mengurus belanjaan, Muti khusyuk mengelola bisnis online. Bila Mamak gemar menjajal resep masakan, Muti candu menulis artikel kesehatan. Sementara Mamak dekat dengan talenan, Muti akrab dengan telepon. Meskipun bukan pegawai, pekerjaan sambilan menantunya kerap menyita banyak waktu.
Belakangan Mamak lebih blak-blakan menegur Muti, terutama saat kepergok bermain ponsel. Saking seriusnya merespons pelanggan, ia acap melalaikan tugasnya di dapur. Alhasil keluhan Mamak mulai mampir di telinga.
“Besok lagi kalau masak jangan ditinggal ya, Mut. Bisa gosong,” sentil Mamak ketika Muti lupa mematikan kompor.
“Maaf, Mak. Tadi ada pembeli komplain, jadi harus cek segala macam.” Perempuan bertampang kanak-kanak itu langsung membenamkan ponsel ke dalam saku celananya. Entah berapa lama ia menelepon, berbagai gorengan sudah matang semua. Dilihatnya Mamak sedang menumis bumbu halus.
Suatu kali saat memasak bersama Mamak meminta bantuan Muti.
“Tolong ambilkan kecap, Mut.”
Muti segera membuka lemari gantung. Kontan ia bingung melihat deretan botol berisi cairan yang nyaris sewarna, pekat. Ia membatin satu per satu nama penyedap dalam lemari itu: kecap manis, kecap asin, kecap ikan, kecap inggris, saus tiram, saus teriyaki.
“Kecap yang mana, Mak?” tanyanya kemudian.
“Kalau Mamak bilang kecap saja, berarti yang ini lho, Mut.” Mamak menghampiri Muti seraya mengambil sebotol kecap manis.
“Ingat, kecap yang paling sering dipakai.” Tegas Mamak.
“Aku tahunya cuma kecap yang di tukang bakso, Mak,” ungkap Muti santai.
Mamak hanya meringis sambil menggelengkan kepala.
“Kalau aku sih cuma tahu makan,” timpal Fadli sekeluarnya dari kamar mandi. Tangannya merangkul Muti yang tengah menata penganan. Ia mencomot sepotong martabak telur, lalu mengunyahnya penuh kenikmatan.
“Kepuasan lidah juga bisa membuat suami betah di rumah,” demikian prinsip Mamak.
“Kata orang tua dulu, kalau habis nikah suaminya tambah gemuk, berarti istrinya pintar mengurusi.” Muti terkikih seketika menyaksikan Fadli menepuk perutnya yang kian tambun. Lelaki paling tampan di rumah tersebut selalu berhasil memulihkan suasana.
***
Sepekan sekali Mamak mengajak Muti berbelanja ke pasar tradisional. Ia mesti hafal semua lapak langganan Mamak. Sebut saja Uak penjual sayur mayur murah. Daging dan ikan segar tersedia di kios Ompung. Toko sembako milik Ucok nan lengkap. Kelontong Udak yang paling ujung. Tak ketinggalan pula daftar belanja kebutuhan sehari-hari. Lumayan bisa menghemat pengeluaran. Tidak heran, Mamak lebih senang memborong di pasar ketimbang di swalayan.
Menurut Mamak, supermarket lebih cocok untuk jalan dan jajan. Selanjutnya, mereka menyambangi kios penjual ayam yang tampak padat punya Pak Haji. Muti memerhatikan papan nama yang terpasang tepat di atasnya, “H. Thoyib: Jual Ayam Potong Halal”.
Para pembeli bersahutan sembari mendesak agar buru-buru dilayani. Pak Haji beserta istrinya malah menimpali dengan lelucon. Barangkali sebab keramahan itulah kaum Mamak rela menunggu lama dan mengabaikan bau anyir yang terus menyengat hidung.
Padahal, Pak Haji bukan satu-satunya bakul ayam potong di pasar itu. Bu, tukang ayam sebelah nggak antre panjang,” Muti mengusulkan. Kalau lazimnya ia manut saja tiap Mamak memilih tempat, kali ini sedikit berpendapat.
“Lebih terjamin beli di sini. Makanya selalu ramai,” sanggah Mamak. Alasannya karena Pak Haji senantiasa merapal doa sebelum mendebah ayam-ayamnya.
