Daftar Blog Saya

Rabu, 27 Desember 2017

Lelaki yang Tinggal di Dalam Tanah

erpen Adi Zamzam (Bali Post, 24 Desember 2017)
Lelaki yang Tinggal di Dalam Tanah ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post
Lelaki yang Tinggal di Dalam Tanah ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post
Kabut mengubah siang seperti senja beranjak malam. Benakku dihinggapi perasaan tak enak. Berisik yang tiba-tiba mengusik membuat dadaku berdenyar. Aku terpaksa keluar mobil demi memastikan rupa suara.
Betapa terkejutnya aku. Di tengah jalan yang membelah perbukitan aku terpana. Ribuan pohon tiba-tiba saja hidup, menganggukkan badan, seraya mengucap terima kasih kepadaku. Seseorang, yang entah dari mana datangnya, sudah berdiri di ujung jalan. Sosok misterius itu sekujur tubuhnya berupa tanah tanah!
“Kemarilah. Aku ingin berterima kasih kepadamu…” sosok itu turut mengangguk kepadaku.
“Terima kasih atas apa?”
Ia mendekat. Semakin dapat kulihat tubuhnya yang tanah. Sialnya, kedua kakiku tak bisa kugerakkan. Tubuhku gemetar, terdera ketakutan.
Entah mengapa kemudian aku berteriak memanggil almarhum kakekku. Namun istrikulah yang kemudian kudapati. Mengguncang bahu dengan wajah penuh tanya.
***
“Kabar dari keluarga Jono bagaimana, Mas?” istriku datang dengan segelas kopi nasgithel.
Aku hanya menyahut dengan dehaman kecil. Coba menghilangkan yang tiba-tiba mengganjal di tenggorokan. Lantas kubasahi dengan kopi hangat. Musibah yang terulang itu selalu saja membuatku kesulitan menelan sesuatu.
“Sesuai perintah Mas, uang santunan sudah kuserahkan lewat Pak Mijan. Aku belum dapat kabar apa pun,” ujarnya lagi.
Aku sebenarnya tak mau diingatkan dengan musibah itu. Apalagi jika kemudian teringat bahwa musibah itu terjadi setelah mimpi buruk yang belakangan sering meneror tidurku. Dua pekerjaku telah tertimpa longsoran tanah yang mereka gali sendiri.
Aku tak mau menampakkan kesedihan meski sebenarnya aku turut bersedih. Aku tak mau terlihat kalah di depan mereka yang pada dasarnya sudah tak menyukai apa yang kulakukan di desa itu. Mengingat segala kegigihan yang telah kulakukan demi melancarkan usaha. Dari berbaik-baik dengan para pemegang tampuk kekuasaan, para wakil rakyat tingkat kecamatan ataupun kabupaten, hingga dengan para warga sekitar yang membutuhkan pekerjaan.
Toh tak hanya aku yang kenyang. Para penadah kris dari penggilingan batu milikku, kebanyakan adalah para wakil rakyat. Dan mereka tahu dari mana aku mengambil bahan baku. Atau beberapa tetangga yang memperlihatkan kesinisan. Seolah pertambangan milikku sedikit banyak tak turut menyumbang napas buat mereka.
***
Di sebelah timur tanah kelahiranku perbukitan itu berada. Di dalam perutnya mengandung banyak batu, sementara tanahnya sangat baik untuk bahan batu bata dan genting. Di masa kecilku siapa pun bisa dengan mudah menemukan pisang, jambu biji, mangga, sawo, srikaya, sirsak, rambutan, atau bahkan durian yang tumbuh liar. Kakeklah yang kerap memarahi siapa pun yang menebas apa pun yang tumbuh di sana.
“Lelaki yang tinggal di dalam tanah?” pertanyaan ini muncul saat hari pertama cerita ajaib Kakek dituturkan.
“Iya. Dia akan marah jika kau merusak apa pun yang tumbuh di atasnya. Dialah yang bertugas menyediakan air bersih untuk akar-akar, menggemburkan tanah, menyimpan persediaan air, hingga menyelamatkan ikan-ikan dari kemarau dan melepaskannya kembali di puncak penghujan.”
Dengan perasaan aneh dan sedikit takut, aku kerap membayangkan seperti apa rupa dan bagaimana cara lelaki itu tinggal dan menjaga tanah. Apalagi ketika kemudian Kakek bilang lelaki itu tak hanya tinggal di bukit Sendang Perawan. Ia menjaga bumi ini dengan segenap kekuatannya.
Tapi…
“Banjir terjadi lantaran sungai penuh sampah, sementara hutan digunduli sehingga tanah tak lagi mampu menahan kadatangan air. Begitu juga dengan kekeringan, tsunami, gempa bumi, atau gunung meletus. Semuanya memiliki penyebab sendiri-sendiri,” bantahan Pak Parji begitu meyakinkan ketika aku bertanya di dalam kelas. Hingga teman-teman menjadikanku bahan ejekan setelahnya.
***
“Kira-kira kapan penggilingannya buka lagi, Pak?” lelaki itu tersenyum dengan ekspresi yang aneh. Dilipatnya uang pemberianku dengan kikuk setelah sempat keliru menyangka kausnya memiliki saku. Dia baru saja berhutang.
“Kalau misal penggilingan aku tutup, Pak Badrun kira-kira mau pindah kerja apa?”
“Jangan bercanda lah, Pak,” ia tersenyum lagi. Tapi lagi-lagi senyum itu menjadi seringai yang aneh. Tanah berjatuhan dari wajahnya.
Ketika lelaki itu membalikkan badan, tubuhnya semakin sempurna berubah tanah. Aku berniat memanggilnya kembali setelah beberapa langkah ia beranjak. Namun mulutku langsung mengunci tatkala tubuh itu tiba-tiba amblas ke tanah dan hanya menyisakan gunungan tanah.
Kukucek mata berkali-kali. Kepalaku pening. Halusinasi itu menguasaiku lagi. Kulihat Pak Badrun sudah jauh meninggalkanku.
