Daftar Blog Saya

Selasa, 16 Januari 2018

Tentang Bayang dan Hilang, Di Kedai Nasi Goreng, Kisah dari Kamar Hotel 1105, dan Lainnya

Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS (Padang Ekspres, 14 Januari 2018)
Water Fall ilustrasi Google.jpg
Water Fall ilustrasi Google

Tentang Bayang dan Hilang


maka tahulah aku kau hanyalah bayang
dan aku bakal hilang, di lengkung langit
di tikungan ujung jalan dekat taman
lalu, entah kapan, bayang dan hilang
kembali menyatu: serasa mewujud
seperti aniani dengan bulir padi
sebelum akhirnya tercerai — orangorang
mencatat sebagai perpisahan
sementara: ingatlah saat adam dan hawa
turun di tanah beda, masih ingatkah? — luka
sesaat tumbuh di kedua tubuh itu, meski
tiada darah
padi menjadi beras, aniani pulang
sebagai benda yang terus melukai. di depan
mata menari, mau pula pada leher kita

lalu, bila saatnya, hilang dan bayang bertemu
sebagai sepasang kekasih yang merindu
sambil melupakan bahwa keduanya pernah
berpisah karena musim. sebab harus terjadi
agar orangorang tahu merawat waktu

bukan kematian — walau sampai juga di
tikungan dalam sebuah halaman berupa
taman beraroma sunyi. pohon wangi
menaungi. bayang dan hilang berjodoh lagi
kaukah itu saat aku rindu?

27 Desember 2017

Di Kedai Nasi Goreng

: adelia

kita kunjungi juga tempat ini
seperti malammalam silam. kaupesan
nasi goreng dan aku memandangimu
dari balik gelas ini. kau serupa ikan,
wajahmu tetap menawan;
tanpa senyuman
“wajahmu matahari siang,” bisikku

2017

Ajari Aku Laut, Cara Merindukan Pantai


ajari aku laut, cara merindukan pantai
dan bukan menghantam
daratan. sudah lama aku lupa pada lidah
saat menjilati pasirpasir, karang, dan
betis di situ: begitu menggigitgigit
inginku bersama

aku begitu tahu saat kau mencintai pantai
lalu mengantar perahuperahu sampai
dermaga. atau menunjuk arah kapal
pesiar ke bandarbandar akbar
maka kuingin ajari caramu merawat
cinta dan rindu
bukan amarah hingga kaululuhkan
kampungkampung, kautenggelamkan kota
hingga tersisa sedikit orang. ini pun cara
engkau mencintai kami dan tanah ini

ajari aku laut, cara menempuh maut
dengan penuh pelayaran itu

2017

Pagi, Menjemur Pakaian


pagi, belum pula ada matahari
di halaman telah berkibar jemuran
bagai bendera negerimu
menyambut kebebasan: “ah,
apakah aku sudah merdeka?”

pagi-pagi kubentangkan pakaian
seperti menaikkan layar di tiang
sebelum meninggalkan pantai:
“tapi apakah aku punya laut
agar bisa melukapan daratan?”

di perahu ini aku hanya penumpang,
dan kaulah nakhoda. ke laut luas
atau karam, aku turut di buritan
“aku lelaki, cuma tak ahli berenang,
agar kembali ke pantai.”

kain-kain sudah berkibar
tak ada kabar dari lautan

daratan masih sunyi, begitu kabut
jam kian surut, tiada ribut
: perahu pun siap lepas
layar berdansa

25 12 2017

Kisah dari Kamar Hotel 1105


satu daun jendela terbuka: dari dalam
kamar asap rokok
berebut ingin terbang. dari luar angin
ingin berpeluk mesra, ini malam

“kalau aku terjun, ini lantai 11,
apa nasib angin dan asap rokok?” tanyamu
sambil hendak melepas pakaian dalam

“kenapa tak kau lepas yang menutup
kelaminmu? apakah kausisakan untuk
lelaki yang mengaku sudah lama
tak tidur dengan istrinya?” kata teman sekamar
yang telah kehilangan ingatan, sejak ia pilih
lantai 11 hotel bintang lima di kota tanpa
pernah tidur itu — tak tahu apakah malam
ataukah ini siang — sebab matahari maupun
bintang-bulan begitu malu sekadar mengintip
apalagi tersenyum untuk yang hidup

begitu pelit. bahkan untuk mengucap salam:
“selamat pagi” ataupun “selamat tidur”
untuk jamjam melindur — suara dengkur
juga cinta habis di pucuk sangkur – begitulah,
ini kota bikin kita tak kenal kitab, tulisan di buku
tentang sopan santun, sapa keliwat basi,
juga senyum hanya terlihat di wajah
air itu. sebuah cincin sumur seperti membentuk
lorong panjang dan sangat temaram

ya, dari lantai 11 hotel bintang 5 di tengah kota
sangat riuh, bahkan jerit kematian dari tamu
bunuh diri di dalam kamar atau melompat
bersama angin yang ingin berebut tidur
di ranjang, sama sulitnya didengar. orangorang
lebih suka menguping musik ataupun suara
langkah masuk ke kamar. kemudian tawa,
kemudian erang. lalu lengang

dari lantai 11 kamar 1106 tak akan kautahu
ada yang diamdiam memuja kematian
setelah bercinta matimatian. “karena kematian
begitu terasa sempurna saat hening,” bisikmu

aku membersihkan bekas jejaknya
aku menghapus pita suaranya

entah di sini atau di mana…

Jkt 13-14/12—Lpg 19-21/12/2017


Isbedy Stiawan ZS lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai saat ini masih tinggal di kota kelahirannya. Pada 2017 ini buku puisinya yang terbit yakni Kepada Puisi Beri Aku Lagi Cinta dan Anak Kunci di Kepala (Siger Publisher, Lampung, 2017). Buku puisi Isbedy yang lain Kota, Kita, Malam (Basabasi.co/Diva Pers, Yogyakarta) masuk 10 besar kategori buku puisi Kusala Sastra Khatulistiwa Literary Award 2017. Saat ini ia sedang menyiapkan buku puisi terbarunya yang diterbitkan 2018, Di Alun-alun Itu Ada Kalian, Kupu-kupu, dan Pelangi yang masih memilih penerbit.