“Zaman sekarang mesti teliti kalau belanja. Halal haram itu penting.” Muti mengangguk sambil melengkungkan bibirnya pertanda setuju.
Seperempat jam kemudian, giliran Mamak mendapat satu ekor ayam kampung yang telah disembelih serta dicabuti bulunya. Pedagang bergelar haji tersebut dengan terampilnya mengayun pisau, merobek dan memotong ayam hingga sepuluh bagian. Seluruh jeroan dipisah ke dalam kantong plastik kecil. Mamak kerap menambahkan ceker dan kepala ayam favorit anak lanangnya.
“Kamu capek, Mut?” Tanya Mamak.
“Nggak apa-apa, Bu. Sekalian olahraga.” Jawab Muti.
“Kalau mau dimasakin atau masak sendiri bilang saja. Nggak usah malu.”
“Iya, Bu.” Tegas Muti.
Fadli itu doyan makan seperti almarhum Ayahnya. Kesukaannya gulai ikan mas. Nanti Mamak ajarkan cara bikinnya yang enak, ya.” Mamak tersenyum bak meminta Muti untuk segera pandai memasak.
Keduanya lekas beranjak dari satu kios ke kios lain tanpa lelah. Sesekali Mamak membisikkan wejangan pada mantu semata wayangnya: cara meladeni suami supaya makin cinta serta manajemen rumah tangga. Tidak terasa, empat kantong kresek besar penuh dengan aneka belanjaan.
***
Bila musim kawin tiba, Mamak sering menerima pesanan jasa boga. Masakan beliau terkenal lezat nan pas dengan selera si empunya hajat. Mamak biasa mengupahi beberapa tetangga untuk membantunya. Seharian meninggalkan rumah, terlebih jika ada undangan saudara, Mamak bisa menginap berhari-hari. Otomatis urusan pangan dipercayakan Muti sepenuhnya.
Dapur menjelma medan peperangan bagi Muti. Tergores pisau seakan jadi langganan. Menggoreng ikan sampai terciprat minyak panas pun pernah. Namun, berkat itu jua ia semakin lihai mengolah sajian sederhana. Menu andalannya tumisan. Kendati soal rasa tidak jauh-jauh dari hambar atau keasinan, Fadli tetap setia melahap masakan istrinya.
Muti selalu sukses menyiapkan sarapan dalam sekejap, sebelum Fadli berangkat kerja. Pagi ini Mamak tidak bisa membantunya karena kelelahan setelah masak besar di kampung sebelah. Ia sedikit ragu saat Mamak menengok pekerjaannya, sebab kondisi dapur masih berantakan. Beruntung ia telah rampung menata meja makan. Suaminya yang masih mengenakan seragam polisi kebanggaan keluarga mertuanya itu takjub serta merta menghadiahi tepukan tangan.
“Masak apa, Mut?” tanya Mamak seraya membenahi posisi kacamata.
“Nasi goreng, Bu,” jawab Muti sembari mengangkut peralatan kotor ke wastafel.
“Mamak langsung sarapan ya, kan mau minum obat.”
“Mamak sudah sembuh kok, cuma kecapekan. Ayo makan dulu. Nanti saja beresberesnya.”
“Ya, Bu.” Jawab Muti.
“Wah, mantap. Aku jadi lapar.” Fadli melongok sepinggan nasi goreng hangat bertabur irisan sosis dan ayam suwir.
“Kalau rasanya aneh, maklum ya, Bu,” tutur Muti sembari menarik kursi. Mamak mengamati satu demi satu hasil kreasi Muti.
“Ini sudah bagus tampilannya.”
“Siapa dulu kokinya,” sanjung Fadli. Tangannya mencentong nasi berikut telur dadar ke piring Mamak. Muti turut menambahkan acar dan kerupuk udang.
Suapan pertama berlangsung sekejap. Mamak bukanlah orang yang gampang memuji suatu hidangan sampai lidahnya merasa mapan. Fadli dan Muti saling berbalas lirikan mata. Mereka mulai deg-degan. Mamak tampak menahan komentar. Mulut beliau masih asyik mengunyah, sementara menantunya makin gelisah. Muti teringat ajang perlombaan di televisi, Mamak tak ubahnya juri yang siap menilai masakan peserta. Ia berharap komentar mertuanya kali ini tidak sepedas sambal tuk-tuk khas Mandailing kampung halamannya.
