Daftar Blog Saya

Selasa, 18 Juli 2017

Just Let Me Know

Gunakan sabuk pengaman hatimu, jangan sampai sebuah benturan mematahkannya dan membuat teman baikku larut dalam kesedihan. (hlm. 75)

Selalu ada sebab akibat, bahkan pada hal-hal sepele sekalipun. Seperti awan yang terhampar memenuhi langit. Bermula dari uap air yang berkumpul membentuk gumpalan-gumpalan putih, kemudian angin membawa mereka mengelilingi luasnya alam, hingga tiba saatnya dijatuhkan kembali menjadi tetesan-tetesan hujan. (hlm. 136)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Seorang teman pasti mau membantu temannya. (hlm. 38)
  2. Kita akan tahun jika suatu saat bersama dengan orang yang spesial, yang akan kita cintai selamanya. (hlm. 51)
  3. Ketika kamu memutuskan untuk mempublikasikan sesuatu pada sosial media, kamu harus siap dengan bumbu yang ditambahkan netizen sebagai penyedap berita. Tinggal itu akan menguntungkan atau menjatuhkan kamu. (hlm. 60)
  4. Lebih memilihkan sesuatu untuk orang lain jika kamu mengetahui orang seperti apa dia. (hlm. 63)
  5. Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan, bukan yang kamu inginkan. (hlm. 101)
  6. Takdir selalu berjalan dengan caranya sendiri. (hlm. 152)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Kisah cinta indah yang romantis dengan ending bahagia hanya ada dalam cerita novel. (hlm. 2)
  2. Tidak mudah menemukan orang yang bisa membuatmu jatuh cinta, terutama ketika kamu melihat kisah cinta sempurna orangtuamu dalam dua puluh lima tahun kehidupanmu. (hlm. 9)
  3. Hanya orang malas yang menolak pekerjaan. (hlm. 13)
  4. Kita tidak pernah bisa mengontrol hati, dan terkadang itu menjerumuskan kita pada sebuah ketidakberdayaan. (hlm. 21)
  5. Sepotong kata yang selalu menjadi pintu untuk sebuah rasa terlarang. (hlm. 26)
  6. Kamu boleh saja membayar mahal, tapi hanya untuk sesuatu yang memang pantas mahal. (hlm. 34)
  7. Seorang perayu cewek dengan kakak perempuan yang posesif, itu bukan hal yang menyenangkan. (hlm. 50)
  8. Keuntungan hidup di zaman sekarang, orang-orang terlalu suka mempublikasi apa saja yang mereka suka dan inginkan melalui media sosial. (hlm. 52)
  9. Sepertinya aku harus mengingatkan sabuk pengaman pada hatiku mulai dari sekarang. (hlm. 54)
  10. Tidak ada manusia yang sempurna, siapa saja bisa berbuat salah. (hlm. 79)
  11. Pernikahan bukan hal yang bisa dimainkan. (hlm. 143)
  12. Buat apa merindukan laki-laki yang berkencan dengan wanita lain? (hlm. 197)
  13. Cinta membuatmu kurang fokus. (hlm. 228)
 

Mencari Ustaz


Cerpen Gusti Trisno (Republika, 16 Juli 2017)
Mencari Ustaz ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Mencari Ustaz ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Mail menahan sesak saat melintasi Mushala Nurul Iman di Kelurahan Iman Sekali. Sungguh, pemuda yang belum genap dua tahun menikah itu tak mengira tempat yang harusnya ramai suara lantunan ngaji anak kecil berubah menjadi tempat kongkow-kongkow anak muda. Dalam hatinya timbul rasa sakit, melebihi sakitnya hati akibat istri merajuk meminta tambahan uang belanjaan.
Langkah kaki lelaki itu pun dijauhkan dari mushala tempatnya mengajar dulu. Tapi, semakin jauh melangkah, semakin sesak merayapi dada. Sesaat ia mengingat-ingat kejadian beberapa waktu lalu.
Semua dimulai ketika ia diancam oleh sekelompok pemuda untuk berhenti mengajari ngaji. Mail bukannya takut, ia lebih memerhatikan keamanan istrinya. Apalagi ancaman bukan hanya sekali-dua kali, tapi berkali-kali ia rasakan. Mulai lemparan batu atau tulisan-tulisan bernada ancaman di gedung rumahnya.
Tak ada satu pun tetangga yang tahu mengenai hal itu. Mengingat Mail dan istrinya begitu menutup rapat. Akhirnya, setelah berembuk dengan kekasih hatinya itu, Mail sepakat berhenti mengajar bocah-bocah itu. Tapi, keberhentiannya tidak langsung ia lakukan. Melainkan secara perlahan-lahan. Dimulai dengan tidak menghadiri mushala saat Ustaz Hari yang mengajar. Akibat kejadian tersebut, Ustaz Hari yang seusia ayahnya itu menegur dan menanyakan perihal ke anehan Mail.