Pelajaran di Dalam Penjara

Cerpen Zainul Muttaqin (Padang Ekspres, 14 Januari 2018)
Pelajaran di dalam Penjara ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Pelajaran di dalam Penjara ilustrasi Orta/Padang Ekspres
MENJELANG sore Kasno terkulai. Tubuhnya dipenuhi luka sekujurnya. Ia mengerang kesakitan memohon ampun pada orang-orang kampung yang melampiaskan kemurkaan. Terserak potongan kayu, batu-batu, dan senjata tajam di dekat Kasno tergeletak. Kebencian masih terbungkus sumpah serapah dalam remang sore hari. Ingin dihabisi Kasno, laki-laki yang dituduh mencuri seekor sapi milik Kasdiman.
“Sumpah! Aku tidak mencuri,” terdengar suara Kasno diantara tarikan napasnya yang berat. Pengakuan Kasno semakin membuat orang-orang berniat menghabisi laki-laki paruh baya itu. Luka-luka menganga di sekujur tubuhnya, mengalirkan darah kental. Desah napas Kasno terdengar lambat dan matanya kabur melihat wajah orang- orang kampung yang beringas.
Kecipak air sungai mengalir deras di dekat Kasno yang masih terlentang. Ditemukannya sapi milik Kasdiman berada tak jauh dari tempat Kasno kini terbaring lemah. Terkaget dan tercengang Kasno ketika orang-orang berbondong menuju pada laki-laki setengah baya itu yang tengah mencuci muka. Tak perlu Kasno membuka katup mulutnya pada warga, ia langsung dihantam tanpa jeda dengan batu, kayu dan senjata tajam.
Pemilik sapi diam-diam meninggalkan pinggir sungai, membiarkan Kasno terus dicerca pertanyaan oleh lelaki-lelaki beringas yang “membantainya”. Lambat laun gelap membungkus langit. Tubuh Kasno dipenuhi darah sekujurnya, mengalir bercampur dengan aliran sungai di dekatnya. Orang-orang membawa langkahnya dalam gelap malam hari, lepas magrib, menuju rumah masing-masing.
Tinggal tubuh Kasno yang senantiasa menahan nyeri merambat dari ujung kaki hingga ubun-ubun kepalanya. Kasno meraba-raba tubuhnya yang dirasa telah ringsek. Dendam menyemak-membelukar dalam dadanya. Ia berjanji untuk membalas sakit hati sekaligus perih tubuh yang tak berhenti menyiksa menjelang malam dini hari.
Setelah susah payah Kasno bangkit, menumpukan tubuhnya pada sepotong kayu yang dipegang tangan kanan. Ia sudah membersihkan lumuran darah yang membalur baju, juga bagian-bagian tubuh yang luka. Berjalan terpincang-pincang, melintasi sawah penduduk, ia mengetuk-ngetukkan tongkanya pada tanah, mencari jalan setapak untuk pulang.
Laki-laki paruh baya itu dijemput polisi keesokan harinya. Kasdiman membuang muka dari kejauhan, memandangi Kasno yang diseret polisi dari dalam rumah. Dalam sekejap, laki-perempuan silih berganti berkerumun guna menyaksikan Kasno digelandang polisi. Tatapan Kasno nanar, memendam amarah. Tatapan laki-laki paruh baya yang teraniaya.
Dengan sorot mata meradang, Kasdiman berjalan ke arah Kasno yang tengah berdiri di dekat pintu mobil polisi. Dua polisi yang memegang tubuh Kasno membiarkan Kasdiman menyampaikan sepatah dua patah kata sebelum akhirnya Kasno dijebloskan ke dalam penjara. Kasdiman isap sebatang rokok yang dijepit kedua jari-jari tangannya.
“Kenapa kau mencuri sapiku? Berikan aku alasan agar kau tak mendekam di penjara.” Pertanyaan itu ia lepas bersama dengan embusan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Beberapa jenak, Kasno terdiam. Ia tersenyum kecut, seakan mengejek.
“Apakah kau masih percaya apa yang kukatakan?” Pertanyaan yang diajukan Kasno dijawab dengan desah napas panjang oleh Kasdiman.
“Bicaralah baik-baik padaku, akan kuberikan apa yang kamu butuhkan. Tak perlu mencuri seperti ini. Sekarang, jujur apa kau juga yang mencuri sapi-sapi penduduk selama sepekan ini?” Kasdiman memandangi raut muka Kasno, dengan kerut-kerut membentuk garis berliuk terombang-ambing di dahinya.
“Kejujuran macam apa yang kau harapkan dariku? Kalau kamu tak mau percaya dengan apa yang kukatakan. Aku bukan pencuri. Biarpun hidupku melarat, tapi aku masih bisa makan dengan cara baik-baik,” ujar Kasno menekan suara di depan wajah Kasdiman. Luapan amarah di dada Kasdiman meledak sampai laki-laki itu menampar Kasno di depan orang banyak. Dengan kedua tangan terborgol, Kasno tak dapat berbuat apa-apa, kecuali meludah ke muka Kasdiman.
“Suatu waktu kau akan menyesal. Tak akan kuampuni kesalahan kalian sebelum mencium kakiku!” Kasno mengatakan dengan api menyala-nyala di kedua bola matanya. Ia memandangi wajah Kasdiman, termasuk wajah orang-orang yang menatapnya penuh kebencian.
Kasdiman tersenyum mengejek. Sesaat kemudian, dua polisi menarik tubuh Kasno, memasukkannya ke dalam mobil. Kerumunan orang-orang bubar setelah Kasno berada dalam perut mobil polisi dan meninggalkan bau asap knalpot.
Matahari merangkak pelan-pelan di permukaan langit ketika Kasno dijebloskan ke dalam penjara. Ia memasuki sel tahanan dengan mengenakan seragam, serupa penjahat yang meringkuk di balik jeruji. Kasno disambut tiga orang tahanan, para lelaki berewok, bertubuh gempal, dengan rambut panjang diurai sebahu. Bergidik Kasno melihat cara mereka menatap dirinya yang ringkih, penuh tulang-tulang serupa batang lidi di sebidang dadanya.