“Mas, ziarahnya jam empat sore ya? Aku mau diajak Nani, ambil kue-kue pesanan dulu,” istriku menjawil. Kujawab dengan anggukan.
Sepanjang hari itu aku benar-benar memikirkan usaha apa kiranya yang manis untuk kujadikan pengganti usaha penggilingan batu. Ketika sampai di depan makam Kakek, istriku tercekat mendengar aneka ide yang berlompatan dari mulutku.
“Mas serius? Mas ini kenapa sih?”
Entah mengapa tangan kananku gemetar ketika menyentuh nisan Kakek. Meski cerita beliau terkesan tak masuk akal. Sudah dua kali mimpi buruk itu membawa kabar kematian. Mimpi itu seperti ingin mengabarkan sesuatu, dengan caranya sendiri. Kakek mungkin bisa menjelaskan arti mimpi itu. Karena itulah aku sering memanggilnya dalam mimpi. Sayangnya beliau tak pernah lagi muncul setelah mimpi-mimpi aneh itu bertamu.
***
Hari itu perasaan tak nyaman sudah sedemikian hebatnya membelitku. Bukan lantaran hari itu adalah pesta pernikahan Danar yang kemarin-kemarin juga turut memusuhi usahaku. Toh sekarang ia sudah diam dan acuh dengan segala pekerjaanku, setelah jatuhnya dua korban jiwa.
Apa yang menguasai kedua mataku sudah sedemikian hebatnya. Tak hanya satu dua sosok yang tiba-tiba menjadi manusia tanah, tapi semua. Tak terkecuali istri dan anak-anakku. Hanya bayanganku dalam cermin saja yang selamat dari halusinasi ini.
Aku berdiam di salah satu kursi di teras rumah, kehilangan gairah menggerakkan tubuh. Hilir-mudik orang-orang berubah menjadi iring-iringan mengerikan di mataku.
“Kapan penggilingannya buka lagi, Pak?” seorang lelaki tanah mendekatiku, dengan seringai yang aneh.
“Bukannya sawah Pak Ipin sekarang sedang butuh banyak tenaga?” kubalik pertanyaan yang seolah ingin meledek. Puncak penghujan adalah masa tidur semua penggilingan batu milikku—seiring dengan masa liburnya proyek-proyek Pemerintah. Meskipun ada beberapa orang yang kadang masih nekat menggali tanah, menabung pekerjaan kepadaku.
“Tahun depan aku akan mengeruk sawah yang sebelah timur, Pak. Airnya susah.”
“Para tetangganya enggak akan marah tho?”
Dia malah tertawa, “Suka atau enggak suka itu kan hal biasa tho, Pak?”
Dia terus saja berbicara. Sementara aku semakin tak menginginkan percakapan itu. Kupangkas kalimat menjadi pendek-pendek agar dia tahu aku benar-benar sedang tak menginginkan percakapan ini. Tapi rupanya dia sedang menunggui istrinya yang baru saja keluar dari ruang tamu setelah setengah jam berlalu. Dan sepasang manusia tanah itu kemudian meninggalkan pesta setelah mengucap pamit kepadaku.
Aku menghitung detik demi detiknya. Menunggu adegan ganjil yang sudah aku hafal lantaran sudah berkali terjadi. Namun belum sempat dua sosok itu amblas ke dalam tanah, tiba-tiba telingaku mendengar teriakan bernada panik.
Aku buru-buru menyusul beberapa orang yang lari berhamburan. Mataku kemudian menemukan itu, dari arah pertambangan milikku. Aku bisa melihat sebagian bukit Sendang Perawan yang telah hilang. Dan longsoran itu—dengan membawa segala yang ada padanya, sedang meluncur deras ke arah kami!
Aku berteriak memanggil ketiga anakku. Istriku tergopoh keluar dengan raut penuh tanya. Suasana semakin kacau. Pesta berubah jadi arena mengerikan. Aku sempat berpikir bahwa ini adalah bagian dari halusinasi itu, betapa pun istriku kalap menarik-narik lenganku dan akhirnya lari entah ke mana.
Aku sempat melihat si bungsu dalam gendongan Danar. Aku coba mengejar mereka setelah sadar bahwa ini memang kenyataan. Hanya dalam sekejap semuanya berubah jadi lautan lumpur.
Aku coba membebaskan diri. Tapi tanah telanjur menelanku. Mula-mula sebatas pinggang, dada, leher, menghimpit dan melilit seolah ingin menjadikanku manusia tanah.
“Tolooong…!” teriakku berkali-kali, dengan segala harap, entah kepada siapa. Hingga akhirnya kupejamkan kedua mata, menyambut rupa ajal.
Aku sudah tak lagi berharap ketika ada sesuatu yang menyentuhku. Entah apa atau siapa itu yang melakukannya. Seperti ada tangan yang mendorong kedua kakiku ke atas hingga kedua mataku bisa kembali menemukan cahaya. Aku terengah di antara himpitan tanah. Di batas kesadaran, kulihat seseorang muncul dari balik kelopak mataku. Sekujur tubuhnya tanah!
“Jika dia sudah marah, tak ada siapa pun yang dapat menolaknya,” ujar sosok misterius itu, mencuri kalimat Kakek.
Aku curiga bahwa dia memang Kakek. Tapi saat perih di sekujur tubuh mengembalikan sebagian kesadaran, aku mulai sangsi dengan dugaan sendiri. Tentu saja dia bukan Kakek!
Apakah dia yang menyelamatkanku tadi? Benarkah itu sosoknya? Mengapa dia menyelamatkanku?
Aku berteriak-teriak memanggil Kakek. Air mataku leleh. Penyesalanku terlambat. Semuanya telanjur terkubur tanah. Hanya tersisa janji-janji dalam hatiku sendiri. Janji-janji yang terlambat pula. Bahwa aku mesti memperbaiki semua. Terutama diriku sendiri.*