Anehnya, Mail menjawab bahwa ia sudah tidak betah lagi mengajar ngaji. Sontak Ustaz Hari marah besar, hingga membuat keduanya tak lagi akur. Pun, Mail juga tak mau menerima zakat fitrah yang menjadi miliknya.
Masalah kian runyam, setelah masalah dualisme ustaz itu terdengar wali santri. Mereka pun secara perlahan menggiring anaknya belajar di TPQ Bonafite. Padahal, demi mencapai TPQ tersebut jarak yang ditempuh lumayan jauh. Tidak hanya itu, wali santri juga terprovokasi untuk berdemo pada Ustaz Hari. Hingga benar-benar mushala itu tutup dan tak lagi ada aktivitas.
Kecuali kini tempat kongkow-kongkow nggak jelas.
Mail menghentikan langkahnya sejenak, ia lalu berbalik arah menuju Mushala Nurul Iman. Di sana tampak beberapa pemuda yang pernah menyuruhnya berhenti mengajar menyambut dengan tatapan penuh kemenangan.
“Terima kasih, Bos. Sudah menyediakan tempat kami!” seru Jurik sambil menepuk bahu Mail.
“Untungnya kamu mengikuti arahan kami, sehingga tidak bernasib sama dengan tua bangka itu!” Mardito menimpali.
Mail tak langsung menanggapi seruan dua pemuda itu, tapi di hatinya ada bara api yang menyala-nyala. Beruntung, lelaki itu masih bisa beristighfar sambil memejamkan mata. Hanya saja, ketika ia membuka mata, lelaki yang baru saja menikah dua tahun itu menemui mata teduh perempuan yang selama ini dihormatinya.
“Ibu, tunggu!”
Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Mail, sambil mengejar perempuan bermata teduh itu.
***
Perempuan itu telah masuk dalam rumahnya dengan bersimbah air mata. Mail kembali memeras rasa sabar. Ia mengucap salam dan mengetok pintu, tapi tak ada sahutan dari pemilik rumah.
Migran lelaki itu mendadak kumat. Seolah-olah ada kunang-kunang betebrangan di atas kepalanya.
Dan ia kembali mengingat semuanya dengan lebih detail.
Saat itu, Mail masih kecil. Ia tinggal dengan kedua orang tua tak jauh dari lingkungan pondok pesantren. Ayahnya yang memiliki rambut gondrong itu merupakan salah satu ustaz sebuah mushala baru yang mengajar baca tulis Alquran. Akibat hal itu, ketentraman dalam rumah selalu tercipta.
Tapi, tak dinyana keindahan itu berlangsung sementara. Ada beberapa pejabat kabupaten yang datang mengunjungi ayahnya. Tentu selaku tuan rumah, tamu perlu di istimewakan. Apalagi ada sebuah pandangan jika dengan bertamu dan menerima tamu menambah rezeki. Hal itu ternyata benar-benar terjadi.
Si Pejabat Kabupaten itu memberikan beberapa juta demi pembangunan mushala. Sungguh, ayah Mail langsung menerima. Sekalipun ibu Mail tak menerima akibat takut jika uang tersebut merupakan suap demi tercapainya kepentingan Si Pejabat. Tapi, ayah Mail bersikukuh menerima pundi-pundi rupiah.
“Si Pejabat itu memberikan hal tersebut katanya sebagai nazar ketika terpilih. Dan bukankah pemilukada telah berakhir. Jadi, apa yang perlu ditakutkan.”
Mendengar penjelasan itu, Mail kecil dan ibunya menjadi lega. Pembangunan mushala pun langsung dilakukan. Mushala yang awalnya hanya berupa ayaman kayu berubah menjadi bangunan permanen dengan baluran semen. Akibatnya, santri di tempat tersebut bertambah.
Selain rezeki tersebut, ayah Mail juga membangun rumahnya dari uang menjual tanah di kota lain. Dan hal tersebutlah yang menjadi masalah.
Beberapa warga ada yang berspekulasi bahwa uang Si Pejabat itu dikorupsi oleh pengajar ngaji itu. Fitnah terus bergulir, semakin banyak masyarakat yang ingin mengusir keluarga itu. Rumah dan mushala dipenuhi coretan kata-kata kotor yang luar biasa. Anak-anak yang terbiasa mengaji dicegat dan disuruh pulang.
Kejadian tersebut membuat masyarakat di wilayah yang tak ingin diingat Mail itu terpecah menjadi dua, yakni kelompok yang pro dengan keluarga Mail dan kelompok kontra. Walaupun begitu, kelompok kontra memiliki massa yang demikian lebih banyak.
Mail kecil sudah dihadapkan pada trauma yang sedemikian berat itu. Mengingat bukan hanya ayahnya yang mendapatkan ancaman akan dibunuh, tetapi juga dirinya sendiri. Si Ayah bahkan harus menabahkan Mail berkali-kali, bahwa perjalanan yang mereka lakukan itu sebenarnya adalah ujian.
