Daftar Blog Saya

Kamis, 01 Juni 2017

Jadikan Aku Wanita Terakhirmu

Jadikanlah Aku Wanita Terakhirmu
Kurasa sudah cukup banyak alur cerita yang ku lalui bersamamu
Dan tak jarang ada mereka yang menjadi figur dalam ceritaku denganmu
Aku tidak membenci atau menyalahkan keadaan seperti yang lainnya
Aku menikmati setiap proses tawaku bahkan tangis ku karenamu
Pun aku mensyukuri tanpa menyesali
Memang,
Memang ada luka pada bab bab tertentu
Namun kau cukup baik anginku
Sebab kau gantikan dengan bahagia yang mendekati sejatinya
Memang,
Memang keadaan pernah menyudutkanku akan kesalahan yang tak aku sadari
Namun bukankah itu sudah berlalu?
Anginku
Jika benar sepenuhnya kau adalah teruntukku
Aku tak meminta banyak hal
Cukuplah aku yang menjadi wanita yang menemanimu dari kesederhanaan
Cukuplah aku menjadi tempatmu bersandar hati
Kau tahu angin
Melangkah hingga tahap ini tidaklah mudah
Pun aku tahu akan ada prahara berikutnya
Kumohon,tetaplah bersamaku
Sungguh
Rasaku bukanlah sebuah kekaguman semata
Atau ketenaran belaka
Rasaku sudah dalam tahap stadium akhir
Di mana aku ingin kaulah yang mengakhiri
Dimana ketika kau menggenggam tanganku
Pun itu tak akan membatalkan wudhumu
Dimana akulah yang berada dibelakangmu dan mengaminkan setiap kebaikan doamu
Jangan,
Jangan ada orang lain lagi di antara kita
Kurasa ceritaku sudahlah lengkap meski hanya denganmu
Kurasa tak perlu ada wanita lain bahkan pria lain untuk meramaikan kisah ini
Cukup,
Cukuplah malaikat malaikat kecil nan lucu dan menggemaskan yang hadir di istana sederhana kita nanti
Cukuplah bahagia dan tawa yang menjadi wallpaper akan bahtera kita
Cukuplah senyum dan kasih yang menjadi dekorasi kebahagiaan hati setelah ini
Mentari
Bintang
Bunga
Senja
Kumohon,
Kumohon biarkan ia bahagia bersamaku ya
Kumohon jangan kau ambil anginku dari hidupku
Cukup jadikan ia cerita
Dan biarlah kini kami yang melanjutkannya
Atas nama cinta dan penantian
Kumohon maafkan aku yang sedikit keras kepala memilikinya
Ya Allah Sang Maha Cinta
Mudahkanlah langkahnya
Siapkanlah diriku
Agar kami makhluk yang tengah mendoa dalam penantian
Menjadi dua insan yang engkau ridhoi dalam sebuah ikatan ber label halal
Dan benar
Jadikanlah aku wanita terakhirmu

Karena bukan Cinta Namanya jika Bukan Karena Allah Swt

Ketika aku tahu diriku mulai merasakan "jatuh cinta" kepada salah seorang hamba-Nya
Aku memilih pergi, jauh, dan menghilang
Aku hanya tak ingin berdekatan dengannya karena nafsu
Biarlah doa ini saja yang merayu Rabb ku agar kelak jika memang dia adalah yang terbaik untukku menurut-Nya, Dia sendiri yang akan mendekatkan kami. .
Sekarang aku hanya ingin fokus memperbaiki diriku, meraih cita-citaku, dan bersiap untuk hari esok yang lebih baik
Lagipula aku masih ada kedua orang tua, aku harus menyibukkan diri berbakti kepada mereka


Dan aku tahu
Bukan cinta namanya kalau membuatmu berdosa


 

Belajar Cinta Pada Khadijah

Jika ada perempuan yang membuat Aisyah cemburu besar, maka ia adalah Khadijah.

Jika ada perempuan yang mampu membuat Rasulullah mengingatnya sepanjang waktu, bahkan ketika Beliau dengan istri-istrinya.
Maka Khadijah lah orangnya, dan dengan Khadijah lah Rasulullah bermonigami.

Segala keistimewaan yang dimilikinya menjadikan ia perempuan paling beruntung sepanjang masa.

Akhlak Khadijah semestinya dijadikan gambaran bagaimana semestinya seorang istri bersikap kepada suaminya.
Akhlak yang mampu memberikan kebahagiaan kepada keluarganya dan akhirnya terbentuklah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Akhlak yang bisa kita contoh sbb:
1. Menerima suami apa adanya
Khadijah merupakan Wanita kaya raya di Seantero Mekkah. Dengan harta dan kecantikan yang di milikinya banyak laki laki yang hendak meminangnya. Tetapi Khadijah lebih memilih Muhammad yang tidak mempunyai apa apa.
Bagi Khadijah harta bukanlah segalanya, namun Kebaikan dan Kesalihan Rasulullah lah yang menjadi pilihan utamanya.

2. Selalu ada ketika suami membutuhkan
Selama bersama Rasulullah, Khadijah selalu bersama dengan Beliau dalam suka dan duka.

Ia menjadi teman yang sangat setia. Tidak sedikitpun ia mengeluh atas semua yang terjadi pada keluarganya.

3. Penuh kasih sayang dan perhatian kepada suami
Khadijah yang mempunyai cinta suci ini mampu mencurahkan perhatian, kepada Rasulullah, sehingga beliau tidak pernah menyakiti Istri yang sangat dicintainya itu.

4. Berkata bijak dan menenangkan
Selalu mendukung setiap hal yang mengandung Kebenaran. Khadijah lah yang menenangkan Rasulullah ketika mendapat wahyu pertama kali.


5. Mendidik anak dengan baik
Salah satu keistimewaan Khadijah di banding istri-istri Rasulullah yang lain. Dari Khadijah Rasulullah mendapatkan keturunan.

6. Bergaul baik dengan suami
Keduanya paham dengan hak dan kewajiban masing-masing sehingga tenanglah rumah tangga beliau.

7. Tawakal dan sabar
Inilah yang di lakukan Khadijah yang pada saat itu menjadi bulan bulanan hinaan masyarakat Quraizy.

Tawakal dan sabar telah memberikan energi positif pada keduanya, sehingga mampu menghadapi semuanya.

Belajar Cinta Pada Khadijah

Jika ada perempuan yang membuat Aisyah cemburu besar, maka ia adalah Khadijah.

Jika ada perempuan yang mampu membuat Rasulullah mengingatnya sepanjang waktu, bahkan ketika Beliau dengan istri-istrinya.
Maka Khadijah lah orangnya, dan dengan Khadijah lah Rasulullah bermonigami.

Segala keistimewaan yang dimilikinya menjadikan ia perempuan paling beruntung sepanjang masa.

Akhlak Khadijah semestinya dijadikan gambaran bagaimana semestinya seorang istri bersikap kepada suaminya.
Akhlak yang mampu memberikan kebahagiaan kepada keluarganya dan akhirnya terbentuklah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Akhlak yang bisa kita contoh sbb:
1. Menerima suami apa adanya
Khadijah merupakan Wanita kaya raya di Seantero Mekkah. Dengan harta dan kecantikan yang di milikinya banyak laki laki yang hendak meminangnya. Tetapi Khadijah lebih memilih Muhammad yang tidak mempunyai apa apa.
Bagi Khadijah harta bukanlah segalanya, namun Kebaikan dan Kesalihan Rasulullah lah yang menjadi pilihan utamanya.

2. Selalu ada ketika suami membutuhkan
Selama bersama Rasulullah, Khadijah selalu bersama dengan Beliau dalam suka dan duka.

Ia menjadi teman yang sangat setia. Tidak sedikitpun ia mengeluh atas semua yang terjadi pada keluarganya.

3. Penuh kasih sayang dan perhatian kepada suami
Khadijah yang mempunyai cinta suci ini mampu mencurahkan perhatian, kepada Rasulullah, sehingga beliau tidak pernah menyakiti Istri yang sangat dicintainya itu.

4. Berkata bijak dan menenangkan
Selalu mendukung setiap hal yang mengandung Kebenaran. Khadijah lah yang menenangkan Rasulullah ketika mendapat wahyu pertama kali.


5. Mendidik anak dengan baik
Salah satu keistimewaan Khadijah di banding istri-istri Rasulullah yang lain. Dari Khadijah Rasulullah mendapatkan keturunan.

6. Bergaul baik dengan suami
Keduanya paham dengan hak dan kewajiban masing-masing sehingga tenanglah rumah tangga beliau.

7. Tawakal dan sabar
Inilah yang di lakukan Khadijah yang pada saat itu menjadi bulan bulanan hinaan masyarakat Quraizy.

Tawakal dan sabar telah memberikan energi positif pada keduanya, sehingga mampu menghadapi semuanya.

Cinta Yang Pergi ( yang salah )

Teruntuk hati yang sulit membaik.

Cinta bukan satu-satunya hal yang akan kita tangisi sepanjang malam, sebab cinta yang jalan mendahului iman pasti akan jatuh dan sakitnya mendalam.

Putus cinta harusnya bukan hal yang biasa, sebab manusia harusnya tidak mudah memberikan cinta.

Yang ada sekarang justru putus cinta lebih menakutkan dibandingkan putus ibadah, dimana bunuh diri lebih melogika dibandingkan taubatan nasuha.

Percayalah bahwa luka pagi akan sembuh disore.
Pergi satu akan datang yang baru.
Kita yang mengikhtiari ada Allah yang menakdiri.

Cukup, itu saja.

Hentikan tangis karena cinta yang kadang tak logis.
Sudahi luka yang pastinya berujung duka.

Tidak perlu bertanya untuk siapa hati ini kiranya, pantaskan saja diri dan perbanyak ibadah.

Dengan sendirinya, yang tepat akan tiba.
Tanpa dipanggil.
Tanpa dijemput.

Tiba-tiba hadir, dalam takdir.

Membawa cinta yang baru, cinta yang lebih mendekatkan diri kepada Ilahi.

Untuk itulah wahai hati yang sulit membaik, ikhlaskan siapapun dia yang pergi.

Mungkin itu cara Allah menjauhkan dirimu dari cinta dengan jalan yang salah.

Sebab cinta yang benar akan didapat dari jalan yang benar pula, tidak akan dari jalan pacaran meskipun dengan tambahan islami.

Untuk itu sudahilah.

