“Tapi ini harga diri. Darah kita bukan darah bangswan. Kamu mau Bapak keluar uang, beli darah supaya bisa ko menikah sama dia? Kita injak-injak harga diri-ta? Untuk apa? Cinta?” (hlm. 32)
“Ini bukan masalah uang. Bukan masalah darah. Atau harga diri. Ini masalah cinta. Kita ini orangtua. Tugas kita adalah mencintai anak kita. Meridai mereka, seberapa pun bodohnya pilihan mereka.” (hlm. 56)
Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
- Restu ibu itu kunci surga. (hlm. 21)
- Tidak ada cinta yang salah. (hlm. 63)
- Seringkali waktu menjadi jawaban bagi banyak keraguan. Tidak seharusnya waktu hanya berfungsi membuat kita menua. Ia seharusnya mematangkan. Mendewasakan. (hlm. 81)
- Kesedihan ternyata tak harus selalu diwakili oleh sedu-sedan. (hlm. 113)
- Kalau bukan karena cinta, untuk apa saya tinggalkan itu semua? (hlm. 133)
- Bukan darah dan uang yang menyelamatkan sebuah keluarga, tapi cinta. (hlm. 134)
- Tak ada yang bisa menggambarkan perasaan ibu yang menihilkan dosa yang dibawa pulang anaknya. (hlm. 187)
- Untuk apa menikahi sesama bangsawan kalau tidak cinta? (hlm. 22)
- Apakah memang pernah ada jawaban yang pasti untuk cinta? (hlm. 31)
- Untuk apa hidup kalau tanpa cinta? (hlm. 40)
- Ini bukan masalah harga diri. Ini masalah cinta. (hlm. 48)
- Adat itu peninggalan leluhur. Dibuat untuk kebaikan manusia. Untuk apa kaulawan? Kau tidak akan menang. (hlm. 92)
- Dimana letak kebaikannya melarang orang menikah karena beda derajat? (hlm. 93)
- Tak ada laki-laki dan perempuan yang bisa bersahabat sedemikian dekat tanpa jatuh cinta. Tak ada. Mereka bersahabat, mereka jatuh cinta. Sesederhana itu mematikannya. Namun, tidak sesederhana itu dampaknya. (hlm. 115)
- Waktu dan kemiskinan memang kejam pada tubuh manusia, keduanya sanggup menyulap siapa pun jadi tampak buruk rupa. (hlm. 145)
- Adat mengajarkan anak meminta maaf pada orangtua dengan mencium lutut mereka. (hlm. 186)