Mendengar mereka berdehem-dehem Kasno berusaha menenteramkan dirinya melalui senyum. Lelaki berewok menghampiri Kasno yang mengkeret di pojokan. Diajaknya Kasno berkumpul bersama mereka. Tiga lelaki itu tersenyum melihat sikap Kasno. Ketakutan dalam dada Kasno pun mencair, darahnya mengalir sebagaimana biasa setelah beberap menit sebelumnya dirasa menggumpal darahnya dalam tempurung kepala Kasno.
“Bagaimana kau sampai kesini?” tanya lelaki bertubuh gemuk. Terdengar berkarakter suaranya di dalam sel tahanan yang pengap.
“Warga kampung menuduhku mencuri,” jawab Kasno agak terbata-bata suaranya. Ia menundukkan kepala. Tiga lelaki itu saling tatap. Tangan Kasno gemetar. Keringat membasuh bajunya.
“Kau memang mencurinya?” Angin susah menyelinap masuk ke dalam penjara. Mereka mengipasi dirinya dengan sobekan kardus bekas yang biasanya dibuat alas tidur.
“Tidak. Sama sekali tidak. Sungguh.” Kasno menitikkan air mata. Tiga lelaki itu tertawa terbahak-bahak sampai kedua bahunya berguncang-guncang.
“Kalau begitu, ketika keluar dari penjara mencuri saja.” Lelaki gemuk itu menepuk pundak Kasno yang tengah mengelap air mata di pipinya.
“Ah, tidak. Aku bukan pencuri.” Kasno menggelengkan kepala.
“Jadi orang itu ya jangan tanggung-tanggung. Dituduh mencuri, ya mencuri aja sekalian, apa bedanya dituduh dan mencuri sungguhan, toh sama-sama meringkuk di penjara.”
“Mungkin sama di hadapan manusia, tapi beda di mata Tuhan,” kata Kasno lirih. Tiga lelaki itu kembali mengurai derai tawanya.
“Terserah kau sajalah! Hanya saja, jika kamu ingin berbuat apapun, berbuat nekadlah. Jangan tanggungtanggung, karena yang setengah-setengah tak jadi apa-apa. Mau jadi maling, ya jadi maling besar sekalian, korupsi misalnya, lumayan uangnya lebih gede dari pada yang curi ayam. Hukumannya pun sama, bahkan lebih lama yang curi ayam ketimbang koruptor.”
“Mau berbuat baik, ya jangan tanggung-tanggung, jangan setengah-setengah. Hidup penuh resiko. Tinggal kau pilih jalan mana yang mau kau tempuh. Jika ingin nekad, nekadlah senekad-nekadnya dalam kejahatan maupun kebaikan. Pilih saja diantara keduanya. Kau sendiri yang akan memetik dari apa yang kau tanam,” laki-laki berewok itu berujar panjang sekali. Kasno mengangguk-anggukkan kepala.
Setelah Kasno keluar dari penjara, ia berjalan menuruti langkah kakinya. Terngiang dalam pikirannya, pelajaran yang didapat dari dalam penjara, bahwa untuk berbuat harus nekad. Dengan terus membawa langkahnya, Kasno sungguh mengupayakan kenekatan belajar agama di pesantren terpencil, jauh dari hiruk pikuk perkotaan wajib dicapai.
Lima tahun setelah Kasno menimba ilmu pada Kiai Mashurat, ia diperkenankan pulang sekadar menengok rumahnya yang lama ditinggal. Terlebih dulu Kasno menjenguk tiga kawannya di dalam penjara. Mereka merangkul tubuh Kasno yang tengah mengenakan sarung, peci, dan bulir-bulir air jatuh dari mata tiga lelaki itu.
“Terimakasih atas pelajaran yang kalian berikan padaku selama di penjara. Bahwa untuk menjadi apapun harus berbuat nekad dan tak boleh tanggung-tanggung,” kata Kasno. Pelajaran di dalam penjara bagi Kasno amat berarti sampai-sampai Kasno menyebut tiga lelaki di balik jeruji itu dengan sebutan guru. Begitu Kasno menyebut nama “guru” tawa mereka langsung meledak.
Satu hari setelah kepulangannya ke Tang-Batang, Kasno dikunjungi Kasdiman secara tiba-tiba. Beberapa warga berkerumun di luar rumah. Kasno terkesiap dan berpikir macam-macam. Jangan-jangan mereka mau menjebloskan ke balik jeruji lagi. Kasdiman bersimpuh di bawah lutut Kasno. Ingin ia mencium telapak kaki Kasno sebagaimana ucapan Kasno, bahwa untuk mendapatkan maaf darinya harus terlebih dulu mencium telapak kaki laki-laki yang kini disebut ustadz oleh orang-orang.
“Kamu benar, Kas. Kamu memang bukan pencuri,” ucap Kasdiman diantara isak tangisnya yang meratapratap. Diangkatnya bahu Kasdiman oleh Kasno. Dua lelaki itu saling rangkul. Kasno mengangguk memaafkan.
“Kau berubah, Kas. Benar-benar berubah.”
“Itu semua karena guruku, Kiai Mashurat dan tiga guru di dalam penjara. Kepada mereka aku belajar menjadi manusia yang tidak setengah-setengah,” kata Kasno memandang wajah Kasdiman yang sembab.
Berdiam sesaat, Kasno kemudian mengatakan, “Untuk berhasil menggapai apapun yang kita impikan, jangan tanggung-tanggung berbuat, nekadlah! Nekad berbuat baik atau jahat, terserah kau, karena keduanya kita sendiri yang akan memetik hasilnya.” Dan mata Kasno berkaca-kaca, melintas dalam benaknya yang sempit ujaran tiga lelaki itu sewaktu di dalam penjara. Diam-diam rasa sesal menyelinap di lubuk hati Kasdiman. Kenapa aku terburu-buru menuduh Kasno pencuri sapi? Kasdiman mengutuk kesalahannya.

