Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cerpen Ratnani Latifah (Republika, 01 Oktober 2017) Membakar Langgar ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Kosim mengumpulkan warga. Ketika mereka sudah berbondong-bondong
datang, dipandangnya lekat-lekat orang yang berjejer itu. Kosim menghela
napas. Lalu tangan kanannya yang sudah membawa oncor membuat kuda-kuda
untuk melemparkannya.
“Karepmu opo, Sim, gawe geger deso bengi-bengi (Maksudmu apa, Sim, membuat gaduh malam-malam).” Seorang bapak menatap tidak suka pada Kosim. Benci.
“Koe pengen kuwalat bakar tempat iki? ngerti, ora!(Kamu ingin mendapat azab dengan membakar tempat ini? Kamu mengerti, tidak!)”
Kosim hanya tersenyum miring. “Lho buat apa dibiarkan to, Pak. Kalau
setiap hari hanya dikosongkan. Tidak ada yang menghidupkan tempat ini.
Tidak ada manfaatnya. Kata Bapak, apa-apa yang tidak dimanfaatkan lagi,
lebih baik dimusnahkan saja. Iya, kan?”
***
Semua warga telah disuruh bubar. Juga para pemuda yang memang sudah
dipengaruhi kegilaan Kosim. Kini hanya tinggal Kosim dan Pak Lurah yang
saling berhadapan. Sungguh tidak habis pikir setan mana yang merasuki
Kosim hingga memiliki niat mengerikan itu. Membakar langgar? Sama saja
membakar pertumbuhan Islam. Langgar adalah tempat ibadah suci. Pemuda
ini sungguh keterlaluan. Entah apa yang membuatnya memiliki pemikiran
itu.
“Dasar boncah gendeng (Dasar anak gila),” begitulah umpatan
dari suara yang tidak lain milih Pak Lurah yang sekaligus pakleknya.
Sejak satu minggu setelah Kosim kembali ke desa memang banyak kejadian
yang meresahkan warga. Kosim dicap sebagai pembuat ulah. Seperti malam
ini yang mau membakar langgar. Dua hari lalu dia juga membuat geger
karena mengumpulkan pemuda karang taruna untuk demo guna menggagalkan
penggusuran lahan pemakaman yang konon akan dipakai untuk memperluas
pertokoan di sana. Dan entah apalagi yang akan diperbuatnya nanti.
“Karepmu opo, hah!? (Maksudmu apa, hah!?) Ini ilmu yang kamu dapat dari pondok? Dasar bocah sesat!”
Kosim masih diam. Tidak membantah sama sekali. Membiarkan segala sumpah serapah Pak Lurah terus diucapkan.
“Sabar, Pak.” Suara lain terdengar mengingatkan.
“Koe meneng ae (kau diam saja), Bu. Biar aku yang urus anak kurang ajar ini!”
Pak Lurah memerintah.
“Saya hanya mengikuti ajaran Pak Lek. Menghancurkan segala hal yang
sudah tidak bisa diambil manfaat. Toh, langgar ini sudah jarang dipakai.
Kenapa harus dipertahankan?”
Gigi Pak Lurah bergemeletuk. Matanya melotot. Bocah ini sungguh
membuat tekanan darahnya naik. Kapan dia pernah mengatakan langgar bisa
seenak udelnya main bakar? Yah, meski langgar itu saat ini jarang
diramaikan seperti dulu, langgar tetaplah langgar. Tempat ibadah pada
Pencipta Alam.
“Wes, to, Le (sudahlah, Nak). Jangan buat masalah. Jangan
buat pak lekmu marah.” Seorang wanita setengah baya menyentuh
pergelangan tangan Kosim. Mengiba. Menatap lamat Kosim untuk mengalah.
Tidak tahan rasanya melihat suami dan keponakannya saling adu pendapat.
Memang sejak orang tua Kosim meninggal karena kecelakaan, dia tinggal
dengan keluarga Pak Lurah. Yah Ibu Kosim adalah adik dari Bu Lurah.
Kosim dianggap aneh. Ketika disuruh masuk sekolah negeri malah memilih
masuk pondokan. Eh, pulang-pulang bukannya melakukan dakwah malah bikin
keonaran. Tentu saja hal itu membuat Pak Lurah yang tidak lain adalah
pak leknya jadi berang. Bocah tidak tahu diuntung. Itulah sebutan yang
Kosim sandang.
“Tobat, Sim. Pikir dulu kalau mau melakukan sesuatu,” sinis Pak Lurah
sebelum akhirnya berhasil dibujuk istrinya, untuk meninggalkan Kosim
sendirian di ruang tamu.
“Saya sudah memikirkan semua masak-masak, Pak Lek,” gumam Kosim lirih.
Dalam perjalannya itu, ingatan yang dimiliki menjelajah ke masa lalu.
Ketika tempat ini belum berubah. Ketika suara adzan masing
dikumandangkan. Bacaan ayat suci masih dilantukan. Ya, itu kejadian
dulu. Saat dirinya masih kecil. Sebelum semuanya berubah. Kosim menghela
napas. Lompatan masa lalu masih menggelayutinya.
“Desa ini dulunya ‘bercahaya’. Memiliki banyak penerus bangsa dalam
menyiarkan agama. Ada langgar yang sering dijadikan tempat mengaji.
Banyak pemuda dan anak- anak kecil mengaji sambil bermain di sini.
