Daftar Blog Saya

Rabu, 19 April 2017

Jerat By Esti Kinasih

"Deb, dapet salam dari Rizky."
Debby mendengus. "Iya," jawabnya malas.
"Salam balik, nggak?"
"Kamu aja, deh."
"Aku?" Vita mengangkat alis. "Yang dapet kan kamu?"
"Males, ah."
Vita menatapnya sejenak kemudian menarik kursi ke depan Debby.
"Kayaknya dia marah, lho. Kamu sih, tiap hari  dikirimin salam nggak pernah dibales. Bales,
dong. Sekali-sekali, gitu."
"Entar dikiranya aku naksir, lagi."
"Soalnya begini, Deb," Vita memelankan suaranya, tubuhnya beringsut maju sampai menempel
di meja. "Kemarin dia cegat aku, dikiranya aku nggak pernah sampaikan salam-salamnya itu ke
kamu. Aku sampai  sumpah kalo nggak pernah lupa. Dia kayaknya marah. Terus dia bilang
begini; 'Vit, bilang ya, sama Debby. Suatu saat nanti aku pasti bisa menangkapnya tanpa dia
bisa menghindar, apalagi lari dariku'. Begitu."
"Begitu?!" seru Debby dengan tubuh serentak bangkit. "Menangkap? Ayam kali! Sembarangan
aja ngomong!"
Vita tertawa geli.
"Pokoknya aku sudah sampaikan ya, ke kamu. Hati-hati, lho. Lagipula, kenapa sih nggak mau?"
"Masa kamu nggak denger  storinya? Waktu sekolah kita ngadain kemping bersama bulan
kemaren itu, aku kan pingsan. Abis jalannya jauh banget. Mana hujan lagi, becek lagi, terus
dingin lagi. Waktu sadar, aku sudah ada di pelukannya. Kamu tau kata pertama yang kudengar
begitu membuka mata? 'Debby ternyata kamu lumayan seksi juga'."
"Hah?!" Vita terbelalak.
"Iya. Apa itu nggak kurang ajar?"
"Kalian cuma berdua?"
"Enggaklah. Yang pingsan kan bukan cuma aku."
"Berarti...."
"Jangan mikir macam-macam!" potong Debby galak. Vita langsung menutup mulutnya.
Keesokan  harinya,  begitu  menginjakkan  kaki  di  sekolah,  dengan  emosi  Debby  langsung
berkeliling mencari Rizky.
"Hai!" Cowok itu menyambutnya surprais.
"Kamu ngomong apa ke Vita?" Debby berkacak pinggang dan menatapnya tajam.
"Apa? Oh, itu?" Rizky tertawa lebar. "Ternyata pemberitahuan malah ampuh, ya. Satu pun
salamku nggak ada yang kamu balas. Tapi ternyata pemberitahuanku malah bisa membawamu
ke depanku."
"Kamu ngancam?"
"Bukan. Aku kan sudah bilang itu pemberitahuan. Suatu saat  kau akan jadi  pacarku, Deb,"
Rizky menjawab tenang. Debby ternganga.
"Jangan sok yakin!" semburnya.
"Kita liat aja."
***
Entah karena sugesti  atau juga karena salamnya yang terhenti, kalimat  Rizky menghantui
pikiran Debby. Mata itu tajam menembusnya waktu mengucapkan ancaman itu.
"Menurutmu apa yang akan dilakukannya?" Debby berjalan hilir mudik di depan Vita. "Atau, apa
dia sungguh-sungguh?"
"Iya." Vita mengangguk, membuat Debby jadi tambah patah semangat.
"Dengan bilang ke orang-orang peristiwa waktu aku pingsan itu?"
"Bukan. Dia bukan model cowok begitu. Dia gentle. Dan aku yakin caranya pun, ya cara cowok
jantanlah. Tapi yang jelas dia nggak akan bikin malu kamu."
Aduh, Tuhan, syukur! Debby menghela napas lega.
"Kira-kira apa yang mau dia bikin, ya?"
"Dia menjemputmu tiap pagi?"
"Nggak."
"Terang-terangan merhatiin kamu dengan mata tajamnya itu?"
"Nggak juga," Debby menggeleng. Vita mengerut kening dan mencubiti bibirnya.
"Maksa ngantar kamu pulang?"
"Aku malah nggak pernah ngeliat dia tiap bel pulang berbunyi. Pasti dia langsung sibuk dengan
klub basketnya."
"Jadi dengan apa, dong?" Vita ikutan bingung.
"Jalan halus!" Debby kaget sendiri dengan dugaannya.
"Pelet?! Guna-guna?! Masa, sih? Jangan ngaco, ah!"
"Terus apa, dong? Sekarang coba kamu pikir...." Debby meloncat  ke tempat  tidur. Mukanya
tegang, "tiap ketemu, dia selalu biasa-biasa aja. Tetap ramah, tetap baik, nggak usil, nggak jail.
Pokoknya semua berjalan seperti biasa. Wajar, tenang, aman. Terus apa?"
"Menunggu marahmu hilang mungkin?"
"Nggak mungkin!" desah Debby sambil kembali mondar-mandir.
***
Debby bingung memikirkan kemungkinan tindakan yang akan diambil  Rizky. Dia sudah tanya
beberapa orang, begitu siuman dari pingsan itu. Jawabannya, tidak ada hal kurang ajar yang
dilakukan. Cowok itu memang yang menggendongnya sepanjang jalan. Yang membungkus
tubuhnya dengan tiga lapis  jaket  tebal. Yang menungguinya sampai  sadar. Cuma... waktu
siuman, membuka mata dan hanya menjumpai Rizky seorang, ditambah kalimat kurang ajar itu,
apa iya....
Dan itu membuatnya jadi kesal terhadap Rizky, sampai sekarang. Pasti ada sesuatu yang sudah
dilakukannya. Karena  tiap kali  mereka  bertemu, sepasang mata  itu selalu merangkumnya
hangat. Ditambah senyumnya yang rasanya mengundang suatu makna tersembunyi.
"Deb!" Sebuah tepukan di bahu membuat Debby terlonjak dan seketika sadar dari lamunan.
"Kamu! Pelan-pelan, dong! Aku kaget, tau!" sungutnya sambil menepuk-nepuk dada.
"Sori, deh. Katanya suruh riset?" Dengan tenang Vita duduk di depannya. Tak merasa bersalah
sudah membuat Debby nyaris semaput. "Aku sampai ditanyain macem-macem gara-gara idemu
itu."
"Gimana? Gimana?" Debby bergegas menggeser kursinya.
"Menurut  beberapa  orang  yang  kena  pelet, tanda-tandanya  begini...." Vita  diam sejenak,
menoleh kiri-kanan untuk memastikan keadaan cukup aman untuk pembicaraan mereka. "Di
kamarmu nanti  akan tercium wangi  parfumnya  Rizky  atau  bahkan bau badannya  selama
seminggu penuh."
"Idiiih!" Debby terngaga.
"Ke mana pun kamu pergi, kamu akan ngeliat wajahnya, walaupun setelah didekati  ternyata
bukan. Dan ini  yang paling, Deb. Raba hatimu. Biasanya ada perubahan drastis. Kamu jadi
mikirin dia. Jadi gelisah kalau nggak ngeliat dia sebentaaaarr aja. Malah keadaan jadi berbalik.
Kamu yang akan ngejar-ngejar dia!"
Debby tercengang.
"Jalannya gimana? Masa tiba-tiba begitu?"
"Cukup sedikit sentuhan. Misalnya dia negur kamu. Dicolek sedikit, meskipun cuma seujung jari,
itu bisa membuatmu tergila-gila sama dia. Banyak jalan, sih. Namanya juga ilmu begitu. Tapi
aku nggak mau tanya banyak-banyak. Soalnya semua yang kutanya, mengira aku lagi  mau
melet seseorang."
"Selalu begitu tanda-tandanya?"
"Aku kan cuma tanya tiga orang. Aku rasa sih, tanda-tandanya pasti juga banyak macamnya
karena jalannya juga macam-macam."
Debby mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan menarik napas panjang.
***
Debby terbangun tergeragap. Wangi bunga melati menyentak hidungnya. Jantungnya seketika
berderas  keras.  Pasti  ini  kiriman  dari  Rizky!  Bergegas  ditekannya  saklar  lampu.  Sebuah
mangkuk mungil penuh berisi bunga melati segar terletak di mejanya. Diambilnya mangkuk itu
dan diperhatikannya isinya. Masih segar, seperti  baru dipetik. Dibawanya mangkuk itu keluar.
Detti, kakaknya, sedang menonton TV sambil memegang sebuah mangkuk juga, penuh berisi
bunga melati segar.
"Ini kerjaanmu, ya?"
"Nggak bisa tidur," jawab Detti tanpa menoleh. "Baunya enak, kan?"
"Kupikir ada hantu," Debby menggerutu membuat Detti terkekeh.
Bikin kaget aja! Dia melangkah kembali ke kamar. Sampai sempat ketakutan tadi. Ditaruhnya
kembali mangkuk itu ke tempatnya. Tapi dia jadi tak bisa melanjutkan tidur. Kantuknya lenyap
karena  terbangun  kaget  tadi.  Iseng  dibukanya  album  foto  yang  sudah  diseleksi  dengan
tahapan-tahapan yang amat sangat ketat, ternyata masih ada juga foto-foto Rizky yang lolos.
Nggak tanggung-tanggung, tiga! Nggak mungkin dibolongin karena cowok itu ada di tengah,
merangkul Saga dan Farid.
Dikeluarkannya ketiga foto itu dan dibariskannya di  atas kasur. Lalu sambil  tengkurap dan
memeluk bantal, dipandangnya satu per  satu. Wajah Rizky terekam jelas di  salah satunya.
Alisnya bagus. Tebal, hitam dan bersambung. Matanya kadang tajam, kadang juga teduh.
Rahangnya kokoh. Debby tersenyum sendiri, tenggelam dalam khayal.
Ganteng juga, desisnya. Astaga! Dia langsung tersadar. Serentak bangun sambil  menutup
bibirnya yang ternganga. Apa yang barusan diucapkannya? Dia bilang cowok ini  ganteng!
Ganteng?! Ya, ampun! Aku kena pelet! Debby terduduk mematung.
Ah, nggak mungkin! Nggak mungkin! Dia menggelengkan kepala berkali-kali. Coba diliat lagi.
Pasti tadi nggak sadar ngomong begitu. Sekali lagi diperhatikannya ketiga foto itu. Dan gadis itu
makin tercengang ketika pandangannya ternyata tidak berubah.
Bener, aku kena pelet, desahnya panik. Dulu-dulu Rizky menurutnya biasa-biasa aja. Norak
malah, dengan sifat  agresifnya  yang  nggak  tau  malu  itu. Kenapa  sekarang  tiba-tiba  jadi
ganteng, ya? Debby menatap foto itu sambil menelan ludah.
***
"Tiba-tiba aja di  mataku dia jadi  ganteng! Keren. Aku pikir karena baru bangun tidur, masih
setengah ngimpi, jadi keliatan macho. Tapi tadi pagi waktu mau berangkat, aku liat lagi fotonya.
Kok masih juga keliatan ganteng itu anak, ya?" Debby melapor dengan perasaan resah. Vita
terbahak-bahak mendengarnnya.
"Semua orang bilang dia emang cakep, kok. Kamu aja yang matanya cureng."
Debby melotot.
"Dia kurang ajar, tau nggak? Makanya sekali-sekali kamu pingsan deh, deket dia. Begitu melek,
tau-tau sudah dipeluk, dibilang seksi  lagi," sungutnya, membuat  Vita tambah tertawa-tawa.
Peristiwa pingsan itu memang sangat membekas dan dia selalu dongkol tiap kali teringat. "Aku
pasti  udah kena pelet," keluhnya memelas. "Tiba-tiba aja aku sering mikirin dia. Pernah titip
salam lagi, nggak?"
"Ngapain? Udah banyak yang mubazir."
"Marah ya, dia?"
"Jelaslah. Cecil aja patah hatinya sampai begitu. Cinta nggak kesampaian. Belum si Retno yang
rajin cari  perhatian. Kamu yang ditaksir  malah kabur-kaburan. Kalo dia marah, terus kamu
dipelet, ya bisa jadi. Kamu kadang keterlaluan, sih!"
Debby terdiam. Perlahan dia menjatuhkan diri  ke kursi  di  samping Vita. Mungkin apa yang
dikatakannya itu benar.
Jam istirahat tiba-tiba Rizky muncul  di  kelas, membuat Debby kaget setengah mati. Setelah
hampir dua bulan salamnya terhenti dan perjumpaan mereka yang bisa dihitung dengan jari,
Debby langsung menduga yang bukan-bukan. Tapi  ternyata, tanpa menoleh Rizky langsung
menghampiri  Iwan, yang memang salah satu anggota tim basket sekolah. Mereka berbicara
dengan suara pelan dan selama itu pula mata Debby tak berhenti memandangnya. Was-was.
Pembicaraan selesai. Rizky berjalan keluar. Ketika melewati Debby, kedua matanya memandang
tajam namun disertai senyum.
"Halo, Seksi," ucapnya pelan disertai jentikan jari dan kedipan mata. Debby kontan terkesima.
Mematung menatap Rizky sampai hilang di balik pintu.
"Vita! Kamu  denger,  nggak?!" Dengan  panik  diguncang-guncangkannya  lengan  Vita  yang
sedang serius berat menyalin pe-er.
"Ada apa, sih?" Vita menoleh kesal.
"Rizky...," lapor Debby terengah. "Dia negur aku barusan. Dan dia masih manggil aku 'Seksi'.
Terus tadi dia ngeliatin aku sambil menjetikkan jari. Vit, pasti tadi itu pelet. Iya, kan? Bisa pakai
jalan begitu, kan?"
"Mana Rizky?" Vita celingukan.
"Barusan dia ke sini. Ngomong sama Iwan. Kamu ini nyontek melulu, sih...."
"Terus kamu diapain? Cuma diliatin? Itu kan wajar."
"Oh, iya? Wah, bisa jadi. Mungkin bukan pelet, tapi hipnotis."
"Yaaah, terus gimana, dong?" Debby semakin panik. "Kamu bilangin dia deh, Vit. Suruh pergi
jauh-jauh!"
Aduh, ngerepotin aja! Vita menggerutu.
"Aku bilang ke dia, tapi kamu selesaikan pe-erku. Gimana? Inggris sama Kimia, lho."
"Kecil! Mana bukumu?"
"Nah, gitu dong. Jangan nyuruh orang kerja gratisan melulu." Vita mengulurkan dua buah buku,
lalu berjalan keluar. Dasar phobia Rizky, gerutunya. Lima belas menit kemudian dia kembali.
"Apa katanya?" sambut Debby was-was.
"Dia bilang dia nggak akan ganggu kamu. Apalagi pakai pelet. Dosa, katanya. Dia juga bilang,
nanti kamu sendiri yang akan datang ke dia."
"Hah?!"
***
"Hei!"
"Eh, gimana?" Rizky bertanya tanpa menoleh pada seseorang yang barusan menepuk bahunya,
lalu berdiri di sampingnya.
"Beres. Tapi sepi banget di sana."
"Jelas aja. Musim ulangan."
"Yakin bakalan dia yang nemuin?"
"Yakin!"
Rizky tersenyum tipis tanpa mengalihkan matanya dari  sosok Debby di  kejauhan. Kail  sudah
dilemparkan!
***
Pada awalnya, Debby sempat stres dan ketakutan. Tapi  perlahan... perasaan itu menghilang
karena ternyata Rizky tidak melakukan apa pun seperti yang sempat dia bayangkan.
Cowok  itu malah menjaga  jarak. Tidak  memberikan senyum, apalagi  menyapa  pada  saat
mereka terpaksa berpapasan atau berada bersamaan di suatu tempat.
Debby mulai  tenang dan hari-harinya kembali  normal. Dia bahkan mulai  berani  lalu-lalang
dengan tenang di depan Rizky. Tak menyadari sepasang mata cowok itu menatapnya dengan
kilatan yang mengandung suatu rencana tersembunyi.
"Kamu, sih. Rizky itu baik. Kamunya aja yang pikirannya terlalu."
"Jaga-jaga boleh, dong?"
"Iya, tapi aku yang jadi malu. Dia...."
"Alaaaah, udah, deh. Sori. Namanya aja orang lagi  panik." Debby meringis. "Eh, aku nemu
undangan, di Sekretariat OSIS."
"Adrianto, SE dengan Astuti K. Siapa?"
"Mana aku tau. Aku temuin menggeletak di ruang OSIS. Comot aja. Kita bakalan makan enak
dan gratis."
"Undangannya keren bener." Vita membalik-balik benda di tangannya. "Kita juga mesti dandan
keren, dong?"
"Sekali-sekalilah."
***
Sabtu sore, keduanya yang memang hobi  gerilya cari  makanan gratis, sudah rapi  jali  sejak
pukul setengah tujuh.
"Seksi amat?" Vita terbelalak memandang penampilan Debby.
"Pingin aja." Debby meringis lucu. "Nggak ada yang kenal ini."
Acara baru saja dimulai ketika keduanya tiba.
"Salaman dulu, nggak?" tanya Vita dan langsung disambut cibiran bibir.
"Sok sopan!"
Vita terkekeh dan mengikuti Debby menuju stand-stand makanan.
"Kambing guling!" pekik Debby tertahan. "Ini dia!"
"Asyiiik!" Vita menyambut  senang. Detik berikutnya kedua gadis itu benar-benar  tenggelam
dalam kesibukan berburu makanan gratis.
Tengah  asyik-asyiknya  mereka  menikmati  hidangan,  tiga  orang  cowok  berbusana  Jawa
mendekati mereka.
"Halo, teman Mbak As atau Mas Adri?" salah satu bertanya. Keduanya langsung gelagapan. Dan
itu membuat cowok-cowok itu jadi curiga.
"Ada tamu nggak diundang." Dia memandang teman di sebelahnya.
"Kata  siapa  nggak  diundang? Sembarangan!" Debby  langsung menukas. "Undangannya  di
rumah karena nggak harus dibawa, kan? Kami teman Astuti!" jawabnya nekat.
"Begitu?"  Cowok  itu  tersenyum.  "Kalian  belum  kasih  selamat,  kan?"  Langsung  diraihnya
pergelangan  tangan  Debby  dan  menggenggamnya.  Seorang  temannya  mengikuti,  meraih
tangan Vita. Tanpa daya, keduanya pasrah digiring ke pelataran berkarpet merah dadu itu. Dan
Debby nyaris saja pingsan begitu melihat pasangan mempelai  itu. Keduanya ternyata sudah
cukup berumur. Entah karena telah kawin, atau mungkin ini  bukan lagi  perkawinan mereka
yang pertama.
"Rizky?" Debby tertegun ketika mengenali cowok yang berdiri tak jauh dari mempelai wanita,
yang rupanya juga kaget melihatnya. "Ky, dia bilang aku nggak diundang." Dipelototinya cowok
berbaju Jawa itu tajam-tajam sambil berjalan menghampiri Rizky dan memeluk lengannya.
"Oh, pacarmu, Ky? Bilang-bilang, dong! Aku pikir penyelundup." Cowok itu mengangkat kedua
tangannya dan tersenyum meminta maaf. "Pacarnya Rizky!" teriaknya sambil turun.
Debby tersadar dan seketika menoleh.
"Terlambat!" bisik Rizky demi melihat keterkejutan itu.
Debby berbalik dan memucat  ketika mendapati  dirinya sendirian. Vita menghilang entah ke
mana, begitu juga dengan cowok-cowok berbusana Jawa tadi.
Disibaknya uraian rambutnya dengan panik. Tidak mungkin berlari turun dari panggung, akan
mengundang pertanyaan. Sekian puluh mata, bahkan mungkin lebih dari seratus, kini tengah
memandangnya.
Dibaliknya badan. Rizky tengah menunggu dan memandangnya dengan sorot mata yang tak
bisa menyembunyikan kekagumannya.
"Ayo,  salami  mereka."  Diraihnya  tangan  Debby  dan  menggenggam  lembut  jari-jarinya.
"Tanteku."
"Eh, se... selamat," gugup Debby mengulurkan tangannya.
Tiba-tiba berkumandanglah sebuah pengumuman yang mahadahsyat.
"Para hadirin yang terhormat," ucap MC ayu berkebaya merah jambu itu lengkap dengan
senyum manisnya. "Pada saat ini, berdiri di sisi kiri mempelai adalah salah seorang keponakan
dari mempelai wanita. Kiranya para hadirin yang terhormat sudi memberikan selamat, karena
keduanya akan segera menyusul ke pelaminan dalam waktu dekat."
Debby  terhenyak.  Suara  tepuk  tangan  bergemuruh  dan  berebutlah  'para  hadirin  yang
terhormat' itu naik panggung dan menyalami mereka.
"Terima kasih... terima kasih...." Rizky menyahut  ramah sambil  mati-matian menahan tawa.
Lengan kirinya menyangga tubuh Debby yang sudah setengah sadar.
Sekian