Pulau Garam, Maret 2017
Zainul Muttaqin Lahir di Garincang, Batangbatang Laok. Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Cerpen dan Puisinya dimuat di pelbagai media nasional dan lokal. Salah satu penulis dalam antologi cerpen; Dari Jendela yang Terbuka (2013) Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia (2013) Perempuan dan Bunga-bunga (2014).Gisaeng (2015). Tinggal di Madura. Email; lelakipulaugaram@ gmail.com

Bermain Randai

Oleh Kak Ian (Padang Ekspres, 14 Januari 2018)
Bermain Randai ilustrasi Google.jpg
Bermain Randai ilustrasi Google
Tidak lama lagi musim panen di Kampung Pariangan segera tiba. Kampung itu tempat tinggal Suni. Ia sudah berada di sana sejak kecil. Tentunya sebagai urang awak ia ingin sekali mengikuti acara musim panen itu nanti.
BIASANYA jorong akan memberitahukan pada semua warga kampung bila musim panen tiba akan ada perayaan. Dan perayaan itu akan menampilkan permainan tradisional randai. Itu dilakukan semata-mata sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas panen yang berlimpah.
Dan Suni ingin sekali ikut dalam acara itu. Ingin berada di dalam permainan randai itu.
Apalagi Suni tahu jika inyiak Bahar, kakeknya itu adalah salah satu orang terpenting dalam permainan randai. Inyiak Bahar di dalam randai itu ia sebagai jarang. Orang yang mengatur atau yang memberikan aba-aba setiap gerakan randai kepada para pemainnya.
Tentulah Suni pasti diizinkan untuk menjadi salah satu orang yang akan meramaikan permainan randai itu. Pikirnya. Walaupun usia Suni masih ketek. Tapi ia ingin sekali belajar bermain randai.
Seperti malam itu seusai salat isya Suni sudah ke rumah inyiak Bahar. Ingin melihat orang-orang berlatih randai. Setiba di rumah inyiak Bahar mata kecil Suni terbelalak. Ia terkejut saat mengetahui di muka perkarangan halaman rumah inyiak Bahar yang luas itu sudah sangat ramai. Sudah banyak para anak bujang remaja berkumpul. Mereka ingin berlatih randai pada inyiak Bahar. Inyiak Bahar adalah ayah dari Apak Suni.
Namun saat Suni mengamati para pemain randai mata bulatnya melihat sosok anak bujang seusianya. Tidak lain itu adalah Samsul. Samsul adalah anak dari adik Amak Suni. Jadi Amak Samsul dan Amak Suni, mereka itu adalah kakak beradik. Akhirnya Suni menghampiri Samsul.
“Kamu ada di sini, Sul?” tanya Suni.
“Iya! Aku ingin ikut meramaikan acara panen nanti. Lagi pula Apak dan Amak di rumah sudah mengizinkannya,” jawab Samsul.
“Oya, kamu sendiri kemari untuk apa?” lanjutnya.
“Sebenarnya aku kemari ingin seperti kamu. Makanya aku menemui inyiak. Semoga saja aku diperbolehkan,” ucap Suni tertunduk lesu.
“Kalau begitu aku antar ke hadapan inyiak. Ayo, ikut aku,” Samsul menawarkan diri.
Suni masih berdiam diri. Ia masih ragu. Apakah nanti diperbolehkan oleh Apak dan Amak di rumah atau tidak. Sebab, ia belum meminta izin untuk ikut bermain randai.
“Ayo, aku antarkan ke hadapan, inyiak! Aku yakin inyiak pasti mengizinkan kamu bermain randai. Apalagi sebagai generasi penerus kita harus melestarikan seni ini sebagai urang awak. Iyakan?” Samsul menegaskan.
Lama Suni terdiam. Akhirnya ia membuka suara juga. “Tapi aku belum izin sama Apak dan Amak di rumah kalau aku ingin ikut bermain randai,” ungkap Suni.
“Oh, masalah itu biarlah nanti inyiak yang menangani Apak dan Amak kamu di rumah. Aku saja bisa ikut karena dibantu inyiak. Bagaimana kamu mau dibantu sama inyiak, tidak?” Samsul menyemangati Suni.
“Baiklah kalau begitu aku setuju dengan usul kamu! Terima kasih atas saran kamu ya, Sul,” Suni berterima kasih.
“Sama-sama! Apalagi sebagai urang awak harus saling menyemangati. Bukan begitu,” Samsul menghibur Suni.
Usai itu mereka pun menemui inyiak Bahar. Dan malam pun sudah makin larut, latihan randai pun terlihat sudah dimulai. Suni berharap inyiak Bahar nanti bisa membujuk kedua orangtuanya itu untuk mengizinkan dirinya bermain randai untuk merayakan musim panen nanti.
Suni jadi tidak sabar untuk berlatih randai bersama Samsul dan para anak bujang lainnya. Suni ingin buru-buru berlatih randai.
Esokkannya, inyiak Bahar dan Samsul pun ke rumah Suni. Mereka ingin menemui Apak dan Amak Suni di rumah agar Suni diizinkan bermain randai meramaikan acara panen nanti.
Setiba di rumah inyiak Bahar langsung menemui Apak dan Amak Suni di ruang tamu. Sedangkan Suni dan Samsul menunggu di teras depan rumah. Mereka tidak boleh ikut campur jika urang gadang sedang bicara. Mereka mendengarkan saja di teras. Kecuali jika mereka diizinkan bicara. Boleh mengiyakan!
“Boleh saja Suni ikut bermain randai. Tapi persyaratannya seusai belajar dan mengerjakan tugas sekolah lebih dulu, Inyiak!” tukas Apak pada inyiak Bahar.
Suni yang berada di teras bersama Samsul hanya menyimak saja. Suni hanya menyahut jika diperintahkan saja.
Suni hanya sebagai pendengar saja. Jika diperintahkan bicara ia baru mengiyakan. Dan kini tibalah Suni diberikan kesempatan bicara saat inyiak Bahar memanggilnya.
“Bagaimana kamu sudah tahu persyaratan dari Apak kamu tadi?” tanya inyiak Bahar.
“Iya, aku janji akan menuruti persyaratan itu asal aku bisa ikut bermain randai untuk meramaikan acara panen nanti. Karena aku ingin sekali bisa melestarikan seni tradisonal di kampung ini, Apak,” jawab Suni panjang lebar.
Inyiak Bahar, Apak dan Amak yang mendengarnya pun terharu. Mata mereka pun berkaca-kaca ketika mengetahui keinginan mulia Suni.
“Baiklah, Apak mengizinkan kamu! Tapi ingat kamu baru bisa berlatih randai jika sudah belajar dan mengerjakan tugas sekolah lebih dulu!” Apak kembali mengingatkan Suni.
“Siap, Apak!” tukas Suni penuh semangat.
Akhirnya sejak itu Suni diizinkan bermain randai untuk meramaikan cara panen nanti. Ia begitu semangat berlatih. Itu terlihat saat ia begitu semangat dan sangat teratur dalam mengikuti gerakan tiap gerakan yang diperintahkan oleh jarang. Itu semua dilakukan agar terlihat kompak dan menarik serta indah di mata penonton randai nantinya.
“Bagaimana kamu sukakan dengan seni randai ini?” tanya Samsul pada Suni saat sedang berlatih.
“Iya, aku sangat suka sekali! Ternyata di kampung kita ada seni seperti ini. Aku jadi tidak sabar menunggu acara panen cepat terlaksana,” jawab Suni sambil mengikuti gerakan yang diperintahkan jarang. “Kalau kamu, Sul?” lanjutnya.
“Iya, seperti kamu itulah!” tukas Samsul.
Saat Suni dan Samsul asyik bicara tiba-tiba inyiak Bahar menegurnya.
“Mau berlatih atau banyak bicara!” tegur inyiak Bahar.
“Kita ingin berlatih, inyiakkkk…!” kompak mereka.
Akhirnya mereka kembali berlatih dengan bersungguh-sungguh sambil mengikuti ucapan yang dikeluarkan dari mulut inyiak Bahar sesuai aba-abanya. Dan Suni pun makin tidak sabar untuk menanti acara panen tiba. Walaupun saat itu ia sedang berlatih randai dengan begitu penuh semangat dan percaya diri. (*)