Tempat ini adalah pusat kegiatan desa dalam segala hal. Tapi, sejak
adanya pendatang baru, suasana desa berubah, diramaikan dengan kemajuan
teknologi dan perluasan lapangan pekerjaan. Perlhan tapi pasti, langgar
semakin ditinggalkan. Jarang yang mengurus dan meneruskan perjuangan
simbah-simbah. Nikmat dunia telah melenakan.
Semua kini sibuk mengurusi lahan tani. Mengolah sawah lupa untuk
menghadap Ilahi. Atau ada yang beralasan sibuk dalam perdagangan hingga
tak punya waktu luang barang sebentar. Sibuk dengan urusan kantor hingga
melupakan kewajiban. Anak-anak dibiarkan terjajah televisi dan
internet, tidak diajari mengaji. Setiap bakda Magrib keramaian yang
terjadi telah tergeser. Tidak ada tilawah huruf hijaiyah yang kerap
terdengar. Apalagi shalawat Nabi yang didendangkan. Yang terdengar malah
musik hingar-bingar yang sering merusak telinga. Bahkan, sempat
beberapa kali Kosim melihat langgar dijadikan tempat maksiat. Miris.
Tempat yang kini ramai dikunjungi adalah toserba yang baru dibuka. Di
sana ada wahana permainannya. Juga dibuka bioskop baru. Semua itu
memakai tanah lahan kosong diambil secara paksa. Lahan itu bekas rumah
keluarga Kosim.
“Kan sudah tidak kamu tempati to, Sim. Lebih baik dijual untuk
membuka lapangan pekerjaan baru. Tempat ini strategis,” Pak Lurah
membujuk Kosim. Kejadian itu ketika Kosim baru lulus Madrasah Aliyah.
“Kamu yo tinggal di rumah Pak Lek. Nanti hasil penjualan tanah itu
bisa kamu tabung. Rumah itu sudah tidak layak ditempati lagi. Otomatis
tidak ada gunanya, to, Le. Jadi, tidak apa-apa kalau dihancurkan.”
Yah, seperti langgar yang saat ini ditempati Kosim. Langgar ini sudah
jarang dipakai. Paling hanya segelintir orang atau malah hanya si
marbot. Kalau pun dipakai itu biasanya ketika Ramadhan dua hari raya
saja. Selain hari-hari itu, langgar lebih sering kosong. Tidak ada yang
menghidupkan langgar. Katanya shalat di rumah lebih enak. Dan berderet
alasan lainnya. Jadi, bukankah langgar itu pun pantas untuk dihancurkan?
Dibakar saja? Ini pemikiran yang paling logis. Jika barang tidak
digunakan maka dibuang—dihancurkan. Sama halnya langgar yang tak dirawat
dan digunakan.
***
Esok harinya. Warga saling kasak-kusuk membicarakan Kosim. Juga
membicaran insiden yang baru-baru ini terjadi. Selain itu, mereka
sepertinya penasaran dengan ulah apa lagi yang akan diperbuat Kosim.
Tapi sedari pagi hingga menjelang petang pemuda itu tidak kelihatan
batang hidungnya.
“Si Kosim tumben tak kelihatan. Biasanya dia itu suka ribut dan cari
perkara. Lulusan pondokan yang aneh.” Jali si tukang sayur mesam-mesem.
“Iya, mungkin dia malu, Jal. Atau malah sudah diserahkan ke aparat
oleh Pak Lurah. Dia itu tidak waras,” Openg tukang ojek ikut menimpali.
“Tapi, kalau dipikirkan lagi usul Kosim ada benarnya, lho.” Ucapan Manto langsung membuat Jali dan Openg mengeryitkan dahi.
“Begini, Kang,” Manto yang memang paling muda itu mencoba menjelaskan.
“Langgar itu kan memang sudah jarang dirawat. Bahkan jarang dipakai
untuk ngaji. La shalat jaamaah saja jarang. Biasanya yang ngisi cuma Pak
Husain, si tukang marbot.” Manto mengela napas. “Ditambah lagi,
akhir-akhir ini, langgar itu kerap dijadikan tempat mesum karena cahaya
redup yang tidak mencolok,” Manto menambahi. Dia mengelus dada.
“Jadi …?” Jali dan Openg mengejar.
“Yah, si Kosim marah. Langgar kan harusnya digunakan untuk ibadah,
tapi nyata tidak to? Eh, malah ada gosip miring itu. Jadi sekalian
dibakar saja, biar tidak membuat perkara.”
Jali dan Openg mengangguk. “Kalau begitu kamu mendukung ya kalau langgar dibakar?”
Manto tertawa. “Tentu saja tidak, Kang. Kita harus mencari Kosim dan
mendiskusikan cara terbaik agar langgar tetap berdiri dan ramai
dikunjungi seperti sedia kala.” Mereka pun bergegas pergi mencari alumni
pondokan itu.
***
Kosim mendongkak. Menatap langit. Sebenarnya bukan tanpa alasan
kenapa Kosim melakukan ini semua. Dia memang sengaja membuat marah warga
dan memancing mereka. Yah, Kosim punya tujuan. Ada hal yang ingin dia
tunjukkan. Sebuah tujuan yang sejak dulu selalu diharapkanya. Ini
tentang sebuah misi yang di embannya; sebuah perjuangan. Dia hanya ingin
mengingatkan warga di tempatnya akan kembali pada jalan yang benar.
Meski bisa dibilang cara yang dia lakukan agak kasar.