“Aromanya agak lain, tapi lumayan sedap.” Mamak memonten bak pembawa acara kuliner.
“Hmm… maknyus!” Kedua jempol Fadli malah ikut bergoyang, membuat Muti lantas memamerkan senyum polosnya. Hatinya lega luar biasa. Tidak sia-sia ia mempelajari bermacam varian nasi goreng lewat internet semalam suntuk.
Muti menuntaskan acara makannya lebih dulu. Ia seolah kenyang menyaksikan dua orang tersayangnya menyantap masakannya dengan begitu lahap. Tak biasanya ia seceria  itu ketika duduk satu meja bersama mertua.
“Nanti siang aku mau masak tumis daging paprika, Bu. Kebetulan masih ada stok daging di kulkas. Saking niat ngikutin resep, aku sampai keliling pasar cari kecap versi oriental.”
“Kecap oriental?” Tanya Mamak lalu balik menebak.
“Saus teriyaki?” Tanya Mamak menebak.
“Aku lupa namanya, Mak. Botolnya mirip kecap manis. Kata penjualnya bisa buat bumbu daging biar empuk. Nasi goreng juga tambah gurih dikasih itu.”
“Coba ambilkan, Sayang. Biar Mamak lihat,” pinta Fadli yang sejak tadi hanya menyimak obrolan kedua wanitanya.
“Sebentar.” Muti bangkit, kemudian mengambil sesuatu dari lemari gantung. Ia meletakkan sebotol kecap yang dimaksud di atas meja. Fadli dan Mamak serentak terbelalak saat mendapati label huruf Tiongkok yang melekat di botol beling bertutup merah tersebut.
Mamak berhenti menyendok nasi. Beliau refleks meletakkan sendok dan garpu. Kedua tangan kisutnya mengatup mulut yang hendak berdeham.
“Oh, ang ciu,” baca Muti lambat.
“Nama lainnya saus sari tapai. Di dapur belum ada kan, Bu?”
Dengan berat Fadli terpaksa menelan sisa makanan yang kadung melesat ke dalam kerongkongan. Muti menoleh bergantian pada Fadli serta Mamak yang langsung beranjak dari meja makan. Muti tampak bingung, tapi Fadli lebih bingung mencari alibi untuk membelanya.
“Kenapa sih, sayang? Apa yang salah?” Muti menagih jawaban sambil mengguncang lengan Fadli. Dahinya mengerut. Perasaannya kembali resah. Entah bagaimana ia menafsirkan raut Mamak yang mendadak berubah. Ia harap ada penjelasan usai segelas air putih tandas diteguk suaminya.
Fadli menggaruk kepala. Ia menilik hasil fermentasi beras ketan di hadapannya. Masih lekat dalam ingatan, betapa cerewetnya Mamak sewaktu batal makan di salah satu restaurant asing di plaza Padangsidimpuan. Lantaran tanpa sengaja melihat si tukang masak membubuhkan penyedap masakan itu, Mamak mengajaknya pulang.
“Ini arak merah, Sayang,” terang Fadli seraya mengusap kepala istrinya
***

Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Semester 3, Ltbi Unimed.

Kuburan yang Basah

Cerpen Ahmad Afandi (Waspada, 07 Januari 2018)
Kuburan yang Basah ilustrasi Denny Adil - Waspada.jpg
Kuburan yang Basah ilustrasi Denny Adil/Waspada
SUDAH lama Ayah tak bersuara. Mulutnya terkunci tapi tiada satupun yang tahu cara membujuknya untuk bicara. Ayah selalu bungkam jika di tanya Ibu. Aku pun begitu, jika aku coba mengajak Ayah bicara, Ayah malah tersenyum dan mengelus kepalaku.
Dokter dan teman-temannya sudah kehabisan akal untuk membuat Ayah bicara. Seluruh obat-obatan sudah kubeli. Aku sangat menyayangi Ayah. Ibu juga begitu, dia selalu menyayangi dan mengurus Ayah dengan baik.
Sebenarnya dulu Ayah hanya mengidap penyakit diabetes ringan kata dokter. Namun semakin usianya yang bertambah Ayah tak lagi kuat menahan serangan penyakitnya. Akhirnya ayah masuk tingkat yang sudah parah, tidak bisa bicara lagi. Ibu dan aku yang hidup di dalam rumah reot ini tak punya banyak pilihan kecuali mengandalkan kartu jaminan kesehatan dari Pak Lurah, untuk mengobati Ayah. Alhamdulillah, selalu kuucapkan syukur di tengah cobaan yang menerpa keluarga kami.
