Daftar Blog Saya

Kamis, 05 Oktober 2017

Kutipan What a Boss Wants

Apakah patah hati bisa membuatmu mati? (hlm. 342)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Kamu nggak akan benar-benar menghargai manisnya kesuksesan kalau belum pernah mencicipi pahitnya kegagalan. (hlm. v)
  2. Takdir manusia memang nggak pernah sama. (hlm. 47)
  3. Kegagalan terjadi bukan saat terjatuh, melainkan saat kamu menyerah dan tak mau bangkit lagi. (hlm. 91)
  4. 365 hari dalam setahun. 365 kesempatan untuk mencoba. 365 kemungkinan akan gagal. 365 alasan untuk mencoba lagi. (hlm. 113)
  5. Bahkan di bawah langit penuh bintang pun kau tetap yang paling terang. (hlm. 131)
  6. Melupakan orang yang teramat dicintai nggak segampang yang dikira. (hlm. 151)
  7. Terkadang, cinta adalah tentang saya dan kamu. (hlm. 303)
  8. Cara orangtua berbicara adalah suara hati anak-anaknya kelak. (hlm. 375)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Bagaimana kau bisa mengaku ksatria, kalau pada akhirnya justru kaulah naga yang membuatnya terluka? (hlm. x)
  2. Terima kesedihanmu dengan lapang dada, tetapi jangan mau diperhamba olehnya. (hlm. 9)
  3. Hanya karena aman sekarang, bukan berarti selamanya akan begitu. (hlm. 11)
  4. Jadi orang kok nggak modal amat. (hlm. 155)
  5. Cinta yang disangkal kelak akan jadi neraka yang harus kau jalani seorang diri. (hlm. 183)
  6. Cinta mengubah kita jadi sepasang amfibi. Hidup di dua tempat; di bumi dan di hati masing-masing. (hlm. 277)

Membakar Langgar

Cerpen Ratnani Latifah (Republika, 01 Oktober 2017)
Membakar Langgar ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpeg
Membakar Langgar ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Kosim mengumpulkan warga. Ketika mereka sudah berbondong-bondong datang, dipandangnya lekat-lekat orang yang berjejer itu. Kosim menghela napas. Lalu tangan kanannya yang sudah membawa oncor membuat kuda-kuda untuk melemparkannya.
Karepmu opo, Sim, gawe geger deso bengi-bengi (Maksudmu apa, Sim, membuat gaduh malam-malam).” Seorang bapak menatap tidak suka pada Kosim. Benci.
Koe pengen kuwalat bakar tempat iki? ngerti, ora!(Kamu ingin mendapat azab dengan membakar tempat ini? Kamu mengerti, tidak!)”
Kosim hanya tersenyum miring. “Lho buat apa dibiarkan to, Pak. Kalau setiap hari hanya dikosongkan. Tidak ada yang menghidupkan tempat ini. Tidak ada manfaatnya. Kata Bapak, apa-apa yang tidak dimanfaatkan lagi, lebih baik dimusnahkan saja. Iya, kan?”
***
Semua warga telah disuruh bubar. Juga para pemuda yang memang sudah dipengaruhi kegilaan Kosim. Kini hanya tinggal Kosim dan Pak Lurah yang saling berhadapan. Sungguh tidak habis pikir setan mana yang merasuki Kosim hingga memiliki niat mengerikan itu. Membakar langgar? Sama saja membakar pertumbuhan Islam. Langgar adalah tempat ibadah suci. Pemuda ini sungguh keterlaluan. Entah apa yang membuatnya memiliki pemikiran itu.
Dasar boncah gendeng (Dasar anak gila),” begitulah umpatan dari suara yang tidak lain milih Pak Lurah yang sekaligus pakleknya. Sejak satu minggu setelah Kosim kembali ke desa memang banyak kejadian yang meresahkan warga. Kosim dicap sebagai pembuat ulah. Seperti malam ini yang mau membakar langgar. Dua hari lalu dia juga membuat geger karena mengumpulkan pemuda karang taruna untuk demo guna menggagalkan penggusuran lahan pemakaman yang konon akan dipakai untuk memperluas pertokoan di sana. Dan entah apalagi yang akan diperbuatnya nanti.
Karepmu opo, hah!? (Maksudmu apa, hah!?) Ini ilmu yang kamu dapat dari pondok? Dasar bocah sesat!”
Kosim masih diam. Tidak membantah sama sekali. Membiarkan segala sumpah serapah Pak Lurah terus diucapkan.
“Sabar, Pak.” Suara lain terdengar mengingatkan.
Koe meneng ae (kau diam saja), Bu. Biar aku yang urus anak kurang ajar ini!”
Pak Lurah memerintah.
“Saya hanya mengikuti ajaran Pak Lek. Menghancurkan segala hal yang sudah tidak bisa diambil manfaat. Toh, langgar ini sudah jarang dipakai. Kenapa harus dipertahankan?”
Gigi Pak Lurah bergemeletuk. Matanya melotot. Bocah ini sungguh membuat tekanan darahnya naik. Kapan dia pernah mengatakan langgar bisa seenak udelnya main bakar? Yah, meski langgar itu saat ini jarang diramaikan seperti dulu, langgar tetaplah langgar. Tempat ibadah pada Pencipta Alam.
Wes, to, Le (sudahlah, Nak). Jangan buat masalah. Jangan buat pak lekmu marah.” Seorang wanita setengah baya menyentuh pergelangan tangan Kosim. Mengiba. Menatap lamat Kosim untuk mengalah. Tidak tahan rasanya melihat suami dan keponakannya saling adu pendapat.