LAGU UNTUK VIOLA

Vio!
Gadis berkepang dua itu berhenit. Diangkatnya alis tinggi-tinggi ketika Lukas
menghampirinya tergesa-gesa.
“Apa?”
“Aku antar kau,  ya?”
Viola tercenung. Lewat ekor matanya, dia dapat melihat Calvin dan Rosa
bergandengan masuk ke dalam mobil Calvin. Nyeri lambung Viola tiba-tiba melihat
pemandangan itu.
“Ayolah, kau sudah janji kemarin,” desak Lukas.
“Aku mesti ketoko buku dulu. Maaf Luk, aku tidak dapat.”
“Kebetulan. Aku punya rencana mau ke took buku. Ayo, kuantar kau ya,” kata
Lukas pula, tanpa putus asa.
Viola menarik nafas panjang. Mobil Calvin sudah melaju melewati mereka. Hati
Viola sedih sekali melihat Calvin tidak melirik sedikit pun kearahnya. Seluruh
perhatiannya sudah terpaut pada Rosa, anak yang baru pindah itu, pikirya. 
Viola mendadak ingat siapa Lukas. Lukas juga murid baru di kelasnya. Cowok itu
sudah banyak menarik perhatian cewek-cewek kelasnya sejak ia pertama masuk, persis
seperti adik sepupunya itu. Ya, Rosa memang adik sepupu Lukas.
“Tidak. Aku bisa pergi sendiri,” kata Viola. Kemudian dia melangkah tergesa gesa, meninggalkan Lukas yang tertegun menelan kekecewaan. Dia merasa tidak sakit hati dengan penolakan Viola, karena mengerti
mengapa cewek itu
berbuat
demikian.
Di toko buku, hati Viola jadi sakit lagi. dia tak menyangka sedikit pun akan
menjumpai Calvin dan Rosa di sana.
“Hei! Vio. Mau beli buku juga? Wah, aku kira koleksimu sudah ratusan. Eh Rosa,
kenalkan nih Si Kutu Buku sekolah kita. Viola.”
Rosa segera mengulurkan tangannya. Viola mencoba tersenyum. Dia agak kaget
juga dengan ketenangan Calvin. Dia benar-benar berpengalaman, bisiknya, di hati. Dan
aku benar-benar cewek yang teramat bodoh.
Rosa dan Calvin pergi lebih dulu. Viola jadi ingat, ketika Calvin masuk suka jalan
bersamanya. Ah, begitu banyak kenangan manis yang mereka ciptakan bersama. Itulah
sebabnya mengapa aku begitu sulit melupakannya, keluh Viola sambil membayar bukubuku
yang dibelinya
di
kasir.

***
“Lukas selalu memperhatikanmu, selalu menyanyangimu, tapi mengapa kamu tak
pernah berlaku ramah di depannya?” kata Nunik, teman dekatnya.
“Karena itulah aku tak mau menggubrisnya. Aku tak menyukai perhatiannya itu.
Aku tak menyukai pamrihnya,” kata Viola.
Nunik menepuk pipi Viola sambil tersenyum halus.
“Vio antara kau dan Calvin sudah selesai. Kisah lama itu harus kau tutup. Tidak
mungkin kau mesti menutup diri selamanya. Calvin tidak amat berharga untuk
pengorbanan semacam itu.”
www.rajaebookgratis.com
Viola berhenti menyusun bukunya sambil menoleh kepada Nunik. Matanya
memancarkan sinar yang amat tajam.
“Barangkali begitu. Tapi aku merasa, antara aku dan Calvin masih ada sisa
perhitungan.”
Nunik bergidik melihat sinar mata Viola. Begitu menakutkan. Karena itu segera
digenggamnya lengan Viola.
“Jangan berbuat nekad, Vio. Dendam tidak akan menyelesaikan persoalan.”
Viola mengangkat bahu. Dan Nunik tahu, rayuannya sia-sia saja. Viola amat keras
dalam pendirian.
Sepeninggal Nunik, Viola membuka laci mejanya. Dikeluarkannya selembar
fotho dari dalamnya. Fhoto Calvin.
“Aku menyukaimu, Cal. Amat menyayangimu, tapi kenapa … ,” keluhnya sambil
menitikkan air mata. Sudah empat bulan mereka berpisah, tapi tetap saja Viola merasa
baru kemarin sore Calvin datang ke hadapannya sambil membawa bunga mawar yang
segar itu.
“Maaf, Vio. Tapi seperti engkau tahu, aku suka berterus-terang. Tidak ada lagi di
antara kita yang pantas kita pertahankan. Aku menyukaimu tapi tak dapat mencintaimu.
Engkau bukan gadis tipe idealku dan …”
Viola sudah tidak ingat apa lagi kata Calvin selanjutnya. Yang dia ingat cuma,
Calvin menyerahkan kembang itu, mengecup keningnya kemudian melarikan mobilnya
membelah kegelapan malam.
Ketika mereka berhubungan, banyak teman Viola yang mengingatkan untuk
berhati-hati sebab semua orang tahu siapa Calvin. Vio pun tahu siapa cowok itu,
sebetulnya. Itulah sebabnya dia tidak begitu tertarik ketika Calvin mendekatinya pertama
kali. Dia menduga, pendekatan Calvin hanyalah karena ingin membuktikan pada temantemannya,
bahwa ia papa bravo nomorwahid karena bisa menundukkan Viola,si Kutu Buku, debu perpustakaan yang sering digelari patung es.
Cukup lama Vio menguji Calvin. Tapi dasar Calvin berjiwa ulet, dia tak pernah
putus asa. Dan kini … oh, bisik Vio perih. Mengapa penyesalan selalu datang terlambat?
***
Viola bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua, tempat dia belajar piano.
Ada keengganan menyergap hatinya, karena dia tahu ada Lukas di sana.
“Ini lagu-lagu yang akan kalian bawakan. Luk, coba engkau yang pertama,” kata
guru mereka, Bu Marta, memberi kode perintah.
Lukas melirik Viola sebelum mulai bermain. Viola menunduk. Lukas lantas
memulai dengan Turkish March. Ibu Marta mengetuk-ngetuk meja memberi kode waktu.
Dua jam lebih mereka habiskan untuk berlatij. Viola menarik nafas ketika dia
sudah kembali berada di luar sekolah.
“Vio.”
Viola melirik. Lukas seperti gelisah di depannya.
“Apa?”
“Kau akan menolak juga kalau kuajak ke kantin sana?”
Entah apa yang lucu, Vio jadi tersenyum geli mendengar pertanyaan Lukas yang
polo situ.
“Tidak. Kebetulan aku memang haus,” kata Viola kemudian.
Lukas tersenyum cerah. Tadi dia tak berani lagi berharap, karena sudah sering
ditolak Viola.
“Sori, Luk. Aku kelihatannya kasar ya? Bukan maksudku begitu,” kata Vio
lembut, waktu mereka sudah duduk di kantin. Lukas menggelengkan kepala.
“Tidak usah kau terangkan, Vio. Aku sudah mengerti.”
“Trims deh kalau begitu.”
Keheningan yang tadi mencekam mulai mencair dengan sikap ramah yang
ditunjukkan Viola. Kelihatannya dia ingin menghapus image jelek Lukas atas dirinya.
Viola sadar, sikap dingin yang ditunjukkannya pada Lukas selama ini Cuma didasari rasa
dendam yang tak tentu arah. Dia marah pada Rosa, saudara Lukas, tapi tak dapat
mencurahkannya langsung kepada gadis itu.
Tetapi Lukas merasa amat bahagia dan hampir tak yakin dengan kenyataan yang
diterimanya sekarang. Viola ternyata sungguh manis dan pintar sekali membangun
percakapan.
“Teman-teman pasti kaget melihat kita akrab besok di kelas,” kata Lukas ketika
mengantar Viola pulang.
Viola mengangguk geli. Selama ini, seperti sudah ada undang-undang tak tertulis,
cuma Lukas Cowok yang tak pernah ditegurnya dengan ramah, sehingga temantemannya
menganggap
mereka
bermusuhan.