Hapus sisa tangismu, kuatkan hatimu. Dan katakan "aku pasti bisa, melupakan cinta yang salah".

Kutipan Who am I

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Kita harus mengikhlaskannya, bagaimanapun dia tak akan kembali.”
  2. waktu dapat menyembuhkan luka, suatu saat nanti kamu pasti bisa mengenang semua peristiwa yang kamu alami ini dalam tawa. (hlm. 76)
  3. Pikirkan hal-hal yang baik saja dan berdoalah. (hlm. 174)
Beberapa kalimat sindiran halus dalam buku ini:
  1. Menanyakan umur orang lain itu tindakan yang tidak sopan. (hlm. 42)
  2. Jangan menuduh sembarangan. (hlm. 94)
  3. Pasti menyenangkan sekali. Bisa melupakan hal-hal buruk yang pernah kamu lakukan?(hlm. 96)
  4. harus sedikit waspada sekali-kali jangan terlalu mudah memercayai orang lain. (hlm. 167)
  5. Status sosialmu itu jangan ketinggian. Kalau setinggi itu, kamu akan sulit menemukan jodoh. (hlm. 180)
  6. Orang-orang terkadang sangat keterlaluan. (hlm. 183)

Cinta Karena Allah Swt

Cinta adalah tersenyum karena Allah semata
Cinta adalah sekolah karena Allah semata
Cinta adalah berbagi karena Allah semata
Cinta adalah berkarier karena Allah semata
Cinta adalah menanti karena Allah semata
Cinta adalah berprestasi karena Allah semata
Cinta adalah travelling karena Allah semata

Cinta, adalah, semua, karena, Allah.
Cinta itu adalah ketika kau melakukan apa saja karena Allah.
Memang kadang sakit, juga menyenangkan, rasanya kacau, hanya karena satu kata, CINTA.
Kau gagal akan sesuatu, ada cinta di balik itu.
Kau bahagia, banyak cinta disana.
Cinta itu malu, cinta itu rindu, cinta itu sakit, cinta itu bahagia.
Mereka adalah bukti cinta untukmu. Ayah, Bunda, Kakak, Adik,Sahabat, adalah cinta untukmu.
Alam, karir, prestasi, organisasi adalah cinta untukmu.
Cinta itu luas.
Allah itu cinta.
Allah itu Maha Mencintai.
Allah itu suka akan cinta.
Allah itu begitu mencintai hambaNya.

Cinta, aku cinta.
Kau kah cinta?

