Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Jadikanlah Aku Wanita Terakhirmu
Kurasa sudah cukup banyak alur cerita yang ku lalui bersamamu
Dan tak jarang ada mereka yang menjadi figur dalam ceritaku denganmu
Aku tidak membenci atau menyalahkan keadaan seperti yang lainnya
Aku menikmati setiap proses tawaku bahkan tangis ku karenamu
Pun aku mensyukuri tanpa menyesali
Memang,
Memang ada luka pada bab bab tertentu
Namun kau cukup baik anginku
Sebab kau gantikan dengan bahagia yang mendekati sejatinya
Memang,
Memang keadaan pernah menyudutkanku akan kesalahan yang tak aku sadari
Namun bukankah itu sudah berlalu?
Anginku
Jika benar sepenuhnya kau adalah teruntukku
Aku tak meminta banyak hal
Cukuplah aku yang menjadi wanita yang menemanimu dari kesederhanaan
Cukuplah aku menjadi tempatmu bersandar hati
Kau tahu angin
Melangkah hingga tahap ini tidaklah mudah
Pun aku tahu akan ada prahara berikutnya
Kumohon,tetaplah bersamaku
Sungguh
Rasaku bukanlah sebuah kekaguman semata
Atau ketenaran belaka
Rasaku sudah dalam tahap stadium akhir
Di mana aku ingin kaulah yang mengakhiri
Dimana ketika kau menggenggam tanganku
Pun itu tak akan membatalkan wudhumu
Dimana akulah yang berada dibelakangmu dan mengaminkan setiap kebaikan doamu
Jangan,
Jangan ada orang lain lagi di antara kita
Kurasa ceritaku sudahlah lengkap meski hanya denganmu
Kurasa tak perlu ada wanita lain bahkan pria lain untuk meramaikan kisah ini
Cukup,
Cukuplah malaikat malaikat kecil nan lucu dan menggemaskan yang hadir di istana sederhana kita nanti
Cukuplah bahagia dan tawa yang menjadi wallpaper akan bahtera kita
Cukuplah senyum dan kasih yang menjadi dekorasi kebahagiaan hati setelah ini
Mentari
Bintang
Bunga
Senja
Kumohon,
Kumohon biarkan ia bahagia bersamaku ya
Kumohon jangan kau ambil anginku dari hidupku
Cukup jadikan ia cerita
Dan biarlah kini kami yang melanjutkannya
Atas nama cinta dan penantian
Kumohon maafkan aku yang sedikit keras kepala memilikinya
Ya Allah Sang Maha Cinta
Mudahkanlah langkahnya
Siapkanlah diriku
Agar kami makhluk yang tengah mendoa dalam penantian
Menjadi dua insan yang engkau ridhoi dalam sebuah ikatan ber label halal
Dan benar
Jadikanlah aku wanita terakhirmu
Ketika aku tahu diriku mulai merasakan "jatuh cinta" kepada salah seorang hamba-Nya Aku memilih pergi, jauh, dan menghilang Aku hanya tak ingin berdekatan dengannya karena nafsu Biarlah
doa ini saja yang merayu Rabb ku agar kelak jika memang dia adalah yang
terbaik untukku menurut-Nya, Dia sendiri yang akan mendekatkan kami. . Sekarang aku hanya ingin fokus memperbaiki diriku, meraih cita-citaku, dan bersiap untuk hari esok yang lebih baik Lagipula aku masih ada kedua orang tua, aku harus menyibukkan diri berbakti kepada mereka Dan aku tahu Bukan cinta namanya kalau membuatmu berdosa
Jika ada perempuan yang membuat Aisyah cemburu besar, maka ia adalah Khadijah.
Jika ada perempuan yang mampu membuat Rasulullah mengingatnya sepanjang waktu, bahkan ketika Beliau dengan istri-istrinya. Maka Khadijah lah orangnya, dan dengan Khadijah lah Rasulullah bermonigami.
Segala keistimewaan yang dimilikinya menjadikan ia perempuan paling beruntung sepanjang masa.
Akhlak Khadijah semestinya dijadikan gambaran bagaimana semestinya seorang istri bersikap kepada suaminya. Akhlak
yang mampu memberikan kebahagiaan kepada keluarganya dan akhirnya
terbentuklah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Akhlak yang bisa kita contoh sbb: 1. Menerima suami apa adanya Khadijah
merupakan Wanita kaya raya di Seantero Mekkah. Dengan harta dan
kecantikan yang di milikinya banyak laki laki yang hendak meminangnya.
Tetapi Khadijah lebih memilih Muhammad yang tidak mempunyai apa apa. Bagi Khadijah harta bukanlah segalanya, namun Kebaikan dan Kesalihan Rasulullah lah yang menjadi pilihan utamanya.
2. Selalu ada ketika suami membutuhkan Selama bersama Rasulullah, Khadijah selalu bersama dengan Beliau dalam suka dan duka.
Ia menjadi teman yang sangat setia. Tidak sedikitpun ia mengeluh atas semua yang terjadi pada keluarganya.
3. Penuh kasih sayang dan perhatian kepada suami Khadijah
yang mempunyai cinta suci ini mampu mencurahkan perhatian, kepada
Rasulullah, sehingga beliau tidak pernah menyakiti Istri yang sangat
dicintainya itu.
4. Berkata bijak dan menenangkan Selalu
mendukung setiap hal yang mengandung Kebenaran. Khadijah lah yang
menenangkan Rasulullah ketika mendapat wahyu pertama kali. 5. Mendidik anak dengan baik Salah satu keistimewaan Khadijah di banding istri-istri Rasulullah yang lain. Dari Khadijah Rasulullah mendapatkan keturunan.
6. Bergaul baik dengan suami Keduanya paham dengan hak dan kewajiban masing-masing sehingga tenanglah rumah tangga beliau.
7. Tawakal dan sabar Inilah yang di lakukan Khadijah yang pada saat itu menjadi bulan bulanan hinaan masyarakat Quraizy.
Tawakal dan sabar telah memberikan energi positif pada keduanya, sehingga mampu menghadapi semuanya.
Jika ada perempuan yang membuat Aisyah cemburu besar, maka ia adalah Khadijah.
Jika ada perempuan yang mampu membuat Rasulullah mengingatnya sepanjang waktu, bahkan ketika Beliau dengan istri-istrinya. Maka Khadijah lah orangnya, dan dengan Khadijah lah Rasulullah bermonigami.
Segala keistimewaan yang dimilikinya menjadikan ia perempuan paling beruntung sepanjang masa.
Akhlak Khadijah semestinya dijadikan gambaran bagaimana semestinya seorang istri bersikap kepada suaminya. Akhlak
yang mampu memberikan kebahagiaan kepada keluarganya dan akhirnya
terbentuklah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Akhlak yang bisa kita contoh sbb: 1. Menerima suami apa adanya Khadijah
merupakan Wanita kaya raya di Seantero Mekkah. Dengan harta dan
kecantikan yang di milikinya banyak laki laki yang hendak meminangnya.
Tetapi Khadijah lebih memilih Muhammad yang tidak mempunyai apa apa. Bagi Khadijah harta bukanlah segalanya, namun Kebaikan dan Kesalihan Rasulullah lah yang menjadi pilihan utamanya.
2. Selalu ada ketika suami membutuhkan Selama bersama Rasulullah, Khadijah selalu bersama dengan Beliau dalam suka dan duka.
Ia menjadi teman yang sangat setia. Tidak sedikitpun ia mengeluh atas semua yang terjadi pada keluarganya.
3. Penuh kasih sayang dan perhatian kepada suami Khadijah
yang mempunyai cinta suci ini mampu mencurahkan perhatian, kepada
Rasulullah, sehingga beliau tidak pernah menyakiti Istri yang sangat
dicintainya itu.
4. Berkata bijak dan menenangkan Selalu
mendukung setiap hal yang mengandung Kebenaran. Khadijah lah yang
menenangkan Rasulullah ketika mendapat wahyu pertama kali. 5. Mendidik anak dengan baik Salah satu keistimewaan Khadijah di banding istri-istri Rasulullah yang lain. Dari Khadijah Rasulullah mendapatkan keturunan.
6. Bergaul baik dengan suami Keduanya paham dengan hak dan kewajiban masing-masing sehingga tenanglah rumah tangga beliau.
7. Tawakal dan sabar Inilah yang di lakukan Khadijah yang pada saat itu menjadi bulan bulanan hinaan masyarakat Quraizy.
Tawakal dan sabar telah memberikan energi positif pada keduanya, sehingga mampu menghadapi semuanya.
Cinta adalah tersenyum karena Allah semata Cinta adalah sekolah karena Allah semata Cinta adalah berbagi karena Allah semata Cinta adalah berkarier karena Allah semata Cinta adalah menanti karena Allah semata Cinta adalah berprestasi karena Allah semata Cinta adalah travelling karena Allah semata
Cinta, adalah, semua, karena, Allah. Cinta itu adalah ketika kau melakukan apa saja karena Allah. Memang kadang sakit, juga menyenangkan, rasanya kacau, hanya karena satu kata, CINTA. Kau gagal akan sesuatu, ada cinta di balik itu. Kau bahagia, banyak cinta disana. Cinta itu malu, cinta itu rindu, cinta itu sakit, cinta itu bahagia. Mereka adalah bukti cinta untukmu. Ayah, Bunda, Kakak, Adik,Sahabat, adalah cinta untukmu. Alam, karir, prestasi, organisasi adalah cinta untukmu. Cinta itu luas. Allah itu cinta. Allah itu Maha Mencintai. Allah itu suka akan cinta. Allah itu begitu mencintai hambaNya.
Langkahku dihentikan kedipan kunangkunang. Puluhan atau mungkin
ratusan titik cahaya mungil terbang-hinggap di daun tingkap.
Berlalu-lalang; keluar-masuk, menembus celah jendela yang terbuka
sebelah.
Aku ayun langkah dalam gerakan lambat. Mendekat ke tumpuan tingkap.