Dari ayahnya pula, Mail belajar tersenyum sekalipun nyawa mereka selalu diancam.
Tepatnya pada malam jahanam itu, kerusuhan pecah menuntut keluarga Mail pergi dari desa itu. Guna mengurangi amuk masa, keluarga Mail diamankan oleh kepolisian. Sekalipun keesokannya muncul rumor bahwa keluarga tersebut di pukuli hingga babak belur. Apalagi, sejak kejadian itu mereka tak pernah kembali ke rumah dan mushala yang dibangun dengan berdarah-darah.
Polisi sebenarnya berupaya melakukan mediasi, tapi keluarga Mail menolak untuk hal tersebut. Mereka lebih memilih hijrah ke tempat lain, sekalipun nahas sebelum menggapai tanah itu. Ayah dan ibu Mail dipanggil oleh Sang Pencipta.
Mail pun merasakan kesakitan dan kehilangan yang berlipat-lipat. Untungya, ia ditemukan oleh orang pesantren teman orang tuanya di jalan. Hingga ia bisa terus mendoakan kedua orang tuanya. Dan satu hal yang tak disangka-sangka Mail, jalan hidupnya kini tak jauh dari kejadian yang pernah menimpa orang tuanya.
Hanya saja, ia memilih jalan aman untuk menuruti permintaan preman yang merasa terganggu dengan kegiatan mengaji itu. Semua demi istrinya, juga demi menghilangkan rasa trauma sewaktu ia masih kecil.
Kenangan hitam itu benar-benar merasuki pikiran Mail. Bak sebuah film yang diputar jelas di depan matanya. Sungguh, ia merasa begitu kerdil dibandingkan usaha dan kegigihan ayahnya dalam berdakwah.
***
“Anakku.”
Suara seorang lelaki yang begitu menggetarkan tubuhnya.
Mail langsung bangkit mendengar suara itu, ia segera memeluk Ustaz Hari. Mereka menangis sesungguhkan. Lalu, keduanya kembali bernostalgia saat membangun Mushala Nurul Iman secara bersama.
“Kamu tidak salah,” tegas lelaki tua itu sambil melepaskan pelukan.
“Rasa trauma yang dialamimu sewaktu masa kecil itu membuatmu melakukan hal tersebut.”
Mail melongo tak percaya penjelasan lelaki yang memiliki tahun lahir sama dengan ayahnya itu. Bukan apa-apa, sejauh ini tak ada satu pun yang tahu atas rasa trauma itu. Kecuali dirinya sendiri. Lantas dari mana Ustaz Hari mengetahui hal tersebut.
“Waktu kamu kecil, saya juga ada di tempat kejadian itu. Fitnah yang dialami orang tuamu itu jauh lebih kejam dibandingkan kita. Ayahmu tak hanya melawan preman yang merasa terganggu dengan aktivitas mengaji, ia juga melawan kelompok kecil yang iri dengan perkembangan pengajiannya. Dalam hal ini, tempat mengaji yang lain.”
Kening Mail berkerut mendengar penuturan Ustaz Hari yang dirasa tak masuk akal itu.
“Tapi, Allah membalas kelakuan mereka. Lambat laun fitnah itu hilang dengan sendirinya. Dan mereka yang memfitnah ketahuan juga aibnya. Sayangnya, masyarakat yang penuh penyesalan itu tak pernah bertemu keluargamu lagi.”
“Lalu, bagaimana mungkin saya tidak mengingat Ustaz sama sekali.”
“Karena kamu masih kecil, apalagi wajahku dulu begitu tampan dan tanpa kerutan seperti sekarang,” Ustaz Hari menjawab penuh tawa.
Mail sedikit lega mendengar penuturan Ustaz Hari. Ia juga sadar bahwa perjuangan yang dialaminya belum seberapa dibandingkan ayahnya. Oleh karena itu, timbul azzam di hatinya untuk kembali ke mushala.
“Sebentar lagi Ramadhan menjelang. Mari kita sama-sama memenuhi mushala dengan kalam-Nya. Aku akan kembali ke Mushala Nurul Iman,” jelas Ustaz Hari disambut senyum mengembang di bibir Mail.
Mail pun segera meminta diri. Di hatinya, ia merasa seperti lahir kembali.
Dan ketika Ramadhan datang, Mushala Nurul Iman kembali dipenuhi sesak orang yang mau terawih. Pada hari pertama itu, Ustaz Hari menjadi imam salat, sedangkan Mail memilih menjadi muazin.
Begitu mereka akan menunaikan salat terawih, suara orang-orang bersahutan di luar mushala membuat jamaah berhamburan keluar.
“Kita harus mengamankan diri!” seru seorang bapak yang tak kuat lagi akan panas api yang menjalar di balik tembok mushala.
Ajakan tersebut membuat bapak-bapak yang lain untuk menerobos ke barisan jamaah perempuan. Mereka tak hanya berusaha menyelamatkan diri sendiri, tapi juga anak-istrinya.
Sementara itu, api semakin melahap semua yang ada dalam mushala.