Traveling ke Kota Perang

Cerpen Risda Nur Widia (Bali Post, 03 Desember 2017)
Traveling ke Kota Perang ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post
Traveling ke Kota Perang ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post
Berada di puncak kejayaan bagi Tarno benar-benar membosankan. Tarno merasa tidak ada lagi hal yang menarik untuk dilakukan. Segala yang ia inginkan—sekarang—akan segara terkabulkan. Tidak harus menunggu lama. Hanya beberapa jenak saja. Tarno sudah mendapatkannya. Namun meraih segala tanpa adanya proses sama seperti melakukan mastrubasi. Tak ada arti. Selain rasa keterasingan dan kesepian yang mendalam. Kini hal itu terjadi pada kehidupan Tarno; pada tarikan napas, geliat rutinitasnya, serta segala yang dilakukannya.
Semuanya kini telah dimiliki Tarno: mobil yang jumlahnya puluhan dan keluaran paling baru, uang di setiap bank dengan nominal enol yang sulit untuk dieja, kapal pesir, wanita, dan segala perlengkapan lainnya. Semua telah berada dalam satu genggaman tangannya. Bahkan terkadang apabila bosan dengan harta yang melimpah dan kecukupan, Tarno diam-diam mengambil uangnya di bank beberapa koper; membawanya ke dekat perapian; membakarnya sebagai bahan nyala api. Terkadang juga Tarno dengan sengaja menabrakkan mobilnya sendiri dengan mobilnya yang lain; sampai mobil-mobil itu peyot dan bopeng. Namun semua itu akan kembali lagi. Segala kekayaannya seperti tak pernah habis. Malah bertambah banyak. Karena hal inilah, Tarno merasa bosan.
Padahal dahulu—ketika masih kecil—ia harus mendapatkan segala sesuatu dengan susah payah. Tarno masih ingat betul ketika masih umur sepuluh dan harus bertengkar dengan kakaknya karena sepotong telur rebus. Ketika itu ayah Tarno—yang seorang petani kecil di desa—pulang membawa sekotak kecil makanan dari berkah desa. Di dalam kotak itu terdapat sepotong telur. Tarno dan kakaknya harus bertengkar untuk menentukan siapa yang layak mendapatkan bagian lebih.
“Seharusnya orang lebih tua yang mendapatkan bagian banyak,” kata kakaknya.
Bantah Tarno. “Tidak bisa! Seharusnya orang kecillah yang mendapatkan bagian lebih!”
Sejak peristiwa itu akhirnya Tarno berjanji dalam hidupnya untuk tidak selamanya merana. Tarno bertekad ingin hidup lebih baik dari ayah, ibu, serta kakaknya. Tarno ingin mendapatkan segalanya yang lebih dari mencukupi. Hal itu mulai terwujud ketika Tarno terus mendapatkan peringkat pertama di sekolah; dari sekolah dasar hingga menengah atas. Prestasi Tarno sangat mengagumkan. Sampai kemudian Haji Ramli—ketika Tarno lulus—menawarinya untuk kuliah. Haji Ramli menjanjikan kepada Tarno segala biaya kuliah akan didukungnya penuh.
Begitulah. Tarno hanya butuh waktu tiga tahun setengah dalam menyelesaikan kuliah dengan otak encernya di jurusan pertambangan. Lalu setelah lulus, ia bekerja di perusahan minyak besar di Amerika. Lantas melanjutkan studi S2 dan S3-nya di luar negeri. Karir Tarno terus menanjak. Tarno mendapatkan apa yang diingkannya: makanan enak, mobil, uang, wanita, dan masih banyak lainnya. Tarno merasa hidupnya begitu menyenangkan. Di umur ke-50, Tarno kembali lagi ke Indoensia dan dicalonkan sebagai wakil rakyat. Karena dianggap terpandang dan penting, Tarno memenangkan pemilihan umum. Tarno pun menjadi pejabat baru dan mendapatkan segalanya.
Harta yang dimiliki Tarno semakin banyak. Kini saat umurnya menginjak ke-65, harta yang dimilikinya tak susut dari berbagai usahnya. Namun Tarno mulai merasakan ada kejenuhan dalam dirinya. Tarno merasa bosan dengan apa yang dimilikinya hari ini. Tiba-tiba, Tarno teringat masa kecilnya yang serba kekurangan. Walau ketika itu sangat kekurangan, Tarno dapat hidup dengan bahagia. Tarno menikmati ketika dirinya berbagi dengan kakaknya atau dengan ayah-ibunya yang acap mengalah. Tarno merrindukan segala peristiwa itu. Bahkan kalau bisa mengulang masa-masa sederhana itu, Tarno rela membelinya dengan segala harta yang dimilikinya kini. Sayangnya semua itu tak mungkin terjadi.
Tarno termenung menatap halamannya yang luas. Hati Tarno semakin kacau. Tarno tak tahu harus berbuat apa. Lalu ketika ia melirik ke arah koran pagi di meja, Tarno melihat sebuah iklan yang tercetak dengan huruf kapital: “LIBURAN MENCEGAH BUNUH DIRI”. Tarno mengamati secara seksama iklan tersebut. Pada iklan itu tertera sebuah liburan yang berbeda daripada biasanya. Namun Tarno ragu dengan iklan tersebut. Karena bagi Tarno tak ada tempat yang benar-benar belum didatanginya. Semua liburan dan tempat paling mewah serta mahal, pernah dikunjunginya. Tarno berpikir: Apa yang membuat iklan liburan ini berbeda? Karena tidak memiliki kesibukan selain meratapi kebosananya, Tarno menelepon nomer layanan iklan tersebut.
“Selamat pagi!” Sahut seorang wanita lembut. “Kami melayani liburan yang berbeda!”
“Liburan macam apa?” Timpal Tarno tanpa basa-basi.