Berhati-hati, supaya kunang-kunang tidak terkejut dan terbang ke lain
tempat. Aku sudah tidak begitu ingat kapan terakhir melihat
kunang-kunang dalam jarak dekat. Jangankan melihat, mendengar orang
menyebut kunang-kunang pun, rasanya, sudah lama sangat.
Aku berdiri mematung. Sedikit menengadah menatap dengan dada berdegup
dan bulu-bulu di tengkuk mulai berdiri. Kunang-kunang itu seperti
menyemuti bingkai tingkap yang kehitaman karena lapuk. Tumbuhan rambat
mirip kerakap menjalari bendul. Sebuah pelepah kelapa tersandar begitu
saja ke dinding.
Azan Isya berkumandang. Embusan angin dari arah perbukitan meraba
tubuhku. Daun-daun pisang seperti menggeleng-geleng menyambutnya. Angin
dingin itu sampai di wajahku, membangunkan ingatan masa lalu. Tubuhku
serasa diputar dan ditarik ke belakang, ke puluhan tahun silam, di saat
kata kunang-kunang pernah sangat berkesan di pendengaran.
II
“Periksa mata Buya, Nak. Ada apa di dalamnya? Sedari tadi Buya seolah
melihat sekawanan kunang-kunang menyamun pandangan,” pinta Buya setelah
terhuyung dan berusaha menahan keseimbangan tubuh dengan tongkatnya
yang terbuat dari manau. Aku raih bahunya. Aku pandu badannya duduk di
pangkal pohon pinus. Ia tampak merespons siul daunan pinus dengan
tarikan napas yang dalam.
Aku berikan tabung air minum yang sengaja kami bawa sebelum
berangkat. Aku ambilkan handuk kecil untuk mengusap matanya yang kulihat
berkaca-kaca. Di dalam mata itu aku hanya melihat garis kelabu
melingkari tepian bulatan hitam. Lalu, di kedua sudutnya ada urat-urat
kecil kemerahan seperti akar rumput yang lunak. Tidak ada kunang-kunang.
Aku tahu, ia hanya sedang letih dan ingin beristirahat. Kami hendak
mengahadiri un dangan majelis pengajian di perkampungan tertinggi di
kecamatan kami. Aku sebut tertinggi karena dari tempat pemberhentian
bus, kami mesti berjalan kaki ke lokasi pengajian sekira satu jam.
Setelah meneguk air putih, Buya mengeluarkan gula merah dan
mengemutnya. Gula merah yang terbuat dari air nira bisa membantu stamina
ketika kelelahan atau lapar menyerang di tengah perjalanan. Apalagi
bila berjalan di tengah hutan. Kalori dalam tubuh bisa cepat terhisap
oleh energi pohon-pohon.
Pertengahan Agustus waktu itu. Tidak lama setelah usia Buya yang
ke-75 kami rayakan. Pengajian yang akan kami hadiri diselenggarakan
untuk menghayati bulan kemerdekaan. Masyarakat di sana memang terkenal
memiliki semangat berbangsa yang berbeda dengan kampung lain.
Diceritakan Buya, di sela napasnya yang mulai sesak, dari kampung
yang akan kami tuju itu lahir seorang pelajar yang gigih. Namanya
Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka. Melihat kepintarannya, para datuk
rela beriuran, menggalang belanja perjalanan Ibrahim menunaikan ibadah
belajar ke Eropa. Para datuk rindu memiliki seorang tokoh terpandang
yang akan membahagiakan masa depan kampung mereka.
“Bila kampung sudah tidak memiliki orang disegani, ibarat ijuk tak
bersagar; bagai lurah tak berbatu. Kawan dan lawan akan bersilantasangan
kepada kita,” terang Buya.
Ia susun daun pinus gugur untuk menaruh sebungkil gula aren. Katanya,
gula aren itu akan di tinggalkan sebagai sedekah untuk makhluk penyuka
manisan, semisal semut dan kunang-kunang.
“Sebelum dikirim bersekolah ke benua biru itu Ibrahim juga sudah
menjadi guru muda, mengajari anak-anak kampung mengaji di madrasah milik
ayahnya. Perbedaan tikus dan tupai sudah bisa diketahui sejak masih
kecil hanya dengan memperhatikan bentuk ekornya. Kalau yang diperhatikan
kepalanya, kita berpeluang salah duga,” nyaris pada setiap kali Buya
berkata-kata, selalu terselip ibarat dan perumpamaan. Sebagian bisa
kupahami langsung ketika mendengarkan, sebagian lagi kuketahui maksudnya
justru setelah dewasa.
“Tetua di kampung itu agaknya sangat paham tafsir surat Taubah: 122.
Ketika para pemuda bangga bisa berperang melawan kezaliman dan mati
sebagai syahid, ayat itu turun: Mengapa kalian berduyun-duyun
memanggul senjata ke medan pertempuran? Mengapa tidak ada yang memangku
pena ke madrasah atau halaqah pengajian?”
Begitulah. Bila sudah telanjur membahas sebuah topik, Buya sulit
dihentikan. Ada saja rangkaian pikirannya yang tak terduga dan bagiku
itu meninggalkan kesan yang dalam.
“Bagaimana keadaan matamu, Buya? Apakah kunang-kunangnya masih di situ?” tanyaku menyela.
“Sudah mulai berkurang. Perjalanan kita baru separuh. Mari kita
lanjutkan. Tapi, sekarang coba perhatikan, dari mana sebenarnya napasku
keluar, dari hidung atau dari telinga?” tanyanya pula sambil tertawa.
Sepanjang sisa perjalanan ia lebih banyak mengingatkanku untuk tetap
melatih daya sabar dalam diri. Keadaan boleh saja buruk. Keadaan boleh
saja tidak ramah dan gelap gulita. Tapi, pesan Buya, jangan mengeluhkan
kegelapan. Nyalakan suluh!
III
Secara bergantian, di antara kami para santri laki-laki akan dipilih
Buya mendampingi dirinya pergi ke majelis-majelis pengajiannya. Entah
karena apa aku paling sering mendapat giliran. Kadang, gara-gara ada
temanku yang berhalangan dan meminta aku saja yang mendampingi Buya.
Bagi Buya tidak ada masalah. Siapa pun santri di madrasah ini adalah
anaknya. Anak-anak yang setelah menamatkan studi, menurutnya, harus
punya kemampuan mendampingi masyarakat. Karena itu, Buya mengajak kami
secara bergantian menemaninya menyampaikan pesan-pesan agama ke tengah
masyarakat.
Kami sering diminta Buya untuk tidak berpisah dari masyarakat, di
mana kami berasal. Di hari penobatan kelulusan kami diarak dan
diantarkan sampai ke kampung kami. Kepada orang-orang di kampung, Buya
menyerahkan kami kembali. Bangunlah kampung kelahiran. Jayakan kampung.
Sesulit apa pun, bertahanlah. Jangan merantau.
Harapan itu berseberangan dengan kebiasaan orang-orang di kampung
kami. Banyak orang terdidik lahir di sini, tetapi semuanya berjaya di
rantau orang. Jika perantauan mereka di dalam negeri, masih melegakan
hati. Yang mengiris perasaan, mereka merantau justru ke luar negeri dan
biasanya enggan untuk kembali pulang.
Dan, jika antara harapan Buya itu kusandingkan dengan harapan
almarhum ayahku, terdapat pula persilangan. Ayah justru ingin, setelah
tamat madrasah, aku melanjutkan ke pendidikan militer. Akibatnya, tentu,
aku harus meninggalkan kampung kelahiran. Mau ayahku, di masa depan,
aku menjadi seorang tentara yang menguasai ilmu agama.
IV
“Menamatkan madrasah misi pertama. Menjadi tentara misi kedua,” demikian arahan ayahku yang seorang veteran tentara pejuang.
“Setelah tamat madrasah mau jadi apa? Penceramah atau pendoa?
Penceramah yang punya jadwal tetap setiap malam? Atau pendoa yang selalu
diundang ke rumah-rumah, ke kantor camat membacakan doa? Tidak. Ayah
tidak suka cara hidup anak Ayah seperti itu. Menguasai ilmu agama, iya,
wajib. Membiayai hidup semata dari upah mengajarkan agama seperti
menjadi penceramah atau pendoa tidak berkah! Kita dikarunia tubuh dan
tenaga yang kuat. Engkau sadari itu,” kata ayah.
“Abdikan karunia itu untuk bangsa ini. Engkau bacalah doa Nabi
Ibrahim. Setelah sadar bahwa anak cucunya akan meneruskan kehidupan di
tanah yang tandus, ia berdoa: Ya Tuhan kami, jadikanlah negeri kami ini,
negeri yang aman. Ini anjuran untuk memikirkan negeri….”
Panjang lebar ayah mengataiku. Aku tak punya alasan untuk menolak
permintaannya. Ayah orang baik. Cita-cita tentu juga baik. Meski pun
dalam diam, aku menyimpan cita-cita yang lain. Cita-cita yang tujuannya
juga sama dengan harapan ayah: mengabdi untuk negeri sebagai ciri dari
iman. Namun, entah apakah yang salah dalam cara yang kupilih? Beginilah
jadinya. Aku dicurigai berpotensi mengacaukan negara. Oh!
V
Sungguh benar, apa yang Engkau cemaskan dulu itu, Buya. Mengutip
sebuah hadis, Engkau berwasiat: di zaman yang jauh dari Nabi, sejengkal
demi sejangkal, sehasta demi sehasta, orang-orang yang mengaku umat
Muhammad akan digiring ke lubang biawak. Jadi santapan biawak.
Orang-orang itu tiada menolak. Apakah karena orang-orang itu sedikit
jumlahnya? Tidak! Ketika itu, mereka justru sangat banyak.
VI
Buya, aku melihat diriku kini sedang berada di antara orang-orang yang sangat banyak itu.
VII
Gelap sudah sempurna menyungkup cakrawala. Aku masih tertegun
memandang kunang-kunang menyamun pintu rumah yang bersisian dengan
madrasah. Rumah yang dulu menjadi kediaman Buya. Setelah 20 tahun beliau
mendiang, keadaan madrasah ini kini seperti kerangka benteng sehabis
kalah berperang.