Memang sejak orang tua Kosim meninggal karena kecelakaan, dia tinggal dengan keluarga Pak Lurah. Yah Ibu Kosim adalah adik dari Bu Lurah. Kosim dianggap aneh. Ketika disuruh masuk sekolah negeri malah memilih masuk pondokan. Eh, pulang-pulang bukannya melakukan dakwah malah bikin keonaran. Tentu saja hal itu membuat Pak Lurah yang tidak lain adalah pak leknya jadi berang. Bocah tidak tahu diuntung. Itulah sebutan yang Kosim sandang.
“Tobat, Sim. Pikir dulu kalau mau melakukan sesuatu,” sinis Pak Lurah sebelum akhirnya berhasil dibujuk istrinya, untuk meninggalkan Kosim sendirian di ruang tamu.
“Saya sudah memikirkan semua masak-masak, Pak Lek,” gumam Kosim lirih.
Dalam perjalannya itu, ingatan yang dimiliki menjelajah ke masa lalu. Ketika tempat ini belum berubah. Ketika suara adzan masing dikumandangkan. Bacaan ayat suci masih dilantukan. Ya, itu kejadian dulu. Saat dirinya masih kecil. Sebelum semuanya berubah. Kosim menghela napas. Lompatan masa lalu masih menggelayutinya.
“Desa ini dulunya ‘bercahaya’. Memiliki banyak penerus bangsa dalam menyiarkan agama. Ada langgar yang sering dijadikan tempat mengaji. Banyak pemuda dan anak- anak kecil mengaji sambil bermain di sini. Tempat ini adalah pusat kegiatan desa dalam segala hal. Tapi, sejak adanya pendatang baru, suasana desa berubah, diramaikan dengan kemajuan teknologi dan perluasan lapangan pekerjaan. Perlhan tapi pasti, langgar semakin ditinggalkan. Jarang yang mengurus dan meneruskan perjuangan simbah-simbah. Nikmat dunia telah melenakan.
Semua kini sibuk mengurusi lahan tani. Mengolah sawah lupa untuk menghadap Ilahi. Atau ada yang beralasan sibuk dalam perdagangan hingga tak punya waktu luang barang sebentar. Sibuk dengan urusan kantor hingga melupakan kewajiban. Anak-anak dibiarkan terjajah televisi dan internet, tidak diajari mengaji. Setiap bakda Magrib keramaian yang terjadi telah tergeser. Tidak ada tilawah huruf hijaiyah yang kerap terdengar. Apalagi shalawat Nabi yang didendangkan. Yang terdengar malah musik hingar-bingar yang sering merusak telinga. Bahkan, sempat beberapa kali Kosim melihat langgar dijadikan tempat maksiat. Miris.
Tempat yang kini ramai dikunjungi adalah toserba yang baru dibuka. Di sana ada wahana permainannya. Juga dibuka bioskop baru. Semua itu memakai tanah lahan kosong diambil secara paksa. Lahan itu bekas rumah keluarga Kosim.
“Kan sudah tidak kamu tempati to, Sim. Lebih baik dijual untuk membuka lapangan pekerjaan baru. Tempat ini strategis,” Pak Lurah membujuk Kosim. Kejadian itu ketika Kosim baru lulus Madrasah Aliyah.
“Kamu yo tinggal di rumah Pak Lek. Nanti hasil penjualan tanah itu bisa kamu tabung. Rumah itu sudah tidak layak ditempati lagi. Otomatis tidak ada gunanya, to, Le. Jadi, tidak apa-apa kalau dihancurkan.”
Yah, seperti langgar yang saat ini ditempati Kosim. Langgar ini sudah jarang dipakai. Paling hanya segelintir orang atau malah hanya si marbot. Kalau pun dipakai itu biasanya ketika Ramadhan dua hari raya saja. Selain hari-hari itu, langgar lebih sering kosong. Tidak ada yang menghidupkan langgar. Katanya shalat di rumah lebih enak. Dan berderet alasan lainnya. Jadi, bukankah langgar itu pun pantas untuk dihancurkan? Dibakar saja? Ini pemikiran yang paling logis. Jika barang tidak digunakan maka dibuang—dihancurkan. Sama halnya langgar yang tak dirawat dan digunakan.
***
Esok harinya. Warga saling kasak-kusuk membicarakan Kosim. Juga membicaran insiden yang baru-baru ini terjadi. Selain itu, mereka sepertinya penasaran dengan ulah apa lagi yang akan diperbuat Kosim. Tapi sedari pagi hingga menjelang petang pemuda itu tidak kelihatan batang hidungnya.
“Si Kosim tumben tak kelihatan. Biasanya dia itu suka ribut dan cari perkara. Lulusan pondokan yang aneh.” Jali si tukang sayur mesam-mesem.
“Iya, mungkin dia malu, Jal. Atau malah sudah diserahkan ke aparat oleh Pak Lurah. Dia itu tidak waras,” Openg tukang ojek ikut menimpali.
“Tapi, kalau dipikirkan lagi usul Kosim ada benarnya, lho.” Ucapan Manto langsung membuat Jali dan Openg mengeryitkan dahi.
“Begini, Kang,” Manto yang memang paling muda itu mencoba menjelaskan.
“Langgar itu kan memang sudah jarang dirawat. Bahkan jarang dipakai untuk ngaji. La shalat jaamaah saja jarang. Biasanya yang ngisi cuma Pak Husain, si tukang marbot.” Manto mengela napas. “Ditambah lagi, akhir-akhir ini, langgar itu kerap dijadikan tempat mesum karena cahaya redup yang tidak mencolok,” Manto menambahi. Dia mengelus dada.
“Jadi …?” Jali dan Openg mengejar.