Tiang Kejujuran

Oleh Ahmad Zul Hilmi (Padang Ekspres, 14 Januari 2018)
Tiang Kejujuran ilustrasi Padang Ekspres.jpg
Tiang Kejujuran ilustrasi Padang Ekspres
Kejujuran ialah mata uang yang berguna di mana saja. Setiap kejujuran akan menemui kelicikan, dan setiap kelicikan tak selamanya baik.
BAWANG Merah selalu melakukan segala cara untuk membuat agar Bawang Putih sengsara. Tetapi setiap cara yang dilakukan Bawang Merah tidak pernah berhasil. Karena sifat jujur Bawang Putih, membuat semua orang kepadanya. Cara apa pun sudah dilakukan Bawang Merah dan juga tak pernah berhasil. Sampai pada suatu malam di pesta seribu cahaya. Bawang Merah lagi-lagi melakukan kelicikan kepada Bawang Putih. Malang tak dapat diduga. Bawang Merah ketahuan melakukan kelicikan. Sontak membuat pengeran sangat marah kepada ratu kejahatan itu. Semenjak kejadian itu, pangeran tak menghiraukan lagi yang dilakukan Bawang Merah.
Kejadian itu telah berlalu. Bukan hanya pangeran yang benci kepada Bawang Merah tetapi semua penduduk desa suka jujur membencinya. Bawang Merah merasakan di dalam penjara kesepian. Tak ada yang menghiraukan keberadaan ratu kejahatan itu.
Setelah beberapa hari kemudian pangeran Ahmad melamar Bawang Putih. Yang di saksikan semua penduduk desa. Diluar dugaan Bawang Putih menolak lamaran dari pangeran. Pangeran terdiam mendengar jawaban Bawang Putih. “Kenapa Bawang Putih bisa menolak dirinya,” pikir pangeran. Pangeran menyuruh ajudannya mencari tahu, mengapa Bawang Putih menolaknnya.
Tak cukup satu jam dibutuhkan oleh ajudan. Pangeran mengetahui jawaban dibalik penolakan lamaran pangeran. Ternyata Bawang Merah juga mencintai pangeran. Bawang Putih tak ingin menyakiti perasaan kakaknya itu.
***
Seminggu berlalu. Pangeran sudah berpikir matang-matang. Pangeran menyuruh ajudannya mengundang warga untuk datang pada pesta kesempatan kedua. Semua warga diharapkan untuk bisa datang. Pangeran juga menyuruh ajudan untuk mengundang Bawang Merah dan Bawang Putih.
Semua penduduk telah berkumpul. Ruangan sangat megah. Karena pangeran menamakannya pesta kesempatan kedua. Pada pesta malam itu, pangeran sengaja menyediakan sebuah meja khusus. Meja berbentuk lingkaran yang di atasnya ada banyak lilin, bunga dan tentunya makanan. Di meja lain ada banyak kursi, tetapi di meja yang khusus di siapkan pangeran hanya ada tiga kursi.
Acara berlangsung secara meriah. Sampai di pertengahan acara, pangeran memanggil Bawah Merah. Semua orang terkejut, kenapa bawang merah yang di panggil, bukankah Bawang Merah jahat dan pangeran benci padanya.
Semua penduduk terheran. Bawang Merah menuju tempat duduk yang semua di sediakan khusus oleh pangeran terheran. Bawang Merah dan pangeran mengobrol dan tidak ada yang mengetahui apa yang mereka bicarakan. Setelah berbicara dengan pangeran, tiba-tiba Bawang Merah menghampiri Bawang Putih. Dan mengajak untuk duduk bersama pangeran.
Singkat cerita ternyata pangeran meminta izin kepada Bawang Merah, dan Bawang Merah menyetujuinya. Bawang Merah rela jika Bawang Putih jodoh pangeran. Akhirnya Bawang Putih dan pangeran hidup bahagia selamanya, Tamat.
“Lanjutkan lagi, Tuk, ceritanya,” ucap Gonzales.
“Mau cerita apa lagi?” tanya Atuk Icang.
Atuk Icang memang memiliki banyak cerita yang didapatkan dari membaca buku dan ada juga yang di karangnya sendiri.
“Tiang Kehancuran,” ucap Gonzales.
Baiklah Atuk akan cerita, tentang “Tiang kejujuran”.
Dimulai ketika di saat Atuk masih berusia enam tahun. Sebuah desa belum memiliki nama. Dan orang-orang kesulitan untuk mencari alamat karena memang tidak ada nama. “Terus apa lagi Tuk,” tanya Gonzales.
Warga-warga akhirnya di wajibkan untuk berkumpul di balai desa untuk berkumpul sembari silaturahmi. Saat di balai desa warga-warga berdebat untuk mencari nama yang bagus untuk desa tersebut. Ada yang memberi usulan namanya Lionel Messi, karena di desa ini Lionel Messi yang paling dituakan. Tidak bisa kalau memang yang di tuakan banyak yang lain, Andreas Iniesta, Carles Puyol, Xavi hernandes, dan Sergio Busquest juga di tuakan di kampung ini.
Setelah perdebatan yang sangat lama. Bapak kepala desa mengambil keputusan. Jam sudah menunjukan pukul dua belas siang. “Kita sudahi dulu dan segera istirahat, Sholat dan makan. Setelah itu kita pergi berkeliling kampung. Siapa tahu kita bisa menemukan nama yang pas untuk desa ini. Nama sangat penting, agar bisa kita laporkan dan agar orang mudah mencarinya,” ujar kepala desa.
Sembari di perjalanan, orang-orang bercerita tentang seorang pejabat tinggi yang diduga melakukan penggelapan uang. Sembari mereka bercerita, Tuk Icang menyanggah. “Hus sudahlah, jangan itu yang kalian bicarakan,” mereka terdiam. Tetapi tidak beberapa lama dari itu kembali mereka bercerita.
“Ternyata pejabat itu melalukan segala cara agar tidak di proses lebih lanjut,” sebut mereka.
Asik bersenda gurau ternyata ada motor dari kejauhan yang ugal-ugalan.
Setelah beberapa lama dari itu, tiba-tiba yang membawa motor tadi menabrak tiang listrik. Yang membuat orang di sekitar jadi penasaran, motor yang menabrak tidak mengalami kerusakan. Sementara tiang listriknya patah. Orang-orang sekitar terheran kenapa yang mengendarai motor tidak apa-apa, tetapi yang di belakangnya mengalami pendarahan di kepala.
Segera yang mengendari itu berkata. “Jangan tolong saya, saya tidak apa-apa, saya harus membawa teman saya,” sebut pengendara.
“Mari kami tolong,” ucap warga.
“Tidak usah, saya harus pergi,” balas pengendara. Benjolan di kepalanya sudah seperti bakpaw yang berisikan stroberi.
Semenjak kejadian itulah, desa ini di berikan nama Desa Tiang Kejujuran
“Ooo begitu ya Tuk,” jawab Gonzales.
“Jadi intinya, jangan melakukan kejahatan, dan jangan melakukan segala cara untuk menghilangkan bukti dari kejahatan tersebut,” nasehat tuk Icang.
“Iya, Tuk, Gonzales berjanji janji orang jujur yang tidak menghabiskan uang rakyat dan selalu menjadi orang yang berguna,” ucap Gonzales semangat. (*)