Sebelumnya aku berharap bisa sampai sebelum magrib, namun kemacetan
di perjalanan menunda rencana itu. Ditambah lagi urusan pemulanganku
rupanya tidak sebentar. Aku mesti menandatangani surat pernyataan
bersedia tidak melakukan perjalanan ke luar negeri selama kepastian
hukum atas kasusku belum jelas. Sebelumnya aku sempat ditahan penyidik
selama dua minggu.
Aku ditahan karena aktivitasku dinilai berpotensi mengacaukan
keamanan karena diduga terkait dengan tindakan teror yang belakangan
mengancam negara. Semula, aku minta diberhentikan dari satuanku karena
menilai aktivitas pengajianku sudah tidak serasi lagi dengan tugas pokok
dan fungsiku sebagai abdi negara. Aku terus menerima gaji, sementara
pikiran dan perbuatanku sudah tidak sepenuhnya lagi berada di dalam
amanah tugas itu. Aku khawatir, jangan-jangan inilah yang orang sebut
dengan memakan gaji buta.
Setelah diberhentikan, aktivitas pengajianku bertambah tinggi. Selama
seminggu aku harus melakukan penerbangan ke luar negeri setidaknya tiga
kali. Catatan penerbangan itu rupanya dinilai sudah tidak elok lagi.
Ada sejumlah kode etik bahkan hukum yang terlanggar karenanya. Dan,
aktivitas itu, memancing kecurigaan. Aku tidak tahu persis, apa yang
dicurigai dari diriku. Apakah karena aku lulusan madrasah? Atau karena
aku mantan aparatur negara?
Ketika diinterogasi, aku sudah jelaskan, bahwa sejak dari madrasah
aku diajarkan mencitai negeri ini. Tidak ada potensi mengacau keamanan
dalam diriku maupun kegiatan pengajianku. Andaikata cinta bisa diukur,
cintaku pada negeri ini lebih matang dari mereka yang memeriksaku dengan
raut wajah penuh selidik itu. Mereka tetap tidak percaya dan terus
mendesak dan kadang terkesan menjebak dengan sejumlah bukti-bukti yang
mereka kemukakan.
“Perlu saya ingatkan, saya ini dahulu sama dengan Bapak-Bapak sekalian,” aku mencoba menjelaskan, namun dipotong.
“Justru karena itu, banyak agenda negara yang Anda ketahui. Anda
telah dicurigai membocorkannya ke pihak asing dan pihak pembuat teror!”
“Itu tidak benar!” Aku membela diri. Karena aku memang tidak melakukan itu.
“Kami juga punya bukti, rekaman ceramah Anda yang mengatakan bahwa
negara ini direbut oleh pejuang-pejuang agama Anda. Anda juga menasihati
pemimpin negara ini dengan bahasa yang tidak sopan! Anda katakan,
pemimpin tidak boleh lupa pada cita-cita awal pendiri negara. Pemimpin,
jika tersesat, harus segera kembali ke pangkal jalan atau ubah haluan.
Ketika rekaman ceramah seperti itu ditonton seluruh rakyat, apakah itu
tidak mengganggu pikiran orang tentang negara?” tanya salah seorang dari
mereka.
“Akan saya jelaskan. Yang harus berubah itu bukan bentuk atau haluan
negara ini. Tetapi mentalitas yang dipakai dalam pengelolaannya. Ini
sesuai dengan revolusi mental, bukan?” Aku membalas.
Mereka membalas lagi. Saling balas dan bersitegang. Perdebatan yang
tak terelakkan itu berhenti ketika moncong sepucuk senapan melekat di
jidatku. Aku dianggap tidak bisa bekerja sama dengan memberikan
keterangan yang berbelit. Karenanya aku ditahan.
Selama dalam kurungan jeruji besi itu, setiap kali bertafakur, aku
coba menimbang, apa yang salah dari perbuatanku? Sering, di tengah
kemelut pikiran, wajah teduh Buya melintas. Aku mulai merasa ada jalinan
yang telah terputus antara aku dan Buya. Setelah tamat madrasah, pulang
kampung dan melanjutkan pendidikan di kemiliteran aku memang tidak
punya kontak lagi dengan Buya.
Kami dipisahkan jarak dan rutinitasku pada tahun-tahun awal kedinasan
sudah berada di jalur yang berbeda dengan jalur yang di tempuh Buya.
Hingga pada tahun ketiga, aku dapat kabar beliau sudah berpulang. Ketika
itu aku sedang bertugas di ujung pulau Sumatera. Aku tidak sempat ikut
melepasnya. Aku sedang di tengah hutan ketika itu. Aku hanya bisa
berkirim doa dalam teriakan tangis yang tertahan.
Sejak kabar itu aku terima, meskipun doa-doa terus kukirim untuknya,
namun tak sekali pun aku sempat berkunjung untuk berziarah ke makamnya.
Makanya, setelah dibebaskan dengan perjanjian bersedia tidak pergi ke
luar negeri itu, aku tidak kembali ke kota tempat aku selama ini
berkegiatan. Aku memutuskan langsung pulang ke madrasah, berziarah ke
makam Buya.
VIII
Ziarahku disambut kunang-kunang. Kilatan cahaya mungil yang
beterbangan itu seolah menjadi selaksa kenangan yang selama ini
terkurung di pangkal ingatan. Kenangan yang menumpuk di tubir zaman yang
curam.
Setelah sekian lama terkesima, aku abaikan kunang-kunang itu. Aku
papah langkah menuju batu nisan Buya yang sebagaimana wasiatnya dulu,
jasadnya ditanam di tanah yang sudah ia siapkan di samping madrasah.
Saat bersimpuh di sisi nisannya, entah bagaimana mulanya, tekanan
darah di wajahku seperti mengerucut. Otot-otot mataku menyipit dan
geraham bergetaran.
“Aku ingin mengadu, Buya,” bisikku dalam hati. Aku bayangkan Buya
mendekat. Bagai dulu itu, saat keraguan menguasaiku, aku akan
mendatanginya minta nasihat. Ia akan mendekatiku, menampar bahuku, dan
mengguncang tubuhku.
“Ananda, berwudulah. Air wudu bisa membubarkan air mata duniamu.
Setelahnya kamu akan bisa melihat jalan kehidupan dengan terang. Air
suci itu juga akan menumpas segala pedih hati yang kamu derita. Lalu,
masuklah ke dalam khusuk inabah. Dua rakaat pun cukup. Setelah salam kau
tolehkan ke kanan dan ke kiri, air mata itu akan berjatuhan lagi. Tapi,
itu bukan lagi air mata yang jatuh karena diusik dunia. Itulah air mata
yang akan membimbingmu mencari ridha-Nya. Setiap tetesannya nanti akan
berganti menjadi kunang-kunang bercayaha terang,” begitu ketika itu ia
menasihatiku.
IX
Entah sudah berapa lama aku bersimpuh di sisi nisan Buya,
menggumamkan zikir dan doa. Ketika berusaha bangkit, berdiri, dan
memandang berkeliling, aku lihat kunang-kunang itu semakin banyak
jumlahnya. Semula hanya mengitari tingkap. Selanjutnya memadati atap
gedung bekas asrama santri.
Kakiku kaku. Tak bisa mengelak ketika kunang-kunang itu mengerubungi
kepalaku. Mereka tebarkan cahaya hangat di atas ubun-ubunku. Cahaya itu
berjatuhan menuruni pipi.
X
Kunang-kunang itu bergantian memasuki mataku, Buya. Tapi pesanmu, tidak boleh mengeluh, bukan? Ya, aku tidak akan mengeluh. ***
Zelfeni Wimra, lahir di
Sungai Naniang, Luak Limopuluah Koto Minangkabau, Sumatera Barat, 26
Oktober 1979. Menamatkan pendidikan di IAIN Imam Bonjol Padang (S-1,
2004 dan S-2, 2011). Buku kumpulan cerpennya: Pengantin Subuh (LPPH, 2009), Yang Menunggu dengan Payung (GPU, 2013), Abu (Kisah Pertarungan dan Peruntungan Para Jantan di Tanah Betina; Erka, 2016). Bisa dihubungi di zelfeniwimra@gmail.com.
Cerpen Doni Ahmadi (Koran Tempo, 20-21 Mei 2017) Tentang Ucup Karbol yang Kelak Akan Diperdebatkan ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Mungkin kelak peristiwa hilangnya Ucup Karbol akan menjadi perdebatan
yang serius, namun biar aku beri sedikit bocoran: Ucup Karbol yang
lahir pada 11 Maret 2000 itu telah meninggal pada 23 Mei 2020 dalam usia
30 tahun.
Asal kau tahu, aku adalah sahabat baik Ucup Karbol yang pada akhirnya
mengetahui bahwa ia sebetulnya mati dalam usia tiga puluh tahun pada
tanggal 23 Mei 2020, memang tidak masuk akal jika dihitung lewat angka
kelahirannya, apalagi bila kau ada di posisiku (nanti akan kuceritakan),
tapi begitulah yang terjadi. Kadang hal-hal yang tidak masuk akal lah
yang memang masuk akal. Kau mungkin bisa membantahku dengan menghitung
sendiri lewat kajian ilmu matematika yang paling sederhana maupun yang
paling mutakhir, dan berdebat denganku perihal usia Ucup Karbol. Tapi
biar kukatakan sekali lagi, kadang hal-hal yang tidak masuk akal lah
yang memang masuk akal. 23 Mei 2020
Siang itu mungkin menjadi siang yang membuat luka paling dalam
terhadap sahabatku, Ucup Karbol. Bagaimana tidak, di Rumah Sakit—tempat
ibunda Ucup yang tengah menjalani perawatan karena mendadak
pingsan—terjadi kebakaran besar. Dalam peristiwa itu terdapat dua puluh
lima korban tewas yang salah satunya setelah diidentifikasi adalah
ibunda dari Ucup.