“Kami memiliki perjalanan ke daerah-daerah perang dan konflik!”
Tarno tergeregap mendengar itu. Belum pernah dirinya mendengar liburan yang begitu sinting semacam itu. Namun karena memiliki banyak waktu luang dan harta yang melimpah, Tarno mengambilnya juga.
***
Seperti yang sudah dijanjikan, pesawat Tarno datang ke sebuah kota perang. Saat pesawat itu terbang, sempat ia melihat pesawat-pesawat jet melemparkan rudal-rudal ke tengah kota. Lantas dari atas pesawat, Tarno melihat kepul asap hitam pekat yang menyaput kota dari tembakan serta api yang menghajar bangun. Tarno melihat itu semua dengan tubuh bergidik. Ia tidak bisa membayangkan apabila nanti saat berlibur dirinya kena salah satu rudal dari pesawat-pesawat jet yang ditembakan ke arah kota. Hal yang sama sebenarnya terjadi pada rombongan pelancong yang kebanyakan orang kaya tersebut. Mereka terlihat pucat dan ketakutan. Namun cepat pemandu wisata menenangkan.
“Tidak perlu ada yang ditakutkan,” kata seorang wanita dengan wajah santai. “Rudal-rudal itu tidak akan mengenai atau menembak kita. Karena kita tidak terlibat dengan huru-hara mereka. Kita hanya seorang pelancong saja.”
Pesawat itu mendarat dengan aman sampai di bandara. Sebuah bis mengilap warna putih sudah menunggu Tarno dan para pelancong lainnya di lobi hotel. Mereka dipandu untuk naik ke atas bis tersebut. Dan bis itu melaju dari bandara yang cukup rapi, menuju kota yang terlihat sangat berantakan. Mula-mula, Tarno melihat gedung-gedung yang menjulang rongsok; ringsek karena ledakan bom yang dilemparkan ke arahnya. Tarno juga melihat mobil-mobil berserak peyot; penuh lubang peluru; gosong akibat terbakar. Di tepi jalan Tarno melihat anak-anak kurus berlari-lari mengejar bis wisata yang digunakannya. Para pelancong itu seperti sedang melakukan perjalan ke kebun binatang, dan melihat nasib penduduk kota yang terkerangkeng kesedihan seperti hewan-hewan melata.
Tarno hanya duduk termangu memandang semua panorama mengerikan itu. Namun para pelancong lainnya tidak peduli dengan semua diorama tersebut. Para pelancong memotret dan tertawatawa melihat kejadian itu. Ditambah lagi ketika seorang pemadu menyeret mereka ke barak pengungsian kumuh.
“Di tenda-tenda itu terdapat anak-anak, ibu-ibu, atau para pria yang menjadi korban perang,” kata pemandu. “Anda bisa melihatnya sendiri.”
Tarno pun melihat dengan jelas pemandangan mengerikan tersebut. Di hadapannya tampil orang-orang dengan wajah murung yang lelah. Darah yang meleleh dari tubuh yang dikoyak peluruh. Ratap tangisan setelah ditinggal mati keluarga. Lalu anak-anak yang menatap putus asa ke arahnya. Semua pemandangan itu seakan berbanding terbalik dengan segala kesenangannya yang didapatkan dari harta-kekayannya yang melimpah. Kesedihan dan kehilangan itu seakan tidak bisa ditebus oleh uang Tarno yang melimpah. Bahkan ketika Tarno melihat keluarga yang sedang makan bersama dengan nasi tanpa lauk, Tarno teringat keluarganya dahulu.
***
Bis terus melaju. Setelah melewati padang pengungsian, Tarno beserta rombongan lainnya memasuki gurun luas dan gersang. Di tengah gurun itu tidak ada pemandangan selain tanah tandus. Sempat para pelancong itu bingung mengapa bis memasuki daerah itu. Pemandu wanita berwajah baik itu cepat menjelaskan kepada para pelancong mengenai tempat kunjungan itu.
“Kalian bisa menengok ke arah kanan bis ini!” Kata pemandu cantik itu. “Di sana terlihat orangorang yang berjajar rapi!”
Tarno melihat orang-orang yang dibariskan rapi. Jumlahnya ada 20 orang. Tangan serta mata mereka diikat dengan kain. Dan ada 5 orang menodongkan senjata ke arah orang-orang yang wajah dan tangannya diikat tersebut.
“Hari ini orang-orang itu akan dieksekusi!” Kata si pemandu. “Kita beruntung karena bisa melihat eksekusi ini! Mereka adalah para pemberontak.”
Tarno melihat dengan jelas ketika orang-orang itu dibunuh dengan keji dan brutal. Mereka ditembaki dengan membabi-buta; tidak memberikan kesempatan apapun. Bahkan untuk menanyakan kesalahannya, tak bisa. Tarno bergidik dan mual. Tarno merasa apa yang dimilikinya selama ini sama sekali tak berarti setelah melihat segala kemalangan itu. Harta yang dimiliki Tarno tidak lebih hanya sampah; bisa kapan saja raib dan lenyap entah ke mana.
***
Usai melihat segala kekacaun dari paket liburannya itu, hati Tarno semakin hampa. Ia merasa kalau segala yang dimilikinya—harta melimpah itu—sama sekali tidak berguna di tengah keributan peluru dan bom. Ingin bertindak melakukan suatu hal, rasanya Tarno tak mampu. Ia tidak bisa mengubah apapun dengan uangnya. Pun sepualang tamsya, ia hanya memberikan sebagaian jumlah kekayaannya pada pengungsi dan relawan. Itu juga dengan cara sembunyi-sembuyi. Begitulah. Pesawat membawa kembali Tarno ke negaranya. Dan nyaris sepanjang waktu ketika pesawat melintasi kota itu, ia melihat kekacauan masih terus terjadi.