“Ya, apalagi Nunik. Dia selalu kesal melihatku tak pernah bersikap manis
terhadapmu.”
“Aku senang, kita bisa berteman,” ujar Lukas. Viola menyetujuinya dalam hati.
Kelas mereka memang jadi geger ketika Viola dan Lukas bersama-sama masuk
kelas keesokan harinya. Nunik sampai terbelalak. Vila mengedipkan mata, tapi tak urung
dia melirik juga ke meja Calvin. Cowok itu sedang membaca bukunya dan kelihatan asik
betul.
“Apa yang merasuki tubuhmu sampai rukun betul dengan Lukas?” kata Nunik.
“Oh, tak ada apa-apa. Cuma, aku saja yang keliru selama ini. Lukas ternyata
cukup menyenangkan.
Nunik tersenyum lega.
“Nah, apa kubilang? Lukas memang pantas untukmu.”
“He jangan berpikir yang lain. Lukas cuma seorang teman.”
Nunik mengangkat tangan tinggi-tinggi, tapi sudut bibirnya memancarkan
senyum yang penuh godaan.
“Ya, ya, dia cuma seorang teman … istimewa!”
Viola terbelalak lebar-lebar, sementara Nunik tertawa-tawa gembira.
Istimewa atau tidak, Lukas ternyata memang seorang teman di kala suka dan duka
bagi Viola.
“Ada film bagus. Kita nonton ya?” ajak Viola suatu ketika.
Lukas tersenyum manis. “Film apa?”
Film Drama Romantis.
“Oh, actor ganteng itu toh yang main? Aku sudah lihat aktingnya dalam Film lain.
Bagus! Pertunjukan pukul berapa?”
www.rajaebookgratis.com
Viola tertawa senang. Itulah Lukas, yang selalu bersedia diajak ke mana saja.
Selain pintar, dia juga tahu menyenangkan hati.
“Pukul tujuh. Oke?”
“Tunggu saja. Aku jemput!”
Viola kemarin masuk kedalam mobil Lukas, ketika pelajaran usai hari itu. Mereka
masih tertawa membicarakan guru yang konyol di depan kelas tadi, ketika Viola melihat
Calvin jalan sendiri menuju mobilnya tanpa Rosa di sisinya. Wajah Calvin tampak
murung. Aneh sekali.
Viola jadi tak dapat lagi mendengar cerita Lukas karena benaknya penuh dengan
bayangan Calvin. Kenapa bisa begitu, pikirnya. Calvin yang kukenal adalah Calvin yang
tak pernah sedih, tak pernah mengenal duka dan selalu menganggap ringan semua
masalah. Tapi sekarang ….
“Vio, kau … melamun?” tegur Lukas.
“Eh, oh, aku …”
“Kau kelihatan pucat. Ada apa?” sinar mata Lukas memancarkan rasa cemas.
Diam-diam Viola mengeluh. Dia sudah lama tahu, ada perhatian khusus dari Lukas
untuknya. Dan dia senang itu, sebab dia juga menyukai Lukas. Tapi bagaimanapun, dia
tak dapat melupakan Calvin. Yang diimpikannya setiap saat berjalan di sisinya Lukas
yang baik, melainkan Calvin yang memilih Rosa dua bulan yang lalu.
“Tidak apa-apa. Trims, Luk. Sampai nanti ya.”
“Ya, langsung istirahat saja, Vio. Aku sayang kau,” bisik Lukas. Kemudian
melarikan mobilnya.
Viola tercenung, kaget dan akhirnya menyesal. Dia sedih karena tak dapat juga
menukar tempat Calvin di hatinya dengan Lukas, cowok yang baik itu.
“Rosa sudah punya pacar yang lain. Hendrikus, temannya di club. Calvin tentu
saja merasa ditinggalkan begitu,” lapor Nunik esok harinya di kelas, ketika Viola
bertanya mengapa Calvin tak pernah kelihatan ceria lagi.
“Tahu rasa dia sekarang. Dia pikir, semua cewek bakal bertekuk lutut di
depannya,” sambung Nunik puas.
“Kasihan dia …”
“Eh, kok malah dibela? Dia kan yang membuatmu tak pernah tersenyum lagi
beberapa bulan yang lalu? Dan, untung ada Lukas kan?”
“Tidak ada hubungannya dengan Lukas, Nik.”
Nunik meloto gemas.
www.rajaebookgratis.com
“Kau ini, Vio, selalu saja menurutkan emosi. Masak untuk Calvin yang sok itu,
kau mau melepas Lukas?”
“Ah, kau. Aku menyukai Lukas, tapi tidak mencintainya, Nik.”
“Oh ya? Dan sekarang, kau ingi jadi dewi penghibur si kunyuk Calvin ya?”
Viola tak pernah mendengar suara Nunik semarah itu. Nunik pun segera
melangkah meninggalkannya setelah berkata begitu. Viola menarik nafas. Nunik marah
sekali, desisnya di hati.
***
Lukas mengerling kea rah Viola. Gadis itu sedang menunduk menekuri bukunya.
Ada ulangan bahasa Indonesia besok dan mereka diharuskan mengingat semua definisi
gaya bahasa serta gejalanya. Tapi perhatian Lukas sudah tak pada bukunya lagi sekarang.
“Hei, ada apa di wajahku?” tegur Viola memukul lengannya. Lukas tersentak dan
tersenyum manis.
“Aku suka melihatmu. Kau cantik sekali.”
“Setan gombal. Aku tidak ada uang receh nih!”
Lukas tergelak. Ditutupnya buku.
“Vio.”
“Hm.”
“Kemarin, kau pergi ke mana?”
“Renang.”
Lukas menekan dadanya menahan rasa perih yang semakin hebat. Dia tahu,
kenangan manis bersama Calvin di masa dulu, masih begitu kuat melekat dihati Viola.
“Sendiri?” pancingnya, seperti tidak sadar akan bahayanya.
“Tidak. Bersama Calvin,” sahut Viola tenang, sembari membalik bukunya.
Padahal jauh di ujung hatinya ada semacam getaran halus.
“Aku tidak tahu kau akan kembali pada Calvin,” Lukas berkata dengan hambar.
Viola mengangkat mata. Dia tersenyum lebar. Dan Lukas menatapnya dengan
mata sedih.
“Dia mengajakku, Luk. Karena kebetulan aku tak punya teman kemarin, ya,
kuturuti saja.”
“Kau kan bisa mengajakku.”
“Lho, kemarin kau latihan bola kan?”
Lukas menarik nafas jengkel. Viola seolah-olah menganggap remeh perasaannya.
“Kau pintar cari alas an sekarang. Enak ya punya serep? Kalau yang satu tak ada
di tempat, silahkan ajak yang lain,” sindir Lukas.
Viola mencekal lengan Lukas. Tapi cowok itu membuang muka. Dia benar-benar
tersinggung.
“Kau marah ya, Luk? Maaf, aku tidak tahu kalau kepergiaanku dengan Calvin
membuatmu marah. Tapi, Calvin toh masih temanku juga, dan dia ….”
“Dan dia kembali mengincarmu setelah putus dengan Rosa. Tidakkah kau
rasakan, Vio, bahwa Calvin cuma ingin mempermainkanmu? Dia tak pernah sungguh-
sungguh terhadapmu.”
www.rajaebookgratis.com
Sejuta jarum halus menusuk jantung Viola mendengar itu. Hatinya sakit sekali.
“Ya, ya, aku tahu, aku ini bagai pungguk. Aku mengharapkan Calvin akan setia
selamanya padaku, tapi ternyata tidak. Menurutmu, dia cuma ingin main-main. Aku tahu,
aku ini cukup barharga, aku ini ….”
Lukas merengkuh bahu Viola.
“Vio, bagiku, tak ada yang lebih berharga selain dirimu. Tak dapatkah engkau
melupakan Calvin dan belajar menyukaiku?”
“Pulanglah, Luk. Tinggalkan aku sendiri. Ya, tinggalkan aku sendiri.”
Lukas terpana. Ditatapnya Viola, tapi yang ditemukannya hanya seraut wajah
datar tanpa senyum, dingin sekali. Diam-diam Lukas beringsut pergi, membawa luka
dihatinya.
www.rajaebookgratis.com
Hari-hari selanjutnya justru menjadi kosong. Viola juga merasa bahwa Nunik tak
mau lagi menghiburnya. Temannya itu amat marah ketika dia ceritakan pertengkarannya
dengan Lukas.
“Terlalu kau! Kau kecewakan Lukas yang begitu baik padamu! Kau
mengharapkan orang lain setia padamu, tapi kau sendiri? Huh, begitu ada gelagat Calvin
akan kembali padamu, kau mulai menyingkirkan Lukas!”
“Aku … aku tak bermaksud begitu, Nik. Aku cuma ingin Lukas mengerti, bahwa
hanya Calvin yang kurindukan, dan juga yang selalu kuimpikan.”
“Selamanya kau akan bermimpi, Vio! Tak cukupkah pengalaman mengajarimu
bahwa cowok semacam Calvin bagai kincir angina dan tak pernah sungguh-sungguh?
Jangan keras kepala, Vio!”
Dan Viola memang keras kepala. Meskipun akhirnya dia harus mengakui, semua
sikap manis Calvin akhir-akhir ini cuma kedok cowok itu saja guna menggaet Maria, adik
sepupu Viola yang dikenalnya pada sebuah pesta.
Viola mengawasi burung-burung gereja yang terbang ke atas bumbungan rumah
sebelah. Dihelanya nafas. Aku seperti seekor keledai, bisiknya. Jatuh untuk kedua
kalinya, dengan sebab yang sama dan juga karena ketololanku yang sama ….
***
Viola mempertajam pendengarannya ketika dia semakin mendekati ruang piano.
Dia kenal betul dengan denting-denting yang khas itu. Lukas, hanya Lukas yang bisa
bermain piano seperti itu.
“Hai, masuklah.” Lukas berhenti bermain ketika Viola membuka pintu.
“Aku tidak tahu kalau engkau ada di sini. Bukankah giliranmu besok?”
“Ingatanmu kuat juga, Vio. Ya, mestinya aku datang besok. Tapi ada perubahan
jadwal. Kau malah yang di minta datang besok,” kata Lukas tenang, seolah-olah sebelum
ini mereka pernah tak bicara untuk beberapa waktu.
“Oh, aku tidak tahu. Kalau begitu, biar aku pulang saja,” seru Viola sambil
menelan kekecewaannya. Tadinya dia menyangka Lukas datang karena ingin bertemu
dengannya. Ternyata …
“Kau mau mendengar laguku? Aku baru saja selesai menulisnya tadi malam.”
Alis Viola terangkat. Dia tidak tahu kalau Lukas bisa menulis lagu.
“Masih acak-acakan. Tolong bantu ya.”
Viola mengangguk. Dan lagu itu begitu sendu, sehingga Viola hanya dapat berdiri
tegak tanpa memberi komentar apa pun. Lagu itu bagus walau pun di  sana-sini masih ada
nada yang fals. Itu biasa, untuk permulaan.
“Apa pendapatmu, Vio?”
Viola tergagap. Dia tak tahu hendak mengatakan apa. Tapi secara keseluruhan
lagu itu cukup bagus.
“Bagus.”
“Itu saja?” tatap Lukas dengan sinar seperti biasa, lembut dan penuh kasih.
Kemudian ditepuknya pipi gadis itu.
“Kau tidak ingin tahu, untuk siapa lagu itu?”
Viola menggeleng.
“Untuk gadisku,” kata Lukas.
“Oh,” Viola berputar, tak ingin melihat Lukas dengan matanya yang mulai basah.
Dia patut menerima akibat atas kekerasannya selama ini.
“Vio,” panggil Lukas saat Viola membuka pintu. Vio menoleh. Dia melihat
geraham Lukas mengetat.
“Kau tidak ingin tahu siapa gadis itu?” seru Lukas jengkel.
Viola tersenyum pahit.
“Untuk apa?”
“Persetan untuk apa! Kenapa kau keras kepala betul, Vio? Kenapa kau kunci
seluruh pintu hatimu untukku? Tidakkah kau punya perasaan? Hampir gila aku berpisah
darimu dulu. Hampir aku mencekik leherku sendirimelihat kau kembali pada Calvin.
Sekarang saat kulihat kau kembali luka oleh bangsat itu, kau tak juga mau mengerti
perasaanku!”
“Aku tahu aku salah, Luk. Tapi tidak usah kau bangkitkan lagi kenangan buruk
itu. Kalau kau ingin marah, silahkan.”
Lukas menyambar tasnya sambil memandang Viola tajam. Sia-sia semua kerja
keras ini dilakukannya.
“Oke, selamat tinggal, Vio. Selamat bermimpi seribu tahun lagi!”
Lantas, Lukas membanting pintu. Viola mengangkat bahu. Dia duduk di depan
piano. Aku memang akan bermimpi terus, Luk, gumamnya sendiri. Tapi sekarang bukan
Calvin yang kuimpikan, karena dia adalah masa lalu. Yang kuimpikan adalah masa depan
bersamamu, Luk …
Vio terbeliak melihat huruf-huruf kecil dibawah kertas lyang tertinggal itu. Di situ
Lukas menulis, lagu itu untuk gadisnya yang tercinta, terkasih dan yang keras kepala:
Viola..
Viola segera menerjang pintu, melompati dua anak tangga sekaligus.
“Lukas!” teriaknya sekuat tenaga. Lukas baru saja akan membuka pintu mobilnya
waktu mendengar teriakan itu. Viola berlari sambil melambai-lambaikan kertas lagu itu.
Lukas tercengang.
“Ada apa?” desis Lukas dingin.
Viola terengah-engah mencari nafas. “Kau tadi bertanya padaku kan?”
Lukas mengangguk. Viola tersenyum tipis sambil berjingkat mencium pipi Lukas.
Cowok itu terbelalak.
www.rajaebookgratis.com
“Ada pertanyaan lain?”
Mula-mula Lukas terpana, tapi akhirnya dia tertawa tergelak-gelak sambil
merangkul Viola erat-erat.
“Tidak. Tidak ada pertanyaan lagi. semuanya sudah terjawab.”
Viola lega. Ya, semuanya sudah terjawab. Masa lalu telah ditepiskannya sekarang
dan dia bersiap menjalani masa depan bersama Lukas yang setia.