“Yah, si Kosim marah. Langgar kan harusnya digunakan untuk ibadah, tapi nyata tidak to? Eh, malah ada gosip miring itu. Jadi sekalian dibakar saja, biar tidak membuat perkara.”
Jali dan Openg mengangguk. “Kalau begitu kamu mendukung ya kalau langgar dibakar?”
Manto tertawa. “Tentu saja tidak, Kang. Kita harus mencari Kosim dan mendiskusikan cara terbaik agar langgar tetap berdiri dan ramai dikunjungi seperti sedia kala.” Mereka pun bergegas pergi mencari alumni pondokan itu.
***
Kosim mendongkak. Menatap langit. Sebenarnya bukan tanpa alasan kenapa Kosim melakukan ini semua. Dia memang sengaja membuat marah warga dan memancing mereka. Yah, Kosim punya tujuan. Ada hal yang ingin dia tunjukkan. Sebuah tujuan yang sejak dulu selalu diharapkanya. Ini tentang sebuah misi yang di embannya; sebuah perjuangan. Dia hanya ingin mengingatkan warga di tempatnya akan kembali pada jalan yang benar. Meski bisa dibilang cara yang dia lakukan agak kasar.
Yah, sejak desanya berubah, Kosim selalu memikirkan cara untuk mengajak penduduk untuk kembali ke jalan Allah. Kosim terus berpikir dan berpikir. Hingga akhirnya timbul keinginan untuk memancing warga. Tapi setelah dia pikirkan lagi, cara itu mungkin akan memiliki dampak yang akan membuatnya menyesal.
Dia teringat dengan nasihat pak kiai dulu. “Kau tahu, Sim. Dakwah yang baik itu dengan paksaan apalagi sampai mendatangkan pertumpahan. Tapi rengkuhlah dengan kasih sayang dan kesabaran. Peperangan adalah cara terakhir jika memang sudah tidak ada pilihan.”
Kosim menghela napas, terdiam cukup lama. Menatap lamat bangunan langgar yang kini sungguh mengenaskan.
“Sepertinya aku memang harus melakukan dengan cara lain.” Kosim tersenyum. Dia mulai mengambil apa-apa yang diperlukan.
“Tunggu, Sim!”
Berbondong-bondong warga tiba-tiba datang. Bahkan Pak Lurah alias pak leknya. Menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Kosim hanya tersenyum.
Ealah tak kira langgar jadi kamu bakar. Soalnya ada asap mengepul dari sini. Ternyata kamu bersih-bersih langgar, to. Membakar sampah. Sini tak bantu.”
Kosim hanya mengangguk. Ya, dia tidak akan membakar langgar. Dia akan memugarnya, agar layak ditempati sebagai rumah ibadah dan dijadikan tempat mengais ilmu. Dia akan mengajak warga kembali me negakkan tiang agama—shalat dan mengajarkan anak-anak mengaji. Itulah cara pertama yang akan dijadikan jalannya.

Cerpen dan resensinya pernah dimuat di berbagai media. Buku solonnya, Bingkai Kasih Khazanah Jiwa?? (Quanta—Elex Media Komputindo, 2016), Dongeng Fantasi Pembentuk Kepribadian Baik (Visi Mandiri, 2017), Seri Pembentuk Karakter “Belajar Bertanggung Jawab” (Visi Mandiri, 2017). Buku antologinya, antara lain Ramadhan in Love (Indiva, 2015), kumpulan puisi Luka- Luka Bangsa (PMU, 2015), Lot & Purple Hole (Elex Media Kompuntindo, 2015), The Power of Believe (Diva Press, 2016). Alumni Unisnu Jepara. Bisa dihubungi di akun FB Ratna Hana Matsura. Atau blog http://tulisanelratnakazuhana.blogspot.co.id

Mata yang Menyiksa

Cerpen Ganda Pekasih (Media Indonesia, 01 Oktober 2017)
Mata yang Menyiksa ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Mata yang Menyiksa ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
SUDAH beberapa minggu perempuan bermata sedih itu tinggal di rumah pengembaraan, di sebuah kota di mana kabut lebih sering muncul. Apa yang disedihkan perempuan itu adalah kesedihan tentang seorang lelaki yang wajahnya berlumuran darah karena membutakan matanya sendiri.
Kota yang lebih sejuk dan sore terasa lebih cepat tiba pada senja menambah kuat ingatannya selalu pada lelaki itu, di mana dia terus pergi mencarinya dari satu kota ke kota lainnya. Sembilan tahun sudah dia melewati gugus waktu dalam kesendirian.
Saat dia membeli tanaman-tanaman hutan yang menjalar dan anggrek kesukaannya di sebuah tepi jalan, sore yang sedang dihujani merah tembaga matahari sebelum disapu kabut dia melihat seorang lelaki bertongkat berjalan seorang diri, lelaki itu buta, dan dia sungguh terkejut melihat caranya berjalan yang sangat ia kenal, rambut sebahu ikal ciri khasnya, warna pakaiannya masih seperti warna-warna yang disukainya dulu. Ranu!
Ah, di kota ini akhirnya dia temukan lelaki itu, lelaki yang wajahnya pernah berlumuran darah kala dia membutakan matanya sendiri. Sepasang mata tampan yang tak melihat itu tentu saja tak bisa mengungkapkan lagi cinta dengan sinarnya. Dia tampak berjalan pelan dan tertatih-tatih dengan tongkatnya itu menyusuri sore ke arah matahari terbenam, dulu dia seorang lelaki yang gagah, kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri saat mereka telah bertunangan dan waktu pernikahan sudah ditetapkan. Mau ke mana dia seiring senja jatuh? Ranu.