Madrasah Kunang-Kunang


Cerpen Zelfeni Wimra (Jawa Pos, 21 Mei 2017)
Madrasah Kunang-Kunang ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Madrasah Kunang-Kunang ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
I
Langkahku dihentikan kedipan kunangkunang. Puluhan atau mungkin ratusan titik cahaya mungil terbang-hinggap di daun tingkap. Berlalu-lalang; keluar-masuk, menembus celah jendela yang terbuka sebelah.
Aku ayun langkah dalam gerakan lambat. Mendekat ke tumpuan tingkap. Berhati-hati, supaya kunang-kunang tidak terkejut dan terbang ke lain tempat. Aku sudah tidak begitu ingat kapan terakhir melihat kunang-kunang dalam jarak dekat. Jangankan melihat, mendengar orang menyebut kunang-kunang pun, rasanya, sudah lama sangat.
Aku berdiri mematung. Sedikit menengadah menatap dengan dada berdegup dan bulu-bulu di tengkuk mulai berdiri. Kunang-kunang itu seperti menyemuti bingkai tingkap yang kehitaman karena lapuk. Tumbuhan rambat mirip kerakap menjalari bendul. Sebuah pelepah kelapa tersandar begitu saja ke dinding.
Azan Isya berkumandang. Embusan angin dari arah perbukitan meraba tubuhku. Daun-daun pisang seperti menggeleng-geleng menyambutnya. Angin dingin itu sampai di wajahku, membangunkan ingatan masa lalu. Tubuhku serasa diputar dan ditarik ke belakang, ke puluhan tahun silam, di saat kata kunang-kunang pernah sangat berkesan di pendengaran.
II
“Periksa mata Buya, Nak. Ada apa di dalamnya? Sedari tadi Buya seolah melihat sekawanan kunang-kunang menyamun pandangan,” pinta Buya setelah terhuyung dan berusaha menahan keseimbangan tubuh dengan tongkatnya yang terbuat dari manau. Aku raih bahunya. Aku pandu badannya duduk di pangkal pohon pinus. Ia tampak merespons siul daunan pinus dengan tarikan napas yang dalam.
Aku berikan tabung air minum yang sengaja kami bawa sebelum berangkat. Aku ambilkan handuk kecil untuk mengusap matanya yang kulihat berkaca-kaca. Di dalam mata itu aku hanya melihat garis kelabu melingkari tepian bulatan hitam. Lalu, di kedua sudutnya ada urat-urat kecil kemerahan seperti akar rumput yang lunak. Tidak ada kunang-kunang.
Aku tahu, ia hanya sedang letih dan ingin beristirahat. Kami hendak mengahadiri un dangan majelis pengajian di perkampungan tertinggi di kecamatan kami. Aku sebut tertinggi karena dari tempat pemberhentian bus, kami mesti berjalan kaki ke lokasi pengajian sekira satu jam.
Setelah meneguk air putih, Buya mengeluarkan gula merah dan mengemutnya. Gula merah yang terbuat dari air nira bisa membantu stamina ketika kelelahan atau lapar menyerang di tengah perjalanan. Apalagi bila berjalan di tengah hutan. Kalori dalam tubuh bisa cepat terhisap oleh energi pohon-pohon.
Pertengahan Agustus waktu itu. Tidak lama setelah usia Buya yang ke-75 kami rayakan. Pengajian yang akan kami hadiri diselenggarakan untuk menghayati bulan kemerdekaan. Masyarakat di sana memang terkenal memiliki semangat berbangsa yang berbeda dengan kampung lain.
Diceritakan Buya, di sela napasnya yang mulai sesak, dari kampung yang akan kami tuju itu lahir seorang pelajar yang gigih. Namanya Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka. Melihat kepintarannya, para datuk rela beriuran, menggalang belanja perjalanan Ibrahim menunaikan ibadah belajar ke Eropa. Para datuk rindu memiliki seorang tokoh terpandang yang akan membahagiakan masa depan kampung mereka.
“Bila kampung sudah tidak memiliki orang disegani, ibarat ijuk tak bersagar; bagai lurah tak berbatu. Kawan dan lawan akan bersilantasangan kepada kita,” terang Buya.
Ia susun daun pinus gugur untuk menaruh sebungkil gula aren. Katanya, gula aren itu akan di tinggalkan sebagai sedekah untuk makhluk penyuka manisan, semisal semut dan kunang-kunang.
“Sebelum dikirim bersekolah ke benua biru itu Ibrahim juga sudah menjadi guru muda, mengajari anak-anak kampung mengaji di madrasah milik ayahnya. Perbedaan tikus dan tupai sudah bisa diketahui sejak masih kecil hanya dengan memperhatikan bentuk ekornya. Kalau yang diperhatikan kepalanya, kita berpeluang salah duga,” nyaris pada setiap kali Buya berkata-kata, selalu terselip ibarat dan perumpamaan. Sebagian bisa kupahami langsung ketika mendengarkan, sebagian lagi kuketahui maksudnya justru setelah dewasa.
“Tetua di kampung itu agaknya sangat paham tafsir surat Taubah: 122. Ketika para pemuda bangga bisa berperang melawan kezaliman dan mati sebagai syahid, ayat itu turun: Mengapa kalian berduyun-duyun memanggul senjata ke medan pertempuran? Mengapa tidak ada yang memangku pena ke madrasah atau halaqah pengajian?
Begitulah. Bila sudah telanjur membahas sebuah topik, Buya sulit dihentikan. Ada saja rangkaian pikirannya yang tak terduga dan bagiku itu meninggalkan kesan yang dalam.
“Bagaimana keadaan matamu, Buya? Apakah kunang-kunangnya masih di situ?” tanyaku menyela.
“Sudah mulai berkurang. Perjalanan kita baru separuh. Mari kita lanjutkan. Tapi, sekarang coba perhatikan, dari mana sebenarnya napasku keluar, dari hidung atau dari telinga?” tanyanya pula sambil tertawa.
Sepanjang sisa perjalanan ia lebih banyak mengingatkanku untuk tetap melatih daya sabar dalam diri. Keadaan boleh saja buruk. Keadaan boleh saja tidak ramah dan gelap gulita. Tapi, pesan Buya, jangan mengeluhkan kegelapan. Nyalakan suluh!
III
Secara bergantian, di antara kami para santri laki-laki akan dipilih Buya mendampingi dirinya pergi ke majelis-majelis pengajiannya. Entah karena apa aku paling sering mendapat giliran. Kadang, gara-gara ada temanku yang berhalangan dan meminta aku saja yang mendampingi Buya. Bagi Buya tidak ada masalah. Siapa pun santri di madrasah ini adalah anaknya. Anak-anak yang setelah menamatkan studi, menurutnya, harus punya kemampuan mendampingi masyarakat. Karena itu, Buya mengajak kami secara bergantian menemaninya menyampaikan pesan-pesan agama ke tengah masyarakat.
Kami sering diminta Buya untuk tidak berpisah dari masyarakat, di mana kami berasal. Di hari penobatan kelulusan kami diarak dan diantarkan sampai ke kampung kami. Kepada orang-orang di kampung, Buya menyerahkan kami kembali. Bangunlah kampung kelahiran. Jayakan kampung. Sesulit apa pun, bertahanlah. Jangan merantau.
Harapan itu berseberangan dengan kebiasaan orang-orang di kampung kami. Banyak orang terdidik lahir di sini, tetapi semuanya berjaya di rantau orang. Jika perantauan mereka di dalam negeri, masih melegakan hati. Yang mengiris perasaan, mereka merantau justru ke luar negeri dan biasanya enggan untuk kembali pulang.
Dan, jika antara harapan Buya itu kusandingkan dengan harapan almarhum ayahku, terdapat pula persilangan. Ayah justru ingin, setelah tamat madrasah, aku melanjutkan ke pendidikan militer. Akibatnya, tentu, aku harus meninggalkan kampung kelahiran. Mau ayahku, di masa depan, aku menjadi seorang tentara yang menguasai ilmu agama.
IV
“Menamatkan madrasah misi pertama. Menjadi tentara misi kedua,” demikian arahan ayahku yang seorang veteran tentara pejuang.
“Setelah tamat madrasah mau jadi apa? Penceramah atau pendoa? Penceramah yang punya jadwal tetap setiap malam? Atau pendoa yang selalu diundang ke rumah-rumah, ke kantor camat membacakan doa? Tidak. Ayah tidak suka cara hidup anak Ayah seperti itu. Menguasai ilmu agama, iya, wajib. Membiayai hidup semata dari upah mengajarkan agama seperti menjadi penceramah atau pendoa tidak berkah! Kita dikarunia tubuh dan tenaga yang kuat. Engkau sadari itu,” kata ayah.
“Abdikan karunia itu untuk bangsa ini. Engkau bacalah doa Nabi Ibrahim. Setelah sadar bahwa anak cucunya akan meneruskan kehidupan di tanah yang tandus, ia berdoa: Ya Tuhan kami, jadikanlah negeri kami ini, negeri yang aman. Ini anjuran untuk memikirkan negeri….”