Cinta Dalam Diam

Melalui hati..
Hanya dengan hati..
Tak banyak yang dapat dilakukan oleh Alya kala perasaan itu datang menghampirinya. Dia hanya
bisa diam dan menyimpan perasaannya itu sendiri, di dalam hatinya. Tak ada seorang pun yang
tahu kecuali dirinya sendiri. Nama seorang ikhwan telah bertahta di kedalaman relung hatinya
tapi sungguh tak pernah ia sengaja meletakkan nama itu di hatinya. Perasaan itu pun tak pernah
ia pupuk sehingga bisa berkembang dengan indah.
Melalui hati, ya, hanya dengan hati ia merasakan perasaan itu. Tidak dengan katakata, ucapan,
atau pun tingkah laku yang membuatnya jadi tak berdaya atas rasanya itu. Dialah seorang
muslimah yang sangat pintar memanage perasaannya sendiri.
Tak pernah ia biarkan setan-setan menjerumuskannya ke lembah kenistaan yang pada akhirnya
membuat kurva keimanannya menurun drastis. Jika kesendirian tengah melanda dirinya, bukan
nama itu yang ia pikirkan, melainkan Allah lah yang ia ingat melalui lantunan dzikir yang ia
lafadzkan atau dengan membaca ayat-ayat cinta-Nya yang membuat ia semakin cinta pada
tuhannya. Tak pernah ia menangisi perasaannya terhadap ikhwan itu, walau tak jua bisa dengan
segera ia membuangnya. Sebisa mungkin ia memusatkan pikiran dan seluruh jiwa raganya hanya
untuk Rabbnya. Dan bukan selain-Nya. Pikirnya, kalaupun jodoh tak akan kemana.
***
Di belahan bumi Allah yang lain, seorang ikhwan bernama Fajar tengah memperhatikan tulisan
puisi yang ditulis di secarik kertas, yang dibagian bawahnya tertulis nama seorang akhwat, yang
menandakan bahwa si akhwat lah yang menulis puisi tersebut. Kertas itu ia dapat dari mading
kampus. Tanpa sengaja ia melihat kertas itu terjatuh dari mading dan ia ambil. Setelah dilihat
siapa pembuatnya, ternyata yang membuat adalah seorang akhwat yang namanya sudah lama
bertahta di kedalaman relung hatinya. Namun ia tak menyimpan kertas itu, melainkan ia pajang
kembali di mading, lalu ia pun berlalu tanpa mau memperpanjang khayalnya akan sosok akhwat
itu.
***
Di Rumah Alya.
Disaat ia tengah mengerjakan proposal acara masjid kampusnya, sang ibu menghampiri dirinya
dan duduk di kursi tua di samping dirinya.
“Lagi apa Al?” Tanya sang ibu.
“Ngerjain proposal acara masjid kampus. Ada apa bu?” Jawabnya dengan mengajukan
pertanyaan balik pada ibunya, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
“Nggak. Ibu lagi kangen aja sama kamu.” Jawab ibu yang langsung disambut dengan senyuman
manis Alya. Hanya sebuah senyuman yang membuat ibunya semakin rindu. Entah mengapa
akhir-akhir ini, rasa rindu terhadap anaknya ini begitu besar. Bisa jadi karena selama beberapa
hari ini, dari pagi sampai malam Alya selalu berada di luar rumah, tepatnya di kampus bersama
teman-teman masjid kampusnya untuk persiapan acara seminar motivasi yang sepekan lagi
diadakan.
“Kamu nggak kangen sama ibu Al? “
Alya mengalihkan pandangannya.
“Nggak ada yang Alya rindukan setelah Allah, selain Rasulullah dan Ibu.” Setelah meninggalkan
senyum manisnya lagi di hati ibunya, ia kembali memandang layar komputernya.
“Al, apa selama ini kamu nggak punya teman dekat?” Tanya ibu takut-takut.
“Teman dekat yang bagaimana maksud ibu?” Tanya Alya yang sudah bisa membaca
kemana arah pembicaraan yang ibunya utarakan.
“Yaaa beberapa teman-teman ibu, anak-anaknya hampir semua punya teman dekat.
Apa kamu tidak ingin seperti mereka? “
“Maksud Ibu pacar?” Tembak Alya pada ibunya. Lagi-lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari
layar komputer. Bukan ibu yang ngomong loh. Kamu ya yang barusan bilang pacar. Ibunya
berusaha mengelak meskipun memang itu maksudnya. Alya hanya tersenyum kecil tanpa
mengeluarkan sepatah katanya lagi. Dia hanya ingin diam.
“Kok diam Al?” Tanya ibunya.
Kali ini Alya memutar kursinya kearah ibunya. Dengan diawali senyuman, ia pun 
mulai berkata,
“Bu, tanpa seorang pacar disamping Alya, Alya sudah sangat bahagia sekali dengan
adanya ibu, ayah, dan semua keluarga kita disamping Alya. Dan Alya nggak butuh
seorang pacar untuk dapat menemani Alya kemana-mana, karena sudah ada Allah. Dan
kalaupun Alya ingin mencari seorang pendamping, bukan pacar yang Alya cari,
melainkan suami. Suami yang bisa menuntun dan membimbing Alya kearah yang lebih
baik. Ibu nggak perlu khawatir ataupun cemas jika Alya nggak seperti anak dari teman-teman Ibu,
karena Alya yakin, apa yang Alya jalani saat ini adalah jalan kebaikan dengan cara yang baik dan
untuk menuju sesuatu yang baik pula. Ibu mengerti kan? “Sang Ibu hanya menatapnya penuh
haru. Betapa mulianya hatimu nak, hatinya membatin. Lalu ia pun kembali bertanya,
“Lalu, apa saat ini ada sosok yang kamu cenderungi Al? “
Jujur, Alya sangat terkejut atas pertanyaan ibunya itu karena saat ini memang ada nama lain di
hatinya yang akhir-akhir ini mengusik hatinya, namun segera ia tepis keterkejutan itu dengan
istighfar dalam hatinya.
“Kalaupun ada, memang kenapa?” Jawab Alya tanpa harus jujur meski tak jua berbohong.
“Ehm. Ya nggak kenapa-kenapa sih. Ibu hanya ingin memastikan kalau saat ini anak ibu sudah
dewasa. Sudah bisa memilah-milah mana yang terbaik untuk dirinya. Ya sudah, kalau begitu
teruskan lagi kerjaan kamu. Ibu tinggal dulu ya? “
Alya hanya tersenyum. Lagi-lagi hanya senyuman yang menutup perbincangan dia dengan ibunya.
Dia tak berusaha untuk memunculkan wajah ikhwan itu meskipun dalam hatinya sangat ingin.
Namun ia tahu bahwa itu dosa. Dia kembali terus beristighfar sambil terus melanjutkan
pekerjaannya. Dan rasa itu, biar hatinya saja yang merasakan. Tak perlu diungkapkan apalagi
dibeberkan ke khalayak ramai. Tak perlu dengan kata-kata dalam memaknai rasa itu. Cukup
melalui hati, hanya dengan hati. Dan diam adalah kunci dari semua masalah itu.
***
Di Masjid kampus.
Saat ini mereka tengah asyik syuro di dalam masjid kampus. Sedang membicarakan segala yang
akan dipersiapkan untuk acara training motivasti pekan depan. Alya yang bertugas sebagai
sekretaris tengah mengutak atik laptopnya. Masih ada pembetulan surat disana sini. Sementara
itu, Fajar yang juga tengah sibuk dengan berbagai macam kertas dihadapannya, sudah tak
sempat lagi mengangkat telepon yang masuk ke ponselnya. Namun karena ponselnya sudah
bunyi berkali-kali, akhirnya dia memaksakan diri untuk menjawabnya.
“Ya Assalamualaikum” Ucapnya sambil tak melepaskan pandangnya dari kertas yang ia pegang.
Kertas itu adalah surat permohonan dana kepada sebuah perusahaan yang akan ia datangi untuk
pengajuan proposal acara training motivasi. Namun tiba-tiba ia terdiam mendengar suara yang
keluar dari ponselnya. Suara itu suara ayahnya, yang mengabarkan kalau ibunya harus dilarikan
kerumah sakit karena terjatuh di kamar mandi dan kepalanya terbentuk lantai kamar mandi.
Seketika itu pula ia pun segera pamit kepada seluruh temannya yang hadir kala itu sambil
menjelaskan bahwa kepulangan dia yang mendadak ini karena ibunya masuk rumah sakit. Namun
masih ada satu permasalahan lagi, ia seharusnya pergi ke sebuah perusahaan untuk mengajukan
proposal permohonan dana. Dan saat ini ia masih bingung, siapa yang akan menggantikannya
pergi ke perusahaan itu.
“Ana saja!” Ucap Alya ditengah kebingungan para teman-temannya.
“Alhamdulillah!” Sahut Fajar.
“Kalau begitu ana minta tolong ya ukh, untuk pergi ke perusahaan ini. Ini surat
pengajuan dana dan proposalnya.” Lanjutnya sambil memberikan dua benda yang ia sebutkan
tadi pada Alya. Alya pun menerimanya.
“Memang kamu tahu tempatnya Al?” Tanya Gaby, salah satu teman akhwatnya.
“Kan ada kamu..” Jawab Alya sekenanya.
“Maksudnya?” Tanya Gaby tak mengerti.
“Buat apa aku punya teman yang tahu jalan sekaligus punya motor seperti kamu,kalau nggak aku
manfaatkan. Hehehe” Jawab Alya sambil terkekeh pelan. Yang dimaksud pun hanya terdiam
sambil memancungkan mulutnya. Dan semua yang ada pada saat itu pun juga ikut tertawa,
kecuali Fajar.
“Eh, afwan ya akh” Ucap Alya pada Fajar. 
“Iya nggak apa-apa. Kalau begitu ana pamit dulu ya. Assalamualaikum “
“Waalaikumussalam.” Sahut seluruh teman-temannya. Namun belum jauh Fajar melangkah, dia
kemudian menoleh lagi.
“Ada apa lagi akh?” Tanya Alya spontan.
“Syukron ya ukh atas bantuannya.” Ucap fajar. Alya tersenyum.
“Sama-sama. Semoga ibu antum cepat sembuh ya? “
Fajar mengangguk kemudian segera melanjutkan langkahnya. Dalam kegamangan langkahnya,
entah mengapa seperti ada kegamangan lain yang tiba-tiba saja menyergap dirinya. Kegamangan
dan kecemasan akan kehilangan sesuatu. Tapi kenapa?? Dia tak hiraukan rasa itu. Mungkin hanya
perasaannya saja karena kekhawatirannya terhadap ibunda tercinta.
Di saat yang sama, Alya sudah mematikan laptopnya dan bersiap berangkat ke perusahaan yang
ingin ia tuju bersama dengan Gaby. Setelah pamitan, mereka pun segera bergegas pergi
menyusuri gersangnya jalanan ibu kota dengan semangat yang menggebu- gebu, demi sebuah
acara yang mulia, yang bisa turut serta memajukan idealisme generasi bangsa.
***
Tiga jam berselang, di kediaman Alya
“Assalamualaikum” Ucap Ibunda Alya mengangkat telepon. Tiba-tiba ia terkejut setelah
mendengar kabar dari si pembawa berita di sebrang sana. Orang itu dari pihak kepolisian, yang
mengabarkan bahwa Alya mengalami kecelakaan. Dan yang membuat ibunya lebih syok lagi,
pihak kepolisian itu mengabarkan bahwa dalam kecelakaan itu, Alya meninggal di lokasi kejadian.
Tubuh sang ibu sudah tak dapat lagi tertahankan. Seluruh keluarga yang menyaksikan hal itu
panik dan ayah mengambil gagang telepon. Reaksi yang ditimbulkan ayah pun sama, namun tak
seperti ibu yang pingsan.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi kerumah sakit, dan benar saja, jasad Alya sudah di
tutup oleh kain putih. Pihak keluarga tak kuat melihat hal itu. Ibunya kembali pingsan sementara
kakak dan adik-adik Alya berusaha menenangkannya. Di waktu yang sama, pihak kepolisian
tengah berbincang dengan ayah. Mereka mengatakan, penyebab kecelakaan itu adalah, ada
sebuah bus yang melaju kencang dari arah berlawanan, yang berusaha menyalip dari jalur lain,
yang kebetulan di jalur itu, motor yang tengah ditumpangi Alya tengah melaju kencang.
Terjadilah kecelakaan itu.
Gaby yang mengendarai motor masih dalam keadaan kritis. Dia koma dan belum sadarkan diri,
sementara Alya tidak dapat terselamatkan dan menghembuskan nafasnya yang terakhir di lokasi
kejadian. Betapa terpukulnya hati sang ayah. Dia kembali kepada keluarganya dan segera
mengurus kepulangan jenazah Alya dari rumah sakit.
***
Di rumah sakit, di waktu yang sama. Fajar masih terus menatapi wajah ibunya yang belum juga
sadarkan diri dari komanya. Namun tiba-tiba ia melihat garis lurus yang timbul di layar monitor
yang ada disamping ibunya yang tengah terbaring. Diapun segera memanggil keluarganya dan
dokter yang bertugas kala itu. Setelah beberapa saat dokter memeriksa keadaan ibunya,
Alhamdulillah ibunya masih bisa diselamatkan.
Di tengah kesedihannya karena ibunda tak kunjung sadar, tiba-tiba Fajar mendapat telepon dari
Amir sahabat masjid kampusnya kalau Alya meninggal dalam kecelakaan menuju perusahaan
yang ingin ia kunjungi bersama Gaby. Bagai dihantam godam besar, keadaan Fajar kala itu. Entah
bagaimana perasaannya saat ini. Ingin mengutuk dirinya karena telah menyebabkan Alya pergi ke
perusahaan itu sehingga terjadilah kecelakaan
yang merenggut nyawa Alya, tak mungkin ia lakukan karena itu sama artinya dengan menolak
takdir dan ketetapan Allah. Tapi tidak ingin merasa bersalah pun juga tak bisa, sebab seharusnya
Alya tak pergi kemana-mana jika ia yang pergi pada saat itu. Tapi itu juga tak mungkin ia lakukan
sebab ia harus pergi kerumah sakit melihat keadaan wanita tercintanya kala itu. Yang dapat ia
lakukan saat ini adalah berdoa untuk sang ibu yang belum sadar juga dari koma dan untuk Alya
yang telah pergi mendahuluinya.
***
Di kediaman Alm. Alya Semua yang hadir pada saat itu turut serta mengirimkan doa untuk Alya
yang pergi secepat itu. Jasad Alya diletakkan di tengah-tengah ruang tamu. Fotonya yang
menyunggingkan senyum termanisnya pun dipajang di dekat kepalanya. Tak ada yang tak
menangis kala itu. Terutama teman-teman kampusnya yang sama sekali tak percaya akan
kepergian Alya yang begitu cepat.
Ditengah suara orang-orang yang sedang membacakan surat Yasin untuk Alya, tiba - tiba Fajar
datang. Dia mengucapkan turut berbela sungkawa pada keluarga Fajar lalu segera bergabung
dengan teman-teman yang lain untuk membacakan surat Yasin.
***
Di kamar Alya.
Ibunya membuka-buka buku harian Alya. Siapa tahu ada sesuatu yang penting yang Alya tulis
sebelum ia pergi meninggalkan dunia ini. Ada !! Sebuah puisi.
Aku tak mengerti dengan rasa dalam hatiku
Aku hanya bisa merasakannya lewat hati
Hanya dengan hati
Tak perlu dengan kata-kata
Karena kata hanya akan membuat luka
Aku akan terbang jauh
Bersama anganku yang melayang
Menerawang menembus angkasa
Lalu jatuh bersama derai air mata
Aku tak akan mau mengingatmu
Demi rasa harus sembunyikan cinta
Demi rasa sedih karena tak bisa berbagi cinta
Demi rasa sakit memendam asa
Akan kupendam dalam-dalam cinta ini
Dan akhirnya, demi cinta itu sendiri
Ibunya kembali menangis. Belum sempat ia selesai membacanya, ia tutup kembali buku harian
anaknya itu dan ditaruhnya di laci meja belajarnya. Tanpa ia sadari, di akhir puisi itu, ada nama
seorang ikhwan yang Alya maksudkan.
Teruntuk Fajar Ariswandi
***
Setelah dimandikan, dishalatkan, dan dikafankan, jenazah Alya pun segera dikebumikan. Semua
teman-temannya ikut mengiringi kepergian Alya untuk yang terakhir kalinya.
Setelah dibacakan doa, semua yang hadir pada saat itu pun pulang. Keluarganya pun juga pulang
setelah menaburkan bunga diatas tumpukan tanah yang menimbun jasad Alya. Fajar yang kala itu
juga turut mengantarkan jasad Alya, tiba-tiba mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya.
Secarik kertas bertuliskan puisi yang pernah ia baca dari mading kampus. Dibagian bawahnya
tertulis sebuah nama yang pernah mengisi relung hatinya.
 