Suara tongkatnya terdengar memukuli kerikil tepi jalan. Dia mencoba mengikutinya beberapa puluh meter, air matanya deras berjatuhan, dia tak sanggup untuk menyapa dan akhirnya berbalik arah, pulang tergesa, menjatuhkan dirinya di ranjang yang sepi.
***
Kata orang-orang di tikungan ujung perumahan di kaki bukit sejuk itu, biasanya dia ke kedai kopi langganannya untuk merokok, bertemu teman-temannya dan ngobrol dengan siapa saja yang mampir ke kedai kopi itu, lalu dia melanjutkan pergi ke tepi danau, bekerja menjaga beberapa petak ladang bunga.
Dia pernah cerita kepada orang-orang, menikam kedua matanya sendiri karena melihat perselingkuhan calon istrinya, di malam acara pelepasan lajang perempuan itu, yang tak bisa menolak bujuk rayu bekas pacar di masa lalu, cinta yang pernah membutakan jiwa mereka. Beberapa temannya membawa botol-botol minuman, berpesta agak liar, jauh di luar keinginannya dan nyaris mereka semua minum hingga terjadi perselingkuhan itu. Ranu, tunangannya yang sengaja tak diundang datang, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri di kamar pesta itu, dan mereka tak memiliki alasan untuk khilaf.
Ranu, lelaki yang sangat dirindukannya itu, bertahun-tahun sudah dia mencarinya, dia membutakan matanya karena tak sanggup melihat petaka itu, berdarah-darah di malam pesta, pemandangan yang mengerikan. Pemandangan yang tak pernah pergi dari pikirannya.
Setiap sore dan senja turun hingga malam dia berdiri menunggu lelaki itu kembali lewat di depan taman penjual bunga bunga hutan dan anggrek, tapi saat lelaki itu muncul mengayun tongkatnya, dia yang sudah dekat di belakang mengikuti hingga puluhan meter tak berani menyapa sedikitpun, apalagi mengeluarkan suaranya yang terisak, bahkan dia takut lelaki itu akan mengetahui kehadirannya.
Hingga suatu ketika lelaki itu menghentikan langkahnya, mematung, perlahan dia memalingkan wajah ke belakang, ke kiri dan ke kanan, dia mungkin sudah tahu sejak pertama perempuan itu mengikutinya beberapa hari lalu, aroma tubuh perempuan itu pasti terendus hidungnya bercampur bau anggrek hutan kegemarannya. Lelaki itu tampak acuh saja kemudian melanjutkan perjalanan.
Sepetak ladang bunga itu mulai mekar di bawah bulan, tak ada angin berhembus kecuali hening, serangga-serangga kecil mengisi kesunyian menikmati aroma bunga-bunga.
Ketika terdengar suara kokok ayam dia pun pulang, kicau-kicau burung beraneka suara mengiringi langkahnya, rumahnya hampir lima kilometer dari petak petak ladang-ladang bunga itu, di tepi lembah yang berbatu batu. Melewati kembali tikungan yang agak sedikit ramai dengan deretan penjual bunga segar tempat dia biasa singgah sekejap minum kopi dan merokok sebelum istirahat memejamkan mata di rumah, mata yang tak melihat apa pun sejak peristiwa berdarah itu, kecuali kegelapan cintanya yang dikhianati.
***
Memperhatikan dan mengikuti laki-laki itu beberapa kali lalu akhirnya terisak pulang kini perempuan itu sampai di ladang bunga. Mereka sama-sama tiba di sana, duduk berjarak beberapa meter. Lelaki itu menyadari sudah begitu sering dia terus diikuti. Dia pernah yakin tak akan pernah berjumpa lagi dengan gadis yang pernah bertunangan dengannya itu. Dia yakin itu Mayan. Apa yang dicarinya datang ke tempat ini? Bukankah semua sudah berlalu?
Setelah mereka hanya membisu, Mayan akhirnya tak bisa lebih lama lagi membeku. “Aku ingin buta seperti juga kau Ranu, aku merindukanmu, sangat merindukanmu,” Mayan terisak.
Angin malam berdesir, bunga-bunga mulai bermekaran dini hari berlomba menjumpai pagi. “Apa yang kau cari lagi, Mayan?”
Lelaki itu bangkit, berjalan ke tengah ladang bunga dan memetik beberapa Rose, memberikannya kepada Mayan.
“Ini ladang bibiku, aku hanya menjaganya sebelum pagi dipetik untuk dibawa ke pelelangan.”
“Terima kasih.” Mayan menghirup serumpun Rose mekar dalam-dalam. Butakanlah mataku dengan tangkai-tangkai mawar ini Ranu biar kita menjadi sepasang kekasih buta. Aku lama mencarimu. Aku menderita sejak melihat darah itu. Aku sungguh menyesali semua itu.”
“Tak boleh Mayan, mata tak berguna tanpa cahaya.”
“Aku merindukanmu hidup bersama. Aku tahu khianat manapun tak ada yang bisa menandingi kecewamu, aku akan mengobati lukamu, mengabdi padamu.”
“Sudah terlambat, Mayan.”
“Aku ingin buta bersamamu Ranu, aku sudah lama mencarimu, Ranu.”
Mayan memeluk Ranu sekuat tangannya.
Lalu bunga-bunga bermekaran.
Dan pagi hari mereka pulang, diiringi mentari, Mayan ikut ke rumah Ranu. Mereka disambut seorang perempuan dengan sepotong tongkat seperli Ranu dan matanya buta. Mayan tercekat!
