Daftar Blog Saya

Selasa, 09 Januari 2018

Di Kedai Kopi, Saat Kita Hanya Bisa Berdoa, Ada yang Datang dan Pulang, dan Lainnya

Puisi-puisi Ganda Cipta (Jawa Pos, 07 Januari 2018)

Kartun Dana Basuki - Jawa Pos.jpg
Kartun Dana Basuki/Jawa Pos

Di Kedai Kopi


menunggumu sophia
seperti menunggu hujan dalam dekapan langit

ada perempuan…
berbaju merah kotak-kotak di belakangku
mungkin dia tak sekadar suka kopi
tapi juga politik

tahukah kau, di negeri ini
kopi dan politik hampir tak ada bedanya
ada cinta, luka, juga musim yang ditunggu-tunggu

maka aku menulis sajak saja, sophia
dalam rima yang tak berderap
dan mungkin senyap

kalau tak datang juga kau selepas hujan reda
kan ku tulis surat untukmu.

sekalimat saja…

“aku rindu masa lalu”

sudah itu
dengan gagah ku tatap masa datang

Padang, 19 April 2017

Saat Kita Hanya Bisa Berdoa


merdeka itu
bisa mencintaimu
tanpa bertepuk sebelah tangan

tapi sophia…
saat garam mahal di laut luas
cinta hanya kisah-kisah yang memabukkan

mari
gandeng tanganku ini
kita ke pasar

adakah kau dengar kanak-kanak berlagu sekenanya?
nasib dan suara mereka sama-sama tak ada merdunya

atau itu
adakah kau lihat pemalak berkepala batu yang tak bisa apa-apa,
saat dipunggungkan istrinya dalam tidur yang lapar

jadi, kita kibarkan atau bawa berlari
tak ada ubahnya bila bandit-bandit bermata hijau,
masih membagi-bagi nasib kita di atas meja
negeri ini akan selalu mati gaya
merdeka hanya kata
menguap bersama bau kentut mereka

baiklah
mungkin kita hanya bisa berdoa
pada langkah yang semakin tua

panjangkan usia, pendekkan sengsara

Padang, 18 Agustus 2017

Ada yang Datang dan Pulang


sekali ini pagi datang cepat
tidak berlari tapi menyelinap
di antara dingin dan bunyi air
yang lepas di pancuran

maka dengarlah kisah ini
tentang seorang penyair…

“mak, aku hendak kawin.”
kata-kata itu lepas
seperti durian lepas dari tampuknya

“sudah siap kah engkau?” tanya mak,
dalam degup jantung yang tak pasti.

“siap kawin tak seperti siap mati.”
jawab itu lalu, bersama lesatan cahaya

setelah itu tak ada lagi tanya jawab

tangan mak makin keriput dalam remas santan
dan penyair tenggelam dalam segala perang

tangis pun menyongsong kematian
ada yang datang dan pulang

begitulah

Padang, 1 Agustus 2017

Negeri Siapa?


bisakah kita untuk tetap waras
hingga ke pelaminan nanti, sophia?
sampai kapan akal sehat kita diblender kisah-kisah
yang semua akhirnya, sudah di luar kepala?

bukankah sudah kukatakan,
negeri ini tidak cocok untuk berbulan madu
sebab baranya bukan untuk percintaan

liku jalannya adalah kebodohan yang berulang-ulang
gunung tingginya, kesombongan yang tak berpenghalang
dan dalam lautnya, berisi ikan-ikan kebencian

kita tak sekadar sedang menontonnya, sayang
kadang ikut memanggil-manggil hujan
walau hanya gerimis yang datang

di pengujung sore…
kau genggam erat jemariku
bibir pucatmu
tak melepas satu kata pun
kita hanya melangkah
hingga penghabisan malam, beku

Padang, 19 Juli 2017


Ganda Cipta, lahir di Padang, 4 Mei 1984. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Saat ini menjadi wartawan di harian Padang Ekspres.

Kutipan Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi

Sebutir waktu pada masa lampau bisa membuat kepala kita jadi alat perekam yang tiada tandingannya. Sebutir waktu yang berisi kejadian sederhana, kejadian yang mau tidak mau dan tidak mampu kita lupakan. Sebutir waktu yang bisa membuat kita geli tertawa, harus menangis atau tertegun berdoa. Sebutir waktu yang akan menghentikan butir-butir waktu lain pada masa kini. Kepala kita memang seringkali cuma medan perang antara kepolosan-kepolosan masa lalu, kecemasan-kecemasan masa sekarang, dan kebimbangan-kebimbangan akan masa depan. (hlm. 76)

Banyak banget kalimat favorot dalam buku ini:
  1. Seluruh kata yang dituliskan adalah gudang yang menyimpan roh manusia. (hlm. 11)
  2. Masa kecil adalah sumber dari segala kebahagiaan dan kemurungan. (hlm. 17)
  3. Ada waktu khusus dan tepat bagi setiap kejadian, sekecil apa pun. (hlm. 21)
  4. Tuhan telah menyiapkan angka-angka yang tepat untuk segala kejadian. (hlm. 22)
  5. Orang-orang yang tidak kau kenal tidak akan membebani pikiranmu. Mereka bukan musuhmu. Kau harus berterima kasih kepada orang yang tidak kau kenal. (hlm. 24)
  6. Hal yang benar tetaplah ebnar meskipun cuma separuh dari dirimu yang percaya. (hlm. 29)
  7. Setiap pekerjaan adalah pohon dan kegigihan adalah pupun terbaik. (hlm. 58)
  8. Perempuan adalah nama lain dari Tuhan bagi bibir-bibir mungil kecil. (hlm. 79)
  9. Cinta memiliki bentuk perhitungannya sendiri. (hlm. 89)
  10. Belajarlah menyembunyikan rasa sakit dari perempuan. (hlm. 96)
  11. Ada orang yang akan menunjukkan hal-hal yang harus kau ikuti. Ada juga orang yang akan menunjukkan hal-hal yang harus kau hindari. (hlm. 100)
  12. Dalam hidup ini, ada banyak hal yang bisa selesai kita lakukan meski kita tidak percaya kita mampu melakukannya. (hlm. 105)
  13. Hidup sederhana jauh lebih manis dan nikmat. (hlm. 114)
  14. Melakukan hal-hal besar ternyata tidak melulu harus dengan biaya besar. (hlm. 123)
  15. Mimpi adalah teman bicara yang menyenangkan. (hlm. 185)
  16. Mantan kekasih persis seperti utang, kita tidak pernah betul-betul melupakannya. Kita hanya selalu pura-pura melakukannya. (hlm. 185)
  17. Pernikahan semata kisah romantic yang tokoh utamanya akan mati di bab pertama. Kau akan mengganntikannya sebagai tokoh utama di bab-bab selanjutnya. Asal kau bisa memisahkan rasa sakit dari kesedihanmu. (hlm. 202)
  18. Pernikahan seperti buku yang bab pertamanya ditulis dengan bahasa puisi dan sisanya ditulis dengan bahasa ilmiah. (hlm. 203)
  19. Kadang-kadang, dalam hidup ini, kita harus jadi seperti bintang itu, jatuh demi demi membuat seseorang tersenyum dan berdoa. (hlm. 203)
  20. Ada kalanya cinta tampil dalam wujud yang amat mengerikan. Atau, barangkali, cinta tidak lebih seutas tali rapuh yang mengikat seluruh perangai buruk dalam diri manusia. Ada saat ketika tali itu putus dan kita tidak mampu mengendalikan akibatnya. (hlm. 225)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Takdir adalah kesimpulan bagi orang-orang yang mudah putus asa dan malas berpikir. (hlm. 5)
  2. Kenangan punya banyak cara menjerat dan membunuh pemiliknya. Manusia tidak lebih dari seekor binatang bodoh dan lemah di hadapan kenangan. (hlm. 7)
  3. Ingatan adalah perihal yang sungguh-sungguh aneh. Lengannya bisa menjangkau jauh ke masa lampau, tapi kadang tidak mampu menyentuh hal-hal yang baru saja berlalu. (hlm. 90
  4. Satu-satunya kesialan manusia adalah menjadi dewasa. Masa kecil, seburuk apa pun, tetaplah keajaiban. (hlm. 15)
  5. Selain pintar menulis puisi untuk dibaca perempuan, kau harus menjadi puisi yang membuat perempuan jatuh cinta. (hlm. 54)
  6. Barangkali perempuan memang ditakdirkan menjadi lukisan paling abstrak. Rumit dan, karena itu, tidak mudah dipahami. (hlm. 91)
  7. Jangan pernah menganggap remeh perempuan sebab di dalam diri mereka tersimpan sesuatu yang berbahaya dan tidak mudah dipahami. Dan, karena perempuan adalah mahluk yang kuat, mereka kadang lebih memilih menyakiti diri mereka sendiri daripada menyakiti orang lain. (hlm. 109)
  8. Segala hal yang kelihatan indah itu tidak lebih dari perkakas-perkakas canggih yang telah memaksa kita melupakan kebahagiaan-kebahagiaan sederhana. (hlm. 112)
  9. Hidup ini memang rumit. Sesederhana itu. Menghindari kerumitan adalah usaha yang sia-sia, tidak masuk akal, dan melawan takdir. (hlm. 159)
  10. Kau pernah menyaksikan harapan dan kenangan menjadi dua hal yang sama? Kira-kira seburuk itu. (hlm. 160)
  11. Kenapa kita harus selalu memulai sesuatu hanya untuk mengakhirinya? (hlm. 166)
  12. Kebahagiaan, pada satu titik, bisa menjadi kejahatan yang amat mengerikan. Ada saat ketika kau tidak mampu berbahagia, kecuali dengan menyakiti orang lain. (hlm. 205)
  13. Kau tahu persoalan terbesar manusia modern? Senang menganggap orang lain bodoh hanya karena pikiran mereka berbeda. (hlm. 208)
  14. Jodoh tidaklah sesederhana itu. Jodoh tidak seperti menunggu pengumuman undian berhadiah. Kau harus mengusahakannya, bukan menunggunya. (hlm. 214)