Pada siang yang sama, beberapa jam sebelum terjadi peristiwa nahas
itu. Aku tengah sibuk mengerjakan tugas kuliahku. Kau harus tahu, ini
adalah kali pertama aku mengerjakan tugas pada siang yang terik begini,
biasanya aku mengerjakan tugas itu kelewat larut malam. Tapi karena sore
ini adalah batas pengumpulan akhir, sepertinya aku harus membongkar
kebiasaanku itu. Selang beberapa menit kemudian Ucup juga datang. Kami
memang sudah membuat janji beberapa hari sebelumnya. Ia datang terlambat
karena harus terlebih dahulu mengantar ibunya ke rumah sakit karena
mendadak pingsan, dan itu tidak masalah sama sekali.
Setelah sekitar lewat satu jam kami berkutat dengan tugas yang tak
kunjung selesai ini, matahari makin terasa dekat dan membakar, dalam
kamarku yang terletak di lantai atas dan hanya berukuran empat kali tiga
meter ini, kami serasa tengah berada di dalam oven, padahal aku sudah
menghidupkan kipas angin mutakhirku (blower) dalam level
maksimal, tapi tidak berdampak sedikit pun. Pantas saja dulu banyak
relawan dan pendemo yang terus menggerakkan aksi tentang bahaya
pemanasan global, ternyata memang beginilah akibatnya.
Untuk mengatasi matahari yang terasa semakin menggila itu, tanpa
pikir panjang, aku pun memutuskan untuk melepaskan pakaianku, sialnya
Ucup juga turut melepaskan pakaiannya. Dalam pikiran liarku, aku
membayangkan ibuku masuk ke kamar dan melihat kami dengan keadaan
begini, dengan sejurus prasangka liar yang dimilikinya, kami bisa saja
dikiranya pasangan sesuka sesama jenis. Sial memang pikiran liar ibuku
itu, aku pun akhirnya kembali memasang pakaianku kembali, sepertinya
Ucup juga mafhum, ia juga kembali memakai pakaiannya. Maklum saja, Ucup
juga sudah mengenal ibuku dengan baik, prasangkanya bukan main gila,
pernah aku dituduhnya mabuk ganja hanya karena ia melihat diriku lemas
dengan keadaan mata yang merah, padahal yang terjadi saat itu berbeda.
Waktu itu saat kepalaku dihantam oleh pusing, aku meminta Ucup (yang
saat itu kebetulan tengah ada di kamarku) untuk mengolesi kepalaku
dengan minyak kayu putih, sialnya minyak kayu putih yang dioleskan oleh
Ucup itu mengenai mataku, dalam keadaan lemas seperti itu aku hanya bisa
pasrah dan tiduran kembali, memejamkan mata sembari menahan perih, lalu
sejurus Ucup pun keluar dari kamarku dan mencoba mengambilkan air dari
kamar mandi di lantai bawah. Tapi bukan Ucup yang datang, melainkan
ibuku, aku refleks saja dengan membuka mata dan ia semakin mendekat,
mengetahui aku tengah lemas dan mataku merah, langsung saja ibu
menuduhku macam-macam, ia beranggapan aku teler setelah menghisap ganja.
Itu baru satu. Belum yang lain lagi. Sial, aku jadi menceritakan
tentang ibuku, tapi tidak apa-apalah sudah terlanjur.
Jadi, setelah merasakan panas yang sedemikian membakar itu, aku dan
Ucup akhirnya bersepakat untuk keluar rumah membeli minuman dingin atau
es krim bila ternyata minuman dingin itu tak mampu menghilangkan rasa
panas yang melekat itu. Kami pun langsung melesat menuju minimarket
terdekat dari rumahku yang jaraknya kurang-lebih sekitar lima puluh
meter, karena hawa panas yang menyengat kami memutuskan untuk tidak
berjalan dan Ucup pun langsung sigap dengan menyalakan mobilnya, kami
pun pergi ke minimarket. Belum sampai dua puluh detik Ucup masuk ke
dalam minimarket, aku yang mengikutinya di belakang tiba-tiba saja
berhenti di depan layar televisi yang terdapat di depan minimarket untuk
melihat berita tentang pertandingan final sepak bola antar-klub Eropa
yang akan dihelat dinihari nanti, tiba-tiba saja berita itu berganti,
siaran berita itu berubah dari mewartakan acara olahraga ke peristiwa
yang tengah terjadi, siaran itu mewartakan bahwa ternyata tengah terjadi
kebakaran besar di rumah sakit Kepala Gadung sekitar 20 menit yang
lalu, karena terdapat material yang mudah terbakar (dapur rumah sakit),
maka api pun langsung membesar dan sulit untuk dipadamkan. Sontak aku
teringat bahwa Ucup baru saja mengantar ibunya ke rumah sakit yang
disebutkan itu, sekonyong-konyong aku pun masuk ke minimarket dan
meneriaki Ucup. Ia terlihat sedang mengantre di depan kasir, lalu aku
menariknya untuk melihat berita tersebut. Ketika Ucup yang kutarik itu
sampai di depan layar kaca televisi, berita barusan yang kudengar itu
sudah kembali ke acara semula—mewartakan siaran olahraga kembali. “Aku
juga sudah tahu, Dit, kau mau mengajakku nonton bareng memang, ya sudah
aku bayar minuman kita dulu,” katanya. “Bukan itu, di rumah sakit Kepala
Gadung terjadi kebakaran, sini biar aku yang bayar, kau nyalakan mobil
dulu dan tunggu aku,” kataku. Aku pun langsung membayar belanjaan yang
dibeli Ucup dan langsung keluar, kami berdua langsung tancap gas menuju
rumah sakit.
Ternyata benar, dari jauh sudah terlihat asap hitam pekat yang
berasal dari gedung rumah sakit. Lalu lintas arah rumah sakit pun tidak
bergerak, dalam keadaan begitu Ucup langsung keluar dan menuju arah
rumah sakit dan meninggalkanku. 24 Mei 2020
Hari ini aku bangun pada pukul delapan malam, badanku masih merasakan
pegal-pegal yang luar biasa. Tapi barangkali ini tidak ada apa-apanya,
sakit pegal yang kurasa mungkin tidak sesakit yang Ucup Karbol sahabatku
rasakan—kehilangan seorang ibu yang begitu ia cintai. Cukup
membayangkannya saja, kau pasti sudah sakit yang bukan main.
Kau tahu, kemarin malam, tepat pada pukul tujuh lewat tiga puluh
(tiga puluh menit seusai api dapat dipadamkan), Tim SAR baru menemukan
jenazah ibunda Ucup, lewat keterangannya beliau diketahui terjebak
bersama seorang pria yang kira-kira berumur 30 tahun dalam tangga
darurat. Mereka berdua tewas bersama dalam keadaan tertimpa material
berat setelah terjebak. Aku yang menemani Ucup bermalam di rumah duka
tempat di mana jenazah ibunda Ucup dipindahkan, kira-kira pukul sepuluh
malam aku bersama Ucup dan ayahnya sampai di sana. Akhirnya selesai
mengurus hal-ihwal, ibunda Ucup dibawa pulang ke rumahnya untuk
didoakan. Aku pun masih turut menyertai Ucup dan ayahnya, bahkan sampai
pada ba’da dzuhur selesai ibunda Ucup disalatkan dan dikebumikan (satu
jam berselang). Barulah setelah itu aku pulang ke rumah, tidur, dan baru
bangun pada malam harinya. Dalam keadaan setengah sadar aku keluar
kamarku (menuju lantai bawah) untuk mengambil air putih, malam itu
kulihat ibu tengah menonton berita yang mewartakan berita kebakaran itu.
Ah, gara-gara berita itu aku jadi ingat Ucup lagi, terlebih saat nama
dua puluh lima korban disebutkan satu per satu beserta identitasnya. Kau
tahu, sekilas, kudengar ada yang ganjil, penyiar berita itu menyebutkan
dan tertulis di layar nama Ucup Karbol sebagai korban, sejurus aku pun
langsung mendekati layar kaca dan melihat dengan jelas keterangannya.
“Ah sial, mengagetkan saja,” kataku. 18 September 2022
Pagi itu menjadi peristiwa bersejarah bagiku, maklum saja aku telah
resmi diwisuda dan menjadi sarjana. Ucup Karbol juga, kami berdua lulus.
Meski dengan nilai yang tidak terlalu bagus, tapi juga tidak terlalu
jelek. Oh iya, setelah peristiwa kebakaran yang nahas itu, hubunganku
dengan Ucup sedikit merenggang, bukan karena perselisihan, tapi Ucup
jadi lebih sering menghabiskan waktu di rumahnya. Misalnya saja, selesai
jam kuliah, biasanya kami berkelakar dulu sampai larut (bahkan Ucup
juga biasanya sampai menginap dan baru pulang keesokan harinya), tapi
Ucup lebih memilih pulang. Entahlah, mungkin ia merasa bersalah (kupikir
ia terlalu sering jarang pulang dan menyesal ketika ibunya sudah tiada)
dan masih berduka. Aku juga mafhum, maka itu aku tak pernah
mempermasalahkan hal itu.
Selesai lulus Ucup memberitahuku bahwa ia dan ayahnya akan segera
pindah dan tinggal di rumah neneknya yang ada di Bandung, rumah yang ada
di sini akan dijual, Ucup juga sekaligus memberitahuku bahwa ia akan
melanjutkan studinya di sana. Tak luput, Ucup juga memberi alamat tempat
tinggal barunya itu kepadaku. Jika kapan-kapan aku hendak mampir ke
sana. 11 Maret 2030
Pagi itu kira-kira pukul lima tiga puluh, aku sudah menyalakan mesin
mobilku untuk pergi ke Bandung, yakni ke rumah Ucup Karbol sahabatku.
Kira-kira sudah hampir delapan tahun aku tidak bertemu dengannya.
Selepas wisuda, kami sudah tidak saling bertemu, selain jarak, kami
sama-sama tengah sibuk. Kira-kira sudah seperti apa tampangnya sekarang,
pikirku.