Yah, sejak desanya berubah, Kosim selalu memikirkan cara untuk
mengajak penduduk untuk kembali ke jalan Allah. Kosim terus berpikir dan
berpikir. Hingga akhirnya timbul keinginan untuk memancing warga. Tapi
setelah dia pikirkan lagi, cara itu mungkin akan memiliki dampak yang
akan membuatnya menyesal.
Dia teringat dengan nasihat pak kiai dulu. “Kau tahu, Sim. Dakwah
yang baik itu dengan paksaan apalagi sampai mendatangkan pertumpahan.
Tapi rengkuhlah dengan kasih sayang dan kesabaran. Peperangan adalah
cara terakhir jika memang sudah tidak ada pilihan.”
Kosim menghela napas, terdiam cukup lama. Menatap lamat bangunan langgar yang kini sungguh mengenaskan.
“Sepertinya aku memang harus melakukan dengan cara lain.” Kosim tersenyum. Dia mulai mengambil apa-apa yang diperlukan.
“Tunggu, Sim!”
Berbondong-bondong warga tiba-tiba datang. Bahkan Pak Lurah alias pak
leknya. Menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Kosim
hanya tersenyum.
“Ealah tak kira langgar jadi kamu bakar. Soalnya ada asap
mengepul dari sini. Ternyata kamu bersih-bersih langgar, to. Membakar
sampah. Sini tak bantu.”
Kosim hanya mengangguk. Ya, dia tidak akan membakar langgar. Dia akan
memugarnya, agar layak ditempati sebagai rumah ibadah dan dijadikan
tempat mengais ilmu. Dia akan mengajak warga kembali me negakkan tiang
agama—shalat dan mengajarkan anak-anak mengaji. Itulah cara pertama yang
akan dijadikan jalannya.
Cerpen dan resensinya pernah dimuat di berbagai media. Buku solonnya, Bingkai Kasih Khazanah Jiwa?? (Quanta—Elex Media Komputindo, 2016), Dongeng Fantasi Pembentuk Kepribadian Baik (Visi Mandiri, 2017), Seri Pembentuk Karakter “Belajar Bertanggung Jawab” (Visi Mandiri, 2017). Buku antologinya, antara lain Ramadhan in Love (Indiva, 2015), kumpulan puisi Luka- Luka Bangsa (PMU, 2015), Lot & Purple Hole (Elex Media Kompuntindo, 2015), The Power of Believe (Diva Press, 2016). Alumni Unisnu Jepara. Bisa dihubungi di akun FB Ratna Hana Matsura. Atau blog http://tulisanelratnakazuhana.blogspot.co.id
Cerpen Ganda Pekasih (Media Indonesia, 01 Oktober 2017) Mata yang Menyiksa ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
SUDAH beberapa minggu perempuan bermata sedih itu tinggal di rumah
pengembaraan, di sebuah kota di mana kabut lebih sering muncul. Apa yang
disedihkan perempuan itu adalah kesedihan tentang seorang lelaki yang
wajahnya berlumuran darah karena membutakan matanya sendiri.
Kota yang lebih sejuk dan sore terasa lebih cepat tiba pada senja
menambah kuat ingatannya selalu pada lelaki itu, di mana dia terus pergi
mencarinya dari satu kota ke kota lainnya. Sembilan tahun sudah dia
melewati gugus waktu dalam kesendirian.
Saat dia membeli tanaman-tanaman hutan yang menjalar dan anggrek
kesukaannya di sebuah tepi jalan, sore yang sedang dihujani merah
tembaga matahari sebelum disapu kabut dia melihat seorang lelaki
bertongkat berjalan seorang diri, lelaki itu buta, dan dia sungguh
terkejut melihat caranya berjalan yang sangat ia kenal, rambut sebahu
ikal ciri khasnya, warna pakaiannya masih seperti warna-warna yang
disukainya dulu. Ranu!
Ah, di kota ini akhirnya dia temukan lelaki itu, lelaki yang wajahnya
pernah berlumuran darah kala dia membutakan matanya sendiri. Sepasang
mata tampan yang tak melihat itu tentu saja tak bisa mengungkapkan lagi
cinta dengan sinarnya. Dia tampak berjalan pelan dan tertatih-tatih
dengan tongkatnya itu menyusuri sore ke arah matahari terbenam, dulu dia
seorang lelaki yang gagah, kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya
sendiri saat mereka telah bertunangan dan waktu pernikahan sudah
ditetapkan. Mau ke mana dia seiring senja jatuh? Ranu.
Suara tongkatnya terdengar memukuli kerikil tepi jalan. Dia mencoba
mengikutinya beberapa puluh meter, air matanya deras berjatuhan, dia tak
sanggup untuk menyapa dan akhirnya berbalik arah, pulang tergesa,
menjatuhkan dirinya di ranjang yang sepi.
***
Kata orang-orang di tikungan ujung perumahan di kaki bukit sejuk itu,
biasanya dia ke kedai kopi langganannya untuk merokok, bertemu
teman-temannya dan ngobrol dengan siapa saja yang mampir ke kedai kopi
itu, lalu dia melanjutkan pergi ke tepi danau, bekerja menjaga beberapa
petak ladang bunga.
Dia pernah cerita kepada orang-orang, menikam kedua matanya sendiri
karena melihat perselingkuhan calon istrinya, di malam acara pelepasan
lajang perempuan itu, yang tak bisa menolak bujuk rayu bekas pacar di
masa lalu, cinta yang pernah membutakan jiwa mereka. Beberapa temannya
membawa botol-botol minuman, berpesta agak liar, jauh di luar
keinginannya dan nyaris mereka semua minum hingga terjadi perselingkuhan
itu. Ranu, tunangannya yang sengaja tak diundang datang, dia melihat
dengan mata kepalanya sendiri di kamar pesta itu, dan mereka tak
memiliki alasan untuk khilaf.