Pesona Farida

Cerpen Alimin Suprayitno (Suara Merdeka, 07 Januari 2018)
Pesona Farida ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Pesona Farida ilustrasi Suara Merdeka
Surya tampak lelah di ufuk senja. Awan hitam berarak lambat penuh nestapa. Hati Farida gundah teringat pesan Whatsapp sang mertua ke telepon sang suami yang tak sengaja ia baca. “Cerai saja istrimu. Kamu anak tunggal kami. Kami rindu cucu. Mana ada wanita mandul pantas kaupertahankan!” Tak kuasa ia menahan air mata. Ya, wanita mana tak merindukan kehadiran buah cinta? Wanita mana rela jadi objek penderita jika penantian bersama tak kunjung tiba? Hatinya menjerit atas ketidakadilan dan vonis sepihak sang mertua.
Sungguh tidak adil jika semua menumpahkan kekecewaan pada dia dan memvonis dia wanita mandul tanpa pemeriksaan medis sedikit pun. Apakah mereka takut menerima kenyataan jika hasil analisis medis justru menohok Mas Jaka, sang suami, yang jelas anak tunggal?
“Apakah aku harus membuktikan dengan cara tersendiri pada mereka bahwa aku normal. Tidak mandul seperti tuduhan menyakitkan dari orang-orang yang kucintai dan kuhormati selama ini?” batin dia.
“Hei, Cantik, belum pulang ta?” sergapan sang sahabat di kantor mengenyakkan dia dari lamunan.
“Ah, Yuni, biasa deh, bikin kaget. Kucubit kamu. Ha-haha.”
Mereka pun larut dalam canda. Begitulah setiap hari ulah mereka sebagai sahabat.
Yuni Aura sahabat yang selalu menjadi bara semangat dia, baik di kantor maupun saat menumpahkan rasa. Jika sudah bersama, tak ada yang tak bisa mereka lakukan. Apa pun itu dan sebahaya apa pun.
“Mbak Yuni dan Mbak Farida ditunggu teman-teman dan atasan. Meeting akhir bulan segera dimulai,” suara datar Pak Agung menghentikan canda tawa mereka.
Keseriusan dan wajah tegang terpampang saat pemimpin menegaskan kalimat imperatif. “Capaian kinerja pendapatan kita triwulan pertama sangat mengecewakan, sangat jauh dari target. Kita malu pada UPPD lain yang berhasil mencapai, bahkan melampaui target. Saya sudah membuat konsep strategi. Silakan bawa pulang, pelajari dengan cermat dan beri masukan. Besok sore kita bahas usai waktu pelayanan.”
Sebagian besar personel galau dan bingung. Namun tidak bagi Farida. Itu kesempatan bagi dia berkreasi selagi pemimpin bersikap demokratis dan selalu terbuka menerima saran bawahan.
“Akan kutunjukan potensiku. Bagiku, dedikasi adalah harga diri dan aktualisasi diri!” Farida menyemangati diri sendiri.
Malam makin larut. Masukan dan saran sudah dia tulis dan siap dia ajukan besok. Itulah tiga langkah brilian yang cukup strategis. Begitu mudah dia membuat konsep dan memasukkan dalam tas kerja. Namun itu tak semudah dia memejamkan mata. Rasa kecewa pada mertua dan sikap dingin sang suami menghantarkan ingatan dia pada sosok lama yang pernah singgah di hati.
“Mas Resky, tunggu aku. Kaulah harapanku satu-satunya. Akan kubuktikan aku tidak mandul. Aku wanita sempurna.”
***
Resky agak gugup menerima Farida yang datang dengan binar mata yang sama ketika SMA. Mereka sama-sama membisu. Malam merayap. Perasaan lama terpendam. Resky pun terpana ketika akhirnya mendengarkan permintaan Farida.
“Mas Resky hanya kamu yang kupercaya. Aku yakin kamu bisa membantu aku membuktikan sebagai wanita normal dan tidak mandul. Ayolah, Mas. Meski cinta tak harus memiliki, bantulah aku,” pinta Farida.
Senyum manis dan binar mata Farida mendobrak hati Resky yang pada masa lalu ditolak ayah Farida. Kafe resto dengan lampu temaram dan pesona suasana kota di bawah kejauhan sana akhirnya membuat Resky meneguhkan rasa. “Baiklah, akan kupertimbangkan kapan dan di mana bisa kita lakukan. Saat suamimu dinas luar kota, nanti kuhubungi,” ujar Resky.
Farida tersenyum. Harapannya mengembang, menutup perjumpaan rahasia itu.
***
Kepala UPPD optimistis setelah membaca konsep Farida dan beberapa peserta rapat lain. “Dengan konsep Saudara, terutama Mbak Farida, soal apa yang akan kita jalankan selama tiga bulan ke depan, saya yakin kita akan mencapai target”, tegas dia.
Farida harap-harap cemas konsepnya bisa dijalankan dan mencapai tujuan.
***
Hari ketiga Jaka tugas luar kota tanpa kabar. Farida menatap sayu awan hitam. “Apa Mas Jaka mematuhi saran Ibu untuk mencari penggantiku?”
Dia terkesiap, seolah ada bayangan menakutkan di balik hujan. Hati Farida memanas. Dia menulis pesan via Whatsapp bagai tuntutan. “Mas Jaka, aku istrimu, aku mencintai dan menyayangimu. Kuserahkan kehidupanku untukmu. Ingat, Mas, aku bukan pemuas hasrat keluargamu, keinginan orangtuamu, bahkan dirimu. Kehadiran anak sebagai kebanggaan dan harga diri jangan kaubebankan hanya padaku. Terimalah aku sebagaimana janjimu untuk mencintaiku selamanya sebelum nikah dulu. Mas, jangan berpaling, jangan mengelak, jangan mendustai hanya karena kita belum mendapat anak. Sadarlah, Mas, jangan berlindung di balik tugasmu hingga tak pulang untuk menyembunyikan kekecewaanmu.”
Jaka terpenjara membaca pesan sang istri. Dia merasakan betapa berat beban hati istrinya. Di kota ini ada satu dokter ahli yang bisa membantu. Namun Jaka mengurungkan niat meminta bantuan, karena dialah pesaing utama saat memperebutkan Farida.
Jaka bergegas. Laporan akhir tugas luar kota dia selesaikan bagai kilat. Ingin dia mempersingkat perjalanan. Dia sangat paham tabiat sang istri. Tiada kata bisa meredam. Hanya pelukan yang bisa menenteramkan.
Jaka bertemu di peraduan dengan Farida. Tiada kata, tiada tanya. Kerinduan akan pelukan dan kemesraan membuat dia menutup pintu kamar. Sepasang burung lovebird yang biasa bercengkerama penuh cinta, malam itu tertunduk malu mendengar kegaduhan di kamar utama. Pagi berlalu. Kokok ayam membangunkan Jaka dan Farida yang tertidur berpelukan.
Dari balik tirai, embun fajar menyapa sempurna, seolah tiada sengketa.
Dua purnama sebelumnya, Resky memenuhi permintaan Farida. Semua berjalan sesuai dengan rencana. Di rumah besar dan mewah di kota itu, sangat besar dan kedap suara serasa dalam istana, Farida menikmati semuanya. Meski hanya semalam, kenikmatan itu semanis madu. Itulah pelepas dahaga dari Resky untuk sang pujaan hati.
***
Suasana di kantor pagi itu sangat berbeda dari tiga bulan sebelumnya. Dengan wajah berbinar, Kepala UPPD membuka rapat evaluasi triwulan. “Saudara-saudara, berkat kerja sama kita menerapkan strategi dan konsep Mbak Farida. Kita melampui target triwulan ini secara akumulatif. Saya mengapresiasi khususnya pada Mbak Farida. Ini kerja tim yang andal. Kita harus pertahankan dan tingkatkan lagi bulan depan.”
Mereka bangga. Yuni merangkul Farida dengan erat. Mereka mengangkat kedua tangan tanda bahagia.
Tujuh tahun berlalu. Namun kenangan itu meninggalkan tanda tanya bagi Farida. Ketiga anaknya kini menjadi perekat harmoni keluarga dan hubungan dengan mertua. Binar mata anak pertama selalu menghadirkan sosok Resky. Namun hanya Farida yang tahu dan merasakan. Bukan Jaka atau sang mertua. (44)