Risda Nur Widia. Belajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pernah juara dua sayembara menulis sastra mahasiswa se-Indoensia UGM (2013), Nominator Sastra Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013). Penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Nominator tiga besar buku sastra terbaik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Yogyakarta 2016. Buku kumpulan cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda Yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.

Pintu Belakang

Cerpen Mohammad Ilyas (Banjarmasin Post, 24 Desember 2017)
Pintu Belakang ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post Group.jpg
Pintu Belakang ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
Pintu belakang rumah Monarie ada yang mengetuknya tiga kali. Ia bergegas mendekati pintu itu, dan membukanya. Ia melihat seorang laki-laki berbadan tegap berdiri memunggungi pintu. Sebentar kemudian Monarie menarik tangan laki-laki itu, dan mengajaknya masuk. Tangannya gemetar. Ia bergegas menutup kembali pintu rumahnya rapat-rapat dan menguncinya dari dalam.
Sementara di luar hujan masih belum reda. Sesekali petir menyambar sehabis keredep kilat memecah kegelapan. Monarie memanggil laki-laki itu dengan sebutan Maddasin. Begitu pula dengan tetangga-tetangganya, menyebut dengan panggilan yang sama. Dan, Maddasin dikenal sebagai pedagang sapi.
Monarie beranjak menuju jendela, lantas menarik gorden yang semula hanya ditutupnya separuh. Selanjutnya ia mematikan lampunya yang remang-remang itu. Ia pun mendekati Maddasin yang sejak tadi duduk di atas lincaknya yang tanpa kasur.
“Bagaimana kabar suamimu?” tanya Maddasin dengan suara berbisik.
“Entahlah,” jawabnya Monarie.
“Kamu pasti banyak tahu tentang Jakarta, kalau suamimu menceritakannya?”
“Dia tidak sempat bercerita padaku, sebab di sana katanya sangat sibuk. Tokonya dibuka selama dua puluh empat jam. Tidak ada waktu untuk ngobrol panjang. Dia hanya menelponku, kalau kebetulan mengirim uang, menanyakan masuk tidaknya.”
Maddasin dapat melihat wajah Monarie acuh di remang-remang. Juga didengarnya suara desah napasnya tidak sabar. Monarie segera merebahkan tubuhnya dan menarik pundak Maddasin, sampai mereka sama-sama terlentang di atas lincak yang dingin.
“Kamu tentu capek sehabis kerja seharian mencari sapi yang mau dijual,” bujuknya Monarie. “Tidurlah meski aku tak punya kasur, dan aku harap kamu betah rebahan di sini.”
Maddasin tiba-tiba mengurungkan niatnya saat mau menuruti ajakan Monarie. Dan, Maddasin seketika meloncat dari ranjang saat pintu rumah Monarie ada yang mengetuknya. Ia meringkuk di gelap pojok bawah ranjang.
Monarie  bangkit dari rebahannya. Sebelum beranjak menuju pintu, terlebih dahulu merapikan rambutnya yang acak-acakan. Kemudian dibukanya perlahan pintu itu. Di depan pintu anaknya berdiri dan meminta uang untuk membeli jajan.
“Malam-malam kamu mau jajan?” ucapnya Monarie. “Iya sudah, tunggu di sini sebentar, biar aku ambilkan dulu ke dalam.”
Tanpa banyak basa-basi, Monarie kembali masuk ke dalam dan menuju lemari yang terletak di pojok kamarnya. Dalam remang-remang tangannya meraba-raba lipatan baju yang sudah tersusun rapi, sesekali mengangkatnya susunan baju itu perlahan, dan kembali tangannya meraba-raba.
“Klak,” tiba-tiba lampu di kamar itu serentak menyala, dan Monarie tersentak kekagetan. Rupanya anaknya yang menghidupkan lampu. Buru-buru Monarie  menghampiri sakelar dekat anaknya berdiri, dan mematikan kembali lampunya. Anaknya yang semula berniat untuk membantunya, kini kebingungan dengan apa yang dilakukan Monarie.
“Sini kamu,” Monarie menjewer telinga anaknya, dan ditariknya keluar.
“Sejak kapan aku mengajarimu kacang?”
Anaknya tidak berani menjawab, ia hanya menunduk sambil memelinting-lintang ujung bajunya. Monarie terus mendesaknya dan terus menanyakannya dengan kata-kata yang sama.
“I… i… in… ini,” ucapnya anaknya gugup. “Ini kan rumah, Ibu!” lanjutnya setelah ia menelan ludahnya.
Sebagai hukuman bagi anaknya, Monarie tidak jadi memberinya uang. Ia menganggap anaknya telah melakukan kesalahan besar. Dengan mata berlinang, anaknya beranjak pergi, dan Monarie menyuruhnya untuk tidur di surau tempat ngajinya.
Kembali Monarie masuk ke dalam rumahnya dan memberi isyarat kepada Maddasin untuk keluar dari bawah ranjang itu.
Maddasin segera duduk di dekat Monarie. Ia mengatakan kalau malam sudah benar-benar larut. Ia pun pamit pulang pada Monarie.
Lepas dari pintu belakang rumah Monarie, Maddasin dengan mengendap-ngendap terus berjalan melewati pagar dan semak-semak yang rimbun.
***
Sesampainya Maddasin di depan rumahnya, tiba-tiba hatinya berdebar, ia mulai berpikiran lain ketika melihat pintu rumahnya sedikit terbuka. Sebab, istrinya mempunyai kebiasaan menutup rapat pintu saat malam.
Maddasin begegas menuju kandang sapinya sebelum masuk ke dalam rumahnya. Segera, arit yang terselip di celah anyaman bambu diambilnya dan digenggamnya erat-erat.
Perlahan-lahan Maddasin melangkah menuju kamar istrinya. Diam-diam ia menangkap suara istrinya yang tengah mengobrol lirih dengan laki-laki. Kini Maddasin dadanya terasa sesak, tangannya gemetar dan keringatan. Ia pandangi arit yang digenggamnya dengan pandangan terbelalak, giginya geretak-geretak menahan geram.
Tanpa ada rasa ragu sedikitpun, Maddasin menendang dan mendorong pintu kamar istrinya keras-keras sehingga pintu itu seketika terbuka. Kemarahan Maddasin semakin membuncah ketika dilihatnya ada laki-laki yang berlindung di balik punggung istrinya. Laki- laki itu ketakutan saat Maddasin menghampirinya.
“Tunggu, mau apa kamu?” tanya istrinya
“Dasar perempuan gadungan! Pelacur!” cacinya Maddasin pada istrinya. Ia terus mendekati laki- laki itu dengan desah napas yang berangsur-angsur. Sementara istrinya terus berhadap-hadapan dengan Maddasin sehingga laki-laki itu terus terlindungi.
Pada saat laki-laki itu hendak melarikan diri, saat itu pula Maddasin menyebatkan aritnya dan mengenai pundak laki-laki itu. Darah segar memuncrat kuyup membasahi bajunya dan setelah sesaat mengerang, laki-laki itu terkulai tak bernyawa.
“Kamu selingkuh dengan anak kecil, Perempuan sundal!” ucapnya Maddasin geram.
“Bajingan!” tanggapnya istrinya dengan isak tangis iba sambil menatap laki-laki yang sudah tak bernyawa itu. “Kamu tahu? Ini anak Monarie, perempuan selingkuhanmu itu! Dia ke sini memberitahuku, kalau kamu ada di sana. Owh, kasihan anak ini! Setelah dia dimarahi ibunya, harus mengakhiri hidupnya pula, itu pun di tangan orang yang sama; sama-sama berhati iblis.”
“Cukuuup!” bentak Maddasin dengan napas tambah berangsur-angsur. “Kalau kamu kasihan sama dia, aku pun kasihan sama kamu! Maka sekarang biar kuantar kamu untuk menyusul anak kecil itu.”
“Bajingan kamu!” ujar istri Maddasin. Ia berjalan mundur mendekati pintu. Istri Maddasin meronta-ronta membuka pintunya yang sudah dikunci itu, sementara Maddasin terus mendekat dengan senyum dingin.
“Tolong! Tolong! Tolong!” teriaknya
Mbah Saliman yang hendak memutar qiroah di Masjid, terpemnjat saat mendengar suara minta tolong. Ia pun membangunkan warga yang lain, yang biasa salat subuh berjamaah di masjid itu. Kemudain berbondong-bondong menuju suara yang meminta tolong itu.
Akhirnya Mbah Saliman dan para jamaah masjid berhenti di depan halaman Maddasin. “Dengar!” ucapnya Mbah Saliman, tangannya sambil menunjuk rumah Maddasin. “Rupanya suara yang minta tolong itu dari sini sumbernya. Mari kita mendekat,” ajaknya Mbah Saliman.
Segera didengarnya pertengkaran Maddasin dengan istrinya. Beberapa orang jamaah masjid mengatakan, kenapa pintunya tidak didobrak saja. Tapi, sebagian orang berpendapat sebaiknya jangan, sebab pertengkaran di dalam berumah tangga itu sudah biasa.
Di masjid, beduk sudah ditabuh dan adzan segera dikumandangkan. Sementara dari dalam rumah Maddasin, sudah tidak didengarnya lagi pertengkaran. Para jamaah masjid pun bubar bersama-sama. Mbah Saliman ke masjid untuk melaksanakan salat subuh berjamaah.
Selesai salat, Mbah Saliman mematikan lampu kemudain menutup semua pintu masjid. Saat menuruni tangga masjid, tiba-tiba salah satu jamaah menghampirinya dengan napas terengah-engah.
“Ada apa?” tanya Mbah Saliman.
“Anu, Mbah! Saya disuruh memberi pengumuman oleh Pak RT.”
“La, iya pengumuman apa?”
“Ini, istri Maddasin meninggal, Mbah. Saya disuruh memberi pengumuman agar warga di kampung ini tahu.”
“Innalillahi,” ujarnya Mbah Saliman sambil geleng-geleng. (*)