Awalnya aku berencana mengabarinya bahwa aku hendak main ke sana,
namun dalam dua tahun terakhir semua kontak telepon maupun media sosial
miliknya mendadak tidak aktif lagi, kutanya lewat surat elektronik pun
hasilnya sama saja. Jadi, modalku untuk menemuinya hanya berbekal alamat
yang sempat ia kirim dua tahun terakhir lewat jejaring sosial dan
alamat yang dulu ia tulis sebelum pindah ke kota ini, kau tahu, Ucup
jarang sekali berbohong padaku, dan berdasarkan asas kepercayaan inilah
aku berangkat. Oh iya terakhir Ucup bilang kini ia tidak tinggal bersama
ayahnya dan memilih tinggal sendiri di rumah kontrakan. Dan alamat
rumah dulunya itu adalah alamat rumah tempat tinggal ayah dan neneknya,
jadi aku tetap menyimpannya. Kebetulan, hari ini juga hari ulang
tahunnya, mungkin sedikit kejutan dan sekaligus aku ingin mengundangnya
menghadiri acara pernikahanku yang akan berlangsung dalam tiga minggu
lagi.
Butuh perjalanan lima jam menggunakan mobil untuk sampai di kediaman
Ucup. Sesampainya di sana (di alamat tempat Ucup mengontrak) aku
langsung menuju pagar dan memanggil-manggil namanya, sudah lewat sepuluh
menit, namun tak ada jawaban yang kudapat. Apakah aku nyasar, tanyaku.
Aku pun mencoba menanyai warga sekitar perihal alamatnya, yaitu Jalan
Widuri Nomor 99 Kecamatan Bodong Gede. Ternyata benar dan juga mereka
mengenal Ucup. Mereka bilang Ucup itu jarang keluar rumah, sepulang
kerja ia biasanya langsung mengerjakan sesuatu lagi di dalam rumahnya.
Ketika kutanya apa hari ini mereka melihat Ucup, jawabannya tidak tahu.
Tanpa berpikir panjang aku pun langsung menuju alamat kedua, yakni Jalan
Pasirjaya Nomor 11 Kecamatan Bodong Kecil. Asumsiku mungkin Ucup sedang
pergi ke sana dan merayakan ulang tahunnya bersama keluarganya. Setelah
kuingat-ingat kembali, sepertinya alamat ini tidak terdengar asing. Ah
entahlah, mungkin hanya pikiranku.
Sialnya asumsiku salah, di rumah itu hanya ada neneknya Ucup. Dan ia
malah menyuruhku untuk pergi menuju alamat yang sebelumnya aku datangi.
Aku semakin bingung, akhirnya aku memutuskan untuk menikmati Kota
Bandung terlebih dahulu, kau juga pasti akan melakukan hal yang sama
bila ada di posisiku, tidak mungkin juga aku mondar-mandir dari
kontrakan Ucup ke rumah neneknya lagi. Selepas magrib aku pun kembali ke
kontrakan Ucup, hampir setengah jam aku menunggu namun hasilnya
ternyata sama saja. Tanpa pikir panjang aku pun akhirnya melesat ke
rumah neneknya dan menitipkan undanganku itu untuk diberikan kepada Ucup
nanti. 12 Maret 2030
Pagi-pagi betul, entah mengapa ayah membangunkanku dan memberikan
sebuah paket yang isinya adalah surat. Ayah bilang, dua jam setelah aku
melesat pergi, surat itu sampai rumah. Ia tidak mau membukanya karena
berpikir itu adalah urusan pribadiku. Aku masih terlalu mengantuk dan
lelah, jadi surat itu kuletakkan saja di meja samping tempat tidurku
untuk kubaca nanti.
Kau harus tahu, ternyata surat itu berasal dari Ucup Karbol, sahabatku. Begini bunyinya: Untuk Dodit, sahabatku. Kau adalah satu-satunya orang yang kuberi tahu perihal hal ini
dan sebagai sahabatku yang kupercaya. Begini, bersama surat ini dengan
sejujur-jujurnya aku telah berhasil membuat mesin waktu dan akan
melakukan perjalanan bersamanya. Mungkin perjalananku ini akan sedikit
mengubah takdir, maka itu aku menunggu sampai surat ini sampai dulu di
tanganmu, agar kau tidak kaget. Dan lewat pemberitahuan kepala pos, kau
kira-kira akan menerima ini pada pukul delapan pagi, jadi tiga puluh
menit setelahnyalah aku akan melakukan perjalananku ini. Kau tahu,
dengan mesin ini aku akan kembali menyelamatkan nyawa ibuku. Kembali ke
23 Mei sepuluh tahun lalu. Dan mungkin aku takkan kehilangan beliau
lagi. Terimakasih telah menjadi sahabat baikku. Dan doakanlah sahabatmu
ini agar berhasil. Ucup Karbol, Bandung 11/03/30
Asal kau tahu, aku betul-betul menganggap ini sebuah mimpi. Tapi aku
tak dapat memberikan kategori mimpi yang jenis apa. Ucup Karbol adalah
sahabatku, aku yakin ia tidak berbohong kepadaku. Baiklah, coba kau
ingat-ingat kembali pada 24 Mei sepuluh tahun silam, ketika penyiar
berita menyebutkan dan tertulis di layar nama Ucup Karbol sebagai
korban, di situ aku merasa bersyukur karena alamatnya bukanlah alamat
tempat tinggal Ucup karbol sahabatku yang (pada saat itu) terletak di
Jalan Haji Sepuluh Kecamatan Rawarawa Jakarta, melainkan Jalan Pasirjaya
Nomor 11 Kecamatan Bodong Kecil Bandung. Dan coba kau ingat-ingat juga
tentang seorang berusia tiga puluh tahun yang tewas bersama ibunda Ucup
Karbol.
Walaupun aku begitu menyukai cerita fiksi, tapi yang kuceritakan ini
bukanlah cerita fiksi, apalagi hasil karangan yang mengada-ada, dan
ketimbang nanti kau akan memperdebatkan kehilangannya, mungkin cerita
ini bisa membantumu. Dan sebagai sahabat Ucup Karbol, barangkali ini
tanggung jawabku untuk menjelaskan tentang kebenaran yang
sebenar-benarnya tentang kisah beliau. Dan barangkali kau juga harus
percaya, kadang hal-hal yang tidak masuk akal lah yang memang masuk
akal.
2017
Doni Ahmadi. Alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta, pegiat sastra dan seni di komunitas Tembok, redaktur buletin sastra Stomata. Beberapa cerpennya termaktub dalam antologi Desas-desus tentang Kencing Sembarangan (2016).
Cerpen Ilham Q Moehiddin (Media Indonesia, 21 Mei 2017) Empat Plot di Tulouse ilustrasi Pata Areadi/Media IndonesiaPlot Pertama
SAAT bunga-bunga bermekaran di himpunan perdu, kita sedang terjangkit
rindu. Itu penanda hubungan kita yang ragu. Tahun kedua di Tulouse dan
kau tak betah. Itu aneh. Kau meneleponku pada subuh hari pertama, minggu
terakhir Maret. Ah, aku nyaris lupa apa yang telah kita bicarakan dan
ingatan yang kita labuh pada subuh itu. Tidurku terganggu oleh
teleponmu. Kau terisak-isak di sana, menyansak waktuku yang sesak, untuk
sekadar mendengarmu bicara pendek-pendek tentang gemuruh yang mendesak
dadamu. Kau bicara tentang sesuatu yang seharusnya bukan urusanku.
Seharusnya kau tembak saja aku!
Masih kusimpan pistol lada yang dulu kubeli untuk membunuh lelaki tua
itu. Lelaki tua itu mengajakku bertemu dan bicara empat mata. Ini
antardua lelaki saja—katanya. Omong kosong. Nyatanya ada dua pengawal di
sisinya. “Jangan ganggu Gorny lagi,” katanya, mengancamku.
Saat itu ingin sekali kuledakkan pistol lada tepat ke wajahnya. Biar
mampus ia, dan rencana-rencana di kepalanya berhamburan ke lantai kafe.
Mungkin setelah itu, aku pun akan terkapar mati ditikam dua pengawalnya.
Aku cemas kau akan bosan menungguku keluar dari tempat terkutuk itu.
Tentu aku takut dipenjara. Tapi ketakutanku tak lebih besar dari
kecemasanku pada para napi lelaki yang kesepian. Narkotika dan kesepian,
kudengar telah mengubah penjara seperti pasar malam dan rumah madat.
“Sebaiknya kita bertemu,” pintamu. Plot Kedua
Hari ini aku tak perlu kembali ke kantor setelah menepati janji
bertemu Gorny di kafe tenda dekat anjungan pelabuhan. Aku suka tempat
yang dipilih Gorny. Burung-burung Camar di sini masih segan pada
manusia—tak seperti Camar di pesisir Laut Hitam yang suka mencuri
makanan dari piring pengunjung. Entah kenapa burung-burung itu lebih
menyukai kentang daripada ikan. Sesuatu dalam air laut mungkin telah
mengubah mereka menjadi mutan.
“Bawa kami pergi,” kau menyentuh lenganku. Kau masih perempuan yang selalu mengejutkanku dengan permintaan-permintaan mendadak.
Apa yang kau cemaskan? Mataku menatap bibirmu yang menyembunyikan kepahitan.
“Suamiku gila!”
Inilah pengakuan paling jujur yang meluncur dari bibirmu tentang lelaki tua itu. Sudah kuduga, ia memang gila.
“Ia memukuliku,” ujarmu cepat.
Dasar pasangan gila. Kau pun pernah nyaris membunuhku dengan
keputusasaan yang kau ciptakan. Lalu kini kau akan terbunuh oleh
keputusasaan suamimu.
“Anakmu?”
Kau mengangguk. “Seine baik-baik saja.”
Syukurlah. Kepalaku berpaling ke arah laut. Mataku tertuju ke pulau kecil di kejauhan. Pulau dengan enam cottage berdesain Palma. Seingatku, di pulau itu ada sepotong tulang yang diakui para pengurus cottage sebagai tulang rusuk Mermaid. Air muka mereka begitu meyakinkan saat menceritakannya.
Wajahmu serius sekali. Aku mendesah.
“Baiklah.”
Kau memajukan kepalamu. “Bawa kami pergi. Ke tempat paling aman.”
“Kau mendengarku dengan jelas, Gorny.” Aku menggerutu. Betapa
menyedihkan situasi ini. Aku pernah mengharapkanmu menjadi istriku, tapi
kau memilih lelaki tua pemilik perusahaan ikan beku itu. Kini kau
hendak memasuki hidupku lagi dan bertingkah seolah-olah kau tak pernah
mengecewakanku. “Kau punya uang?” Tanyaku.