Panjang lebar ayah mengataiku. Aku tak punya alasan untuk menolak permintaannya. Ayah orang baik. Cita-cita tentu juga baik. Meski pun dalam diam, aku menyimpan cita-cita yang lain. Cita-cita yang tujuannya juga sama dengan harapan ayah: mengabdi untuk negeri sebagai ciri dari iman. Namun, entah apakah yang salah dalam cara yang kupilih? Beginilah jadinya. Aku dicurigai berpotensi mengacaukan negara. Oh!
V
Sungguh benar, apa yang Engkau cemaskan dulu itu, Buya. Mengutip sebuah hadis, Engkau berwasiat: di zaman yang jauh dari Nabi, sejengkal demi sejangkal, sehasta demi sehasta, orang-orang yang mengaku umat Muhammad akan digiring ke lubang biawak. Jadi santapan biawak. Orang-orang itu tiada menolak. Apakah karena orang-orang itu sedikit jumlahnya? Tidak! Ketika itu, mereka justru sangat banyak.
VI
Buya, aku melihat diriku kini sedang berada di antara orang-orang yang sangat banyak itu.
VII
Gelap sudah sempurna menyungkup cakrawala. Aku masih tertegun memandang kunang-kunang menyamun pintu rumah yang bersisian dengan madrasah. Rumah yang dulu menjadi kediaman Buya. Setelah 20 tahun beliau mendiang, keadaan madrasah ini kini seperti kerangka benteng sehabis kalah berperang.
Sebelumnya aku berharap bisa sampai sebelum magrib, namun kemacetan di perjalanan menunda rencana itu. Ditambah lagi urusan pemulanganku rupanya tidak sebentar. Aku mesti menandatangani surat pernyataan bersedia tidak melakukan perjalanan ke luar negeri selama kepastian hukum atas kasusku belum jelas. Sebelumnya aku sempat ditahan penyidik selama dua minggu.
Aku ditahan karena aktivitasku dinilai berpotensi mengacaukan keamanan karena diduga terkait dengan tindakan teror yang belakangan mengancam negara. Semula, aku minta diberhentikan dari satuanku karena menilai aktivitas pengajianku sudah tidak serasi lagi dengan tugas pokok dan fungsiku sebagai abdi negara. Aku terus menerima gaji, sementara pikiran dan perbuatanku sudah tidak sepenuhnya lagi berada di dalam amanah tugas itu. Aku khawatir, jangan-jangan inilah yang orang sebut dengan memakan gaji buta.
Setelah diberhentikan, aktivitas pengajianku bertambah tinggi. Selama seminggu aku harus melakukan penerbangan ke luar negeri setidaknya tiga kali. Catatan penerbangan itu rupanya dinilai sudah tidak elok lagi. Ada sejumlah kode etik bahkan hukum yang terlanggar karenanya. Dan, aktivitas itu, memancing kecurigaan. Aku tidak tahu persis, apa yang dicurigai dari diriku. Apakah karena aku lulusan madrasah? Atau karena aku mantan aparatur negara?
Ketika diinterogasi, aku sudah jelaskan, bahwa sejak dari madrasah aku diajarkan mencitai negeri ini. Tidak ada potensi mengacau keamanan dalam diriku maupun kegiatan pengajianku. Andaikata cinta bisa diukur, cintaku pada negeri ini lebih matang dari mereka yang memeriksaku dengan raut wajah penuh selidik itu. Mereka tetap tidak percaya dan terus mendesak dan kadang terkesan menjebak dengan sejumlah bukti-bukti yang mereka kemukakan.
“Perlu saya ingatkan, saya ini dahulu sama dengan Bapak-Bapak sekalian,” aku mencoba menjelaskan, namun dipotong.
“Justru karena itu, banyak agenda negara yang Anda ketahui. Anda telah dicurigai membocorkannya ke pihak asing dan pihak pembuat teror!”
“Itu tidak benar!” Aku membela diri. Karena aku memang tidak melakukan itu.
“Kami juga punya bukti, rekaman ceramah Anda yang mengatakan bahwa negara ini direbut oleh pejuang-pejuang agama Anda. Anda juga menasihati pemimpin negara ini dengan bahasa yang tidak sopan! Anda katakan, pemimpin tidak boleh lupa pada cita-cita awal pendiri negara. Pemimpin, jika tersesat, harus segera kembali ke pangkal jalan atau ubah haluan. Ketika rekaman ceramah seperti itu ditonton seluruh rakyat, apakah itu tidak mengganggu pikiran orang tentang negara?” tanya salah seorang dari mereka.
“Akan saya jelaskan. Yang harus berubah itu bukan bentuk atau haluan negara ini. Tetapi mentalitas yang dipakai dalam pengelolaannya. Ini sesuai dengan revolusi mental, bukan?” Aku membalas.
Mereka membalas lagi. Saling balas dan bersitegang. Perdebatan yang tak terelakkan itu berhenti ketika moncong sepucuk senapan melekat di jidatku. Aku dianggap tidak bisa bekerja sama dengan memberikan keterangan yang berbelit. Karenanya aku ditahan.
Selama dalam kurungan jeruji besi itu, setiap kali bertafakur, aku coba menimbang, apa yang salah dari perbuatanku? Sering, di tengah kemelut pikiran, wajah teduh Buya melintas. Aku mulai merasa ada jalinan yang telah terputus antara aku dan Buya. Setelah tamat madrasah, pulang kampung dan melanjutkan pendidikan di kemiliteran aku memang tidak punya kontak lagi dengan Buya.
Kami dipisahkan jarak dan rutinitasku pada tahun-tahun awal kedinasan sudah berada di jalur yang berbeda dengan jalur yang di tempuh Buya. Hingga pada tahun ketiga, aku dapat kabar beliau sudah berpulang. Ketika itu aku sedang bertugas di ujung pulau Sumatera. Aku tidak sempat ikut melepasnya. Aku sedang di tengah hutan ketika itu. Aku hanya bisa berkirim doa dalam teriakan tangis yang tertahan.
Sejak kabar itu aku terima, meskipun doa-doa terus kukirim untuknya, namun tak sekali pun aku sempat berkunjung untuk berziarah ke makamnya. Makanya, setelah dibebaskan dengan perjanjian bersedia tidak pergi ke luar negeri itu, aku tidak kembali ke kota tempat aku selama ini berkegiatan. Aku memutuskan langsung pulang ke madrasah, berziarah ke makam Buya.
VIII
Ziarahku disambut kunang-kunang. Kilatan cahaya mungil yang beterbangan itu seolah menjadi selaksa kenangan yang selama ini terkurung di pangkal ingatan. Kenangan yang menumpuk di tubir zaman yang curam.
Setelah sekian lama terkesima, aku abaikan kunang-kunang itu. Aku papah langkah menuju batu nisan Buya yang sebagaimana wasiatnya dulu, jasadnya ditanam di tanah yang sudah ia siapkan di samping madrasah.
Saat bersimpuh di sisi nisannya, entah bagaimana mulanya, tekanan darah di wajahku seperti mengerucut. Otot-otot mataku menyipit dan geraham bergetaran.
“Aku ingin mengadu, Buya,” bisikku dalam hati. Aku bayangkan Buya mendekat. Bagai dulu itu, saat keraguan menguasaiku, aku akan mendatanginya minta nasihat. Ia akan mendekatiku, menampar bahuku, dan mengguncang tubuhku.
“Ananda, berwudulah. Air wudu bisa membubarkan air mata duniamu. Setelahnya kamu akan bisa melihat jalan kehidupan dengan terang. Air suci itu juga akan menumpas segala pedih hati yang kamu derita. Lalu, masuklah ke dalam khusuk inabah. Dua rakaat pun cukup. Setelah salam kau tolehkan ke kanan dan ke kiri, air mata itu akan berjatuhan lagi. Tapi, itu bukan lagi air mata yang jatuh karena diusik dunia. Itulah air mata yang akan membimbingmu mencari ridha-Nya. Setiap tetesannya nanti akan berganti menjadi kunang-kunang bercayaha terang,” begitu ketika itu ia menasihatiku.
IX
Entah sudah berapa lama aku bersimpuh di sisi nisan Buya, menggumamkan zikir dan doa. Ketika berusaha bangkit, berdiri, dan memandang berkeliling, aku lihat kunang-kunang itu semakin banyak jumlahnya. Semula hanya mengitari tingkap. Selanjutnya memadati atap gedung bekas asrama santri.
Kakiku kaku. Tak bisa mengelak ketika kunang-kunang itu mengerubungi kepalaku. Mereka tebarkan cahaya hangat di atas ubun-ubunku. Cahaya itu berjatuhan menuruni pipi.
X
Kunang-kunang itu bergantian memasuki mataku, Buya. Tapi pesanmu, tidak boleh mengeluh, bukan? Ya, aku tidak akan mengeluh. ***

Zelfeni Wimra, lahir di Sungai Naniang, Luak Limopuluah Koto Minangkabau, Sumatera Barat, 26 Oktober 1979. Menamatkan pendidikan di IAIN Imam Bonjol Padang (S-1, 2004 dan S-2, 2011). Buku kumpulan cerpennya: Pengantin Subuh (LPPH, 2009), Yang Menunggu dengan Payung (GPU, 2013), Abu (Kisah Pertarungan dan Peruntungan Para Jantan di Tanah Betina; Erka, 2016). Bisa dihubungi di zelfeniwimra@gmail.com.