Mohammad Ilyas, lahir di Sumenep, Madura. Saat ini tercatat sebagai Mahasiswa UIN Sunan Kali Yogyakarta, dan menimba ilmu di PP. Ibnu Sina Godean Yogyakarta.

Melayang Sebutir Cahaya

Cerpen Jeli Manalu (Haluan, 24 Desember 2017)
Melayang Sebutir Cahaya ilustrasi Haluan
Melayang Sebutir Cahaya ilustrasi Haluan
Butuh sepuluh menit bagimu untuk melepas pelukannya yang masih hangat. Kau memandangi matanya, mata itu tertidur dan tampak sangat nyenyak. Kaukecup lekas-lekas seperti pencuri, meski tadi kau tidak benar-benar ingat apakah merasakan denyutan halus di bagian kelopaknya karena pada saat itu ada angin yang menyeberang di antara kalian.
Kau lalu ke dapur menyiapkan makanan yang hanya disukai istrimu saat-saat ia sedang tidak enak badan. Ia memintamu memasaknya tadi malam sehabis kalian bercerita panjang dan ia sempat tertidur dengan kepala bertumpu di dadamu, dan saat terjaga ia berkata, “Kau masih ingat bagaimana warnanya ‘kan?” tanya istrimu, memastikan kau belum lupa tentang warna ikan itu nantinya.
Mengenai ikan arsik—ikan mas bumbu kuning dicampur kacang panjang, kucai, kecombrang yang dimasak hingga mongering—itu, warnanya harus kuning. Cabainya tidak banyak, kunyitnyalah yang perlu diperhatikan. Ia harus kuning pekat bak mekarnya bunga matahari. Bukan mirip lukisan yang warnanya sengaja dipucatkan atau kuning pada kulit yang akan tampak seperti orang mati, katanya. Aku tidak selera walau sekadar menyendoknya. Maka, kau menambahkan kunyit satu batang lagi.
Saat kau memukul-mukulnya di atas batu penggilingan, kau berhenti sejenak melihat istrimu apakah tidurnya terganggu. Nyatanya tidak. Ia masih di posisi ketika tadi kau meninggalkannya di atas kasur. Masih berselimut. Wajahnya mendongak. Kedua tangannya di sisi badan. Kakinya lurus. Tak sedikit pun bengkok. Pulas sekali tidur istriku, pikirmu. Kau kemudian gegas menghidupkan api kompor agar masakan itu matang sekitar dua jam lagi karena apinya dibuat kecil saja. Pelan-pelan saja, supaya tulangtulangnya lunak, dagingnya empuk, serta bumbu-bumbunya meresap.
Sementara itu kau berpikir untuk mengganti sarung bantal dan guling. Kau pergi lagi ke kamar, ke ranjang. Kaulepas sarung bantalmu. Kau tertegun menatap wajah istrimu. Wajah itu tenang, damai. Seulas senyumnya seibarat hamparan bunga yang belum terlalu mekar. Kau memperhatikan gambar bunga di sarung bantalnya. Bunga matahari yang ternyata selama ini berukuran sangat besar. Hanya separuhnya yang tampak. Setengahnya lagi terhalang topi di kepala istrimu, di mana di dalamnya terdapat rambut yang menyedihkan.
Dulu rambut itu sangat lebat, panjang, dan juga berkilau. Istrimu rajin mengolesinya lidah buaya bergantian dengan santan kelapa yang telah diendapkan di dalam botol dan ditaruh di atap rumah pada malam hari, lalu diambil sebelum ufuk menjadi orange. Tapi lebih dari setahun ini rambut indah itu perlahan-lahan rontok. Lantai dipenuhi batang-batang rambut. Kadang ia ada di piring berisi nasi, di dalam gelas berisi air, dan itu membuat istrimu menangis sambil marah.
Ia akan menarik-narik rambutnya dan di tangannya tampak helaian-helaian yang berlepasan begitu mudahnya. Kau minta izin mengguntingnya menjadi pendek. Pendek sekali, sampai kulit kepalanya tampak. Kini, kau melihat kepala itu ditutup topi rajut berwarna hijau. Selain kuning, istrimu sangat suka warna hijau. Menenangkan jiwa ragaku, katanya ketika masih sangat sehat dan ia tak terlalu peduli bila kuku cantiknya menjadi kotor saat memindahkan batang-batang bunga ke pot yang lebih besar.
Sewaktu perasaanmu tercabik kembali mengenang hari-hari itu, istri yang di hadapanmu kini memperlihatkan separuh bunga matahari yang ditutupi topinya tadi. Kepalanya sudah turun dari bantal. Dari bagian tengah gambar bunga matahari itu melayang sebutir cahaya. Kau terkesiap, mengiranya sesosok peri. Sosok itu kemudian mengambang di atas kasur lalu bergerak-gerak mengitari tubuh istrimu.
Aroma ikan mas arsik: perpaduan antara bawang, kunyit, jahet, cabai, kucai, kecombrang, asam jawa, dan kemiri menguar. Namun, kau tidak bisa membedakan aroma apa yang paling dominan, sementara kau berharap aroma kunyit sebagaimana diminta istrimu. Tahu-tahu istrimu sudah mati. Ia telah mati beberapa detik ketika kau mengeluarkan tubuhmu dari pelukannya yang sepanjang malam, di mana saat mengecup matanya kau lupa apa ada merasakan denyutan halus di kelopak matanya.
Sejauh ini kau berusaha meyakinkan dirimu bila istrimu benar-benar masih hidup. Kau tak membolehkan pikiran-pikiran aneh merasuki dirimu. Kau tak terbayang bagaimana mengabari orang-orang apakah dengan cara menjerit atau menghubungi dokter untuk memastikan denyut nadinya atau justru mendatangi rumah-rumah tetangga?—pada jam-jam itu tak ada orang di rumah tetangga, kecuali para pembantu yang sibuk memasak serta mengurus rumah.
Kau kembali menengok masakan dengan perasaan seperti malam tadi saat kau sayangsayangan dengan istrimu.
“Menggambarlah di sini,” pintanya, menunjuk dada sebelah kanan.
Kayak mau ke mana saja,” kilahmu.
“Aku serius,” ujarnya lagi yang langsung membuka kancing bajunya dan menyuruhmu lebih cepat. Seusai kau melakukannya, ia memegangi tanganmu agar kau membantunya berdiri di depan cermin. Ia senyum haru melihat bercak abstrak di pori-pori kulitnya.
Di dapur itu sesekali kau memiringkan leher ke arah ranjang yang seharusnya matamu bisa langsung menatap wajah istrimu. Tadi, kau menurunkan gorden manik-manik yang gemerincing bila kau menyentuhnya. Sebulan lalu kau sudah minta izin menggantinya dengan kain biasa agar tidak mengganggu tidurnya bila kau sedang lewat. Istrimu melarangmu. Ia bilang tak sesenti pun ada yang berubah di rumah itu meskipun ia pada akhirnya pasti pergi.
Penutup kuali kaubuka, aroma masakan menyebar di udara. Kau mengambil sendok, menyiram-nyiramkan airnya ke bagian yang mulai mengering. Kauambil lagi sendok yang lebih kecil untuk mencicipi rasanya. Kau menelannya dengan mimik yang tak menunjukkan apa-apa. Segera kaumatikan api kompor. Kauraih periuk yang lebih besar, mengisinya air dan kembali menghidupkan api kompor. Namun, hingga air mendidih, hingga kau mencampurnya dengan air dingin sehingga siap dijadikan air pemandian, kau tak kunjung menyiapkan badan istrimu. Kau, saat ini duduk menunggu dan mulai memikirkan perasaanmu.
Di matamu basah menjalar. Kaubiarkan gerimis berubah deras tanpa berusaha mengeringkannya dengan ujung atau kerah bajumu yang bau bumbu. Kau justru menatap ke atas, meyakinkan itu merupakan tetes dari genangan air di atap rumah sisa hujan semalam. Atap itu kemarin bocor. Kau menambalnya. Sekarang kau mengatakan kepada dirimu bahwa air yang membuat basah matamu saat ini adalah air yang berasal dari sana karena hasil tambalanmu kurang rapi.
Kini ada yang mengetuk rumahmu. Siapa, tanyamu sambil pura-pura mengambil handuk, piyama warna hijau, pakaian dalam. Namun seseorang benarbenar datang.
“Taruli!”
Kau berdebar saat seseorang itu memanggil nama istrimu. Rasa-rasanya kau mengenali suaranya yang belakangan membuat resah hatimu meski dengan wanita itu istrimu seolah bertambah-tambah saja umurnya. Bila sudah bertemu dengannya, wajah istrimu sedikit kemerahan. Istrimu tertawa, maka bisa kaurasakan betapa semangatnya masih sangat menggelora.
Wanita itu sebetulnya cuma pedagang pakaian keliling. Ia kadang mengreditkannya sehingga harus sering-sering ke perumahan. Namun ada saja orang yang tak mau mengutang. Takut bila tiba-tiba mati, siapa yang nanti membayar utang kita, ujar pelanggannya suatu ketika dan pelanggannya itu: istrimu. Sedang kepada pelanggan lain yang kadang suka mengunci rumah bila tahu jadwal ke datangannya, ia suka jengkel. Maka wanita itu jadi sangat senang berurusan dengan istrimu. Ia mulai pandai mengambil hati istrimu. Ia minta istrimu membuka telapak tangannya. Ia membaca di tangan istrimu, tentu saja yang si pedagang kain katakan adalah yang manis-manis.
Lalu dua minggu silam sewaktu mereka tampak begitu akrab sampai-sampai istrimu mengajaknya makan siang, istrimu terkagum-kagum. Ia, sipe dagang pakaian ini menebak pikiran istrimu dan berjanji membawakan apa yang istrimu pikirkan itu pada kedatangan berikutnya, yakni sekarang.
“Taruli, ada?”
Kau langsung menutup pintu setelah kebenaran tentang siapa yang datang hari ini seolah telah disuratkan. Saat ini bukan dari matamu saja ada basah yang leleh. Lubang hidungmu jadi beringus. Dahi dan telapak tanganmu dipenuhi keringat dingin dan kau mulai menggigil karenanya.
“Tolong buka pintunya, Abang,” ujar si pedagang pakaian sebab memergokimu dalam keadaan berlinang air mata.
Kau mengelap mata dan berpura-pura menyalahkan debu yang terbawa angin dari pekarangan karena di sana kelopak-kelopak bunga matahari sedang berguguran.
“Abang, tolong buka pintunya. Taruli memesan gaun putih padaku. Ia akan memakaikannya hari ini.”
“Tidak. Kau salah,” tepismu, merasa kesal kenapa wanita itu seolah telah meramalkan masa depan untuk istri yang teramat kaucintai.
“Taruli akan mengenakannya hari ini. Aku bisa membantumu memakaikannya dan mendandani istrimu secantik mungkin sebelum orang-orang datang menjenguknya,” katanya.
“Taruli tidur, tak mau diganggu.”
“Semua orang akan mati, Abang. Kebetulan saja Taruli duluan.”
Dengan pasrah kau membuka pintu, membiarkan wanita itu melakukan tugasnya. Satu-satunya hal yang kau ingin tanya: apa istriku menunggumu di surga? Maka dalam sekejap sebutir cahaya melayang dari masing-masing mereka sementara kau masih memikirkan ikan mas arsik apakah akan membungkusnya atau tidak. (*)