“Mas…!”
“Bapak…!”
Sahut-menyahut kedua istri ustaz itu memanggil nama suaminya masing-masing. Tapi, suara itu tak segera ada jawaban. Hanya kobaran si jago merah yang menambah menyala-nyala.
Sejak itu, jamaah mushala yang baru hidup kembali itu tersadar bahwa kedua ustaz mereka masih ada dalam mushala.
Mereka pun segera berusaha memadamkan api, tak peduli keselamatan diri. Mengingat mencari ustaz tak mudah bagi lingkungan yang begitu siap terkobar api permusuhan.

Situbondo, 10 Juni 2017
Gusti Trisno. Aktif menulis cerpen, puisi, novel, dan resensi. Penggiat Komunitas Penulis Muda Situbondo ini lahir di Situbondo pada tanggal 26 Desember 1994. Saat ini, ia menjadi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Jember. Ia pernah menjadi juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016. Tulisannya dalam bentuk cerpen dan esai telah dimuat di beberapa media.

Dua Pria Muda yang Membicarakan Kematian

Cerpen Syafaati Suryo (Suara Merdeka, 16 Juli 2017)
Dua Pria Muda yang Membicarakan Kematian ilustrasi Putut Wahyu Widodo - Suara Merdeka
Dua Pria Muda yang Membicarakan Kematian ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Ruangan empat kali empat meter di tepi lampu merah itu tak ubahnya bilik sauna yang memeras keringat akibat pendingin udara yang sedang rusak. Dua pemuda berseragam cokelat duduk di dalamnya sembari menyesap kopi dan mengunyah bakwan hangat. Handy talky yang digenggam salah satu pemuda sesekali berbunyi menyampaikan pesan atau kelakar-kelakar ringan. Dua pemuda itu membicarakan kematian.
“Aku rindu kampung halaman,” ujar Hendro tiba-tiba setelah meletakkan handy talky di atas meja.
“Ambil cuti dan pulanglah,” sahut Gofur.
“Ya, mungkin usai Lebaran nanti. Entahlah, tiba-tiba aku ingin sekali mengunjungi makam ibuku di kampung.”
Hendro, lelaki 26 tahun itu, kembali termangu. Mengingat peristiwa setahun lalu saat menemukan ibunya tak sadarkan diri di kamar mandi rumahnya di kampung. Darah segar mengucur dari kepala ibunya. Ibunya terjatuh setelah mendadak sakit kepala hebat ketika berjalan menuju kamar mandi. Ibunya terpeleset hingga membentur bak mandi.
“Oh, iya, kau sudah takziah ke rumah si Syarif belum?” tanya Hendro kemudian.
“Sudah malam tadi. Kasihan istrinya, lagi hamil muda.”
Gofur lantas menyandarkan punggung dan melipat kedua tangan di dada. Matanya menerawang memancarkan rasa empati pada kawan satu angkatannya yang tewas kala baku tembak dengan perampok. Salah apa Syarif? Begitu batinnya kerap bertanya.
“Begitulah risiko pekerjaan kita. Maut mengintai di mana-mana. Mau tak mau, kau harus siap jika esok hari ususmu terburai atau kepalamu pecah ditembak orang tak dikenal,” ucap Hendro. Ia lalu meneguk kopinya yang telah dingin dan nyaris tandas.
“Apa pun profesi kita, di mana pun kita berada, meski kau membangun benteng setinggi Burj Khalifa sekalipun, meski kau sedang bersantai di ruang tengah rumahmu, jika memang sudah waktunya, mati juga kau,” papar Gofur.
“Hmm, ngomong-ngomong, kalau seandainya bisa memilih, kau ingin mati dengan cara seperti apa, Fur?”
“Kau ini, siang hari berbicara soal kematian. Mengapa tidak membahas Liverpool yang sukses masuk Liga Champions usai melibas Middlesbrough saja? Atau Raisa yang kabarnya akan segera dipinang.”
“Hahaha. Entahlah… Aku hanya sedang membayangkan ingin mati di tempat tidur yang empuk. Di senja hari yang damai. Di sisi istriku. Dikelilingi anak-anak dan cucuku kelak,” Hendro memandangi jalanan dengan tatapan kosong. Lalu ia melirik ke sisi trotoar. Ada seorang pria berbalut jas abu-abu melangkah tergesa-gesa. Ada dua wanita muda asyik mengobrol sambil berjalan dan menggenggam es kopi. Ada dua rekannya sesama polisi tengah mengatur jalan.
“Kau sedang ketakutan, ya? Tenanglah kawan. Kematian adalah sukacita. Kau bisa berjumpa dengan Ibumu di sana. Surga menanti orang-orang ikhlas dalam bekerja dan mengabdi pada masyarakat sepertimu.”
“Ah, kau, bisa saja. Jadi kapan kau akan melamar guru TK itu?”