Tentang Ucup Karbol yang Kelak Akan Diperdebatkan

Cerpen Doni Ahmadi (Koran Tempo, 20-21 Mei 2017)
Tentang Ucup Karbol yang Kelak Akan Diperdebatkan ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo.jpg.png
Tentang Ucup Karbol yang Kelak Akan Diperdebatkan ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Mungkin kelak peristiwa hilangnya Ucup Karbol akan menjadi perdebatan yang serius, namun biar aku beri sedikit bocoran: Ucup Karbol yang lahir pada 11 Maret 2000 itu telah meninggal pada 23 Mei 2020 dalam usia 30 tahun.
Asal kau tahu, aku adalah sahabat baik Ucup Karbol yang pada akhirnya mengetahui bahwa ia sebetulnya mati dalam usia tiga puluh tahun pada tanggal 23 Mei 2020, memang tidak masuk akal jika dihitung lewat angka kelahirannya, apalagi bila kau ada di posisiku (nanti akan kuceritakan), tapi begitulah yang terjadi. Kadang hal-hal yang tidak masuk akal lah yang memang masuk akal. Kau mungkin bisa membantahku dengan menghitung sendiri lewat kajian ilmu matematika yang paling sederhana maupun yang paling mutakhir, dan berdebat denganku perihal usia Ucup Karbol. Tapi biar kukatakan sekali lagi, kadang hal-hal yang tidak masuk akal lah yang memang masuk akal.
23 Mei 2020
Siang itu mungkin menjadi siang yang membuat luka paling dalam terhadap sahabatku, Ucup Karbol. Bagaimana tidak, di Rumah Sakit—tempat ibunda Ucup yang tengah menjalani perawatan karena mendadak pingsan—terjadi kebakaran besar. Dalam peristiwa itu terdapat dua puluh lima korban tewas yang salah satunya setelah diidentifikasi adalah ibunda dari Ucup.
Pada siang yang sama, beberapa jam sebelum terjadi peristiwa nahas itu. Aku tengah sibuk mengerjakan tugas kuliahku. Kau harus tahu, ini adalah kali pertama aku mengerjakan tugas pada siang yang terik begini, biasanya aku mengerjakan tugas itu kelewat larut malam. Tapi karena sore ini adalah batas pengumpulan akhir, sepertinya aku harus membongkar kebiasaanku itu. Selang beberapa menit kemudian Ucup juga datang. Kami memang sudah membuat janji beberapa hari sebelumnya. Ia datang terlambat karena harus terlebih dahulu mengantar ibunya ke rumah sakit karena mendadak pingsan, dan itu tidak masalah sama sekali.
Setelah sekitar lewat satu jam kami berkutat dengan tugas yang tak kunjung selesai ini, matahari makin terasa dekat dan membakar, dalam kamarku yang terletak di lantai atas dan hanya berukuran empat kali tiga meter ini, kami serasa tengah berada di dalam oven, padahal aku sudah menghidupkan kipas angin mutakhirku (blower) dalam level maksimal, tapi tidak berdampak sedikit pun. Pantas saja dulu banyak relawan dan pendemo yang terus menggerakkan aksi tentang bahaya pemanasan global, ternyata memang beginilah akibatnya.
Untuk mengatasi matahari yang terasa semakin menggila itu, tanpa pikir panjang, aku pun memutuskan untuk melepaskan pakaianku, sialnya Ucup juga turut melepaskan pakaiannya. Dalam pikiran liarku, aku membayangkan ibuku masuk ke kamar dan melihat kami dengan keadaan begini, dengan sejurus prasangka liar yang dimilikinya, kami bisa saja dikiranya pasangan sesuka sesama jenis. Sial memang pikiran liar ibuku itu, aku pun akhirnya kembali memasang pakaianku kembali, sepertinya Ucup juga mafhum, ia juga kembali memakai pakaiannya. Maklum saja, Ucup juga sudah mengenal ibuku dengan baik, prasangkanya bukan main gila, pernah aku dituduhnya mabuk ganja hanya karena ia melihat diriku lemas dengan keadaan mata yang merah, padahal yang terjadi saat itu berbeda. Waktu itu saat kepalaku dihantam oleh pusing, aku meminta Ucup (yang saat itu kebetulan tengah ada di kamarku) untuk mengolesi kepalaku dengan minyak kayu putih, sialnya minyak kayu putih yang dioleskan oleh Ucup itu mengenai mataku, dalam keadaan lemas seperti itu aku hanya bisa pasrah dan tiduran kembali, memejamkan mata sembari menahan perih, lalu sejurus Ucup pun keluar dari kamarku dan mencoba mengambilkan air dari kamar mandi di lantai bawah. Tapi bukan Ucup yang datang, melainkan ibuku, aku refleks saja dengan membuka mata dan ia semakin mendekat, mengetahui aku tengah lemas dan mataku merah, langsung saja ibu menuduhku macam-macam, ia beranggapan aku teler setelah menghisap ganja. Itu baru satu. Belum yang lain lagi. Sial, aku jadi menceritakan tentang ibuku, tapi tidak apa-apalah sudah terlanjur.
Jadi, setelah merasakan panas yang sedemikian membakar itu, aku dan Ucup akhirnya bersepakat untuk keluar rumah membeli minuman dingin atau es krim bila ternyata minuman dingin itu tak mampu menghilangkan rasa panas yang melekat itu. Kami pun langsung melesat menuju minimarket terdekat dari rumahku yang jaraknya kurang-lebih sekitar lima puluh meter, karena hawa panas yang menyengat kami memutuskan untuk tidak berjalan dan Ucup pun langsung sigap dengan menyalakan mobilnya, kami pun pergi ke minimarket. Belum sampai dua puluh detik Ucup masuk ke dalam minimarket, aku yang mengikutinya di belakang tiba-tiba saja berhenti di depan layar televisi yang terdapat di depan minimarket untuk melihat berita tentang pertandingan final sepak bola antar-klub Eropa yang akan dihelat dinihari nanti, tiba-tiba saja berita itu berganti, siaran berita itu berubah dari mewartakan acara olahraga ke peristiwa yang tengah terjadi, siaran itu mewartakan bahwa ternyata tengah terjadi kebakaran besar di rumah sakit Kepala Gadung sekitar 20 menit yang lalu, karena terdapat material yang mudah terbakar (dapur rumah sakit), maka api pun langsung membesar dan sulit untuk dipadamkan. Sontak aku teringat bahwa Ucup baru saja mengantar ibunya ke rumah sakit yang disebutkan itu, sekonyong-konyong aku pun masuk ke minimarket dan meneriaki Ucup. Ia terlihat sedang mengantre di depan kasir, lalu aku menariknya untuk melihat berita tersebut. Ketika Ucup yang kutarik itu sampai di depan layar kaca televisi, berita barusan yang kudengar itu sudah kembali ke acara semula—mewartakan siaran olahraga kembali. “Aku juga sudah tahu, Dit, kau mau mengajakku nonton bareng memang, ya sudah aku bayar minuman kita dulu,” katanya. “Bukan itu, di rumah sakit Kepala Gadung terjadi kebakaran, sini biar aku yang bayar, kau nyalakan mobil dulu dan tunggu aku,” kataku. Aku pun langsung membayar belanjaan yang dibeli Ucup dan langsung keluar, kami berdua langsung tancap gas menuju rumah sakit.
Ternyata benar, dari jauh sudah terlihat asap hitam pekat yang berasal dari gedung rumah sakit. Lalu lintas arah rumah sakit pun tidak bergerak, dalam keadaan begitu Ucup langsung keluar dan menuju arah rumah sakit dan meninggalkanku.
24 Mei 2020
Hari ini aku bangun pada pukul delapan malam, badanku masih merasakan pegal-pegal yang luar biasa. Tapi barangkali ini tidak ada apa-apanya, sakit pegal yang kurasa mungkin tidak sesakit yang Ucup Karbol sahabatku rasakan—kehilangan seorang ibu yang begitu ia cintai. Cukup membayangkannya saja, kau pasti sudah sakit yang bukan main.
Kau tahu, kemarin malam, tepat pada pukul tujuh lewat tiga puluh (tiga puluh menit seusai api dapat dipadamkan), Tim SAR baru menemukan jenazah ibunda Ucup, lewat keterangannya beliau diketahui terjebak bersama seorang pria yang kira-kira berumur 30 tahun dalam tangga darurat. Mereka berdua tewas bersama dalam keadaan tertimpa material berat setelah terjebak. Aku yang menemani Ucup bermalam di rumah duka tempat di mana jenazah ibunda Ucup dipindahkan, kira-kira pukul sepuluh malam aku bersama Ucup dan ayahnya sampai di sana. Akhirnya selesai mengurus hal-ihwal, ibunda Ucup dibawa pulang ke rumahnya untuk didoakan. Aku pun masih turut menyertai Ucup dan ayahnya, bahkan sampai pada ba’da dzuhur selesai ibunda Ucup disalatkan dan dikebumikan (satu jam berselang). Barulah setelah itu aku pulang ke rumah, tidur, dan baru bangun pada malam harinya. Dalam keadaan setengah sadar aku keluar kamarku (menuju lantai bawah) untuk mengambil air putih, malam itu kulihat ibu tengah menonton berita yang mewartakan berita kebakaran itu. Ah, gara-gara berita itu aku jadi ingat Ucup lagi, terlebih saat nama dua puluh lima korban disebutkan satu per satu beserta identitasnya. Kau tahu, sekilas, kudengar ada yang ganjil, penyiar berita itu menyebutkan dan tertulis di layar nama Ucup Karbol sebagai korban, sejurus aku pun langsung mendekati layar kaca dan melihat dengan jelas keterangannya. “Ah sial, mengagetkan saja,” kataku.
18 September 2022
Pagi itu menjadi peristiwa bersejarah bagiku, maklum saja aku telah resmi diwisuda dan menjadi sarjana. Ucup Karbol juga, kami berdua lulus. Meski dengan nilai yang tidak terlalu bagus, tapi juga tidak terlalu jelek. Oh iya, setelah peristiwa kebakaran yang nahas itu, hubunganku dengan Ucup sedikit merenggang, bukan karena perselisihan, tapi Ucup jadi lebih sering menghabiskan waktu di rumahnya. Misalnya saja, selesai jam kuliah, biasanya kami berkelakar dulu sampai larut (bahkan Ucup juga biasanya sampai menginap dan baru pulang keesokan harinya), tapi Ucup lebih memilih pulang. Entahlah, mungkin ia merasa bersalah (kupikir ia terlalu sering jarang pulang dan menyesal ketika ibunya sudah tiada) dan masih berduka. Aku juga mafhum, maka itu aku tak pernah mempermasalahkan hal itu.
Selesai lulus Ucup memberitahuku bahwa ia dan ayahnya akan segera pindah dan tinggal di rumah neneknya yang ada di Bandung, rumah yang ada di sini akan dijual, Ucup juga sekaligus memberitahuku bahwa ia akan melanjutkan studinya di sana. Tak luput, Ucup juga memberi alamat tempat tinggal barunya itu kepadaku. Jika kapan-kapan aku hendak mampir ke sana.
11 Maret 2030
Pagi itu kira-kira pukul lima tiga puluh, aku sudah menyalakan mesin mobilku untuk pergi ke Bandung, yakni ke rumah Ucup Karbol sahabatku. Kira-kira sudah hampir delapan tahun aku tidak bertemu dengannya. Selepas wisuda, kami sudah tidak saling bertemu, selain jarak, kami sama-sama tengah sibuk. Kira-kira sudah seperti apa tampangnya sekarang, pikirku.
Awalnya aku berencana mengabarinya bahwa aku hendak main ke sana, namun dalam dua tahun terakhir semua kontak telepon maupun media sosial miliknya mendadak tidak aktif lagi, kutanya lewat surat elektronik pun hasilnya sama saja. Jadi, modalku untuk menemuinya hanya berbekal alamat yang sempat ia kirim dua tahun terakhir lewat jejaring sosial dan alamat yang dulu ia tulis sebelum pindah ke kota ini, kau tahu, Ucup jarang sekali berbohong padaku, dan berdasarkan asas kepercayaan inilah aku berangkat. Oh iya terakhir Ucup bilang kini ia tidak tinggal bersama ayahnya dan memilih tinggal sendiri di rumah kontrakan. Dan alamat rumah dulunya itu adalah alamat rumah tempat tinggal ayah dan neneknya, jadi aku tetap menyimpannya. Kebetulan, hari ini juga hari ulang tahunnya, mungkin sedikit kejutan dan sekaligus aku ingin mengundangnya menghadiri acara pernikahanku yang akan berlangsung dalam tiga minggu lagi.
Butuh perjalanan lima jam menggunakan mobil untuk sampai di kediaman Ucup. Sesampainya di sana (di alamat tempat Ucup mengontrak) aku langsung menuju pagar dan memanggil-manggil namanya, sudah lewat sepuluh menit, namun tak ada jawaban yang kudapat. Apakah aku nyasar, tanyaku. Aku pun mencoba menanyai warga sekitar perihal alamatnya, yaitu Jalan Widuri Nomor 99 Kecamatan Bodong Gede. Ternyata benar dan juga mereka mengenal Ucup. Mereka bilang Ucup itu jarang keluar rumah, sepulang kerja ia biasanya langsung mengerjakan sesuatu lagi di dalam rumahnya. Ketika kutanya apa hari ini mereka melihat Ucup, jawabannya tidak tahu. Tanpa berpikir panjang aku pun langsung menuju alamat kedua, yakni Jalan Pasirjaya Nomor 11 Kecamatan Bodong Kecil. Asumsiku mungkin Ucup sedang pergi ke sana dan merayakan ulang tahunnya bersama keluarganya. Setelah kuingat-ingat kembali, sepertinya alamat ini tidak terdengar asing. Ah entahlah, mungkin hanya pikiranku.
Sialnya asumsiku salah, di rumah itu hanya ada neneknya Ucup. Dan ia malah menyuruhku untuk pergi menuju alamat yang sebelumnya aku datangi. Aku semakin bingung, akhirnya aku memutuskan untuk menikmati Kota Bandung terlebih dahulu, kau juga pasti akan melakukan hal yang sama bila ada di posisiku, tidak mungkin juga aku mondar-mandir dari kontrakan Ucup ke rumah neneknya lagi. Selepas magrib aku pun kembali ke kontrakan Ucup, hampir setengah jam aku menunggu namun hasilnya ternyata sama saja. Tanpa pikir panjang aku pun akhirnya melesat ke rumah neneknya dan menitipkan undanganku itu untuk diberikan kepada Ucup nanti.
12 Maret 2030
Pagi-pagi betul, entah mengapa ayah membangunkanku dan memberikan sebuah paket yang isinya adalah surat. Ayah bilang, dua jam setelah aku melesat pergi, surat itu sampai rumah. Ia tidak mau membukanya karena berpikir itu adalah urusan pribadiku. Aku masih terlalu mengantuk dan lelah, jadi surat itu kuletakkan saja di meja samping tempat tidurku untuk kubaca nanti.
Kau harus tahu, ternyata surat itu berasal dari Ucup Karbol, sahabatku. Begini bunyinya:
Untuk Dodit, sahabatku.
Kau adalah satu-satunya orang yang kuberi tahu perihal hal ini dan sebagai sahabatku yang kupercaya. Begini, bersama surat ini dengan sejujur-jujurnya aku telah berhasil membuat mesin waktu dan akan melakukan perjalanan bersamanya. Mungkin perjalananku ini akan sedikit mengubah takdir, maka itu aku menunggu sampai surat ini sampai dulu di tanganmu, agar kau tidak kaget. Dan lewat pemberitahuan kepala pos, kau kira-kira akan menerima ini pada pukul delapan pagi, jadi tiga puluh menit setelahnyalah aku akan melakukan perjalananku ini. Kau tahu, dengan mesin ini aku akan kembali menyelamatkan nyawa ibuku. Kembali ke 23 Mei sepuluh tahun lalu. Dan mungkin aku takkan kehilangan beliau lagi. Terimakasih telah menjadi sahabat baikku. Dan doakanlah sahabatmu ini agar berhasil.
Ucup Karbol, Bandung 11/03/30
Asal kau tahu, aku betul-betul menganggap ini sebuah mimpi. Tapi aku tak dapat memberikan kategori mimpi yang jenis apa. Ucup Karbol adalah sahabatku, aku yakin ia tidak berbohong kepadaku. Baiklah, coba kau ingat-ingat kembali pada 24 Mei sepuluh tahun silam, ketika penyiar berita menyebutkan dan tertulis di layar nama Ucup Karbol sebagai korban, di situ aku merasa bersyukur karena alamatnya bukanlah alamat tempat tinggal Ucup karbol sahabatku yang (pada saat itu) terletak di Jalan Haji Sepuluh Kecamatan Rawarawa Jakarta, melainkan Jalan Pasirjaya Nomor 11 Kecamatan Bodong Kecil Bandung. Dan coba kau ingat-ingat juga tentang seorang berusia tiga puluh tahun yang tewas bersama ibunda Ucup Karbol.
Walaupun aku begitu menyukai cerita fiksi, tapi yang kuceritakan ini bukanlah cerita fiksi, apalagi hasil karangan yang mengada-ada, dan ketimbang nanti kau akan memperdebatkan kehilangannya, mungkin cerita ini bisa membantumu. Dan sebagai sahabat Ucup Karbol, barangkali ini tanggung jawabku untuk menjelaskan tentang kebenaran yang sebenar-benarnya tentang kisah beliau. Dan barangkali kau juga harus percaya, kadang hal-hal yang tidak masuk akal lah yang memang masuk akal.