Ranu, lelaki yang sangat dirindukannya itu, bertahun-tahun sudah dia
mencarinya, dia membutakan matanya karena tak sanggup melihat petaka
itu, berdarah-darah di malam pesta, pemandangan yang mengerikan.
Pemandangan yang tak pernah pergi dari pikirannya.
Setiap sore dan senja turun hingga malam dia berdiri menunggu lelaki
itu kembali lewat di depan taman penjual bunga bunga hutan dan anggrek,
tapi saat lelaki itu muncul mengayun tongkatnya, dia yang sudah dekat di
belakang mengikuti hingga puluhan meter tak berani menyapa sedikitpun,
apalagi mengeluarkan suaranya yang terisak, bahkan dia takut lelaki itu
akan mengetahui kehadirannya.
Hingga suatu ketika lelaki itu menghentikan langkahnya, mematung,
perlahan dia memalingkan wajah ke belakang, ke kiri dan ke kanan, dia
mungkin sudah tahu sejak pertama perempuan itu mengikutinya beberapa
hari lalu, aroma tubuh perempuan itu pasti terendus hidungnya bercampur
bau anggrek hutan kegemarannya. Lelaki itu tampak acuh saja kemudian
melanjutkan perjalanan.
Sepetak ladang bunga itu mulai mekar di bawah bulan, tak ada angin
berhembus kecuali hening, serangga-serangga kecil mengisi kesunyian
menikmati aroma bunga-bunga.
Ketika terdengar suara kokok ayam dia pun pulang, kicau-kicau burung
beraneka suara mengiringi langkahnya, rumahnya hampir lima kilometer
dari petak petak ladang-ladang bunga itu, di tepi lembah yang berbatu
batu. Melewati kembali tikungan yang agak sedikit ramai dengan deretan
penjual bunga segar tempat dia biasa singgah sekejap minum kopi dan
merokok sebelum istirahat memejamkan mata di rumah, mata yang tak
melihat apa pun sejak peristiwa berdarah itu, kecuali kegelapan cintanya
yang dikhianati.
***
Memperhatikan dan mengikuti laki-laki itu beberapa kali lalu akhirnya
terisak pulang kini perempuan itu sampai di ladang bunga. Mereka
sama-sama tiba di sana, duduk berjarak beberapa meter. Lelaki itu
menyadari sudah begitu sering dia terus diikuti. Dia pernah yakin tak
akan pernah berjumpa lagi dengan gadis yang pernah bertunangan dengannya
itu. Dia yakin itu Mayan. Apa yang dicarinya datang ke tempat ini?
Bukankah semua sudah berlalu?
Setelah mereka hanya membisu, Mayan akhirnya tak bisa lebih lama lagi
membeku. “Aku ingin buta seperti juga kau Ranu, aku merindukanmu,
sangat merindukanmu,” Mayan terisak.
Angin malam berdesir, bunga-bunga mulai bermekaran dini hari berlomba menjumpai pagi. “Apa yang kau cari lagi, Mayan?”
Lelaki itu bangkit, berjalan ke tengah ladang bunga dan memetik beberapa Rose, memberikannya kepada Mayan.
“Ini ladang bibiku, aku hanya menjaganya sebelum pagi dipetik untuk dibawa ke pelelangan.”
“Terima kasih.” Mayan menghirup serumpun Rose mekar dalam-dalam.
Butakanlah mataku dengan tangkai-tangkai mawar ini Ranu biar kita
menjadi sepasang kekasih buta. Aku lama mencarimu. Aku menderita sejak
melihat darah itu. Aku sungguh menyesali semua itu.”
“Tak boleh Mayan, mata tak berguna tanpa cahaya.”
“Aku merindukanmu hidup bersama. Aku tahu khianat manapun tak ada
yang bisa menandingi kecewamu, aku akan mengobati lukamu, mengabdi
padamu.”
“Sudah terlambat, Mayan.”
“Aku ingin buta bersamamu Ranu, aku sudah lama mencarimu, Ranu.”
Mayan memeluk Ranu sekuat tangannya.
Lalu bunga-bunga bermekaran.
Dan pagi hari mereka pulang, diiringi mentari, Mayan ikut ke rumah
Ranu. Mereka disambut seorang perempuan dengan sepotong tongkat seperli
Ranu dan matanya buta. Mayan tercekat!
“Dia istriku, namanya Layonsari, kami sudah kenal lama di daerah ini,
dia membutakan matanya sendiri karena melihat perselingkuhan suaminya,
lalu dia datang menemuiku dan kami saling membutuhkan, mencintai dalam
kebutaan, seiring waktu kami merasa mata kami tidak buta, cinta kami
bercahaya.”
Mayan dilibas cemburu. Perempuan buta itu mendekati Mayan, merabai wajahnya, menelusuri bahu dan rambut Mayan.
“Kau perempuan yang cantik,” dengusnya tak suka.
Nafas Mayan memburu.
“Kau pasti perempuan yang bernama Mayan itu. Limbo pernah menceritakanmu. Hh, kau ternyata!”
Mayan terpatung, Layonsari mundur beberapa langkah.