Wajah Gofur lantas memerah. Bibirnya merekah. Dua biji matanya berbinar-binar. “Nanti malam aku akan ke rumahnya untuk mengutarakan niat baikku. Doakan ya, Bro!”
Dan bulir-bulir keringat luruh di balik seragam cokelat keduanya. Enam tahun lalu, setamat pendidikan di Jawa Tengah, mereka mulai mengenakan seragam itu. Setiap hari semenjak hari itu, kembang kebanggaan tiada pernah layu di sekujur kalbu.
Sebab apa yang paling membanggakan selain cita-cita semenjak kecil yang kemudian nyata saat dewasa? Mimpi yang sederhana bagi sebagian orang, namun menurut keduanya lebih berharga dari memperoleh segenggam berlian. Betapa menyenangkan dapat bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan. Itulah kebahagiaan yang tak direka-reka. Apa adanya. Puas dengan hal-hal yang biasa-biasa saja. Bahkan mereka yang berlimpah harta pun belum tentu benar-benar bahagia.
Separuh rekan seprofesinya kerap mencibir. Menyematkan predikat sok idealis dan terlampau naif. Lantaran bersetia pada etika dan norma. Segala rupa suap enggan diterima. Meski harus rela membawa pulang gaji yang tiada besar setiap bulan.
Mereka pun manusia biasa. Kadang mengeluh juga. Pekerjaan mereka bukan tanpa risiko. Letih sudah barang tentu. Berjibaku di bawah panas terik atau derai hujan setiap waktu. Tekanan dari atasan maupun senior sudah jadi makanan baku.
Tapi setiap kali ingin mengeluh lebih jauh dan merasa lelah, mereka selalu ingat bahwa setiap tetes keringat adalah pahala dan harus menjadi berkah. Pun membanding-bandingkan hidup dengan orang lain adalah tindakan yang salah.
Mereka tak peduli pada dagelan politik di negerinya. Mereka hanya fokus mengatur lalu lintas, menangkap penjahat, menjaga segala aksi unjuk rasa atau membantu nenek-nenek menyeberang jalan. Mereka juga tak peduli pada berbagai aliran agama ataupun percekcokan yang membawa-bawa agama.
Azan zuhur pun mulai berkumandang. Seorang rekan mereka masuk ke dalam ruangan itu. Hendak menggantikan Hendro dan Gofur yang pamit pergi ke musola di belakang pusat perbelanjaan.
Keduanya pun mulai melangkah melintasi pintu. Sementara seorang laki-laki di seberang sana tak henti-hentinya mengamati mereka.
***
Enam jam sebelumnya, Gofur berdiri berhadap-hadapan dengan ibunya di selasar rumah. Lengan kirinya menggenggam sesuatu yang telah disimpannya sejak seminggu terakhir dengan amat waspada sebagaimana ia menjaga dirinya sendiri.
“Bu, doakan aku. Cincin ini akan aku persembahkan pada Siti malam nanti,” katanya memohon restu. Ia menunjukkan sebongkah cincin emas yang diletakkan pada kotak merah mungil itu kepada ibunya.
“Gadis seperti Siti pasti akan menerima pemuda sepertimu sebagai suaminya. Ibu saja bangga punya kamu,” tutur ibunya sambil tersenyum. Diusapnya pipi anak kesayangannya itu dengan cinta yang melimpah.
“Ah, ibu. Gofur kan cuma lulusan Bintara. Bukan calon Jenderal. Gofur bukan orang kaya, Siti anak orang berada. Gofur yatim sejak kecil, tak tampan dan tak punya apa-apa,” ucap Gofur memancarkan wajah lesu.
“Hush, yang diharuskan itu rendah hati, bukan rendah diri! Perempuan baik tidak silau pada hal-hal duniawi. Ibu percaya, Siti bukan perempuan yang menilai laki-laki dari rupa dan harta. Malah Ibu lihat, Siti sudah kesengsem tuh sama anak Ibu,” tutur ibunya yang selalu pandai membangkitkan kepercayaan dirinya. Menggelorakan api semangatnya.
“Percayalah, doa ibu selalu menyertaimu.”
Gofur merangkul tubuh wanita ringkih itu dengan erat. Gofur merasakan ada rembesan air yang terasa hangat mengalir di saku bajunya. Ibunya tak pernah mengalami gejolak haru sesentimental pagi itu. Sementara enam jam sebelumnya di rumah Hendro, seperti biasa, istrinya yang cantik menghidangkan segelas susu cokelat dan setangkup roti tawar. Hari itu istrinya memilih selai kacang sebagai olesan. Hendro pun menikmati menu sarapannya seraya menyimak berita korupsi di televisi.
Saat layar televisi tengah menayangkan iklan sabun mandi, maka dengan penuh hati-hati, istrinya memulai percakapan. “Mas, kemarin Pak Dodo datang kemari.”
Gerakan mulut Hendro pun sontak melambat. Nafsu makannya seketika lenyap.
“Ya, aku usahakan lunas pekan depan,” sahut Hendro.