Prajurit yang Sakit Hati

Cerpen Alfian Dippahatang (Bali Post, 14 Januari 2018)
Prajurit yang Sakit Hati ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post.jpg
Prajurit yang Sakit Hati ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post
Jauh sebelum ia menawarkan kebebasan, aku sudah menolaknya. Aku tak ingin jadi boneka. Ia datang memuji prestasiku yang pernah jadi prajurit komando Belanda di akhir Perang Dunia II di Eropa. Di balik pujiannya, aku diminta menjadi pengawal keselamatan pemimpin besar revolusi tanah air. Tawaran menarik perwira itu terdengar di telingaku—hal yang malah menambah sakit hatiku, terpaksa menjauh dari kampung halaman.
“Jika semuanya membaik. Pulanglah. Pikirkan Andi Sahi.”
Perkataan Ayahku ini dipertegas lagi dengan permohonan istriku, agar aku pulang membimbing darah bangsawan Sahi. Namun, waktu sehari berleha-leha tak mudah kuperoleh. Harapan untuk balik ke rumah selalu terkendala, terkubur bertahun-tahun. Membayangkan pipi keriput dan mata Ayahku, sakit hati ini terus tertumpuk. Ditambah perkataan istriku yang memelas. Pesan Ayah terus kugenggam, harapan istriku terus berdengung di telingaku, tapi langkahku tak henti diintai.
Memasuki tahun 1963 ini. Aku diperhadapkan kenyataan baru dan mengejutkan. Pemerintah semakin menganggapku indisipliner. Sejak tertangkap, utusan demi utusan terus berdatangan menemuiku, meminta untuk berunding, tapi sakit hati terlanjur menjalar di tubuhku. Mereka juga enggan membunuhku—sebab otot dan otakku masih bisa mereka pakai sebagai alat negara. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik mati ketimbang memperoleh siksaan bertubi-tubi. Tapi, aku akan jadi manusia celaka jika mati sebelum bertemu Ayah, Sahi, dan istriku.
Memang sakit hati dituduh sebagai pemicu terjadinya pemberontakan mantan serdadu Koninklijk Nederlands Indisch Leger di Makassar. Padahal, aku tak tahu apa-apa tentang persoalan itu. Pemerintah telah bertindak sesuka hati menilaiku seperti penjahat bertangan dingin dalam peperangan. Aku hanya bisa menahan berang dengan semua keadaan ini. Sama sekali tak ada waktu menemui Sahi, aku dibuat tak mengenalnya, sebaliknya juga Sahi tak bisa mengenal siapa aku.
“Angin segar menantimu untuk kau hirup hari ini.”
Ia tak jauh berdiri di hadapanku. Di belakangnya ada tiga orang pengawal. Wajar, ia perwira penting yang diutus untuk merekrut. Seolah bibirku dijahit, sakit hatiku bertambah jika memberi tanggapan. Aku tetap duduk malas bersandar di tembok yang tak jelas lagi warna cat dasarnya.
“Aku kemari bukan untuk mendengar penolakanmu.”
Ucapannya menjijikkan. Memualkan. Aku ingin muntah.
“Kedudukan penting ini diinginkan banyak orang. Menjadi perwira tentu kebanggaan. Kau beruntung langsung diminta menjadi bagian dari pasukan elite negeri ini.”
Aku sudah menduga, bahwa semua ini hanya latar dan akal-akalan pemerintah yang berjuang keras menahanku. Ia kira dengan kondisiku ini aku akan menyerah. Tunduk dan gagal mempertahankan ideologi.
“Tak ada lagi kabur-kaburan jika kau sepakat. Aku tahu, ruangan ini pengap dan memuakkan bagimu. Maka dari itu, aku datang menawarkan kebaikan.”
Utusan pemerintah orde lama di hadapanku ini tak jauh berbeda dengan utusan sebelum-sebelumnya, sungguh membawa kebaikan yang bobrok. Dikiranya aku tolol dengan menyerah begitu saja pada keadaan.
“Kau sangat dibutuhkan.”
Ekspresinya meyakinkan. Namun, tetap saja menjengkelkan. Ia kira aku takut dengan rahangnya yang kokoh tahan pukulan sana-sini dan juga ia kira permintaan tegasnya, lekas membuat hatiku membaik. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, dengan alasan ingin bertemu keluarga, kuputuskan berhenti berkarier dalam militer asing. Meski pasca itu, aku harus menanggung nasib buruk—harapan untuk memeluk tubuh Sahi, sirna. Sekarang, Sahi pasti sudah menginjak remaja. Aku di tanah air menanggung perlakuan tak wajar, begitulah kondisi tak tentu arah mata anginnya—kata sepakat dalam perundingan butuh timbangan waktu sebelum disepakati. Aku dianggap terlambat, padahal bukan aku yang memulai biang masalahnya mengulur-ulur waktu.
“Tak usah berpikir lama. Putuskan saja. Ini demi kebaikan. Kau akan dapat kenyamanan yang tak diperoleh banyak orang masa ini.”
Perwira di hadapanku ini berceloteh lagi tentang kebaikan. Memuakkan memang mendengar sesuatu yang diulang-ulang. Apa yang ia tahu tentang kebaikan sepihak? Aku masih memilih membisu. Sepertinya, ia tahu aku tidak suka menunggu satu, dua kabar dengan bertopang dagu di meja.
“Kebaikan yang kami pahami saat ini, salah satunya ada pada dirimu.”
Sungguh, kebaikan yang ia jelaskan adalah basa-basi, bagian dari siasat dan tentu sesat bagiku.
“Menjadi prajurit komando berpengalaman, membuat kami kagum sepak terjangmu dan keterlibatanmu dalam militer asing.”
Kedatangannya memang mewakili seseorang yang berpengaruh di tanah air ini. Aku harus menanggung beban berada di ruangan pengap memendam keluhan. Padahal pemberontakan yang dituduhkan kepadaku didalangi politisi Republik Indonesia Serikat.
“Tak ada susahnya. Kau cukup mengatakan setuju untuk lepas dari sini.”