Cinta dari Rumah Hijau

Irvan melamun di bangkunya ketika pelajaran kosong. Dia tak berniat ke luar
untuk ke kantin atau ngobrol. Dia masih merasa asing dengan suasana yang baru
satu minggu dikenalnya itu.
Seseorang menepuk bahunya dan duduk di bangku di depannya.
“Melamun, eh? Bagaimana komentarmu tentang sekolah ini?” tegur Riki.
“Cewek kelas satu cakep-cakep, ya?” ujar Irvan meringis.
Riki tersenyum. “Jangan jauh-jauh. Kelas ini juga punya cewek cakep, lho,”
katanya. “Si Mirsa misalnya, yang duduk di ujung kiri depan itu. Atau Linda si kacamata
minus yang rambutnya bagus. Lalu Rita, Yanti … wah, banyaklah! Tapi rata-rata sudah
punya pasangan, Van.”
Irvan nyengir mendengar promosi itu. Lantas teringat olehnya sebuah nama.
“Ada yang namanya Ristania Vidyani di sekolah ini, Rik? Kelas dua seperti kita
juga kalau tidak salah.”
Riki menatap Irvan setengah heran. Saat itu seorang gadis masuk. Riki melirik,
lalu menyentuh lengan Irvan yang sedang mencorat-coret buku.
“Tuh yang kau cari!” bisiknya.
Irvan menoleh, mengamati gadis itu. Itukah Tania? Cowok itu menemukan sosok
tubuh sedikit kurus, jangkung dengan rambut pendek. Gayanya tak acuh. Irvan masih
menatap ketika gadis itu menoleh padanya. Wajahnya yang buram dan bermata tajam
membalas. Dahi itu berkerut tak senang. Lantas dia berbalik ke bangkunya, mengambil
sesuatu dan keluar tanpa menoleh lagi.
“Bagaimana?” tanya Riki menyadarkan Irvan. “Tidak cakep kan? Tapi menarik
dengan keangkuhannya itu. Dia selalu menghindari cowok-cowok yang jatuh cinta
padanya. Jadi kalau kau mau akrab dengannya, jangan sampai jatuh cinta …”
Irvan diam. Benaknya berputar-putar. Gadis itukah yang membuat Fadil jatuh
bangun karena mencintainya? Fadil, sepupunya yang tampan dan banyak di kagumi
cewek-cewek karena senyumnya yang memikat itu, jatuh cinta pada Tania? Aneh
rasanya. Tania tidak cantik, wajahnya dingin dan mungkin hatinya juga beku.
“Engkau belum mengenal dia, Van. Tania tidak cantik, tapi ada sesuatu pada
sikapnya yang menarik cowok-cowok. Dekati dia dan … kau akan tahu, bahwa apa yang
ku katakan benar,” ujar Riki seolah dapat membaca jalan pikiran Irvan.
Bel berbunyi. Riki meloncat turun dan duduk di sebelah Irvan. Anak-anak
berdesakan masuk kelas. Pelajaran kimia akan segera dimulai.
***
Irvan merobek sampul surat dari Fadil, sepupunya yang pindah ke Malang
semester kemarin.
…jadi kamu satu sekolah bahkan sekelas dengan Tania? Mudah-mudahan kamu
bisa cocok dan akrab dengannya, Van. Jangan sampai jatuh cinta pada Tania, lho.
www.rajaebookgratis.com
Bukan apa-apa, Cuma supaya kamu tidak kecewa nanti, kayak aku. Dengan dia lebih
baik bersahabat saja. Dia baik, penuh perhatian. Sampai sekarang dia tidak tahu kalau
aku mencintainya. Aku takut dia berubah kalau tahu hal ini. Dia Cuma tahu aku
sahabatnya. Oke, Van. Salamku untuknya, ya?
Turun dari mobilnya, Irvan menangkap bayangan Tania melangkah ke pintu
gerbang sekolah sendirian. Cepat dia mengunci pintu mobil dan bergegas menjajari
langkah Tania.
“Hai, selamat pagi!”
Tania menoleh sekilas. “Pagi juga,” sahutnya. Keduanya beriringan memasuki
halaman sekolah.
“Ada salam dari Fadil,” kata Irvan setelah diam.
“Fadil?” dahi Tania berkerut. “Yang jangkung, rambut keriting?”
“Ya, Fadil Rianto.”
Gadis itu diam lalu, “Dia apamu?”
“Sepupu. Dia pindah ke Malang kan?”
“Oh. Dia tak pernah kirim surat, sms atau telpone padaku,” gumam Tania.
“Oya? Mungkin dia sibuk pacaran.”
“Ah?” ada nada kaget dalam suara Tania. “Sejak kapan dia pacaran?”
“Mmm … dua bulan mungkin,” Irvan menoleh dan bertemu mata dengan gadis
itu. Mata bundar itu seperti bersedih. Benarkah? Tapi mengapa?
“Kenapa?” tanya Irvan lagi.
Tania seperti baru sadar dan cepat memperbaiki sikap.
“Tidak apa-apa. Sampaikan salamku buat Fadil … dan gadisnya!”
***
Irvan sering melihat gadis itu lewat di muka kelasnya. Dan bila dia menenggok,
gadis itu tersenyum manis sekali. Kemudian beberapa temannya menyampaikan, ada
salam dari Meinar. Namanya Meinar. Meinar Mayasari, anak kelas tetangga II-IPA-3,
Meinar sicantik yang manja, yang gemar menarik perhatian Irvan, dan rupanya gadis itu
sudah berhasil merebut hati Irvan. Kemudian keduanya saling terlihat bersama-sama.
“Kamu pacaran sama Meinar, ya?” cetus Riki waktu pulang sama-sama. Irvan
tidak menyahut. Temannya melirik tajam, kemudian menarik nafas panjang pelan-pelan.
“Memang kenapa?” tanya Irvan curiga.
“Tidak apa-apa,” sahut Riki. Tapi Irvan tak percaya dan mendesaknya. Lantas
cowok itu bercerita bahwa Meinar punya hobby yang sudah terkenal, yaitu ganti-ganti
pasangan. Dia pembosan.
“Aku cuma sekedar kasih tahu, Van, sebagai teman. Mudah-mudahan kamu
pelabuhan terakhirnya,” kata Riki hati-hati.
“Jadi dia tidak berbeda dengan Taniamu kan? Tania juga banyak membuat cowok
patah hati,” ejek Irvan.
“Tidak sama, Van. Dan jangan sebut dia Taniaku.” Riki diam sejenak. “Meinar
membuat cowok-cowok patah hati setelah memberi mereka harapan dan kesempatan buat
menggapai hatinya. Tapi Tania tidak. Dia tidak memberi mereka harapan. Dia bahkan
menghindar jika ada yang mencoba menyentuh hatinya.”
“Kamu membelanya mati-matian, Rik. Kau menyukainya?”
“Tidak ada alas an buat membenci Tania, Van,” balas Riki diplomatis.
“Tentu ada, bagi mereka yang dijauhi Tania. Mereka tentu sakit hati.”
“Kurasa tidak perlu. Toh Tania belum menyalakan lampu hijau. Dan mungkin
mereka akan lebih sakit hati jika gadis itu nantinya Cuma main-main.” Riki menatap
kendaraan di depannya setengah melamun. “Terkadang, bersahabat itu lebih
menyenangkan daripada berpacaran,” tambahnya. Irvan mengiyakan dalam hati.
***
“Pulang sekolah aku praktikum, Van. Jemput, ya?” pinta Meinar manja waktu jam
istirahat.
“Hari ini, Mei? Biasanya kan hari Rabu? Aku … “
“Kenapa? Tidak bisa ya?” potong Meinar ketus.
“Ya. Soalnya aku ada janji mau mengantar Mama ke Sumedang, Mei.”
“Ah!” sentak Meinar kesal. “Kenapa bukan kakakmu saja ?”
“Doni ujian siang ini, Mei,” jawab Irvan sabar. “Sesekali ini saja, Mei. Tidak apa-
apa kan?”
“Terserah! Masih banyak yang mau mengantar aku kok!” kata Meinar sengit.
“Kamu pacaran deh sana!”
“Mei!”
Tapi gadis yang sedang merajuk itu sudah berlari ke kelas. Irvan termangu. Gadis
itu cepat sekali tersinggung. Mereka baru dua bulan pacaran, tapi sudah seringkali
bertengkar. Seperti minggu lalu, Irvan terlambat apel karena Rika, adiknya, minta di antar
ke pesta ulang tahun temannya. Sialnya, rumah teman Rika bertolak belakang dengan
rumah Meinar. Akibatnya gadis itu merajuk dan diam seperti patung sampai Irvan
pulang.
Irvan menghela nafas. Dia sendiri tidak mengerti kenapa dia masih bertahan
dengan Meinar. Dia tahu Meinar egois, tidak mau mengalah, tidak mau mengerti orang
lain, tapi Irvan pun belum yakin, apakah dia mencintai Meinar atau tidak. Lalu apa yang
menahannya? Cowok itu tidak mengerti. Meinar tidak bisa berdiri sendiri. Tidak seperti
… Tania! Hah? Dia kaget sendiri.
Dan tiba-tiba makhluk yang baru mampir di benaknya itu muncul di depannya.
“Di mana alamat Fadil, Van?” tanyanya mengagetkan.
“Oh … eh, apa katamu?”
“Alamat Fadil di Malang. Dia sebentar lagi ulang tahun kan? Aku ingin kirim
kartu.”
“Engkau masih ingat tanggalnya?” tanya Irvan setelah menyebut alamat
sepupunya.
www.rajaebookgratis.com
www.rajaebookgratis.com
“Mungkin aku tidak bisa melupakannya,” cetus Tania tanpa sadar. Seketika
mukanya merah padam. Hal itu membuat Irvan bertanya dalam hati, apakah Tania jatuh
cinta pada Fadil.
Tania menggumamkan terima kasih lalu pergi. Malu rasanya sudah berkata tanpa
sadar tadi. Itu adalah rahasia hatinya yang disimpan rapat-rapat. Bagaimana kalau Irvan
bisa menebak? Mudah-mudahan Irvan tidak tahu. Mendadak saja dadanya terasa perih.
Menurut, Irvan Fadil sudah punya pacar. Apakah aku masih berani mengharapkannya?
Sedang dia tak pernah tertarik padaku. Tania mendesah seraya menaiki tangga menuju ke
kelasnya.
***
Irvan masuk ke mobilnya. Ke mana Meinar? Sudah beberapa kali gadis itu tidak
berhasil di jumpainya. Di sekolah pun dia menghindari pertemuan dengan Irvan. Apakah
… pikiran Irvan terbang pada ucapan Riki dulu. Dia punya hobby menaklukkan hati
cowok-cowok, Van. Dia pembosan. Dia … Irvan menggeram. Kenapa aku tiba-tiba
kecewa? Apakah aku mulai mencintainya?
Dijalankannya mobilnya tanpa tujuan yang pasti. Dia tiba di pusat perbelanjaan
yang selalu sibuk. Dan dadanya berdenyut ketika matanya menangkap bayangan Meinar
keluar dari Mall. Gadis itu tidak sendiri. Dia bergayut manja di lengan seorang cowok.
Irvan memejamkan matanya. Ah, itu kan Mark, si Indo jago basket, kakak kelas mereka.
Irvan tidak tahu apa yang menuntutnya untuk berhenti di depan teras rumah hijau
lumut itu. Pikirannya kusut. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia merasa sakit hati.
Mark merebut Meinar! Tapi, benarkah dia merebut? Apakah bukan Meinar yang justru
tertarik pada Mark setelah bosan dengan dirinya?
Irvan turun dan memijit bel. Aku tidak merasa mencintai Meinar, tapi kenapa aku
terus memikirkannya? Lantas dia menganggkat bahu tak peduli. Pintu terbuka dan di
depannya berdiri Tania. Gadis itu nampak terkejut.
“Hei, tumben! Masuk, Van.”
“Aku tidak mengganggu kan?”
Tania menggeleng. Dia melihat mata Irvan yang murung. Dia ingin tahu
penyebabnya, tapi ditahannya mulutnya untuk bertanya. Kalau Irvan merasa perlu
bercerita, pasti nanti dikatakannya.
“Duduk, Van. Aku ambil minum dulu, ya.” Tania melangkah ke dalam. Irvan
menatapnya sampai lenyap.
Gadis itu muncul lagi dengan membawa baki berisi 2 gelas sirup dan satu toples
kue. Lantas dia duduk di seberang tamunya dan diam. Dia merasa Irvan sedang tak ingin
ngobrol, karena itu diraihnya majalah.
“Nia,” panggil Irvan setelah lama terdiam. “Kok diam terus seeh?”
“Soalnya kamu juga tidak ingin ngobrol kan?”
Irvan tersenyum kecut mendengar jawaban Tania.
“Tidak tanya sebabnya?”
“Kamu pasti cerita sendiri kalau merasa perlu.” Tania tersenyum samar.
www.rajaebookgratis.com
“Kamu percaya kalau saat ini aku katakana sedang patah hati, Nia?” suaranya
pahit. Tapi dicobanya untuk tersenyum. Gadis itu mengamatinya dengan alis terangkat
sebelah.
“Meinar?” tebak gadis itu.
“Kok tahu?”
Tania tersenyum. “Kemarin-kemarin ini kupikir kamu tidak benar-benar naksir
dia. Ternyata?” gadis itu menggangkat bahu.
“Memang. Aku Cuma senang melihat manjanya.”
“Minummu, Van,” sela Tania. Irvan memandang heran. Dia merasa Tania tidak
senang topic pembicaraan itu.
“Bagaimana Fadil? Dia sudah membalas suratmu?” Irvan mencoba mengalihkan
pembicaraan.
“Oh, ya. Baru tadi siang tiba,” suara Tania tak acuh. Tapi Irvan menangkap sinar
ceria di mata yang biasa buram itu. Tiba-tiba dia ingin mengorek isi hati gadis itu.