“Aku tak mau berjumpa lagi dengan Koko!” Tiba-tiba dia histeris. “Dia
jahat, dia tak boleh mencariku ke sini hanya karena suatu saat nanti
dia menyesali perbuatan selingkuhnya, seperti perempuan ini, yang
membuat kekasihnya membutakan matanya sendiri lalu dia datang mencarinya
mengatakan dia sangat bersalah! Tidak! Pergii kau!! pergi!”
Mayan bergidik ngeri mendengar ucapan perempuan itu, perempuan yang
pasti sangat membenci lelaki yang membuatnya membutakan matanya sendiri,
seperti juga bencinya Ranu dulu padanya. Lalu perempuan itu tampak
menggapai-gapai ke arah Ranu, begitu dapat tubuh Ranu langsung dia peluk
dengan erat.
Mayan bergetar melihat pasangan buta itu, dilibas rasa cemburu.
“Butakanlah mataku, aku sangat cemburu! Itulah balasan yang pantas
untukku! Aku tak akan menyesal!” Mayan mendekatkan wajahnya ke arah
Layonsari sambil dia mengulurkan tangkai-tangkai Rose yang panjang
berduri.
Ranu menggapai-gapai mendekati Mayan.
“Pergilah Mayan, tolong pergi dari sini, jangan ganggu kami.”
Mayan makin dilibas cemburu, Ranu mengusirnya, yang lama dia cari
bertahun-tahun. Mayan merasa hancur berkeping! Merasa sangat pantas jika
dia membutakan mata sedihnya, itu setimpal dengan kemarahan Ranu dulu,
tak perlu lewat tangan mereka, tapi dengan kedua tangannya sendiri. Tapi
jika dia membutakan matanya sendiri bukankah Ranu sudah tak bisa
melihat darah-darah itu, tak bisa. Jadi percuma saja karena Ranu tak
akan melihat pengorbanannya.
***
Limbo dan istrinya melewati jalan ke arah matahari jatuh,
bergandengan tangan, istrinya itu pasti tak membiarkan lagi suaminya
pergi sendiri, juga tak ingin kekasihnya dari masa lalu datang lagi
mendekat membawa penyesalan, ujung tongkatnya ia sambarkan ke sana ke
mari.
Mayan terisak, sudah beberapa sore mereka memamerkan cinta dan
kemesraan itu, tak memberinya lagi kesempatan sedetikpun didekati. Mayan
melemparkan tangkai-tangkai rose berduri dan bergegas lari. Ranu
beruntung menemukan lagi sosok yang dicintanya, sedang dia akan
mengembarai lorong, tempat sunyi, dengan sepasang mata sedihnya yang
tanpa cahaya kecuali air mata. Air mata yang terus mengalir deras.
Menjelang malam, di tikungan jalan, Mayan mulai tergoda, ayo
segeralah butakan matamu, segeralah. Dengan ranting yang dipungutnya di
pinggir jalan mayan pun membutakan sebelah matanya, sebelah saja. Darah
mengalir, sakit terasa, bagaikan cinta yang disakiti begitu lama. Ia pun
termenung dengan hanya sebelah mata buta, tapi ia masih bisa melihat,
membutakan kedua matanya serasa ia tak sanggup. Ia tertatih-tatih hanya
dengan sebelah mata kini, perasaan kehilangan, cinta, dan luka itu tak
bisa terbang-terbang dari jiwanya, agaknya Mayan harus membutakan
sebelah lagi, agar ia dapat kembali berjalan menemui Ranu.***
Sejumlah karya Ganda Pekasih sudah dimuat di sejumlah media massa. Bukunya Al: Maha Suci Cinta-Mu dan Bidadari-Bidadari Bumi.
Cermin Sulistiyo Suparno (Suara Merdeka, 01 Oktober 2017) Nyonya Gerda dan Sepasang Rusa ilustrasi Suara Merdeka
Nyonya Gerda tinggal di lereng sebuah bukit. Suaminya tentara, gugur
dalam sebuah pertempuran. Suatu hari, ketika pulang dari mengunjungi
makam sang suami, Nyonya Gerda melihat dua ekor anak rusa. Nyonya Gerda
membawa pulang sepasang rusa itu dan memberi mereka nama Rosa dan Rosi.
Nyonya Gerda pandai membuat roti, kue, dan penganan lainnya. Ia
menitipkan roti, kue, dan penganan buatannya di toko Nyonya Martha di
kampung. Nyonya Gerda membawa serta sepasang rusa miliknya.
“Wah, rusa-rusamu sudah besar ya, Nyonya Gerda?” kata Nyonya Martha.
“Ya, Nyonya Martha. Bersama mereka, aku tidak kesepian lagi,” sahut Nyonya Gerda.
“Aku senang mendengarnya. Dan, ini uang hasil penjualan rotimu selama minggu ini,” kata Nyonya Martha.
“Terima kasih, Nyonya Martha. Saya senang bekerja sama dengan Anda,” sahut Nyonya Gerda.
Suatu hari, sebuah kereta kuda berhenti di depan rumah Nyonya Gerda.
Dua orang perempuan turun dari kereta, lalu menemui Nyonya Gerda. Dua
perempuan itu adalah petugas dari kantor Biro Penyelamat Satwa. Mereka
mengatakan bahwa Nyonya Gerda tidak boleh memelihara rusa. Karena rusa
adalah hewan yang dilindungi oleh kerajaan.
“Kalian akan membawa Rosa dan Rosi?” tanya Nyonya Gerda sedih.
“Benar, Nyonya. Kami akan membawa rusa-rusa milik Anda ke Kotapraja.