Alimin Suprayitno, pegawai negeri.

Semut Rangrang dan Ayam

Oleh Anditya Rizka Pamungkas (Suara Merdeka, 07 Januari 2018)
Semut Rangrang dan Ayam ilustrasi Suara Merdeka
Semut Rangrang dan Ayam ilustrasi Suara Merdeka
Di tengah hutan yang hijau, sekelompok koloni semut rangrang hidup dengan sangat damai. Mereka melakukan segala sesuatu dengan bergotong royong, sehingga pekerjaan yang berat menjadi ringan. Suatu ketika saat para semut sedang mengumpulkan makanan, datanglah sekelompok ayam yang sedang kelaparan. Mereka lalu meminta makanan yang sedang dikumpulkan semut.
“Hai semut, bolehkah kami meminta makanan itu. Kami sangat kelaparan. Kumohon…,” rengek para ayam.
Dengan bijak, semut pun menjawab, “Duhai ayam-ayam yang malang, silakan ambil makanan itu. Tapi ingat, kalian harus saling berbagi, karena makanan itu hanya sedikit.”
Mendengar jawaban semut, ayam-ayam langsung memakan makanan dengan senang hati. Mereka membaginya rata seperti perintah koloni semut. Setelah selesai makan, ayam-ayam itu berterima kasih kepada semut dan bertanya, “Hai semut, kenapa kelihatannya kolonimu begitu makmur dan selalu bahagia? Padahal mencari makanan di hutan ini sangat sulit dan perlu jarak yang lumayan jauh.”
“Wahai ayam. Kenapa kami terlihat makmur, itu karena kami mengumpulkan makanan dengan bekerja sama. Sesulit apa pun pekerjaannya, bila dilakukan dengan bersama-sama pasti akan terasa ringan dan kenapa kami terlihat bahagia selalu, itu karena kami bahagia bisa saling membahagiakan. Tak ada permusuhan di antara kami. Kami bahagia saling bersama dan saling menolong.”
Mendengar jawaban semut yang begitu bijak, ayam-ayam tersebut malah terheran-heran. Mereka ingin meniru sifat semut dan bercakap-cakap dengan ayam lainnya agar bisa seperti semut. Tetapi ayam lainnya mulai tak setuju. Mereka justru bertengkar dan berkelahi satu sama lain hingga babak belur. Untung masih ada semut yang memisahkan mereka semua dengan menggigiti tubuh tubuh para ayam. Semut sangat kecewa dengan perilaku ayam yang suka berkelahi. Semut akhirnya geram dan berujar tak akan memberi makanan lagi kepada ayam bila mereka masih saling egois dan menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
***
Musim kering berkepanjangan datang. Makanan sangat sulit dicari di tiap penjuru hutan. Namun semut sudah mempersiapkan semua dengan matang dan tak pernah kekurangan makanan sedikit pun, malahan kelebihan makanan.
Berbeda dari ayam, di saat seperti ini mereka saling menyalahkan satu sama lain karena tidak menyimpan makanan sedikit pun. Akibatnya mereka terus berkelahi, hingga mereka hampir mati karena babak belur dan kelaparan. Para ayam pun kembali mengemis-ngemis meminta makanan kepada semut. Para semut yang baik hati tidak tega dan memberinya sedikit makanan, tetapi dengan satu syarat yaitu para ayam harus berjanji tidak akan berkelahi lagi apa pun alasannya. Para ayam yang terdesak itu akhirnya mau berjanji.
***
Musim kemarau berlalu. Semua seperti sediakala lagi, makanan sudah mudah dicari dan banyak tersedia. Para ayam dengan koloninya mencari makanan bersama-sama dan menemukan ladang jagung yang luas. Mereka membagi dengan rata semua jagung dan tidak lupa menyimpannya dengan rapi untuk persediaan musim yang akan datang.
Setelah kejadian-kejadian yang dialami, sifat para ayam yang semula egois satu sama lain, suka berkelahi, dan tak pernah bekerja sama, sekarang menjadi saling membantu.
Mereka tak pernah lagi kelaparan dan bahagia selalu. Berkat koloni semut, ayam-ayam berubah menjadi lebih baik dan mendapatkan ilmu baru tentang bagaimana cara hidup dalam suatu kelompok. (58)

Batang, Alas Roban, Terompet, dan Lainnya

Puisi-puisi Mustafa Ismail (Media Indonesia, 07 Januari 2018)
Batang, Alas Roban, Terompet, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Batang, Alas Roban, Terompet, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

Batang


di alun-alun kota, kita membentangkan kisah usang:
Kalisalak mendadak jadi kampung yang riang
jalan-jalan berbatu menjadi ruang untuk bermain layang-layang
dari pemuda dusun hingga Sultan Mataram

orang-orang membuat janur di rumah masing-masing
lalu memasangnya di mulut jalan-jalan desa
mereka merakit bukit menjadi kebun-kebun bercahaya
seperti merawat kasih sayang pada semesta

“Dewi Rantan Sari, namaku,” katamu pada batang-batang padi
yang sebentar lagi menguning, pada pohon-pohon kelapa
yang tak henti menggerak-gerakkan nyiurnya
“Aku adalah daun-daun yang tumbuh di alis matamu.”

“Bhahurekso julukanku,” ujar lelaki itu,
sambil melepaskan seribu anak panah ke tengah sawah
“Akulah hujan yang turun di batang-batang padi
Sekaligus payung untuk rambut panjang Dewi Rantan Sari.”

Kalisalak mendadak jadi kamar pengantin
bagi sepasang pohon yang kasmaran
mereka menari diam-diam, dalam diam, sambil menyusun
ranting menjadi batang-batang kayu di Alas Roban.

Dan di pendopo Sultan Mataram, daun pintu dan jendela berderak
seperti petir terus berkilatan, seperti orkestra brutal
menyambar-nyambar gelas dan piring-piring makan
merobohkan tembok-tembok di halaman

Batang, 26 Juni 2017

Alas Roban


Akhirnya tiba juga titah itu: “kau harus menumbangkan
Pohon-pohon, juga jin dan siluman, yang membekab
bukit itu.”

“Siap baginda,” katamu, sambil melecut sepasang kuda
dan membunyikan lonceng di pojok-pojok desa

Batang-batang kayu rebah, beberapa tubuh rubuh,
tanda takzim kepadamu, kepada Ki Ageng Cempalek,
Kepada Sultan Mataram yang mengirim petir hingga
ke hilir

Sebab rambutmu telah keriting dan harus diluruskan

Akhirnya kelar juga titah itu, batang-batang kayu
menjelma rumah-rumah, kebun, palawija, jalan setapak,

juga bentangan sawah dengan biji-biji padi
yang terus melafalkan bait-bait doa kepada Yang Maha

Akulah lelaki itu, Bhahurekso itu, katamu.