“Tau tidak Nia, menurut Fadil, ceweknya itu mirip kamu,” pancing Irvan.
“Enak saja menyamakan orang!” sergah Tania tersipu. Dia menunduk
mempermainkan majalah di pangkuannya.
“Benar, Nia. Dan tahukah kau kenapa dia memilih yang persis dirimu?” Irvan
menatap mata gadis itu.
“Kenapa? Apakah … Tania nampak gelisah.
“Ya, karena dia menyenanggimu.”
Mata Tania membelalak. Lantas dia menggeleng dan bergumam lirih. “Tidak.
Tidak mungkin. Kenapa dia tidak pernah mengatakannya padaku?”
“Karena dia takut engkau menjahuinya.”
“Oh,” desis Tania sambil berpaling. “Salahku.”
Irvan menghela nafas panjang sambil menggigit bibir. Dia mencintai Fadil,
pikirnya sedih. Dan fadil juga mencintainya. Sayang mereka tidak tidak saling
memahami perasaan masing-masing sejak dulu.
Tania mengerjapkan matanya. Gadis itu sudah bisa menguasai diri. Dia menoleh
pada Irvan seraya menjangkau tutup stoples. “Kuenya dimakan dong, Van,” tawarnya.
“Aku tidak tahu,” sahutnya ragu-ragu. Dan Irvan tak ingin mendesak lagi. mereka
lalu mengalihkan pembicaraan ke masalah lain.
***
Irvan melirik arlojinya. Seperempat lagi bel pulang berbunyi. Diperiksanya sekali
lagi jawaban ulangan matematikanya sebelum bangkit, lalu ke luar setelah meletakkan
kertasnya di atas meja guru.
Melewati kelas III-IPA-3, dilihatnya kels itu kosong. Jam bebas rupanyaketika
sampai di anak tangga paling bawah, matanya menangkap bayangan Meinar yang sedang
berjalan sendiri. Dia bergegas menghampiri.
“Apa kabar, Mei?” tegurnya. “Kalau kau tak keberatan, aku ingin ngobrol.”
“Tentang apa?” tanya Meinar kaku.
“Kita,” sahut Irvan sembari menuntun gadis itu ke bangku semen di bawah pohon
nangka.
“Aku melihatmu kemarin dulu sama Mark,” cetus Irvan kalem.
Meinar terperanjat. Tapi kemudian dipandangnya cowok itu dengan mata
mengejek.
“Lantas, kenapa?” tantangnya sinis.
“Tidak apa-apa. Aku cuma heran, kenapa engkau tidak terus terang kalau kau
menyukai Mark. Aku tidak keberatan Mei. Aku cuma tidak senang karena engkau selalu
menghindariku,” lanjut Irvan.
Meinar menatapnya tak percaya. Tidak disangkanya Irvan akan berkata setenang
itu, tanpa nada sinis atau sakit hati. Matanya juga tetap biasa, tiada sinar dendam di sana.
Meinar sedikit kecewa, karena ternyata cowok itu tidak seperti mereka yang pernah
dikecewakannya.
“Engkau tidak mencintaiku rupanya,” ujar Meinar.
“Aku menyukaimu, Mei,” Irvan tersenyum. Diulurkan tangannya. “Kita tetap
bersahabat kan?”
Meinar balas tersenyum dan menyambut tangan itu.
“Terima kasih karena engkau tidak membenciku, Van.”
“Ayo ke luar, Mei. Mungkin Mark sudah menunggumu.”
***
Waktu berlalu demikian cepat. Libur semester sudah dimulai. Pada hari ketiga,
Fadil muncul dengan senyum khas serta ransel lusuh di tangan.
“Anybody home?” serunya ketika masuk ke rumah Irvan lewat garasi yang
terbuka.
Irvan menoleh dengan terkejut, tapi segera tersenyum lebar.
“Mengagetkan saja, kau! Naik apa, Fad?”
“KA. Kok sepi, sih?” Fadil menuju lemari es mencari minuman. Diambilnya
sebotoh teh botol.
“Semua pergi ke Jakarta. Tinggal aku dan Doni. Ayo makan, Fad!”
Fadil tak menolak. Dia segera menarik kursi makan di sebelah Irvan.
“Cewekmu kok tidak diajak, Fad?”
“Dia ada acara keluarga.” Fadil meneguk the botolnya. “Apa kabar, Tania?
Tambah manis?”
“Kamu masih mencintainya?”
“Dia cinta pertamaku, Van,” kata Fadil setelah diam beberapa saat. “Kamu tahu,
melupakan cinta pertama itu amat sukar, meskipun aku tidak berhasil meraihnya … “
Irvan hampir membuka mulutnya, mengatakan bahwa Tania juga menaruh hati
pada Fadil. Tapi tidak ada gunanya lagi. fadil sudah punya pacar, untuk apa menceritakan
hal itu? Dia tidak mau Fadil guncang dan berubah pikiran.
“Tapi aku sudah mendapatkan Nina, Van. Dia baik, dan kami saling
menyayanggi,” Fadil tersenyum bahagia. “Engkau harus bertemu dia, Van.”
Irvan menatapnya lega.
www.rajaebookgratis.com
www.rajaebookgratis.com
***
Ketika sedang putar-putar kota, tiba-tiba Irvan teringat Tania. Diajaknya Fadil ke
rumah gadis itu.
“Boleh saja. Aku juga kangen,” ujar Fadil.
Irvan menghentikan mobilnya di depan teras rumah hijau lumut itu. Seorang gadis
muncul membuka pintu setelah Irvan menekan bel. Wajahnya manis, dia menatap Irvan
sebentar, lalu beralih pada Fadil. Dia mengerutkan kening seolah mengingat-ingat.
“Lupa, Ray? Aku Fadil!” Fadil tersenyum mengulurkan tangan.
Gadis itu berseru senang. Disambutnya tangan Fadil.
“Tidak pernah main kesini lagi, Fad? Sombong, ya?”
“Aku kan pindah ke Malang. Hei, kenalkan tuh. Irvan, sepupuku. Van, ini adik
Tania, soraya.”
“Kupanggil Mbak Nia, ya. Dia pasti senang,” ujar Soraya setelah berjabatan
dengan Irvan.
“Eh Ra, jangan bilang ada aku, ya? Bilang saja ada Irvan,” pesan Fadil.
Soraya mengangguk dan menghambur ke dalam. Kedua cowok itu menanti di
teras
Tak berapa lama, seseorang muncul di pintu. Fadil dan Irvan menoleh. Tania
tegak di situ, matanya terpaku memandang Fadil.
“Fadil … “ desah Tania lirih. Matanya berbinar penuh rindu. “Apa kabar?”
“Baik, Nia. Kamu tambah kurus, lho,” Fadil tersenyum. “Aku kangen sama kamu,
Nia.”
“Aku juga,” wajah Tania memerah, seperti malu mengakui hal yang benar-benar
dirasakannya itu.
Irvan mengamati gadis itu sepenuh hati. Tania menyukai Fadil, pikirnya. Padahal
mereka sudah lama berpisah. Dan mendadak Irvan merasakan denyut-denyut asing di
dadanya. Sakit sekali. Aku cemburu. Cowok itu tersentak. Cemburu? Apakah aku
menyukai Tania? Benarkah?
“Melamunkan siapa, Van?” goda Tania ceria.
“Soraya mungkin,” sambar sepupunya. Irvan melotot.
“Benar? Aku panggil dia, ya?” Tania lalu masuk ke dalam.
“Sialan kamu, Fad. Seenaknya!” sungur Irvan.
Fadil terbahak. Akhirnya mereka ngobrol berempat. Dan Soraya rupanya cukup
menyenangkan. Gadis kelas 3 SMP itu lincah dan senang ngobrol.
***
Telepon berdering ketika Tania hendak mandi sore. Rumah sepi, karena itu dia
bergegas menuju meja telepon dan mengangkatnya.
“Halo … “
“Bisa bicara dengan Soraya?”
“Hmm … Sorayanya lagi pergi. Dari siapa?”
www.rajaebookgratis.com
“Ini Tania, ya? Ini Irvan.”
“Oh. Raya lagi ke rumah temannya. Pukul tujuh baru pulang. Ada pesan, Van?”
tanya Tania dengan dada berdesir. Hmm … Irvan makin akrab dengan Soraya, pikirnya.
Kenapa aku begini resah?
“Tidak ada, Nia. Nanti saja aku telepon lagi. kamu sedang mengapa? Sudah lama
kita tidak ngobrol ya?”
“Mau mandi, Van. Ayo, ah!”
“Ayo!” Irvan termangu di seberang sana. Dia tidak mau ngobrol denganku. Dia
memang tidak pernah menyukaiku. Ah!
Tania meletakkan telepon dengan bingung. Kenapa aku jadi begini? Bukankah
aku menyukai Fadil? Tapi dia sudah punya pacar. Aku tidak mau mengganggunya. Lalu
Irvan? Yang tidak acuh, tapi punya mata bagai magnit itu? Dia simpatik. Tania
mengeluh, apakah aku tetarik padanya?
Malamnya, waktu mengerjakan PR Matematika, didengarnya telepon berdering.
Lalu suara langkah-langkah adiknya. Lalu suaranya yang ceria. Hati Tania mendadak
perih.
***
Hari ini Tania duduk sendiri. Susan sakit rupanya. Irvan mendekati gadis itu dan
tanpa permisi duduk di sampingnya. Tania tidak bisa protes karena guru sudah datang.
Dan percuma pula pindah duduk, karena saat ini sudah dua jam terakhir.
“Apa kabar, Nia?” tegur Irvan tersenyum.
Tapi Tania cuma mendengus. Diaduknya tas mencari jangka dan penggaris
panjang. Irvan ikut-ikutan mengeluarkan alat gambarnya.
“Kok jadi pendiam sih, Nia?” usik Irvan lagi.
“Dan kamu, kapan jadi cerewet eh?” tukas Nia ketus.
“Nia,” panggil Irvan seraya menyentuh lengan gadis itu. Tania mengelak, lantas
membelalak.
“Jangan usik aku kalau tidak ingin aku pindah duduk!” desisnya kasar. Irvan
memandangnya tak mengerti. Tania berpaling dari mata yang menarik itu.
“Ada apa sih denganmu, Nia?”
“Tidak ada apa-apa. Aku cuma ingin belajar,” sekejap diliriknya Irvan. Kemudian
dia kembali memandang papan tulis.
Bel pulang berdentang. Tania membereskan mejanya.
“Pulang sama-sama yuk, Nia? Mobilmu masuk bengkel kan?” ajak Irvan.
“Makasih, Van. Aku tidak ingin merepotkanmu,” sahut Tania sopan, tapi kaku.
Irvan melongo mendengarnya. Ketika gadis itu bangkit, Irvan menarik tangannya.
“Kenapa engkau jadi berubah, Nia? Aku tidak repot. Aku ingin ngobrol
denganmu.”
Tania menarik tangannya. “Maaf, Irvan. Aku sudah janji dengan Bram untuk
pulang sama-sama,” dia tersenyum manis sekali sebelum berlalu.
Irvan terpaku menatapnya. Tania? Dengan Bram?
***
Tania melangkah sendirian. Bram yang akhir-akhir ini pulang bersamanya sedang
rapat OSIS. Gadis itu asik melamun hingga tak menyadari sebuah mobil berhenti di
sampingnya.
“Nia.” Panggilan itu membuat dia menoleh. Ternyata Irvan.
“Aku antar yuk, Nia? Ayo! Atau aku harus minta izin dulu kepada Bram untuk
mengajakmu?”
Tania mengangkat alisnya sebelah.
“Bram? Ada apa dengan dia?” tanyanya heran. Lantas dia tersenyum. “Bagaimana
kalau harus?”
“Besok deh aku minta maaf padanya. Ayo Nia, aku ingin ngobrol sama kamu!”
Tania tak bisa menolak. Dia masuk ke dalam mobil dan duduk di sisi Irvan.
“Engkau berubah sekarang, Nia. Maukah kau menceritakan sebabnya padaku?”
“Sebab apa? Aku tak mengerti.”
“Engkau mengerti, Nia. Ayolah. Kenapa kamu menjauhiku?”
“Aku punya alas an sendiri,” kata Tania ketus.
“Katakan supaya aku tidak penasaran, Nia!” Irvan menatap gadis itu. Lantas dia
berpaling seraya menghela nafas. “Terkadang aku ingin bisa menyakitimu. Tapi tak
pernah berhasil. Engkaulah yang justru menyakitiku.”
“Bergembiralah karena engkau sudah berhasil menyakiti hatiku, Irvan!” sahut
Tania dingin. Ditatapnya jalan raya dengan nanar.
Irvan menghentikan mobilnya di tepi jalan menuju ke rumah hijau Tania.
“Tidak, Nia. Aku tidak sanggup menyakitimu karena aku … menyayanggimu,”
bisik Irvan tanpa menoleh. “Tapi kini engkau sudah punya Bram. Maafkan aku. Engkau
pasti membenciku kini.” Diraihnya kunci kontak. Tapi tangan Tania menahannya.
“Engkau belum bertanya padaku, bagaimana hatiku sebenarnya, Irvan,” desah
Tania lirih.
Irvan menoleh dan mata mereka bertemu. Di situ dia menemukan sinar kasih
sayang dan kebahagiaan.
“Benarkah engkau juga seperti aku, Nia?” bisik Irvan. Dia merasa bahagia ketika
kepala di depannya mengangguk.
www.rajaebookgratis.com
“Dan aku ingin tahu, kenapa engkau begitu akrab dengan Raya, Van,” cetus Tania
ketika mereka sudah duduk di teras rumahnya.
“Engkau cemburu pada adikmu sendiri?” goda Irvan seraya tertawa. Tania
cemberut.
“Jangan kuatir, Nia. Bukankah aku harus mendekati Raya dulu bila ingin
mendapatkanmu?” Irvan melirik Tania yang tersipu. “Hei, bagaimana dengan Bram? Apa
yang harus aku katakana bila dia menuduhku mencuri gadisnya?”
“Ah, brengsek kamu!” Tania melempar korek api yang tergeletak di meja dengan
muka kesal. Tapi melihat senyum Irvan, dia pun tersenyum. Hati mereka sama-sama
bahagia.