Tentu mengatakan setuju adalah ledakan, malah jika sepakat akan membuka gerbang kehancuran bagiku. Mungkin, aku bisa menghirup udara lepas, tetapi tak akan bebas dan leluasa bertindak. Tindakanku harus menurut dari perintah pemimpin besar revolusi. Menjadi pengawal adalah bajingan yang tak termaafkan bagi kawankawanku di luar sana.
“Suatu kehormatan bagi kami jika kau bergabung. Jangan ngotot begitu menolak maksud kedatangan seseorang yang memberi tawaran istimewa.”
Kukira ia akan kembali mengatakan perihal kebaikan. Lantas, kehormatan macam apa yang akan kuperoleh jika harus tunduk dan meninggalkan seluruh perjuanganku? Sekarang, kucoba terus tenang mempergunakan akal, agar bisa meninggalkan tempat ini. Tindakan perwira di hadapanku ini sudah jadi kunci yang membukakan aku pintu.
“Kau berharga bagi kami. Harga mati untuk menindaki segala carut-marut mengenai kondisi tanah air. Kau dinanti untuk membungkam segalanya.”
Kuharap ia bosan berada di sini, ternyata tidak. Sekarang, ia duduk di kursi yang tadi diambil oleh salah satu pengawalnya. Ia tak henti meminta kesepakatanku. Sepertinya ia memang diminta datang kemari untuk tidak bosan merayu. Agar, pulang tak membawa kekecewaan untuk kesekian kalinya. Sekarang kuluruskan sepasang kakiku. Ia menyodorkan keretek. Aku menolaknya.
“Amat langka prestasi diperoleh seseorang di usia muda, kau sangat dikenal zaman ini sebagai prajurit yang rela bertaruh jiwa dan raga.”
Ketimbang memberi tanggapan berbusa-busa bukan dari hati, memilih diam memang pilihan.
“Cakrabirawa diinginkan memiliki pasukan hebat. Jika kau bergabung, langkah mewujudkan cita-cita itu segera terwujud.”
Cakrabirawa dikenal sebagai pasukan yang disegani masa ini.
“Sikapmu sudah mewakili kekerasan hati orang-orang Indonesia Timur. Orang Bugis yang susah diatur.”
Aku tak mewakili tanah kelahiranku. Ingin kusumpal mulutnya. Bicaranya kotor sekali. Tak banyak orang Indonesia Timur sekeras diriku, terlebih berani memutuskan tindakan. Apalagi bersikap melawan pemerintah, karena tak memperoleh kesepakatan. Masa ini, orangorang lebih mencari aman dengan menjadi mata-mata, menyeleweng, dan berkhianat. Hal ini lumrah terjadi di sekitarku.
***
Belum cukup dua Minggu Sahi lahir, aku berikrar akan kembali ke Barru. Pulang selamat dengan semangat menggebu akan mengajari Sahi menyentuh tanah yang bersih dan suci dari darah. Inti surat dari sahabatku Rido di Makassar mengatakan, bahwa pasukan TNI satu batalion dari Jawa dalam waktu dekat akan tiba di Makassar.
“Ingat, kembalilah menengok kami. Sahi membutuhkan sentuhanmu. Jika nyawa bisa dibeli, apa pun kulakukan untuk melihatmu betah mendidik Sahi. Kau akan menambah kekacauan jika tak segera menyerah. Apakah kau tega melihat orang semakin banyak bergelimpangan di jalan-jalan?”
Kalimat Ayah adalah pengharapan. Ia juga menegaskan padaku untuk tetap berhatihati, agar bisa kembali menengok Sahi dan istriku. Sayangnya, waktu sehari untuk menengok orang di rumah tidaklah mudah. Aku berusaha keras meyakinkan Ayah, aku akan pulang. Sebabnya, tak secuil keraguan kutunjukkan padanya.
Aku tak tega melakukan semua ini, tapi keadaan menuntutku melakukannya. Dukungan dari beberapa kelompok telah kuterima. Di sisi lain, antek pemerintah melalui kelompok masyarakat anti-federal terus berdemo, mendesak Negara Indonesia Timur bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sungguh keadaan memuakkan. Sahabatku, Rido juga meyakinkan perjuangan kami belum selesai. Satu yang kusyukuri, Rido tak ikut tertangkap. Beruntung ia menolak ajakanku bertemu presiden NIT Sukawati yang mendesakku ke Jakarta.
Saat tertangkap, aku terus berusaha melarikan diri dari tempatku mendapat hukuman di Jakarta selama 8 tahun. Begitulah, kakiku tetap dijaga, agar tak lepas kendali. Tiga tahun di Wirogunan Yogyakarta. Sempat dipindahkan ke Cimahi, aku juga sempat memberontak di sana, sebelum akhirnya dijebloskan kembali. Selanjutnya dipindahkan ke Ambarawa.
Tak lama, aku kembali diadili di Yogyakarta. Tindakan pemerintahan RIS yang menangkapku di sekitar istana negara tahun 1950 terus berbekas. Menolak menjadi komandan Cakrabirawa suatu kemerdekaan bagiku. Aku merasa pemerintah kalah dengan penolakanku. Namun, saat kekacauan meledak di bulan April tahun 1950 di Makassar, Ayahku terbunuh.
Bukannya menjaga keamanan, kedatangan TNI malah menambah kegaduhan. Selepas bebas dari tahanan, kusaksikan masyarakat pro-federal yang ikut dalam komandoku ditumpas habis. Cerita dari Rido sekilas membuatku tampak tegar di hadapannya, walau air mataku ingin meleleh. Sesalku datang belakangan.
“Ayahmu sempat bilang kepadaku, ia datang ke Makassar bermaksud menemuimu. Ayahmu ingin menghentikan tindakanmu yang keras kepala mempertahankan NIT. Namun, ia tak percaya padaku, bahwa kau ke Jakarta. Cerita para sahabat mantan KNIL kita mengatakan, Ayahmu terkena peluru dari TNI, karena ia berusaha menembus kekacauan.”
Cerita dari Rido juga membuat hari-hariku lebih banyak diam. Diamankan oleh Rido, akhirnya aku tiba di tempat istriku dan Sahi berada. Namun, yang kutemukan hanya tulisan istriku di sobekan kertas yang tergeletak di meja. Istriku bilang, jika aku ingin bertemu dengannya dan Sahi, aku harus kembali ke Barru. Sakit hatiku tak akan sembuh pada orde lama.