Kami akan memelihara mereka di kebun binatang. Ini aturan kerajaan.
Kalau Anda melanggar, Anda bisa masuk penjara, Nyonya,” kata salah satu
petugas.
“Oh, maafkan saya. Saya tidak tahu tentang peraturan itu,” sahut Nyonya Gerda.
Dua petugas itu pun membawa dua rusa kesayangan Nyonya Gerda. Sebelum
kereta itu berangkat, Nyonya Gerda bertanya, “Bolehkah bila suatu saat
aku mengunjungi Rosa dan Rosi?”
“Silakan, Nyonya. Nyonya dapat mengunjungi kebun binatang kapan pun Nyonya mau,” kata seorang petugas.
***
Setelah kepergian sepasang rusa itu, hidup Nyonya Gerda terasa sepi.
Orang-orang, termasuk Nyonya Martha bersimpati pada Nyonya Gerda.
“Perbuatanmu sungguh mulia, Nyonya Gerda,” kata Nyonya Martha.
“Terima kasih, Nyonya Martha. Saya berharap Rosa dan Rosi mendapatkan perlakuan yang layak di Kotapraja,” sahut Nyonya Gerda.
“Semoga, Nyonya Gerda. Dan, ini uang hasil penjualan rotimu minggu ini, Nyonya Gerda,” kata Nyonya Martha.
“Terima kasih, Nyonya Martha,” sahut Nyonya Gerda.
“Oh ya, saya punya rencana bagus, Nyonya Gerda,” kata Nyonya Martha.
“Rencana apa, Nyonya Martha? Boleh saya tahu?”
“Tentu saja boleh,” sahut Nyonya Martha.
“Margot, kakakku, akan membuka toko roti di Kotapraja. Saya
mengusulkan Anda untuk menjadi koki di sana. Anda bersedia, Nyonya
Gerda?”
“Tetapi, bagaimana dengan rumah saya? Siapa yang akan mengurusnya?” tanya Nyonya Gerda.
“Jangan kawatir, Nyonya Gerda. Biar saya dan suami yang akan mengurus rumah Anda,” jawab Nyonya Martha.
“Oh, terima kasih. Anda sungguh baik pada saya. Baiklah, saya
bersedia menjadi koki untuk kakak Anda, Nyonya Martha,” sahut Nyonya
Gerda.
***
Nyonya Gerda pindah ke Kotapraja. Ia menjadi koki di Toko Roti Nyonya
Margot. Roti buatan Nyonya Gerda sangat lezat, sehingga banyak pembeli
yang senang. Toko roti itu pun semakin ramai dikunjungi pembeli. Suatu
hari Nyonya Gerda mendapatkan libur.
“Anda hendak berwisata ke mana, Nyonya Gerda?” tanya Nyonya Margot.
“Saya belum tahu, Nyonya Margot,” sahut Nyonya Gerda.
“Apakah di Kotapraja ada tempat wisata yang menarik?”
“Ada beberapa, tetapi yang paling menarik adalah kebun binatang,” jawab Nyonya Margot.
Seketika wajah Nyonya Gerda berubah ceria. Keesokan harinya, Nyonya
Gerda berkunjung ke kebun binatang. Ia mencari-mencari tempat yang
diinginkan.
“Bisa Anda tunjukkan pada saya, di mana tempat rusa?” tanya Nyonya Gerda pada seorang petugas kebun binatang.
“Di sana, Nyonya,” jawab petugas.
Nyonya Gerda bergegas melangkah. Ia pun sampai di sebuah tanah lapang
yang luas berpagar kayu. Ia melihat banyak rusa berkeliaran di sana.
Ada yang sedang makan rumput, rebah di tanah berumput, ada pula yang
mendekat ke pagar menerima wortel pemberian pengunjung.
Nyonya Gerda melihat dua rusa sedang makan rumput di bawah pohon. Seketika Nyonya Gerda berteriak.
“Rosaaa! Rosiii!”
Dua rusa itu menoleh, lalu berlari mendekati Nyonya Gerda yang
berdiri di luar pagar. Dua rusa itu mengangkat kedua kaki depannya dan
Nyonya Gerda menyambut mereka dengan pelukan.
“Kalian masih ingat aku? Oh, aku senang sekali bisa bertemu kalian,” kata Nyonya Gerda terharu.
Orang-orang melihat pemandangan unik itu. Seorang perempuan muda memotret adegan Nyonya Gerda saat memeluk dua rusa itu.
“Apakah Anda mengenal dua rusa ini, Nyonya?” tanya perempuan muda itu.
“Ini Rosa dan Rosi. Dulu, saya memeliharanya sebelum akhirnya ada petugas membawanya ke sini,” jawab Nyonya Gerda.
“Oh, ini sungguh menarik. Boleh saya mewawancarai Anda, Nyonya?”
“Maaf, apakah Anda wartawan?” tanya Nyonya Gerda.
“Ya, begitulah, Nyonya,” sahut si perempuan muda.
Keesokan harinya, Nyonya Margot menyerahkan koran pagi pada Nyonya Gerda.
“Ada berita tentang Anda, Nyonya Gerda. Lihatlah, di halaman pertama,” kata Nyonya Margot.
Nyonya Gerda melihat foto dirinya memeluk dua rusa di halaman pertama
koran dan judul berita “Setelah Sepuluh Tahun Berpisah, Nyonya Gerda
Bertemu Rosa dan Rosi”.