2017
Doni Ahmadi. Alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta, pegiat sastra dan seni di komunitas Tembok, redaktur buletin sastra Stomata. Beberapa cerpennya termaktub dalam antologi Desas-desus tentang Kencing Sembarangan (2016).

Empat Plot di Tulouse

Cerpen Ilham Q Moehiddin (Media Indonesia, 21 Mei 2017)
Empat Plot di Tulouse ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Empat Plot di Tulouse ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Plot Pertama
SAAT bunga-bunga bermekaran di himpunan perdu, kita sedang terjangkit rindu. Itu penanda hubungan kita yang ragu. Tahun kedua di Tulouse dan kau tak betah. Itu aneh. Kau meneleponku pada subuh hari pertama, minggu terakhir Maret. Ah, aku nyaris lupa apa yang telah kita bicarakan dan ingatan yang kita labuh pada subuh itu. Tidurku terganggu oleh teleponmu. Kau terisak-isak di sana, menyansak waktuku yang sesak, untuk sekadar mendengarmu bicara pendek-pendek tentang gemuruh yang mendesak dadamu. Kau bicara tentang sesuatu yang seharusnya bukan urusanku.
Seharusnya kau tembak saja aku!
Masih kusimpan pistol lada yang dulu kubeli untuk membunuh lelaki tua itu. Lelaki tua itu mengajakku bertemu dan bicara empat mata. Ini antardua lelaki saja—katanya. Omong kosong. Nyatanya ada dua pengawal di sisinya. “Jangan ganggu Gorny lagi,” katanya, mengancamku.
Saat itu ingin sekali kuledakkan pistol lada tepat ke wajahnya. Biar mampus ia, dan rencana-rencana di kepalanya berhamburan ke lantai kafe. Mungkin setelah itu, aku pun akan terkapar mati ditikam dua pengawalnya.
Aku cemas kau akan bosan menungguku keluar dari tempat terkutuk itu. Tentu aku takut dipenjara. Tapi ketakutanku tak lebih besar dari kecemasanku pada para napi lelaki yang kesepian. Narkotika dan kesepian, kudengar telah mengubah penjara seperti pasar malam dan rumah madat.
“Sebaiknya kita bertemu,” pintamu.
Plot Kedua
Hari ini aku tak perlu kembali ke kantor setelah menepati janji bertemu Gorny di kafe tenda dekat anjungan pelabuhan. Aku suka tempat yang dipilih Gorny. Burung-burung Camar di sini masih segan pada manusia—tak seperti Camar di pesisir Laut Hitam yang suka mencuri makanan dari piring pengunjung. Entah kenapa burung-burung itu lebih menyukai kentang daripada ikan. Sesuatu dalam air laut mungkin telah mengubah mereka menjadi mutan.
“Bawa kami pergi,” kau menyentuh lenganku. Kau masih perempuan yang selalu mengejutkanku dengan permintaan-permintaan mendadak.
Apa yang kau cemaskan? Mataku menatap bibirmu yang menyembunyikan kepahitan.
“Suamiku gila!”
Inilah pengakuan paling jujur yang meluncur dari bibirmu tentang lelaki tua itu. Sudah kuduga, ia memang gila.
“Ia memukuliku,” ujarmu cepat.
Dasar pasangan gila. Kau pun pernah nyaris membunuhku dengan keputusasaan yang kau ciptakan. Lalu kini kau akan terbunuh oleh keputusasaan suamimu.
“Anakmu?”
Kau mengangguk. “Seine baik-baik saja.”
Syukurlah. Kepalaku berpaling ke arah laut. Mataku tertuju ke pulau kecil di kejauhan. Pulau dengan enam cottage berdesain Palma. Seingatku, di pulau itu ada sepotong tulang yang diakui para pengurus cottage sebagai tulang rusuk Mermaid. Air muka mereka begitu meyakinkan saat menceritakannya.
Wajahmu serius sekali. Aku mendesah.
“Baiklah.”
Kau memajukan kepalamu. “Bawa kami pergi. Ke tempat paling aman.”
“Kau mendengarku dengan jelas, Gorny.” Aku menggerutu. Betapa menyedihkan situasi ini. Aku pernah mengharapkanmu menjadi istriku, tapi kau memilih lelaki tua pemilik perusahaan ikan beku itu. Kini kau hendak memasuki hidupku lagi dan bertingkah seolah-olah kau tak pernah mengecewakanku. “Kau punya uang?” Tanyaku.
“Tabunganku cukup.”
“Paspor?”
“Ada.” Wajahmu memelas.
Aku tatap matamu. “Baiklah. Kau tahu Baukje?”
Kau mengangguk.
“Baukje tinggal di Belanda. Ia akan senang menerima kalian. Ia menyukai anak kecil.”
Plot Ketiga
Suamimu menemuiku untuk kedua kalinya. Di pertemuan pertama saja aku sempat berniat membunuhnya. Tapi saat ini, suamimu yang paling mungkin melakukan itu padaku.
Lelaki tua kaya yang marah karena terbakar cemburu dan dua pengawal bertubuh besar yang tampak mampu menganiaya siapa pun, adalah kombinasi berbahaya. Mereka memergokiku di parkiran kantor dan menggelandangku ke gudang ini.
“Kau pasti tahu di mana Gorny,” tuduh suamimu.
Aku menggeleng. Suamimu tertawa sinis. Dari saku jas panjangnya, ia tarik tabung ganda berbahan kulit berisi dua batang cerutu. Dicabutnya sebatang, lalu mengembalikan wadahnya ke balik jas. Dikeluarkannya juga cincin pemotong cerutu bersama pemantik kayu. “Maaf, aku tak bisa menawarimu. Cerutu bermutu tinggi sukar dicari saat ini.”
Aku tersenyum mengejek.
“Kau mau apa?”
Suamimu mengangguk. “Jawab saja pertanyaanku tadi.”
“Sejak kau menikahinya seharusnya kau lebih tahu soal Gorny.”
Suamimu memukul meja. “Jangan mengalihkan masalah. Aku bisa membunuhmu!” Desisnya ke wajahku. Aku menjauhkan kepalaku, tapi gagal karena pengawalnya menekan belakang leherku.
Aku tersenyum kecut. “Lalu apa yang kau tunggu?”
“Baiklah,” suamimu menggeleng seraya menatapku dengan licik, “kita akan melakukan ini seharian penuh. Percayalah.”
Dua pengawalnya lalu menekan telapak tangan kiriku ke atas meja. Suamimu yang gila itu mengeluarkan benda dari saku jasnya dan dengan benda itu ia tetak punggung tanganku. Sakitnya menjalar ke telingaku, sebelum menuju tulang belakang. Membuat setiap persendianku gemetar.
Jika kubilang aku tak menangis saat menerima pukulan benda itu, maka aku berbohong. Popor pistol suamimu membuat dua tulang jemariku patah.
“Baiklah! Aku akan mencari Gorny,” aku terbata-bata menahan sakit.
“Apa aku harus mempercayaimu?”
Aku menggeleng. “Tak perlu, tapi kau bisa mengawasiku,” kataku sambil melirik dua pengawalnya. “Buatlah dua orang dungu ini lebih berguna. Uangmu hanya membuat tubuh mereka membesar, tapi tidak dengan otaknya.”
Suamimu tertawa saat seorang pengawalnya segera menepak belakang kepalaku karena jengkel. Ia kemudian menunjuk lelaki yang menepak kepalaku tadi. “Dia akan senang menancapkan sesuatu ke lehermu jika kau mengelabuiku.”
Lelaki besar itu menyeringai dan mengangguk.
Plot Keempat
“Kalian siap?” tanyaku.
“Ya,” kau mengangguk, “jam berapa kita ke bandara? Jika terlalu lama, kami bisa ketinggalan penerbangan.”
Jika aku tak mencintaimu, tak mungkin aku mengambil risiko sebesar ini. Tapi kau merasa perlu mendesakku untuk rencana ini. Tak ada orang yang begitu mencintaimu seperti aku.
Pintu terpentang, saat seorang lelaki bertubuh besar masuk dan merenggut tanganmu. Kau terkejut dan meraung. Kau menghujaniku dengan tinjumu. Pengawal suamimu menarik dan mendorongmu ke dalam mobil. Anakmu menangis ketakutan sambil berpeluk pada pengasuhnya.
“Kau menipuku!” Kau meneriakiku dalam perjalanan ke tempat di mana suamimu telah menunggu.
Aku tersenyum sinis. “Menipumu? Kau tak tahu sakitnya saat kau memutuskan menikahi majikan si dungu ini,” timpalku. Si pengawal di sisimu mendengus jengkel.
Kau menangis. “Kau tidak memahamiku.”
“Aku memang belum selesai melakukannya,” kataku.
“Aku mencemaskan keselamatan kalian.”
“Omong kosong!” hardikku.
Lalu kau membanting punggungmu ke jok mobil.
Suamimu tersenyum melihat kau keluar dari sedan hitam yang kita tumpangi. Aku menyusul turun. “Orang sepertimu banyak sekali di dunia ini,” kata lelaki tua itu. Aku menjawabnya dengan meludah ke lantai.
Suamimu mengulurkan tangan saat kau berjalan ketakutan menghampirinya. Tatapanmu tiba-tiba kosong. Sepertinya mereka akan segera membawamu pergi.
Aku menyela. “Jangan lupa singgah menjemput putra kalian di rumahku.”
“Tak perlu!” suamimu menjawab cepat.
Aku kaget.
“Itu anakmu, bodoh!” Wajah licik suamimu tampak lagi, “aku hanya menginginkan milikku.”
“Gorny?” Aku menatapmu, meminta penjelasan. Kau memejamkan mata.
Aku terguncang. Situasi ini segera menjadi jelas saat kau menganggukkan kepala ke arahku. Aku teringat ucapanmu di mobil tadi—aku mencemaskan keselamatan kalian.
Kalian? Kepalaku tiba-tiba berat, seperti ada setan yang mendudukinya dan membujuk untuk melakukan sesuatu yang kuanggap perlu. Itu nasihat jahat di waktu yang tepat. Saat aku usai memutar tubuhku, seorang pengawal di belakangku terjengkang. Pistol lada melubangi lehernya. Lelaki dungu lain yang berdiri di depan mobil, sempat terlanga, tapi segera rubuh ke lantai saat peluru kedua dari pistol ladaku menembus dadanya. Masih ada dua peluru lagi.
Ia salah mengira bahwa aku terlalu lemah untuk membuatnya tak waspada. Ia lupa membawa pistolnya.
“Aku tak akan memohon padamu,” ujar suamimu.
“Jangan,” aku menggeleng. Aku tarik kerah jas panjangnya dan kuselipkan tanganku ke sakunya. Kutarik keluar tabung cerutunya, “bagus juga sesekali mencoba cerutu bermutu tinggi.”
Kuminta lelaki tua itu mengeluarkan cincin pemotong dan pemantik api. Pistolku terarah padanya. Ia menurut. Ia memotong ujung cerutu, memantikkan api untukku sekaligus. Asap cerutu segera membumbung.
Aku tersenyum. “Artikel di koran minggu selalu benar.”
Suamimu sinis menatapku. “Aku belum selesai denganmu.”
Ledakan pistol ladaku meredam ocehannya, “Tapi aku sudah selesai!”
Lelaki tua itu memegang perutnya. “Kau—kau tak bisa…”
Pistol ladaku meledak sekali lagi. Suamimu tersentak kemudian diam. Peluruku habis, namun ada liang baru di kepalanya.

2017
Ilham Q Moehiddin, banyak menulis cerpen. Buku terbarunya Ordinem Peremto: Para Pembunuh Ketertiban (2016).

Lelaki di Halte yang Kelak Menjadi Legenda

Cerpen Ken Hanggara (Tribun Jabar, 21 Mei 2017)