Batang, 26 Juni 2017

Terompet


aku telah membuang bunyi-bunyian itu
jauh sebelum kau menulis daftar menu untuk tahun baru:

tusuk sate, pentas dangdut, suite room, sepatu, dasi
kupu-kupu juga kekasih baru.

namamu ada di balik dompet
terlipat bersama uang lecek kembalian dari tukang ikan:

saling berbalas senyum dengan para pahlawan
yang kau kenal tadi siang

dari jauh sepasukan berkuda menyerbu ke utara
seperti mengejar musuh yang celaka:

darah menetes dari puisi-puisi yang kesepian
memerahkan sepanjang jalan.

Depok, 1-2 Januari 2017

Cerita di Taman Topi


sepasang burung tua, segerombolan hujan, dan
mata sore yang muram menulis riwayatmu:
topi-topi seperti rumah-rumah yang tak pernah
dicintai, ramai namun sunyi

kita menulis sajak di Stasiun Bogor
lalu melempar diksi-diksi tak terpakai
ke luar jendela: mengapung di genangan hujan,
tergilas roda kereta

mata sore tetap basah meski bibirmu sebeku salju
kau bertanya tentang pagi yang riang
awan berarak mengikuti matahari yang menari
di bangku-bangku taman, di jalanan berpaving block

aha, kita telah menjadi penyair kesiangan
membasuh diri setelah kamar mandi dipatok ayam
kau menjelma burung dara yang tak lelah melompat
dari dahan ke dahan

adakah yang lebih sejuk dari hujan di kakimu
dibuai nyanyian pohon dan angin dari pebukitan
kau mengunci matahari agar tak beranjak dari timur
agar puisi-puisimu menjadi lebih panjang

tapi di stasion kereta berkali-kali meniupkan sangkala
sambil berkata: wahai burung-burung tua
telah kusiapkan sepetak lahan basah dan tahi angsa
tempat kau menanam padi dan palawija
pohon-pohon itu masih menyisakan jeritan-jeritan
orang dengan leher menggantung di tangan kompeni
karena mereka membakar rambut para biduan.

Bogor, 23 September 2017

Menulis di Pohon


aku menulis di pohon tentang mangga tua
baunya ke mana-mana.

ubanmu tak lagi menyanyikan lagu-lagu dari aksara biru
ia kini jadi batu. beku. pilu.
jadi etalase yang membuat kepalamu ditumbuhi lumut
dan pohon-pohon palma

kau berjalan seperti siput
menyusuri huruf-huruf bunting di gang becek itu
bak pelacur rindu ciuman

aku menulis di daun-daun
tapi jangan sebut aku penyair ranting
yang segera luruh diterpa angin

aku adalah mata rencong
yang siap mencukur ubanmu yang cemong,

melesap sampai di matamu
yang selalu menghijau di depan selembar daun
dan membiru di lautan

di pohon, aku mengamini
cericit burung dan cahaya senja
yang memerah setiap kau alpa

kau terus mengasah pisau berkarat
untuk memangkas akar-akar yang makin kekar
menjalari perut bukit dan kampung-kampung

kau membayangkan tentang pulau-pulau
dengan para penyair yang risau
puisi-puisi menjadi kayu api untuk memanaskan kopi

o, pohon tua yang tak lagi tumbuh
dengan ranting yang mulai patah
segeralah berjalan ke barat bersama sore yang lindap

dan di sini, meskipun bukan ruang berpendingin
dengan gelas-gelas kopi yang berdenting,
puisi tetap tumbuh dan abadi

seperti daun, seperti pohon

Depok, 23 April 2017


Mustafa Ismail lahir di Aceh pada 1971. Ia hijrah ke Jakarta pada 1996 ketika mengikuti Mimbar Penyair Abad 21. Buku puisinya Tarian Cermin (2007 & 2012), Menggambar Pengantin (2013 & 2014), dan Tuhan, Kunang-Kunang & 45 Kesunyian (Agustus 2016). Buku cerpen tunggalnya Cermin (2009).