“Yah, ini aku bawakan bubur, aku suapin ya?” Aku membujuk Ayah agar mau makan.
Ayah hanya mengangguk. Pertanda beliau ingin aku suapi hingga buburnya habis. Tubuh ayah sudah layu, kurus sekali. Aku sampai kasihan jika harus menggantikan pakaiannya, benar-benar kesusahan. Aku sangat yakin ayah di dalam hatinya juga berbicara, mengucap terima kasihnya kepada Ibu dan aku. Memohonkan maaf atas ketidakmampuannya menafkahi kami. Ayah sangatlah kuat, buktinya sudah satu tahun penuh ayah seperti ini, dan ayah tak pernah murung wajahnya. Seperti semangat yang tak pernah pudar tergambar jelas dari matanya.
“Bu, aku pamit pergi sekolah, aku titip ayah ya bu?”
“Iya nak, hati-hati ya sayang di jalan. Naik angkotnya jangan ugal-ugalan,” sahut Ibu dari kamar mandi sedang mencuci pakaian.
“Baik bu!”
Sesungguhnya aku selalu khawatir jika aku pergi ke sekolah, karena Ibu sudah aku pastikan tidak menjaga ayah sebaik aku yang menjaga. Karena ibu terlalu sibuk mengurus dapur dan bekerja untuk makan sehari-hari kami.
Aku tahu apa yang dirasakan Ayah ketika aku pergi, sepi dan sendiri. Beliau sering kulihat menghela nafas panjang ketika aku ingin melangkahkan kaki ke luar rumah. “Ayah sabarlah sebentar, biarkan anakmu menuntut ilmu dulu,” fikirku sambil melangkah menuju ke luar rumah.
Hari ini ulangan mata pelajaran fisika, salah satu bidang yang sangat aku sukai. Banyak rumus dan beberapa latihan soal sudah aku jawab di buku latihanku. Meskipun aku tidak bisa les privat seperti teman yang lain, aku cukup berprestasi. Semuanya adalah teruntuk Ayah, membuat Ayah selalu bangga dengan prestasi yang aku raih.
“Sebelum kita ujian, kalian isi surat perjanjian kehadiran orangtua dahulu!” Seru bu guru!
“Surat ini berisi mengenai panggilan kepada orangtua untuk membahas perkara biaya kelulusan tahun ini.” Sambungnya.
“Bu, bagaimana dengan aku? Pasti Ibu belum punya uang untuk berkas kelulusan yang tinggal 2 bulan lagi,” aku menjelaskan sembari mengacungkan tangan.
“Saya tidak mau tau, kamu harus melunasinya dan bawa orangtua kamu ke sekolah,” tegas Bu Guru.
Aku terdiam, tak bisa melawan karena Ibu selalu mengajarkan mengalah dengan orang yang lebih tua. Haruslah taat jika guru menjelaskan. Aku hanya termangu, berfikir dengan cara apa ibu membayarnya. Dan bagaimana Ibu datang ke sekolah sementara Ayah di rumah sendirian sedang sakit. Tidak ada sanak saudara di sekitar rumahku. Aku anak laki-laki satu-satunya, walaupun aku masih SMA kelas 3 aku ngerasa harus bertanggung jawab. Tidak mau meminta bantuan kakak kandungku di luar kota.
Waktu ujian tiba, semuanya duduk di dalam kelas. Aku sudah tak sabar menjawab soal fisika yang kugemari. Tiba-tiba Bu Risma, guru bahasa Indonesia mengatakan kami seluruh siswa harus melunasi semua biaya kelulusan dan membawa orang-tua pada hari itu juga.
Aku tersentak dan tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berbicara pada Bu Risma untuk memberikan dispensasi kepadaku dikarenakan Ayahku yang sedang sakit. Namun beliau marah-marah malah, seperti Bu Darmi, wali kelasku. Sejujurnya hati ini sangatlah pedih menjadi orang miskin. Selalu dijengkali orang lain. Belum habis omelan Bu Risma kepadaku, terlihat Bu Darmi berdiri di depan pintu kelas.