Lelaki di Halte yang Kelak Menjadi Legenda ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar.jpg
Lelaki di Halte yang Kelak Menjadi Legenda ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
DI suatu halte, seorang lelaki sedang berdiri menunggu kekasihnya. Ia berdiri tanpa alasan yang lebih baik selain menunggu seorang kekasih meski telah banyak yang tahu bahwa kekasihnya sudah meninggal setahun lalu dalam kebakaran. Lelaki itu barangkali sudah gila, tetapi anggap saja dia waras dan hantu kekasih yang datang di saat tertentu adalah kenyataan.
Bicara tentang kenyataan, aku sadari banyak kenyataan kadang terdengar aneh atau tidak masuk akal. Termasuk soal si lelaki yang menunggu kekasihnya di halte. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama, tapi setiap orang di sepanjang jalan ini mengenalnya dan akan bersaksi pernah melihat pacar lelaki itu mati di depan mata mereka.
“Dia benar-benar sudah mati. Tubuhnya gosong dan kaku, dan sekarang lelakinya menunggu di halte seperti apa yang dulu mereka janjikan,” tutur salah seorang saksi.
Bicara tentang janji, ada fakta yang membuatku ingin menangis, yakni janji lelaki itu adalah janji terakhirnya. Ia mungkin tahu betapa meninggalnya sang kekasih di suatu tempat di ujung jalan ini adalah cara takdir mencegahnya menepati janji, dan saat semua seharusnya mulai kembali seperti semula—jasad gadis itu selesai dikubur dan ditangisi, dan roda kehidupan di sekelilingnya bergeliat sekali lagi—lelaki kekasihnya tetap diam di tempat.
Janji terakhir itu bukan main-main. Itulah yang akan orang katakan jika tidak tega menganggapnya gila. Orang-orang di pihak ini akan memaklumi bahwa lelaki tersebut berharap ditemui hantu sang kekasih demi menegaskan, “Aku tidak mengingkarimu.”
Terdengar kabar yang entah benar atau tidak; konon si lelaki pernah berjanji untuk melakukan sesuatu yang akhirnya tidak pernah bisa dia lakukan, dan setelah itu kembali si lelaki berjanji untuk terakhir kalinya demi kepastian hubungan mereka. Pada hari itu, orang-orang di lain tempat, yang tidak tahu-menahu urusan halte dan kebakaran di suatu ujung jalan, menghadiri acara pernikahan yang akan digelar oleh dua keluarga kaya-raya dan terpandang, dan salah satu mempelai adalah si lelaki yang pergi diam-diam ke halte tersebut.
“Ini janjiku yang terakhir sebelum kita benar-benar menyatu dan tak terpisahkan,” kata si lelaki kepada kekasihnya, yang tidak lama lagi akan mati dalam kebakaran, lewat sambungan telepon.
Tentu saja tidak ada yang dapat membaca masa depan sehingga, ketika kebakaran terjadi, lelaki yang menunggu di halte merasa cemas dan ingatannya melayang ke janji sebelumnya yang gagal ia laksanakan: bahwa dengan segala cara, ia akan tolak paksaan orang tua untuk menikah dengan perempuan lain. Tidak akan ada perjodohan sampai dia dan kekasihnya yang dicintainya itu menikah diam-diam di suatu tempat dan membuat pengumuman mengejutkan bahwa tidak akan ada yang mampu menghalangi mereka.
Sayangnya, itu tidak pernah terjadi.
Kematian seorang kekasih meninggalkan bekas di dalam dada. Kalau bekas macam itu dilukis di permukaan kanvas, seharusnya berwarna ungu gelap. Aku pasti memberi warna itu untuk kejadian macam ini, dan tidak peduli apa kata orang tentang arti warna ungu. Seandainya aku suka hijau tua, tentu kupakai warna itu. Tapi lukisan dada seorang lelaki yang kehilangan kekasihnya dalam kebakaran lebih terlihat mengenaskan dengan warna ungu.
Setelah roda kehidupan kembali bergulir—orang-orang terjun ke rutinitas mereka dan menyimpan kenangan pahit tentang ditemukannya jasad perempuan malang dalam tumpukan abu bekas kebakaran akibat ledakan tabung gas di sebuah rumah makan—si lelaki tetap diam di tempat. Ia jelas sudah tahu kabar kematian kekasihnya, dan bahkan sempat terlihat menghadiri acara pemakamannya, tapi karena orang tua si gadis sakit hati atas kesombongan keluarga si lelaki, terpaksa dia menyendiri di balik pepohonan, jauh di belakang sana.
Lukisan itu telah kubuat sedemikian rupa, dengan latar pepohonan kamboja di tepi kuburan, sementara jauh di depan si lelaki yang dadanya berbekas warna ungu tua, tiap orang menaburi gundukan tanah dengan bunga. Ia hanya berdiri memandang dari jauh sampai semua orang pergi.
Setelah itu, setiap orang tahu lelaki itu kembali ke halte seperti dulu dan menunggu si kekasih datang untuk kawin lari. Ia terus menunggu dan tidak peduli usaha-usaha para anggota keluarga untuk membawanya pulang. Ia hanya akan berteriak, “Jangan ganggu upayaku menepati janji!”
Ada banyak sebenarnya apa yang lelaki tersebut katakan kepada setiap orang yang berusaha menjemputnya, tapi yang paling sering ia sebut-sebut adalah soal janji terakhir.
Kubayangkan, dalam kesedihanku melihat lelaki yang sebenarnya tidak kukenal itu menanti sesosok hantu (anggaplah begitu, sebab perempuan itu sudah mati gosong dan tidak mungkin hidup kembali sebagai manusia biasa), bahwa si lelaki mungkin bertekad untuk tetap di sini, di halte ini, sampai ia tua nanti. Mungkin rutinitasku sebagai seorang yang dipercaya mengurus suatu galeri seni, dan harus pergi setiap hari dengan numpang buskota, akan berhenti suatu hari nanti kalau aku sudah tua dan tidak kuat lagi, tetapi aku tidak yakin lelaki yang menunggu kekasihnya yang mati dalam kebakaran itu bakal berhenti.
Aku bisa membayangkan keberadaannya di halte tersebut kelak, pada masa ketika orang-orang di generasi sesudah kami berjuang untuk hidup dan tujuan masing-masing, akan menjadi semacam legenda. Lelaki tanpa nama itu melegenda di sepanjang jalanan ini karena kesetiaannya menunggu seorang kekasih meski tahu yang bersangkutan sudah mati terbakar.
Betapa semua itu membuatku sulit merampungkan lukisan yang sebenarnya terlalu sederhana, tentang adegan ketika seorang lelaki berdiri di tepi pemakaman dengan dada berbekas warna ungu, dan mengamati setiap orang bersedih atas kepergian kekasihnya dengan cara menabur bunga. Aku sendiri tidak pernah jatuh cinta sedalam ini, tetapi aku rasa suatu hari nanti akan ada saatnya untukku. Tentu saja, aku berharap kisahku tidak seburuk lelaki di halte tersebut. ***