“Mengapa tak kita jual saja cincin pernikahan kita? Harta berharga kita satu-satunya,” tanya istrinya.
“Jangan. Jangan pernah kau jual cincin pernikahan kita jika tidak betul-betul mendesak. Uang lima juta rupiah masih bisa aku cari.”
“Baiklah,” istrinya lalu tersenyum, menampakkan dua buah lesung pipinya. “Ya sudah, kau jangan sampai stres memikirkan hal ini ya. Habiskan rotinya,” lanjut istrinya. Lalu dibelainya wajah Hendro dengan lembut. Keduanya bersitatap. Saling melempar pesan yang entah apa dalam diam, laksana telepati. Satu ciuman mendarat di bibir Hendro.
Sebelum keluar rumah, Hendro meraih anak satu-satunya yang masih berusia delapan bulan dari ranjang di kamarnya. Dalam dekapannya, ia mengecup pipi anak yang amat dicintainya itu. Bayi yang tampan dan menggemaskan. Satu bulan lalu, anak itu baru saja menjalani operasi kelainan jantung.
“Semoga kelak kau bisa jadi Jenderal,” bisik Hendro di telinga anaknya.
***
Lelaki berkaus hitam di seberang pos kian mendekat. Gofur meniliknya. Sekonyong-konyong, tengkuknya merinding. Telapak tangannya dingin. Perasaan apa ini? Begitu kata hatinya.
Hendro melempar pandangan ke arah trotoar. Ia tak sengaja melihat seorang wanita renta yang rasa-rasanya tak asing bagi Hendro. Ya, Hendro amat mengenali wajah itu.
“Ibu?” ucap Hendro lirih.
Waktu pun terasa begitu cepat berlalu. Semua menjadi kabur. Benar kata Hendro, bisa saja usus Gofur terburai. Seperti saat itu, di jalanan aspal siang itu. Sementara salah satu kaki Hendro terpisah dari tubuhnya.
Asap hitam pekat membubung di udara. Api menjilat-jilat bangunan pos polisi itu. Bunyi sirine menggema. Darah di mana-mana. Daging manusia serupa daging sapi di pasar yang telah terpotong-potong. Berserakan. Manusia berteriak dan berlarian. Tangis memecah langit. Semua mengutuk siapa pun pelaku dan apa pun motif teror hari itu.
Keesokan harinya, pangkat mereka dinaikkan satu tingkat dari Brigadir Polisi Satu menjadi Brigadir Polisi Anumerta. Gubernur menjanjikan beasiswa pada anak Hendo agar kelak bisa jadi Jenderal. Siti menangis tersengal-sengal.

Surat dari Trowulan

Cerpen Sihar Ramses Simatupang (Media Indonesia, 16 Juli 2017)
Surat dari Trowulan ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia
Surat dari Trowulan ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
KALAU kamu ternyata sudah pulang, Dik Ningsih, aku akan tetap menemanimu. Percayalah. Anak-anak kini sudah besar. Sinta, anak kita—yang engkau harapkan kesetiaannya bila dewasa kelak—telah tumbuh jadi remaja yang cantik. Akan kau dapati keelokannya mewarisi dirimu. Sungguh!
Lalu, kau tahu tentang anak kita yang kedua? Kunamai dia Janaka, walaupun tanpa berunding dulu karena kau keburu ke Ibu Kota sebelum kita sepakat memberi nama. Tapi aku berharap engkau suka nama Janaka. Maaf, bila ternyata engkau tetap berkeras menamai putra kita itu dengan nama lain, Arjuna.
Janaka pun tak apalah, ya. Nama Arjuna bagiku terlalu mentereng dan rupawan. Sungguh, aku tak mengharapkan kerupawanan di wajah anak kita. Justru yang kuharapkan dia dapat menjadi penjaga keluarga, seperti bakti Janaka kepada Pandawa. Kau tentu ingat kesaktian panah pasopati kesatria yang dikagumi itu.
Aku pun tak pernah tahu persis berapa usia anak kita itu, Ningsih. Sama seperti tak tahunya aku berapa tepatnya usia Sinta. Yang kutahu, Sinta kelahiran Selasa Legi, tahunnya sekitar 1990-an, sedangkan Janaka dua atau tiga tahun setelahnya. Lahir dengan weton Kamis Pahing.
Ningsih, kau ingat pohon waru yang kita tanam di depan rumah? Yang ketika kau pergi sudah sekitar setengah meter tingginya? Kini, pohon itu sudah tinggi, lebat, dan rindang. Sangat gagah melindungi rumah kita ini.
Aku pernah mendapati Janaka memanjat pohon itu hingga ke cabang teratas. Anakmu, anakku itu, bahkan dengan berani bergelayut ke salah satu rantingnya yang kuat. Nekat! Ningsih, tak sadarkah kamu, kalau Janaka yang memanjat pohon itu telah dewasa dan kekar. Ditaklukkannya pohon itu. Aku seperti ikut merayakan kemenangannya atas pohon itu. Sekalipun aku agak waswas, kalau-kalau kakinya terpeleset dan jatuh.