“Tabunganku cukup.”
“Paspor?”
“Ada.” Wajahmu memelas.
Aku tatap matamu. “Baiklah. Kau tahu Baukje?”
Kau mengangguk.
“Baukje tinggal di Belanda. Ia akan senang menerima kalian. Ia menyukai anak kecil.” Plot Ketiga
Suamimu menemuiku untuk kedua kalinya. Di pertemuan pertama saja aku
sempat berniat membunuhnya. Tapi saat ini, suamimu yang paling mungkin
melakukan itu padaku.
Lelaki tua kaya yang marah karena terbakar cemburu dan dua pengawal
bertubuh besar yang tampak mampu menganiaya siapa pun, adalah kombinasi
berbahaya. Mereka memergokiku di parkiran kantor dan menggelandangku ke
gudang ini.
“Kau pasti tahu di mana Gorny,” tuduh suamimu.
Aku menggeleng. Suamimu tertawa sinis. Dari saku jas panjangnya, ia
tarik tabung ganda berbahan kulit berisi dua batang cerutu. Dicabutnya
sebatang, lalu mengembalikan wadahnya ke balik jas. Dikeluarkannya juga
cincin pemotong cerutu bersama pemantik kayu. “Maaf, aku tak bisa
menawarimu. Cerutu bermutu tinggi sukar dicari saat ini.”
Aku tersenyum mengejek.
“Kau mau apa?”
Suamimu mengangguk. “Jawab saja pertanyaanku tadi.”
“Sejak kau menikahinya seharusnya kau lebih tahu soal Gorny.”
Suamimu memukul meja. “Jangan mengalihkan masalah. Aku bisa
membunuhmu!” Desisnya ke wajahku. Aku menjauhkan kepalaku, tapi gagal
karena pengawalnya menekan belakang leherku.
Aku tersenyum kecut. “Lalu apa yang kau tunggu?”
“Baiklah,” suamimu menggeleng seraya menatapku dengan licik, “kita akan melakukan ini seharian penuh. Percayalah.”
Dua pengawalnya lalu menekan telapak tangan kiriku ke atas meja.
Suamimu yang gila itu mengeluarkan benda dari saku jasnya dan dengan
benda itu ia tetak punggung tanganku. Sakitnya menjalar ke telingaku,
sebelum menuju tulang belakang. Membuat setiap persendianku gemetar.
Jika kubilang aku tak menangis saat menerima pukulan benda itu, maka
aku berbohong. Popor pistol suamimu membuat dua tulang jemariku patah.
“Baiklah! Aku akan mencari Gorny,” aku terbata-bata menahan sakit.
“Apa aku harus mempercayaimu?”
Aku menggeleng. “Tak perlu, tapi kau bisa mengawasiku,” kataku sambil
melirik dua pengawalnya. “Buatlah dua orang dungu ini lebih berguna.
Uangmu hanya membuat tubuh mereka membesar, tapi tidak dengan otaknya.”
Suamimu tertawa saat seorang pengawalnya segera menepak belakang
kepalaku karena jengkel. Ia kemudian menunjuk lelaki yang menepak
kepalaku tadi. “Dia akan senang menancapkan sesuatu ke lehermu jika kau
mengelabuiku.”
Lelaki besar itu menyeringai dan mengangguk. Plot Keempat
“Kalian siap?” tanyaku.
“Ya,” kau mengangguk, “jam berapa kita ke bandara? Jika terlalu lama, kami bisa ketinggalan penerbangan.”
Jika aku tak mencintaimu, tak mungkin aku mengambil risiko sebesar
ini. Tapi kau merasa perlu mendesakku untuk rencana ini. Tak ada orang
yang begitu mencintaimu seperti aku.
Pintu terpentang, saat seorang lelaki bertubuh besar masuk dan
merenggut tanganmu. Kau terkejut dan meraung. Kau menghujaniku dengan
tinjumu. Pengawal suamimu menarik dan mendorongmu ke dalam mobil. Anakmu
menangis ketakutan sambil berpeluk pada pengasuhnya.
“Kau menipuku!” Kau meneriakiku dalam perjalanan ke tempat di mana suamimu telah menunggu.
Aku tersenyum sinis. “Menipumu? Kau tak tahu sakitnya saat kau
memutuskan menikahi majikan si dungu ini,” timpalku. Si pengawal di
sisimu mendengus jengkel.
Kau menangis. “Kau tidak memahamiku.”
“Aku memang belum selesai melakukannya,” kataku.
“Aku mencemaskan keselamatan kalian.”
“Omong kosong!” hardikku.
Lalu kau membanting punggungmu ke jok mobil.
Suamimu tersenyum melihat kau keluar dari sedan hitam yang kita
tumpangi. Aku menyusul turun. “Orang sepertimu banyak sekali di dunia
ini,” kata lelaki tua itu. Aku menjawabnya dengan meludah ke lantai.
Suamimu mengulurkan tangan saat kau berjalan ketakutan
menghampirinya. Tatapanmu tiba-tiba kosong. Sepertinya mereka akan
segera membawamu pergi.
Aku menyela. “Jangan lupa singgah menjemput putra kalian di rumahku.”
“Tak perlu!” suamimu menjawab cepat.
Aku kaget.
“Itu anakmu, bodoh!” Wajah licik suamimu tampak lagi, “aku hanya menginginkan milikku.”
“Gorny?” Aku menatapmu, meminta penjelasan. Kau memejamkan mata.
Aku terguncang. Situasi ini segera menjadi jelas saat kau
menganggukkan kepala ke arahku. Aku teringat ucapanmu di mobil tadi—aku
mencemaskan keselamatan kalian.
Kalian? Kepalaku tiba-tiba berat, seperti ada setan yang mendudukinya
dan membujuk untuk melakukan sesuatu yang kuanggap perlu. Itu nasihat
jahat di waktu yang tepat. Saat aku usai memutar tubuhku, seorang
pengawal di belakangku terjengkang. Pistol lada melubangi lehernya.
Lelaki dungu lain yang berdiri di depan mobil, sempat terlanga, tapi
segera rubuh ke lantai saat peluru kedua dari pistol ladaku menembus
dadanya. Masih ada dua peluru lagi.
Ia salah mengira bahwa aku terlalu lemah untuk membuatnya tak waspada. Ia lupa membawa pistolnya.
“Aku tak akan memohon padamu,” ujar suamimu.
“Jangan,” aku menggeleng. Aku tarik kerah jas panjangnya dan
kuselipkan tanganku ke sakunya. Kutarik keluar tabung cerutunya, “bagus
juga sesekali mencoba cerutu bermutu tinggi.”
Kuminta lelaki tua itu mengeluarkan cincin pemotong dan pemantik api.
Pistolku terarah padanya. Ia menurut. Ia memotong ujung cerutu,
memantikkan api untukku sekaligus. Asap cerutu segera membumbung.
Aku tersenyum. “Artikel di koran minggu selalu benar.”
Suamimu sinis menatapku. “Aku belum selesai denganmu.”
Ledakan pistol ladaku meredam ocehannya, “Tapi aku sudah selesai!”
Lelaki tua itu memegang perutnya. “Kau—kau tak bisa…”
Pistol ladaku meledak sekali lagi. Suamimu tersentak kemudian diam. Peluruku habis, namun ada liang baru di kepalanya.
2017
Ilham Q Moehiddin, banyak menulis cerpen. Buku terbarunya Ordinem Peremto: Para Pembunuh Ketertiban (2016).
Lelaki di Halte yang Kelak Menjadi Legenda ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
DI suatu halte, seorang lelaki sedang berdiri menunggu kekasihnya. Ia
berdiri tanpa alasan yang lebih baik selain menunggu seorang kekasih
meski telah banyak yang tahu bahwa kekasihnya sudah meninggal setahun
lalu dalam kebakaran. Lelaki itu barangkali sudah gila, tetapi anggap
saja dia waras dan hantu kekasih yang datang di saat tertentu adalah
kenyataan.
Bicara tentang kenyataan, aku sadari banyak kenyataan kadang
terdengar aneh atau tidak masuk akal. Termasuk soal si lelaki yang
menunggu kekasihnya di halte. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama,
tapi setiap orang di sepanjang jalan ini mengenalnya dan akan bersaksi
pernah melihat pacar lelaki itu mati di depan mata mereka.
“Dia benar-benar sudah mati. Tubuhnya gosong dan kaku, dan sekarang
lelakinya menunggu di halte seperti apa yang dulu mereka janjikan,”
tutur salah seorang saksi.
Bicara tentang janji, ada fakta yang membuatku ingin menangis, yakni
janji lelaki itu adalah janji terakhirnya. Ia mungkin tahu betapa
meninggalnya sang kekasih di suatu tempat di ujung jalan ini adalah cara
takdir mencegahnya menepati janji, dan saat semua seharusnya mulai
kembali seperti semula—jasad gadis itu selesai dikubur dan ditangisi,
dan roda kehidupan di sekelilingnya bergeliat sekali lagi—lelaki
kekasihnya tetap diam di tempat.
Janji terakhir itu bukan main-main. Itulah yang akan orang katakan
jika tidak tega menganggapnya gila. Orang-orang di pihak ini akan
memaklumi bahwa lelaki tersebut berharap ditemui hantu sang kekasih demi
menegaskan, “Aku tidak mengingkarimu.”
Terdengar kabar yang entah benar atau tidak; konon si lelaki pernah
berjanji untuk melakukan sesuatu yang akhirnya tidak pernah bisa dia
lakukan, dan setelah itu kembali si lelaki berjanji untuk terakhir
kalinya demi kepastian hubungan mereka. Pada hari itu, orang-orang di
lain tempat, yang tidak tahu-menahu urusan halte dan kebakaran di suatu
ujung jalan, menghadiri acara pernikahan yang akan digelar oleh dua
keluarga kaya-raya dan terpandang, dan salah satu mempelai adalah si
lelaki yang pergi diam-diam ke halte tersebut.