Cinta Asya

"Ji, jujur aku nggak bisa lagi menahan semua perasaan yang meluap-luap ini,"
ucapku kikuk pada sosok lelaki  kurus semampai yang sedang berdiri  kaku di
hadapanku. 
"Jadi?" tanyanya dengan kikuk pula. 
"Aku rasa, kamu sudah tahu tentang isi hati aku. Kalau boleh jujur, kamu itu
cinta pertama aku. Kamu bisa membuat aku mengerti cinta yang sebenarnya.
Dan...," tiba-tiba kata-kataku dipotong.
"Sya, aku mau minta maaf sebelumnya. Sebenarnya aku," Eji  menggantung
ucapannya 
"Sebenarnya  apa  Ji?"  tanyaku  dengan  harap-harap  cemas.  Mataku  terus
menatapnya, mencari-cari sebuah jawaban lewat mata elangnya itu. 
"Se, sebenarnya aku tidak ada rasa sedikitpun sama kamu! Sebaiknya, kamu
melupakan saja semua tentang aku! Ada orang lain yang lebih mencintaimu dan
dapat  membahagiakanmu.  Yang  jelas  orang  itu  bukan  aku,"  dengan
menghembuskan  nafas  dengan  masygul,  ia  menjawab  pertanyaanku  tadi
sebelum akhirnya  ia  meninggalkanku. Kurasakan hawa  dingin  menyergapku
ketika  mendengarkan ucapannya  itu. Haru, kesal, kecewa,  sekaligus  malu
bercampur  aduk  dalam hatiku.  Rasanya  aku  lah seoran perempuan paling
malang dan paling bodoh hari itu. Apa yang kurang dariku, sampai-sampai ia
tega menolak cintaku seperti itu?
"Ji," panggilku pelan. Saat  itu, garasi  belakang sekolah yang bisu lah yang
menjadi saksi sejarah hidupku yang paling 'menggenaskan' tersebut.
"Sya,  berusahalah  untuk  melupakan  aku!  Aku  bukan  diciptakan  untuk
mendampingimu!" sahutnya.
Air mataku luruh jatuh satu persatu membasahi pipiku yang putih bersih ketika
mendengarkan kata-kata itu. Aku tersedu. Lelaki  yang pertamakalinya dapat
membuatku jatuh cinta seperti ini, malah mengucapkan kata-kata seperti ini.
Cinta pertama yang menyedihkan, pikirku. Saat itu, ingin kurangkai kata-kata
menjadi sebuah sajak yang mewakili isi hatiku yang tengah perih ini.
"Aku merunduk sepi
Menatap pelangi kelabuku
Sejak kau pergi meninggalkanku
Hatiku terasa perih tak bertepi"
Kuputuskan  untuk  pulang  saja. Tak baik  jika  menangis  sendirian di  areal
sekolah yang telah kosong ditinggalkan penghuninya sejak dua jam yang lalu
ini.
"Ji, sampai kapan pun, mungkin aku nggak bisa untuk melupakan kamu!" lirihku.
* * *
Sudah dua hari ini Eji tidak masuk sekolah. Aku dengar katanya dia sakit. Dua
bulan belakangan ini, dia memang sering absen karena jatuh sakit. Jujur,
ketika mendengar berita itu aku merasa khawatir. Tapi, apa peduliku? Selama
ini  saja  belum  tentu  dia  memperdulikan  hidupku.  Jadi,  buat  apa  aku
memikirkannya? Tapi, sekali lagi aku ingin jujur kepada kalian semua. Perasaan
cintaku pada Eji benar-benar tidak bisa hilang, walaupun dia hanya memberi
harapan kosong kepadaku, dan walaupun dia tidak memilihku untuk memasuki
ruang cintanya. Aku benar-benar bingung terhadap perasaanku ini. Di satu sisi
aku membencinya dan di sisi lain aku mencintainya. Sejenak aku melamun. Aku
mengingat saat-saat pertama aku mengenalnya. Ia sosok yang manis, lembut,
dan tampan. Wajahnya oval, matanya bening, hidungnya mancung, bibirnya
merah, senyumannya indah, dan kulitnya yang cerah. Bagiku ia adalah mahluk
Tuhan yang sangat indah, walaupun kemampuan otaknya di bidang akademik
tak secemerlang diriku. Namun, hal itu tak menghalangi  rasa kekagumanku
padanya. Jujur  baru sekarang aku mengenal cinta dan rasa kagum kepada
lawan jenis. Padahal di usiaku yang remaja ini, aku telah di'tembak'  berulang
kali  oleh  beberapa  lelaki  tampan.  Tapi,  mereka  semua  kutolak  cintanya.
Alasannya klasik saja, yakni aku tidak mencintai mereka.
Sedikit  demi  sedikit  aku  mulai  mengaguminya.  Mengagumi  keindahan,
kelembutan, serta kesopanannya. Dan sedikit demi  sedikit aku mulai berani
untuk menunjukan isyarat-isyarat cintaku padanya. Walaupun awal mulanya
tanggapannya biasa bahkan dingin terhadap isyarat-isyarat tersebut, namun
aku pantang menyerah dan tak lekas putus  asa. Aku selalu berdoa agar di
sedikit  saja memperhatikanku. Meski  itu kedengarannya konyol, tapi  itulah
fakta dan realitanya. Dan akhirnya, usaha-usaha serta doa-doa konyolku selama
ini terjawab sudah. Eji sedikit demi sedikit dapat menerimaku. SMS-SMS yang
sering kukirimkan kepadanya selalu dibalasnya dengan kata-kata yang lembut
yang membuatku sedikit gede rasa. Pada akhirnya, terbongkar juga kedokku. Ia
tahu mengenai perasaanku selama ini  padanya. Dan yang sangat membuatku
sebal, ia mengetahui  semua itu dari  diriku sendiri. Suatu hari, entah angin
darimana yang membuatnya meminjam buku catatan matematikaku. Ini  tak
seperti biasanya. Lelaki seperti Eji mana pernah meminjam buku catatan anak
perempuan. Kontan saja aku terkejut ketika dia berkata, "Sya, aku boleh tidak
pinjam catatanmu? Soalnya aku tadi nggak sempat nyatat!". Wow, tiada alasan
yang  dapat  membuatku  menolak  permintaan  tersebut.  Bagiku  inilah
kesempatan  emas  untuk  lebih  dekat  dengannya.  Tanpa  pikir  panjang,
kuserahkan buku  catatanku  padanya. Dan tanpa  kusadari,  hal itulah yang
membuatku celaka 13. Kau tahu, aku adalah wanita dengan sebuah kebiasaan
yang buruk. Kebiasaan burukku itu adalah senang menuliskan puisi-puisi cinta
serta semua isi hatiku di halaman paling belakang pada buku-buku pelajaranku.
Hal itu sering kulakukan ketika aku sedang sumpek belajar di kelas dan untuk
menghilangkan  sumpek  itu  aku  memilih  untuk  mencoret-coret  halaman
belakang buku catatanku yang masih kosong. Tak dapat dipungkiri, Eji  pun
membaca semua 'aib' yang sangat membuatku malu tersebut. 
Seminggu kemudian, ia mengembalikan buku catatan matematikaku yang pekan
lalu dipinjamnya. Dengan senyum yang sedikit malu-malu, dia mengulungkan
buku tersebut  kepadaku. "Sya, thanks  ya atas pinjaman bukunya!" ujarnya
dengan sedikit malu-malu. Terang saja aku terkejut melihat tingkahnya. Tak
seperti biasanya ia bersikap seperti itu kepadaku. Senyum manis yang dikulum,
tingkah yang malu-malu kucing, serta perkataannya yang menurutku sangat
manis  tersebut. Oh God, it's  my lucky day! Yang jelas, aku sangat senang
dengan  semua  itu.  Aku  merasa  berbunga-bunga.  Kupeluk  buku  catatan
matematikaku tersebut dengan eratnya. Kurasakan sedikit aroma cinta yang
mengalir dari buku tak benyawa tersebut. Ah, damai rasanya pada waktu itu. 
Namun,  sial  datang  mengepungku.  Siang  harinya,  setalah  pulang  sekolah
tepatnya,  aku  membuka-buka  kembali  lembar demi  lembar halaman buku
catatan  matematikaku.  Tanpa  sengaja,  aku  menemukan  secarik  kertas  di
halaman tengah buku berwarna merah muda tersebut. Kuamati secarik kertas
itu dengan seksama. Kubaca isinya yang ditulusi tangan oleh seseorang. 

"Asya, maaf ya kemarin aku nggak sengaja baca halaman belakang di  buku
catatan matematika kamu. Maaf ya!"
Eji 

Aku terheran-heran dengan isi yang tertulis di secarik kertas itu.
'Memangnya, apa sih isi di halaman belakang buku catatan matematikaku itu?
Mengapa Eji  meminta maaf padaku segala?' tanyaku dengan terheran-heran
dalam hati.
Dengan penuh tanya di kepalaku, aku segera membuka halaman belakang buku
tersebut. Kutelusuri satu persatu apa yang telah kutulis di sana. Tidak ada yang
istimewa.  Di  sana  hanya  ada  sebait  puisi  yang  mengungkapkan  rasa
kebencianku kepada seorang guru yang mengajar matematika di sekolahku. Apa
ini  yang membuatnya meminta maaf? Konyol  sekali  kalau ia meminta maaf
hanya  karena  telah  mebaca  hal  seperti  ini.  Tapi,  tunggu  sebentar!  Aku
menemukan sebuah kalimat yang telah kutulis di halaman belakang buku itu.
Kalimat itu berbunyi: 'Eji, andai engkau mengetahui  isi  hatiku yang sangat
mengagumimu ini, mungkinkah engkau akan memberikan sedikit cintamu itu?'
Aku  terpaku  menatap  semua  itu.  Mataku  terbelalak.  Semua  persendianku
terasa kaku. Kurasakan wajahku yang oriental itu mulai memerah. Keringat
dingin  pun  tiba-tiba  mengucur  melalui  pori-pori  kulitku,  kemudian  disusul
dengan  jantungku  yang  terus  berdegub  kencang.  Kudekapkan  mukaku  ke
bantal, alangkah malunya aku. Ya Tuhan, bagaimana nasibku besok apabila
bertemu dengannya? Pikirku saat itu.
"Hei, Sya! Kok kamu melamun terus  sih? Ayo ngaku, kamu lagi  melamunin
siapa?"  Yuta,  teman  sebangkuku,  membangunkanku  dari  segala  lamunan
mengenai Eji.
"Mau tahu, aja! Rahasia dong!" ujarku dengan sedikikt senyuman yang centil di
bibirku yang tipis.
"Ngelamunin  Eji  ya?"  ucap  Yuta  dengan  mata  yang  menyelidik.  Wajahku
langsung berubah masam ketika mendengarkan kata-katanya itu.
"Yut, please jangan sebut-sebut nama dia lagi di depan aku! Oke?"
"Lho,  memangnya  kenapa?  Bukannya  dulu  kamu  senang  banget  kalau  aku
nyebut nama dia di depan kamu?"
"Lain dulu, lain sekarang. Dan sekarang, feeling aku ke dia sudah hilang!"
"Secepat itu?"
"Ya, secepat itu! Lagian, buat apa sih kalau aku terus-terusan suka dengan
orang yang sama sekali tidak mencintai aku sedikit pun? Tidak ada manfaatnya,
bukan?"
"I'm sorry if my words suck you. Well, enjoy your decision," ujar Yuta sembari
menepuk pundakku, kemudian diikuti dengan gelengan kepalanya. 
'Yuta, maafkan aku karena aku telah membohongimu. Mana mungkin aku bisa
secepat itu menghilangkan perasaanku kepada Eji? Sekali lagi, maafkan aku!'
lirihku dalam hati sambil menatap gadis berkacamata itu dengan lekatnya.

* * *
Pagi ini terasa syahdu. Kupandangi panorama pagi di luar sana melalui jendela
kamarku. Menawan! Satu kata itulah yang dapat melukiskan keadaan alam pagi
ini. Langit biru cerah dengan sedikit guratan-guratan cahaya kuning keemasan,
ditambah lagi  udara  pagi  yang  menyegarkan. Burung-burung  kecil  pun tak
henti-hentinya bernyanyi di atas genteng rumahku. Ah, begitu indahnya Tuhan
menciptakan pagi ini! Pikirku dalam hati. 
"Pagi-pagi begini, Eji lagi ngapain ya?" secara reflek kuucapkan kata-kata itu.
"Aku ngomong apaan sih?" ujarku sembari mengerutkan kening. "Apa aku masih
sayang sama dia? Bodo ah! Aku mau mandi  dulu!" aku beranjak dari  kamar
tidurku dan segera menuju kamar mandi. Kudendangkan bait-bait lagu dengan
nada yang ceria sewaktu di dalam kamar mandi. Walau terdengar cempreng,
tapi lumayan dapat menghibur suasana hatiku yang galau pasca ditolak mentahmentah
oleh
Eji.



Kuayunkan langkahku menuju ruang kelas. Sepi. Begitulah keadaan kelas pada
pagi  itu. Hanya  ada  aku  dan  bangku-bangku  kosong  tanpa  penghuni  yang
tersusun rapi, yang ada di ruangan berbentuk persegi panjang dengan luas 6x10
m.
"Ehm, umatnya pada kemana ya? Padahal, udah jam setengah tujuh," ucapku
pada diriku sendiri.
"Eh,  Asya!  Baru  datang  ya?"  suara  lelaki  yang  telah  familiar  di  telingaku
mengusik keheningan di ruang kelas.
"Iya," jawabku singkat pada Virgo. Lelaki itu tersenyum ke arahku. Ih, jujur aku
muak melihatnya. Mengapa? Karena aku sangat tidak suka terhadap lelaki kurus
tinggi berhidung bangir dan berwajah kearab-araban, yang telah 'menembakku'
sebanyak tiga kali tersebut. Ganteng sih ganteng, tajir sih tajir. Tapi, dia itu
tipe lelaki yang banyak omong, senang bolos, dan pemalas. Tak hanya itu, dia
juga terlalu agresif dalam mendekati perempuan. Saking agresifnya, dia juga
bisa sangat possesif. Padahal, dia bukan siapa-siapaku. Siapa yang suka anak
seperti itu?
"Sya, lagi ngapain?" tiba-tiba saja kulihat wajahnya yang kata teman-temanku
handsome itu telah beradu pandang di hadapanku.
"Lagi  bikin  pe  er  ya?"  belum  sempat  kujawab  pertanyaannya,  dia  sudah
mengajukan pertanyaan lain.
"Oh, aku tahu pasti  lagi  bikin pe er  fisika. Benar kan?" aku menarik nafas
panjang dan menghembuskannnya dengan hati yang masygul.
"Aku boleh nyontek gak?" rengeknya dengan nada bicara yang childish. 
Aku hanya terdiam. Terus kukerjakan satu nomor PR fisika yang belum sempat
aku selesaikan di rumah. Maklum, tadi malam otakku ngadat. Jadi, aku radarada
malas
mengerjakannya.

"Sya, yang nomor dua kok jawabannya aneh sih?" Virgo kembali bercuap-cuap.
"Ehm, menurut aku, rumusnya bukan begini. Lihat deh di buku catatan kamu!
Pasti rumusnya bukan begitu!"
'Ya Tuhan, salah apa aku hari  ini  sehingga kau buat  Virgo duduk di  depan
bangkuku begini?' batinku sembari sedikit menahan emosiku.
"Sya, kok kamu nggak dengerin aku sih? Apa karena aku bego dan sering dapat
nilai E waktu pelajaran fisika kamu jadi nggak ngegubris pendapat aku?" Virgo
kembali membuat kesabaranku oleng.
"Sya, dengerin aku dong!" 
"Heh, kamu bisa diam nggak? Kalau kamu ngerasa pekerjaan aku salah, ya udah
jangan nyontek! Belagu banget sih?" bentakku dengan emosi yang meluap-luap.
"Aduh, pagi-pagi  begini  sudah ribut. Go, nyontek punya aku aja! Sini!" suara
yang sangat kukenal menggema di telingaku. Kutoleh arah suara itu, Eji! Aku
hanya dapat tercengang. Kapan dia datang? Apa dia sudah sembuh?
Kutatap  dia  dengan  ekspresi  wajah  yang  sedikit  tercengang.  Dia  balik
menatapku dengan seulas senyum bak guratan cahaya sunset yang mewarnai
langit  petang  yang  indah.  Segera  kupalingkan  tatapanku  darinya.  Beraniberaninya
 ia  tersenyum  manis  kepadaku  setelah  dia  membuatku  malu  di
hadapannya tiga hari yang lalu. Tapi, aku harus berterima kasih padanya. Kalau
bukan karenanya, mungkin Virgo masih saja membuatku jengkel.