“Dia istriku, namanya Layonsari, kami sudah kenal lama di daerah ini, dia membutakan matanya sendiri karena melihat perselingkuhan suaminya, lalu dia datang menemuiku dan kami saling membutuhkan, mencintai dalam kebutaan, seiring waktu kami merasa mata kami tidak buta, cinta kami bercahaya.”
Mayan dilibas cemburu. Perempuan buta itu mendekati Mayan, merabai wajahnya, menelusuri bahu dan rambut Mayan.
“Kau perempuan yang cantik,” dengusnya tak suka.
Nafas Mayan memburu.
“Kau pasti perempuan yang bernama Mayan itu. Limbo pernah menceritakanmu. Hh, kau ternyata!”
Mayan terpatung, Layonsari mundur beberapa langkah.
“Aku tak mau berjumpa lagi dengan Koko!” Tiba-tiba dia histeris. “Dia jahat, dia tak boleh mencariku ke sini hanya karena suatu saat nanti dia menyesali perbuatan selingkuhnya, seperti perempuan ini, yang membuat kekasihnya membutakan matanya sendiri lalu dia datang mencarinya mengatakan dia sangat bersalah! Tidak! Pergii kau!! pergi!”
Mayan bergidik ngeri mendengar ucapan perempuan itu, perempuan yang pasti sangat membenci lelaki yang membuatnya membutakan matanya sendiri, seperti juga bencinya Ranu dulu padanya. Lalu perempuan itu tampak menggapai-gapai ke arah Ranu, begitu dapat tubuh Ranu langsung dia peluk dengan erat.
Mayan bergetar melihat pasangan buta itu, dilibas rasa cemburu.
“Butakanlah mataku, aku sangat cemburu! Itulah balasan yang pantas untukku! Aku tak akan menyesal!” Mayan mendekatkan wajahnya ke arah Layonsari sambil dia mengulurkan tangkai-tangkai Rose yang panjang berduri.
Ranu menggapai-gapai mendekati Mayan.
“Pergilah Mayan, tolong pergi dari sini, jangan ganggu kami.”
Mayan makin dilibas cemburu, Ranu mengusirnya, yang lama dia cari bertahun-tahun. Mayan merasa hancur berkeping! Merasa sangat pantas jika dia membutakan mata sedihnya, itu setimpal dengan kemarahan Ranu dulu, tak perlu lewat tangan mereka, tapi dengan kedua tangannya sendiri. Tapi jika dia membutakan matanya sendiri bukankah Ranu sudah tak bisa melihat darah-darah itu, tak bisa. Jadi percuma saja karena Ranu tak akan melihat pengorbanannya.
***
Limbo dan istrinya melewati jalan ke arah matahari jatuh, bergandengan tangan, istrinya itu pasti tak membiarkan lagi suaminya pergi sendiri, juga tak ingin kekasihnya dari masa lalu datang lagi mendekat membawa penyesalan, ujung tongkatnya ia sambarkan ke sana ke mari.
Mayan terisak, sudah beberapa sore mereka memamerkan cinta dan kemesraan itu, tak memberinya lagi kesempatan sedetikpun didekati. Mayan melemparkan tangkai-tangkai rose berduri dan bergegas lari. Ranu beruntung menemukan lagi sosok yang dicintanya, sedang dia akan mengembarai lorong, tempat sunyi, dengan sepasang mata sedihnya yang tanpa cahaya kecuali air mata. Air mata yang terus mengalir deras.
Menjelang malam, di tikungan jalan, Mayan mulai tergoda, ayo segeralah butakan matamu, segeralah. Dengan ranting yang dipungutnya di pinggir jalan mayan pun membutakan sebelah matanya, sebelah saja. Darah mengalir, sakit terasa, bagaikan cinta yang disakiti begitu lama. Ia pun termenung dengan hanya sebelah mata buta, tapi ia masih bisa melihat, membutakan kedua matanya serasa ia tak sanggup. Ia tertatih-tatih hanya dengan sebelah mata kini, perasaan kehilangan, cinta, dan luka itu tak bisa terbang-terbang dari jiwanya, agaknya Mayan harus membutakan sebelah lagi, agar ia dapat kembali berjalan menemui Ranu.***

Sejumlah karya Ganda Pekasih sudah dimuat di sejumlah media massa. Bukunya Al: Maha Suci Cinta-Mu dan Bidadari-Bidadari Bumi.

Nyonya Gerda dan Sepasang Rusa

Cermin Sulistiyo Suparno (Suara Merdeka, 01 Oktober 2017)
Nyonya Gerda dan Sepasang Rusa ilustrasi Suara Merdeka
Nyonya Gerda dan Sepasang Rusa ilustrasi Suara Merdeka
Nyonya Gerda tinggal di lereng sebuah bukit. Suaminya tentara, gugur dalam sebuah pertempuran. Suatu hari, ketika pulang dari mengunjungi makam sang suami, Nyonya Gerda melihat dua ekor anak rusa. Nyonya Gerda membawa pulang sepasang rusa itu dan memberi mereka nama Rosa dan Rosi.
Nyonya Gerda pandai membuat roti, kue, dan penganan lainnya. Ia menitipkan roti, kue, dan penganan buatannya di toko Nyonya Martha di kampung. Nyonya Gerda membawa serta sepasang rusa miliknya.
“Wah, rusa-rusamu sudah besar ya, Nyonya Gerda?” kata Nyonya Martha.
“Ya, Nyonya Martha. Bersama mereka, aku tidak kesepian lagi,” sahut Nyonya Gerda.
“Aku senang mendengarnya. Dan, ini uang hasil penjualan rotimu selama minggu ini,” kata Nyonya Martha.
“Terima kasih, Nyonya Martha. Saya senang bekerja sama dengan Anda,” sahut Nyonya Gerda.