Mata yang Mengatup Tiba-tiba

Cerpen D Inu Rahman Abadi (Pikiran Rakyat, 07 Januari 2018)
Mata Mengatup ilustrasi Zesika Hayatul Kamilah - Pikiran Rakyat.jpg
Mata Mengatup ilustrasi Zesika Hayatul Kamilah/Pikiran Rakyat
PINTU rumah itu tertutup setelah ibu benar-benar ingin menunggu. Tidak pernah lelah menunggu. Ketika mata ibu seperti mata boneka yang tak pernah mengatup dan tanpa apa pun di sana selain kekosongan. Juga terus basah seperti kuncup daun di atas lembah.
Embun itu, adalah sesuatu yang terus menempel padanya. Entah, aku hanya coba menerka. Selebihnya, ibulah yang paling tahu.
“Kenapa?”
IBU selalu bertanya ketika aku menatap matanya. Ia mencoba memantik senyum yang tetap saja terlihat hampa. Kepalanya menggeleng, sebuah isyarat bahwa tidak ada apa-apa.
***
SETELAH sekian tahun lamanya, sebagai anak yang terus tumbuh, berpisah pada akhirnya terpilih juga. Di depan tungku sehari sebelum perpisahan itu, ibu berpesan padaku. Jangan pernah pulang jika memang tak ingin pulang, katanya pelan sementara tangannya menyorong kayu. Ibu tengah menjerang air untuk membuat kopi. Bukan senang, hanya ingin sekali menikmati kopi.
Jangan lupa berdoa, lanjutnya dengan mata yang, ketika aku menatapnya lagi telah membuat nyeri dada ini. Aku menemukan banyak narasi, beragam kisah yang terperangkap di sana. Dan sudah tentu, aku pun termasuk di dalamnya.
Sedari kecil aku hanya memiliki ibu. Ia mengenalkanku pada dunia sampai mengenal nama-nama. Satu per satu nama bunga di halaman, macam-macam unggas dan segelintir hewan di sekitar pekarangan yang untuk selebihnya hanya bisa dilihat di buku-buku bergambar. Tetapi cukup aneh, bila sampai kini aku belum tahu satu nama yang seolah ibu tak berkeinginan menyebutnya. Siapa nama bapakku?
Bagiku, hidup memang rahasia. Tak ada catatan kecil atau semacam data keluarga. Foto-foto perkawinan pun, jika pernah ada, entah di mana. Hanya jam kuno yang terpajang, sementara selebihnya warna putih kusam pada dinding. Barangkali semua itu tidaklah penting, sehingga tak perlu ada meski keingintahuanku kadang membuncah tak tertanggungkan.
“Mereka tampak berbahagia. Sungguh lebaran yang menyenangkan.”
Dari depan rumah, ketika lebaran tiba, kerap aku memandang satu keluarga dengan seorang bapak yang begitu akrab di tengah mereka. Hangat, ketika tangan itu dicium sepenuh rasa. Dan ibu yang merasakan gelagatku hanya berkata. “Kita tak harus sama dengan mereka, Rini.” Lantas menepuk pundakku kemudian berlalu.
Maka pada hari yang telah ditentukan, akhirnya ibu tinggal seorang diri. Sebelum itu, ia mengantarku menempuh jalanan kampung berkelok hingga ujung jalan tanpa sepatah kata pun. Aku sendiri benar-benar tidak menyangka jika seketika saja ibu berubah menjadi pendiam. Hanya tatapan matanya yang terus menyala ketika ia memilih untuk tetap berdiri sampai kemudian aku menghilang setelah beratus meter bus membawa tubuhku yang kehangatannya sudah hilang sama sekali. Beku itu, ketika kebiasaan benar-benar harus tergantikan keterasingan yang sangat.
Kami benar-benar berpisah. Waktu menghadirkan jarak bagi tubuh kami. Kendati pun demikian, toh ia masihlah seorang ibu. Selamanya menjadi seorang ibu. Namun siapa menyangka, hidup pada akhirnya hanya memberinya satu pilihan, yaitu sepi sendiri. Dan aku rasa begitu, setelah sekian minggu, bulan, dan tahun kami berpisah, tak satu pun kabar mengenai keadaannya. Ia yang jauh tertinggal dari kemajuan zaman, dan aku yang tak tahu dengan cara apa mengirim kabar.
“Jika seseorang yang kita sayangi berada di tempat jauh, kenapa harus kangen?”
Suatu hari aku menulis dan membacanya. Tanpa nyana ibu mendengamya juga. Kemudian duduk di dekatku, berhadap-hadapan.
“Kangen itu sama halnya keinginan. Keinginan mengulang sesuatu. Andai bisa, ibu ingin kembali terjaga ketika kamu menangis butuh ASI. Menemani kamu bermain di halaman. Menangkap capung dan kupu-kupu. Memanjakanmu dalam buaian atau menina-bobokkanmu di ayunan. Ah, rasanya….”
Aku merasakan keanehan waktu itu. Merasa bingung dengan ucapannya. Ibu membicarakan keadaan yang sama sekali tidak bisa terulang. Apakah kangen bagi ibu hanya sesuatu yang tak mungkin berulang kembali? Apa kangen sama dengan kenangan?
Bisa jadi seperti itu. Aku merasa ucapan ibu ada benarnya juga. Setelah begitu lama berpisah, ibu merasa kangen. Semacam keinginan untuk mengulang hari bersama-sama lagi. Dengan hati yang cukup tabah, ia pasti menunggu sebuah kepulangan.
***
“GIMANA kabarmu, Rini?”
Hanya itu sisa mimpi yang masih melekat. Ketika terbangun, ingatan telah penuh di kepala. Terbayang jelas wajah ibu dengan kulit muka yang kusamnya begitu kentara. Tentu kulit itu telah keriput seiring usia. Amat lama aku meninggalkannya.
Aku anak yang tidak berbakti. Benar-benar tidak berbakti. Bagaimana disebut berbakti, bila sekian tahun tak kembali. Seolah sudah lupa jalan pulang. Serupa hilang ingatan.
“Kamu telah tumbuh dan makin cantik. Ibu jadi keingat pas muda dulu. Betapa bahagia bila dekat dengan pilihan hati.” Sepintas ibu tersenyum, tetapi sedikit getir.
“Karena setiap orang mesti memilih nasibnya masing-masing, maka hiduplah dengan bahagia.”
Bahagia itu, adalah kegetiran yang minggat tiba-tiba. Raut muka menjadi berseri-seri meski mata seperti kaca jendela yang mendapati percik hujan.
Hm… mata itu, mata ibu.
Mata ibu sudah tidak basah seperti dulu lagi. Telah berubah kering dan tandus. Juga bukan seperti mata boneka, semakin kelabu dan tak menyimpan sesuatu. Ya, setelah memikirkan segalanya dengan matang, memperkirakan waktu tempuh dengan pesawat terbang,  menumpang bus lalu turun di ujung jalan, dan melewati jalanan kampung lalu sampai pada rumah kecil bobrok serupa kandang. Dulu pamitku hendak kuliah jauh di kota, pulang-pulang entah sekian lamanya. Mendapati seorang perempuan yang semakin senja. Ibu tersayang, anak durhaka kembali pulang. Pantaslah, bila ia tak mengenaliku. Perubahan itu, adalah keterasingan indrawi pada segala yang tampak di hadapannya. Satu kenyataan yang menunjukkan bahwa keadaan sebelumnya telah jauh berbeda.
“Siapa, ya?” suaranya bergetar, sementara mata itu….
“Ah, kamu telah menepati janji, tak akan pulang kecuali benar-benar ingin.”
Setelah pada akhirnya ibu kembali mengenaliku, segera aku mencium keningnya. Meski rasa sungkan dan rasa bersalah mengendap di dadaku. Dan mungkin saja, ibu tidak melihat titik kecil jatuh dari sudut mataku.
Suasana semakin akrab, perlahan mendekati sedia kala. Aku tahu, segalanya butuh proses. Kebersamaan pun demikian halnya. Di hari berikutnya, memang hidup tak bisa ditebak, tiba-tiba ibu bertanya perihal rumah di ujung jalan sana. Apa yang muncul di benakku adalah gambar rumah kosong semrawut dengan pintu yang terus tertutup. Hanya makhluk halus yang betah tinggal di dalamnya.
“Dulu pintu rumah di ujung jalan itu masih terbuka. Seorang lelaki paling ibu cintai tinggal di sana. Tapi semenjak tahu bahwa ibu tengah mengandungmu, ia memilih pergi dengan perempuan lain.” Ibu mengawali pagi dengan kesedihan. Luka lama yang kekal. “Dan sampai sekarang, pintu itu terus tertutup, bukan?”
Jujur saja, dadaku sempat sesak. Aku ingat lagi bahwa keingintahuan pernah tak tertanggungkan mengenai satu nama itu. Aku yakin, ada sangkut paut dengan siapa sebenamya nama bapakku? Tapi aku tak bisa memaksa ibu untuk mengatakannya. Biarlah, toh hidupku sudah terbiasa dengan tanpa nama.
Kemudian dengan tongkat kayu di tangan, ibu mencari letak kursi tanpa menyuruhku ikut duduk di dekatnya. Dan rasanya hal itu tidak perlu diucapkan. Aku tengah menerima telefon ketika ibu memilih menyandar setelah tongkat kayu ditaruh atas meja. Secangkir teh hangat masih terlalu panas.
“Bu, ini cucunya perlu bicara. Kenalan sama nenek. Pengen denger suara nenek. Hehe….”
Seketika saja wajah ibu mendongak dengan tatapan menyalang. Tubuhnya bergetar. Kernbang-kempis dadanya. Tanpa menoleh dan tanpa jawaban. Aku benar-benar tak menyangka, dalam hitungan detik mata itu mengatup tiba-tiba. Dan tanpa pikir panjang aku menjerit sekeras-kerasnya. ***

Asal British

Oleh Hetti Restianti (Pikiran Rakyat, 07 Januari 2018)
Asal British ilustrasi Google
Asal British ilustrasi Google
SAAT saya menunggu di bengkel mobil terbaca kalimat di spanduk. “Melayani service, tune up, dan ganti oil”. Bahasa perbengkelan seperti itu dianggap sebagai sesuatu yang lazim, sah, dan wajar. Hampir setiap bengkel mencantumkan kalimat penawaran semacam itu.
Hal tersebut sungguh menarik untuk dicermati karena bahasa perbengkelan termasuk ke dalam satu ragam bahasa yang akrab dengan para pengguna kendaraan. Akan tetapi, saya kira bahasa perbengkelan yang sudah akrab itu lama-kelamaan akan berpengaruh pada pemerolehan diksi pengguna kendaraan dan khalayak umum.
Diam-diam saya mencermati kekhasan bahasa perbengkelan, yaitu pencampur- adukan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam suatu kalimat di spanduk. Sebagai contoh adalah kalimat yang saya jumpai di tempat servis kendaraan. “Melayani service, tune up, dan ganti oil”.
Kata “melayani” serta kata sambung “dan” merupakan kosakata bahasa Indonesia, sedangkan service, tune up, dan oil merupakan kosakata bahasa Inggris. Bagaimana seharusnya menggunakan kosakata asing dalam bahasa Indonesia?
Dalam buku yang terkait dengan pedoman kebahasaan, para penyuluh bahasa sudah sering memberi pembaca/pengguna bahasa petunjuk penggunaan kosakata. Misalnya, jika padanan kosakata asing dalam bahasa Indonesia belum ada, kosakata itu tetap digunakan dalam kalimat dan ditulis dengan menggunakan huruf italik atau diberi garis bawah.
Seperti diketahui, jika kosakata asing itu sudah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia baik yang melalui penyerapan langsung maupun yang mengalami penyesuaian, kosakata yang dipakai adalah bahasa Indonesia.
Jika mengacu pada petunjuk tersebut, kata service, tune up, dan oil seharusnya tidak digunakan (apalagi untuk spanduk) sebab dalam bahasa Indonesia telah terdapat kosakata padanan service (servis atau perbaikan), tune up (penyetelan mesin), dan oil (oli/pelumas mesin). Lucunya, di samping kosakata asing tersebut, juga diawali kosakata “melayani”. Bukankah konteks kosakata “melayani” itu berkaitan dengan kegiatan suami dan istri? Ehm….
Dengan memakai bahasa asing dalam spanduk di bengkel itu, siapa pun yang datang ke tempat itu akan menganggap pemilik bengkel itu orang intelek, wawasan luas, dan gaul. Kata ahli bahasa, bahasa itu memang mencerminkan identitas. Misalnya, Sigmund Freud pernah berujar, “Tanpa bahasa, manusia tidak pantas disebut manusia.” Akan tetapi, kegemaran berbahasa asing ini akan jadi persoalan serius jika akhirnya merusakkan bahasa Indonesia.
Memang sulit menghindarkan diri dari perkembangan/perubahan zaman. Kalau kebiasaan “asal British” atau mencampur-adukkan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia menjadi mode, kapan giliran bahasa Indonesia menjadi mode? ***