“Ini janjiku yang terakhir sebelum kita benar-benar menyatu dan tak
terpisahkan,” kata si lelaki kepada kekasihnya, yang tidak lama lagi
akan mati dalam kebakaran, lewat sambungan telepon.
Tentu saja tidak ada yang dapat membaca masa depan sehingga, ketika
kebakaran terjadi, lelaki yang menunggu di halte merasa cemas dan
ingatannya melayang ke janji sebelumnya yang gagal ia laksanakan: bahwa
dengan segala cara, ia akan tolak paksaan orang tua untuk menikah dengan
perempuan lain. Tidak akan ada perjodohan sampai dia dan kekasihnya
yang dicintainya itu menikah diam-diam di suatu tempat dan membuat
pengumuman mengejutkan bahwa tidak akan ada yang mampu menghalangi
mereka.
Sayangnya, itu tidak pernah terjadi.
Kematian seorang kekasih meninggalkan bekas di dalam dada. Kalau
bekas macam itu dilukis di permukaan kanvas, seharusnya berwarna ungu
gelap. Aku pasti memberi warna itu untuk kejadian macam ini, dan tidak
peduli apa kata orang tentang arti warna ungu. Seandainya aku suka hijau
tua, tentu kupakai warna itu. Tapi lukisan dada seorang lelaki yang
kehilangan kekasihnya dalam kebakaran lebih terlihat mengenaskan dengan
warna ungu.
Setelah roda kehidupan kembali bergulir—orang-orang terjun ke
rutinitas mereka dan menyimpan kenangan pahit tentang ditemukannya jasad
perempuan malang dalam tumpukan abu bekas kebakaran akibat ledakan
tabung gas di sebuah rumah makan—si lelaki tetap diam di tempat. Ia
jelas sudah tahu kabar kematian kekasihnya, dan bahkan sempat terlihat
menghadiri acara pemakamannya, tapi karena orang tua si gadis sakit hati
atas kesombongan keluarga si lelaki, terpaksa dia menyendiri di balik
pepohonan, jauh di belakang sana.
Lukisan itu telah kubuat sedemikian rupa, dengan latar pepohonan
kamboja di tepi kuburan, sementara jauh di depan si lelaki yang dadanya
berbekas warna ungu tua, tiap orang menaburi gundukan tanah dengan
bunga. Ia hanya berdiri memandang dari jauh sampai semua orang pergi.
Setelah itu, setiap orang tahu lelaki itu kembali ke halte seperti
dulu dan menunggu si kekasih datang untuk kawin lari. Ia terus menunggu
dan tidak peduli usaha-usaha para anggota keluarga untuk membawanya
pulang. Ia hanya akan berteriak, “Jangan ganggu upayaku menepati janji!”
Ada banyak sebenarnya apa yang lelaki tersebut katakan kepada setiap
orang yang berusaha menjemputnya, tapi yang paling sering ia sebut-sebut
adalah soal janji terakhir.
Kubayangkan, dalam kesedihanku melihat lelaki yang sebenarnya tidak
kukenal itu menanti sesosok hantu (anggaplah begitu, sebab perempuan itu
sudah mati gosong dan tidak mungkin hidup kembali sebagai manusia
biasa), bahwa si lelaki mungkin bertekad untuk tetap di sini, di halte
ini, sampai ia tua nanti. Mungkin rutinitasku sebagai seorang yang
dipercaya mengurus suatu galeri seni, dan harus pergi setiap hari dengan
numpang buskota, akan berhenti suatu hari nanti kalau aku
sudah tua dan tidak kuat lagi, tetapi aku tidak yakin lelaki yang
menunggu kekasihnya yang mati dalam kebakaran itu bakal berhenti.
Aku bisa membayangkan keberadaannya di halte tersebut kelak, pada
masa ketika orang-orang di generasi sesudah kami berjuang untuk hidup
dan tujuan masing-masing, akan menjadi semacam legenda. Lelaki tanpa
nama itu melegenda di sepanjang jalanan ini karena kesetiaannya menunggu
seorang kekasih meski tahu yang bersangkutan sudah mati terbakar.
Betapa semua itu membuatku sulit merampungkan lukisan yang sebenarnya
terlalu sederhana, tentang adegan ketika seorang lelaki berdiri di tepi
pemakaman dengan dada berbekas warna ungu, dan mengamati setiap orang
bersedih atas kepergian kekasihnya dengan cara menabur bunga. Aku
sendiri tidak pernah jatuh cinta sedalam ini, tetapi aku rasa suatu hari
nanti akan ada saatnya untukku. Tentu saja, aku berharap kisahku tidak
seburuk lelaki di halte tersebut. ***
Cerpen Tommy Duang (Koran Tempo, 27-28 Mei 2017) Tentang Wanita yang Menanti Kebangkitan Luiz Ezpinosa ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Nyonya Ezpinosa tahu betul apa yang bakal terjadi. Semua proses
pengadilan itu berlangsung tepat seperti yang tak pernah dibayangkannya.
Persoalannya menjadi semakin rumit, karena bukan lagi perkara benar
salah, melainkan adu argumen dan popularitas. Akhirnya ia harus berdiri
pada posisi yang salah dan terancam dijatuhi hukuman mati karena tuduhan
perbuatan cabul.
Katanya perbuatan cabul adalah wajah lain dari penistaan agama,
merendahkan martabat agama berikut pembesarnya dan melecehkan serta
menginjak-injak harga diri sebuah lembaga iman. Padahal, kalau
dipikir-pikir, seandainya tuduhan itu benar maka kejadian itu tidak
perlu dibesar-besarkan. Lagipula agama sebesar ini tidak perlu terlalu
jauh merepotkan diri. Cukup menyadarkan ia bahwa perbuatan itu melanggar
norma kehidupan bersama. Itu cukup. Karena agama bukanlah polisi moral
apalagi barisan regu tembak.
Pada malam-malam yang tak pernah usai, dalam dekaman jeruji dingin,
Nyonya Ezpinosa cenderung berandai-andai. Seandainya saja tuduhan
pelecehan itu benar, maka mereka tidak perlu merasa ternistakan. Dia
pernah membaca, entah di mana, bahwa seseorang tidak mungkin mencemari
keagungan Air Terjun Niagara dengan meludahi atau bahkan mengencinginya
sekalipun.
Dia teringat akan saudara kandungnya, Luis Ezpinosa, yang hidupnya
berakhir di ujung peluru. Dia dihukum mati atas tuduhan meracuni
istrinya sendiri, Noni Bonaparte. Di hadapan regu tembak, Luiz dengan
mata berapi-api membeberkan kisahnya. Dia mengangkat tangan kanannya,
tepat di depan matanya yang bernyala, menekan ujung jari telunjuknya
dengan kuku ibu jari dan berkata: “Bagi saya masalah ini kecil sekali.
Sangat kecil. Pribadi saya terlampau besar untuk merasa terhina oleh
tuduhan picisan semacam ini.” Namun begitulah, hidupnya tetap berakhir
di ujung peluru.
Kembali Nyonya Ezpinosa berandai-andai. Seandainya saja tuduhan itu
benar, mengapa mereka tidak menangkap lelaki yang bersamanya ia
bersetubuh dan menodai keluhuran tubuhnya sendiri? Inilah jawaban
mereka: “Walaupun kami melihat mereka tidur bersama-sama di sana, kami
tidak dapat menangkap pemuda itu karena ia lebih kuat dari kami. Ia
membuka pintu lalu melarikan diri. Tetapi dia ini kami pegang dan kami
menanyakan siapa pemuda itu. Ia tidak mau memberi tahu kami. Inilah
kesaksian kami.”
Awalnya ia kaget dengan jawaban itu. Tetapi tidak apa-apa. Mungkin
lagi zamannya saja melepaskan orang bersalah yang kuat, gede, dan gesit
melarikan diri. Sebaliknya, iya sebaliknya kau tahu. Karena ini sudah
menjadi kebiasaan, maka Nyonya Ezpinosa menghormati kebiasaan itu. Dia
tidak mau memberi tahu siapa pemuda yang dengannya ia telah melecehkan
kehormatan agama yang dipercayanya.
Namun sayangnya, Nyonya Ezpinosa salah. Ia mengandai-andaikan suatu
peristiwa yang tidak pernah ada. Persetubuhan itu hanyalah rekayasa
kedua petinggi Kerajaan yang terbakar api birahi atas keelokan paras dan
kemolekan tubuhnya. Dulu, waktu Luiz Ezpinosa, saudaranya itu masih
hidup, kedua petinggi kerajaan itu pernah ia cap sebagai orang tua yang
sudah beruban dalam kejahatan dan keturunan manusia yang tersesat oleh
kecantikkan perempuan dan yang hatinya dibengkokkan oleh nafsu birahi.
Dan seandainya saja Luiz masih di sini, ia akan tahu bahwa
perkataannya benar, bahwa kedua orang tua itu telah mendustai kepala
mereka sendiri. Sayangnya Luiz sudah dihadapkan pada sederetan regu
tembak. Kini hanya tinggal namanya, sebagai orang baik yang pernah hidup
dan dikhianati.
Betapa menyedihkannya nasib Nyonya Ezpinosa tanpa kehadiran Luiz di
sampingnya terutama di saat-saat seperti ini. Saat ia mendekam di dalam
jeruji dingin, tepat sehari sebelum dirinya dihadapkan pada sederetan
regu tembak.
Senang berkenalan denganmu. Namaku Susana Ezpinosa. Umurku tiga puluh
satu tahun dua bulan tiga hari, seratus tiga puluh dua sentimeter, lima
puluh lima kilogram, dan selalu mengenakan pakaian termahal yang bisa
dibeli oleh seorang manusia. Kecantikan dan kemolekan tubuhku
membangkitkan gairah dalam diri kaum pria dan rasa iri dalam diri para
wanita. (Berhubung aku selalu saja jatuh cinta pada karya-karya Paulo
Coelho, aku meminjam caranya memperkenalkan Linda, istri miliarder Swiss
itu).