Tapi jangan sangka aku tak menghormati pohon itu, Ningsih. Antara Janaka dan pohon waru kuharapkan dapat menjadi sahabat yang melindungi rumah ini, melindung Sinta.
Oh ya, di rumah kita yang dulu berdinding gedek, aku telah mengganti dengan dinding semen. Aku membeli batu bata, pasir, semata-mata agar anakku bangga pada rumahnya. Tempat tinggal kita, bahkan sekarang sudah tak berlantaikan tanah lagi, Ningsih. Aku cor dengan semen. Hmmm, aku jadi tersenyum sendiri waktu kau marah-marah, karena aku memungut ketela goreng, yang terjatuh ke lantai tanah rumah kita. Lucu ya, Ningsih?
“Kamu jorok,” katamu ketika itu. Kau tak mau menegur aku dua hari, sampai tak memperbolehkan aku tidur di dipan bersamamu selama tiga malam. Aku jadi muring-muring enggak keruan—maklum ketika itu kita masih muda, kan? Maka, pada malam keempat, kutubruk saja kamu. He he he, akhirnya mau juga!
Lalu malam pun jadi hening ketika itu. Sinta masih berumur sekitar tiga tahun, tidur pulas di kamar. Kita malah di ruang tamu, tidur berdua di kursi panjang. Tak ada peristiwa cinta paling nikmat dan bahagia, kecuali tidur berdua dengan istri, pilihan Gusti Allah. Di antara angin malam, desir pohon jambu, cahaya bulan separuh yang menembus kisi jendela kayu, aku memuja kecantikanmu.
“Saya mau ke Jakarta, Kang Parwo. Cari kerja,” itulah ucapan pertamamu yang kuingat, sebelum beberapa minggu kemudian engkau menghilang di rimba metropolitan. Malam sunyi. Angin tak mendesir, bulan penuh di langit. Berdasarkan almanak Jawa, itu pertengahan bulan, sekitar tanggal lima belas.
Padahal, kau tahu, anak kita yang kedua pun baru saja lahir, dia masih bayi ketika kau diam-diam meninggalkan kami, entah di wilayah Jakarta yang mana, sebab aku buta Kota Jakarta.
Kau ingat ketika aku menolak niatmu ke Jakarta, Ningsih? Bukan, bukan aku tak ingin kita makmur dan mapan. Tapi aku yang lanang pun, tak berani ke Surabaya, apalagi Jakarta. Kota itu menyeramkan, Ningsih. Terutama buat perempuan. Kau tahu tetangga kita? Yang berpakaian dan berdandan mewah setiap pulang kampung? Ya, aku cuma menebak. Aku yakin, ada yang tak beres pada dirinya.
Juga ketiga temanmu itu: Arum, Puji, dan Laksmi. Ah, tak kau perhatikankah bedak tebal, parfum norak baunya, melihat lelaki dengan pandangan mata kenes dan memancing.
Ningsih, baru sekarang kuungkapkan sebuah rahasia. Dulu, ingin kuutarakan, tapi kau lebih dulu menghilang. Jangan marah, ya. Aku sempat dicium Puji. Aku mau dipeluk, cepat-cepat aku pergi dan menghindar.
Dasar perempuan gila dia! Masak tahu-tahu muncul di tempat mandi laki-laki, dekat pancuran kampung kita itu? “Aku ngesir awakmu, Mas,” ujarnya, saat mau menyentuh aku. Eladalah, Gusti, nyuwun pangapunten. Kontan saja, aku ngibrit pakai handuk. Pergi dari tempat mandi yang sudah jadi kayak tempat mesum itu!
Aku malah enggak sempet nyiram busa sabun di tubuhku dengan air. Nah, itulah, Ningsih. Itulah sebabnya, aku melarang kamu ke Jakarta. Apalagi yang ngajak mereka bertiga. Ngeri, membayangin mereka gimana di Jakarta saja, aku ngeri. Menyesal aku tak cerita soal di tempat mandi itu! Tapi kalau kupikir-pikir, waktu aku utarakan kecurigaanku tentang mereka kepadamu saja, kamu tak percaya. Eh, tau-tau malah minggat. Pergi sama mereka dan menghilang tanpa pernah kembali.
Pasti kau pun tak akan percaya ceritaku tentang hari yang mesum itu. Pasti malah nuduh aku bajul. Itu yang aku khawatirkan! Tahu enggak kamu, Ningsih. Aku pernah marahi mereka habis-habisan, waktu mereka pulang kampung saat hari libur panjang itu. Masak mereka bilang kamu kerja jadi cewek genit di Jakarta. Oalah, Gusti. Enggak mungkin, kan, Ningsih? Enggak mungkin, kan? Masak perempuan punya dua anak, berusia dua puluh lima tahun lebih, mau melakukan hal seperti itu? Masak kamu yang punya rumah tangga dan punya cinta suci sama aku, mau kerja terhina seperti itu? Mereka saja yang perempuan genit! Bukan kamu!