Pocang

Cerpen Azizi Sulung (Radar Surabaya, 07 Januari 2018)
Pocang ilustrasi Fajar - Radar Surabaya.jpg
Pocang ilustrasi Fajar /Radar Surabaya
Maria memilih berhenti bersolek. Dan melepas segala perhiasan yang menghiasi tubuhnya. Karena ia selalu dikejutkan dengan kesangsian perasaannya; cantik dan kaya hanya akan mendekatkannya pada maut. Sebagaimana keyakinan turun-temurun penduduk kampung Pocang.
***
Maria terbilang perempuan rupawan di kampungnya. Bahkan, seribu banding satu. Usianya belum terlalu dewasa, masih berkisar tujuh belas tahun. Tapi, orang-orang sudah begitu ramai membicarakan perihal kecantikannya. Karena boleh jadi, sepanjang usia kampung Pocang, masih Maria satu-satunya penduduk yang lahir dengan paras cantik lagi sempurna, tanpa ada cela sedikit pun.
Maria sangat jarang keluar rumah. Kedua orang tuanya sangat melarangnya. Tapi, Maria juga belum tahu, apa alasan kedua orang tuanya. Sesekali Maria mencoba memberanikan diri, nekat keluar rumah diam-diam. Namun, setelah kembali ia harus bersiap-siap melahap caci-maki.
“Bukannya ibu sudah ingatkan, kenapa masih keluar rumah?”
Bentak ibu Maria, geram.
“Apa salah Maria, kalau hanya keluar rumah, Bu?”
“Tidak ada alasan. Titik.” Ketus ibu Maria.
***
Di usianya yang masih tujuh belas tahun. Maklum, Maria hidup di pedalaman. Ia sudah memasuki dua tahun usia pernikahannya. Karena bagi penduduk kampung Pocang, menikah di atas usia lima belas tahun adalah menyalahi adat setempat. Bahkan, akan menjadi bahan gunjingan orang-orang di sekitar.
Itu terbukti terjadi pada Fatimah, tetangga dekat Maria. Hingga di usianya genap memasuki tiga puluh tahun, ia juga belum mendapatkan pendamping hidup. Boleh jadi, ia selamanya akan menjadi perawan. Bahkan, orang-orang menjuluki Fatimah sebagai perawan tua kampung Pocang.
Maria dan suaminya tak lagi hidup tinggal bersama kedua orang tuanya. Mereka memilih memisahkan diri. Walau sebenarnya apa yang dilakukan mereka tidak sesuai dengan kebiasaan turun-temurun keluarganya. Karena dalam tradisi keluarga Maria, anak cucu hingga tujuh turunan tidak boleh keluar dari pekarangan di mana ia dilahirkan. Sehingga kelak ia adalah pewaris satu-satunya tanah tempat kelahirannya.
Karena suami Maria adalah orang Jawa, ia berpatokan kepada tradisi yang berlaku dalam keluarganya. Di Jawa tidak ada ceritanya anak yang sudah menikah masih berkumpul dan hidup tinggal bersama orang tuanya.
“Umi menurut saja, bagaimana baiknya menurut Abi…,” putus Maria ketika suaminya menawarkan akan hidup tidak lagi bersama keluarga Maria.
***
Penduduk kampung Pocang secara ekonomi penduduknya bisa digolongkan pada tingkatan menengah ke bawah. Teramat sulit dijumpai warga dengan kekayaan yang melimpah. Apalagi dengan kekayaan semacam perhiasan, hewan piaraan, kendaraan, atau segala macam kekayaan lain yang bersifat harta. Paling tidak, kita hanya akan berjumpa dengan kebanyakan warga yang kondisinya sangat memprihatinkan. Rumah mereka yang terdiri dari bambu, tidak sedikit yang sudah sangat lapuk dan reot. Terkadang ada juga sebagaian warga yang menjadikan dapur sekaligus menjadi tempat tidur mereka.
Tapi, bagi penduduk kampung Pocang, kondisi menengah ke bawah secara ekonomi bukanlah suatu yang menjadi persoalan. Bahkan, bisa jadi itu adalah ciri penduduk kampung Pocang. Entahlah….
Sementara Maria dikaruniai jalan hidup yang sangat berbeda dari kebanyakan warga di kampung Pocang. Maria memiliki paras rupawan. Bahkan, seribu banding satu. Suaminya juga pengusaha sukses cabai jamu di kampung Pocang. Itu pun satu-satunya.
Masih setahun lebih Maria dan suaminya hidup memisahkan diri dari orang tuanya. Mereka sudah cukup dibilang sukses. Mereka sudah mampu membangun rumah. Punya beberapa mobil. Tentu saja Maria sebagai istri pengusaha, di tubuhnya juga dipenuhi dengan berbagai macam perhiasan. Maka apabila ditanya penduduk paling kaya kampung Pocang, tentu saja keluarga Maria jawabannya.
Pada suatu malam, tepatnya Selasa legi, suami Maria sedang memasok cabai jamu. Di rumah hanya Maria seorang diri. Beberapa hari itu, Maria memang kerap dihantui perasaan tidak sedap. Akibat mimpinya beberapa waktu lalu. Dalam mimpinya, Maria melihat seorang nenek yang sudah sangat tua. Tapi, parasnya seakan nyaris sama dengan paras Maria. Sangat cantiklah dalam ukuran penduduk kampung Pocang. Nenek tua itu juga mengenakan perhiasan sebagaimana saat itu Maria kenakan. Tapi, anehnya, nenek tua itu juga terlihat memegang sehelai kain kafan yang berlumuran darah. Maria tersentak, terbangun dari tidurnya.
Di luar terdengar derit pintu depan. Pertanda suami Maria sudah tiba di rumah. Maria melirik jam dinding, tepat pukul 04.00 dini hari. Rupanya sebentar lagi subuh akan segera bertandang.
Hingga pada perjamuan sarapan pagi suatu hari, Maria belum sempat menceritakan mimpinya pada suaminya. Apalagi kebetulan pagi itu, Maria terlalu hanyut terbawa dalam suasana cerita suaminya. Yang dalam perjalanan pulang suaminya kala itu hampir saja menabrak penjual bakso keliling saat mau melintas.
“Apa mungkin ada hubungannya dengan mimpi itu…?” firasat Maria.
Maria masih saja merahasiakan mimpi yang kerap menghantui perasaannya. Hingga tepat sebulan setelah kejadian itu, Maria kembali didatangi mimpi yang itu pun sama persis dengan mimpi yang sebelumnya.
“Berhati-hatilah Maria, maut sedang mengincarmu….”
Bicara nenek tua itu dalam mimpi Maria.
“Pergi, pergi, pergi!” igau Maria. Lantang.
Maria terbangun. Ia hanya menyudutkan diri ke tepi ranjang. Dalam pandangannya yang masih sedikit kabur, Maria berupaya memelototi jarum jam. Masih pukul 02.00 dini hari. Maria menghampirkan pandangannya ke sekitar. Pintu kamar Maria juga belum tertutup rapat, berarti suaminya juga belum datang. Maria hanya termangu, memanggul lutut, pikirannya masih pongah. Belum bisa ia kembali pejamkan mata. Masih sangat terbayang suara nenek tua itu dalam mimpi Maria.
Terdengar ketuk pintu begitu gegabah. Maria masih menyangsikan pendengarannya. Ketukan itu kembali lebih keras terdengar. Maria membuka pintu. Tidak ada orang. Maria mencoba mengitarkan pandangannya hingga ke pojok halaman. Tidak ada siapa-siapa. Maria kembali teringat perkataan nenek tua dalam mimpi Maria. “Berhati-hatilah Maria, maut sedang mengincarmu….”
“Apa mungkin ini ada hubungannya dengan mimpi itu…?” Maria masih mematung di pintu depan.
Terdengar dering ponsel Maria dari dalam kamar. Ternyata ada panggilan masuk. “Apa, bagaimana mungkin?”
“Bukannya, ayah baik-baik saja?” Ponsel Maria terjatuh dari genggamannya. Mendengar kabar kematian ayahnya yang begitu tiba-tiba. Bahkan tanpa penyebab yang jelas sebelumnya, tangis Maria pecah. Sembari dalam ingatannya begitu terbayang perkataan nenek tua itu dalam mimpinya. “Berhati-hatilah Maria, maut sedang mengincarmu…”
***
Suami Maria masih dalam perjalanan. Satu minggu itu, suami Maria belum bisa pulang ke rumah. Maria masih merahasiakan perihal mimpinya dan segala kejadian yang menimpa keluarganya pada suami Maria. Bahkan, satu minggu itu, Maria ditimpa dua musibah besar. Baru memasuki hari ketujuh dari kematian ibunya, ayah Maria juga menyusul dengan kematian yang kurang jelas penyebabnya.
Maria memasuki lima tahun usia pernikahannya. Ia belum juga dikaruniai buah hati. Kala itu Maria benar-benar dalam puncak kejayaan. Suaminya sudah bukan lagi dengan profesi pemasok. Tapi, ia sudah menjadi bos besar perusahan cabai jamu. Maria juga sudah dengan pola hidup bukan lagi ala penduduk kampung Pocang. Pada tubuhnya begitu terlihat berbagai perhiasan menghiasinya.
Tapi, lagi-lagi Maria selalu dikejutkan dengan mimpi yang sudah berulang kali mendatanginya. Maria mencoba berterus terang menceritakan perihal mimpi itu pada suami Maria. Tapi, suami Maria hanya mengiyakan dan mengangguk seakan dengan gestur tidak memercayainya.
“Apa semua kejadian yang menimpa keluarga kami ada hubungannya dengan mimpi itu, Kiai?”
Maria memaksa suaminya menemui salah satu tokoh kampung Pocang, dan menceritakan mimpi yang kerap mendatangi Maria.
“Bisa jadi. Kampung kita kena kutuk, Nak! Maka siapa yang terlahir dengan paras rupawan dan kaya raya, maut akan selalu mengincarnya….”
Menyimak pekataan kiai itu, Maria begitu ringis. Sesekali ucapan nenek tua dalam mimpinya menyelinap, “Berhati-hatilah Maria, karena maut sedang mengincarmu….”
Kiai itu mulai berkisah….
“Dulu, Nak. Di kampung Pocang ini, ada perempuan yang sangat cantik, dan suaminya seorang saudagar besar yang sering menjajakan jualannya hingga ke tanah Jawa. Ia bisa dibilang sukses, keluarga mereka kaya raya. Suatu hari, saat suaminya pulang dari perjalanan, suaminya menemukan puntung rokok berserakan di beranda depan rumahnya.”
“Semalam siapa bertamu ke rumah?”
Selidik suami itu pada istrinya. Dalam pikiran suaminya, pasti sudah ada lelaki yang bertamu ke rumahnya karena ada puntung rokok yang berserakan.
“Demi Allah, tidak ada siapa-siapa, Mas!”
Istrinya berupaya meyakinkan. Tapi, suaminya tetap tidak percaya.
“Kalau Mas belum percaya, silakan penggal leher saya, Mas. Jika darahnya harum, berarti saya tidak bersalah. Jika sebaliknya, maka saya doakan semua warga kampung ini yang terlahir dengan paras cantik dan kaya, maut akan mengincarnya….”
Suaminya sudah pada puncak kemarahannya. Ia melayangkan belati tepat di bagian dada istrinya yang kiri. Istrinya pun menghembuskan napas terakhir. Aroma darah istrinya semerbak beraroma melati, menyeruak hingga ruang terkecil kampung Pocang.
Mendengar kisah itu, Maria hanya menatap suaminya dengan pandangan kosong. Maria memutuskan memilih berhenti bersolek. Dan melepas segala perhiasan yang menghiasi tubuhnya. Karena ia selalu dikejutkan dengan kesangsian perasaannya; cantik dan kaya hanya akan mendekatkannya pada maut. Sebagaimana keyakinan turun-temurun penduduk kampung Pocang. (*)