Aku memiliki suami yang hebat, yang bukan hanya kaya raya, tetapi
juga orang paling terhormat di antara keluarga dan kenalannya. Hendrique
Diaz, suamiku itu, memiliki kesempurnaan di dalam dirinya yang
dibutuhkan untuk menjadi seorang suami ideal.
Sebagai sebuah keluarga kaya dan terhormat, tentu saja kami memiliki
sebuah rumah yang mewah, megah, dan indah. Selain itu, kami memiliki
sebuah taman dengan kolam renang yang luas dan indah. Taman itu terletak
di belakang rumah dan dipisahkan oleh pagar tembok berpintu. Dari sana
engkau bisa menikmati senja paling indah di dunia.
Aku mempunyai kebiasaan berjalan-jalan di taman itu ketika senja
tiba. Hampir setiap hari, ketika semua pekerjaan rumah sudah selesai
kukerjakan, aku pergi ke taman itu untuk melepas lelah dan menghirup
udara segar. Kadang, ketika pikiran terlalu penat, aku suka merendam
diri di kolam renang keluarga kami yang luas itu.
Masih segar dalam ingatanku kejadian sore itu ketika aku sedang
merendam diri dalam kolam. Aku mengenakan pakaian renang yang sama
sekali tidak bisa menyamarkan kemolekan tubuhku.
Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa malapetaka itu menghampiriku.
Kedua petinggi kerajaan yang menuntut hukuman mati atas diriku itu
datang. Mereka mendatangiku dengan nafsu seekor harimau lapar yang
mendapat mangsa. Aku tidak tahu dari mana mereka datang.
Aku tidak perlu memperkenalkan mereka padamu, karena engkau sudah
mengenal mereka. Mereka sering kau jumpai dalam banyak wajah dan di
banyak tempat di kotamu. Di jalan. Di tempat kerjamu. Mungkin juga di
rumahmu dan di tempat tidurmu. Iya di tempat tidurmu. Kadang pula mereka
nongol di tempat engkau beribadah pada Tuhanmu. Ada juga yang sering
berada di sana.
Kedua orang tua itu adalah representasi golongan garis keras. Keras
dalam banyak hal. Termasuk dalam perkara tentang kebenaran. Mereka
berpikir nama besar mereka bisa menentukan kebenaran. Dan juga mereka
sering berpikir bahwa kebenaran mereka berlaku untuk semua orang.
Mereka berdua datang menemuiku dengan nafsu birahi yang tak mampu
mereka sembunyikan. Mereka menangkap, memegang tanganku, dan
sesekali-aku malu menulis ini, tetapi blak-blakan sajalah-mereka
menangkap, memegang tanganku dan sesekali menggerayangi tubuh dan
martabatku. Tubuh yang hanya dibaluti oleh sepotong pakaian renang.
Dan juga martabatku. Martabat yang tidak pernah kuberi ijin untuk ditelanjangi.
“Hai nyonya rumah yang sial. Engkau telah masuk dalam perangkap yang
kami rencanakan dan engkau tak pernah mungkin lolos dari sana. Kami
menawarkan padamu buah simalakama.”
“Ketahuilah, kecantikkanmu telah merangsang nafsu hewani yang
mendidih dalam darahku. Mari berkelana dalam kenikmatan ranjang bersama
dua pria terhebat yang pernah terlahir dari rahim seorang perempuan.”
“Jika engkau tidak mau, kami memiliki kuasa untuk memanipulasi orang
banyak. Kami akan mengarang cerita bahwa engkau kedapatan berselingkuh
dan tidur dengan seorang lelaki yang bukan suamimu. Dan cerita itu sudah
cukup bagi kami untuk menyeretmu ke tiang gantung atau lapangan rajam
atau ke hadapan sederet regu tembak. Kau tahu kan, kami punya banyak
orang yang mendengarkan kami.”
Harga diriku terinjak. Martabatku ditelanjangi. Ingin kuludahi kedua
tua bangka ini. Aku dalam keadaan seperti itu, hanya mampu mengumpat
dalam hatiku: “Alangkah malangnya nasib ibu yang telah mengandung dan
melahirkan kedua manusia ini. Mungkin lebih baik jika mereka tidak
pernah dilahirkan. Iya sebaiknya tidak usah dilahirkan.”
“Lebih baik aku mati di hadapan sederet regu tembak daripada menyerahkan keluhuran martabatku padamu. Bangsat!”
Begitulah. Sekarang Susana terpaksa meringkuk dalam ruang penantian
yang dingin dan lembap. Esok dia akan berdiri di hadapan sederet regu
tembak untuk pertama dan terakhir kalinya.
Namun dia tidak pernah takut karena kebenaran berpihak padanya. Dalam
hatinya dia yakin bahwa di saat-saat terakhir dan yang paling
menentukan dalam hidupnya, seorang yang sedang berada di luar sana pasti
bisa menolongnya.
Menolong dia untuk menyingkap kebenaran. Atau dalam bahasa
saudaranya, Luiz Ezpinosa, menelanjangi kebenaran. Membebaskan dia dari
tuduhan palsu dan akhirnya pertolongan yang bisa membekuk manusia yang
sebenarnya pantas untuk dibekuk dan diseret ke tiang gantung. Ia tahu
pertolongan itu ada dan sedang menantinya datang di saat yang tepat.
Iya, Susana sedang menanti saudaranya, Luiz. Apakah di luar sana ada
seseorang yang berani menjadi Luiz Ezpinosa bagi Susana? Jika ada, Anda
dinanti sampai esok sebelum waktu terlalu tua untuk dikatakan malam dan
masih terlalu belia untuk disebut pagi. Tepatnya sesaat sebelum ayam
berkokok untuk ketiga kalinya.
* Kisah ini terinspirasi oleh kisah Daniel dan Susana dalam Deuterokanonika. Sedangkan pemilihan nama tokoh, khususnya Luiz Ezpinosa, diadopsi dari nama salah satu tokoh dalam novel Jaring-jaring Kekuasaan karya Salandra.
Tommy Duang, mahasiswa pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tinggal di Flores.
Pernah patah hati? Saat seseorang meretakkan hati kita, saat
luka menghampiri sudut-sudut hati, saat kecewa mulai meninggalkan kesan di
seluruh penjuru, bagaimana rasanya?
Berapa kali kita menangis dan meronta hingga mengusik telingaNya? Berapa kali
kita mengadu, tanpa tahu Dia pun sedang disakiti oleh kita.
Saat kita melakukan dosa, mungkin Allah juga sepatah hati itu. Berapa kali kita
menjadi pemeran serta watak utama atas tercipta airmataNya? Kita selalu meminta
agar Allah tidak melepaskan tanganNya, barangkali kita yg berlari dan
membuatNya patah hati. Tapi Dia selalu disini, menunggu untuk kita kembali.
Saat kita mengirimkan pesanan rindu, tapi tidak ada balasan, lantas kita
kecewa? Ya, kita pasti kecewa, karena setiap rindu pasti menginginkan sebuah
'pertemuan' untuk mengobati rindu yang tercipta. Allah itu tidak membenci kita,
tapi dosa kita. Mungkin sudah cukup kita memainkan perasaanNya, jika benar kita
sayang Dia.
Sebenarnya,
Rindu; bukan hanya perihal lama tidak bertemu, tapi juga ketika dia tidak
sedang berada di sisi kita. Mungkin kini, Allah juga sedang rindu pada kita.
Mungkin sudah terlalu lama Dia menunggu kata-kata atau rangkaian cerita kita
dalam sebuah doa.
Doa adalah percakapan, latihan komunikasi serta pemusnah rindu kita pada dia
dan Dia, secara perlahan. Bukan hanya sebelum tidur, tapi senantiasa, Dia
selalu menunggu kita untuk berbicara. Bukan kata-kata manis yang dinilai, tapi
isi hati. Saat kamu,kita & mereka tidak ada yg peduli dan mengerti, Dia
senantiasa ada untuk mendengarkan cerita kita. Tapi nyatanya, tidak sedetik pun
kita menghampiriNya.
Jangan hanya bertemu dengan Allah hanya untuk mengharapkan harapan kita
disetujuiNya. Tapi, tanyalah apa yg Dia ingin lakukan dalam hidup kita.
Bersyukurlah atas segala hal yang telah dilakukanNya. Berterima kasihlah kerana
Dia adalah satu-satunya yg paling boleh menyayangi kita dengan luar biasa.
Lagi-lagi dalam rantaian sebuah doa, bertemulah, berceritalah seperti dua insan
yg saling memerlukan antara satu sama lain.
Cari Allah dulu untuk bersujud,
Sebelum cari manusia untuk bersandar.
Think & Succeed! ----------------------------------
"Jadilah orang yang gembira. Jangan memikirkan kegagalan hari ini, tapi pikirkan sukses yang mungkin datang di hari esok. Anda bisa jadi mendapatkan tugas yang sulit, tapi Anda akan sukses jika tekun dan gigih, dan merasakan kesenangan dalam mengatasi hambatan. Ingatlah, tidak ada hal yang sia-sia untuk meraih sesuatu yang indah" - Helen Keller
Dear Hanihyung, temanku yang sangat
perhatian... Perilaku dan kebiasaan yang kita tunjukkan sehari-hari akan menentukan ke mana kita akan berada nantinya.
Orang yang selalu tertutup dan tidak
pernah merasa gembira dalam hidupnya,
maka ia adalah orang yang paling
malang.
Bukanlah mobil mewah, uang banyak,
jabatan tinggi dan kecantikan yang
membuat seseorang bahagia.
Kebahagiaan, kegembiraan dan
keceriaan, semua itu datang dari dalam diri, dan hati kita masing-masing.
Bersikap terbukalah pada orang lain,
maka mereka akan lebih menghargai
kita. Berpikirlah selalu positif,
maka itu akan membuat kita menjadi
lebih rileks dan jauh dari khawatir.
Tebarkan senyuman, dan ramah pada
setiap orang, itu akan mencerminkan
pribadi yang kita miliki.
Hanihyung yang ranum hatinya, tidak pernah salah jika engkau ingin menjadi pribadi yang menyenangkan dan selalu tampak gembira. :-)
Semoga Allah selalu memberikan
kebahagiaan untuk Hanihyung!