Muncul peristiwa nahas. Pada suatu malam. Arum datang memberi tahu berita itu. “Kang Parwo, aku sing ngerti. Ningsih udah jadi perempuan rusak di Jakarta. Lha wong aku lihat sendiri. Sampeyan jangan protes dan marah dong. Aku lihat sendiri. Dia juga sudah hebat, Kang. Makan tidur di hotel. Malah sudah jadi simpanan Mister Rony, bule Australia. Beneran! Sumpah!”
Wuihhh, aku tetap enggak percaya. Aku malah jadi marah. Kepalaku pusing. Semua jadi hitam. Aku ngamuk! Perutnya aku tendang. Ningsih, jangan kecewa ya sama aku, karena aku tiba-tiba jadi keras dan ngamukan begitu. Lha wong sudah mata gelap. Begitu kutendang perutnya, kupukul kepalanya. Pakai tangan, Ningsih. Enggak pakai senjata apa-apa. Aku pukul tubuhnya yang agak gendut itu bertubi-tubi. Aku juga heran, kok aku bisa begitu sama perempuan. Baru setelah dia tak bergerak, aku sadar dan jadi ketakutan.
Dia mati, Ningsih sayang. Dia mati! Sejak itu, akangmu ini dituding sebagai pembunuh!
Sejak kita menikah dulu, aku seorang petani, Ningsih. Bapakku petani. Bapakmu juga, kan? Aku cukup bangga pada darah yang mengalir di tubuhku ini. Nyatanya, aku bisa bahagia dengan sawah seluas 1.500 meter itu, Ningsih. Dari luas 500 meter, aku perlahan memperlebarnya. Karena itu, kamu tak perlu khawatir tentang anak-anak kita, Sinta dan Janaka. Sinta sudah menikah dengan Marwoto, Ningsih. Oh ya, Marwoto itu anaknya Poniman yang buka warung! Iya, anak pertama Poniman, bahkan sering kau marahi karena buang ingus di depan gedek rumah kita itu! Ingat? He he he. Siapa nyangka dia jadi suami Sinta akhirnya!
Penduduk di desa kita, walaupun mulanya benci sama yang aku lakukan, mereka akhirnya bisa menerima anak-anakku. Namanya orang mata gelap. Lagi pula, mungkin karena tingkah laku Arum sudah sejak dulu mereka benci. Sombong, godain suami orang. Makanya mereka jadi tak peduli pada perbuatanku yang nekat, bodoh, dan laknat itu.
Tapi, Janaka, hebat, Ningsih. Tapi juga berhasil menutup aib ayahnya. Dia menikah dengan anak Kepala Desa Martimo. Salatnya Janaka rajin. Iyalah, masak anak penjahat pasti jadi penjahat juga. Enggak, kan?
Oh ya, kerjanya Janaka juga petani. Sama seperti aku. Tapi, sawahnya sudah lebih luas lagi. Aku sendiri enggak tahu persis berapa hektare luas tanah dan kebun yang dia miliki. Mana boleh, aku keluar penjara cuma untuk ngukur tanahnya?
Jadi, karena semua itulah, aku tenang, Ningsih. Aku sudah minta maaf pada Gusti Allah. Sudah sering salat. Walau aku kini sakit di penjara. Penyakit tua. Katanya sesak napas di tenggorokan, sama satu lagi, penyakit paru-paru basah. Tapi kok efeknya sampai enggak bisa bangun lagi ya?
Ningsih, aku dulu tak pernah bikin surat, kan? Kamu tahu itu. Apalagi di penjara. Andai pun ada kertas, buat apa aku menulis? Buat siapa? Janaka dan Sinta saja sudah sering menengok aku. Apa lagi yang kurang? Menulis itu, bagiku, cuma buat orang yang terlalu menderita. Atau juga buat orang yang hidupnya selalu mapan dan bahagia.
Jadi, kalau aku sekarang sempat menulis setelah aku ditempatkan di rumah sakit, ya karena itu keinginan Janaka. Katanya itu harus dilakukan, agar aku bisa bahagia, setelah menulis surat buat dirimu.
Dia itu pintar lho, Ningsih. Cerdas, sekalipun sekolahnya cuma tamat SMP. Itu lebih baik daripada kita yang sama-sama tak pernah makan bangku sekolah.
Maka, aku tulislah surat ini. Walau aku tak berharap engkau akan membacanya kelak. Kau pasti sudah tua juga sekarang. Entah sudah wafat, ataukah masih hidup. Dalam keadaan bahagia, atau pun tersiksa. Entahlah. Anggap saja ini cuma kegiatan membatin. Membatin pada dirimu, yang kini tak tahu ada di mana.
Begitu dulu ya, Ningsih. Semoga Gusti Allah memaafkan kita. Di dunia, ataupun di akhirat kelak. Semoga.
Dari suamimu yang merindukanmu:
Parwo….