“Assalamualaikum, Bu Risma, sini sebentar!” Bu Darmi memanggil.
“Iya bu, ada apa?”
“Oh, iya, iya baik bu,” Bu Risma nyeletuk lagi.
Entah apa isi percakapan mereka yang jelas setelah Bu Risma dipanggil Bu Darmi, mendadak aku disuruh membawa tas dan pulang. Bu Risma hanya mengatakan bahwa ada yang menjemputku dan aku disuruh untuk senantiasa semangat belajar. Aku jadi bingung mengapa aku disuruh pulang, padahal semua murid juga sudah berkumpul kembali di kelas.
Aku melihat Bang Wahyu, tetanggaku berdiri di pagar sekolah. Aku menanyakan sebenarnya ada apa sehingga aku harus dijemput.
“Sudah ikut saja,” ucap Bang Wahyu.
Aku menuruti kemauannya. Aku dan Bang Wahyu melewati rumahku. Aku sempat berteriak dan menyadarkan Bang Wahyu karena kami kelewatan. Namun dia hanya bersuara “kita mau ke sana”. Aku terus bertanyatanya dalam hati. Padahal aku harus ujian, aku juga belum makan siang. Aku terlelap di tubuh Bang Wahyu.
Sampai aku bangun aku sudah berada di sebuah rumah mewah yang tidak asing bagiku. Ternyata itu rumah Kak Dita, kakak kandungku. Aku sudah melihat sebuah jenazah dibalut kain kafan. Aku tak bisa bicara. Aku terpaku dalam pijakanku. Sedikitpun tiada bergerak. Kuhampiri dan kupastikan itu bukan Ayah, ternyata aku salah. Jenazah itu Ayah. Aku memandangi senyum wajahnya bersama raungan Ibu. Ibu meminta maaf padaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Air mataku luruh bersama kepedihanku yang semakin tak terbendung.
“Sudahlah, jangan terus kau tangisi, ayo pulang! Sudah 3 jam kau menangisi Ayah di kuburan itu. Ibumu juga masih pingsan di rumah Kak Dita. Apa kau tega terus-terusan begini?” Ucap Bang Wahyu menepukku.
Aku tersadar tiba-tiba dari kuburan yang basah akibat air mataku. Ya, benar! Ayah memang sudah tidak ada. Aku pulang meninggalkan kuburan itu.

* Penulis adalah mahasiswa, pegiat literasi di komunitas Fokus UMSU.

Restu

Cerpen Dedy Kurniawan (Waspada, 07 Januari 2018)
Restu ilustrasi Denny Adil - Waspada
Restu ilustrasi Denny Adil/Waspada
DENTUMAN kembang api meledakkan ingatanku bahwa ayah sudah lama mengetahui kalau kami—aku dan Zul— memiliki hubungan khusus. Beberapa kali pula aku sadar akan siasat ayah untuk membelah cinta kami. Tapi aku tegar. Menunggu. Mengharap. Tentu aku tak ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan dengan Zul tanpa restu ayah.
Untuk situasi seperti ini, aku menjadi lebih sering terkenang dengan ibu. Ya, perempuan yang selalu meneduhkan seluruh penghuni rumah ini. Ayah yang jika dilihat sekarang sangat galak dan tanpa am-pun, ketika ada ibu adalah sosok pria yang bersahaja. Tentu, kehilangan ibu sangat menyesakkan dada. Semua berubah ketika ibu telah pulang kepangkuan ilahi.
Zul paham betul, semenjak ibu mendadak pergi, pernikahan yang direncanakan harus mengubah jadwal. Semenjak itu pula malapetaka hadir. Restu ayah! Aku tentu tak ingin mengabaikan itu. Pernah beberapa kali Zul mencoba meraba hati ayah tanpa sepengetahuanku. Barangkali pula ia akan mendapat kunci untuk membuka gembok restu ayah.
Suatu pagi, Zul datang. Ketika baru memasuki halaman, Zul melihat sepeda motor tua yang sudah lama tak dikencani. Kursi goyang kosong tak berpenghuni persis di depan pintu agak menjorok ke kanan. Sementara dari ujung dapur aku menghirup aroma kopi.
Memang pagi itu udara sangat dingin. Matahari terus berusaha untuk menampakkan diri, menggeser lindungan awan. Zul sadar, ayah suka membaca koran. Suasana hatinya akan baik apabila tim sepak bola kesayangannya menang.