* * *
Bel panjang telah berbunyi tiga kali, pertanda jam pelajaran kedelapan sudah
usai dan sekarang waktunya pulang. Kukemaskan segala alat tulis beserta bukubukuku
yang
tergeletak
di
atas
meja,
ke
dalam
ranselku
yang
berwarna
merah

muda
 tersebut.  Tak  sabar  lagi  rasanya  aku  ingin  pulang  ke  rumah  dan
menikmati  segelas  teh  es  buatan  mbak  Ijah  yang  sangat  nikmat  dengan
ditemani crackers abon kesukaanku. Ehm, yummy! Bisikku dalam hati.
"Eh, Sya mau nebeng sama aku nggak?" ujar Yuta kepadaku.
"No, thanks! Aku bisa balik sendiri naik angkot!" ujarku mantap.
"Ya udah, nebeng sama aku aja ya?" kali ini Virgo ikut-ikutan. 
"Apalagi  sama  kamu,"  jawabku  dengan singkat,  jelas,  namun  menyakitkan
kedengarannya. Kulihat raut muka Virgo yang berubah memerah. Kulihat juga
Yuta dan beberapa temanku yang mendengar ucapanku tadi  menahan tawa.
Aku merasa sedikit  bersalah terhadap Virgo. Tapi, ada sedikit  rasa puas  di
dadaku  ketika  aku  menolak  mentah  tawaran  Virgo  yang  ternyata  masih
mencintaiku itu, di  depan orang ramai. Dasar, lelaki  malang! Ujarku dalam
hati.
"Sya, tunggu!" panggil seseorang yang berasal dari belakangku yang membuat
langkah kakiku tercegat.
Kutoleh ke arah suara dan ketika kulihat si empunya suara tadi, entah mengapa
aku merasakan deguban yang hebat dari  dalam jantungku. Kucoba setenagtenangnya
menghadapai
lelaki
satu
ini.
Jangan
sampai
aku
salah
tingkah.
Dia

kini
 menatapku tapi  aku tak mampu menatapnya. Aku masih merasa malu
kepadanya. Ya, lelaki itu Eji dan sekarang ia sedang berada di hadapanku.
Ingin aku mengucapkan kata-kata  kepadanya, tapi  kerongkonganku rasanya
kering dan pita suaraku seperti tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Bisa kita bicara sebentar?" pintanya dengan sopan. 
Aku hanya dapat mengangguk pelan. Kurasakan keringat dingin mulai mengucur
di dahi, leher, dan telapak tanganku. 
'Aduh, dia mau ngomong apa ya?' tanyaku dalam hati.
"Kita ngobrolnya di  halaman belakang sekolah saja ya. Soalnya nggak enak
kalau di  sini!" ujar Eji  dengan nada bicara yang lembut. Aku hanya dapat
mengikutinya  menuju  halaman  belakang  sekolah  dengan  jantung  yang
berdebar-debar.
"Ini  masalah  Virgo."  Kata-kata  Eji  membuatku  tercengang.  Buat  apa
membicarakan lelaki bodoh itu.
"Dia kirim salam buat kamu!" ujar Eji dengan kikuknya.
Aku  tercengang  mendengarkan  ucapannya.  Ia  memanggilku  hanya  untuk
mengatakan  hal  konyol  seperti  itu?  "Cuma  itu?"  tanyaku  padanya  sembari
mengepal tangan sekuat tenaga  untuk  menahan nervous. Kutatap matanya
sekilas. Terdapat bulir-bulir keringat sebesar bulir jagung yang menggelayut di
dahinya yang luas. Mungkin, dia sama nervous-nya dengan aku.
"Ya, Cuma itu. Asal kamu tahu, Virgo itu sangat mencintaimu. Dan aku dapat
jamin kalau kamu pasti akan bahagia bila bersamanya." 
"Bagaimana bisa aku bahagia apabila bersama orang tidak aku cintai, bahkan
aku sukai?" sanggahku dengan jantung yang makin bedegub kencang.
"Ia memiliki  segalanya. Ia tampan, kaya, dan ia terlahir dari kalangan orang
terhormat. Bukankah itu bisa membuatmu bahagia?" Eji  terus meyakinkanku
dengan  ucapannya  yang  mantap  walau  bibirnya  kulihat  sekekali  bergetar
karena gerogi.
"Aku  bukan  tipikal  wanita  seperti  yang  kau  maksud.  Bisa  bahagia  karena
mencintai seseorang seperti Virgo yang kau bilang punya segalanya itu!" kataku
dengan lantangnya. Kali  ini  kukumpulkan semua  energi  yang  tersisa  untuk
mengatakan kata-kata itu kepada Eji. Aku terlanjur emosi dengan perkataan Eji
tadi. Suasana di antara kami makin dingin. Halaman belakang sekolah lah yang
menjadi menjadi saksi betapa dinginnya suasana siang itu.
"Maafkan aku, Sya!" pinta Eji  dengan suara yang lirih sembari  menundukan
wajahnya.
"......" aku terdiam seribu bahasa utnuk menahan emosiku. Aku mencoba untuk
menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya dengan masygul.
"Sya, percayalah padaku bahwa kau akan bahagia apabila bersama Virgo."
"Kenapa kamu begitu memaksaku, Ji? Aku sudah bilang berapa kali kalau aku
bukan," kata-kataku kembali dipotong.
"Tapi  aku ingin yang  terbaik  untukmu, Sya!" tegas Eji  sembari  menatapku
lekat.
"Yang terbaik untukku adalah dapat bersamamu, Ji!" hatiku mulai melapuk.
Mataku  pun  tak sanggup  menahan  desakan  air  mata. "Bisakah  kau sedikit
mengerti aku?" lirihku sembari menyeka air mata.
"Sya, maafkan aku. Sekali lagi maafkan aku. Aku mencintaimu, Sya! Sungguh!
Tapi aku tak bisa bersamamu." Deg, aku tercengang mendengarkan itu. Bahagia
campur haru tercampur aduk menggoncang perasaanku.
"Kamu  bohong  Ji!  Kamu  bohong.  Kalau  kamu  mencintaiku,  kenapa  kamu
menolakku dua hari  yang lalu? Lalu, kenapa dua hari  yang lalu kamu bilang
tidak mencintaiku? Kamu pasti bohong! Tolong jangan membuatku berharap!"
Kupandangi  Eji  dengan  sorotan  mata  yangtajam,  seolah-olah  aku  ingin
menelannya. Dia hanya dapat menundukan pandangannya.
"Iya, Sya! Aku telah berbohong padamu. Namun bukan hari ini aku berbohong.
Tapi kemarin. Kamu nggak ngerti keadaan batinku saat itu, Sya!"
"Keadaan batinmu? Ji, katakan apa yang terjadi denganmu? Dan tolong jelaskan
kepadaku mengapa kamu tidak bisa bersamaku?" tanyaku dengan nada yang
sedikit  memaksa,  seakan-akan  aku  adalah  seorang  polisi  yang  sedang
menginterogasi seorang pencuri ayam; dan pencuri ayam itu adalah Eji.
"Virgo adalah malaikat kecilku. Begitu pula dengan kamu, Sya. Aku menyayangi
kalian  berdua.  Virgo  adalah  seorang  sahabat  yang  sangat  berjasa  dalam
hidupku. Perlu kau ketahui, aku adalah seorang yatim piatu. Aku tak yakin
bahwa aku adalah yatim piatu. Lebih tepatnya, aku tak tahu menahu tentang
asal-usulku. Tujuh belas tahun yang lalu, aku ditemukan seorang nenek di
gerbong  kereta  api.  Nenek  itu  bernama  nek  Asnah.  Dia  yang  telah
membesarkanku hingga saat ini." Aku tekejut bukan main ketika mendengarkan
cerita dari  Eji  itu. Kisah hidup lelaki  yang berpenampilan sederhana namun
tetap menawan ini sangat di luar dugaanku. "Nek Asnah adalah seorang wanita
paling tegar di  dunia ini  dan aku sangat mencintainya. Siang dan malam ia
membanting tulang untukku. Untuk seorang anak lelaki  yang sama sekali  tak
memiliki hubungan darah dengannya," sambung Eji dengan suara yang bergetar.
Mata bintang Eji mulai memerah. Kulihat ada kumpulan kristal bening di sudut
pelupuk  matanya. "Pagi  hari  ia  habiskan di  rumah Virgo  untuk  melakukan
pekerjaan rumah tangga. Sore harinya ia kembali memulung barang bekas yang
bisa ia jual untuk di  daur  ulang di  sekitar stasiun kereta api. Di  sini  letak
kemalaikatan Virgo. Ia lah yang selama ini banyak meringankan beban keluarga
kami.  Ia  juga  lah  yang  diam-diam  menyisihkan  uang  jajannya  demi
membantuku membayar uang sekolah. Ia juga lah seorang sahabat yang sangat
mengertiku, walaupun 'duniaku'  berbeda dengan 'dunianya'. Selain Virgo, kau
juga malaikat kecilku, Sya!" Eji menatapku ketika ia berkata bahwa aku adalah
malaikat kecilnya. Betapa tersipunya aku. Kurasakan pipiku mulai merona dan
senyum tipisku mengembang. "Kau adalah malaikat kecilku karena kau lah yang
menyejukkan  hari-hariku  selama  ini.  Kau  menarik,  baik,  lembut,  cerdas,
anggun, dan menawan, walaupun kau sedikit  terlihat ceroboh." Aku hanya
merasa bahagia campur  malu ketika Eji  memuji  serta 'mencelaku'  tersebut.
"Diam-diam aku jatuh cinta karena kelebihan-kelebihan yang kau miliki itu. aku
jatuh cinta tepatnya pada kebaikan dan ketulusanmu. Terkadang engkau rela
membantuku walaupun bantuan itu terlihat kecil, seperti meminjamkan buku
catatanmu atau sekedar memberiku cookies  ketika jam istirahat  tiba. Tak
hanya itu, aku juga jatuh cinta pada keramahanmu kepadaku. Engkau selalu
tersenyum dan berkata  lembut  kepadaku. Namun  maaf Sya, aku  tak  bisa
membalas semua itu." Eji  menunduk menatap tanah dengan ekspresi  wajah
yang tampak kecewa.
"Balaslah itu dengan mencintaiku, Ji!" ucapku lirih.
"Tidak.  Semua  itu  tidak  bisa  aku  lakukan.  Virgo  terlalu  mencintaimu.
Bagaimana  mungkin  aku  bisa  mengkhianati  seorang  'malaikat'  kecil  itu?
Lagipula, dia pantas bersamamu. Dia mampu menyepadani engkau, Sya! Tidak
seperti diriku yang terlalu rendah untuk bersamamu ini. Aku ingin yang terbaik
untukmu. Dan kurasa ini lah yang terbaik untukmu, bersama Virgo dan segera
melupakanku!" Eji  berkata dengan mimik wajah yang pasrah. Kulihat sosok
tinggi  kurus  itu. Dia adalah makhluk Tuhan yang indah. Hidungnya bangir,
matanya tajam, bibirnya merah, wajahnya tirus, kulitnya putih, dan rambutnya
yang hitam dan lebat itu. Sungguh, dulu aku hanya mencintai dan menilainya
karena fisik saja. Namun kini, kecintaanku padanya lebih karena jiwanya yang
rela berkorban demi seorang yang telah berjasa dalam hidupnya itu. Jiwa yang
menginginkan  orang  yang  dicintainya  bahagia  dengan  orang  lain  yang
dianggapnya lebih sempurna ketimbang dirinya. Namun, aku sungguh tak bisa
menjalani keinginan jiwamu yang terakhir itu, Ji! Aku tak bisa bersama Virgo
yang jelas-jelas tak kucintai itu.
"Lakukan  demi  aku,  Sya!  Apabila  kamu  tidak  bisa  menerima  cinta  Virgo,
setidaknya  lupakanlah  aku.  Masa  depanmu  bisa-bisa  suram bila  kau terus
mencintaiku!" pinta Eji  dengan mata yang berbinar. Oh, Eji, mana bisa aku
melaksanakan  pintamu  itu.  "Aku  tahu,  itu  terlalu  sulit  untukmu.  Tapi
begitupula dengan aku, aku juga terlalu sulit untuk melepasmu dan berusaha
melupakanmu. Tapi, inilah yang terbaik untuk kita! " sambungnya lagi dengan
tatapan mata yang masih tajam kepadaku.


"Ehem, ehem! Kalian lagi ngomongin aku, ya?" terdengar suara seorang lelaki
yang membuat kami berdua terkejut. Betapa terkejutnya aku ketika melihat si
empunya suara. Begitu pula dengan Eji.
"Virgo?" alangkah terkejutnya kami berdua ketika mendapati Virgo berdi tegap
di  hadapan kami. Ia menepuk-nepuk pundak Eji  dan mengulas senyum pada
kami.
"Ka, kapan kamu ke sini?" tanya Eji dengan terbata-bata.
"Nggak sadar ya kalau dari  tadi  aku ngikutin kalian? Hey, Ji  kok kamu tidak
pernah cerita tentang perasaan kamu ke Asya sih?"kata-kata Virgo membuat Eji
sedikit kikuk, salah tingkah, dan malu. Semua itu terlihat dari mimik wajah dan
bahasa tubuhnya. "Ji, kamu nggak perlu segitunya sama aku. Lagian Asya juga
suka sama kamu. Jadi, apa salahnya kalau kalian bersatu? Nggak usah mikirin
aku segala. Aku juga udah ilfeel sama Asya! He he he! I'm just kidding, friends!"
Virgo masih saja mengeluarkan kelakarnya saat suasana setegang ini. Hei, coba
dengarkan kata-kata si  banyak omong ini! Kata-katanya terdengar wise dan
dewasa. 'Salah makan obat apa ya, Virgo hari ini?' tanyaku dalam hati.
"Kalian kok pada bengong seperti ini sih? Hati-hati lo kalau bengong! Apalagi di
tempat  sesepi  ini!"  Virgo  kembali  berkelakar.  Kami  berdua  hanya  dapat
tersenyum tipis mendengarkan itu.
"Go, maaf ya kalau selama ini aku kasar sama kamu. Walaupun aku nggak cinta
sama kamu, tapi mungkin aku nggak seharusnya berlaku dingin dan kasar sama
kamu. Sekali lagi maaf ya!" pintaku dengan penuh harap.
"Permintaan maafmu  kutolak! Aku terlanjur  sakit  hati!" ujar  Virgo  dengan
dinginnya.
"Go, kok kamu gitu sih?" Aku hampir saja mewek.
"Eh, aku bercanda! Iya, aku maafin. So, gimana kelanjutan hubungan kalian
berdua? Mumpung aku ngasih restu nih!" 
Aku dan Eji saling berpandangan ketika mendengarkan ucapan Virgo.
"Kita  sahabatan  aja.  Nggak  apa-apa  kan  Ji?"  ucapku  dengan  mantapnya.
Keputusan itu kedengarannya bodoh untuk orang yang sedang dimabuk cinta.
Tapi,  aku  mempunyai  alasan  tersendiri  mengapa  aku  lebih  memilih
persahabatan daripada pacaran dengan Eji.
Kulihat Eji tercengang mendengarkan kata-kataku. Begitupula dengan Virgo.
"Lho, kok?" tanya Virgo heran.
"Nilai  persahabatan  itu  kayanya  lebih  mulia  daripada  nilai  pacaran.
Persahabatan juga penuh dengan cinta dan kasih sayang daripada pacaran.
Lihat saja si Eji, sampai rela mengorbankan perasaannya demi persahabatannya
dengan kamu!" kukemukakan alasanku dengan senyum yang bertebaran. Eji dan
Virgo saling beradu pandang dan mereka kompak tersenyum.
"Eh, keliatannya ending cerita kita ini bagus juga ya! He he he!" seloroh Virgo
lagi. Kami  bertiga tertawa bersama pada siang itu. Aku tak menyangka jika
ending cerita cinta pertamaku ini berakhir seperti ini. Yang jelas, aku sangat
bahagia  karena  hari  ini  aku  mendapatkan  dua  orang  sahabat  sekaligus,
meskipun aku masih menaruh cinta untuk Eji yang kini hádala sahabatku. That's All..
Special thanks to Eji...
Thanks 4 your cyber love