Matanya yang tua seakan meneropong, mengamati surau di hadapannya
dengan tatapan saksama. Surau yang terlihat tua, kuno, tetapi belum
kehilangan gairahnya dalam menampung doa-doa. Semakin tua, surau yang
sudah berdiri selama puluhan tahun itu masih terlihat kokoh, belum
ringkih sama sekali. Meski beberapa bagian lantai papannya ada yang
menganga. Tikar pandan untuk alas surau tampak masih mengilap. Tangga
dan penyangga dari kayu jati terlihat semakin berwibawa seiring
bertambahnya usia surau. Surau yang masih bersetia tegak di depan
rumahnya, meski zaman selalu berubah. Meski surau itu kini tak seramai
dulu lagi.
Namun, gelombang perasaan yang mengganggu itu selalu datang menyapa
hati Wak Haji akhir-akhir ini. Tiga kemenakannya mengusulkan agar surau
itu dipugar, diganti dengan mushala baru yang lebih modern. Kuncup surau
dari papan yang berukir, seharusnyalah sudah digantikan dengan kubah
berwarna biru cerah. Lantai papan yang
ongak di beberapa
bagian, sudah semestinya berganti dengan lantai keramik berwarna putih
bersih. Lalu surau dengan model rumah panggung seperti itu, sudah
ketinggalan zaman.
Maka, atas pemikiran mereka yang memiliki uang berlebih itu, surau akan diruntuhkan, digantikan mushala baru.
“Nanti para pekerja biar aku yang urus. Mereka para tukang yang aku
pekerjakan selalu giat. Pekerjaan merenovasi surau itu tentu akan cepat
selesai.” Ujar Makmun, kemenakan tertua Wak Haji. Dia bekerja di
kontruksi bangunan, sebagai mandor.
“Nah, benar itu. Untuk material bangunan, biar aku dan Kang Muis yang urus,” timpal Misbah, kemenakan termuda Wak Haji.
Wak Haji terdiam sebentar, sebelum dia berujar.
“Sebaiknya, tak perlulah surau itu dipugar. Bangunannya masih bagus, belum ada yang perlu benar-benar diperbaiki.”
“Wak, seharusnya Wak tahu, surau itu bukan lagi sekadar milik Wak seorang.
Melainkan sudah menjadi milik banyak orang. Sebentar lagi puasa Ramadhan
tiba, Wak. Tentulah surau itu harus bersolek, agar yang tadarus dan
shalat nanti semakin bersemangat!” Muis menatap uwaknya sungguh-sungguh.
“Tapi, yang datang ke surau kita ini tak seramai dulu. Masjid besar di ujung kampung itu sudah cukup luas menampung mereka.”
“Wak, masalahnya surau kita sepi ya, menurutku karena keadaannya yang
seperti sekarang. Bunyi kerat-kerat lantai kayu ini sungguh mengganggu
kekhusyukan mereka yang sembahyang di sini,” sambung Muis santai.
“Kekhusyukan dalam bersembahyang bukan didasari di mana kita
bersembahyang, Muis. Apalah artinya nanti jika surau tua ini digantikan
mushala baru yang jauh lebih kokoh, tetapi tetap senyap dari doa-doa
untuk Gusti Allah,” jawab Wak Haji sendu.
Namun, di akhir diskusi dengan ketiga kemenakannya, Wak Haji terpaksa
menerima keputusan bahwa surau yang dia dirikan berpuluh tahun lalu itu
akan dipugar. Surau dari papan akan digantikan tembok semen yang
kokoh. Meski setelahnya, Wak Haji merasakan ada kekosongan di hatinya.
***
Wak Haji lari terbirit-birit ketika mendengar suara mesin gergaji
meraung-raung. Muis yang berbadan tegap sedang bersiap menggergaji pohon
duku di samping surau.
“Mau kau apakan pohon duku itu, Muis?” Wak Haji berdiri bingung.
“Mau ditebang, Wak!” teriak Muis di tengah gemuruhnya suara bising gergaji mesin.
“Apa? Tebang? Tak salah kau, Muis? Mengapa lagi pohon duku itu kau tebang?”
“Untuk tempat parkir, Wak. Nanti kalau surau, ah, mushala baru sudah
jadi, tentulah banyak yang datang bersembahyang di sini. Tentu kalau
sudah seperti itu, kita perlu tempat parkir bukan?” Muis mematikan
gergaji mesin yang sedang dia bopong.
“Keterlaluan kau, Muis. Aku memperbolehkan kau dan adik-adikmu
merombak surau ini, tapi tak perlu juga kau robohkan pohon duku ini,”
sahut Wak Haji dingin.
Muis menghela napas panjang. Ditatapnya wajah uwaknya
sungguh-sungguh. Sejak kecil, waknya yang membesarkan dia dan kedua
saudaranya. Wak Haji tak memiliki seorang anak pun. Kesepiannya ditutup
dengan merawat tiga kemenakannya. Bagi Muis dan adik-adiknya, saat
inilah dia membalas kebaikan sang wak. Merombak surau, menjadi mushala
baru agar lebih hidup.
“Jadi untuk pohon duku ini uwak keberatan?” tanya Muis sekali lagi.
“Tentu saja. Kita tak perlu lahan parkir yang terlalu luas. Biarkan
pohon duku ini tetap seperti semula,” ujar Wak Haji sembari kembali
masuk ke dalam.