Riau, April 2017
JELI MANALU, lahir di Padangsidimpuan, 2 Oktober 1983. Tinggal di Rengat-Riau. Cerpennya ilir mudik di berbagai surat kabar lokal dan nasional.

Sayur Daun Ubi Tumbuk

Cerpen Sri Lima Ratna Ndari (Analisa, 24 Desember 2017)
Sayur Daun Ubi Tumbuk ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa.jpg
Sayur Daun Ubi Tumbuk ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
MOLO matua sogot au, ho do manarihon au.
Molo matinggang au inang, ho do namanogu-nogu au
Bila aku besok tua, kau yang memperhatikanku
Kalau aku terpeleset nak, kaulah yang menuntun aku.
Bunda Sofia hanya memiliki satu putri, yang berumur 12 tahun dan duduk di kelas 2 SLTP. Lagu Boru Panggoaran tentang orang tua yang hanya memiliki satu harapan di hari tuanya. Lagu sangat menyentuh hati perempuan empat puluh tahunan itu. Tak pelak air mata sering menetes bila mengingat boru-nya. Kini telah beranjak dewasa dan semakin jarang mendapat perhatiannya sebab kesibukan pekerjaan.
Tambah lagi, surat pemutusan kontrak yang diluncurkan Provinsi tanpa alasan. Membuat perempuan sarjana Bahasa Inggris itu semakin sering di kantor, karena menjadi korban kebijakan pimpinan yang dinilai tidak adil.
“Hasil evaluasi kinerja kita selama ini A. Keaktifan di lapangan juga A. Pendidikan tidak ada masalah, TOR juga sudah terpenuhi. Jadi apa lagi penyebabnya?” tanya Bunda Sofia pada sesama rekan yang bernasib sama di ruangan rapat.
Kontrak seharusnya berakhir pada 31 Desember. Akan diperpanjang satu tahun ke depan, justru diubah pihak Provinsi dengan pemutusan hubungan kerja mulai 1 November. Berarti 2 bulan lebih awal dari perjanjian tugas di bulan Januari tahun 2016.
“Kita ke Medan aja. Ke kantor pusat. Langsung kita tanyakkan. Gimana, bunda?” tanya Rossi, seorang gadis dengan usia 25-an. Panggilan ‘Bunda Sofia’ pertama kali terucap darinya dan dengan cepat diikuti oleh yang lain.
“Kawan-kawan dari Kabupaten lain kabarnya langsung bergerak hari ini. Kita merapat aja supaya ramai. Gak berjuang sendiri-sendiri,” usul Kiky.
“Oke. Besok kita bergerak. Enggak ada salahnya kita bawak jugak berkas-berkas pendukung. Seperti CV, rekomendasi pengalaman kerja dan hasil evaluasi kinerja,” jawab Darius berubah serius. Semua setuju pada usulnya. Dinilai lebih paham hukum karena dia memang sarjana hukum.
Bunda Sofia sebagai yang tertua menunjuk beberapa orang menjadi kordinator dalam rangka keberangkatan ke Medan. Sekaligus menyusun agenda yang akan dilakukan.

Ho do borukku, tappuk ni ate atekki
Ho do borukku, Tappuk ni pusu pusukki
(Kau anakku perempuan, yang di hatiku yang paling dalam.
Kau anakku perempuan, yang ada di dalam hidupku.)