Pagi itu keadaannya demikian. Maka, waktu yang pas rasa Zul untuk mencoba meminta restu. Tapi apa yang didapatnya, hanya ledakan kemarahan ayah. Membuat Zul mundur dan pulang pagi itu. Meski Zul menjelaskan kepadaku bahwa ia melihat kesedihan di balik kemarahan ayah. Beberapa kali matanya tertumbuk ke tangan ayah seperti memegang tangan seseorang dan Zul yakin itu adalah ibu.
Kejadian itu bukan membuat surut semangat Zul. Ia malah semakin menggebu. Ombak-ombak di lautan hatinya kian bergelombang. Kapalkapal di kepalanya terus berlayar mencari tepian surga. Aku tak tinggal diam. Aku tak menyiakan semangat Zul.
Akhirnya suatu malam kujumpai ayah yang sedang duduk di sofa panjang sambil membaca buku. Kususun letak hatiku yang gemetar sambil mengatur kata-kata. Tapi setiap kali kususun kata-kata untuk memulai percakapan, kata-kata itu runtuh. Aku hanya duduk dan terdiam.
“Kenapa?” Ayah memulai. Tetap dangan mata mengarah ke buku yang dibaca.
Aku terdiam. Lidahku kelu. Seperti kata-kata yang sudah ditenggorokan tapi susah untuk dikeluarkan.
“Restu?” Sambung ayah sembil menoleh ke wajahku.
Aku makin terpaku dan termangu. Kenapa pula ayah yang memulai hal yang ingin kusampaikan. Debar. Hatiku berdebar.
“Kau tahu, daun yang gugur itu tak pernah sia-sia. Ada makna yang dapat dari situ. Ayah sudah kehilangan cinta. Dari ibumu. Ayah tak ingin pula anak satu-satunya meninggalkan ayah sebatangkara. Teronggok lalu membusuk di sudut rumah ini.” Ayah menutup buku. Kulihat matanya mulai basah. Rindu tak bisa dibendungnya kini.
“Itukah yang membuat restu ayah tertahan?” Jawabku sambil mengernyitkan dahi.
“Kalau kau menikah. Tentu kau akan ikut dengan suamimu?”
“Lantas, apa masalahnya, yah?”
“Zul…”
“Kenapa dengan Zul.”
“Dia bekerja di luar negeri. Tentu kau akan ke sana nanti.”
Astaga! Aku lupa perihal ini. Aku tersentak mendengar sebab muasal perkara restu tak tunai. Aku sadar kini, seberapa takutnya ayah kehilangan cintanya lagi. Aku menyesal atas pertengkaran-pertengkaran yang lalu dengan ayah. Semua karena cinta.
Pembicaraan itu terputus sampai di situ. Ketika ingin masuk ke kamar. Tangis ayah semakin menjadi. Tak bersuara memang, tapi aku merasakan sakit yang mendalam. Kuambil telepon genggamku. Kucari nama Zul di kontak. Kutelepon ia. Kuceritakan segala perbincangan tadi serta beberapa bulan sebelumnya. Semua. Tak ada yang luput diketahui Zul. Aku menyarankan Zul untuk dipindahkan ke Indonesia. Kalau bisa dekat dengan rumah ayah. Agar bisa setiap hari aku mengunjungi ayah. Sehingga restu ayah bisa diraih.
Zul mencoba melobi-lobi atasannya di sana. Memohon dan mengharap. Akhirnya setelah proses panjang dan melelahkan. Zul diizinkan pindah ke Indonesia. Tapi dengan posisi yang lebih rendah. Gaji yang tiga kali lipat turun dari gajinya di luar negeri.
Hal itu sedikit mengganggu, mengingat posisi Zul di luar negeri sangat bagus untuk karirnya. Tapi ia rela. Demi restu. Dan sekarang ia sudah berada di Indonesia dan bekerja di sini, tak jauh dari rumah.
Ia pun memberitahu aku tentang hal ini. Restu ayah sudah kukantongi beberapa menit sebelum ia memberi tahu aku. Aku terkejut dan girang. Ia terkejut dan pingsan setelah aku sampaikan ayah mengizinkan aku tinggal bersamanya di luar negeri.

Penulis adalah alumnus UMSU. Pegiat literasi di FOKUS UMSU.