Tentang Wanita yang Menanti Kebangkitan Luiz Ezpinosa

Cerpen Tommy Duang (Koran Tempo, 27-28 Mei 2017)
Tentang Wanita yang Menanti Kebangkitan Luiz Ezpinosa ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.png
Tentang Wanita yang Menanti Kebangkitan Luiz Ezpinosa ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Nyonya Ezpinosa tahu betul apa yang bakal terjadi. Semua proses pengadilan itu berlangsung tepat seperti yang tak pernah dibayangkannya. Persoalannya menjadi semakin rumit, karena bukan lagi perkara benar salah, melainkan adu argumen dan popularitas. Akhirnya ia harus berdiri pada posisi yang salah dan terancam dijatuhi hukuman mati karena tuduhan perbuatan cabul.
Katanya perbuatan cabul adalah wajah lain dari penistaan agama, merendahkan martabat agama berikut pembesarnya dan melecehkan serta menginjak-injak harga diri sebuah lembaga iman. Padahal, kalau dipikir-pikir, seandainya tuduhan itu benar maka kejadian itu tidak perlu dibesar-besarkan. Lagipula agama sebesar ini tidak perlu terlalu jauh merepotkan diri. Cukup menyadarkan ia bahwa perbuatan itu melanggar norma kehidupan bersama. Itu cukup. Karena agama bukanlah polisi moral apalagi barisan regu tembak.
Pada malam-malam yang tak pernah usai, dalam dekaman jeruji dingin, Nyonya Ezpinosa cenderung berandai-andai. Seandainya saja tuduhan pelecehan itu benar, maka mereka tidak perlu merasa ternistakan. Dia pernah membaca, entah di mana, bahwa seseorang tidak mungkin mencemari keagungan Air Terjun Niagara dengan meludahi atau bahkan mengencinginya sekalipun.
Dia teringat akan saudara kandungnya, Luis Ezpinosa, yang hidupnya berakhir di ujung peluru. Dia dihukum mati atas tuduhan meracuni istrinya sendiri, Noni Bonaparte. Di hadapan regu tembak, Luiz dengan mata berapi-api membeberkan kisahnya. Dia mengangkat tangan kanannya, tepat di depan matanya yang bernyala, menekan ujung jari telunjuknya dengan kuku ibu jari dan berkata: “Bagi saya masalah ini kecil sekali. Sangat kecil. Pribadi saya terlampau besar untuk merasa terhina oleh tuduhan picisan semacam ini.” Namun begitulah, hidupnya tetap berakhir di ujung peluru.
Kembali Nyonya Ezpinosa berandai-andai. Seandainya saja tuduhan itu benar, mengapa mereka tidak menangkap lelaki yang bersamanya ia bersetubuh dan menodai keluhuran tubuhnya sendiri? Inilah jawaban mereka: “Walaupun kami melihat mereka tidur bersama-sama di sana, kami tidak dapat menangkap pemuda itu karena ia lebih kuat dari kami. Ia membuka pintu lalu melarikan diri. Tetapi dia ini kami pegang dan kami menanyakan siapa pemuda itu. Ia tidak mau memberi tahu kami. Inilah kesaksian kami.”
Awalnya ia kaget dengan jawaban itu. Tetapi tidak apa-apa. Mungkin lagi zamannya saja melepaskan orang bersalah yang kuat, gede, dan gesit melarikan diri. Sebaliknya, iya sebaliknya kau tahu. Karena ini sudah menjadi kebiasaan, maka Nyonya Ezpinosa menghormati kebiasaan itu. Dia tidak mau memberi tahu siapa pemuda yang dengannya ia telah melecehkan kehormatan agama yang dipercayanya.
Namun sayangnya, Nyonya Ezpinosa salah. Ia mengandai-andaikan suatu peristiwa yang tidak pernah ada. Persetubuhan itu hanyalah rekayasa kedua petinggi Kerajaan yang terbakar api birahi atas keelokan paras dan kemolekan tubuhnya. Dulu, waktu Luiz Ezpinosa, saudaranya itu masih hidup, kedua petinggi kerajaan itu pernah ia cap sebagai orang tua yang sudah beruban dalam kejahatan dan keturunan manusia yang tersesat oleh kecantikkan perempuan dan yang hatinya dibengkokkan oleh nafsu birahi.
Dan seandainya saja Luiz masih di sini, ia akan tahu bahwa perkataannya benar, bahwa kedua orang tua itu telah mendustai kepala mereka sendiri. Sayangnya Luiz sudah dihadapkan pada sederetan regu tembak. Kini hanya tinggal namanya, sebagai orang baik yang pernah hidup dan dikhianati.
Betapa menyedihkannya nasib Nyonya Ezpinosa tanpa kehadiran Luiz di sampingnya terutama di saat-saat seperti ini. Saat ia mendekam di dalam jeruji dingin, tepat sehari sebelum dirinya dihadapkan pada sederetan regu tembak.
Senang berkenalan denganmu. Namaku Susana Ezpinosa. Umurku tiga puluh satu tahun dua bulan tiga hari, seratus tiga puluh dua sentimeter, lima puluh lima kilogram, dan selalu mengenakan pakaian termahal yang bisa dibeli oleh seorang manusia. Kecantikan dan kemolekan tubuhku membangkitkan gairah dalam diri kaum pria dan rasa iri dalam diri para wanita. (Berhubung aku selalu saja jatuh cinta pada karya-karya Paulo Coelho, aku meminjam caranya memperkenalkan Linda, istri miliarder Swiss itu).
Aku memiliki suami yang hebat, yang bukan hanya kaya raya, tetapi juga orang paling terhormat di antara keluarga dan kenalannya. Hendrique Diaz, suamiku itu, memiliki kesempurnaan di dalam dirinya yang dibutuhkan untuk menjadi seorang suami ideal.
Sebagai sebuah keluarga kaya dan terhormat, tentu saja kami memiliki sebuah rumah yang mewah, megah, dan indah. Selain itu, kami memiliki sebuah taman dengan kolam renang yang luas dan indah. Taman itu terletak di belakang rumah dan dipisahkan oleh pagar tembok berpintu. Dari sana engkau bisa menikmati senja paling indah di dunia.
Aku mempunyai kebiasaan berjalan-jalan di taman itu ketika senja tiba. Hampir setiap hari, ketika semua pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, aku pergi ke taman itu untuk melepas lelah dan menghirup udara segar. Kadang, ketika pikiran terlalu penat, aku suka merendam diri di kolam renang keluarga kami yang luas itu.
Masih segar dalam ingatanku kejadian sore itu ketika aku sedang merendam diri dalam kolam. Aku mengenakan pakaian renang yang sama sekali tidak bisa menyamarkan kemolekan tubuhku.
Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa malapetaka itu menghampiriku. Kedua petinggi kerajaan yang menuntut hukuman mati atas diriku itu datang. Mereka mendatangiku dengan nafsu seekor harimau lapar yang mendapat mangsa. Aku tidak tahu dari mana mereka datang.
Aku tidak perlu memperkenalkan mereka padamu, karena engkau sudah mengenal mereka. Mereka sering kau jumpai dalam banyak wajah dan di banyak tempat di kotamu. Di jalan. Di tempat kerjamu. Mungkin juga di rumahmu dan di tempat tidurmu. Iya di tempat tidurmu. Kadang pula mereka nongol di tempat engkau beribadah pada Tuhanmu. Ada juga yang sering berada di sana.
Kedua orang tua itu adalah representasi golongan garis keras. Keras dalam banyak hal. Termasuk dalam perkara tentang kebenaran. Mereka berpikir nama besar mereka bisa menentukan kebenaran. Dan juga mereka sering berpikir bahwa kebenaran mereka berlaku untuk semua orang.
Mereka berdua datang menemuiku dengan nafsu birahi yang tak mampu mereka sembunyikan. Mereka menangkap, memegang tanganku, dan sesekali-aku malu menulis ini, tetapi blak-blakan sajalah-mereka menangkap, memegang tanganku dan sesekali menggerayangi tubuh dan martabatku. Tubuh yang hanya dibaluti oleh sepotong pakaian renang.
Dan juga martabatku. Martabat yang tidak pernah kuberi ijin untuk ditelanjangi.
“Hai nyonya rumah yang sial. Engkau telah masuk dalam perangkap yang kami rencanakan dan engkau tak pernah mungkin lolos dari sana. Kami menawarkan padamu buah simalakama.”
“Ketahuilah, kecantikkanmu telah merangsang nafsu hewani yang mendidih dalam darahku. Mari berkelana dalam kenikmatan ranjang bersama dua pria terhebat yang pernah terlahir dari rahim seorang perempuan.”
“Jika engkau tidak mau, kami memiliki kuasa untuk memanipulasi orang banyak. Kami akan mengarang cerita bahwa engkau kedapatan berselingkuh dan tidur dengan seorang lelaki yang bukan suamimu. Dan cerita itu sudah cukup bagi kami untuk menyeretmu ke tiang gantung atau lapangan rajam atau ke hadapan sederet regu tembak. Kau tahu kan, kami punya banyak orang yang mendengarkan kami.”
Harga diriku terinjak. Martabatku ditelanjangi. Ingin kuludahi kedua tua bangka ini. Aku dalam keadaan seperti itu, hanya mampu mengumpat dalam hatiku: “Alangkah malangnya nasib ibu yang telah mengandung dan melahirkan kedua manusia ini. Mungkin lebih baik jika mereka tidak pernah dilahirkan. Iya sebaiknya tidak usah dilahirkan.”
“Lebih baik aku mati di hadapan sederet regu tembak daripada menyerahkan keluhuran martabatku padamu. Bangsat!”
Begitulah. Sekarang Susana terpaksa meringkuk dalam ruang penantian yang dingin dan lembap. Esok dia akan berdiri di hadapan sederet regu tembak untuk pertama dan terakhir kalinya.
Namun dia tidak pernah takut karena kebenaran berpihak padanya. Dalam hatinya dia yakin bahwa di saat-saat terakhir dan yang paling menentukan dalam hidupnya, seorang yang sedang berada di luar sana pasti bisa menolongnya.
Menolong dia untuk menyingkap kebenaran. Atau dalam bahasa saudaranya, Luiz Ezpinosa, menelanjangi kebenaran. Membebaskan dia dari tuduhan palsu dan akhirnya pertolongan yang bisa membekuk manusia yang sebenarnya pantas untuk dibekuk dan diseret ke tiang gantung. Ia tahu pertolongan itu ada dan sedang menantinya datang di saat yang tepat.
Iya, Susana sedang menanti saudaranya, Luiz. Apakah di luar sana ada seseorang yang berani menjadi Luiz Ezpinosa bagi Susana? Jika ada, Anda dinanti sampai esok sebelum waktu terlalu tua untuk dikatakan malam dan masih terlalu belia untuk disebut pagi. Tepatnya sesaat sebelum ayam berkokok untuk ketiga kalinya.

* Kisah ini terinspirasi oleh kisah Daniel dan Susana dalam Deuterokanonika. Sedangkan pemilihan nama tokoh, khususnya Luiz Ezpinosa, diadopsi dari nama salah satu tokoh dalam novel Jaring-jaring Kekuasaan karya Salandra.

Tommy Duang, mahasiswa pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tinggal di Flores.

Mencari Allah Swt Untuk Bersujud



Pernah patah hati? Saat seseorang meretakkan hati kita, saat luka menghampiri sudut-sudut hati, saat kecewa mulai meninggalkan kesan di seluruh penjuru, bagaimana rasanya?

Berapa kali kita menangis dan meronta hingga mengusik telingaNya? Berapa kali kita mengadu, tanpa tahu Dia pun sedang disakiti oleh kita.

Saat kita melakukan dosa, mungkin Allah juga sepatah hati itu. Berapa kali kita menjadi pemeran serta watak utama atas tercipta airmataNya? Kita selalu meminta agar Allah tidak melepaskan tanganNya, barangkali kita yg berlari dan membuatNya patah hati. Tapi Dia selalu disini, menunggu untuk kita kembali.

Saat kita mengirimkan pesanan rindu, tapi tidak ada balasan, lantas kita kecewa? Ya, kita pasti kecewa, karena setiap rindu pasti menginginkan sebuah 'pertemuan' untuk mengobati rindu yang tercipta. Allah itu tidak membenci kita, tapi dosa kita. Mungkin sudah cukup kita memainkan perasaanNya, jika benar kita sayang Dia.

Sebenarnya,

Rindu; bukan hanya perihal lama tidak bertemu, tapi juga ketika dia tidak sedang berada di sisi kita. Mungkin kini, Allah juga sedang rindu pada kita. Mungkin sudah terlalu lama Dia menunggu kata-kata atau rangkaian cerita kita dalam sebuah doa.

Doa adalah percakapan, latihan komunikasi serta pemusnah rindu kita pada dia dan Dia, secara perlahan. Bukan hanya sebelum tidur, tapi senantiasa, Dia selalu menunggu kita untuk berbicara. Bukan kata-kata manis yang dinilai, tapi isi hati. Saat kamu,kita & mereka tidak ada yg peduli dan mengerti, Dia senantiasa ada untuk mendengarkan cerita kita. Tapi nyatanya, tidak sedetik pun kita menghampiriNya.

Jangan hanya bertemu dengan Allah hanya untuk mengharapkan harapan kita disetujuiNya. Tapi, tanyalah apa yg Dia ingin lakukan dalam hidup kita. Bersyukurlah atas segala hal yang telah dilakukanNya. Berterima kasihlah kerana Dia adalah satu-satunya yg paling boleh menyayangi kita dengan luar biasa. Lagi-lagi dalam rantaian sebuah doa, bertemulah, berceritalah seperti dua insan yg saling memerlukan antara satu sama lain.

Cari Allah dulu untuk bersujud,
Sebelum cari manusia untuk bersandar.

Anne Ahira Newsletter

Think & Succeed!
----------------------------------

"Jadilah orang yang gembira. Jangan

memikirkan kegagalan hari ini, tapi
pikirkan sukses yang mungkin datang
di hari esok. Anda bisa jadi
mendapatkan tugas yang sulit, tapi
Anda akan sukses jika tekun dan
gigih, dan merasakan kesenangan dalam
mengatasi hambatan. Ingatlah, tidak
ada hal yang sia-sia untuk meraih
sesuatu yang indah" - Helen Keller
Dear Hanihyung, temanku yang sangat
perhatian...
Perilaku dan kebiasaan yang kita
tunjukkan sehari-hari akan menentukan
ke mana kita akan berada nantinya.
Orang yang selalu tertutup dan tidak
pernah merasa gembira dalam hidupnya,
maka ia adalah orang yang paling
malang.
Bukanlah mobil mewah, uang banyak,
jabatan tinggi dan kecantikan yang
membuat seseorang bahagia. 
Kebahagiaan, kegembiraan dan
keceriaan, semua itu datang dari
dalam diri, dan hati kita
masing-masing.
Bersikap terbukalah pada orang lain,
maka mereka akan lebih menghargai
kita. Berpikirlah selalu positif,
maka itu akan membuat kita menjadi
lebih rileks dan jauh dari khawatir.
Tebarkan senyuman, dan ramah pada
setiap orang, itu akan mencerminkan
pribadi yang kita miliki.
Hanihyung yang ranum hatinya, tidak
pernah salah jika engkau ingin
menjadi pribadi yang menyenangkan dan
selalu tampak gembira. :-)
Semoga Allah selalu memberikan
kebahagiaan untuk Hanihyung!

Salam hangat dari temanmu di Bandung,
Anne Ahira