
Tentang Bayang dan Hilang
maka tahulah aku kau hanyalah bayang
dan aku bakal hilang, di lengkung langit
di tikungan ujung jalan dekat taman
lalu, entah kapan, bayang dan hilang
kembali menyatu: serasa mewujud
seperti aniani dengan bulir padi
sebelum akhirnya tercerai — orangorang
mencatat sebagai perpisahan
sementara: ingatlah saat adam dan hawa
turun di tanah beda, masih ingatkah? — luka
sesaat tumbuh di kedua tubuh itu, meski
tiada darah
padi menjadi beras, aniani pulang
sebagai benda yang terus melukai. di depan
mata menari, mau pula pada leher kita
lalu, bila saatnya, hilang dan bayang bertemu
sebagai sepasang kekasih yang merindu
sambil melupakan bahwa keduanya pernah
berpisah karena musim. sebab harus terjadi
agar orangorang tahu merawat waktu
bukan kematian — walau sampai juga di
tikungan dalam sebuah halaman berupa
taman beraroma sunyi. pohon wangi
menaungi. bayang dan hilang berjodoh lagi
kaukah itu saat aku rindu?
27 Desember 2017
Di Kedai Nasi Goreng
: adeliakita kunjungi juga tempat ini
seperti malammalam silam. kaupesan
nasi goreng dan aku memandangimu
dari balik gelas ini. kau serupa ikan,
wajahmu tetap menawan;
tanpa senyuman
“wajahmu matahari siang,” bisikku
2017
Ajari Aku Laut, Cara Merindukan Pantai
ajari aku laut, cara merindukan pantai
dan bukan menghantam
daratan. sudah lama aku lupa pada lidah
saat menjilati pasirpasir, karang, dan
betis di situ: begitu menggigitgigit
inginku bersama
aku begitu tahu saat kau mencintai pantai
lalu mengantar perahuperahu sampai
dermaga. atau menunjuk arah kapal
pesiar ke bandarbandar akbar
maka kuingin ajari caramu merawat
cinta dan rindu
bukan amarah hingga kaululuhkan
kampungkampung, kautenggelamkan kota
hingga tersisa sedikit orang. ini pun cara
engkau mencintai kami dan tanah ini
ajari aku laut, cara menempuh maut
dengan penuh pelayaran itu
2017
Pagi, Menjemur Pakaian
pagi, belum pula ada matahari
di halaman telah berkibar jemuran
bagai bendera negerimu
menyambut kebebasan: “ah,
apakah aku sudah merdeka?”
pagi-pagi kubentangkan pakaian
seperti menaikkan layar di tiang
sebelum meninggalkan pantai:
“tapi apakah aku punya laut
agar bisa melukapan daratan?”
di perahu ini aku hanya penumpang,
dan kaulah nakhoda. ke laut luas
atau karam, aku turut di buritan
“aku lelaki, cuma tak ahli berenang,
agar kembali ke pantai.”
kain-kain sudah berkibar
tak ada kabar dari lautan
daratan masih sunyi, begitu kabut
jam kian surut, tiada ribut
: perahu pun siap lepas
layar berdansa
25 12 2017
Kisah dari Kamar Hotel 1105
satu daun jendela terbuka: dari dalam
kamar asap rokok
berebut ingin terbang. dari luar angin
ingin berpeluk mesra, ini malam
“kalau aku terjun, ini lantai 11,
apa nasib angin dan asap rokok?” tanyamu
sambil hendak melepas pakaian dalam
“kenapa tak kau lepas yang menutup
kelaminmu? apakah kausisakan untuk
lelaki yang mengaku sudah lama
tak tidur dengan istrinya?” kata teman sekamar
yang telah kehilangan ingatan, sejak ia pilih
lantai 11 hotel bintang lima di kota tanpa
pernah tidur itu — tak tahu apakah malam
ataukah ini siang — sebab matahari maupun
bintang-bulan begitu malu sekadar mengintip
apalagi tersenyum untuk yang hidup
begitu pelit. bahkan untuk mengucap salam:
“selamat pagi” ataupun “selamat tidur”
untuk jamjam melindur — suara dengkur
juga cinta habis di pucuk sangkur – begitulah,
ini kota bikin kita tak kenal kitab, tulisan di buku
tentang sopan santun, sapa keliwat basi,
juga senyum hanya terlihat di wajah
air itu. sebuah cincin sumur seperti membentuk
lorong panjang dan sangat temaram
ya, dari lantai 11 hotel bintang 5 di tengah kota
sangat riuh, bahkan jerit kematian dari tamu
bunuh diri di dalam kamar atau melompat
bersama angin yang ingin berebut tidur
di ranjang, sama sulitnya didengar. orangorang
lebih suka menguping musik ataupun suara
langkah masuk ke kamar. kemudian tawa,
kemudian erang. lalu lengang
dari lantai 11 kamar 1106 tak akan kautahu
ada yang diamdiam memuja kematian
setelah bercinta matimatian. “karena kematian
begitu terasa sempurna saat hening,” bisikmu
aku membersihkan bekas jejaknya
aku menghapus pita suaranya
entah di sini atau di mana…
Jkt 13-14/12—Lpg 19-21/12/2017
Isbedy Stiawan ZS lahir di
Tanjungkarang, Lampung, dan sampai saat ini masih tinggal di kota
kelahirannya. Pada 2017 ini buku puisinya yang terbit yakni Kepada Puisi Beri Aku Lagi Cinta dan Anak Kunci di Kepala (Siger Publisher, Lampung, 2017). Buku puisi Isbedy yang lain Kota, Kita, Malam (Basabasi.co/Diva
Pers, Yogyakarta) masuk 10 besar kategori buku puisi Kusala Sastra
Khatulistiwa Literary Award 2017. Saat ini ia sedang menyiapkan buku
puisi terbarunya yang diterbitkan 2018, Di Alun-alun Itu Ada Kalian, Kupu-kupu, dan Pelangi yang masih memilih penerbit.