Rumah Belimbing, 2017

Catatan:
Pocang, adalah nama salah satu kampung di desa Cangkreng, Lenteng, Sumenep Madura. Di kampung ini, sangat sulit menemukan penduduk kaya dan berparas cantik, karena keyakinan penduduk setempat, bagi yang kaya dan cantik akan didekatkan dengan kematian.

Penulis lahir di Sumenep, kini sedang menjalani proses di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.

Keluarga Abdi

Cerpen Bambang Purnomo (Bali Post, 07 Januari 2018)
Keluarga Abdi ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post.jpg
Keluarga Abdi ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post 
Pagi ini ada yang berbeda di rumah Pak Untoro, seorang pensiunan PNS baru itu. Rumah berwarna putih bertiang kayu jati, berlantai semen dan cenderung menjorok ke belakang, menyisakan halaman beberapa langkah dari aspal itu tidak lagi seperti rumah kosong seperti biasanya. Jendela dan 4 pintunya dibiarkan terbuka, seakan baru saja selesai renovasi. Sedangkan di beranda, Pak Untoro duduk-duduk senderan membiarkan kopinya mengepul di atas meja mahoni. Sesekali ia menghembuskan asap kretek dari mulut bebarengan dengan napas resahnya.
Ini adalah hari pertama Pak Untoro menganggur, setelah 30 tahun lebih ia menguras pikiran dan tenaganya untuk diabdikannya di sekolah-sekolah. Antara bingung dan aneh, apa yang harus dilakukannya setiap hari ke depan untuk menghabiskan kesehariannya. Hari ini ia membunuh waktu dengan menyibukan diri membersihkan setiap jengkal sudut rumah yang biasanya tak tersentuh oleh istrinya setiap minggu saat bersih-bersih. Mungkin besok ia akan menyapu daun-daun kelengkeng di halaman depan atau mencuci motor GL 100 tua yang telah menemaninya belasan tahun, yang kini diparkirkannya di samping pagar. Ia terus memandanginya semenjak ia duduk di teras, seakan ingin menaikinya namun tak tahu untuk apa.
Dulu motor tua itu selalu menimbulkan suara berisik setiap pagi. Pak Untoro musti memanaskannya agar mesinnya segera dibanjiri oli. Suara khas yang membuat setengah kampung hafal dengan bunyi knalpot cempreng itu. Mungkin beberapa orang ada yang heran mengapa pagi ini mereka tidak dibangunkan oleh suara tersebut. Biasanya setiap pukul setengah 6, orang-orang baru rada lega karena suara itu dibawa pergi oleh Pak Untoro yang begitu rapi, dengan setelah coklat PNS-nya, rambutnya yang begitu klimis beraroma nyong-nyong, sepatu pantofel hitam juga tak lupa tas samping berbahan kulit, dibawanya menyusuri buritan gang menuju SMP negeri tempatnya menghabiskan hari.
Namun pagi ini sepi, ia belum menyentuh motor itu sama sekali. Ia menawari istrinya untuk diantar pagi tadi, seperti biasa selalu ditolaknya. Istrinya tak pernah ingin dibonceng dengan motor karena takut, ia lebih suka jalan kaki atau naik bejak menuju SD negeri yang tak jauh dari rumah.
Pak Untoro nampak mulai dirundung kebosanan, ia meletakan korannya di kolong meja lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya, memencet-mencetnya seakan mencari sesuatu. Wajahnya tampak mendadak pasi seakan ia menemukan kenangan-kenangan yang masih tersimpan di ponsel itu. Kehidupan anak-anaknya di luar sana. Wirya, Windu, Wisnu. Ia berhenti disalah satu nama anaknya. Ia memilih nama Wisnu. Dulu, Wisnu adalah anak yang paling gamang dengan masa depannya sendiri. Ia selalu bimbang untuk memilih jalan hidupnya, pekerjaan seperti apa yang ingin didapatkannya kelak untuk menghidupi keluarganya. Baginya memilih fakultas selepas SMA adalah hal yang sakral dan menentukan. Ia takut memijakkan kakinya di tempat yang salah dan jauh dari passion-nya.
Sebenarnya tak ada wejangan tertulis maupun pernah terucap di keluarga Pak Untoro yang menganjurkan agar anakanaknya menjadi seorang pahlawan. Hanya saja semua anak lelaki Pak Untoro sewaktu kecil terbiasa mendengar kisah kepahlawanan dari kakek mereka. Meski namanya tak terdaftar di buku pahlawan yang disebar ke sekolah-sekolah, mereka percaya jika kakeknya juga seorang pahlawan, dengan cerita-cerita nyata pra-kemerdekaan. Kakek bukan hanya seorang pencerita, ia juga ikut di dalam kisah yang ia ceritakan. Tentang bagaimana ia pernah dikurung selama 55 bulan, tentang bagaimana ia kehilangan istri dan kedua anaknya karena kolera, tentang bagaimana istri keduanya yang berakhir menjadi seorang Nyai, juga tentang surat kenegaraan yang masih disimpannya di kamar yang tak ditukarnya sebagai syarat pengajuan uang pensiunan.
Wisnu sering diiming-imingi kakaknya, Wirya, yang telah resmi menjadi anggota di Detasemen Jala Mangkara, setelah menyelesaikan pendidikan PTAL-nya. Pasukan tersebut dikhususkan untuk satuan antiteror aspek laut. Kini kakaknya cukup sukses dan berkecukupan meskipun ia jarang di rumah “hidup itu harus dijalani dengan sebuah tantangan. Menolong orang, menjaga perbatasan negara, ini adalah pekerjaan pahlawan”.
Sedangkan kakaknya, Windu, sering pula memberi masukan padanya agar tidak mengecewakan orang tuanya dan tetap menjaga profesi yang telah orang tuanya abdi. “Bang Wirya dulu yang mengajari baca tulis sebelum ia bisa seperti sekarang siapa Dik? Mendidik anak bangsa untuk bisa menjaga bangsa, siapa pahlawan yang sesungguhnya?” Ia tak mau kalah ketika Wisnu berkunjung ke kosannya. Seakan ia tak malu dan tetap bangga meski ia lebih banyak menganggur dan pontang sana sini mencari jam kerja di sekolahan. Menjadi guru honorer adalah perjuangan, dan menjadi seperti kedua orang tuanya adalah kehormatan paling tinggi dari segala profesi, pikirnya.