Sofia menendang-nendang batu kerikil pecah yang berserakan di jalan akibat proyek pelebaran jalan Pemkot Pematangsiantar. Tak dihiraukannya debu memenuhi udara sekitar. Berulang kali klakson kendaraan mengejutkan langkahnya, memaksa ABG berseragam putih biru itu untuk menepi.
“Huh!”
Hanya itu perkataan yang keluar dari bibirnya. Sepertinya dia malas menyapa dan tak ingin cepat sampai ke rumah. Sudah dua hari ini di meja makan tak terhidang makanan kesukaannya. Sayur daun ubi tumbuk dan ikan teri disambal dengan kacang tanah goreng. Padahal dia sudah berulang kali meminta bunda untuk memasakkannya.
“Bunda repot, Nak, sayur bayam aja ya? Besok-besok bunda masakkan kalok udah sempat,” jawab bunda waktu Sofia mengungkapkan keinginannya. Apa bunda gak tau aku gak sukak bayam?! Rutuknya marah.
Sesampainya di rumah, dia melepas sepatu dan meletakkan tas sekolah asal-asalan. Berlalu tanpa menyapa ayah yang terheran-heran.
“Kenapa cemberut terus boru ayah?”
Sofia tidak menjawab.
“Karena gak diajak bunda ke Medan?”
Sofia tak bergeming. Baru menyadari kalau dari pulang sekolah tidak ada masakan bunda di atas meja makan. Hanya nasi goreng sisa sarapan tadi pagi.
“Memangnya Bunda ke Medan ya, Yah?”
“Iya. Tadi pagi sebelum subuh udah berangkat.”
“Kok Sofia gak tau?”
“Orang tidur aja, ya gak tau lah.”
“Berarti tadi pagi waktu berangkat sekolah, bunda udah gak di rumah?” sesal remaja itu menyadari kekeliruannya.
“Bunda lagi repot, nak. Urusannya banyak,” ujar ayah.
“Urusan apa?”
Ayah menceritakan masalah pekerjaan yang sedang dialami bunda.
“Ayah… kenapa baru cerita sekarang? Kenapa gak kasih tau?”
Boru ayah biasanya lebih duluan tau dari pada ayah kalok bunda punya masalah.”
“Biasanya… kenapa sekarang beda?”
“Bunda gak mau membuat borunya kepikiran di saat tengah ujian mid semester.”
Sofia menyeka air mata yang tiba-tiba tumpah. Rasa bersalah menggayutinya. Pantasan bunda terlihat berlipat kali lebih sibuk dan tak banyak bicara. Lebih awal bangun setiap malam untuk sholat tahajjud. Sering Sofia diam-diam mendengar isak bunda di antara doa-doanya.
‘Bunda…maafin Sofia yang tidak mengerti permasalahan yang sedang bunda alami’ bunyi sms yangdikirimnya pada bunda.
Bunda Sofia menyerahkan toa pada Darius. Dia baru saja selesai berorasi mewakili pekerja dari kabupaten Simalungun. Darius mengoper pengeras suara tersebut kepada Daniel, orator dari kabupaten Nias Selatan.
Hari semakin siang. Sebentar lagi matahari akan membakar jiwa. Bunda Sofia menatap pendemo sambil mengusung spanduk bertuliskan tuntutan kejelasan kontrak pada pihak terkait. Peluh dan keluh tumpah jadi satu. Ada secuil pesimis mencuat di hati perempuan itu. Jumlah mereka hanya berkisar 100-an orang. Tidak cukup banyak untuk sebuah aksi demo.
Teriakan mereka tak begitu memekakkan telinga, tak cukup menggetarkan hati. Meskipun menggunakan toa, suara mereka tidak mungkin terdengar, hingga ke puncak gedung dimana ruangan Pimpinan berada. Mungkin dia pergi makan siang ke luar, acuhkan para bawahan dengan segala tuntutannya.
Suara orator terdengar mulai serak. Yel-yel penyemangat semakin samar. Kalah oleh deru dan desing knalpot kendaraan yang lalu lalang di depan kantor. Tak jua satupun para pejabat berwenang yang perduli.
Wajah-wajah lelah dan penuh harap tergambar jelas di sana. Mereka datang dari lokasi tugas yang berjauhan. Tersebar di seluruh pelosok propinsi yang memiliki Danau terindah dan terluas di dunia. Berbeda suku, agama dan latar belakang pendidikan. Mereka memiliki tujuan yang sama. Memperjuangkan nasib sebagai pekerja yang dikontrak dalam sebuah program pemberdayaan.
Suara adzhan dzuhur membuyarkan pandangan perempuan itu. Hanya Allah tempat mengadu dan harapan satu-satunya. Dia yakin Allah akan menolong hamba-Nya yang meminta dan mengharap.
Selesai dzuhur, pintu kantor terbuka. Mereka bersedia mediasi dan dua orang utusan diperbolehkan menemui pimpinan. Bunda Sofia dan Darius dipilih melalui voting kilat.
Doa dan dzikir terus dilafazkannya untuk menenangkan hati yang bergemuruh. Beberapa lelaki yang diperkenalkan sebagai pejabat kepala seksi telah duduk di kursi masing-masing. Setelah basa-basi pembuka pembicaraan, mereka dipersilahkan menyatakan aspirasi.
Bunda Sofia memperhatikan dada kanan pakaian dinas mereka yang tercantum nama lengkap dengan berbagai titel kesarjanaan. Pendidikan tinggi sejatinya menjadikan seseorang pintar secara akademik dan spiritual. Tau mempergunakan ilmunya untuk kemanfaatan diri sendiri dan orang lain.
Pembicaan mereka semakin alot. Darius dengan hukum-hukum ketenagakerjaannya. Bunda dengan teknik bicara yang lembut, namun tegas berusaha membuka nurani para pejabat tersebut. Akhirnya mereka bersedia menginput ulang data para pekerja sesuai dengan rekomendasi pengalaman kerja.
“Apa yang Bunda bilang di dalam tadi? Kok lama kali Bun?” tanya Lina begitu Bunda Sofia dan Darius kembali menemui rekan-rekan pendemo. Rossi dan Kiky antusias mendekat.
“Ada kesalahan dalam menginput data pengalaman kerja kita, makanya kena pemutusan kontrak. Karena dianggap tidak sesuai dengan TOR, Term Of Recruitment.”
“Aku gak pernah memasukkan pengalamanku 0 tahun. Ada filenya di flahdiskku!” berang Lina yang paling banyak punya pengalaman kerja.
“Aku jugak!” Darius menambahi diamini oleh yang lain.
“Evaluasi kinerja kita juga bagus semua. Gak ada yang jelek. Hanya pengalaman yang tertulis 0 tahun. Entah siapa yang menginput data tersebut,” ujar Bunda Sofia lagi.
Wajah mereka memerah menahan emosi. Dugaan adanya manipulasi data, tidak bisa mereka buktikan secara nyata.
“Jadi, sampai kapan kita harus menunggu keputusan diperpanjang atau tidaknya!” tanya Kiky dan Rossi bersamaan.
“Kalau soal itu tidak ada disebutkan tadi. Hanya disuruh menunggu. Sabar, hingga batas waktu yang tidak bisa dipastikan,” jawab Bunda.
“Iya, sampai kapan!” Daniel dan kawan-kawan dari Nias mulai berang.
“Berapa persen pulak kemungkinannya!”
“Kata mereka sih 80% kemungkinan bagi yang telah menyerahkan data pengalaman kerja minimal 3 tahun untuk Diploma. Dua tahun untuk sarjana penuh, serta 5 tahun untuk SMA sederajat,” terang Darius yang dibalas anggukan oleh Bunda Sofia.
Tiba-tiba entah siapa yang memulai, batu-batu terlempar ke arah gedung bercat putuh itu. Suara kaca pecah beruntun memenuhi udara. Situasi berubah kacau dan tak terarah.
***
Sofia memetik daun ubi yang banyak tumbuh di sekeliling rumah. Memetik biji cempokak yang masih muda seperti yang sering dilakukan Bunda. Ayah mengajarinya menumbuk daun ubi dan cempokak dengan alu. Menghaluskan bawang merah, bawang putih, cabai merah dan udang kering. Mengupas kelapa, memarut serta memerasnya, hingga menghasilkan santan untuk kuah sayur daun ubi.
Sofia memasak santan hingga matang. Dimasukkannya bumbu-bumbu. Setelah itu barulah daun ubi yang sudah dihaluskan sambil terus diaduk agar santan tidak pecah.
“Ayah rasain asinnya. Sofia gak tau,” ucap Sofia sambil mengaduk sayur di dalam panci dengan menggunakan sudip kayu. Ayah menyendokkan sedikit kuah ke telapak kanannya.
“Mantab!” ucap Ayah sambil mengacungkan jempol. Sofia tersenyum puas. Memasak daun ubi menjadi sayur yang lezat sangat membutuhkan waktu dan tenaga yang lumayan banyak. Pantas Bunda tidak sempat. Remaja itu tidak cemberut lagi, puas telah bisa memasak sendiri makanan kesukaannya. Bunda pasti senang pada kejutan ini.

Pematangsiantar, November 2016

Boru= anak perempuan
Boru panggoaran= anak perempuan yang menjadi sebutan orangtuanya
Boru sasada= anak perempuan tunggal.
Alu = serupa lesung dari kayu
Cempokak = rimbang (sejenis tanaman).