Nyonya Gerda tersenyum gembira bisa masuk koran. Lebih dari itu,
Nyonya Gerda bahagia karena kini dapat mengunjungi Rosa dan Rosi di
kebun binatang setiap saat, terutama saat merindukan mereka. (58)
Cerpen Danang Cahya Firmansah (Suara Merdeka, 01 Oktober 2017) Honey Politics ilustrasi Suara Merdeka
Alida kaget. Malam itu saat gerimis mengguyur, ia mendapat surat dari
mantan kekasih, Dulni. Alida membuka amplop surat itu perlahan. Jemari
lentiknya gemetar. Bibir tipis merah merona itu langsung mengeja huruf
demi huruf.
“Alida, maaf jika aku menganggu. Pada bulan penuh kasih sayang ini,
aku meminta padamu. Pintaku sederhana, Alida. Memang dulu kau pernah
menolak lamaranku untuk memperistrimu. Permintaan itu terlalu berlebihan
dan kurang ajar, Alida. Tak pantaslah lelaki sepertiku menjadi
pendamping hidupmu. Alida, kini pintaku sederhana. Meski kau tak
memilihku sebagai suami, tolong kali ini pilihlah aku sebagai
gubernurmu. Ini lebih sederhana dan tak memberatkanmu, Alida.
“Alida, jika nanti aku menang pada pilkada dan menjadi gubernur,
tentu aku sangat bersyukur. Namun kemenanganku itu akan kusesali jika
kau tak mendukungku. Alasanku sederhana, mereka yang memilihku tak lebih
tahu darimu. Mereka hanya melihatku dari topengku. Adapun engkau,
Alida, ya engkau lebih tahu tentangku lebih dari siapa pun. Jika kau
memilihku, itu berarti….”
Alida tak melanjutkan membaca surat itu. Dulni sebelumnya sudah
terlupakan dari ingatan Alida. Namun malam itu, sebuah surat datang dan
mengingatkan semua. Memori Alida bangkit dari tidur panjang. Surat itu
bagai alarm yang membangunkan.
“Huh! Dasar lelaki gombal! Hanya mencari dukungan!” ujar Alida pada surat yang terkulai lesu itu.
Gadis itu berjalan cepat menuju ruang tengah. Ia masih memasang muka cemberut.
“Ada apa, Nak?” tanya Tante Jeni curiga.
“Dulni menggangguku lagi, Ma.”
Tante Jeni mengernyitkan dahi sesaat. Ingatannya samar-samar. Ia meletakkan kue di atas meja. Lalu berbisik, “Dulni?”
“Dia mencalonkan diri jadi gubernur, Ma!” ujar Alida pada sang mama.
Tante Jeni kini mengingat kembali. Dulni lelaki kurus kerempeng itu
pernah ia siram saat duduk di taman rumahnya. Lelaki itu pula yang
membuat onar karena malam-malam melompati pagar rumahnya. Tante Jeni
teringat kembali telah membentak-bentak pemuda itu. Ia campakkan. Waktu
itu Tante Jeni begitu kesal. Kekesalan itu bermula saat Dulni menghamili
Alida. Dengan marah, Tante Jeni menyuruh Alida menggugurkan kandungan.
“Bukankah para calon gubernur itu tak ada yang bernama Dulni?” tanya Tante Jeni kesal dan penasaran.
“Memang nggak ada, Ma. Dulni itu nama saat ia jadi anak jalanan. Dulni itu bernama asli Darsun!”
Tante Jeni terperanjat kaget. Ia baru mengetahui Darsun adalah nama lain Dulni.
“Pantesan, ketika nonton dia di televisi Mama seperti kenal.
Tapi kenapa dia makin santun? Dia juga sering mengutip ayat-ayat kitab
suci!” ujar Tante Jeni.
“Kan semua calon gubernur begitu, Ma. Wajarlah!”
Wanita paruh baya itu kini menyesali perbuatan pada masa lalunya pada Dulni alias Darsun.
Ia tak menyangka lelaki yang pernah ia sia-siakan itu mencalonkan
diri jadi gubernur. Kue di atas meja ia ambil kembali. Tante Jeni
berpikir keras.
“Wah bahaya, Nak!”
“Bahaya apa, Ma?”
“Jika Darsun menang, keluarga kita pasti tak aman. Lelaki itu pasti
menaruh dendam pada keluarga kita, Nak,” ujar Tante Jeni ketakutan.
“Nggak mungkin, Ma. Aku tahu siapa Darsun. Dia bukan pendendam. Lagipula lelaki itu masih mencintaiku,” ujar Alida terkekeh.
Tante Jeni sedikit tenang.
***
Di mata teman-temannya, Alida perempuan yang konsisten terhadap
ucapannya. Selain itu, ia dikenal berpendirian keras. Pernah suatu
ketika, saat masih menjalin asmara dengan Dulni, ia bersumpah di hadapan
teman-teman kuliah. Alida bersumpah tak akan menerima Dulni menjadi
suami. Hanya sebatas pacar. Saat itu Dulni begitu malu.
Kali ini, Alida sudah masuk di bilik suara. Ia memandang gambar kedua
calon gubernur di kertas suara dengan mata cuek. Alida bimbang. Antara
memilih Dulni atau memilih calon lain. Gadis itu teringat isi surat
minggu lalu yang ia baca. Ia memandangi mata tulus Dulni di gambar.
Tanpa sadar, tangannya mengarahkan paku ke gambar itu.
“Sialan!” gumam Alida kesal.