Wisnu bukanlah orang yang mudah dibujuk, ia sering gamang karena ia terlalu banyak berpikir. Terakhir ia menyaksikan di TV yang mempertontonkan para guru honorer berunjuk rasa di Ibu Kota. Mereka menuntut kesejahteraan, cukup masuk akal dan umum, sama seperti buruh yang sering mengajukannya. Hari buruh Internasional selalu dimanfaatkan untuk berkumpul menjadi satu di masing-masing gedung pemerintahan daerah. “Apa sekarang juga ada hari khusus guru demo, aku tidak mau berjubel seperti mereka di tengah jalan,” pikirnya.
Saat itu Wisnu masih tinggal di rumah dengan bapak dan ibunya sebelum tinggal di mess di kampus pilihannya. Ia juga sesekali meminta pendapat bapaknya. Mungkin ikut Bang Wirya lebih sejahtera, tidak pernah sekalipun mereka berdemo menuntut hak-haknya. Mereka bekerja tanpa perlu lagi mencemaskan uang untuk hidup. Karena hidup mereka dijaga oleh negara, timbal balik setelah mereka menjaga negara.
“Lalu para guru, mereka mendidik anak bangsa, yang kini setelah duduk di kursi yang tinggi, berganti mendidik mereka untuk bertahan hidup?” sambung bapaknya.
“Gimana kalo dokter, Pak?” Bukan tanpa alasan ia menyampaikan idenya itu. Ia sendiri melihat bagaimana sejahteranya mereka. Mereka menolong orang yang sakit, bahkan menyelamatkan nyawa mereka. Bukankah itu lebih dari jasa seorang pahlawan?
Ia mengantar pertanyaan tersebut pula ke kakaknya, “yang mengajari mereka baca tulis sebelum mereka bisa menjadi dokter siapa dik?” kakaknya mengulang nasihatnya kemarin.
“Tapi satu suntikan saja sama dengan gaji seharimu Bang.”
“Lalu kau sebut itu pahlawan?” ia menimpali.
“Kalau semua orang sakit, siapa yang akan mendidik anak bangsa dan siapa yang akan , Bang?”
“Kalau kamu mendidik mereka bagaimana menjaga kesehatan, dan menjauhi apa pun yang berbahaya bagi kesehatan, mereka tidak akan sakit.”
Wisnu semakin ditohok kegamangan saat itu, seharusnya ia tak mengunjungi abangnya setelah ia mendapat wejangan dari Bapaknya tadi siang. Kebulatannya kini ompong sebelah. Meninggalkan celah yang bisa dimasukan ide apa saja sebelum menjadi bulat benar.
Wirya kembali memberi masukan pada Wisnu seminggu sebelum ia mendaftar di salah satu universitas pilihannya, namun kini bukan iming-iming, tapi lebih untuk menakuti. “Kamu mau berakhir seperti Bang Wijoyo?” Bang Wijoyo, lebih tepatnya Almarhum Bang Wijoyo. Anak pertama Bapak, anak tertua, abang mereka semua. Ia hilang saat masih semester 3 saat tragedi Trisakti. Ia mengambil Fakultas Hukum, ingin belajar politik dan menjadi politikus suatu hari nanti, menggantikan politikus ngawur yang berkuasa pada saat itu. Hingga kini, keberadaannya masih menjadi misteri. Tak ada kuburan atas namanya di pemakaman kampung.
“Jangan buat Bapak sedih, buatlah Bapak bangga.” Wejangan Bang Wirya melekat erat di sela telinga Wisnu sebelum ia mengisi kolom fakultas yang ingin ia ambil pada saat itu.
***
“Hallo, Assalamualaikum..”
“Walaikumsalam Pak”
“Di sana sehat?” Pak Untoro menguatkan suaranya, memastikan anaknya yang beberapa bulan belum memberikan kabar itu mendengar suara berat Bapaknya yang telah menginjak kepala enam itu.
“Alhamdulillah sehat pak, Bapak bagaimana?” Kini beranda rumah Pak Untoro tak lagi nampak sepi, ada obrolan di sana, meskipun sebenarnya hanya ada satu orang yang duduk di kursi.
Pak Untoro bermaksud menelpon satu per satu anaknya, untuk membunuh sepi juga untuk mengetahui kabar mereka semua.
Dua tahun lalu Bang Wirya dihadiahi lencana kehormatan langsung oleh kolonel marinir dalam acara pemakaman 2 rekannya yang juga dihadiri oleh Menteri Kelautan dan Menteri Dalam Negeri. Rekannya meninggal saat bertugas membebaskan tawanan awak kapal yang dibajak di laut Philipina. Sementara ia harus merelakan tangan kirinya tertembak oleh penyandera. Meskipun kini ia tidak dapat lagi aktif, ia masih diberi jaminan pekerjaan yang ringan. Menurut janji, keluarganya ditanggung oleh negara, termasuk jaminan pendidikan ketiga anaknya dan masa tua dirinya dan istrinya. Namun, Bang Wirya memutuskan untuk berhenti, ia merasa tak berguna lagi karena tak dapat ikut membela langsung negara dengan tubuhnya. Menurutnya hanya duduk di meja, mengurus calon pendaftar baru sesekali mengadakan seminar untuk memberi motivasi anggota juniornya di detasemen bukanlah pekerjaan pahlawan. Ia malu setiap melakukannya, juga dengan tunjangan yang diterimanya. Seperti senjata yang sudah bekarat namun masih tetap dijaga meskipun tidak diasah ataupun digunakan.
Sedangkan Bang Windu kini lebih aktif ikut turun ke jalan, ikut kawannya yang setiap tahun mengkoordinasi seluruh guru honorer dari penjuru kota, menuntut berbagai hak yang sudah seperti lagu lama. Tentu beda dengan kakaknya. Ia tak pernah mendapatkan lencana kehormatan, bahkan 5 kawannya yang meninggal di jalanan pun tak dijenguk satupun pegawai pemerintahan. Saat itu selama 3 hari ribuan guru honorer dari seluruh penjuru daerah berdemonstrasi di depan Istana negara.
Wisnu memilih pergi dari kekalutan, ia memutuskan bekerja di luar negeri berbekal ijazah sarjananya, ia bekerja menjadi sopir bus di sebuah travel di Madinnah, mengantar para jamaah umrah dan haji. “Jika Bang Wirya menjadi pahlawan negara, almarhum Bang Wijoyo menjadi pahlawan yang terlupa, bapak ibu dan Bang Windu menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, aku ingin menjadi pahlawan devisa.” Ia meninggalkan surat itu di meja bapaknya, meja yang kini menjadi cengkraman bapaknya di teras rumah, menikmati masa tua dan titelnya sebagai pensiunan PNS.
Ibu masih memiliki waktu 7 tahun sebelum masa pensiunnya. Ia bersikeras ingin menuntaskan pengabdiannya hingga di usia 60. Menemani bapak di masa tuanya dengan gelar pahlawan tanpa tanda apa-apa. Bapaknya mengikhlaskan Wisnu untuk pergi merantau ke negeri orang, sebab di negeri ini sudah terlalu banyak pahlawan. Ia tidak akan kebagian dan tahan untuk menjadikanya sebagai sebuah kehormatan.