Suatu hari, sebuah kereta kuda berhenti di depan rumah Nyonya Gerda. Dua orang perempuan turun dari kereta, lalu menemui Nyonya Gerda. Dua perempuan itu adalah petugas dari kantor Biro Penyelamat Satwa. Mereka mengatakan bahwa Nyonya Gerda tidak boleh memelihara rusa. Karena rusa adalah hewan yang dilindungi oleh kerajaan.
“Kalian akan membawa Rosa dan Rosi?” tanya Nyonya Gerda sedih.
“Benar, Nyonya. Kami akan membawa rusa-rusa milik Anda ke Kotapraja. Kami akan memelihara mereka di kebun binatang. Ini aturan kerajaan. Kalau Anda melanggar, Anda bisa masuk penjara, Nyonya,” kata salah satu petugas.
“Oh, maafkan saya. Saya tidak tahu tentang peraturan itu,” sahut Nyonya Gerda.
Dua petugas itu pun membawa dua rusa kesayangan Nyonya Gerda. Sebelum kereta itu berangkat, Nyonya Gerda bertanya, “Bolehkah bila suatu saat aku mengunjungi Rosa dan Rosi?”
“Silakan, Nyonya. Nyonya dapat mengunjungi kebun binatang kapan pun Nyonya mau,” kata seorang petugas.
***
Setelah kepergian sepasang rusa itu, hidup Nyonya Gerda terasa sepi. Orang-orang, termasuk Nyonya Martha bersimpati pada Nyonya Gerda.
“Perbuatanmu sungguh mulia, Nyonya Gerda,” kata Nyonya Martha.
“Terima kasih, Nyonya Martha. Saya berharap Rosa dan Rosi mendapatkan perlakuan yang layak di Kotapraja,” sahut Nyonya Gerda.
“Semoga, Nyonya Gerda. Dan, ini uang hasil penjualan rotimu minggu ini, Nyonya Gerda,” kata Nyonya Martha.
“Terima kasih, Nyonya Martha,” sahut Nyonya Gerda.
“Oh ya, saya punya rencana bagus, Nyonya Gerda,” kata Nyonya Martha.
“Rencana apa, Nyonya Martha? Boleh saya tahu?”
“Tentu saja boleh,” sahut Nyonya Martha.
“Margot, kakakku, akan membuka toko roti di Kotapraja. Saya mengusulkan Anda untuk menjadi koki di sana. Anda bersedia, Nyonya Gerda?”
“Tetapi, bagaimana dengan rumah saya? Siapa yang akan mengurusnya?” tanya Nyonya Gerda.
“Jangan kawatir, Nyonya Gerda. Biar saya dan suami yang akan mengurus rumah Anda,” jawab Nyonya Martha.
“Oh, terima kasih. Anda sungguh baik pada saya. Baiklah, saya bersedia menjadi koki untuk kakak Anda, Nyonya Martha,” sahut Nyonya Gerda.
***
Nyonya Gerda pindah ke Kotapraja. Ia menjadi koki di Toko Roti Nyonya Margot. Roti buatan Nyonya Gerda sangat lezat, sehingga banyak pembeli yang senang. Toko roti itu pun semakin ramai dikunjungi pembeli. Suatu hari Nyonya Gerda mendapatkan libur.
“Anda hendak berwisata ke mana, Nyonya Gerda?” tanya Nyonya Margot.
“Saya belum tahu, Nyonya Margot,” sahut Nyonya Gerda.
“Apakah di Kotapraja ada tempat wisata yang menarik?”
“Ada beberapa, tetapi yang paling menarik adalah kebun binatang,” jawab Nyonya Margot.
Seketika wajah Nyonya Gerda berubah ceria. Keesokan harinya, Nyonya Gerda berkunjung ke kebun binatang. Ia mencari-mencari tempat yang diinginkan.
“Bisa Anda tunjukkan pada saya, di mana tempat rusa?” tanya Nyonya Gerda pada seorang petugas kebun binatang.
“Di sana, Nyonya,” jawab petugas.
Nyonya Gerda bergegas melangkah. Ia pun sampai di sebuah tanah lapang yang luas berpagar kayu. Ia melihat banyak rusa berkeliaran di sana. Ada yang sedang makan rumput, rebah di tanah berumput, ada pula yang mendekat ke pagar menerima wortel pemberian pengunjung.
Nyonya Gerda melihat dua rusa sedang makan rumput di bawah pohon. Seketika Nyonya Gerda berteriak.
“Rosaaa! Rosiii!”
Dua rusa itu menoleh, lalu berlari mendekati Nyonya Gerda yang berdiri di luar pagar. Dua rusa itu mengangkat kedua kaki depannya dan Nyonya Gerda menyambut mereka dengan pelukan.
“Kalian masih ingat aku? Oh, aku senang sekali bisa bertemu kalian,” kata Nyonya Gerda terharu.
Orang-orang melihat pemandangan unik itu. Seorang perempuan muda memotret adegan Nyonya Gerda saat memeluk dua rusa itu.
“Apakah Anda mengenal dua rusa ini, Nyonya?” tanya perempuan muda itu.
“Ini Rosa dan Rosi. Dulu, saya memeliharanya sebelum akhirnya ada petugas membawanya ke sini,” jawab Nyonya Gerda.
“Oh, ini sungguh menarik. Boleh saya mewawancarai Anda, Nyonya?”
“Maaf, apakah Anda wartawan?” tanya Nyonya Gerda.
“Ya, begitulah, Nyonya,” sahut si perempuan muda.
Keesokan harinya, Nyonya Margot menyerahkan koran pagi pada Nyonya Gerda.