Makassar, 2017
Alfian Dippahatang, lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Tidak Selesai di Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar dan memutuskan lanjut lagi kuliah di Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin. Bergiat di sebuah ruang diskusi dan menulis bernama Kelompok Belajar Memancing. Bukunya yang telah terbit, Dapur Ajaib (Basabasi, 2017).

Bayang-bayang

Cerpen Nurdiani Latifah (Pikiran Rakyat, 14 Januari 2018)
Last Blossom Egg ilustrasi Alanwari Spasi - Pikiran Rakyat.jpg
Last Blossom Egg ilustrasi Alanwari Spasi/Pikiran Rakyat
KAMU tahu, apa yang disebut dengan bayang-bayang? Bagaimana kita bisa menemukan bayang-bayang? Mudah, kita hanya tinggal diam di bawah terik matahari atau cahaya. Maka lihatlah ke bawah tanah, ada warna hitam yang membentuk seperti tubuh kita.
KARENA cahaya merambat lurus, lalu apabila cahaya terhalang sesuatu. Maka bayang-bayang itu akan terjadi. Tapi kalau cahayanya lemah, bayang-bayang itu akan sangat kuat. Tapi, bagaimana pun juga, bayang-bayang sesuatu yang tidak pernah bisa digapai dan didapatkan. Mereka memang ada, tapi mereka maya.
Ponsel saya berdering. Ternyata wanita itu menelpon saya.
“Kamu di mana?” tanyanya.
“Saya sudah di rumah.”
“Kapan kamu pulang? Kenapa nggak kasih kabar?”
“Saya lupa, tadi langsung buat berita.”
Percakapan semakin berlanjut dan saya terbawa bersamanya. Ini tidak mungkin, tapi memang begitu. Saya tidak tahu kapan ini akan berakhir, tapi yang pasti saya tidak ingin ini berakhir saat ini. Satu jam berlalu, percakapan yang ringan dan menyenangkan telah berakhir.
Ternyata satu jam masih belum bisa menyelesaikan rindu terhadap wanita itu. Masih banyakcerita yang ingin saya ceritakan padanya. Tapi, memang harus selasai begitu saja saat langkah saya belum menemukan puncaknya.
“Sudah dulu ya.”
“Iya,” saya mematikan ponsel, lalu membaringkan tubuh saya di kasur.
Saya menatap langit-langit kamar dan mulai menemukan wajah wanita itu sana. Otak saua mulai memutar kenangan bersamanya saat kita berada di bangku kuliah 10 tahun yang lalu. Wanita itu pernah saya marahi ketika ospek kampus, wajah ketakutannya lucu sekali hingga saya tidak berani membentaknya.
Setelah saat itu, saya tidak lagi bertemu dengan wanita itu, baru empat tahun yang lalu saya bertemu dengannya di lapangan, ketika kami sama-sama menjadi wartawan dan saya satu jobdesk dengannya.
Saya baru empat tahun yang lalu menjadi wartawan. Sementara wanita itu, sudah enam tahun. Dia lebih dulu menjadi wartawan, saya juniornya. Dia banyak berubah. Saya cukup pangling saat pertama kali bertemu dengannya di lapangan. Dia tidak lagi pemalu seperti dulu.
Bagi saya, dulu dan sekarang masih tetap sama. Saya masih menjadi pengagumnya. Tapi, saat ini pengagumnya adalah bayang-bayangnya.
***
UNTUNG saja, telefon dengan lelaki itu sudah saya matikan. Tepat pukul delapan malam, bel rumah berbunyi pertanda ada seseorang yang datang ke rumah.
“Hai,” senyumnya masih tetap lebar metapa saya.
Dalam hitungan detik, tubuh saya dipeluk dan mencium kening saya. Pelukan yang sedikit hambar, saya tak merasakan getaran saat pertama kali dulu.
“Gimana hari ini, liputan kamu lancar?”
“Biasa aja, Mas. Cuma tadi kehujanan.”
Matanya seakan ingin tahu apa yang saya lakukan dalam seharian ini. Tapi cerita saya sudah saya ceritakan pada lelaki itu.
“Tapi kamu nggak apa-apa, kan?” dia sedikit cemas.
Saya menggelengkan kepala.
“Syukurlah. Anak kita sudah tidur?”
Aku mengangguk. Dia kembali memeluk saya. Cukup hangat, tapi memang ada yang hambar. Entah apa itu, saya masih mencarinya. Dia menatap saya, tiba-tiba saya menangkap bibirnya jatuh di bibirku. Lembab.
***
VOLUME hujan tidak berkurang sedikit pun sejak tadi siang. Bahkan, hujan membuat kafe di tengah Kota Bandung ini semakin padat dengan manusia. Rata-rata mereka hanya ingin menunggu hujan sedikit reda untuk bisa meneruskan perjalanan mereka.
Bagi saya hujan merupakan salah satu yang indah. Karena dari keadaan itu saya bisa memutar kenangan. “Musik, hujan dan kamu. Indah bukan?” wanita itu menatap saya.
Sepertinya, wanita itu mengulang kisah lama kita. Dulu. saya pernah mencium wanita itu di tengah hujan, satu kenangan yang tidak bisa saya hilangkan. Apa wanita itu mengingatnya?
“Kamu tahu, dulu saya meng….” tangannya memegang tangan saya.
“Itu dulu!” saya melepaskan genggamannya.
“Tapi…” wajahnya sedikit murung.
Tiba-tiba saja wanita itu mengambil ponselnya. Mimik wajahnya tiba-tiba berubah, senyum sekaligus gelisah. Mungkin dari lelakinya. Cukup lama, saya tidak ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
“Dari suamimu?” aku memberanikan diri menanyakan itu.
“Sudahlah!”
“Nggak bisa!”
Seketika kami terdiam. Wanita itu menunduk, menatap makanan di piringnya. Sedih, entahlah. “Mau sampai kapan kita kaya gini terus?”
Kepalanya menggeleng, tanda tidak tahu. “Kamu nyaman kita kaya gini?”
Wajahnya menatap saya, seperti ingin mengeluarkan sebuah kalimat. Tapi, masih tertelan di tenggorokannya. Lalu berubah menjadi gelisah.
“Kamu bisa menanyakan hal lain?”
Ini giliran saya meminta kejelaskan dari wanita itu. Hubungan ini tidak wajar. Saya memang masih mencintai wanita itu, kebodohan saya di masa dulu adalah mencintanya dalam diam. Saya tidak pernah mampu menyatakan perasaan saya kepadanya.
Hingga dirinya lulus perguruan tinggi, saya tidak mampu menyatakan cinta kepadanya. Wanita itu menghilang. Saya mencarinya melalui sosial media, tapi semuanya nihil. Tidak ada akunnya.
Melalui internet saya bisa melacak tulisannya. Misi saya menjadi wartawan hanya untuk mencarinya dan menceritakan kisah kita yang saya rasa belum selesai.
“Bisa kita perjelas hubungan kita?” aku memaksa.
Kembali wanita itu menatap saya, dia ketakutan.
“Saya akui, saya menjadi wartawan hanya untuk kamu. Saya ingin bertemu kamu,” aku menatap sekitar. Semuanya terasa beku. Berhenti, hanya rintikan air hujan yang terus saja deras.
“Kita sudah bertemu, tak usah berbicara yang lain.”
“Tapi, kali ini kamu tidak seperti dulu, kamu sudah bersama dengan lelaki itu dan memiliki satu orang anak.”
Semuanya sunyi. Saya bisa menghirup aroma kopi yang semakin kuat.
“Saya mencintai kamu, bukan berarti saya mau menjadi bayang-bayang lelaki itu!” nada suara saya sedikit meninggi.
“Tapi saya tidak benar-benar bahagia dengannya!”
“Bahagia atau tidak bukan urusan saya, kamu tetap tidak bisa meninggalkan lelaki itu, bukan?”
Saya mengambil napas dalam-dalam. Satu menit lagi saya akan meninggalkan tempat ini. Saya sudah memikirkan semuanya. Hari ini atau bukan. Saya mulai pemandangan lain di sudut ruangan yang lainnya. Ada sebuah senyuman manja yang menyapa saya, mengalihkan pembicaraan dengan wanita di hadapanku.
“Siapa?” tanyanya.
Saya melambaikan tangan, menandakan agar si pemilik senyum itu mendekati saya.
“Nanti juga kamu tahu.” Saya meneguk sedikit kopi arabika yang tadi dipesan.
Dalam hitungan menit, dia datang menghampiri meja saya. Saya langsung menggenggam tangannya, wanita di hadapan saya menatap seakan tidak percaya.
“Saya harap kamu bisa mengerti,” saya meninggalkan perempuan itu dengan kopi yang sudah sedikit dingin.
Aku berhenti menjadi bayang-bayang lelakinya. Saya ingin menjadi cahaya juga, tapi bukan untuk wanita itu, untuk wanita lainnya yang sudah saya pilih. Saya berjanji, akan selalu menjadi cahaya untuk perempuan yang sedang saya genggam tangannya. Perempuan yang selalu membuat wanita itu cemburu. Nadya. ***