Tante Jeni menunggu di depan posko. Kipas bambu itu terus ia gerakkan
naik-turun. Angin menerpa wajah penuh keringat Tante Jeni. Cemas.
“Ayo cepat pulang,” ujar Tante Jeni sambil menyeret Alida menuju mobil silver di area parkir. Tante Jeni terburu-buru.
“Kau tadi pilih siapa?” tanya Tante Jeni sambil melangkah cepat.
Alida diam. Ia pun merasa kesal atas pilihannya.
***
“Sial. Dia menang, Nak,” ujar Tante Jeni lantang.
Alida langsung berlari ke ruang tengah. Di depan televisi itu, wajah
sang mama penuh keringat. Gadis itu justru tersenyum. Menyesal, bangga,
cemas menjadi satu dalam pikiran Alida. Perlahan ia membalikkan badan,
lalu berjalan ke luar rumah menuju taman. Tiba di taman, ia memandang
kursi ayunan yang bergoyang-goyang oleh terpaan angin. Tatapan Alida
menerawang jauh ke empat tahun lalu saat bersama Dulni.
Tiba-tiba hape Alida bergetar. Panggilan masuk. Ia mengangkat panggilan itu.
“Halo?”
“Ya, halo. Ini aku, Dulni. Aku ingin tanya apa kau memilihku? Kau menyumbang suara untukku?” ujar lelaki itu tergesa-gesa.
Alida kikuk tak percaya. Perkiraan Alida salah. Surat yang ia baca minggu lalu itu ternyata bukan gombalan semata.
“Alida?”
“Iya aku memilihmu,” ucap Alida jutek.
“Yeaaaahhh. Oke Alida, nanti malam aku ke rumahmu. Melamarmu.”
“Hei, gila!” jawab Alida terperangah kaget.
“Iya! Beneran aku akan ke rumahmu.”
Sambungan telepon itu terputus. Alida berlari menuju ruang tamu. Jantung gadis itu berdetak kencang.
“Ma, Dulni mau ke rumah kita.”
Mendengar suara itu, Tante Jeni langsung pingsan. Ia jatuh tersungkur
di lantai. Alida berupaya menyadarkan, tetapi sang mama diam. Tubuhnya
terkulai tanpa daya. Alida mencoba membopong tubuh penuh keringat itu,
tetapi tak mampu. Kepala Tante Jeni berbantal paha putih Alida.
“Alida,” tiba-tiba Tante Jeni memanggil lirih.
“Ma, Dulni ke sini itu mau melamarku,” ucap Alida ke telinga Tante Jeni.
Spontan tubuh terkapar itu bangun dan berdiri. Tante Jeni lalu berkata, “Benarkah?”
Alida mengangguk seraya tersenyum. Tante Jeni bergairah kembali dan bangga. Lalu ia jatuh pingsan kembali. Pingsan bahagia.
***
Sore hari, semua makanan telah siap. Di depan rumah telah terpasang
spanduk bertuliskan “Selamat Datang Gubernur Pilihanku”. Kursi-kursi
telah rapi berjajaran di halaman rumah. Beberapa satpam telah berjaga di
depan pintu gerbang rumah Alida. Sementara beberapa orang masih sibuk
menyapu lantai.
Tante Jeni mengenakan gaun sutera. Sementara Om Gunadi memakai jas
hitam mengilap dengan dasi merah di leher. Sepatu kulit menjangan.
“Anakku, benarkah kau mencintai Dulni?”
“Iya, Ayah. Entahlah, semenjak ia menjadi gubernur aku justru
terpana. Ia menjadi ganteng. Aku menerima sepenuh hati, Yah,” jawab
Alida dengan mata berkaca-kaca. Bahagia.
“Baiklah,” timpal sang ayah dengan nada berwibawa sembari membenahi dasi.
Tante Jeni hanya tersenyum bahagia.
Telah berjam-jam keluarga Om Gunadi menunggu sang gubernur terpilih.
Namun tamu agung itu tak kunjung tiba. Keluarga itu gelisah. Mereka tak
sabar.
Jam demi jam berlalu. Om Gunadi cemas. Berkali-kali ia melihat jam
tangan. Namun hingga malam makin larut tak ada tanda kedatangan sang
gubernur terpilih. Keluarga Om Gunadi menunggu.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sang gubernur terpilih
Dulni alias Darsun tak pernah datang ke rumah Alida. Sementara spanduk
bergambar Dulni masih terpampang di depan rumah Alida. Gambar Dulni di
spanduk dengan senyum merekah.
Alida kini mendapat kabar. Kabar bukan dia seorang yang mendapat
surat itu. Darsih, Sulastri, Intan, Maya, Nia, dan perempuan lain di
kota ini mendapat surat pula dari Darsun. Ia geram sambil berbisik, “Honey politics!”
Melihat sang anak bersedih, Om Gunadi mendekat. Ia mengusap-usap rambut hitam Alida. Ia menenangkan.
“Agama saja dijadikan alat dan tunggangan untuk menjadi penguasa. Apalagi mantan kekasih,” ujar Om Gunadi pada Alida.
Tante Jeni mendekati Alida. Ia nimbrung. “Agama yang suci saja
dijadikan alat menjadi penguasa. Apalagi mantan kekasih yang sudah
dinodai kesuciannya,” ujar Tante Jeni bermuram durja.
Mereka bertiga saling berpandangan. Kecewa. (44)
Semarang, 15 Februari 2017
-Danang Cahya Firmansah menulis puisi dan esai, bergiat di Lingkar Studi Kebudayaan Indonesia (LSKI).