“Ada berita tentang Anda, Nyonya Gerda. Lihatlah, di halaman pertama,” kata Nyonya Margot.
Nyonya Gerda melihat foto dirinya memeluk dua rusa di halaman pertama koran dan judul berita “Setelah Sepuluh Tahun Berpisah, Nyonya Gerda Bertemu Rosa dan Rosi”.
Nyonya Gerda tersenyum gembira bisa masuk koran. Lebih dari itu, Nyonya Gerda bahagia karena kini dapat mengunjungi Rosa dan Rosi di kebun binatang setiap saat, terutama saat merindukan mereka. (58)

Honey Politics

Cerpen Danang Cahya Firmansah (Suara Merdeka, 01 Oktober 2017)
Honey Politics ilustrasi Suara Merdeka
Honey Politics ilustrasi Suara Merdeka
Alida kaget. Malam itu saat gerimis mengguyur, ia mendapat surat dari mantan kekasih, Dulni. Alida membuka amplop surat itu perlahan. Jemari lentiknya gemetar. Bibir tipis merah merona itu langsung mengeja huruf demi huruf.
“Alida, maaf jika aku menganggu. Pada bulan penuh kasih sayang ini, aku meminta padamu. Pintaku sederhana, Alida. Memang dulu kau pernah menolak lamaranku untuk memperistrimu. Permintaan itu terlalu berlebihan dan kurang ajar, Alida. Tak pantaslah lelaki sepertiku menjadi pendamping hidupmu. Alida, kini pintaku sederhana. Meski kau tak memilihku sebagai suami, tolong kali ini pilihlah aku sebagai gubernurmu. Ini lebih sederhana dan tak memberatkanmu, Alida.
“Alida, jika nanti aku menang pada pilkada dan menjadi gubernur, tentu aku sangat bersyukur. Namun kemenanganku itu akan kusesali jika kau tak mendukungku. Alasanku sederhana, mereka yang memilihku tak lebih tahu darimu. Mereka hanya melihatku dari topengku. Adapun engkau, Alida, ya engkau lebih tahu tentangku lebih dari siapa pun. Jika kau memilihku, itu berarti….”
Alida tak melanjutkan membaca surat itu. Dulni sebelumnya sudah terlupakan dari ingatan Alida. Namun malam itu, sebuah surat datang dan mengingatkan semua. Memori Alida bangkit dari tidur panjang. Surat itu bagai alarm yang membangunkan.
“Huh! Dasar lelaki gombal! Hanya mencari dukungan!” ujar Alida pada surat yang terkulai lesu itu.
Gadis itu berjalan cepat menuju ruang tengah. Ia masih memasang muka cemberut.
“Ada apa, Nak?” tanya Tante Jeni curiga.
“Dulni menggangguku lagi, Ma.”
Tante Jeni mengernyitkan dahi sesaat. Ingatannya samar-samar. Ia meletakkan kue di atas meja. Lalu berbisik, “Dulni?”
“Dia mencalonkan diri jadi gubernur, Ma!” ujar Alida pada sang mama.
Tante Jeni kini mengingat kembali. Dulni lelaki kurus kerempeng itu pernah ia siram saat duduk di taman rumahnya. Lelaki itu pula yang membuat onar karena malam-malam melompati pagar rumahnya. Tante Jeni teringat kembali telah membentak-bentak pemuda itu. Ia campakkan. Waktu itu Tante Jeni begitu kesal. Kekesalan itu bermula saat Dulni menghamili Alida. Dengan marah, Tante Jeni menyuruh Alida menggugurkan kandungan.
“Bukankah para calon gubernur itu tak ada yang bernama Dulni?” tanya Tante Jeni kesal dan penasaran.
“Memang nggak ada, Ma. Dulni itu nama saat ia jadi anak jalanan. Dulni itu bernama asli Darsun!”
Tante Jeni terperanjat kaget. Ia baru mengetahui Darsun adalah nama lain Dulni.
Pantesan, ketika nonton dia di televisi Mama seperti kenal. Tapi kenapa dia makin santun? Dia juga sering mengutip ayat-ayat kitab suci!” ujar Tante Jeni.
“Kan semua calon gubernur begitu, Ma. Wajarlah!”
Wanita paruh baya itu kini menyesali perbuatan pada masa lalunya pada Dulni alias Darsun.
Ia tak menyangka lelaki yang pernah ia sia-siakan itu mencalonkan diri jadi gubernur. Kue di atas meja ia ambil kembali. Tante Jeni berpikir keras.
“Wah bahaya, Nak!”
“Bahaya apa, Ma?”
“Jika Darsun menang, keluarga kita pasti tak aman. Lelaki itu pasti menaruh dendam pada keluarga kita, Nak,” ujar Tante Jeni ketakutan.
Nggak mungkin, Ma. Aku tahu siapa Darsun. Dia bukan pendendam. Lagipula lelaki itu masih mencintaiku,” ujar Alida terkekeh.
Tante Jeni sedikit tenang.
***
Di mata teman-temannya, Alida perempuan yang konsisten terhadap ucapannya. Selain itu, ia dikenal berpendirian keras. Pernah suatu ketika, saat masih menjalin asmara dengan Dulni, ia bersumpah di hadapan teman-teman kuliah. Alida bersumpah tak akan menerima Dulni menjadi suami. Hanya sebatas pacar. Saat itu Dulni begitu malu.
Kali ini, Alida sudah masuk di bilik suara. Ia memandang gambar kedua calon gubernur di kertas suara dengan mata cuek. Alida bimbang. Antara memilih Dulni atau memilih calon lain. Gadis itu teringat isi surat minggu lalu yang ia baca. Ia memandangi mata tulus Dulni di gambar. Tanpa sadar, tangannya mengarahkan paku ke gambar itu.