Kemarahannya tiba-tiba berkobar. Siapa yang menyangka jika
dirombaknya surau akan merembet ke mana-mana. Wak Haji memejamkan
mata. Disebutnya asma Allah berulang kali. Suara gergaji mesin yang
bising tak terdengar lagi, tapi lamat-lamat dia masih mendengar suara
Muis yang berbincang-bincang dengan seseorang di luar.
Surau yang dia dirikan benar-benar dipugar. Satu per satu papan
dilepas, ditumpuk begitu saja di bawah pohon duku yang tak jadi
ditebang. Tikar pandan digulung, Makmun menaruh gulungan tikar pandan
itu di ruang tengah. Di tempat biasa Wak Haji menonton televisi. Tikar
pandan itu tak diperlukan, mushala yang baru nanti akan menggunakan
karpet baru yang jauh lebih lembut.
Wak Haji menatap gulungan tikar pandan itu dengan nanar. Tikar pandan
itu yang menganyam almarhumah istrinya, Siti Nafsiah. Istri yang sangat
disayanginya, yang meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Bulir air
mata Wak Haji mengalir perlahan. Bibirnya berbisik perlahan.
“Siti Nafsiah, istriku. Tikar hasil keterampilan tanganmu ini nantinya akan digantikan karpet baru.”
***
Surau yang lama telah berganti menjadi mushala baru yang lebih
modern. Kubah yang tak terlalu besar, tetapi berwarna biru cerah
menambah kesan semarak. Empat pelantang suara dipasang menghadap ke
empat penjuru.
“Nanti suara uwak akan menggema ke seluruh desa. Tak kalah dengan
dengan suara dari masjid besar di ujung desa itu, Wak,” ujar Misbah
bergurau saat waknya menanyakan apa gunanya memasang pelantang suara
sampai empat buah.
Semuanya dirasakan Wak Haji dengan keterasingan yang tak bisa diungkapkan.
Dinginnya dinding dan lantai mushala tak pernah dia kenal
sebelumnya. Suaranya yang menggema dari pelantang suara mushala baru
terdengar asing di telinganya sendiri. Suara azan yang dia kumandangkan
senantiasa berbaur dengan suara azan dari masjid besar di pinggir desa.
Awal mula mushala itu jadi, jamaah yang bersembahyang di sana cukup semarak.
Namun, tak lama kemudian, mushala Wak Haji sepi lagi. Tapi, bukan
sepinya mushala baru yang membuat hati Wak Haji sedih. Dalam diamnya dia
selalu merindukan suraunya yang lama. Surau dari papan, yang beralas
tikar pandan.
Dulu dia membangun surau itu sedikit demi sedikit. Kayu-kayu yang
kemudian menjadi bagian utuh surau dikumpulkannya sendiri. Wak Haji
sendiri yang merancang surau panggung. Ukiran di atas atap, dia sendiri
yang membuatnya. Kini surau yang dulu selalu ramai dengan anak-anak yang
belajar mengaji, berganti menjadi mushala baru yang senyap.
Subuh belum benar-benar datang ketika Wak Haji membuka pintu mushala
perlahan. Keadaan senyap, tak ada seorang pun di dalamnya. Meraba dalam
gelap, Wak Haji mencari panel saklar lampu neon. Seperti yang dia
perkirakan sebelumnya, tak akan ada banyak yang berubah. Meski sudah
dipugar menjadi mushola yang baru, tetap saja hanya dia seorang yang
setia mengulum doa-doa di sana.
Gusti Allah tak terlalu mempersoalkan di mana para hamba-Nya bersembahyang.
Yang terpenting dari semuanya adalah kekhusyukan yang ikhlas. Surau yang
lama sesungguhnya tak menjadi soal, tapi bagaimana Wak Haji menolak
mushala yang baru ini jika dipugarnya surau adalah bukti kasih dari
kemenakan-kemenakan yang telah dibesarkannya. Tapi, seringnya memang
begitu, balasan kebaikan terkadang luput dari apa yang diinginkan.
Wak Haji hanya duduk tepekur. Dia enggan mengambil mikrofon yang akan
menyalurkan suaranya ke pelantang suara. Suara muazin masjid besar di
pinggir desa sudah terdengar. Tapi, Wak Haji tak juga meraih mikrofon
mushala baru miliknya. Dia beranjak, ke tempat wudhu. Setelahnya dia
bersembahyang.
Lepas mengucapkan salam terakhir, Wak Haji merasakan ada yang
menghentak dadanya. Napasnya tersengal. Dia jatuh di atas karpet sajadah
baru yang terbentang di atas lantai mushala. Kedua matanya yang mulai
kabur menangkap satu sosok yang berdiri di pintu mushala.
“Siti Nafsiah…,” erang Wak Haji perlahan.
Namun, bayangan almarhumah istrinya semakin lama semakin kabur lalu
menghilang. Dari bibirnya yang bergetar menahan sakit, Wak Haji hanya
mampu berucap perlahan, Allah, Allah, Allah…
Sebelum akhirnya matanya tertutup, bibirnya berhenti bergetar.
Artie Ahmad lahir dan besar di Salatiga, Jawa Tengah. Saat ini bekerja sebagai seorang karyawati swasta.