“Sialan!” gumam Alida kesal.
Tante Jeni menunggu di depan posko. Kipas bambu itu terus ia gerakkan naik-turun. Angin menerpa wajah penuh keringat Tante Jeni. Cemas.
“Ayo cepat pulang,” ujar Tante Jeni sambil menyeret Alida menuju mobil silver di area parkir. Tante Jeni terburu-buru.
“Kau tadi pilih siapa?” tanya Tante Jeni sambil melangkah cepat.
Alida diam. Ia pun merasa kesal atas pilihannya.
***
“Sial. Dia menang, Nak,” ujar Tante Jeni lantang.
Alida langsung berlari ke ruang tengah. Di depan televisi itu, wajah sang mama penuh keringat. Gadis itu justru tersenyum. Menyesal, bangga, cemas menjadi satu dalam pikiran Alida. Perlahan ia membalikkan badan, lalu berjalan ke luar rumah menuju taman. Tiba di taman, ia memandang kursi ayunan yang bergoyang-goyang oleh terpaan angin. Tatapan Alida menerawang jauh ke empat tahun lalu saat bersama Dulni.
Tiba-tiba hape Alida bergetar. Panggilan masuk. Ia mengangkat panggilan itu.
“Halo?”
“Ya, halo. Ini aku, Dulni. Aku ingin tanya apa kau memilihku? Kau menyumbang suara untukku?” ujar lelaki itu tergesa-gesa.
Alida kikuk tak percaya. Perkiraan Alida salah. Surat yang ia baca minggu lalu itu ternyata bukan gombalan semata.
“Alida?”
“Iya aku memilihmu,” ucap Alida jutek.
“Yeaaaahhh. Oke Alida, nanti malam aku ke rumahmu. Melamarmu.”
“Hei, gila!” jawab Alida terperangah kaget.
“Iya! Beneran aku akan ke rumahmu.”
Sambungan telepon itu terputus. Alida berlari menuju ruang tamu. Jantung gadis itu berdetak kencang.
“Ma, Dulni mau ke rumah kita.”
Mendengar suara itu, Tante Jeni langsung pingsan. Ia jatuh tersungkur di lantai. Alida berupaya menyadarkan, tetapi sang mama diam. Tubuhnya terkulai tanpa daya. Alida mencoba membopong tubuh penuh keringat itu, tetapi tak mampu. Kepala Tante Jeni berbantal paha putih Alida.
“Alida,” tiba-tiba Tante Jeni memanggil lirih.
“Ma, Dulni ke sini itu mau melamarku,” ucap Alida ke telinga Tante Jeni.
Spontan tubuh terkapar itu bangun dan berdiri. Tante Jeni lalu berkata, “Benarkah?”
Alida mengangguk seraya tersenyum. Tante Jeni bergairah kembali dan bangga. Lalu ia jatuh pingsan kembali. Pingsan bahagia.
***
Sore hari, semua makanan telah siap. Di depan rumah telah terpasang spanduk bertuliskan “Selamat Datang Gubernur Pilihanku”. Kursi-kursi telah rapi berjajaran di halaman rumah. Beberapa satpam telah berjaga di depan pintu gerbang rumah Alida. Sementara beberapa orang masih sibuk menyapu lantai.
Tante Jeni mengenakan gaun sutera. Sementara Om Gunadi memakai jas hitam mengilap dengan dasi merah di leher. Sepatu kulit menjangan. “Anakku, benarkah kau mencintai Dulni?”
“Iya, Ayah. Entahlah, semenjak ia menjadi gubernur aku justru terpana. Ia menjadi ganteng. Aku menerima sepenuh hati, Yah,” jawab Alida dengan mata berkaca-kaca. Bahagia.
“Baiklah,” timpal sang ayah dengan nada berwibawa sembari membenahi dasi.
Tante Jeni hanya tersenyum bahagia.
Telah berjam-jam keluarga Om Gunadi menunggu sang gubernur terpilih. Namun tamu agung itu tak kunjung tiba. Keluarga itu gelisah. Mereka tak sabar.
Jam demi jam berlalu. Om Gunadi cemas. Berkali-kali ia melihat jam tangan. Namun hingga malam makin larut tak ada tanda kedatangan sang gubernur terpilih. Keluarga Om Gunadi menunggu.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sang gubernur terpilih Dulni alias Darsun tak pernah datang ke rumah Alida. Sementara spanduk bergambar Dulni masih terpampang di depan rumah Alida. Gambar Dulni di spanduk dengan senyum merekah.
Alida kini mendapat kabar. Kabar bukan dia seorang yang mendapat surat itu. Darsih, Sulastri, Intan, Maya, Nia, dan perempuan lain di kota ini mendapat surat pula dari Darsun. Ia geram sambil berbisik, “Honey politics!”
Melihat sang anak bersedih, Om Gunadi mendekat. Ia mengusap-usap rambut hitam Alida. Ia menenangkan.
“Agama saja dijadikan alat dan tunggangan untuk menjadi penguasa. Apalagi mantan kekasih,” ujar Om Gunadi pada Alida.
Tante Jeni mendekati Alida. Ia nimbrung. “Agama yang suci saja dijadikan alat menjadi penguasa. Apalagi mantan kekasih yang sudah dinodai kesuciannya,” ujar Tante Jeni bermuram durja.
Mereka bertiga saling berpandangan. Kecewa. (44)

Semarang, 15 Februari 2017
-Danang Cahya Firmansah menulis puisi dan esai, bergiat di Lingkar Studi Kebudayaan Indonesia (LSKI).